Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2020-09-14
Completed:
2020-10-24
Words:
23,070
Chapters:
12/12
Comments:
34
Kudos:
60
Hits:
1,133

All I know

Summary:

Edahn tidak tahu, seseorang akan masuk di kehidupannya yang bahagia. Dia tidak tahu, kalau bahagia bisa dirasakan dengan semudah itu.

Notes:

• Ini adalah fan fiction pertama saya, mohon maaf atas semua kekurangan yang ada di sini.
• Ide cerita murni dari imajinasi saya, apabila mendapati cerita ini mirip dengan sesuatu yang pernah dibaca, itu hanya kebetulan semata.
• Mungkin akan banyak yang out of character dikarenakan antusiasme penulis dan pengaruh dari warga cosplayer di Twitter
• Comments and kudos are really appreciated

(See the end of the work for more notes.)

Chapter Text

"SIAAALLLL!"

Edahn berlari secepat yang dia bisa. Dia terlambat lagi. Bukan hal baru untuknya, dia sudah mengalami ini ribuan kali. Tetapi hari ini bukan hari biasa. Hari ini adalah hari kedua pekan kedisiplinan di sekolahnya. Dia yang baru duduk di tahun pertama SMA ini tidak mengetahui kalau sekolah yang dia dambakan dulu memiliki kegiatan konyol seperti pekan kedisiplinan.

Zonk sekali! Susah-susah aku masuk sini malah harus berurusan dengan hal semacam pekan kedisiplinan!

Kemarin di hari pertama, dia tidak ingat kalau pekan kedisiplinan dimulai. Alhasil dia terlambat. Hukuman bagi para indisipliner di sekolah ini pun tidak wajar. Benar-benar bikin kapok. Ditambah dengan pemberi hukuman yang mengerikan, yaitu ketua OSIS mereka yang terkenal dingin dan tidak punya hati. Walaupun Edahn akui dia cukup ganteng, tapi jelas dia tak ingin berurusan dengan ketua itu lagi. Tetapi yang terjadi sekarang sungguh di luar kemauan Edahn. Alarmnya seperti ingin sekali Edahn dihukum, karena tiba-tiba pagi ini dia tidak bersuara. Apa mungkin dia merajuk karena selama ini sering Edahn abaikan ketika dia berteriak-teriak di pagi buta? Seharusnya dia punya hati sedikit. Kalau mau merajuk, jangan di saat genting seperti sekarang.

Gerbang sekolah sudah tertutup ketika Edahn sampai. Saat ini pasti sudah jam mulai pelajaran. Semoga ketua OSIS itu sudah masuk kelas. Bukan hal cerdas apabila dia memilih masuk lewat gerbang depan. Edahn terus berjalan hingga tiba di gerbang kecil di sisi sekolah yang tidak pernah dibuka seakan terlupakan keberadaannya. Dia memanjat gerbang itu dengan gesit dan turun dengan sempurna. Dia tidak terlalu sering lewat sini. Kalau jam terlambatnya hanya sedikit lewat dari jam masuk, dia tetap memilih lewat gerbang depan. Bukan apa-apa, tapi lewat gerbang sisi ini benar-benar serasa seperti buronan dan menurutnya, itu sangat tidak cocok untuk dirinya yang keren berkilauan itu. Dia hanya memakai gerbang sisi untuk situasi-situasi mendesak saja.

Setelah memastikan keadaan sekelilingnya aman, dia melangkahkan kaki menuju kelasnya.

"Mau kemana kamu?"

Sebuah suara menginterupsi langkahnya. Pemilik suara itu keluar dari semak-semak di halaman dekat gerbang, menunjukkan dirinya. Muncullah sosok ketua OSIS yang tersohor itu.

Crap! Mengapa dia bisa ada di sini?! Dan apa-apaan, tadi aku tidak lihat ada manusia di situ! Apa dia juga pandai sembunyi? Bagaimana bisa anak-anak sekolah ini hidup dengan nyaman dengan ketua OSIS seperti itu?

"Eh, kakak. Ngapain di semak-semak kak? Lagi jam pelajaran kok malah main petak umpet sih?" Sambil berbicara, Edahn menggerakkan tubuhnya sedikit-sedikit menjauh dari ketua OSIS itu.

"Hm?" Mengerti apa yang Edahn lakukan, ketua OSIS meraih tangan Edahn dan menahannya agar tidak kabur. "Kamu sendiri ngapain jam segini baru datang?"

Merasa tertangkap, otak Edahn berputar untuk menyelamatkannya dari keadaan ini.

"Kakak juga ngapain lagi jam pelajaran begini malah nongkrong di semak-semak?! Jangan-jangan tadi sebenarnya ada cewek tapi sekarang dia sudah pergi, ya?" Edahn langsung menyesali tuduhan asalnya ketika ketua OSIS itu melepaskan tangannya dan berpindah mencengkeram kerahnya lalu menariknya, membuat tubuhnya mendekat pada tubuh tegap yang memandangnya dengan tatapan membunuh.

Punya otak kok bodoh sekali! Habis sudah nasibku. Selamat tinggal dunia.

"Pertama, apa kamu tidak tahu di pekan kedisiplinan ini saya punya wewenang untuk tidak ikut pelajaran agar bisa memantau apabila ada indisipliner? Kedua, saya punya ruangan sendiri, untuk apa saya membawa perempuan ke semak-semak?" Ujar ketua OSIS dingin.

Saya? Sialan, harusnya aku tidak cari masalah dengan orang sekaku ini!

Dari jarak yang hanya beberapa senti ini, Edahn tau kecil sekali kemungkinan baginya untuk selamat.

"Tapi ngapain kakak malah di sini, bukannya jaga di gerbang depan?" Ternyata otaknya masih ngotot ingin menyelamatkan diri.

"Saya sudah lebih lama di sini daripada kamu. Saya lebih tau bagaimana kebiasaan murid-murid jika terlambat." Menyadari betapa bodoh dirinya, Edahn menyerah. Dia pasrah akan mendapat apa untuk hukumannya. Mengetahui perlawanan Edahn sudah selesai, ketua OSIS pun melonggarkan cengkeramannya di kerah Edahn, membuat Edahn kembali ke posisi semula.


Dirinya ini seharusnya brilian, menyilaukan seperti permata. Bisa-bisanya orang itu membuat dia jadi seperti orang bodoh. Dari dulu Edahn adalah murid yang pintar. Dia menjadi lebih populer karena tampangnya dan juga kenakalannya. Semua orang suka padanya, kecuali guru BK. Tapi dia yakin, pasti sebenarnya guru BK-nya itu senang sekali harus sering menangani anak ganteng seperti dia.

Akan tetapi, makhluk ganteng keren ini sekarang sedang mengumpulkan sampah. Yep, kalian tidak salah baca. Sampah dari masing-masing kelas harus Edahn kumpulkan dalam satu tempat dan membuangnya. Tentu saja ini ulah ketua OSIS brengsek itu. Bayangkan, dia sampai menyuruh petugas kebersihan untuk tidak membersihkan sampah-sampah di sekolah ini, kecuali bagian ruang guru, hanya untuk memberi hadiah kepada para indisipliner. Sialnya, yang terlambat hari ini hanya Edahn seorang. Anak-anak lain seakan sudah sangat trauma dengan hukuman di hari pertama pekan kedisiplinan sehingga hari ini mereka tidak terlambat lagi. Tercoreng sudah harga diri Edahn di bulan pertama di sekolah barunya ini. Kesal sekali dia apabila mengingat orang yang memberinya hukuman itu. Padahal kan ini semua bukan semata-mata salahnya. Kalau saja alarmnya berbunyi, setidaknya telatnya tidak siang-siang amat.


Ternyata masih ada anak yang terlambat lagi. Mengejutkan mengingat hukuman yang kemarin dia berikan sudah lumayan berat. Tapi ini masih mungkin terjadi. Tadi setelah dia keluar dari tempat persembunyiannya yang sangat tidak nyaman, dia sudah sempat mengintimidasi anak itu. Semoga dia tidak lagi berani main-main dengan sang ketua OSIS.

"Kenapa kamu terlambat?" Tanyanya dengan suara dingin andalannya.

"Alarmku mengkhianati." Jawab anak itu sedih.

"Maaf?" Jawaban macam apa itu?

"Hah! Masa tidak paham! Aku sudah mempercayakan pagiku pada alarmku tersayang. Tapi di pagi hari dia malah berkhianat dengan tidak berbunyi. Jadi aku bangun ketika matahari sudah tinggi. Makanya aku terlambat."

"..."

Apa-apaan? Memangnya sebegitu sulitnya bilang bangun kesiangan?!

"Hidupmu rumit sekali, ya." Ekspresi mengenaskan semakin terpancar di wajahnya yang lumayan itu. Lumayan miris maksudnya.

Dia sudah menyiapkan hukuman untuk indisipliner hari ini. Tetapi kalau dia hanya sendirian, sepertinya sedikit berlebihan. Ah, tidak. Anak itu datang sesiang ini, seharusnya hukuman ini cukup untuknya.

"Jangan khawatir, saya sudah menyiapkan hukuman untukmu." Ekspresi wajahnya seketika berubah. Matanya membulat. Lucu sekali. Konyol maksudnya. "Kosongkan tempat sampah di masing-masing kelas lalu buang di tempat pembuangan. Kalau tidak tahu tempatnya, kamu bisa bertanya kepada petugas kebersihan. Mengerti?"

Ekspresi anak itu berubah lagi. Kali ini menjadi panik. Dia tidak menyadari bahwa dalam hatinya merasa senang melihat tingkah lucu anak itu.

"APA?! BERSIHIN SAMPAH?! ITU KAN PEKERJAAN PETUGAS KEBERSIHAN! JANGAN MAIN LIMPAHKAN KE AKU DONG!" Anak itu berteriak tidak terima.

"Tidak untuk hari ini. Saya sengaja menyiapkan hukuman ini untuk orang seperti kamu. Jadi mereka tidak perlu mengerjakan bagian yang ini. Saya sarankan kamu langsung kerjakan, karena seberapapun kamu protes tidak akan bisa mengubah keputusan saya. Tidak mungkin sampah-sampah itu tetap di situ." Tegasnya. Anak itu masih menatapnya tidak terima hingga beberapa saat, yang hanya dibalasnya dengan tatapan dingin. Kemudian anak itu beranjak dan mengambil peralatan yang dia butuhkan.


LELAH SEKALI!!!

Rasanya Edahn ingin merebahkan dirinya di kasur yang empuk. Tetapi mana ada kasur di sekolah. Lagipula dia harus masuk kelas. Dia sudah sangat terlambat. Dia berharap tidak ada bau sampah yang menempel pada badannya.

Keringatan begini pun aku tetap keren. Asal tidak bau sampah saja. Ayo, Edahn, jangan buat hari ini jadi semakin buruk!

Sesampainya di kelas, ternyata guru pengajarnya berhalangan hadir. Jadi kelas sedang sibuk mengerjakan tugas yang diberikan. Ternyata hari ini tidak terlalu buruk juga. Edahn berjalan masuk kelas, menuju ke bangkunya. Dia melihat ada sebotol air mineral dingin dan sebungkus roti di atas mejanya.

"Bisa-bisanya kamu telat jam segini di pekan ini!" Kata Arie Hon, teman sebangku Edahn.

"Aku sudah datang dari tadi. Ini aku baru selesai menjalani hukuman gila." Jawab Edahn sambil menyingkirkan air mineral dan roti dari atas mejanya ke meja Hon. "Hey, kalau habis uwu-uwu begitu singkirkan dari mejaku! Ini namanya penghinaan kepada jomblo."

Baru beberapa minggu sekolah, Hon sudah memiliki kecengan kakak kelas, yaitu Yurin Ha. Edahn tidak tahu apa bagusnya Hon hingga seberuntung itu. Maksudnya, kan yang ganteng keren berkilau itu Edahn. Kenapa Hon duluan yang bisa dapat gebetan? Hidup memang tidak pernah sempurna.

Hon menggeser lagi air dan roti itu ke meja Edahn.

"Ini titipan untukmu. Tadi memang Yurin yang ngasih, tapi katanya itu dari orang lain, buat kamu. Cuma dia tidak bilang siapa orangnya." Terang Hon. Apa ini? Keberuntungan lainnya? Ternyata hidup tidak buruk-buruk amat.

"Kenapa tidak kamu tanya, bodoh?!"

"Sudah. Tapi dia bilang rahasia. Aku sampai curiga, jangan-jangan itu sebenarnya dari dia sendiri." Wajah Hon bersungut-sungut.

"Hahaha bisa jadi. Jangan-jangan selama ini dia mendekatimu karena kamu dekat dengan Edahn si ganteng ini. Tampangmu memang mendukung jadi batu loncatan sih." Hon menonjok lengan Edahn. "Bercanda, bro."

Air mineral dingin itu terlihat sangat menggoda bagi Edahn yang kelelahan itu. Tetapi kecurigaannya muncul. Bagaimana jika ada sesuatu di minuman itu?

"Hon, bukannya ini mencurigakan? Jangan-jangan ada racun di dalam minuman dan makanan ini."

Hon mendengus. "Siapa juga yang mau meracunimu?"

"Aku kan orang keren dan pintar. Bisa jadi dia iri denganku, jadi ingin membunuhku. Orang keren seperti aku memang harus waspada selalu." Hon menimpuk Edahn dengan buku yang sedang dikerjakannya.

"Pertama, kurangi bahan bacaanmu yang membuat delusi itu. Kedua, kepercayaan dirimu itu membuatku merinding." Hon benci sekali mengakui bahwa sebenarnya apa yang dikatakan oleh teman sebangkunya itu benar. Dia berparas menawan dan kepintarannya juga sudah terlihat walaupun tahun ajaran baru sekali dimulai. Sepertinya keahliannya pun lumayan banyak. Akan tetapi, panas juga telinganya mendengar dia selalu menyebut-nyebut dirinya keren, seakan-akan itu nama belakangnya.

"Perfect adalah nama tengahku, Hon." Dia masih keras kepala juga. "Jadi menurutmu bagaimana? Lebih baik aku minum atau dibuang saja?"

"Yurin tidak akan membantu orang jahat. Sudah minum saja."

Setelah berpikir sebentar, akhirnya Edahn meneguk air itu hingga tersisa setengah botol. Sebenarnya dia memang haus sekali sih.

Chapter 2: 2

Notes:

Klub bela diri di sini sengaja tidak merujuk pada bela diri manapun. Yang ingin ditonjolkan hanya kedua karakter pandai bergulat.

Chapter Text

Para siswa ramai berkumpul di lapangan. Hari ini ada demo ekstrakurikuler. Edahn sebenarnya malas mengikuti hal yang seperti itu. Tetapi Hon menyeretnya ikut. Kita tidak boleh melewatkan kesempatan di ekstrakurikuler, katanya. Edahn tahu, itu pasti akal bulus dia agar bisa menjadi populer. Cih, Edahn tidak butuh hal seperti itu untuk menjadi populer. Dia hanya bernapas saja sudah keren, tidak perlu susah-susah berusaha. Tetapi lagi-lagi dia mendapat tonjokkan ketika mengemukakan pemikirannya itu. Memang dasar orang iri. Norak sekali, tidak bisa melihat orang keren.

Lapangan sangat ramai. Para senior terlihat bersiap-siap.

“Hey, memangnya kamu menunggu ekskul apa?” Tanya Edahn.

“Cheerleader.” Jawab Hon.

“KAMU MAU IKUT CHEERS? Hon, aku pikir aku sudah mengenalmu. Tapi ternyata aku salah.” Edahn berteriak tidak percaya.

“BUKAN BEGITU!” Hon membantah. “Yurin ketua ekskul itu. Aku mau lihat dia.”

“Oh. Bucin.”

“Kamu ingin ikut ekskul apa?” Hon bertanya. Edahn sedang memikirkan jawabannya ketika tiba-tiba seseorang menyahut, “Klub Sastra.”

Edahn menengok ke sumber suara. Dia duduk di samping kiri Hon. Ternyata di sebelah kanan Hon ada anak berkacamata berambut coklat yang sepertinya wajahnya tidak asing. Hon mengangguk karena jawaban anak itu.

“Hey, aku pikir kamu tanya padaku. Siapa dia?”

“Untuk apa? Paling juga kamu memilih ekskul basket atau sejenisnya yang dikelilingi cewek-cewek. Dan bisa-bisanya kamu tidak mengenali teman sekelas kita?! Dia ini Gustang, yang duduk di depan kita.” Ujar Hon yang sudah sangat lelah dengan kawannya itu.

“Sok tahu sekali kamu. Aku tidak akan memilih itu tau. Oh, dan hai Gustang! Aku tidak tahu kalau ada yang namanya Klub Sastra.”

Gustang mendengus. “Ya, anak sepertimu kan memang tidak akan perhatian pada hal seperti itu.”

Terdengar sorakan riuh dari sekeliling mereka. Serentak mereka memalingkan wajah ke tengah lapangan. Ternyata demo ekstrakurikuler sudah dimulai.


Akhirnya tiba waktunya pulang. Edahn sudah sangat bosan dengan pelajaran matematika ini. Bukan karena dia benci matematika. Tetapi karena gurunya itu sudah mengulangi penjelasan soal yang sama hingga tiga kali karena teman sekelasnya masih belum paham juga. Dan jangan khawatir, dia juga mengalami fase anak pintar seperti tidak-memperhatikan-lalu-ditunjuk-untuk-mengerjakan-soal-dan-bisa-menyelesaikan-dengan-sukses. Pokoknya dia bosan, dan untungnya dia bisa keluar sekarang.

Tetapi Edahn tidak bisa langsung pulang ke rumah. Hari ini adalah jadwal Klub bela diri. Ya, sewaktu demo ekstrakurikuler kemarin dia memutuskan untuk mengikuti Klub bela diri. Selain untuk membuktikan bahwa dugaan Hon salah, dia memang sedikit sering berkelahi di sekolahnya yang dulu. Tolong camkan kata ‘sedikit’nya, ya. Edahn merasa dia anak yang baik karena tidak begitu sering berkelahi—setidaknya dibandingkan teman-temannya yang nakal dulu. Dia memilih ekskul itu juga karena peminatnya tidak terlalu banyak dan pasti tidak banyak jenis anak ingin tenar—yang biasanya memilih ekskul basket atau futsal, yang mendaftar di ekskul itu. Hon memilih ekskul basket, kalau kalian penasaran. Tentu saja untuk memuluskan jalannya pada Yurin.

Ini adalah pertemuan pertama sejak pendaftaran ketika demo ekskul silam. Edahn berjalan menuju gymnasium yang menjadi tempat latihan Klub bela diri. Di sana sudah menunggu beberapa anak baru yang didominasi oleh laki-laki. Edahn bergabung dengan mereka untuk berkenalan.

Waktu latihan sudah akan dimulai ketika beberapa senior datang. Seperti biasa, pertemuan pertama dihabiskan untuk perkenalan anggota lama dengan anggota baru. Untungnya mereka adalah orang-orang yang menyenangkan. Sepertinya Edahn akan betah di klub itu. Dia sangat kagum dengan seniornya yang bernama Enryu. Dia adalah ketua Klub bela diri. Enryu orang yang menyenangkan, tetapi juga mengerikan ketika di arena. Benar-benar badass.

Di tengah-tengah pertemuan, tiba-tiba datang lagi satu orang senior. Dia meminta maaf pada anggota yang lain karena keterlambatannya. Ada rapat, katanya. Merasa mengenal suaranya, Edahn mengangkat wajahnya untuk melihat siapa yang baru datang. Muncul dipandangannya laki-laki berambut kuning yang beberapa hari silam selalu dia kutuk dalam hati. Benar sekali, dia adalah ketua OSIS yang menghukumnya pekan lalu. Tanpa Edahn sadari, wajahnya berubah menjadi tidak menyenangkan.

“Kalau dia, pasti kalian sudah kenal, jadi tidak perlu berkenalan lagi, ya?” Ujar Enryu sambil menepuk pundak si ketua OSIS. “Sebenarnya kalau dia tidak menjabat sebagai ketua OSIS, dia adalah orang yang tepat untuk menjadi ketua klub ini. Dia juga hebat sekali, lho.” Lanjut Enryu ramah.

Cih, mau bagaimanapun mereka bilang soal dia, tetap saja, luka membersihkan sampah itu masih melekat erat di jiwa ragaku!

Omong-omong, sampai sekarang Edahn tidak tahu siapa nama ketua OSIS itu. Mungkin pernah disebut ketika masa orientasi, tetapi dia tidak ingat. Yah, itu bukan hal penting, kan?

Setelah perkenalan dan ngobrol-ngobrol sebentar, Enryu menyarankan mereka memeragakan gerakan-gerakan dasar. Dengan dipandu oleh para senior, anggota-anggota baru mencoba menggerakkan tubuh mereka. Menurut Edahn itu mudah. Dia langsung hafal rangkaian gerakannya.

“Nah sekarang, ada yang mau coba gerakan tadi di depan? Lawan senior, tapi tenang, kami akan pelan-pelan.” Tawar Enryu pada anggota baru. Tetapi tidak ada anggota baru yang mengajukan diri. Akhirnya Enryu menyuruh si Ketua OSIS untuk menunjuk salah satu dari mereka untuk melawannya. Bulu roma Edahn langsung meremang menyadari pandangan ketua OSIS itu mengarah ke arahnya.

Tenang, Edahn, tingkat kegeeranmu itu lumayan tinggi. Bisa jadi dia melihat ke arah orang di sampingmu.

“Siapa yang kamu pilih?” Tanya Enryu.

“Yang berambut biru di belakang” Jawab orang itu--seperti biasa, dengan dingin.

HOLY SHOOT! KENAPA KESIALANKU MUNCUL HARI INI?!

“Eh? Kok saya sih?” Mulut Edahn berkata refleks. Tetapi dia tetap maju karena arahan dari Enryu. Edahn memilih untuk mengambil sisi baiknya. Bukankah ini kesempatan yang sangat bagus untuk melampiaskan amarahnya pada senior itu? Kapan lagi dia bisa menonjok ketua OSIS?

Edahn dan ketua OSIS berdiri berhadapan. Tatapan ketua OSIS itu datar, sedangkan tatapan Edahn penuh dengan kebencian. Ketua OSIS memulai posisi kuda-kuda awal yang kemudian diikuti oleh Edahn. Berdasarkan arahan dari Enryu, junior yang menyerang dan senior yang bertahan. Enryu memberi aba-aba untuk memulai.

Edahn melayangkan beberapa tonjokan ke arah dada, kepala, perut dan ulu hati ketua OSIS dengan cepat. Semua tonjokan itu berhasil ditangkis oleh ketua OSIS, tetapi raut wajahnya menjadi lebih serius mengetahui junior itu ternyata tidak melancarkan serangan secara pelan seperti ketika memeragakan bersama para senior tadi. Edahn langsung memberikan beberapa tendangan yang langsung ditangkis juga.

Pergumulan mereka masih berlangsung karena Edahn mengulangi gerakan-gerakan dasar itu dan mengkombinasikannya sendiri. Beberapa tinjunya ada yang luput dari tangkisan ketua OSIS—karena dia terlihat sedikit membabi buta, dan karena kuatnya tenaga yang Edahn dedikasikan untuk lawannya itu, terdapat sedikit lebam di wajah ketua OSIS.

Tiba-tiba ketua OSIS itu menangkap tinju Edahn dan menarik tangannya, membuat tubuh Edahn mendekat ke tubuhnya, dan memitingnya di leher. Pergumulan itu terhenti seketika karena Edahn tidak bisa bergerak. Ketua OSIS mendekatkan wajahnya ke telinga Edahn, dan berbisik,

“Kuat sekali, ya, tenagamu. Apakah ada unsur balas dendam di sini?” Bisiknya kemudian terkekeh. Edahn merinding karena kekehannya. Bayangkan saja orang yang biasanya selalu datar tanpa ekspresi tiba-tiba terkekeh di telingamu. “Oh, atau memang kamu ini petarung jalanan, ya? Pantas saja sih kalau begitu. Kelihatan memang, anak nakal yang suka berkelahi dan terlambat sekolah.”

Edahn panas—entah karena dibilang anak nakal atau karena hembusan napas orang itu di telinganya, dan langsung melawan pitingan itu dengan melempar lawannya ke lantai dan menahannya. Lawannya tidak menunjukkan akan melawan lagi, dan Enryu bertepuk tangan, diikuti senior yang lain, juga para junior. Edahn menegakkan badannya, kembali ke posisi awal. Ketua OSIS itu mengangkat tangannya, seakan meminta dibantu untuk bangun, tetapi Edahn pura-pura tidak melihatnya. Akhirnya dia bangun sendiri.

“Bagus sekali! Siapa namamu?” Tanya Enryu sambil mendekati mereka, masih bertepuk tangan.

“Edahn.”

“Kamu bisa mengombinasikan gerakan-gerakan yang tadi diajarkan dan menambahkan gerakan baru. Apakah sebelumnya kamu pernah belajar bela diri?” Edahn menggeleng. Dia memang tidak pernah belajar. Hanya melihatnya di film-film yang dia tonton.

“Wah, mengejutkan sekali. Bagi pemula sudah bisa memberi tonjokan pada Jahad dan membantingnya adalah prestasi yang sangat besar. Semoga di klub ini kamu bisa berkembang dengan baik, ya.”


Edahn memandang langit kamarnya. Dia sedang berusaha memutuskan apakah hari ini adalah hari yang buruk atau tidak. Dia merasa banyak sekali yang terjadi hari ini. Dari yang menyebalkan, memuaskan, menyenangkan, dan yang tidak bisa dideskripsikan. Menyebalkan karena ketua OSIS tadi, memuaskan karena berhasil memukul dia, menyenangkan karena dipuji Enryu, dan yang tidak bisa dideskripsikan adalah yang terjadi setelah latihan klub.

Enryu mengajak Edahn bicara sebentar selepas latihan. Semua anggota sudah meninggalkan gymnasium, menyisakan Enryu, Edahn, dan si ketua OSIS di pojok ruangan entah sedang apa. Enryu tidak mengatakan hal-hal penting, hanya bertanya hal-hal umum. Sepertinya anak itu mulai tertarik dengan kemampuan Edahn. Setelah selesai, Enryu pamit dan langsung keluar gymnasium, meninggalkan Edahn berdua dengan ketua OSIS. Edahn memandangnya dari kejauhan, sepertinya dia sedang repot dengan sesuatu. Hati kecilnya mengatakan untuk menawarkan bantuan, tetapi egonya menolak. Dan akhirnya karena Edahn adalah anak yang baik—seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dia menghampiri si ketua OSIS dan bertanya ada masalah apa. Ketua OSIS itu terlihat sedang mencari sesuatu di tasnya.

“Saya biasanya selalu membawa koyo di tas saya. Daritadi sudah saya cari tapi ternyata tidak ada.” Jawabnya setelah menyerah dengan tasnya. Edahn tertawa mendengar jawaban itu.

“Hahahah, bagaimana, ketua OSIS yang terhormat? Apa benar tadi saya mendengar koyo?” Ketua OSIS mendengus dan menggendong tasnya.

“Kalau kamu hanya mau menertawakan saya, pulang saja sana.” Tawa Edahn semakin kencang.

“Aduh, aku baru tau kalau ketua OSIS kita ternyata kakek-kakek. Selalu bawa koyo memangnya selalu dipakai?”

“Ya memang kamu pikir untuk apa saya bawa kalau tidak dipakai? Kerjaan saya banyak, terkadang punggung dan pundak saya suka pegal-pegal.”

“Memangnya sekarang sedang banyak kerjaan? Kenapa bisa sakit?”

“Itu…”

Edahn menaikkan sebelah alisnya. Mengapa harus digantung dulu?

“Ada apa?”

“Itu karena kamu banting tadi…”

Edahn terkejut.

ASTAGA! AKU TIDAK MENYANGKA! JADI GARA-GARA AKU?! APAKAH AKU TERLALU KERAS TADI?!

“EH?! Apakah punggungmu kenapa-kenapa? Ayo kita pergi ke dokter!” Edahn panik, meremas rambutnya. Tetapi ketua OSIS langsung menarik tangannya dan mendiamkan agar tidak panik.

“Saya hanya perlu koyo saja. Tidak akan terlalu serius.” Kata ketua OSIS menenangkan.

“Apa kamu serius? Baiklah, tunggu di sini sebentar. Aku akan membelikanmu koyo.” Tanpa sempat ketua OSIS membalas, Edahn sudah berlari keluar gymnasium. Karena tidak ada pilihan lain, dia hanya duduk menunggu Edahn datang.

Tidak lama kemudian, Edahn datang dengan tergopoh-gopoh, membawa empat bungkus koyo. Dia memberikannya pada ketua OSIS.

“Empat bungkus? Hey, ini banyak sekali. Saya tidak butuh sebanyak ini.”

“Tidak apa-apa. Ambil saja untuk persediaanmu di tas.”

“…”

Tanpa berkata-kata, ketua OSIS itu melepas bajunya. Dia membuka satu bungkus koyo dan mengambil dua koyo untuk ditempelkan di kedua pundaknya. Kemudian dia mengambil dua koyo lagi dan menyodorkannya pada Edahn.

“Bisa tolong pasangkan yang di punggung? Saya sulit menjangkaunya.” Edahn menerima koyo itu. Ketua OSIS mengarahkan punggungnya pada Edahn. Edahn memandang punggung yang kokoh dan bersih itu.

“Di bagian kanan agak ke atas.” Arahan ketua OSIS mengembalikan fokus Edahn. Edahn meletakkan tangannya di tempat sesuai arahan dari ketua OSIS itu. “Ke kanan lagi. Nah, benar di situ.”

Koyo kedua pun dipasang berdasarkan arahan seperti tadi. Kemudian Edahn menyadari bahwa di tengah punggung ada sedikit lebam.

“Kak ketua OSIS, ini di punggungmu ada lebam sedikit. Perlu di kasih koyo tidak?” Tanya Edahn. Ketua OSIS itu mendengus.

“Saya punya nama. Jangan panggil saya ketua OSIS. Untuk lebam itu, sepertinya tidak usah. Saya tidak tau apakah boleh memakaikan koyo di area lebam atau tidak.”

“Habis aku tidak tau siapa namamu. Ya sudah aku panggil ketua OSIS saja.”

“Bukannya tadi Enryu sudah menyebut namaku? Panggil aku Jahad. AWW! APA-APAAN KAMU?!” Edahn gemas dengan lebam itu dan tidak sengaja menekannya.

“Eh, maaf maaf. Aku tidak sengaja.” Teringat lebam yang dia lihat waktu bergulat dengan Jahad tadi, Edahn membalikkan tubuh Jahad untuk memeriksa wajah yang terkena tonjokannya. “Memangnya Enryu tadi panggil kamu, ya? Aku tidak tau.”

Edahn terlalu fokus memeriksa lebam itu hingga tidak sadar wajahnya sangat dekat dengan wajah Jahad. Ketika dia merasakan napas Jahad di wajahnya, dia langsung menjauhkan diri. Dia merasakan sedikit sensasi aneh di perutnya.

“Apa tidak lebih baik dikompres saja bagian lebamnya?” Tanya Edahn.

“Tidak perlu. Sebentar lagi juga hilang.” Jawab Jahad sambil memakai bajunya kembali. Kemudian dia memasukkan koyo pemberian Edahn tadi ke dalam tas dan menggendongnya. “Sudah, lebih baik kita pulang.”

Melihat semburat jingga sudah menerobos masuk gymnasium, Edahn juga bergerak mengambil tasnya. Mereka berdua berjalan bersisian keluar sekolah. Karena arah rumah mereka searah, mereka tidak berpisah di gerbang sekolah.

Ternyata rumah mereka berada di perumahan yang sama.

“Kok bisa sih? Selama ini aku tidak pernah lihat kamu.” Gumam Edahn.

“Tidak perlu heran. Karena perumahan ini tidak jauh dari sekolah, jadi banyak anak sekolah kita yang tinggal di sini.” Jahad menjawab keraguan Edahn. Dan ternyata rumah mereka hanya berjarak satu blok saja.

“Hah. Benar-benar deh. Masa iya aku tidak pernah lihat kamu sama sekali? Paling tidak ketika berangkat atau pulang sekolah.”

Jahad menatapnya dengan datar.

“Ada apa?” Tanya Edahn.

“Kamu kan berangkatnya siang terus. Mana mungkin bisa bertemu dengan anak rajin seperti saya.” Benar juga. Edahn benci ini. Mengapa dia selalu jadi orang bodoh kalau berhadapan dengan Jahad?

Rumah Jahad berada di rute yang dilewati untuk menuju rumah Edahn. Dan ketika mereka sampai di sana, ada ibu Jahad di depan rumah sedang menyiram tanaman. Melihat itu, Edahn ikut berhenti dan menyapa ibu Jahad.

“Selamat sore, tante. Perkenalkan, saya Edahn, junior Jahad di Klub bela diri. Saya ingin bilang untuk memastikan agar Jahad baik-baik saja. Tadi ketika latihan Jahad tidak sengaja mendapat beberapa lebam di wajah dan punggung. Tolong agar diperiksa supaya bisa cepat sembuh, ya, tante.” Sapa Edahn ramah. Jahad mendengus ketika kata ‘tidak sengaja’ keluar dari mulut Edahn. Menurut Edahn, anggap saja itu ketidaksengajaan yang disengaja.

“Sore, Edahn. Terima kasih sudah memberitahu tante, ya. Kamu baik sekali. Nanti akan tante periksa.” Ibu Jahad tersenyum, yang Edahn yakini pasti karena merasa terberkahi bisa bertemu orang ganteng di sore hari.

“Sama-sama, tante. Saya duluan, ya, tante.” Kata Edahn.

“Lho, tidak mau mampir dulu? Rumah kamu jauh tidak dari sini?”

“Dekat kok, tante. Di blok sebelah.” Jawab Edahn.

“Oh, ya sudah kalau begitu. Kapan-kapan main ke sini, ya.”

“Oke, tante.” Sebelum Edahn sempat menggerakkan tubuhnya, tangan Jahad lebih dulu meraih lengan Edahn. Kali ini Edahn yakin sekali kalau hobi Jahad adalah memegang tangannya. Edahn menatap Jahad bingung.

“Terima kasih.” Ucap Jahad pelan sekali.

“Apa?”

“Terima kasih atas bantuanmu.” Kata Jahad lebih keras sehingga dapat didengar jelas oleh Edahn. Mengingat bagaimana sifat Jahad, Edahn menyadari pasti sulit baginya untuk berterimakasih. Edahn tertawa kecil dan mengibaskan tangannya yang tidak dipegang Jahad.

“Tidak masalah. Toh itu semua adalah salahku.” Jahad melepaskan pegangannya. Setelah berpamitan, Edahn pun pulang ke rumahnya.

Dan sekarang, Edahn sedang mendefinisikan perasaannya hari ini. Dia tahu, beberapa hari kemarin dia tidak pernah membayangkan kalau akan sampai di masa damai dengan Jahad sampai seperti ini. Dia heran sekali mengapa tadi dirinya mau menghampiri Jahad di saat dia bisa langsung pulang. Di tambah lagi sensasi-sensasi aneh yang menghampirinya ketika dia berada di dekat Jahad. Memalukan sekali. Edahn merasakan wajahnya memerah. Dia membenamkan wajahnya di bantal. Yang paling memalukan adalah ketika Jahad meminta tolong padanya untuk menempelkan koyo.

Man, itu punggung cowok! Aku sendiri juga punya yang lebih seksi! Kenapa pula aku harus terpaku ketika melihatnya?! Memalukan sekali!

Dia membenamkan wajahnya semakin dalam, berharap ingatan ini segera enyah. Dia ingin langsung tidur saja, agar tidak perlu berpikir lagi. Satu hal yang dia rasakan, tapi tidak sanggup dia definisikan. Dia bahagia hari ini.

Chapter Text

Pagi ini Edahn terlambat lagi. Tetapi ini bukan hari besar. Jadi tidak masalah. Toh setelah pekan kedisiplinan berakhir, dia juga beberapa kali terlambat. Kali ini dia hanya terlambat sedikit, tidak perlu panik. Masih aman untuk lewat gerbang depan.

Seperti dugaan, gerbang sudah menutup, hanya menyisakan celah kecil, dan di dalam gerbang sudah ada beberapa siswa yang juga terlambat berdiri di depan pengurus OSIS. Dan oh, Edahn tidak tahu ini disebut keburuntungan atau kesialan, ternyata jadwal yang berjaga pagi ini adalah Jahad. Sudah terlihat dari jauh karena rambut kuningnya itu.

Edahn melihat anak-anak yang terlambat itu kebanyakan perempuan, dan tampang mereka malah seperti kesenangan, melirik-lirik ke arah Jahad. Jadi dia punya banyak penggemar? Edahn yakin, pasti mereka belum pernah menerima hukuman dari Jahad. Kasihan sekali mereka tidak tahu ada orang yang lebih keren lagi di sini.

Sayang seribu sayang, orang yang mereka damba malah mendekat ke arah Edahn yang tampan.

“Kamu terlambat lagi.” Sapanya dingin. Belum sempat Edahn menjawab, dia menyodorkan ponselnya. Edahn menatap keheranan. “Masukkan nomormu ke sini.”

Aduh, Edahn sangat tidak suka diperintah, tapi nadanya seakan-akan Edahn akan mati jika tidak mengikuti kemauannya. Jadi diraihnya ponsel itu, lalu dia menyimpan nomornya di ponsel itu. Ketika Edahn sedang mengetik, Jahad menyuruh yang lain untuk pergi ke guru piket. Ketika ada yang protes mengapa Edahn tidak disuruh, dia hanya menjawab akan memberi hukuman khusus untuk langganan terlambat itu. Edahn mendelik ketika mendengar itu. Setelah mereka semua masuk, Edahn mengembalikan ponsel Jahad.

Jahad mendengus melihat nama kontak yang Edahn beri untuk nomornya. Di situ tertulis ‘Edahn terganteng sejagat raya’. Tetapi dia langsung memasukkan ponselnya ke saku seragam.

“Sekarang cepat ke kelas. Kalau nanti kamu terlambat lagi, saya tidak akan sebaik ini. Ini semua karena kebaikanmu kemarin.” Kata Jahad memperingati. Edahn sampai mematung tak percaya mendengar dia malah dilepas begitu saja. Dia baru tersadar dari keterkejutannya ketika Jahad beranjak meninggalkan tempatnya. Oke, dia mungkin tidak begitu buruk.


Sepulang sekolah, Edahn langsung pulang karena tidak ada agenda apa-apa. Di perjalanan, ketika sampai di dekat rumah Jahad, Edahn berpapasan dengan ibu Jahad yang kebetulan habis pergi dan sedang mau pulang. Mereka saling sapa. Ibu Jahad memaksa Edahn untuk mampir ke rumahnya. Di sebut memaksa karena sudah Edahn tolak, tetapi ibu Jahad bersikeras agar dia mampir. Edahn sudah hafal, ini pasti karena ibu Jahad sudah terpincut oleh pesona si keren ini. Akhirnya Edahn mengiyakan. Hitung-hitung untuk fan service, pikirnya.

Saat itu Jahad belum pulang. Ketua OSIS pasti sibuk. Ibu Jahad menyuguhkan banyak makanan untuk Edahn. Dia adalah sosok yang menyenangkan. Mereka mengobrol hingga tidak terasa hari sudah sore. Ketika Jahad sampai rumah, Edahn berpamitan untuk pulang. Ibu Jahad membawakan makanan untuk Edahn bawa pulang. Jahad menahan Edahn ketika dia mau pergi. Katanya dia ingin mengantar Edahn sampai rumah.

“Biar saya antar.”

“Eh? Tidak perlu. Rumahku kan dekat.” Kata Edahn.

“Tidak apa-apa, nak. Mungkin Jahad khawatir kamu tidak sampai rumah dengan selamat.” Ibu Jahad nimbrung untuk meyakinkan. Aduh, alasannya tidak masuk akal sekali.

“Tunggu sebentar.” Kata Jahad lalu masuk rumah. Tidak lama dia keluar, tidak lagi membawa tasnya. “Ayo.”

Tidak bisa menolak, akhirnya mereka berdua berjalan hingga rumah Edahn. Tidak sampai lima menit pun mereka sudah sampai.

“Lihat, kan? Rumahku ini dekat sekali. Tidak perlu kamu antar.” Kata Edahn. Tetapi tidak ada penyesalan karena telah menghabiskan waktunya sia-sia di raut muka Jahad. “Mau mampir?”

“Tidak usah. Kapan-kapan saja. Saya pulang dulu, ya.” Pamit Jahad yang langsung pergi kembali ke rumahnya. Aneh sekali. Wajah dan nada bicaranya itu sangat tidak sinkron dengan yang diucapkan. Seharusnya kalimat itu diucapkan dengan paling tidak ramah sedikit. Tetapi nadanya malah dingin sekali.

“Hati-hati!” Teriak Edahn, lalu masuk ke rumahnya. Yah, setidaknya malam ini dia punya makanan.


Dering ponsel Edahn memecah kesunyian pagi. Padahal kesunyian itu baru tercipta setelah alarmnya berhenti mengganggu. Edahn mendiamkannya, tetapi ponsel itu terus berdering, menolak untuk diabaikan.

“APA SIH?!?!?!” Teriak Edahn, marah tidurnya terganggu. Akhirnya dia menyerah, mengangkat telepon dari makhluk jahanam entah siapa itu.

“Ada apa?!” Tanya Edahn garang tanpa melihat siapa yang menelepon.

“Sedang apa kamu jam segini?” Tanya suara dingin yang tidak asing. Suara itu membuat Edahn tersentak, seketika melihat layar ponselnya. Nomor asing. Ah, benar juga. Dia kan tidak pernah menyimpan nomor orang itu.

“Tidur.” Jawab Edahn sambil mengumpulkan kembali niatnya untuk melanjutkan mimpinya.

“Bangun. Lihat sudah pukul berapa ini. Saya di depan rumahmu. Jangan buat saya menunggu.” Kali ini Edahn terduduk. Matanya melirik jam di nakas. Pukul 06.15.

Di depan rumah?! Jam segini?! DIA GILA!

“NGAPAIN KAMU DI DEPAN RUMAHKU PAGI BUTA BEGINI?! PERGI SAJA!” Kesabaran Edahn di pagi hari itu lebih tipis daripada jarak antara cinta dan benci.

“Cepat siap-siap. Saya tidak akan pergi sampai kamu keluar. Jangan buang waktu saya.” Suaranya masih tetap dingin. Edahn yang keren dan terdidik ini memang malas, tetapi dia tetap beradab. Karena kekeraskepalaan ketua OSIS-nya itu, dia harus turun ke bawah, membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu.

“Masuk dulu.” Katanya setelah membuka pintu. Jahad sudah berpakaian rapi, siap untuk ke sekolah. Selama menunggu Edahn bersiap-siap, Jahad menunggu di ruang tamu Edahn. Kurang lebih lima menit kemudian, Edahn sudah turun dengan pakaian rapi. Wajahnya benar-benar masam. Akhirnya mereka berdua berjalan bersisian menuju sekolah.

Perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu 15 menit. Edahn yang masih kesal karena paginya diganggu tidak memulai pembicaraan apapun. Jahad pun berinisiatif memecah keheningan.

“Kamu tinggal sendiri?” Tanyanya yang hanya dibalas dengan gumaman ringan tanda mengiyakan dari Edahn.

“Orangtuamu ke mana?”

“Ada. Tapi tidak di sini.” Jawab Edahn, tanpa melepaskan wajah masamnya. Jahad memutuskan tidak bertanya lebih lanjut.

Sekolah belum begitu ramai ketika mereka sampai. Benar-benar keadaan yang jarang sekali Edahn lihat. Biasanya dia berangkat ketika sekolah sepi. Sepi karena sudah masuk kelas semua. Ketika akan berpisah dengan Jahad di koridor kelas 10, Edahn bertanya kepada Jahad.

“Kenapa kamu menjemputku?”

“Agar kamu tidak terlambat.” Katanya sambil berlalu, meninggalkan Edahn mematung di tempatnya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi sepertinya perutnya lebih tahu karena dia merasakan sebuah sensasi aneh itu lagi. Dia tersadar karena sebuah tepukan di bahunya.

“Apakah orang yang masih hidup ada hantunya? Bagaimana bisa ada hantu Edahn di sini kalau dia belum mati?” Terdengar suara Hon. Seketika raut wajahnya berubah menjadi terkejut. “Oh! Jangan-jangan dia meninggal kemarin dan belum kasih kabar!” Gustang yang berada di sebelahnya hanya menunjukkan wajah datar.

“Jaga mulutmu!” Edahn meninju lengan Hon. “Ngapain aku mati lebih dulu dari kamu?!”

Hon terkekeh. “Melihatmu pagi-pagi begini di sekolah seperti melihat fenomena langka yang terjadi seribu tahun sekali.” Mereka berjalan menuju kelas mereka. “Jadi? Apa tadi pagi ada gempa sampai kamu bisa bangun pagi begini?”

“Lebih seram dari gempa. Ada monster! Warna kuning!” Jawab Edahn sambil merentangkan tangannya dan memasang wajah menyeramkan. Hon dan Gustang yang menganggap monster kuning itu hanya candaan Edahn yang lain hanya mendengus.


Edahn lupa mengerjakan tugas. Oleh karena itu, waktu istirahatnya harus dia pakai untuk menyelesaikannya. Kesulitan tugasnya tidak menjadi masalah. Yang membuatnya tidak bisa mengerjakan dengan cepat dan sepertinya akan menghabiskan sepanjang waktu istirahat berkutat dengan tugasnya adalah karena jawabannya yang panjang-panjang, membutuhkan banyak waktu untuk menuliskannya di buku tulisnya. Sial sekali dia. Padahal dia lapar sekali karena belum sarapan. Karena Jahad sudah menunggu tadi, dia tidak sempat mencomot roti barang satu lembar. Akhirnya dia mengerjakan tugasnya dengan merana. Hon dan gustang tidak pernah ke kantin ketika istirahat pertama. Ini karena mereka selalu membawa bekal makanan ringan dari rumah. Mereka hanya ke kantin ketika jam makan siang, sehingga Edahn tidak bisa meminta tolong kepada mereka untuk membawakannya makanan.

Terkadang Yurin datang untuk bertemu dengan Hon. Edahn tidak memperhatikan apakah mereka punya jadwal pasti atau tidak. Hari ini ternyata dia datang. Kalau kalian bertanya kenapa tidak Hon sebagai laki-laki yang datang ke kelas Yurin, itu karena ini masih bulan-bulan awal sekolah bagi mereka. Seperti biasa, senior-senior suka merasa paling keren, dan Hon pasti akan mendapat masalah apabila mendatangi Yurin ke sarang kelas 11. Yurin yang mengatakan hal ini, dan dia yang memutuskan sendiri kalau dia yang akan mendatangi Hon.

Baru sebentar ke luar, Hon masuk kelas lagi dengan membawa bungkusan. Tidak seperti biasanya, mereka akan makan berdua di depan kelas. Dia meletakkan bungkusannya di meja Edahn.

“Untukmu.” Kata Hon.

“Wah jadi kamu diam-diam membelikanku makanan? Aduh, aku terharu sekali, Hon. Tau saja kamu kalau aku belum sar—”

“Bukan. Ini Yurin yang bawa. Katanya ada yang menitipkan padanya lagi.” Hon memotong perkataan Edahn.

“Eh?” Edahn langsung beranjak dari tempat duduknya, berlari ke depan kelas. Ternyata Yurin masih duduk manis di situ. “Hei, Yurin. Cepat beritahu aku siapa yang menitipkan makanan ini!”

Yurin menengok ke arah Edahn.

“Hm? Bagaimana, ya? Orangnya melarangku untuk memberitahu.” Jawab Yurin santai.

“Beritahu saja! Kamu pikir aku akan dengan mudah memakan makanan pemberian orang asing yang tidak jelas?! Aku masih takut keracunan tau!” Edahn tetap memaksa. Hon yang mengikuti Edahn ke depan kelas hanya diam menonton, karena sebenarnya dia masih penasaran, mungkinkah itu Yurin yang memberikan makanan kepada Edahn.

“Buktinya air mineral dan roti tempo hari juga tetap kamu makan. Sampai sekarang tidak terjadi apa-apa, kan? Aku hanya bisa memberitahu kalau yang mengirim ini adalah orang yang sama seperti kemarin. Dia juga bukan orang yang mencurigakan, jadi makan saja. Katanya kamu belum sarapan.” Terang Yurin. Edahn menyipitkan matanya, masih curiga.

“Sudahlah. Lebih baik kamu makan, lalu lanjutkan tugasmu itu. Tidak ada gunanya terus berdiri di sini mencurigai orang dengan perut yang lapar.” Hon menepuk pundak Edahn, lalu memberi gerakan mengusir. Edahn yang sudah tidak punya opini untuk berdebat—dan kelaparan, memutuskan masuk dan membuka bungkusan di mejanya itu. Ternyata itu adalah nasi goreng.

“Hei, kacamata. Kalau aku kenapa-kenapa, tolong langsung bawa aku ke UKS, ya.” Katanya kepada Gustang.

Chapter Text

Hari ini ada jadwal latihan Klub bela diri. Edahn harus makan yang banyak siang ini agar tidak kekurangan energi nanti. Dia memang sedang lapar sekali. Karena takut tidak kebagian tempat di kantin, dia langsung menyeret Hon dan Gustang yang masih membereskan meja mereka ke kantin. Sesampainya di sana, mereka langsung memesan makanan yang mereka mau. Semenjak mendapat kiriman nasi goreng beberapa hari lalu, Edahn jadi tahu kalau ternyata nasi goreng di kantin mereka itu enak. Kali ini dia memesan nasi goreng porsi dua orang untuknya.

Mereka memilih tempat duduk yang sedikit dekat ke arah pojok ruangan. Hon memesan mi ayam dan Gustang memesan gado-gado. Belum lama pesanan mereka datang, segerombolan senior yang selalu menarik perhatian siswa-siswa lain mendatangi kantin. Edahn, seperti biasa, tidak pernah mengacuhkan hal-hal yang seperti itu. Dia akan terus makan. Berbeda dengan Hon, dia melambaikan tangannya. Yurin yang merupakan salah satu dari gerombolan itu membalas lambaiannya. Kemudian dia terlihat mengatakan sesuatu kepada ketiga temannya.

Setelah mereka memesan makanan, mereka berjalan mendekati meja Edahn dan teman-temannya.

“Hai. Bolehkah kami ikut duduk di sini?” Tanya Yurin. Gustang tercengang karena gerombolan orang keren di sekolahnya itu mendekati mejanya, Edahn fokus pada piringnya, tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya, hanya Hon yang masih waras dan mempersilakan mereka bergabung. Edahn baru sadar kalau ada tamu di meja mereka ketika seseorang duduk di depannya. Rambut kuning tertangkap pandangannya. Dia mendongak. Ketua OSIS itu.

Semenjak hari itu, Jahad selalu menjemput Edahn pagi-pagi. Merekapun berangkat bersama. Edahn tidak pernah terlambat lagi. Tetapi, selain ketika berangkat sekolah dan pulang sekolah apabila kebetulan berpapasan, dia tidak pernah berinteraksi dengan Jahad. Kedua kawannya pun tidak mengerti kalau dia sebenarnya saling kenal dengan ketua OSIS mereka.

“Yurin, bagaimana kalau kamu kenalkan mereka pada kami, dan sebaliknya?” Ucap perempuan di sebelah Yurin.

“Baiklah. Kalian pasti sudah tau Hon. Nah, yang di sebelah Hon adalah Gustang, dan di sebelahnya itu Edahn.” Edahn baru tahu kalau ternyata Yurin mengenal Gustang. Ah, pasti Hon memang suka bercerita tentang temannya. “Kalau yang di sebelahku ini Arlene. Dia ketua ekskul kesehatan. Di sebelahnya itu V. Dia ketua ekskul basket. Dan yang paling ujung, kalian pasti sudah tahu. Jahad, ketua OSIS.”

Pantas saja mereka mendapat banyak perhatian. Ternyata mereka adalah para petinggi. Percakapan mereka tersela datangnya pesanan Yurin dan teman-temannya.

“Bukannya tadi kamu sudah makan banyak? Mengapa nasi saya yang baru datang sama banyaknya dengan nasimu yang sudah dimakan?” Tanya Jahad pada Edahn. Edahn melirik, lalu mengangkat kedua bahunya.

“Aku pesan porsi untuk dua orang.”

Mereka menikmati makanan masing-masing, hanya Gustang yang masih tercengang karena bisa satu meja dengan orang-orang itu di kantin.

“Kamu yang sebelumnya sering terlambat itu, ya?” V bertanya pada Edahn, memecahkan keheningan. “Jarang sekali ada anak baru yang terlambat terus-terusan seperti kamu. Guru piket sampai memberi peringatan tegas pada OSIS untuk cepat mengatasi masalahmu. Tetapi Jahad selalu menenangkan kami, menyuruh kami menyerahkan urusan itu padanya. Padahal dia yang sering kena semprot. Dan sekarang dengar-dengar kamu tidak pernah terlambat lagi, ya? Tidak kusangka ternyata dia bisa mengatasi masalah ini.” Ujar V lalu tertawa. Jahad hanya mendengus.

Edahn kaget, tidak tahu kalau masalahnya sampai seserius itu.

“Eh? Maaf, aku tidak tau kalau ternyata seserius itu.” Edahn melirik Jahad yang sedang berkutat dengan nasi gorengnya. “Yah, dia memang yang membuatku tidak lagi datang terlambat ke sekolah.”

Perkataan Edahn membuat Hon dan Gustang saling lirik. Mereka tiba-tiba teringat monster kuning yang disebut-sebut Edahn di hari pertama dia tidak datang terlambat. Serentak, mereka melirik ke arah Jahad. Melihat rambut kuningnya, Hon dan Gustang langsung tergelak, tetapi berusaha ditahan. Tetap saja itu disadari oleh penghuni lain meja itu.

“Kenapa tertawa?!?!” Edahn yang merasa kalau dia ikut andil dalam sesuatu yang ditertawakan kedua temannya itu melemparkan pandangan curiga kepada para pelaku. Hal itu membuat tawa Hon dan Gustang meledak.

“Oh, jadi monster kuning alasan kenapa kamu tidak terlambat yang kamu bilang waktu itu ternyata senior kita.” Kata Hon di sela-sela tawanya. Jahad menoleh.

“Apa kamu bilang?” Tanya Jahad. Wajah Edahn memerah mengetahui dirinya tertangkap basah memanggil Jahad monster kuning. Jahad mengalihkan pandangannya ke arah Edahn. “Siapa yang kamu bilang monster?”

Mengetahui maksud dari pembicaraan yang sedang terjadi, Yurin, Arlene, dan V ikut tertawa bersama Hon dan Gustang. Membuat wajah Jahad semakin masam.

“Menyuruh orang membersihkan sampah satu sekolah apakah namanya bukan monster?!” Otak tidak-mau-kalah Edahn yang suka menunjukkan eksistensinya di saat-saat terjepit mulai melancarkan aksinya.

“Kalau begitu, kamu memang harus mendapat perlakuan monster supaya jera. Buktinya setelah itu kamu tidak mengulangi lagi, kan!” Nada bicara Jahad ikut tinggi.

“Tetapi seharusnya lebih manusiawi, dong! Masa orang keren begini harus memungut sampah?!”

“Siapa yang keren?! Lalu siapa juga yang bilang memungut sampah itu bukan pekerjaan untuk orang keren?! Kalau kamu bilang saya monster, setidaknya saya tidak merendahkan pekerjaan orang dengan bilang itu tidak keren!”

Edahn yang menyadari dirinya tanpa sadar sudah membuat opini jelek tentang suatu profesi, berhenti menyerang Jahad dari sisi itu. Tetapi otaknya kebingungan. Kalau dia menyebut soal kemonsteran Jahad yang mengganggu rumahnya pagi-pagi, dia tidak mau teman-temannya tahu kalau dia dengan Jahad sudah sedekat itu. Dilihat dari perkataan V tadi juga sepertinya teman-teman Jahad tidak mengerti soal mereka selalu berangkat bersama. Kemudian dia teringat satu hal.

“Aku tidak bermaksud merendahkan! Hanya kamu saja yang tidak manusiawi! Dasar monster berkoyo!” Teman-teman Jahad saling toleh mengetahui fakta bahwa Edahn tahu soal kebiasaan Jahad itu. Mereka pun tersenyum penuh arti.

Jahad memandang Edahn penuh permusuhan. Edahn memandang balik dengan tak gentar.

“Bagus sekali Klub bela diri ada jadwal latihan hari ini.” Jahad memutuskan melanjutkan makannya. Edahn langsung curiga.

“Hahaha, sudah sudah. Jangan bikin perdebatan kecil jadi berlarut-larut.” Arlene melerai keduanya. “Tau tidak? Sebenarnya kami jarang duduk dengan orang lain di kantin karena Jahad selalu menolak. Tetapi secara mengejutkan, kali ini dia menyetujui. Sekarang aku tau kenapa.” Arlene tersenyum. Jahad asik sendiri dengan makanannya, tidak mengindahkan yang lain.


Seperti yang Edahn perkirakan, ketika mempraktekkan gerakan dimana junior berpasangan dengan senior, Jahad memilih untuk berpasangan dengannya. Untuk apalagi kalau bukan menyelesaikan perdebatan tadi siang. Dia sempat bingung, apakah akan melawan Jahad dengan mengerahkan tenaganya atau menahannya teringat kejadian minggu lalu. Tetapi ketika Jahad merasa Edahn sedikit menahan diri, dia memerintahkan agar Edahn mengeluarkan kekuatannya tanpa memikirkan kejadian yang lalu. Dia masih punya koyo, katanya.

Seperti sebelumnya juga, setelah selesai latihan Edahn membantu Jahad memasangkan koyo. Menghadapi punggung itu lagi. Memar minggu lalu sudah pudar. Selain itu semuanya masih sama. Punggung itu masih sekokoh waktu itu.

“… Edahn?” Suara Jahad menyentakkan Edahn dari lamunan. Dia baru menyadari kalau ternyata tangannya sudah bergerak tanpa sadar mengelus punggung Jahad. Dia langsung menarik tangannya. Wajahnya merah sekali.

ADUH, TANGAN BODOH! NGAPAIN KAMU PAKAI ASAL ELUS SEGALA?! BAGAIMANA INI, AKU MALU SEKALI!! SIAPAPUN TOLONG USIR AKU DARI DUNIA INI!!

Jahad memakai bajunya, lalu berbalik menghadap Edahn. Perbedaan tinggi mereka membuat Edahn harus mendongak jika mau bertatapan dengan Jahad, apalagi dengan jarak sedekat ini. Tetapi Edahn masih dirajai rasa malu, sehingga dia masih menunduk. Jahad menyentuh dagu Edahn, mengangkat wajahnya agar mereka bertatapan. Melihat wajah Edahn yang makin memerah, bibir Jahad menyunggingkan sedikit senyuman. Terbersit keinginan untuk menggoda Edahn lebih lanjut. Kemudian Jahad mendekatkan wajahnya ke wajah Edahn perlahan, menikmati perubahan reaksi yang ditunjukkan orang di depannya itu. Edahn menutup mata ketika wajah Jahad semakin dekat.

Jahad terkekeh.

“Kamu mau saya melakukan apa?” Edahn membuka matanya. Jahad sudah di posisi semula, tetapi masih memegang dagunya. Mengetahui dirinya dipermainkan, Edahn mendorong tubuh Jahad, memperlebar jarak mereka.

“Apa yang kamu maksud, sialan?!” Teriak Edahn dengan wajah yang masih memerah. Jahad hanya menaikkan sebelah alisnya dan terkekeh. Jahad mengambil tasnya, diikuti oleh Edahn. Mereka pulang bersama.


Memandangi langit-langit kamar kini sudah menjadi kebiasaan bagi Edahn. Kejadian di hidupnya belakangan ini sangat baru untuknya. Biasanya hidupnya sangat stabil. Menjalani rutinitas harian biasa dan menjadi keren, selalu seperti itu. Sejak dulu tidak pernah ada sosok yang bisa menjungkirbalikkan hatinya, entah karena terlalu kesal atau terlalu senang. Dia menganggap hidup yang dijalaninya itu adalah hidup yang bahagia.

Sekarang, dia mendapati seseorang memasuki hidupnya yang bahagia itu, membuatnya selalu menjadi orang bodoh, menodai figur kerennya, membuat sensasi aneh beberapa kali muncul, dan membuatnya malu karena tubuhnya bergerak tanpa dia kendalikan. Sungguh Edahn merasa kesal. Terlebih karena Edahn menyadari kalau tadi pertama kalinya dia mendengar namanya keluar dari mulut orang itu, ketika Edahn tanpa sadar menyentuh punggungnya. Sialnya dadanya bergemuruh tak tahu malu. Seumur hidupnya, tidak pernah dirinya merasa semalu hari ini. Bayangkan saja, biasanya dia akan berdoa agar alam semesta tidak kehilangan orang bercahaya seperti dia. Tetapi tadi dia malah berdoa agar dilenyapkan dari sini. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir bahwa alam semesta tidak akan kehilangan orang ganteng seperti dia?

Perjalanan pulang tadi diisi oleh keheningan. Edahn masih sebal dengan kejadian-kejadian antara dia dan Jahad hari ini, dan Jahad tidak mau mengusik Edahn. Kali ini juga Edahn tidak bertemu dengan ibu Jahad di perjalanan pulang. Ketika sampai di depan rumah Jahad, tida-tiba Jahad membuka pembicaraan.

“Kamu biasa sarapan dengan apa kalau pagi?” Edahn memiringkan kepalanya, kebingungan tiba-tiba ditanya seperti itu.

“Satu lembar roti.” Jawab Edahn. “Dan susu kalau tidak lupa beli.”

Jahad hanya mengangguk lalu masuk ke dalam rumahnya. Edahn masih terbengong dengan tingkah Jahad barusan. Beberapa menit kemudian dia beranjak pulang ke rumahnya.

Edahn tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tetapi dia yakin, perilaku Jahad padanya akan terus menariknya dari kehidupan yang stabil itu.

Chapter Text

Hari Senin sangat menyebalkan. Edahn yakin, banyak orang yang akan setuju dengannya soal hal ini. Hanya pada hari Senin, Jahad harus menelepon Edahn berkali-kali dan menunggu lama di depan rumahnya karena Edahn yang tidak kunjung bangun. Akhirnya pintu rumah itu terbuka, menampilkan sosok kusut berseragam sekolah yang masih mengantuk.

“Kamu tidak mandi?” Tanya Jahad.

“Enak saja!” Edahn masih mengantuk sehingga malas untuk berdebat.

“Kalau sudah kenapa masih mengantuk begitu?”

“Terserah mataku dong mau bagaimana.”

“…”

Setelah Edahn mengunci pintu rumah, Jahad menyodorkan tas jinjing padanya. Edahn terbengong.

“Ambil ini.” Jahad masih menunggu Edahn menerima pemberiannya.

“Apa itu?”

“Sarapan. Ibu saya yang membuatnya.”

“T-tapi kenapa?” Edahn bingung sekali tiba-tiba diberi sarapan seperti ini. Matanya sampai lupa kalau dia masih mengantuk.

“Ambil dulu.” Edahn menerima tas itu lalu memasukkannya ke dalam tas sekolah. “Waktu itu ibu saya bertanya soal orangtuamu yang tidak pernah terlihat ketika pertemuan RT. Saya jawab setahu saya, yaitu kamu memang tidak tinggal bersama orangtuamu. Lalu dia menanyakan bagaimana sarapanmu setiap pagi. Itu sebabnya saya bertanya kemarin. Setahu saya, makanmu itu banyak. Jadi pasti kamu masih kelaparan kalau hanya sarapan dengan roti.”

Edahn tiba-tiba berhenti, mematung. Dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak menyangka ada orang lain yang peduli seperti itu padanya. Orangtuanya sendiri bahkan tidak pernah bertanya apa sarapannya setiap pagi. Jahad yang menyadari Edahn tidak berada di sisinya berhenti dan berbalik.

“Ada apa?” Tanya Jahad.

Sialan! Bagaimana ini? Aku tidak boleh kelihatan mellow.

“Darimana kamu tau kalau makanku banyak? Makanku tidak sebanyak itu, kok!”

“Waktu kita satu meja di kantin.” Jahad menaikkan sebelah alisnya. Jahad berbalik dan melanjutkan jalannya. “Ayo jangan berhenti. Nanti terlambat.”

“Hei! Itu hanya karena akan ada latihan klub. Dan karena aku sedang lapar sekali, sih. Itu kebetulan saja!” Edahn mengikuti Jahad, mulai berjalan.

“Tetap saja. Orang yang makan sebanyak itu pasti karena sudah berbakat makan banyak.”

“APA-APAAN ITU BERBAKAT MAKAN BANYAK?!” Jahad terkekeh. Semilir angin pagi menerpa rambut kuningnya. Posisi wajahnya yang tepat di bawah cahaya matahari jika dilihat dari tempat Edahn membuat wajah yang biasanya dingin itu menjadi sangat memesona. Edahn cepat-cepat menyadarkan dirinya agar tak terhanyut dalam lamunan konyol itu lagi.

“Jahad.” Edahn menghentikan langkahnya lagi. Jahad menoleh pada Edahn, ikut berhenti. “Terima kasih banyak.”

Bibir Jahad terangkat sedikit. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambut Edahn. Kemudian dia melanjutkan jalannya. Meninggalkan Edahn yang terpaku untuk kedua kalinya. Senyuman tipisnya itu, yang tidak pernah terlihat selama ini, tertangkap pandangan Edahn. Tetapi kekacauan terbesar disebabkan oleh sentuhan Jahad di kepalanya tadi. Perasaan ini lagi.


Hon dan Gustang sudah sampai kelas lebih dulu dari Edahn. Edahn melihat jam. Masih ada waktu 10 menit hingga bel masuk. Dia memutuskan untuk membuka sarapan dari ibu Jahad. Edahn terkejut karena itu adalah paket makan lengkap dengan buahnya. Edahn senang karena ibu Jahad memberinya buah anggur, buah kesukaannya. Pasti Jahad benar-benar bilang ke ibunya kalau perut Edahn ini monster. Edahn mendengus. Tanpa membuang waktu lagi, dia melahap makanan itu. Rasanya sudah lama sekali dia tidak memakan masakan rumah. Terakhir kali sewaktu dia duduk di bangku SMP, ketika sedang main ke rumah temannya.

“Tumben sekali kamu bawa makan dari rumah.” Hon baru datang dari luar kelas, kembali ke tempat duduknya. Edahn hanya membalas dengan mengangkat kedua bahu, tetap fokus pada makanannya.

“Pasti ada hubungannya dengan monster kuning itu, Hon.” Cetus Gustang yang sudah berbalik menghadap meja Edahn dan Hon. Mereka berdua tertawa. Edahn hanya mendengus tanpa membiarkan agenda makannya terjeda.

“Wah, dia tidak menyangkal. Sepertinya prediksimu tepat, bro.” Tawa mereka makin kencang.

“Kalau kalian tidak bisa diam, lebih baik pergi sana!”

“Bahaya ini, bro. Anggota Klub bela diri sudah marah. Kita harus berhati-hati.” Tawa mereka masih berderai.

“Jahat sekali kalian. Padahal aku ingin mengajak kalian makan gratis besok. Kalau begini lebih baik tidak jadi saja, deh.” Edahn sudah menyelesaikan makannya. Dia membereskan kotak makan itu.

“Tega sekali kamu kalau tidak bagi-bagi makanan gratis pada kami.” Gustang yang radarnya selalu menangkap kata gratis dengan sangat cepat itu sudah menghentikan tawanya.

“Benar sekali. Sangat tidak setia kawan.” Sahut Hon. “Memangnya makan apa? Dimana?”

“Kalian tau kedai es krim di dekat sekolah tidak? Kemarin aku dapat tiga voucher es krim untuk besok. Tadinya aku mau mengajak kalian, tetapi sepertinya aku ingin mempertimbangkan lagi.” Jawab Edahn. Dia tidak akan memberikan voucher itu dengan mudah pada dua jahanam itu.

“Yah, apa hanya berlaku untuk besok? Besok aku ada latihan basket.” Hon kecewa.

“Aku juga ada urusan penting.” Kata Gustang.

“Kan kamu bisa bolos. Hanya satu hari saja. Kalau kamu, kacamata, sepertinya memang bukan takdirmu dapat es krim gratis. Huahahaha.” Gustang memicingkan matanya, memberikan pandangan mengintimidasi pada Edahn.

“Tidak bisa! Besok itu kami akan latihan bersama anak cheers. Aku tidak boleh melewatkannya.” Ujar Hon.

“Dasar bucin. Ya sudah. Voucher mana bisa kita ubah-ubah tanggalnya. Memang amalan kalian kurang banyak jadi tidak bisa merasakan es krim enak gratis. Lebih baik aku habiskan sendiri saja. Hahaha. Karma instan, bro.” Hon dan Gustang mendengus.


Sepulang sekolah, kebetulan Edahn berpapasan dengan jahad. Akhirnya mereka pulang bersama. Edahn merasa sedikit canggung mengingat kejadian pagi tadi. Dia berharap wajahnya tidak memerah ketika mengingat itu. Tetapi Jahad terlihat biasa saja. Mungkin memang dia tidak menganggap kejadian itu sesuatu yang luar biasa.

“Apakah makanannya habis?” Tanya Jahad. “Kemarikan kotak bekalnya agar besok ibu bisa membuatkan sarapan lagi.”

“Eh? Lagi?” Edahn terkejut. “Tidakkah itu merepotkan? Lagipula niatnya aku akan mencuci kotak makan ini dulu.”

“Tidak perlu. Sini. Berikan saja.” Jahad menadahkan tangannya. Tidak ada pilihan lain, Edahn mengambil tas bekal di dalam tas sekolahnya dan memberinya pada Jahad. Edahn bingung, tidak tahu harus berkata apa. Tiba-tiba dia teringat voucher es krim yang ditolak dengan terpaksa oleh teman-temannya.

Yah, mungkin ini bisa jadi ucapan terima kasih.

“Um, Jahad. Besok sepulang sekolah apakah kamu ada waktu?”

Jahad menoleh, mengerutkan kening.

“Memangnya kenapa?”

“Jawab dulu.”

“Beritahu dulu.”

SIAAAL!! Setelah semua kebaikannya, anak ini tetap saja menyebalkan! Dasar keras kepala!

“Aku punya voucher es krim gratis varian apa saja di kedai es krim dekat sekolah, berlaku untuk besok. Aku sudah mengajak Hon dan Gustang tetapi mereka tidak bisa. Kalau besok kamu tidak sibuk dan kamu mau meluangkan waktumu, kita bisa makan di kedai es krim itu.” Jahad terlihat berpikir.

“Bisa saja.”

“Oke. Besok sepulang sekolah, ya. Jangan lupa.” Jahad mengangguk.

Ketika mereka sampai di depan rumah Jahad, kebetulan ibu Jahad sedang mengerjakan sesuatu di taman rumah mereka. Edahn menggunakan kesempatan ini untuk berterimakasih kepada ibu Jahad. Ibu jahad juga mengatakan soal akan membuatkan sarapan untuknya lagi besok. Edahn berusaha menolak dengan halus karena dia merasa tidak enak jika merepotkan. Tetapi ibu Jahad memaksa. Ternyata ibu Jahad memang suka memasak. Dia jadi senang karena ketambahan menyiapkan makanan. Edahn tidak bisa menolak lagi. Akhirnya dia mengiyakan lalu izin pamit dan kembali ke rumahnya. Hati Edahn terasa hangat karena mendapatkan kasih sayang seperti itu.


Perasaan hangat itu hanya bertahan sampai ritual sebelum tidurnya dimulai. Tadi ketika mengajak Jahad ke kedai es krim, yang ada ada dibenaknya hanyalah ucapan terima kasih. Dia bahkan bangga pada dirinya bisa memikirkan ide cerdas itu. Tetapi di ritual ini, dia baru terpikir hal-hal yang lainnya.

Dia akan di sana bersama Jahad, hanya berdua. Ha-nya-ber-du-a.

Wajah Edahn memerah ketika dirinya sampai pada pemikiran bahwa itu terlihat seperti kencan. Apakah tadi dia terlihat seperti orang yang mengajak kencan? Serta-merta Edahn panik, akankah suasana nanti menjadi canggung? Kalau diingat-ingat, Jahad adalah orang yang dingin. Mereka tidak pernah hanya berdua dalam waktu yang lama. Percakapan di antara mereka juga bukan percakapan yang mudah mengalir seperti kalau Edahn berbicara dengan Hon. Bagaimana kalau dia baru saja membuat perangkap pada dirinya sendiri di situasi yang tidak mengenakkan? Tiba-tiba dia berpikir kalau ide yang tadi siang terasa sangat cemerlang ternyata adalah ide paling buruk.

Ah, sadarlah, Edahn. Mana mungkin Jahad akan berpikiran seperti itu. Ini hanya ajakan untuk seorang teman. Ya. Dia tidak akan berpikir lebih dari itu. Siapa pula yang akan berpikir ajakan seperti ini adalah ajakan kencan?! Dasar otak ini! Harusnya keren sedikit dong kalau bekerja di tubuh yang keren ini!

Tetapi otak Edahn jadi berpikir lagi. Bagaimana bisa gagasan kencan itu singgah di pikirannya? Kencan kan hanya dilakukan oleh orang yang memiliki perasaan pada yang lainnya. Wajah Edahn memerah lagi ketika memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada dirinya.


Tadi pagi Jahad benar-benar membawakan sarapan lagi untuknya. Edahn benar-benar merasa sangat berhutang budi pada Jahad dan ibunya. Saat ini, sesuai janji, Edahn sedang menunggu Jahad di sebelah gerbang sekolah. Dia memilih tempat yang tidak begitu terlihat, karena dia tidak ingin banyak yang tahu kalau dia pergi dengan ketua OSIS. Dia sudah mengirim foto posisi dia menunggu kepada Jahad lewat chat. Jahad bilang ada yang harus diurus terlebih dahulu, jadi dia agak terlambat. Edahn hanya berharap dia tidak menunggu terlalu lama.

Setelah 10 menit menunggu, sebuah suara menyapanya.

“Maaf, yang tadi itu masalah mendadak, jadi saya tidak tahu sebelumnya.” Kata Jahad.

“Tidak masalah. Apa sudah selesai masalahnya?”

“Yah, sudah ditangani oleh penanggungjawabnya. Ayo kita pergi.”

Mereka berjalan beriringan menuju kedai es krim. Ketika mereka masuk, pegawai kedai itu menyapa Edahn.

“Selamat datang, Edahn. Kali ini kamu membawa teman?” Sapa pegawai kedai ramah.

“Uh, ya. Dia seniorku, sih.” Jawab Edahn. “Jun, kali ini aku pakai voucher yang kemarin, ya.”

Edahn mengeluarkan tiga lembar voucher dari kantung celananya.

“Baik. Mau pesan apa?” Mereka menyebutkan pesanan mereka. Edahn sudah pasti memilih es krim rasa anggur, Jahad memilih es krim rasa coklat, dan untuk voucher ketiga, mereka memilih es krim yang sedikit besar karena itu untuk berdua. Setelah memesan, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela, duduk berhadapan.

“Itu tadi voucher apa? Aneh sekali, biasanya kedai-kedai tidak memberi voucher yang benar-benar apa saja gratis. Bukankah mereka akan rugi kalau kita tadi pesan yang paling mahal?” Tanya Jahad heran.

“Entahlah. Jun bilang, itu voucher karena aku sering ke sini. Mungkin memang voucher seperti itu hanya untuk pelanggan setia.” Jawab Edahn. Sebenarnya dia tahu alasan lain selain itu. Tetapi dia tidak ingin Jahad mengetahui tentang dirinya, jadi tidak dia beritahu.

“Mungkin saja. Tetapi setahu saya kedai ini milik korporasi keluarga Khun. Biasanya yang mengeluarkan diskon murah hati begitu hanya kedai milik perseorangan. Apalagi karena ini perusahaan mereka. Kamu pasti tahu, hal yang begini itu sedikit mustahil”

“Oh ya? Aku tidak tau. Yah, sedikit mustahil bukan berarti tidak mungkin, kan?” Untungnya percakapan mereka diinterupsi oleh datangnya es krim pesanan mereka. Edahn langsung mengganti arah pembicaraan. “Apa kamu suka es krim?”

Jahad mengerutkan keningnya. “Kalau saya tidak suka, sekarang saya tidak akan berada di sini.”

Edahn mendengus. Jawab yang benar kan bisa. Kenapa harus sarkas begitu, sih?! Dasar benar-benar menyebalkan!

“Habisnya kamu tidak terlihat seperti orang yang suka es krim.” Meski sebal, Edahn tetap melanjutkan percakapan karena apa lagi yang akan dia lakukan kalau obrolan terputus. Jahad mengerutkan kening lagi.

“Maksudmu?”

“Jiwamu, maksudku, dari sikapmu, kepribadianmu itu seperti orang yang suka minuman yang berat, seperti kopi. Pahit, hitam, pekat. Bandingkan saja dengan aku. Kalau aku terlihat sekali pecinta es krim karena aku manis, lembut, ceria, bersahaja, riang gembira, pokoknya keren banget!” Jawab Edahn. Dia sudah tidak peduli kata-kata yang keluar dari mulutnya apakah akan membuat pertarungan berikutnya di latihan Klub selanjutnya atau tidak. Jahad menyebalkan, dia pantas mendapat itu. “Jangan tersinggung, ya, aku hanya berkata berdasarkan fakta yang ada.”

Di luar dugaan Edahn, Jahad tidak menggerung atau mengamuk. Dia malah sedikit terkekeh sambil mendengus pelan.

“Label yang sering saya terima itu dingin. Bukannya saya lebih cocok disandingkan dengan es krim? Kamu belum pernah merasakannya juga, kenapa sudah bilang pahit? Dan klaim yang kamu berikan untuk dirimu itu berbeda sekali dari yang saya lihat. Kamu itu selalu menekuk wajahmu, bersungut-sungut, tidak peduli, atau berteriak. Lembut dan manis darimana?” Jawab Jahad. Lalu dia mengangkat tangannya dan menggerakkannya ke pipi Edahn, lalu jarinya menarik samping bibir Edahn sampai membentuk senyuman. “Kalau mau manis, kamu harus sering tersenyum seperti ini.”

Edahn mematung.

Untuk kesekian kalinya.

Karena Jahad.

Dia masih mematung sampai tangan Jahad kembali ke tempatnya. Edahn sudah tidak tahu apakah wajahnya memerah atau tidak. Dia sudah menemukan kata-kata untuk membalas Jahad. Tetapi, perlakuannya itu membuat kata-kata itu tercerai-berai di pikiran Edahn.

“Ap- Kamh- He- Es- Sprt- Batu…” Mulut Edahn meracau tak jelas. Racauan itu diikuti suara tawa yang keras dan lepas, membuat Edahn kembali mematung. Tawa itu berasal dari Jahad.

“Hahahahahahaha. Kamu tidak lihat mukamu tadi! Hahaha. Lalu kamu gagap begitu seperti orang bodoh! Huahahahahahaha. Lucu sekali! Aduh, sayang sekali aku tidak merekam tadi! Ahahahaha aduh perutku!” Edahn tidak terlalu mempedulikan perkataan Jahad. Yang menjadi fokus Edahn adalah tawanya.

Tawa Jahad.

Jahad yang tidak pernah tersenyum, kini tertawa lebar di depannya.

Dia, membuat Jahad tertawa lepas.

Tanpa Edahn sadari, dia ikut tersenyum. Dia menikmati pemandangan di depannya, Jahad yang masih terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya. Dia menunggu hingga tawa itu habis, tidak mau mengganggu momen itu.

Akhirnya, setelah entah berapa lama, tawa Jahad berhenti. Dia mengambil napas dalam sambil menyeka matanya. Edahn yang tengah memandanginya sambil berpangku tangan terkekeh.

“Sudah puas tertawanya?” Tanya Edahn. Jahad tersenyum. Sepertinya otot wajahnya menjadi lebih kendur setelah tertawa tadi. Buktinya dia bisa tersenyum dengan mudah.

“Sudah. Maaf, ya. Habis kamu lucu sekali.”

“Tidak apa-apa. Memangnya apa sih yang buat kamu tertawa sampai segitunya?”

“Aduh, aku jadi ingin tertawa lagi kalau meningatnya. Wajahmu tadi. Awalnya pias sekali sampai saya kira kamu mau pingsan, lalu beberapa saat berangsur-angsur merah, menjalar dari bawah ke atas. Lucu sekali! Belum lagi kamu malah gagap waktu bicara. Saya benar-benar berharap kalau saya merekamnya tadi.” Terang Jahad dengan beberapa kali disela oleh tawa kecil.

“A-APA?! Memangnya tadi seburuk itu?!” Edahn tidak menyangka kalau dirinya sekacau itu.

“Iya! Memangnya tadi kamu mau ngomong apa, sih?”

“Ah? Oh! Aku tadi mau bilang kalau kamu itu lebih mirip es batu daripada es krim! Iya, sih, dingin. Tapi hambar!”

Jahad terkekeh.

“Hambar? Sudah saya bilang, kamu bahkan belum merasakannya.”

“M-merasakan? Apa?” Edahn benar-benar berharap maksud Jahad tidak seperti apa yang dia pikirkan.

“Hm? Apa yang kamu pikirkan?” Jahad terkekeh lagi.

“APA?! AKU TIDAK MEMIKIRKAN APA-APA!” Kali ini Edahn yakin wajahnya memerah. Edahn benci sekali situasi ini. Jahad tidak berhenti menggodanya.

Kekehan Jahad terhenti ketika wajahnya terlihat menyadari sesuatu. Lalu dia menegakkan badannya, menengok ke sekeliling arah, memantau sesisi kedai. Setelah selesai, wajahnya terlihat tenang kembali.

“Ada apa?” Tanya Edahn.

Jahad menggeleng.

“Tidak ada. Hanya penasaran apakah ada anak sekolah kita di sini.” Gantian Edahn yang terkekeh.

“Kakak ketua OSIS tidak ingin terlihat tertawa terbahak-bahak hm?” Jahad hanya mendengus.

Es krim masing-masing mereka sudah habis. Kini waktunya mereka makan es krim ketiga. Karena disentuh terakhir, es krim itu sudah sedikit mencair di beberapa tempat.

“Kamu biasa ke sini sendirian?” Tanya Jahad. Edahn mengangguk tanpa melepaskan pandangannya dari es krim. “Selama ini kamu tidak pernah dilihatin sama orang lain?”

Kata-kata Jahad membuat Edahn menghentikan makannya dan menghela napas sedikit berat. Lalu dia berkata dengan gaya sok kerennya.

“Yah, memang sih sekarang jarang sekali orang yang berani ke luar, makan di tempat sendirian, karena sering dapat pandangan mencemooh dari orang lain. Tapi maaf saja, ya, jangan samakan aku dengan orang seperti itu. Aku tidak keberatan dengan hal itu, karena aku sudah biasa dilihatin orang karena aku keren. Lagipula pasti mereka tidak akan berpikir macam-macam untuk orang sekeren aku. Jadi, ya, kamu tau, aku sama sekali tidak masalah dengan itu.” Edahn menyudahi narasinya dengan mengangkat kedua bahunya, menambah kesan sok keren.

Di luar dugaan, yang Edahn dapatkan adalah tawa kecil Jahad.

“Padahal bukan itu maksud saya.” Lagi-lagi dia mengangkat tangannya, mengarahkan ke wajah Edahn. Edahn yang sudah berpengalaman langsung menjauhkan wajahnya. Tetapi Jahad tidak mau kalah, dia menjulurkan tangannya semakin panjang. Lalu dia mengusap titik di sekitar bibir Edahn, lalu menghisap jarinya dan terkekeh. “Makanmu belepotan begitu, pasti banyak yang melihat ke arahmu.”

Ternyata es krim yang sedikit mencair tadi mampir ke sekeliling bibir Edahn. Lagi-lagi Edahn mematung. Matanya terpaku pada jari Jahad yang tadi dihisapnya. Edahn akui gerakan tadi itu sangat seksi, terutama karena dilakukan oleh Jahad.

“Apa wajahmu tidak lelah dari tadi memerah terus?”

Edahn sudah tidak tahu bagaimana bentuk mukanya sekarang. Yang dia tahu saat ini hanya rasa malu. Rasa malu yang begitu besar. Rasanya dia ingin teriak sekencang-kencangnya. Edahn tidak tahan, ingin segera berlalu dari hadapan Jahad agar dia bisa berhenti bertingkah memalukan. Edahn tahu pasti, harga dirinya sudah sangat anjlok di hadapan Jahad. Dia memakan es krimnya dengan cepat agar bisa cepat pulang.


Jahad dan Edahn berjalan dilatari senja. Ketika sampai di tempat mereka akan berpisah, Jahad menarik lengan Edahn, menahannya sebentar. Edahn menoleh.

“Terima kasih untuk hari ini. Terima kasih untuk es krimnya.” Jahad menghela napas sebentar. “Terima kasih untuk tawanya.”

Edahn bersumpah dia melihat Jahad tersenyum tadi. Yah, sebenarnya dia masih malu. Tetapi dia tetap membalas senyum itu.

“Sama-sama.” Lalu jahad melepas tangannya dan Edahn berlalu menuju rumahnya.

Edahn masuk ke kamarnya, menutup pintu dan duduk bersandar pada pintu. Dia berteriak sambil memukul-mukul kepalanya. Dia tahu kejadian yang sudah berlalu tidak bisa diapa-apakan lagi, jadi dia berharap dia bisa melupakan kenangan memalukan ini. Serius, dia sulit sekali hidup dengan dihantui rasa malu seperti ini. Dia bahkan tidak berani menghitung berapa kali dia mempermalukan diri hari ini.

Edahn beranjak dari tempatnya menuju kamar mandi. Di bawah guyuran shower dia tidak bisa berhenti memikirkan tawa Jahad tadi. Edahn benci mengakuinya, tapi dia sangat menawan. Lalu pikirannya terus mengembara sampai tiba di adegan dia meracau dengan sangat percaya diri tetapi yang Jahad bicarakan ternyata malah soal es krim yang menempel di mulutnya. Jahad menghisap jarinya.

Duh, Tuhan, kenapa dia terlihat seksi sekali?

Edahn menyelesaikan mandinya dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Dia tidak sempat membeli makanan dan tidak lapar juga. Kali ini dia kembali melakukan ritual menatap langit kamar sebelum tidurnya. Edahn pusing, dia merasa kesal dan malu, tetapi dia juga bahagia.

Sebelum tidur, terbersit pikiran di otaknya. Dia tidak jadi ingin menghapus ingatan tadi. Dia ingin ingatan itu bersemayam selamanya di dalam kepalanya.

Chapter Text

Mereka sudah berada di pertengahan semester. Banyak keadaan yang sudah berubah dibandingkan dengan awal semester. Pertemanan Edahn, Hon, dan Gustang yang semakin erat, hubungan Hon dan Yurin yang semakin dekat, mereka bertiga yang sedikit sering duduk di kantin dengan gerombolan famous Yurin, Edahn yang lebih dikenal dan kini digandrungi para wanita, banyak sekali. Yang masih sama adalah interaksi Edahn dengan Jahad. Bukan berarti tidak baik, tetapi mereka tetap seperti itu saja. Satu-satunya yang berkembang dari interaksi mereka berdua adalah perasaan nyaman Edahn pada Jahad yang semakin merajai diri Edahn. Edahn sudah melalui masa-masa denial. Dia terlalu pandai untuk dikelabui dengan sugesti kalau itu hanya rasa yang biasa. Yang bisa Edahn lakukan hanya menerima dan menyimpannya. Dia tahu dia harus menyimpan ini rapat-rapat, atau kenyamanannya akan hilang. Dia tidak mau Jahad menjauh karena risih terhadapnya.

“… Edahn?” Edahn tersadar dari lamunannya karena sebuah colekan di lengannya.

“Ada apa?”

“Kamu tidak dengar kami ya?” Tanya Hon.

“Sepertinya primadona kita sedang banyak pikiran Hon.” Timpal Gustang.

“Apa sih yang sedang dipikirkan? Paling-paling sesuatu yang tidak penting.”

“Tidak penting untuk kita belum tentu tidak penting juga untuk dia, Hon. Bisa jadi dia sedang berpikir soal kaus kaki mana yang akan dia pakai besok agar bisa tampil prima di depan cewek-cewek yang mengejarnya” Tawa mereka berderai. Edahn kesal sekali ketika dirinya menjadi bulan-bulanan kedua temannya seperti ini.

“Kawan-kawanku yang budiman, aku ini sudah keren dari lahir, jadi tidak perlu memikirkan hal remeh seperti itu. Lain kali cari bahan lain, ya.” Edahn berkata sambil memasang muka semanis yang dia bisa. Kedua temannya langsung memasang wajah ingin muntah. “Memangnya ada apa, sih? Apa yang membuat kalian mengganggu lamunan indah seorang Edahn?!”

“Sebentar lagi Yurin ulang tahun. Kita bertiga diundang. Kamu bakal datang sama siapa?” Hon memberitahu.

“Wah, Gustang. Aku tidak menyangka Yurin bisa menganggapmu sebagai teman dekat sampai-sampai mau mengundangmu ke pestanya.” Ujar Edahn.

Gustang menaikkan alisnya kebingungan. “Kalian kan diundang juga. Bukan aku saja.”

“Heheh. Aku kan memang orang keren, jadi pasti dia tidak mau melewatkan kesempatan untuk mengundangku. Lalu Hon adalah pacarnya, jadi sudah pasti diundang.” Jawab Edahn dengan seringainya. Gustang menimpuk Edahn dengan botol minum.

“BUKAN PACAR KOK!” Hon sibuk memerah malu karena disebut sebagai pacar Yurin. Memang mereka belum pacaran, sih. Edahn sudah gemas sekali padanya karena tidak segera bergerak.

“Hon, aku serius. Aku tidak mau menampung kegalauanmu kalau sampai Yurin diambil sama cowok lain.” Edahn memasang tampang seserius mungkin.

“Mau bagaimana lagi, Edahn? Dia kan masih takut lewat ke koridor kelas 11. Masa iya sih sudah pacaran tapi selalu disamperin cewek? Gengsi!” Gustang beralih ke pihak Edahn. Gantian Hon meninju kedua temannya yang menertawakannya.

“Aku serius bertanya. Kamu akan datang sama siapa, Edahn? Orang keren pasti tidak datang sendiri, kan?” Hon mengulang pertanyaannya dan menggoda Edahn.

“Bukannya sudah jelas sama kalian?”

“Aduh, masa yang begini tidak paham juga, sih?” Hon gemas. “Maksudku pasangan! Masa tidak bawa pasangan?!”

“Memangnya harus, ya?” Sebenarnya di pikiran Edahn muncul seseorang.  Tetapi Edahn berusaha keras menepisnya karena itu adalah suatu kemustahilan. “Kacamata, kamu bakal datang dengan pasangan?”

Gustang mendengus dan membuat Edahn menjawab sendiri pertanyaannya.

“Ah, benar. Kamu kan jomblo juga.” Edahn menyeringai.

“Kamu juga sama saja, jadi jangan saling meledek.” Kata Hon.

“Beda! Aku jomblo tapi keren, kalau dia jomblo saja.”

Gustang sudah membuka mulut untuk membalas perkataan Edahn tetapi diinterupsi oleh kedatangan guru.


Pesta ulang tahun Yurin dimulai malam hari. Perdebatan beberapa hari silam berakhir dengan Edahn datang ke pesta bersama Gustang. Rumah Yurin lumayan jauh dari sekolah, sehingga Edahn perlu naik kendaraan untuk sampai sana. Dia memilih naik motornya. Karena rumah Gustang berada di jalan yang dilewati Edahn untuk menuju rumah Yurin, maka Edahn yang menjemput Gustang.

Edahn sudah selesai berpakaian, melihat pada cermin penampilannya keseluruhan.

Perfect! It’s her birthday, but you’re the king tonight.” Edahn sangat puas pada penampilannya—seperti setiap saat dia becermin. Edahn melangkah menuju motornya dan memacunya ke rumah Gustang.

Sesampainya di rumah Gustang, terlihat Gustang sudah menunggu di teras rumahnya, berfokus pada ponsel di tangannya. Edahn akui malam ini Gustang pun terlihat sedikit keren. Tetapi yang paling keren tetaplah dirinya. Edahn turun dari motornya. Gustang berpamitan kepada orang rumahnya dan berjalan menghampiri Edahn, yang disambut dengan bungkukan badan dan uluran tangan.

“Po Bidau Gustang. Anda mendapat kehormatan untuk dibonceng oleh makhluk tertampan sejagat raya. Tersenyum dan berbahagialah karena anda adalah orang yang sangat beruntung di—“

TAK!

Gustang menjitak kepala Edahn.

“Cepat naik.” Gustang berkata dengan wajah datarnya. Edahn mendengus lalu menaiki motornya. Gustang naik, dan mereka melaju ke rumah Yurin.

Mereka sampai di rumah Yurin 10 menit kemudian. Gustang misuh-misuh sepanjang jalan karena cara Edahn mengendarai motornya yang terlalu barbar. Ketika mereka sampai di hadapan Hon, dia bertanya.

“Ada apa dengan kalian?” Tanya Hon.

“Lihat Hon, Gustang bahagia sekali bisa aku boncengi. Sampai-sampai di jalan tadi dia berpegangan pada pinggangku kencang sekali. Tidak mau lepas. Benar-benar ambil kesempatan dalam kesempitan!” Jawab Edahn yang langsung menjadi sasaran jitakan Gustang.

“Hon, dia ini menyetir seperti setan! Aku benar-benar berpikir nyawaku akan selesai malam ini! Pulang nanti aku tidak mau pulang dengan dia! Aku mau pulang denganmu saja, Hon!” Cecar Gustang yang sebenarnya jantungnya masih bertalu-talu. Hon tertawa.

Kemudian Hon mengajak mereka menemui yang mengadakan pesta, Yurin. Pestanya diselenggarakan di backyard rumah Yurin. Setelah menyapa dan memberikan kado yang dibawa, mereka mengambil tempat untuk menunggu pestanya dimulai. Edahn mengetahui ada yang tak beres dengan sobatnya, Hon, dan langsung menanyakan keadaannya.

“Hon, kamu terlihat tegang sekali. Ada apa?” Gustang ikut melihat ke arah Hon.

“Umm, aku, merencanakan sesuatu. Malam ini.” Jawab Hon. Semburat merah di wajah Hon tertangkap pandangan Edahn walaupun keadaan saat ini tidak begitu terang. Hal itu membuat Edahn mengetahui apa yang akan dilakukan sahabatnya.

“Wah, Hon, kamu akan melakukannya sekarang? Sungguh? Akhirnya.”

“Eh? Memangnya terlihat sekali, ya?” Hon menjadi kikuk.

“Kamu harus latihan menormalkan wajah saat tersipu dulu biar tidak ketahuan.” Edahn ingin tertawa melihat tingkah Hon, tetapi urung. Dia takut hal itu akan menyenggol mental Hon yang sekarang pasti sedang ada diambang batas. “Semoga berhasil, bro.”

Pesta ini tidak terlalu besar, jadi hanya yang dekat dengan Yurin saja yang datang. Tetapi ini tidak mengurangi rasa seram yang dirasakan Hon untuk mengajak Yurin berpacaran, karena junior di sini benar-benar hanya mereka dan beberapa junior Cheers yang dekat dengan Yurin.

Omong-omong, tadi Edahn melihat Jahad ketika menyapa Yurin. Dia, V, dan Arlene yang merupakan sahabat Yurin selalu berada di sebelah Yurin. Jahad selalu terlihat indah di mata Edahn. Tetapi malam ini, dia terlihat luar biasa. Mungkin karena Edahn biasa melihatnya dalam balutan seragam sekolah. Edahn akui rasa ini menyenangkan. Mendapati dirinya merasakan kebahagiaan hanya dengan melihat sosok yang didamba, dia sangat senang. Dia baru tahu kalau kebahagiaan bisa dirasakan semudah itu. Edahn tidak tahu bagaimana ujung dari rasa ini. Tetapi dia bersyukur sudah diberi kesempatan untuk merasakannya. Ahh, hal ini memunculkan sebuah ide di kepalanya. Ya, malam ini dia akan melakukan sesuatu.

Tidak lama, pestanya dimulai. Hon melancarkan aksinya di waktu yang menurutnya tepat. Sebenarnya Edahn sedikit terbawa kegugupan Hon juga. Edahn yakini itu karena dia akan terkena imbasnya kalau Hon ditolak—yaitu menjadi tempat curhat Hon, bukan karena perasaannya terhubung yang disebabkan eratnya pertemanan mereka. Edahn pun menghembuskan napas lega ketika Yurin dengan wajah merah jambu menerima Hon, tidak sadar kalau sejak tadi dia menahan napas. Edahn tidak akan menjelaskan ini dengan detail karena ini ceritanya, bukan cerita Hon dan Yurin.

Acara kebanyakan diisi oleh nyanyian dari penyanyi yang memang diundang sebagai pengisi acara. Tetapi kadang juga diselingi dengan penampilan dari tamu yang datang. Semenjak Yurin menerima Hon, tempat mereka bertiga jadi pindah ke dekat Yurin dan teman-temannya. Hal ini memudahkan Edahn untuk meminta izin pada Yurin secara diam-diam—agar tidak ada yang mendengar, soal rencananya. Tentu saja dia diizinkan.

Lalu ketika tiba waktunya, Edahn beranjak dari tempatnya menuju tempat yang menjadi pusat perhatian sejak tadi, menerbitkan pandangan bertanya dari kedua temannya. Edahn berkata sedikit pada penyanyi yang habis bernyanyi, lalu mengambil gitar akustik dan duduk pada bangku yang menghadap microphone. Inilah rencananya. Dia akan menyanyikan sesuatu.

Sosok Edahn yang sudah terdengar hingga kalangan senior membuat kebisingan yang tadi ada menjadi redup, semua penasaran dengan anak baru yang tiba-tiba digandrungi orang-orang itu. Edahn menghela napas sedikit, lalu mulai memetik gitar.

Got a tattoo said ‘together thru life’

Carved in your name with my pocket knife

And you wonder when you wake up will it be alright

Feels like there’s something broken inside

All I know

All I know

Is that I’m lost

Whenever you go

All I know

Is that I love you so

So much that it hurts

Edahn melantunkan lagu Ink milik Coldplay versi akustik dengan sepenuh hatinya. Dia memberanikan diri melihat ke arah Jahad yang tidak sulit dijangkamu karena dia masih berada di dekat Yurin.

Jahad sedang melihat ke arahnya. Fokus. Tak berkedip. Mereka saling pandang.

Edahn merasakan kehangatan di wajahnya. Dia mengalihkan pandangannya ke rerumputan di depannya lagi, takut menjadi gugup jika terus berpandangan seperti itu. Dia menyelesaikan lagunya.

I see the road begin to climb

I see your stars begin to shine

I see your colours and I’m dying of thirst

All I know

Is that I love you so

So much that it hurts

Selesai, Edahn mendapatkan riuh tepuk tangan yang disusul suara-suara jeritan karena dia menambahkan senyum andalannya sebagai penutup penampilannya. Dia kembali menuju tempatnya, di antara kedua sahabatnya yang langsung menyambutnya dengan dorongan-dorongan jahil.

“Wah, bro! Aku pikir kamu hanya mau tebar pesona biasa! Tapi tadi kamu bernyanyi sepenuh hati sekali sampai kelihatannya Gustang mau muntah! Kamu memberi lagu itu untuk siapa, sih? Masa tidak cerita-cerita kalau sudah ada gebetan!” Kata Hon sambil memukul-mukul punggungnya. Kedua temannya itu tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi hanya senyum yang tersungging di mulut Edahn. Lalu dia berkata sambil menyeringai.

“Rahasia.” Jawabannya membuat dia mendapat lebih banyak pukulan jahil dari kedua temannya.

Edahn tadi melihat sekilas kalau pandangan Jahad masih mengikutinya ketika dia berjalan ke tempatnya. Ah, Edahn tidak ingin memikirkan apa-apa. Dia ingin menikmati rasa senang yang membuncah di dalam tubuhnya ini tanpa gangguan.

Tanpa ada yang menyadari, ada satu orang yang tersenyum paling puas dan bahagia malam itu. Dia melihat ke arah Jahad dan Edahn ketika Edahn bernyanyi di depan, mengetahui chemistry yang tercipta di antara dua insan itu. Dengan bahagia, dia meraih tangan lelaki di sebelahnya dan menggenggamnya. “V, malam ini indah sekali.”


Edahn sedang berdua bersama Gustang ketika Jahad menghampirinya.

“Edahn.” Panggil Jahad. “Saya ingin memastikan perkataan Yurin tadi. Katanya tadi kamu berangkat dengan Gustang, dan pulang nanti Gustang akan bersama Hon jadi kamu sendirian?”

“Ah. Iya. Ada apa memang?”

“Saya ingin tanya, apa saya boleh ikut kamu pulang? Tadi saya ke sini dengan V dan Arlene, tetapi dari sini mereka ada rencana sendiri.”

“Oh. Boleh.” Jawaban Edahn menimbulkan pandangan curiga dari Gustang. Edahn langsung mengoreksi pemikiran temannya. “Rumah Jahad Cuma beda satu blok sama rumahku. Jadi bisa pulang bareng.”

“Hm, jadi Edahn ini tidak terlambat lagi karena berangkat bareng kakak?” Teman-teman mereka memang belum tahu perkara mereka selalu berangkat bersama.

Cih, sok-sokan sekali dia pakai panggil kakak.

“Iya. Habis kalau tidak begitu dia akan terlambat terus.” Jawab Jahad. “Ya sudah, Nanti kalau sudah mau pulang bilang, ya.”

“Oke.” Jahad berlalu meninggalkan Edahn dan Gustang. Tanpa Edahn sadari, berbagai macam asumsi bermunculan di kepala Gustang. Edahn sedang sibuk memikirkan tentang nanti dia akan memboncengi Jahad jadi tidak bisa mengawasi sekitarnya.


Ketika pesta selesai, Edahn, Hon, dan Gustang mendatangi Yurin—yang sudah pasti dikelilingi oleh Jahad, Arlene, dan V, untuk berpamitan.

“Terima kasih sudah datang, ya. Edahn, tadi kamu keren sekali, lho!” Kata Yurin sambil mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah matanya. Hon langsung sigap merespon.

“Itu bukan tindakan yang cerd—“

“Oh sudah pasti! Aku memang selalu keren, kan? Hanya tadi berkali-kali lipat lebih keren saja!” Edahn menyahut, memotong perkataan Hon sambil juga mengangkat jempolnya dan mengedipkan sebelah mata. Yurin tertawa.

“Hahaha. Tetapi sayang sekali ulang tahunku berada di hari sekolah begini. Padahal aku ingin mengajak kalian jalan-jalan, menginap di suatu tempat.” Kata Yurin.

“Hey hey, kalian itu maksudnya kami juga, kan?” V menyela.

“Tentu saja! Kita bertujuh!”

“Wah! Seru sekali!” Edahn menanggapi.

“Kalau tetap mau sih mudah saja. Nanti kalau liburan semester kan kita bisa pergi bersama.” Usul Arlene.

“Benar juga! Baiklah, nanti akan aku atur! Pastikan kalau kalian semua bisa ikut, ya. Awas saja kalau tidak!” Yurin terlihat bersemangat.

“Kacamata, kamu jangan culture shock begitu, dong. Baru pertama kali jalan sama orang keren, ya?” Gustang menyikut rusuk Edahn yang tertawa.

Mereka masih mengobrol sebentar, sekadar basa-basi, lalu berpamitan—yang dipenuhi oleh Gustang memperingatkan Jahad soal gaya menyetir Edahn. Hon dengan Gustang, Edahn dengan Jahad, berjalan ke tempat mereka memarkir kendaraan. Lalu mereka melaju menuju rumah masing-masing.

Kini Jahad dan Edahn ditemani hening dan angin malam. Edahn masih kebingungan, berpikir lebih baik dia menyetir seperti tadi ketika bersama Gustang atau lebih santai—agar bisa menghabiskan banyak waktu dengan Jahad. Tetapi karena sedang berpikir itu, cara menyetirnya jadi tidak sebarbar tadi. Akhirnya Edahn memutuskan untuk melanjutkannya tetap seperti itu.

“Sepertinya Gustang terlalu berlebihan.” Jahad menyudahi keheningan. “Cara menyetirmu tidak seburuk itu.”

“Hm?” Edahn menggumam. “Yah, tadi memang aku tidak menyetir seperti ini, sih.”

Terdapat jeda sejenak. “Kenapa?”

“Karena dia tadi menyebalkan waktu aku jemput! Jadi aku buat saja dia menjerit-jerit seperti anak perempuan. Hahaha.”

“Kekanakan.” Jahad menanggapi. “Seperti biasa.”

Edahn hanya mendengus. Senyap kembali menyusup di antara mereka.

“Sebenarnya, sekarang aku lebih suka mengendarai seperti tadi.” Giliran Edahn yang memecah kesunyian. “Soalnya, aku ingin kamu berpegangan padaku. Tetapi, aku tidak mau memperbesar peluang kamu terluka. Jadi lebih baik begini saja.”

Edahn tidak menyangka dirinya mengatakan itu. Mereka berdua terdiam, sampai tiba-tiba Jahad meletakkan tangannya di pinggangnya, berpegangan di sana.

“Sekarang tidak perlu lagi, kan?”

“I-iya.”

Edahn menarik napas dalam-dalam. Dia tidak boleh gugup—setidaknya jangan sampai terlihat gugup. Edahn ingin memejamkan matanya, mengukir memori ini kuat-kuat di ingatannya agar tidak pernah pudar, menikmati sensai momen ini. Tetapi dia harus tetap melihat ke depan agar mereka berdua tidak celaka.

“Hei.” Jahad memecah pikiran Edahn.

“Penampilanmu tadi bagus. Kamu benar-benar,” Jahad berhenti sejenak, mencari kata penggambaran yang tepat. “Sangat menghayati. Seperti, orang yang kamu berikan lagu itu ada di pesta tadi. Apa benar?”

Edahn hampir saja tersedak air liurnya sendiri.

“Ah, itu, y-yaa, b-begitulah.” Edahn harap bisingnya suara angin dapat menutupi kalimatnya yang tergagap. “Mm, terima, kasih?”

“Hm, begitu, ya. Saya tidak menyangka. Saya jadi penasaran bagaimana orang yang bisa merebut hati kamu.”

“Hahaha. Rahasia, dong.” Jantung Edahn benar-benar berdebar tak karuan. Dia takut pegangan tangan Jahad dapat merasakan ritme jantungnya itu.

Sisa perjalanan mereka lewati dengan keheningan lagi. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Edahn tidak tahu apakah ini hanya rekayasa pikirannya yang terlalu mendamba atau tidak, tetapi dia merasa ada nada kecemburuan di kalimat terakhir Jahad tadi. Kecemburuan kalau orang yang dimaksud ternyata adalah orang lain. Edahn tidak suka berharap pada hal yang tidak pasti, jadi dia langsung singkirkan pikiran itu dari kepalanya.

Mereka telah sampai di rumah Jahad. Jahad turun dari motor Edahn.

“Terima kasih banyak, ya” Jahad berterima kasih yang dibalas Edahn dengan anggukan. Ketika tangan Edahn terlihat akan memacu motornya lagi, Jahad meraih pergelangan tangannya. Edahn menoleh.

“Ada lagi?” Edahn bertanya. Wajah Jahad mencerminkan suasana hatinya yang sedang dilanda dilema.

“Uhh… Tidak. Tidak apa-apa. Maaf sudah mengulur waktu. Hati-hati, ya.” Bagi Edahn, aneh sekali melihat Jahad bersikap begitu. Jahad terlihat seperti orang yang akan melakukan semua kehendaknya. Melihatnya bingung seperti itu sungguh aneh. Dia yakin, dilema tadi adalah Jahad harus memutuskan apakah akan mengatakan sesuatu padanya atau tidak. Hal ini melekat terus di pikiran Edahn hingga ritual sebelum tidurnya.

Sesampainya di rumah tadi, Edahn langsung bersih-bersih diri dan berbaring di kasurnya. Dia memutar ulang kejadian seharian tadi di otaknya. Edahn tahu, saat ini dirinya sedang senang bukan kepalang. Dia mengingat ekspresi Jahad ketika dia memainkan lagu tadi, begitu fokus menatap ke arahnya. Edahn bersumpah, satu-satunya orang yang dia tatap ketika bermain tadi hanya Jahad. Selebihnya dia menatap rumput, lampu taman, dan benda lainnya. Dia mempersembahkan lagu itu untuk Jahad. Hanya dia yang mau Edahn lihat.

Lalu tadi, ketika Jahad berpegangan pada pinggangnya, membuat kebahagiaan Edahn di hari itu menjadi sempurna. Aduh, dia pikir dirinya sudah gila. Hanya berpegangan ketika boncengan. Seharusnya itu bukan hal yang besar. Mengapa dia sesenang ini? Kemudian rencana Yurin untuk liburan nanti. Bukankah itu berarti dia akan liburan dengan Jahad? Yah, memang bukan hanya berdua, sih. Tetapi itu juga sudah bagus, bukan? Edahn benar-benar tidak sabar menunggu waktu liburan. Terakhir, dia teringat sikap Jahad terakhir tadi. Sebenarnya apa yang mau Jahad katakan? Sebenarnya Edahn sangat penasaran. Tetapi dia tidak mau mengacaukan mood-nya yang sedang sangat bagus itu. Dia cepat-cepat menyuruh dirinya untuk tidur.

Chapter Text

Waktu berjalan cepat sekali. Kini Edahn sudah berada di akhir semester satu. Sesuai ekspektasi, Edahn berhasil melalui segala macam ujian dengan baik. Seperti sekolah pada umumnya, di sekolah Edahn juga ada class meeting. Minggu ini adalah minggu pelaksanaan class meeting. Tentu saja Edahn ikut berpartisipasi. Mana mungkin orang keren sepertinya melewatkan kesempatan ini. Yang paling semangat diikutinya adalah pertandingan basket antar kelas. Dia tidak sabar satu tim dengan Hon dan membuktikan kalau dia lebih jago daripada anak ekskul basket itu.

Alur pertandingan basket dimulai dengan pertandingan antar kelas per angkatan. Kelas 10 dengan kelas 10, kelas 11 dengan kelas 11, dan kelas 12 dengan kelas 12. Pemenang dari masing-masing angkatan akan mewakili angkatannya di babak final. Yang pertama adalah kelas 10 lawan kelas 11. Lalu pemenangnya melawan kelas 12. Edahn cukup yakin kelasnya dapat melaju sampai final. Selama ada dia, pasti kelasnya akan menang. Kalau kalian bertanya-tanya soal Gustang bergabung dengan tim basket atau tidak, jawabannya adalah tidak. Dia mewakili kelas untuk lomba lainnya yang berkaitan dengan sastra.

Hari ini adalah hari pertama class meeting. Perlombaan dilaksanaan secara bersamaan di tempat yang berbeda, seperti, pertandingan basket dilaksanakan di lapangan basket, lomba sastra dilaksanakan di salah satu ruang kelas, dan sebagainya. Untuk pertandingan basket, dalam sehari ada tiga pertandingan. Tiga pertandingan ini dibagi rata untuk ketiga angkatan. Waktunya pun bervariasi. Misalnya, di hari pertama ini jadwalnya adalah kelas 10 yang pertama, kelas 11 yang kedua, dan kelas 12 yang terakhir. Untuk hari kedua, yang pertama adalah kelas 12, yang kedua kelas 10, dan yang terakhir kelas 11.

Edahn merasa senang, karena di pertandingan pertama ini momennya sangat pas. Hari pertama, pertandingan pertama di pagi hari, yang artinya akan banyak penonton pertandingannya nanti. Edahn yakin akan hal ini karena pasti pertandingan basket akan menarik banyak peminat. Lalu waktu yang masih pagi dan tidak panas akan membuat para penonton betah, tidak seperti pertandingan di siang hari. Edahn pasti akan jadi idola hari ini!

Mereka pemanasan dahulu sebelum mulai. Riuh rendah penonton sudah mulai terdengar, meneriakkan jagoannya. Kali ini, kelas Edahn, 10 IPA-1 akan melawan kelas 10 IPS-3. Para pendukung bisa dibilang terbagi menjadi dua kubu. Kubu IPA dan kubu IPS. Edahn bertaruh, pendukung IPA lebih banyak dibanding kubu IPS karena eksistensinya. Dia yakin itu. Sayangnya, dia tidak dijadikan kapten timnya. Teman-temannya lebih percaya pada Hon yang merupakan anak ekskul basket.

Cih! Padahal ikut ekskulnya pun belum tentu bisa masuk tim inti. Lihat saja, Hon. Di lapangan nanti, aku akan membuktikan siapa yang lebih keren!

Wasit mulai masuk, memberi isyarat pertandingan akan segera dimulai. Seluruh peserta serta-merta menghentikan aktivitasnya, mengambil posisi. Lalu, peluit tanda pertandingan dimulai berbunyi.


Hari ini adalah hari Jumat, hari kelima class meeting. Tim basket kelas Edahn masih bertahan. Kini, mereka sedang mengerahkan kekuatan mereka untuk bisa melaju ke babak final. Pertandingan kali ini adalah antara kelas 10 IPA-1 dengan kelas 10 IPS-1. Sejak awal, kedua tim sama-sama kuat. Sulit untuk menentukan siapa pemenangnya. Tetapi Edahn yakin, dukungan pasti akan lebih banyak datang pada dirinya. Hal ini bukan tanpa dasar. Semenjak hari pertama memang Edahn selalu menjadi bintang lapangan. Dia menjadi pencetak angka paling banyak di timnya. Ini membuat Hon diam-diam kesal. Pasalnya, kemampuan Edahn yang di luar dugaannya itu menyita kesempatan Hon untuk tebar pesona pada Yurin. Yurin yang sering menonton pertandingan mereka pun selalu menyoraki siapa saja yang mencetak angka dari tim mereka, bukan hanya Hon saja. Padahal yang Hon mau itu Yurin ada di situ untuknya seorang. Tetapi dia tidak mau pemikiran kekanak-kanakannya itu menyita fokusnya di pertandingan. Dia harus lebih berdedikasi agar bisa mengalahkan Edahn.

Pertandingan yang sengit itu akhirnya selesai dengan perbedaan skor yang sangat tipis. 10 IPA-1 menang. Edahn tersenyum lebar sekali. Akhirnya dia bisa bertanding melawan kakak kelas. Dia masih belum tahu kelas mana yang akan menjadi lawannya, karena di hari ini pun kelas 10 mendapat jatah bermain pagi. Jadi finalis dari kelas 11 dan 12 belum muncul. Edahn sangat menunggu hari final nanti. Dia tidak sabar untuk mengalahkan kakak kelasnya.

Setelah pertandingan, tim mereka dikerumuni oleh khalayak yang mengucapkan selamat. Di tengah keramaian, ponsel Edahn berdering. Wajah Edahn berubah serius ketika dia melihat siapa yang meneleponnya. Alisnya bertaut. Tidak biasanya dia dihubungi begini. Lalu dia menyingkir dari keramaian untuk menjawab panggilan tersebut. Hon memperhatikan Edahn yang menurutnya sedikit janggal. Ekspresi Edahn ketika menelepon benar-benar tidak seperti dirinya. Dia selalu bergaya selengean dan tidak pernah absen untuk tebar pesona, apapun yang dilakukannya. Tapi kali ini, wajahnya benar-benar datar tanpa kehidupan, seolah dirinya sedang dihadapkan pada sesuatu yang sangat dibencinya.

Selesai menelepon, Edahn mendekat pada Hon dan Gustang untuk pamit. Ada urusan mendadak, katanya. Hon ingin menanyakan lebih lanjut tetapi segan dengan ekspresi Edahn yang belum berubah. Akhirnya dia membiarkan Edahn pergi dengan mengingatkannya untuk hati-hati.


Edahn benci sekali kalau saat-saat bahagianya diganggu seperti ini. Terlebih yang mengganggu adalah hal yang paling tidak disukai sepanjang hidupnya. Bagaimana mungkin orang-orang ini masih membutuhkannya di saat biasanya dia tidak pernah dipikirkan? Ketika mereka butuh, dia harus ada. Tetapi kemana mereka ketika dia membutuhkan? Apakah bahkan dirinya pernah terbersit di pikiran mereka selama ini walau hanya selewat, selain ketika mereka punya masalah seperti ini? Edahn tidak peduli. Apapun yang terjadi, saat hari pertandingan nanti dia akan pergi dari tempat ini. Dia akan tetap mengikuti pertandingannya.

Sebuah notifikasi dari ponselnya menginterupsi pikiran Edahn. Chat dari Hon. Dia mengatakan kalau lawan mereka nanti adalah kelas 11 IPA-2. Otak Edahn berhenti berpikir. Itu adalah kelas Jahad. Di hari-hari sebelumnya, Edahn lihat Jahad termasuk dari tim basket kelasnya. Itu berarti dia akan melawan Jahad nanti. Sepertinya itu pertama kali dia tersenyum semenjak dia tiba di tempat itu. Yah, sejak awal dia dan Jahad memang sangat menonjol dalam hal permusuhan. Pertandingan final nanti akan menjadi pelengkap serial versus di antara mereka berdua. Dia benar-benar harus datang.

Edahn membuka ruang obrolan lain, berniat bertanya pada Jahad soal keikutsertaannya di final nanti. Ketika dia sedang memikirkan kalimat yang akan diketiknya, tiba-tiba muncul chat dari Jahad.

Chat jahad

TUHAAN! KELIHATAN DONG, KALAU LANGSUNG AKU BACA?!?!

Edahn panik, tetapi mau bagaimana lagi, kan? Akhirnya dia memikirkan akan membalas apa.

Chat jahad edahn

Tidak bisa berbohong, Edahn memang tersenyum-senyum sendiri ketika membalas pesan dari Jahad. Seperti biasa, dia memang menyebalkan. Tetapi tetap saja berinteraksi dengannya membuat Edahn senang. Dia benar-benar tidak sabar menunggu hari pertandingan. Kesenangannya terputus karena sebuah panggilan dari pintu ruangan.

“Edahn, cepat masuk dan selesaikan bagianmu. Kalau kamu memang mau menyelesaikan urusanmu apapun itu besok lusa, kamu harus bekerja cepat. Paman tidak akan membiarkanmu pergi kalau bagianmu belum selesai.” Ujar pemuda yang usianya tidak berbeda jauh dengannya itu.

“Berisik. Aku tau.”


Akhirnya dia bisa kembali ke rumahnya. Rumah yang benar-benar dia anggap rumah¾setidaknya hingga saat ini. Rumah yang hanya berbeda beberapa blok dari rumah Jahad. Dia sampai di rumah ini pagi hari sebelum pertandingan. Semalam dia tidak beristirahat dengan cukup karena terlalu banyak yang harus dia selesaikan. Tetapi dia yakin dia masih bisa mengikuti pertandingan final ini. Dia tidak selemah itu.

Setelah mandi, dia menyiapkan perlengkapan yang harus dibawanya dan segera berangkat. Di jalan dia berpapasan dengan Jahad yang sedang berpamitan dengan ibunya. Edahn menyapa ibu Jahad sambil memberi embel-embel akan mengalahkan anaknya siang nanti. Kemudian mereka berangkat bersama.

“Tumben sekali kamu pagi-pagi sudah jalan sendiri.” Jahad memulai percakapan.

“Hahaha. Aku tidak sabar untuk melawan kamu, sih.” Setelah Edahn mengatakan itu, Jahad mengangkat tangannya, meletakkannya di dahi Edahn.

“Hm, tidak kenapa-kenapa, kok. Apanya yang salah, ya?”

“APA, SIH?! AKU BAIK-BAIK SAJA, TAU!”

“Mana mungkin kamu baik-baik saja kalau bisa bangun pagi begitu.”

“Enak saja! Pokoknya aku tidak apa-apa! Aku sangat siap untuk mengalahkanmu!”

Edahn yang merasa wajahnya dipandangi oleh Jahad langsung memelototinya, menahan dirinya agar tetap tenang dan tidak mengeluarkan semburat merah sedikitpun. Edahn tidak tahu kalau Jahad menemukan jejak-jejak kelelahan di wajahnya, terutama di area sekitar mata. Jahad mengernyit keheranan. Kemarin adalah hari libur. Bukannya seharusnya dia hanya leha-leha di rumah? Tetapi Jahad hanya diam, sungkan menanyakan apa yang terjadi karena takut mengganggu Edahn.

Ketika sampai di sekolah, mereka langsung menuju kelas masing-masing. Babak final kali ini diawali dengan pertandingan antara kelas keduanya. Seharusnya ini adalah hari libur, tetapi banyak siswa yang datang ke sekolah untuk menonton pertandingan final basket ini. Apalagi kelas yang dilawan Edahn ini berisi pemain-pemain jago. Edahn yakin pasti mereka juga sangat populer sampai mengundang massa sebanyak itu.

“Mari kita tunjukkan pada para senior kalau kita bisa mengalahkan mereka!!!” Edahn berteriak, memberi semangat pada rekan timnya. Dia disambut sorakan semangat dari teman-teman kelasnya yang lain. Terdengar panggilan dari lapangan untuk kedua tim agar segera berkumpul di lapangan. Mereka pun keluar kelas, bersiap untuk pemanasan.

Selesai pemanasan, pertandingan dimulai. Hon berjabat tangan dengan V sebagai kapten dari kedua tim. Sorakan penonton membahana, menjagokan jagoan mereka. Sekali tiupan peluit, para pemain mulai menggila di lapangan.

Seperti pertandingan-pertandingan sebelumnya, Edahn bermain cantik. Gerakannya selalu tepat dan efisien, tidak ada yang sia-sia. Yang membuat Hon kesal adalah Edahn selalu mencuri kesempatan untuk tebar pesona di sela-sela aksinya. Melihat Edahn yang mengambil posisinya di pertandingan ini saja sudah membuatnya kesal. Apalagi dengan ditambah banyaknya perhatian yang dia curi setiap dia di lapangan.

“Heh, permainanmu bagus juga, ya. Kenapa tidak memilih ekskul basket?” Kata V di tengah-tengah pertandingan.

“Tidak minat.” Jawab Edahn.

“Jangan coba-coba mencuri juniorku.” Jahad menimpali.

“Ups, galak sekali, aku takut. Hahaha.” Balas V. “Tenang saja, kelihatannya tidak ada yang bisa merebut dia darimu tuh.”

Jahad mendengus.

Mari berbicara soal Yurin. Dia ikut cheerleader kelasnya menyemangati tim kelas 11. Tetapi jika timnya Hon mencetak angka pun dia ikut bersorak merayakan. Dia benar-benar tidak bisa memiih antara teman sekelasnya atau pacarnya. Akhirnya dia mendukung keduanya walaupun kerap mendapatkan ‘Booo’ dari teman-temannya ketika dia menyoraki tim lawan yang baru mencetak angka.

Pertandingan berjalan lancar dan sengit. Perbedaan skor mereka tidak pernah lebih dari tiga poin. Hingga di quarter keempat, ketika Edahn sedang melompat dengan indah untuk three-point-shoot, seorang anak kelas sebelas yang terlihat sudah sangat frustasi dengan hasil pertandingan yang tidak kunjung menunjuk timnya untuk menang menyikut Edahn, mengenai pinggangnya. Edahn terlihat kaget dan kesakitan, terjatuh dari udara tanpa persiapan. Tidak hanya sampai di situ, ketika kaki Edahn baru akan menyentuh lapangan, oknum tadi melancarkan serangan berikutnya dengan menendang kaki Edahn.

Biarkan saja aku keluar dari pertandingan. Yang penting dia juga harus keluar. Nanti pasti timku bisa mengatasi sisanya dan memenangkan pertandingan ini. Pikir anak kelas sebelas tersebut.

Edahn terjatuh, kesakitan di pinggang dan kakinya. Peluit wasit berbunyi. Pelanggaran. Para pemain mendekat. Edahn tidak bergerak. Di tengah kepanikan, terdengar suara teriakan.

“MAKSUD KAMU APA MAIN KASAR BEGITU?! KAMU PIKIR KITA TIDAK BISA MENANG DENGAN CARA YANG BENAR?! KAMU PIKIR KITA PERLU PAKAI CARA KOTOR SEPERTI ITU?! TEGA SEKALI KAMU MELUKAI DIA!! DASAR PECUNDANG!!!” Beberapa tinju melayang ke anak yang melukai Edahn itu. Wajahnya langsung babak belur. Tidak ada yang heran karena mereka tahu siapa yang meninjunya. Mereka tidak begitu memikirkan bagaimana keadaan si pecundang itu. Mereka masih terkesiap melihat siapa yang berteriak-teriak tadi.

Jahad.

Ketua OSIS mereka yang tidak pernah terlihat terbakar emosi. Ketua OSIS mereka yang selalu dingin meskipun menghadapi anak paling nakal. Ketua OSIS mereka yang selalu menggunakan nada rendah ketika berbicara. Ketua OSIS mereka, barusan berteriak dengan penuh amarah. Tidak ada yang berani mendekat.

Setelah melayangkan tinjunya, bagai tersadar, Jahad langsung berlari menghampiri Edahn. Edahn benar-benar tergeletak tak bergerak. Tim kesehatan yang seharusnya membawa tandu belum datang. Rupanya mereka ikut terkesiap oleh sikap Jahad tadi. Tanpa pikir panjang, Jahad membawa Edahn, menggendongnya dengan bridal style. Dia bergegas menuju UKS. Di jalan, ketika dia melihat Arlene, dia memberinya isyarat yang langsung dipahami Arlene. Arlene pun mengikutinya ke UKS.

Sesampainya di UKS, Jahad membaringkan Edahn, lalu menjauh dari tempat tidur agar memberi ruang bagi Arlene untuk bertindak. Arlene memeriksa Edahn, memposisikan agar Edahn nyaman dan mudah untuk bernapas. Arlene melihat tadi, yang diincar adalah pinggang dan kakinya. Dia memeriksa kedua bagian tubuh Edahn tersebut.

“Apakah separah itu?” Tanya Jahad khawatir.

“Sebenarnya hanya lebam biasa karena terkena benturan yang kuat. Di kakinya pun sama, hanya ada tambahan beberapa luka. Sepertinya ini karena gesekan dengan lapangan.” Jawab Arlene.

“Tapi kenapa dia sampai pingsan?”

“Aku juga bingung. Mungkin aku harus memeriksa yang lainnya.” Arlene mengambil tensi meter untuk mengukur tekanan darah Edahn. “Pantas saja. Tekanan darahnya rendah sekali. Dia tadi pagi sarapan, kan?”

Jahad menepuk jidat, tidak memikirkan kenapa Arlene menanyakan hal soal Edahn padanya seolah-olah dia ibunya.

“Saya lupa tanya tadi. Kalau biasanya saya yang kasih dia sarapan. Tapi tadi pagi dia berangkat duluan, saya juga tidak bawa sarapan. Tapi kalau tidak salah, tadi memang wajahnya terlihat kelelahan sekali. Matanya seperti kurang tidur.”

Arlene menanggapi penuturan Jahad dengan tertawa pelan.

“Kamu lucu sekali kalau lagi perhatian begitu. Aku senang, akhirnya kamu menemukan lagi seseorang.” Arlene menyunggingkan senyum cukup lebar. Jahad jadi salah tingkah karena perkataan Arlene. “Ini, pastikan dia makan dulu yang cukup. Obatnya diminum tiga kali sehari, ya. Usahakan jangan terlewat. Ini aku beri obat maag juga. Tapi sebelumnya kamu tanya dulu apakah Edahn punya maag atau tidak. Kalau tidak, yang ini tidak usah diminum, ya. Kalau iya, obat ini diminum sebelum makan. Nanti minta tolong V untuk mengantar Edahn ke rumahnya saja. Hari ini dia bawa mobil.”

Jahad mematung. Arlene memang sangat perhatian. Dia bahkan mengerti tentang Jahad. Sungguh beruntung V bisa mendapatkan Arlene. Pikiran Jahad menariknya dari nostalgia yang getir.

“Terima kasih banyak,” Jahad memberi jeda. “Arlene.”


Keluar dari UKS, Jahad mendengar suara riuh rendah dari arah lapangan basket. Dia benar-benar melupakan tentang pertandingannya. Tadi dia sangat khawatir terhadap kondisi Edahn. Ketika dia sampai di lapangan, ternyata pertandingan antara kelasnya dan kelas Edahn sudah selesai. Yang sedang bertanding sekarang adalah kelas Edahn melawan kelas 12. Jahad benar-benar tidak menduga ini. Kelasnya kalah. Dikalahkan oleh junior. Padahal di timnya ada kapten basket sekolah. Dan selama ini tim yang ada V-nya tidak pernah tidak menang apabila hanya di tingkat classmeeting. Jahad penasaran sekali apa yang terjadi setelah dia meninggalkan lapangan, tetapi dia akan menyimpan itu untuk nanti. Dia langsung menghampiri V dan menyampaikan saran Arlene tadi.

“Ah, ya. Bisa. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaannya sekarang?” V menyetujui.

“Masih belum sadar. Tetapi Arlene membolehkannya pulang.” Jawab Jahad.

“Baiklah. Mau pulang sekarang?”

“Boleh. Terserah saja. Kami hanya menumpang.”

“Ahahahah jangan sungkan begitu.”

Jahad berjalan menuju tempat pendukung tim kelas 10 untuk mencari teman sekelas Edahn. Dia ingin mengambil barang-barang Edahn untuk dibawa pulang. Setelah mengambil barang, ketika dia lewat lapangan bertepatan dengan tim yang sedang bertanding meminta time out. Memanfaatkan waktu itu, Hon berlari ke arah Jahad.

“Kak!” Panggilan Hon membuat Jahad menoleh. “Anu, bagaimana keadaan Edahn? Apa dia terluka parah? Apa perlu dibawa ke rumah sakit?”

“Lukanya tidak parah. Hanya lebam dan lecet-lecet. Tapi dia masih belum sadarkan diri. Kata Arlene, dia tekanan darah rendah. Ini saya mau bawa dia ke rumahnya. Tenang saja. Lanjutkan pertandinganmu dan bawa kemenangan untuk dia. Saya yang akan menjaganya.” Jawab Jahad yang tidak sadar habis berbicara panjang lebar.

“B-baik, kak. Terima kasih banyak.” Lalu Hon kembali ke teman setimnya. Jahad menghampiri V, untuk bersama-sama ke UKS.

Sesampainya Jahad dan V di UKS, Edahn masih tergeletak tidak sadar. Setelah V berbicara sebentar dengan Arlene, akhirnya mereka memutuskan untuk langsung pergi. Lagi, Jahad menggendong Edahn sampai ke mobil.

Di perjalanan, Jahad teringat soal hasil pertandingan tadi. Dia menanyakan pertanyaan yang bercokol di benaknya tadi.

“Itu, jujur saja, setelah insiden, konsentrasiku buyar. Aku terus saja terpikir soal kejadian itu. Awalnya aku pikir akan baik-baik saja karena aku yakin tim lawan pasti akan lebih terguncang karena pencetak poin paling banyak mereka harus keluar lapangan. Tapi ternyata aku salah. Mereka bisa bangkit dengan cepat, di luar dugaanku. Kalau diingat-ingat sedikit menyeramkan. Hon tadi seperti mengamuk. Dia benar-benar membantai tim kita.” Terang V. Kalimatnya mengambang di udara karena yang lainnya hening. Tadinya Arlene ingin menanyakan soal teman mereka yang melakukan pelanggaran. Tetapi dia merasa ini bukan saat yang tepat.

“Jahad, bukannya kamu pernah bilang kalau Edahn tinggal sendirian? Jadi untuk masuk rumahnya nanti bagaimana? Kamu tau kuncinya?” Kalimat Arlene membuat Jahad menepuk dahi.

“Benar. Pasti dia meletakkanya di tas.” Jahad mengambil tas Edahn, mencari segala jenis kunci yang ada. Dia berharap Edahn tidak keberatan kalau tasnya dirogoh oleh Jahad. “Ketemu. Tapi belum tentu juga ini kunci yang benar. Nanti dicoba saja.”

Chapter Text

Komplek rumahnya tidak jauh. Perjalanan tidak sampai 10 menit. Kunci yang Jahad temukan tadi ternyata benar kunci rumah Edahn. Dia hanya pernah masuk rumah Edahn sampai ruang tamu. Tetapi ketika menunggu Edahn bersiap-siap, Jahad melihat Edahn selalu datang dari atas. Itu berarti kamar Edahn ada di lantai dua. Untungnya di lantai itu hanya ada satu kamar. Dan ketika dilihat, itu memang seperti kamar Edahn. V dan Arlene pergi setelah Jahad membawa Edahn ke kamarnya.

Edahn masih mengenakan pakaian di lapangan tadi. Jahad langsung mencari pakaian santai di lemari Edahn untuk menggantikan pakaian yang sekarang melekat di tubuhnya. Sebelum memakaikan yang baru, Jahad menyeka dulu tubuh Edahn, untuk menghilangkan sisa-sisa keringat yang menempel. Jahad merasa puas ketika melihat Edahn berbaring dengan nyaman.

Sekarang tinggal dirinya. Dia bisa saja pulang dulu untuk berganti pakaian dan makan. Tetapi dia tidak mau kalau Edahn bangun dan dia sendirian. Akhirnya dia memilih menghubungi ibunya dan menceritakan situasinya. Dia sering begini. Walaupun orang melihat dia adalah orang yang bijak, tetapi sebenarnya dia juga sering kebingungan dan menyerahkan keputusan tentang apa langkah yang harus dia ambil ke ibunya. Sebenarnya yang keren itu ibunya. Apalagi keadaannya sekarang yang tidak setenang biasanya membuat otaknya seperti terkungkung, sulit berpikir jernih.

Ibu Jahad menyuruhnya untuk tetap di situ saja. Katanya nanti ibunya yang akan ke rumah Edahn untuk membawakan makanan, untuk Jahad dan untuk Edahn jika siuman nanti. Sambil menunggu, dia mengambil kursi, meletakkannya di sebelah kasur, dan duduk di situ. Dia menatap Edahn yang terbaring di depannya. Tanpa sadar, tangannya bergerak ke arah pipi Edahn, mengelusnya lembut. Dia berharap sentuhannya itu dapat membangunkan pemuda di hadapannya. Dia berharap pemuda itu membuka matanya, melihat perlakuan Jahad yang membuat semburat merah muncul merajai wajahnya. Dia berharap pemuda di depannya itu sadar, dan memukulnya atau melakukan apapun yang lain sebagai ungkapan tidak setuju atas perlakuannya. Tetapi harapannya tak kunjung nyata.

Tiba-tiba ketakutan melintas dipikiran Jahad. Bagaimana jika Edahn tidak kunjung bangun juga? Bagaimana jika sebenarnya saat ini dia butuh pertolongan rumah sakit? Bagaimana jika Arlene salah? Bagaimana jika keputusan yang dia ambil kini akan memberikan dampak buruk bagi Edahn? Di tengah kekalutan pikirannya, ibunya menghubungi untuk mengabarkan kalau dia sudah berada di depan rumah Edahn.

Jahad lekas menanyakan pada ibunya soal apa yang harus dia lakukan, apakah tindakannya sekarang benar atau tidak. Kekhawatiran benar-benar terpancar dari matanya. Hal itu membuat ibu Jahad tersenyum. Seingatnya, anaknya belum pernah memberi rasa khawatir sebanyak itu untuk seseorang selain keluarganya.

“Kita tunggu dulu saja, ya? Kalau benar dia kelelahan, dia memang butuh istirahat yang banyak sekarang. Kamu harus percaya kalau dia kuat.” Ibu Jahad menenangkan dengan suara lembutnya. “Sekarang kamu mandi dulu saja. Ibu yang jaga Edahn di sini.”

Jahad ingin menolak, tetapi dia memang harus mandi setelah bertanding tadi. Akhirnya dia melangkah keluar meninggalkan Edahn dengan ibunya.


Edahn masih belum sadar ketika Jahad kembali dari rumahnya. Karena bosan, Jahad melihat-lihat sekeliling rumah Edahn yang bisa dilihat, dengan menghindari ruangan yang berisi privasi. Di ruang tamu dan ruang tengah sama sekali tidak ada foto keluarga. Hal ini membuat Edahn semakin misterius di mata Jahad. Mengapa Edahn sendiri? Apa maksudnya orang tua Edahn ‘tidak di sini’? Tetapi kalau diperhatikan, rumah Edahn ini sangat rapi dan bersih. Jahad yakin Edahn bukan tipikal orang yang suka bersih-bersih rumah. Apa penilaiannya salah? Mungkin saja, walaupun sulit membayangkan Edahn sebagai orang yang bisa bersahabat dengan sapu dan alat kebersihan lainnya.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk membunyikan ponsel Jahad. Dari Yurin. Dia dan Hon akan mampir ke rumah Edahn, katanya. Tidak membutuhkan waktu lama sampai Jahad mendengar suara motor berhenti di depan rumah Edahn. Jahad menuju pintu, mempersilahkan mereka masuk. Lalu mereka menuju kamar Edahn.

“Apa Edahn masih belum siuman?” Tanya Hon. Jahad mengangguk. Jahad memberi tempat untuk Hon di kursi yang tadi didudukinya. Wajah Hon terlihat sedih sekali. Mungkin perkenalan mereka belum lama. Tapi mereka selalu melalui banyak hal bersama-sama. Jelas Edahn sudah menjadi teman yang berarti bagi Hon. Yurin menghampiri Hon, mengelus pundaknya.

“Hey. Kenapa?” Tanya Yurin lembut.

“Ah. Tidak. Hanya saja, aneh sekali rasanya. Selama ini Edahn adalah orang yang, di luar dugaan, selalu bisa melakukan banyak hal. Dia juga terlihat sangat kuat. Dia selalu terlihat ceria, walaupun seringnya menyebalkan. Padahal kalau dipikir-pikir, dengan keadaan keluarganya yang tidak aku ketahui walaupun aku teman dekatnya, seakan menyiratkan banyaknya beban yang ditanggung olehnya. Tapi dia tetap terlihat seperti pria tanpa masalah hidup. Sampai aku berpikir kalau tidak ada yang bisa menghancurkannya. Kini melihat dia tiba-tiba tersungkur begini, rasanya benar-benar aneh. Rasanya seperti ini bukan Edahn yang kukenal.”

Jahad menghela napas berat.

Aku tahu.

Jahad tahu itu. Jahad tahu ada sesuatu dalam diri Edahn yang dapat menariknya bagai magnet. Tetapi hanya sampai situ. Jahad tidak tahu kelanjutannya. Tidak tahu apa yang menariknya itu. Jahad tahu. Banyak hal dalam diri Edahn yang sangat misterius. Membuat Jahad ingin menjernihkan hitam yang menutupi Edahn, yang memburamkan tentang bagaimana Edahn yang sebenarnya.

Walaupun aku punya dugaan.

Tetapi Jahad tidak tahu apakah itu akurat atau malah sebaliknya.


Gelap sudah datang. Hon dan Yurin sudah pergi dari beberapa jam yang lalu, setelah berjanji akan datang lagi besok bersama Gustang. Anak berkacamata itu tidak hadir ke sekolah hari ini karena ada urusan, kalau kalian penasaran. Matahari sudah beberapa saat lalu tergelincir. Tetapi tidak terlihat perubahan pada Edahn. Dia masih tergeletak kaku. Yang menunjukkan adanya tanda kehidupan hanya pergerakan badannya karena dia bernapas. Jahad sudah sangat frustasi, jujur. Dia harus berkali-kali merileksasi badan dan pikirannya agar tidak larut dalam pikiran negatif.

Ibunya datang lagi untuk membawakan makanan sekalian memeriksa keadaan Edahn. Selain itu, ibu Jahad merasa perlu menenangkan anaknya. Jahad meminta izin untuk tetap di rumah Edahn sampai dia siuman, walaupun harus menginap. Ibu Jahad sudah memprediksi hal itu. Jadi dia mengizinkan.

Malam semakin larut, tetapi sosok di depan Jahad itu masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Jahad tersentak karena teringat sesuatu. Dia belum menghubungi orang tua Edahn. Bukannya harusnya orang tua atau paling tidak kerabatnya harus tahu soal kondisi Edahn? Jahad langsung mengambil ponsel Edahn. Terkunci. Jahad tidak tahu sandi ponsel Edahn. Tak kehabisan akal, Jahad meminta tolong pada Yurin untuk menanyakan pada Hon apakah dia tahu sandi ponsel Edahn atau tidak. Sayangnya hal itu juga tidak membantu. Baik Hon maupun Gustang sama-sama tidak mengetahui sandi ponsel Edahn. Bingung apa yang akan dia lakukan selanjutnya, Jahad pun menelepon ibunya.

Jahad tidak tahu motif apa yang membuat ibunya selalu berakhir menyuruh Jahad agar tenang, tidak perlu melakukan apapun. Apakah memang seorang ibu selalu memiliki insting seperti itu? Apakah seorang ibu benar-benar selalu mengerti yang terbaik yang harus dilakukan? Jahad tidak memiliki pilihan lain. Memang tidak ada yang bisa dia lakukan. Dia harus menunggu.

Jahad kembali duduk. Fokus pada Edahn di depannya. Dia memposisikan diri senyaman yang dia bisa. Tanpa dia sadari, dia kelelahan. Pertandingan tadi pagi, emosinya yang lepas di lapangan tadi, kekalutannya sampai saat ini. Semua itu menguras energi Jahad lebih banyak dari hari-harinya yang biasa. Tubuhnya bergerak sendiri tanpa sempat dia pikirkan. Tangannya meraih tangan Edahn, menggenggamnya.

“Kita jarang hanya berdua begini dalam waktu lama. Intensitasnya sering, tetapi hanya berlangsung sebentar. Yang terakhir--sekaligus yang pertama sepertinya, adalah ketika di kedai es krim. Aku akui itu sangat menyenangkan. Kamu begitu lucu waktu itu. Dan untuk pertama kalinya, aku tertawa lepas dengan orang selain keluargaku. Aku tidak tau kamu menyadari atau tidak, tetapi saat itu masuk dalam waktu-waktu terbaik di hidupku. Dan tanpa sadar, aku menantikan lagi momen seperti itu. Seharusnya aku bisa menciptakannya. Tetapi ternyata aku tidak sehebat yang aku duga. Aku tidak seberani kamu yang bisa mengajakku seperti waktu itu. Aku harus puas dengan hanya bersamamu ketika berangkat sekolah dan ketika kegiatan klub. Aku sangat bahagia ketika mengetahui kamu memilih klub yang sama denganku. Lagi-lagi aku baru menyadari perasaan itu belakangan ini. Oleh karena itu, aku mohon cepatlah sadar. Berikan lagi padaku waktu-waktu yang akan aku syukuri sepanjang sisa hidupku.”

Mulut Jahad mengucapkan semua yang bercokol di otaknya. Dia terlalu lelah untuk berpikir. Mata Edahn masih terpejam.

Aku lelah.

Tangan mereka berdua masih bertaut. Kepala Jahad jatuh ke ranjang Edahn. Kelelahan itu menyeret kantuk selimuti dirinya. Jahad tertidur, tanpa membiarkan tangan Edahn terlepas.

Chapter Text

Terang. Lampu?

Kelopak matanya memaksa terbuka lebih lebar, mencoba menangkap sebanyak apapun pemandangan yang dia bisa.

Kamarku? Malam?

Kepalanya mencoba bergerak, dilanjut badannya. Dia merasa tangannya menyangkut pada sesuatu, menoleh.

Kuning? Jahad?

JAHAD?!

Pemandangan di depannya menarik kesadaran Edahn kembali ke raganya. Sedang apa Jahad di sini? Tidur? Sambil menggenggam tangannya?

GILA, INI SUDAH BERAPA LAMA?!?! AKU TIDAK INGAT APA-APA! BISA-BISANYA AKU MELUPAKAN MOMEN PENTING INI!!

Edahn berusaha menenangkan diri dengan berkali-kali mengulang kata ‘tenang’ di pikirannya. Sayang sekali wajah Jahad membelakanginya. Padahal dia ingin lihat seperti apa monster ini kalau tertidur. Jari Edahn bergerak mengelus tangan Jahad. Dia tidak peduli apa yang membawanya pada situasi ini. Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan. Di saat Edahn berpikir dia sedang bermimpi, kepala Jahad bergerak.

Dia terbangun.

Jahad seperti tersentak. Matanya terbelalak ketika menangkap Edahn.

“Edahn?!” Suaranya menyaratkan kepanikan sekaligus rasa lega.

“Ya? Kenapa kamu bisa di sin-“

“Kamu sudah sadar? Bagaimana perasaanmu sekarang? Ada yang sakit? Apa kamu merasa pusing? Apa kamu-“ Tangan Edahn yang lainnya meraih genggaman tangan mereka, memberikan sentuhan baru bagi Jahad, untuk membungkam pertanyaannya.

“Hey. Ada apa, sih? Tumben sekali kamu begitu.” Jahad menghela napas panjang.

“Jawab pertanyaanku. Apa yang kamu rasakan sekarang? Bagian mana yang terasa tidak nyaman?” Jahad kembali menggunakan nada itu. Nada tak-boleh-diganggu-gugat miliknya.

“Aku baik. Yah, walaupun beberapa bagian tubuhku terasa tidak nyaman. Ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa di sini?”

“Syukurlah. Ayo makan dulu. Kamu punya maag tidak?” Jahad mengeluarkan obat-obatan yang diberi oleh Arlene.

“Enak saja! Jawab dulu pertanyaanku!”

“Kamu benar-benar tidak ingat? Nanti aku ceritakan sambil kamu makan. Sekarang jawab dulu pertanyaanku. Kamu punya maag tidak?” Jahad benar-benar heran. Dia ini baru siuman, apa tidak bisa kalau tidak menarik urat-urat Jahad begini?

“Tidak, aku ini sehat tau. Tapi- Apa?! APA BARUSAN?! KAMU BILANG ‘AKU’?!” Edahn sampai mengangkat tubuhnya.

“???” Jahad bangkit, mengambil makanan yang disiapkan ibunya. “Kamu diam di sini. Aku akan menghangatkan makananmu dulu. Aku pinjam microwave-mu, ya.”’

Jahad berlalu meninggalkan Edahn yang masih memandangi arah perginya dengan mulut menganga dan wajah meminta penjelasan.

JAHAD KUNING SIALAN!! APA MAKSUDNYA ITU?! TADI DIA GENGGAM TANGANKU, LALU SEKARANG ‘SAYA’-NYA SUDAH HILANG?! JANTUNGKU ITU CUMA ADA SATU TAU! JANGAN BERBUAT YANG ANEH-ANEH!

Tak lama, Jahad kembali dengan bubur yang sudah hangat. Lalu dia menyuruh Edahn untuk memposisikan dirinya duduk bersandar di ranjang. Jahad duduk di kursinya dan mulai menyuapi Edahn.

HOLY SHUIT GHAD FFAGH HWAT!! Seharusnya dia menunggu jantungku tenang sedikit dulu. Aku tahu, ini pasti rezeki orang ganteng sampai bisa disuapi oleh crush-ku sendiri.

“Kamu ingat tidak pertandingan kita?” Jahad memutuskan untuk mulai bercerita sebelum Edahn minta.

Pertandingan? Ah!

Ingatan perlahan-lahan membanjiri kepala Edahn. Dia sedang bertanding melawan Jahad. Pertandingan yang dia tunggu sejak? Beberapa hari sebelumnya? Ah ya. Dia diseret lagi ke tempat itu. Ya. Dia tidak cukup tidur dan berangkat bersama Jahad. Lalu mereka bertanding. Dia hampir menang? Lalu? Dia tidak ingat.

“Sampai bagian mana yang kamu ingat?” Tanya Jahad seakan mengerti isi pikirannya.

“Kita berangkat bersama lalu bermain di lapangan. Kita bertanding sampai selesai bukan? Quarter 4? Skor kita memang tidak beda jauh, tapi aku yakin aku akan menang. Lalu? Aku tidak ingat setelahnya.” Edahn sedikit merinding melihat rahang Jahad mengeras. Dia sepertinya marah sekali.

“Kamu tidak ingat tembakan three-point-shoot-mu?” Jahad memberi satu suapan lagi untuk Edahn. Di luar dugaannya, Edahn masih mau makan. Yah, tidak heran mengingat nafsu makannya memang seperti gorila saat dia sehat. “Kamu menembakkan bola, lalu salah satu timku menyenggolmu dengan sengaja. Setelah itu dia menendang kakimu juga. Kemudian kamu langsung tersungkur di lapangan, tidak bergerak.”

Edahn menyimak Jahad yang terus melanjutkan ceritanya. Kali ini dia benar-benar tidak menggunakan kata ‘saya’ lagi.

“Jadi, aku perlu tau. Apakah ada keadaan lain yang membuatmu sampai pingsan hanya karena di dorong atau kamu memang selemah itu?” Tanya Jahad untuk mengakhiri ceritanya.

“Umm… Anu…” Edahn menunduk karena ditatap sangat intens oleh Jahad. “Sebenarnya aku ada urusan yang sangat penting sejak dua hari sebelum pertandingan. Urusan itu baru selesai tengah malam sebelum final. Jadi aku baru sampai rumah ketika pagi dan langsung berangkat ke sekolah. Itu alasan kenapa aku bisa berangkat pagi.”

Jahad terdiam. Pasti urusan itu penting sekali. Sebenarnya dia penasaran, tetapi sepertinya dia tidak punya hak untuk menanyakan soal itu. “Jadi kamu tidak sarapan?”

Edahn menepuk keningnya. “Ah iya! Aku lupa kalau aku belum sarapan.”

Makanan Edahn telah tandas. Jahad mengambil obat dan menyuruh Edahn meminumnya. Setelah minum obat, mereka terdiam sebentar.

“Maaf.” Edahn berkata. “Maafkan aku karena sudah merepotkanmu.”

“Jangan bicara tentang hal-hal yang tidak perlu. Aku tidak keberatan, jadi jangan meminta maaf.” Jahad beranjak dari kursinya, membawa sisa mangkuk kotor Edahn ke dapur.

Edahn memandangi langit-langit kamarnya. Malam ini dia tidak melakukan ritual itu. Kali ini justru Edahn sedang memperkenalkan pada objek yang selalu menemani Edahn merenung tentang siapa yang selalu menjadi topik pembicaraannya.

Kamu pasti melihat bagaimana sikapnya kepadaku lebih banyak daripada aku sendiri. Dia, luar biasa, kan?

Kali ini, aku tidak salah, kan?

Edahn terkekeh pelan. Apanya yang kali ini? Bukannya memang ini yang pertama kali? Dia senang, tak akan disangkalnya. Tetapi jawaban yang dia lontarkan ketika Jahad menanyakan alasan di balik kondisinya itu kembali membawa satu-satunya perasaan negatif yang dimiliki Edahn. Rumah itu. Dan penghuninya. Lamunannya terpecah oleh kedatangan Jahad.

“Aku baru ingat. Kamu tidak menghubungi orang tuamu? Aku tadinya mau mengabari ketika kamu masih pingsan, tetapi aku tidak tau sandi ponselmu.” Kata Jahad. Edahn mengambil ponselnya. Bukan berarti Edahn akan mengabari orang tuanya juga. Lebih baik jangan. Edahn hanya membuka pesan-pesan dari teman-temannya. Mereka mengatakan akan mampir besok. Edahn mengabari mereka semua kalau dia sudah sadar. Setelah selesai, dia meletakkan kembali ponselnya pada nakas.

“Sekarang tidur. Kamu masih perlu istirahat.” Lagi, Jahad menggunakan nada yang tidak bisa dibantah itu.

“Kamu juga tidur.”

“Iya.”

“Bohong. Masa kamu mau tidur di situ?”

Jahad menghela napas. “Aku akan tidur di sofa, kalau kamu tidak keberatan. Sekarang aku di sini sampai kamu tidur.”

“Sofa? Tidak, aku tidak mengizinkan.” Edahn menepuk bagian kasur di sebelahnya. “Sini. Memang tidak begitu lebar, tetapi lebih baik daripada di sofa.”

Mari kita abaikan dulu si bodoh Edahn ini yang masih belum sadar kalau dia baru saja mengajak Jahad tidur bersamanya.

“Tidak perlu. Lebih baik aku di sofa saja biar kamu bisa beristirahat dengan nyaman.”

“Tau darimana? Ini kan kamarku. Aku tidak membolehkanmu tidur di sofa. Aku menyuruhmu tidur di kasur. Jangan membantah.” Edahn menyeringai melihat Jahad yang sudah kehabisan argumen untuk menyerang Edahn, berjalan naik ke kasur Edahn. Kapan lagi bisa memerintah Jahad seperti itu, kan?

Edahn terkesiap. Ya, dia baru menyadari situasinya ketika melihat Jahad sedekat itu, di kasurnya. Dia- baru- saja- membuat- Jahad- tidur- satu- kasur- dengannya-

Tanpa dia sadari, dia menahan napasnya.

“Kenapa? Sekarang sudah bisa tidur, kan?”

“I-iya…” Edahn menghadapkan tubuhnya ke arah tembok untuk menghilangkan pemandangan orang di sebelahnya itu.

Tenang, Edahn, tenang. Dia itu sama seperti lainnya. Ini bukan pertama kalinya kamu tidur bersama temanmu. Seharusnya ini biasa saja. Jangan sampai dia menganggapmu aneh.

Tetapi ternyata mantra itu tidak berhasil untuknya. Dia jadi kesulitan untuk tidur.

“Kalau iya, kenapa masih belum tidur juga?” Suara Jahad mengagetkan Edahn, tubuhnya tersentak.

“Tidak tahu? Mungkin karena aku sudah tidur seharian tadi.” Jawab Edahn asal.

“Kamu itu pingsan. Bukan tidur.” Perasaan Edahn baru sebentar siuman. Tetapi kesabaran Jahad sudah berkali-kali diuji. “Aku tidak akan tidur kalau kamu belum tidur.”

“Kok gitu? Kamu yang paling harus tidur tau! Kamu kan yang menjaga aku dari siang!”

“Tapi aku sudah tidur tadi.”

Edahn terdiam. Kalau dia berada di posisi Jahad juga dia akan sulit tidur lagi, sih. Akhirnya dia memilih untuk tetap diam saja. Edahn tidak tahu Jahad memiliki kekuatan super atau apa, tetapi sepertinya Jahad tahu betul Edahn sudah tidur atau belum walaupun posisi Edahn daritadi masih membelakangi Jahad.

“Hey.” Jahad memulai percakapan. “Aku lihat rumahmu bersih dan rapi. Aku tidak percaya kamu ternyata bisa bersih-bersih.”

“Ah? Jelas, dong. Aku keren banget kan?” Jawab Edahn. Jahad mengiyakan dengan gumaman. Edahn tertawa kecil karena tidak menyangka Jahad akan mengiyakan punchline-nya itu. “Bercanda. Ya, aku tidak punya waktu untuk beres-beres memang. Ada orang yang membersihkan rumah ini rutin. Biasanya dia membersihkan kalau aku sedang sekolah.”

Jahad mendengus. Setengah karena dugaannya sejak awal benar, setengah karena dia sudah tertipu juga. “Apa tidak masalah meninggalkan rumah dalam kendali orang lain tanpa ada kamu seperti itu?”

Edahn mengernyit. “Tidak? Kan ada CCTV di sini. Lagipula orang tuaku sudah percaya padanya. Aku tidak perlu ambil pusing.” Jahad menggumamkan sesuatu sebagai tanggapan.

Hening lagi-lagi menyela.

“Kamu masih belum mengantuk?” Pertanyaan Jahad dijawab Edahn dengan anggukan. Sebagai tanggapannya, Jahad membalikkan tubuh Edahn menjadi menghadapnya, menjadikan lengannya sebagai bantal Edahn. Kepala Edahn kini sejajar dengan ceruk lehernya. Jahad mengelus rambut Edahn, berusaha merilekskan pria bersurai biru itu. “Tidur.”

Edahn bersumpah, dia merasa sedang tidak berada di bumi. Organ pernapasannya menolak untuk bekerja.

Otaknya mengalami malfungsi selama kejadian yang berlangsung hanya beberapa detik itu. Kesadarannya tidak begitu membantu. Dia memang sudah kembali bernapas, otaknya pun dengan segera menyadari kalau posisinya saat ini sedang dipeluk kakak kelasnya itu. Edahn tidak bisa berpikir apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Dia biarkan jiwa raganya diam, menikmati setiap sentuhan dari Jahad.

Tenang.

Edahn tidak merasakan apapun selain ketenangan. Seluruh perasaan negatif yang tadi bercokol dalam dirinya seketika terkuras habis. Ritme napasnya tenang, berbanding terbalik dengan detak jantungnya. Dia yakin sekali Jahad pasti merasakan debaran di dadanya ini. Tetapi dia tidak mau ambil pusing. Dia hanya ingin fokus pada sensasi ini. Edahn mengangkat tangannya yang terkungkung oleh tubuh keduanya, lalu melingkarkannya pada tubuh Jahad.

Keberadaan keduanya benar-benar memberikan rasa nyaman yang besar bagi masing-masing. Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk terlelap.


Suara alarm Edahn melengking memecah pagi yang sunyi. Jahad terbangun, menggunakan sebelah tangannya untuk mematikan alarm itu. Pukul 5.30. Pandangannya beralih ke sosok yang masih tertidur pulas di hadapannya.

Pantas saja selalu terlambat. Ada alarm saja masih pulas begitu.

Jahad tersenyum melihat Edahn yang tidur seperti bayi. Dia tidak ingin bergerak karena takut membangunkan Edahn. Posisi Edahn menghadap Jahad, membenamkan wajahnya di dada Jahad dengan tangan yang masih melingkari Jahad. Sepertinya Jahad sudah memutuskan menjaga pemandangan ini agar berlangsung lebih lama, sehingga dia bisa memahatnya dalam-dalam di ingatan.

Tidak tahan untuk diam saja, tangan Jahad mengusap rambut Edahn pelan. Baru semalam dia tahu, ternyata kegiatan ini sangat menyenangkan, membiarkan rambut lembut Edahn menyapa setiap syaraf di jemarinya. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam kelembutan itu.

Tiba-tiba suara alarm kembali mengejutkan Jahad. Kali ini suara dan nadanya lebih keras dari sebelumnya. Tidak hanya dirinya, sosok di depannya pun ikut terlonjak kaget.

“HAH?! JAM BERAPA INI?! ADUH! TERLAMBAT LAGI, YA AKU-“ Teriakan panik Edahn terhenti ketika dia sadar ada Jahad di depannya. “Ja- had? Kamu- sedang apa di sini?”

Jahad terkekeh. “Lupa lagi? Hari ini libur sampai penerimaan raport. Kan habis class meeting.”

Class meeting? AH!

Ingatan Edahn perlahan-lahan menggeliat bangun. Serta-merta Edahn membaringkan lagi tubuhnya di ranjang, dengan posisi terlentang.

“Ah, ya. Aku ingat. Ini hari Senin, sih. Jadi alarmnya berisik.” Sungguh, Edahn malu sekali. Waktu terbangun tadi, tangannya ada di pinggang Jahad. Dia tidak ingin berpikir bagaimana posisinya tadi waktu tidur. Ah sial. Pasti sekarang wajahnya merah sekali. Edahn terkejut ketika tangan Jahad menjulur ke keningnya.

“Tidak panas. Kenapa wajahmu merah sekali, ya?”

Edahn langsung menepis tangan Jahad dan berbalik membelakangi Jahad.

Dia. Malu. Sekali.

Kenapa Jahad harus menggodanya di saat seperti ini, sih? Jahad terkekeh, lalu bangun dari tempat tidur. Mengetahui Jahad akan ke kamar mandi, Edahn memberitahu Jahad di mana dia menyimpan sikat gigi baru yang bisa dipakainya. Edahn juga memutuskan untuk bangun lalu membersihkan diri. Dipikir-pikir, setelah siuman semalam dia belum berdiri.

Jahad menghubungi ibunya untuk mengabari kalau Edahn sudah sadar. Lalu ibunya datang untuk mengecek keadaan Edahn dan membawakan makanan dan baju untuk Jahad agar dia tidak perlu pulang. Lagi-lagi Edahn merasakan kasih sayang seorang ibu, walau bukan dari ibunya sendiri. Dia sangat berterimakasih pada keluarga Jahad.

Sekitar pukul 8, Hon mengabari kalau dia sudah dalam perjalanan untuk ke rumah Edahn. Beberapa menit kemudian, Hon sampai bersama Gustang, Yurin, Arlene, dan V. Suasana rumah Edahn langsung berubah menjadi ceria.

“Edahn!!” Gustang berseru. “Benar-benar, deh, aku sampai sekarang tidak percaya kalau kamu pingsan begitu!”

“Aku yang melihat juga tidak percaya, lho.” Hon menanggapi. “Tapi, waktu itu aku lebih terkejut karena sikap Kak Jahad, sih.”

“Yah, aku dan V yang sudah bersama Jahad dari SMP juga belum pernah melihat Jahad seperti itu.” Arlene tertawa.

“Memangnya Jahad kenapa?” Tanya Edahn penasaran. Dilihatnya Jahad yang membuang muka dari kerumunan di depannya, mengalihkan fokus ke ponselnya.

“Dia tiba-tiba berteriak, marah-marah ke orang yang mencelakakan kamu. Lalu menjadikan orang itu samsak tinju. Hihihi.” Sambung Yurin.

“Hey, aku yang tadinya di dekat dia saja sampai menjauh karena memang dia menyeramkan sekali. Aku yakin, setelah ini pasti makin tidak ada yang berani main-main dengannya. Hahaha.” Kata V.

Melihat ekspresi teman-temannya, sepertinya memang Jahad sangat kesal waktu itu. Edahn melirik ke arah Jahad. Dia bingung apa yang sebenarnya terjadi pada Jahad. Semenjak dia siuman, Jahad mulai meninggalkan ‘saya’ dan mulai berbicara menggunakan ‘aku’. Tetapi dia dengar tadi, Jahad masih menggunakan ‘saya’ ketika berbicara dengan yang lain, bahkan dengan Yurin, Arlene, dan V. Lalu, Jahad juga menunggui Edahn sampai dia bangun di rumahnya. Yah, walaupun mungkin itu dia lakukan karena tidak sampai hati meninggalkan Edahn sendirian. Tapi, yang terjadi tadi malam, itu pasti dia sengaja, kan? Pasti dia sadar, kan, ketika memeluk Edahn semalam? Apa arti semua ini?

“Tapi sepertinya Edahn terlihat baik-baik saja.” Kata Yurin. “Aku jadi ingat! Aku sudah mengatur liburan kita yang pernah aku janjikan ketika aku ulang tahun. Kita akan liburan setelah penerimaan raport. Keadaanmu kira-kira sudah baik atau belum, ya?”

“Melihat aktivitas dia dari tadi, sepertinya Edahn hanya butuh waktu pemulihan sebentar. Tetapi kamu harus banyak istirahat dan makananmu juga harus dijaga. Jangan sembarangan, harus bergizi.” Kata Arlene.

“Tenang saja. Saya yang menjamin makanan dia.” Timpal Jahad yang masuk kamar membawa pisau dan buah-buahan yang sudah dicuci. Dia tadi ke dapur untuk mencuci buah-buahan yang dibawa oleh yang lain agar bisa dimakan bersama-sama.

“Eh, tapi biasanya kalau liburan begini, ada yang memasakkan untukku. Jadi sebenarnya tidak perlu.” Edahn tidak ingin kembali ke sana. Oleh karena itu dia meminta bibi yang biasa membersihkan rumahnya untuk memasakkan makanan kalau dia libur panjang.

Setelah itu, percakapan diisi dengan rencana liburan mereka sambil memakan buah yang sudah dipotong oleh Jahad. Yurin banyak menjelaskan tentang persiapan yang sudah dia lakukan. Ternyata mereka akan menginap selama tiga malam di sana. Membayangkannya membuat Edahn tidak sabar ingin waktu itu segera datang. Dia sungguh mensyukuri ini. Menyukuri pertemanannya yang sudah begini erat padahal dia baru menginjak semester pertama di kehidupan SMA-nya. Dia memperhatikan orang-orang di depannya yang sangat antusias menyusun ini itu untuk nanti. Kalau dia amati, selama ada mereka, Jahad jadi menggunakan ‘saya’ ketika berbicara dengan Edahn juga. Mungkin Jahad masih belum terbiasa menggunakan ‘aku’ di depan yang lain.

Mereka pulang ketika hari mulai siang, meninggalkan Edahn kembali berdua dengan Jahad. Hening kembali membersamai mereka ketika mereka berdua kembali ke kamar Edahn. Masing-masing berkubang di pikirannya sendiri. Jahad masih ingin menemani Edahn, walaupun sepertinya dia tidak bisa karena Edahn sepertinya sudah tidak lagi membutuhkannya. Di sisi lain, Edahn masih ingin Jahad menemaninya berada di sana, tetapi dia tidak berani memintanya, takut merepotkan dan tidak ingin terlihat sangat menginginkan Jahad. Ujungnya, tidak ada yang inisiatif mengatakan apa yang ada di pikiran masing-masing dan berakhir dengan Jahad pulang ke rumahnya.

Chapter Text

Hari yang dinanti akhirnya tiba. Tujuan mereka adalah pantai di kota sebelah yang terkenal akan pesonanya. Mereka berangkat menggunakan SUV milik V, dengan V sebagai supirnya. Dia menjadi supir di sepanjang perjalanan karena hanya dia yang sudah memiliki lisensi mengemudi. Mereka berangkat di pagi buta, agar bisa sampai sebelum matahari berada di titik tertingginya. Yurin—benar-benar seperti seksi perlengkapan, adalah yang paling teliti dalam mengecek apakah barang bawaan mereka sudah lengkap atau belum. Dia sangat cerewet soal mengingatkan yang lain, terutama para lelaki, agar tidak ada barang yang ketinggalan. Edahn heran mengapa Yurin bertindak sampai segitunya. Menurutnya, kalau ada yang tertinggal kan bisa beli di sana.

Suasananya sangat menyenangkan dan ceria, walaupun lebih sering gaduh. Kegaduhan sering kali berasal dari baris tengah yang diisi oleh Edahn, Jahad, dan Gustang. Sebenarnya Gustang akan lebih senang jika dia hanya diam mengabaikan kebodohan dan keributan yang seringnya dilakukan oleh Edahn. Tetapi kadang dia tidak tahan ingin ikut mengata-ngatai oknum yang bersangkutan, sehingga keributan menjadi semakin semarak. Kubu depan, V dan Arlene hanya ambil bagian menertawakan dan melerai saja. Kubu belakang, Hon dan Yurin seringnya menjadi pemanas keributan itu. Iya, posisi duduk mereka mengeksklusifkan para pasangan agar bisa berduaan. Nasib Edahn, Jahad, dan Gustang yang jomblo sehingga mereka harus berdesakan di baris tengah.

Perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam. Setibanya di sana, mereka langsung menuju penginapan untuk menaruh barang-barang yang mereka bawa.

“Dengar, semuanya! Jadi kita pesan tiga kamar. Satu kamar untuk aku dan Arlene, dua kamar sisanya untuk kalian para cowok. Pembagiannya terserah kalian mau bagaimana.” Terang Yurin. “Ayo cepat, sekarang tentukan siapa teman sekamar siapa lalu bereskan barang-barang kalian!”

“Bagaimana?” Tanya Edahn. “Apa kakak-kakak butuh tempat sendiri? Biar kami para adik tidur bersama?” Ocehan Edahn itu disambut dengan V yang melingkarkan tangannya di leher Edahn lalu menghimpitnya pelan ditambah tonjokan ringan di kepala Edahn sambil tertawa.

“Kita ini cuma beda satu tahun tau. Jangan berbicara seolah aku ini sudah sangat tua.” Ujar V.

“Ampun Kak V, ampun.” Edahn masih ingin mengejek V dengan menambahkan ‘kak’ dalam panggilannya. Setelah banyak percekcokan kecil, akhirnya pembagian kamar sepakat seperti yang Edahn bilang tadi.

Mereka sudah menyusun agenda yang akan mereka lakukan selama di sini semenjak di rumah Edahn. Di malam pertama, mereka menghabiskan waktu di pantai semenjak matahari tenggelam. Banyak permainan yang mereka mainkan. Malam itu membuat mereka tidak ingin lekas kembali ke penginapan.

Semua berjalan lancar sampai ketika makan siang di hari ke dua. Mereka memutuskan untuk berkeliling di luar area pantai dan berhenti makan siang di sebuah tempat makan.

“Aku ingin bertukar posisi dengan salah satu dari kalian saat tidur nanti.” Kata V tiba-tiba.

“Maaf?” Arlene mewakili yang lain meminta penjelasan lebih lanjut.

“Aku ingin tidur di kamar yang ramai agar seru, seperti kamar kalian. Sedih sekali aku di kamar hanya diam dengan Jahad, seperti sedang musuhan.” Jelas V. “Ayo, siapa yang mau tukar denganku?”

“V. Kamu tidak sedang berusaha untuk sekamar dengan Arlene, kan?” Yurin menebak.

“Tidak, bukan begitu. Yang aku maksud itu salah satu di antara Hon, Edahn, dan Gustang. Aku tidak akan mengganggu teritori para wanita hahaha.”

“Huh? Memangnya siapa yang mau tukar?” Tanya Hon melirik ke arah dua temannya.

“Edahn saja. Aku yakin dia lebih akrab dengan Kak Jahad.” Kata Gustang.

“Gustang, seriously? Kamu masih panggil Jahad dengan ‘kak’?” Kata Edahn. “Lagipula kalau aku sekamar sama Jahad nanti yang ada kami ribut terus!”

“Bagus kamu tau. Seharusnya kalau memang pintar kamu jangan cari ribut dengan saya terus.” Jahad buka suara.

“Kan kamu yang mulai keributan!” Edahn tidak mau kalah.

“Nah, kan. Kalau Jahad bersama Edahn, tidak akan ada kamar yang sepi. Kalau itu Hon atau Gustang, aku tidak tega membiarkan mereka terintimidasi oleh aura bawaan Jahad. Edahn, ayo tukar posisi.” Papar V.

“Jadi maksudmu tidak masalah kalau aku yang tersiksa bersama Jahad?!” Edahn masih tidak terima. Bukan apa-apa, Edahn masih belum siap kalau harus sekamar dengan Jahad lagi.

“Hahaha, ayolah. Jahad tidak seburuk itu tau!” Arlene menengahi.

“Saya tidak masalah dengan siapa saja saya tidur. Kalau tidak ada yang mau juga, biarkan saja saya tidur sendiri. Silahkan bersempit ria di kamar kalian. Saya sungguh tidak keberatan harus menguasai satu kamar sendirian.” Kali ini Jahad menggunakan nada mengejek.

Edahn menghela napas. “Bagaimana bisa orang lain terbiasa denganmu kalau kamu masih pakai ‘saya’ begitu”

“Bisa. V, Arlene, dan Yurin buktinya.” Jawab Jahad.

“Ah iya. Kalian bertiga benar-benar berteman sejak SMP?” Tanya Edahn ketika teringat sesuatu.

“Iya. Waktu dulu, mereka sudah sering bersama. Lalu Arlene yang merupakan teman pertamaku ketika awal SMA, mengajakku bergabung dengan mereka.” Jawab Yurin.

“Hah. Begitu, ya?” Kata Edahn. “Aku pikir kalau sudah berteman selama itu harusnya Jahad bisa lebih santai kalau berbicara dengan kalian.” Edahn pikir, kejadian waktu di rumahnya itu, ketika Jahad tidak lagi menggunakan ‘saya’, adalah kejadian biasa. Tapi kalau dipikir-pikir, dengan teman lamanya pun dia tetap seformal itu. Edahn makin bingung.

“Dulu, ada, sih, saat-saat dia tidak menggunakan ‘saya’.” Tiba-tiba Arlene berkata lirih dengan pandangan menerawang. Perkataan itu sempat ditangkap oleh indra pendengaran Edahn. Tetapi, melihat ekspresi Arlene yang seperti itu, Edahn enggan menanyakan lebih lanjut tentang itu.


Perdebatan tadi berujung dengan Edahn yang mengalah dan menerima untuk sekamar dengan Jahad. He did smell something fishy, but won’t take any care. Setelah itu, ketika Edahn menemukan waktu berdua dengan V, Edahn menanyakan sesuatu yang mengganjal lagi di benaknya.

“V, umm, boleh tanya?” Edahn mengambil perhatian V lepas dari ponselnya.

“Ya?”

“Janji tidak bilang siapa-siapa?” Edahn masih sedikit ragu.

“Ya? Ada apa, sih?” V jadi makin tertarik.

“Umm, semalam, waktu kamu tidur dengan Jahad, kalian satu ranjang, kan?” Tanya Edahn.

“Iya. Kenapa? Cemburu, ya?” Tembak V.

“Hah?! Apa, sih bukan begitu maksudku!” Oke, Edahn memang kaget soal V bisa sampai pada kesimpulan kalau dia cemburu. Kenyataannya pun Edahn tidak cemburu, Edahn berani bersumpah. Tetapi, apa yang membuat dia bisa berpikir begitu? Apa dia tahu kalau Edahn menyukai Jahad?

“Lalu kenapa?”

“Ehm, itu… Waktu kalian tidur, apa… Jahad… memelukmu?” Akhirnya Edahn bisa mengeluarkan apa yang mengganjal di tenggorokannya. Tetapi pertanyaan penuh perjuangan itu malah dibalas dengan semburan tawa V. Tawanya berderai lumayan lama. Sepertinya memang dia geli sekali dengan pertanyaan Edahn barusan. Edahn berusaha menekan rasa malu yang perlahan muncul.

“HAHAHAHAHA. Jadi kamu khawatir akan hal itu? Kamu khawatir Jahad memelukku? Benar, kan, kalau kamu cemburu? Hahahaha.” Akhirnya V bisa meredakan tawanya sedikit.

“Bukan begitu! Aku tidak cemburu. Sungguh! Aku… hanya bingung.” Kata Edahn. Hal ini membuat V benar-benar terlepas dari tawanya.

“Bingung kenapa?”

“Waktu di rumahku, setelah aku pingsan itu, Jahad menginap di rumahku. Lalu… waktu tidur dia peluk aku… You know, I wonder why he did that to me. I thought, maybe, he do that to you too because you’re his friend too. Tapi… Sekarang aku malah bingung.” Lega sekali rasanya bisa mengeluarkan semua itu. Jujur, Edahn tidak tahu lagi harus bercerita ke siapa. Dia tahu dia akan menjadi bahan ledekan Hon dan Gustang apabila bercerita ke mereka. Pikirnya, hanya V yang bisa membantunya. Apalagi dia sudah berteman dengan Jahad semenjak SMP. Pasti dia lebih tahu.

Edahn menunduk ketika berbicara tadi, tidak ingin bertatapan dengan V. Karena tidak kunjung mendengar jawaban, Edahn mengangkat wajahnya, yang langsung bertemu dengan senyuman penuh arti milik V.

“Yah, seperti yang aku bilang. Dia tidak begitu padaku. Sisanya, biarkan Edahn yang pintar memecahkannya sendiri.” Kata V dengan senyum menantang.

Edahn tahu.

Dia tidak sebodoh itu. Dia hanya ingin mencari pembenaran. Dia tidak ingin kalau ternyata itu hanya khayalannya saja. Dia tidak ingin kalau ternyata gagasan itu hanya muncul di otaknya. Tetapi mendengar perkataan V tadi, Edahn jadi sedikit lebih percaya diri.

Lalu malam tiba tanpa permisi. Lepas jalan-jalan tadi, yang lain sepertinya sudah kelelahan dan memilih langsung beristirahat di kamar masing-masing. Edahn dan Jahad mandi bergantian ketika sampai di kamar mereka. Setelah itu, mereka sedikit bercakap ringan lalu keduanya memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar menyusuri pantai. Sejujurnya, Edahn mengusulkan ini karena dia belum begitu mengantuk, sedangkan dia tidak tahu harus melakukan apa untuk mencairkan suasana jika mereka berdua menghabiskan waktu di kamar.

“Bagaimana menurutmu liburan ini?” Jahad memulai percakapan. Mereka berdua sedang berdiri bersisian, menikmati sapuan lembut ombak di kaki telanjang mereka.

“Hebat. Sungguh aku bersyukur memiliki kalian. Terutama,” Edahn menggantung kalimatnya sebentar, menimbang apakah tidak masalah jika dia melontarkan topik ini. “Dengan keadaanku yang begini. Hidup sendirian. Kalian membuat aku tidak merasa kesepian. Terima kasih banyak, ya.”

Jahad tersenyum. “Aku senang bisa membantumu.”

“Jahad,” Edahn berhenti sejenak. “Apa, sih, maksudmu begitu?”

“Maksud apa?”

“Hm, aku tau mungkin ini sepele sekali, tetapi aku sungguh penasaran. Kenapa kamu tidak menggunakan ‘saya’ lagi kalau berbicara berdua denganku.”

Jahad terdiam. Senyum sedikit tersungging di bibirnya, membuat raut ramah yang menenangkan. Pandangannya lurus menjelajah ke bentangan laut hitam di depannya.

“Karena kamu berbeda?”

“Berbeda dalam hal apa?”

Jahad menghela napas panjang. Dia meraih tangan milik pemuda yang lebih pendek di sebelahnya.

“Berbeda. Perlakuanmu padaku, dampak keberadaanmu di hari-hariku, respons yang diberikan tubuhku terhadap segala tingkahmu, keajaiban yang bisa kamu ciptakan pada diriku, kebodohan yang kamu lakukan di hadapanku,” Jahad menahan kalimatnya sejenak. “Berharganya momen yang aku lalui bersamamu, besarnya rasa kehilangan yang aku rasakan saat kamu tidak ada, rasa yang aku rasakan kepadamu,”

Lagi, Jahad menahan kalimatnya. “Semuanya berbeda dengan yang aku rasakan untuk orang lain. Bahkan ketika aku melihat dunia, hanya ada satu yang berbeda, paling berkilau. Hanya kamu.”

Jahad memberanikan diri menatap Edahn. Yang di tatap hanya bergeming, berdiri kaku menatapnya. Lama.

Beginikah?

Beginikah jadinya?

Dia sudah berhasil mengatakan itu.

Apakah ini yang ditakutinya?

Apakah benar-benar terjadi?

Apakah ini benar-benar penolakan?

Tiba-tiba Jahad melihat setitik kristal bening muncul di pelupuk mata Edahn. Satu jatuh, disusul munculnya kristal lain yang berlomba-lomba menyusuri jejak kristal pertama. Jahad tidak peduli bagaimanapun perasaan Edahn padanya. Yang dia tahu hanya dia harus mencegah kristal itu jatuh lagi. Jahad harus mengambil tindakan.

Jahad menarik Edahn ke dalam dekapannya. Memberikan belaian halus nan menenangkan pada kepala dan punggung Edahn. Yang dipeluk memeluk balik sosok yang lebih besar darinya. Berharap tubuh kakunya dapat tenggelam dalam dekapan hangat itu. Mencari kenyamanan di sana.

Setelah beberapa saat, Jahad merasakan tubuh kaku Edahn sudah kembali rileks. Dia mengangkat wajah Edahn agar menghadap ke arahnya tanpa menjauhkan tubuh mereka. Dengan jemarinya, Jahad mengusap jejak air mata yang tertinggal di pipi Edahn.

“Kenapa menangis?”

Edahn terdiam. Matanya mencari tempat lain untuk dipandang selain mata Jahad.

“Lihat ke sini. Jawab pertanyaanku.” Jahad memaksa. “Tidak apa-apa kalau kamu tidak membalas perasaanku. Aku hanya menjawab pertanyaanmu, kan?”

“Bukan begitu.” Suara Edahn lebih keras dari yang dia harapkan. “Bukan begitu.” Diulangi dengan suara yang lebih lembut.

Jahad menunggu Edahn melanjutkan perkataannya, membuat keheningan menyergap.

“Aku hanya tidak menyangka, kalau ternyata orang yang aku suka juga punya perasaan yang sama padaku.” Edahn mengatakannya sambil tersenyum lebar. Sangat bahagia dengan sedikit air mata yang masih ingin merangsek keluar.

Giliran Jahad yang membeku. Jadi selama ini dia menyimpan kekhawatiran yang tidak perlu?

Dia senang sekali.

Jahad menangkup wajah Edahn. Menggunakan matanya, dia mencari persetujuan dari sosok di depannya. Tak mendapatkan penolakan, Jahad mendekatkan wajahnya pada yang lebih muda, memagut bibir ranumnya dengan lembut. Menikmati manis yang dia cecap, membawanya ke langit paling tinggi. Hal yang sama dirasakan oleh yang membalas pagutannya.

Mereka berhenti setelah kehabisan napas. Saling pandang, keduanya tersenyum. Jahad kembali merengkuh Edahn. Tidak ada satupun dari mereka yang berniat merusak posisi itu. Masing-masing dari mereka merasakan perasaan yang sama, perasaan pulang ke rumah.

Chapter Text

Keesokan harinya didedikasikan untuk menjelajah tempat oleh-oleh dan mempersiapkan barbeque untuk malamnya. Semua berjalan normal. Hanya beberapa di antara Jahad dan Edahn yang menjalani new normal. Malam hari setelah kejadian di pantai itu, keduanya sudah tidak canggung untuk memberikan afeksi satu sama lain. Malam yang sudah indah itu diperlengkap dengan cuddle hingga pagi. Pagi-pagi, mereka benar-benar akur. Tawa Jahad berkali-kali berderai. Benar-benar pemandangan yang indah buat Edahn.

Tetapi di depan yang lain, sikap Jahad masih sama seperti biasanya. Masih menggunakan ‘saya’ ketika berbicara dengan Edahn. Melihat sikap Jahad yang begitu, Edahn pun mengikuti. Dia pikir, yang lainnya juga tidak menyadari ada yang berubah dari mereka. Edahn memusatkan perhatiannya pada jajaran barang yang dijual oleh toko oleh-oleh. Dia harus membeli sesuatu yang bagus, yang akan mengingatkannya pada masa ini dengan baik.

Tak terasa, hari beranjak petang. Tiba waktunya bagi mereka untuk menyiapkan barbeque. Arlene dan Yurin menentukan spot yang bagus bagi mereka dan menunggu di situ ketika yang lain mengambil peralatan yang diperlukan dan membawanya ke tempat Arlene dan Yurin berada.

Di sinilah hal itu terjadi.

Peralatan yang mereka bawa disimpan di kamar yang ditempati Jahad dan Edahn. Kamar ini dipilih karena hanya dihuni dua orang dan bukan perempuan sehingga ruang kosong yang dimiliki pastinya lebih banyak dari kamar lain. Semua tahu, kan, kalau perempuan itu barang bawaannya jauh lebih banyak dari laki-laki? Ketika Edahn dan Jahad tinggal berdua di kamar, Jahad mengatakan sesuatu.

“Hey.” Edahn menoleh. Jahad terlihat bimbang. “Apa kamu nyaman dengan kita yang begini?”

Edahn mengerutkan keningnya. “Maksudnya?”

“Aku dan kamu. Apa hanya akan sampai sejauh ini?” Edahn tahu, Edahn pintar. Sungguh, dia tidak pernah meragukan itu. Tapi untuk memahami apa yang Jahad maksud ini, jujur, sangat sulit. Edahn sudah berpikir tetapi dia masih tidak bisa menemukan kemana arah pembicaraan Jahad ini.

“Sampai sini? Bagaimana?”

Seperti yang Jahad duga, ini akan sulit. Dia menghela napas kuat, berusaha bersabar sekaligus mengumpulkan keberanian.

“Hubungan kita.”

“Hah?”

I swear to God, Edahn. Masa belum paham juga?”

Edahn terdiam. Hubungan? Kita?

“AH!” Akhirnya Edahn menunjukkan tanda-tanda mengerti. “Hubungan, seperti pacaran?”

Jahad mengangguk. “Iya. Kamu mau kita terus berteman begini atau pacaran saja?”

“Pacaran lah!” Edahn menjawab.

“Ya sudah. Berarti sekarang kamu pacarku.” Kata Jahad ringan, lalu mengambil barang yang akan dibawanya dan berjalan ke arah pintu.

“Heh? HEEEHHH?!?!?!” Edahn menarik tangan Jahad, tidak membiarkannya keluar kamar. “Apa barusan kamu nembak aku?! BENAR-BENAR TIDAK ROMANTIS!!!”

Jahad tertawa. “Habis mau bagaimana? Yang romantis kan sudah tadi malam.”

Oke, memang mereka sudah lebih terbuka satu sama lain, tetapi Edahn masih belum terbiasa dengan kedekatan ini. Wajahnya masih sering memerah malu setiap ada atau ingat adegan yang intim.

“HIH! Tidak tahu deh!” Edahn bergegas mengambil barang yang akan dia bawa lalu melangkah cepat ke luar kamar. Jahad hanya terkekeh di belakangnya.

Kedua manusia itu tidak tahu kalau ada satu sosok yang daritadi berada di depan kamar mereka dan sudah berlari kencang sebelum Edahn mencapai pintu kamar.


“Hon? Kamu kenapa?” V bertanya, heran melihat pria itu berlari seperti dikejar setan. Yang ditanya hanya mengeluarkan kalimat tidak jelas yang terbata-bata, terlihat seperti sedang shock dan diperburuk oleh kehabisan napas. Yurin khawatir, menyodorkan air mineral ke arah Hon. Hon segera duduk dan meneguk air itu, lalu merilekskan diri.

“GILA! INI SUDAH GILA!” Kata Hon setelah mendapatkan kembali ritmenya. “Tadi, setelah Kak V dan Gustang, di kamar tinggal aku, Edahn, dan Kak Jahad saja, kan? Nah setelahnya aku keluar duluan. Lalu, sebelum aku sempat benar-benar pergi, aku mendengar Kak Jahad mengatakan sesuatu pada Edahn.”

Hon terdiam sebentar, mengamati raut wajah lainnya yang terlihat sangat penasaran. “Intinya mereka bicara tentang hubungan mereka. Dan di akhir, aku mendengar Kak Jahad mengatakan kalau mulai saat itu mereka berpacaran!”

Terdapat jeda hening sejenak. Lalu suara tawa berderai.

“Hahahaha. Sudah punya nyali, ya? Bagus, juga.” Kata V di sela tawanya.

“Akhirnya, ya.” Yurin menambahkan.

“Tapi, yang paling merasa lega itu aku, lho!” Arlene tertawa bahagia.

“Yah, mungkin memang itu yang terbaik untuk mereka.” Gustang ikut-ikutan.

“APA? BAGAIMANA? MENGAPA KALIAN TERTAWA?! APA KALIAN TIDAK KAGET?!?!” Hon sangat bingung.

“Hah?” Gustang melirik Hon. “Kamu ini bodoh, ya? Bukannya sudah terlihat jelas ada yang berbeda dari mereka?”

“Iya. Apalagi Jahad. Dia benar-benar memperlakukan Edahn secara spesial.” Yurin menimpali. Hon semakin bingung, ini dia harus tambah shock atau jadi santai seperti yang lain, ya? Tepat saat itu, pasangan yang baru saja dibicarakan datang.

“Wah, selamat, ya kalian!” Kata V yang langsung disambut dengan tatapan bingung dari Edahn dan juga Jahad. “Sudah jadian, kan? Selamat!”

“EH?! Bagaimana- kalian tahu?” Itu Edahn yang terkejut.

“Tadi Hon tidak sengaja dengar.” Jawab Gustang. “Nah, kapan-kapan traktir kita es krim, ya. Kamu masih punya hutang es krim yang dulu tidak jadi.”

“APA-APAAN, HON?! KAMU MENGUPING?!”

“AKU TIDAK BERMAKSUD, SUNGGUH! SALAHKAN KAK JAHAD YANG MULAI BICARA DULUAN SEBELUM AKU PERGI!”

“TAPI TETAP SAJA, HARUSNYA KAMU PERGI DAN JANGAN DENGAR!”

“MANA BISA! AKU KAN SUDAH TERLANJUR PENASARAN!”

“HON SIALAN!” Hon hanya menjulurkan lidahnya lalu lari karena Edahn mengejarnya.

“Hahhh, memangnya kalian ini anak kecil apa?” V menghela napas.

Tanpa disadari yang lain, Arlene mendekati Jahad. “Selamat, ya.”

Arlene tersenyum tulus. “Aku benar-benar senang melihat kalian. Aku harap kamu menemukan bahagiamu di dirinya.”

Jahad terkejut. Sejenak bingung harus merespon apa.

“Ah, ya. Terima kasih, Arlene.”

“Nah, semuanya!!” Yurin memecahkan suasana, menepuk tangannya untuk mendapat perhatian. “Sekarang ayo kita mulai barbeque malam ini!!!”

Agenda mereka malam itu berlangsung dengan sangat semarak. Perut mereka kenyang, hati mereka juga senang. Awalnya yang lain terkesima melihat Jahad tertawa lepas karena Edahn. Tapi lama-lama mereka terbiasa juga. Mata Jahad yang biasanya menyipit karena sedang mengintimidasi orang, kali ini menyipit karena lebarnya tawa dan senyumnya. Suasana sedang sangat seru ketika tiba-tiba seruan Gustang menginterupsi mereka.

“TUNGGU DULU!” Gustang berseru. Yang lain diam, menunggu apa yang akan Gustang katakan dengan bertanya-tanya. “Aku baru sadar! Jadi sekarang di antara kita ini hanya aku yang jomblo, ya?!?!”

“Kamu ini bodoh, ya? Dari tadi tidak sadar?” Cetus Hon, sekalian membalas perkataan Gustang di awal tadi.

“Tenang saja, kacamata. Pasti nanti-nanti akan ada orang yang terpincut pesonamu, kok!” Edahn berkata sambil mengacak-acak rambut Gustang yang langsung ditepis oleh pemiliknya.

“Nah, benar. Tinggal pilih, mau dengan kakak kelas seperti Edahn dan Hon, dengan yang seangkatan sepertiku, atau dengan adik kelas tapi menunggu setengah tahun lagi.” Tanggap V, kemudian tertawa. “Oh iya, aku jadi ingat. Kita kan sudah dekat begini, tidak perlu panggil kami ‘Kak’ lagi menurutku. Yang lain juga tidak keberatan, kan?”

Yurin, Arlene, dan Jahad mengangguk.

“Wah. Sepertinya seram, ya, jika kita memanggil ketua OSIS kita dengan nama saja saat di sekolah.” Hon berkata pada Gustang.

“Hahaha biasa saja, tuh.” Edahn menanggapi.

Mereka tidak membiarkan malam itu berlalu dengan cepat. Kecuali V, yang dipaksa tidur duluan karena besok akan menyetir. Malam semakin larut, obrolan semakin kacau. Hon, Gustang, Arlene, dan Yurin sedang entah melakukan apa. Edahn menarik Jahad ke arah air laut, menciptakan suasana yang sama seperti malam sebelumnya.

“Jahad.” Edahn berkata. “Terima kasih karena sudah mempercayakan perasaanmu padaku. Aku tidak akan menyia-nyiakan ini.”

It’s my pleasure to share this feeling with you. Because all I know, my world’s being more incredible with you here by my side. All I know, that I can’t help but loving you more and more, Mr. Extraordinary.

Chapter 12: Bonus Chapter

Chapter Text

Edahn sedang duduk di meja kantin, dengan Jahad berada di sebrangnya. Mereka berdua sedang menunggu pesanan mereka datang. Wajah mereka sedang cerah sekali. Penyebabnya adalah pengumuman tadi pagi ketika upacara. Mereka baru saja memenangkan kejuaraan bela diri tingkat kabupaten. Edahn senang sekali, itu artinya mereka bisa maju ke tingkat provinsi. Murid lain yang berada di kantin pun terlihat merasa terberkahi dengan adanya pasangan tersebut duduk damai dengan wajah bahagia. Karena dengan itu semua, akan ada beberapa kemungkinan baik yang terjadi. Pertama, ketua OSIS mereka tidak akan menjadi makhluk menyeramkan karena sedang berada di samping pacarnya dengan perasaan senang. Tolong garis bawahi kata senangnya, ya, karena hanya dengan keberadaan pacarnya saja tidak dapat menurunkan aura mencekam yang muncul kalau dia marah. Kedua, kantin akan menjadi tempat yang aman dan nyaman karena tidak akan ada keributan yang sering terjadi di antara pasangan tersebut.

“Dilihat-lihat kamu suka sekali nasi goreng, ya? Setiap istirahat makan nasi goreng apa tidak takut menjadi manusia nasi goreng?” Ucap Jahad ketika pesanan mereka datang.

Says the one who ordering fried rice too.” Edahn membalas.

“Aku tidak setiap hari pesan nasi goreng seperti kamu.” Jahad menanggapi. Edahn menggumam dengan mulut penuh.

“Kenapa, ya? Sepertinya karena dulu pernah ada yang memberiku nasi goreng ketika aku kelaparan. Lalu aku jadi tahu kalau nasi goreng di sini itu enak. Jadi keterusan deh. Habisnya makanan lain tidak ada yang semengenyangkan nasi goreng, sih.” Jawabnya setelah selesai mengunyah.

“Apa nasi gorengnya diberi di hari ketika pertama kali aku mengajakmu berangkat bersama?” Tanya Jahad. Kunyahan Edahn terhenti.

“Kok kamu tahu? Jangan-jangan…” Jahad tertawa. Ngomong-ngomong, iya, seisi kantin yang memiliki jenis kelamin perempuan terkesima melihat kakak kelas idola mereka tertawa begitu.

“Serius? Jadi kamu belum tahu itu dari siapa?” Jahad kaget juga dengan fakta itu.

“Aku tidak tahu… Jadi, itu dari kamu?” Edahn memastikan.

“Iya. Roti dan air mineral sebelumnya juga dari aku.” Ucap Jahad santai.

“HAH?! Serius?!” Edahn benar-benar terkejut. Itu kan hari pertama kali mereka bertemu. Jahad sudah melakukan hal seperti itu? “Tapi, untuk apa kamu memberiku begitu?”

Jahad bergumam sambil menaikkan bahunya. “Waktu itu aku merasa memberikan hukuman terlalu berat untukmu. Tapi mau bagaimana lagi, yang terlambat waktu itu hanya kamu. Jadi aku tidak bisa meringankan pekerjaanmu. Lalu aku berpikir untuk memberimu makanan dan minuman saja.”

“HAH?! KAN KAMU BISA MENGURANGI TUGASKU-”

“Tidak bisa, karena semua sampah harus dibersihkan.”

“ATAU MEMBANTUKU MENGERJAKANNYA-”

“Tidak bisa juga karena aku tidak mau.”

“SIALAN!! LALU KAMU TAHU DARIMANA KELASKU?!”

“Dari badge-mu lah.” Oh iya, benar juga.

“TAPI WAKTU ITU KATA HON YANG MENGANTAR ITU YURIN-”

“Yurin pernah cerita kalau dia sedang dekat dengan anak kelasmu. Jadi aku sekalian titip saja. Kalau aku yang kesana nanti akan heboh.”

“LALU NASI GORENG?”

“Aku tahu kamu tidak sempat sarapan. Jadi aku membelikanmu.”

“Jahad.” Jahad memandang Edahn heran karena dia berhenti berteriak-teriak dan memanggil namanya. “Kamu, sudah suka aku sejak itu?”

Jahad mendengus. “Tidak.”

“Bohong.” Here we go again. Jahad menghela napas.

“Sebenarnya, aku tidak tahu kapan aku mulai suka padamu. Aku baru menyadari waktu kamu pingsan itu. Tapi, semenjak kedai es krim itu, aku tahu kalau aku merasa nyaman di dekatmu. Untuk roti dan nasi goreng, aku memberi hanya karena kasihan. Jelas?”

Jahad terkejut karena Edahn tiba-tiba berdiri dari duduknya. Dahinya mengernyit, memberikan tatapan marah. Murid-murid yang berada beberapa meja di sekelilingnya ikut terkejut. Kantin damai apanya? Lihat itu Edahn sudah seperti macan akan mengamuk.

“Kamu mengasihaniku? Memangnya selemah apa aku di matamu sampai kamu mengasihaniku begitu? Siapa kamu berani mengasihaniku begitu?” Suara Edahn lirih, menimbulkan kesan kalau yang dia ucapkan benar-benar hal yang serius.

Jahad yang tadinya sedikit khawatir kalau-kalau Edahn benar-benar marah langsung memberikan pandangan datar. Dia ikut berdiri.

“Aku ini pacarmu. Lalu, siapa yang peduli soal itu? Memangnya kamu tidak merasa baikan dengan roti dan air itu? Memangnya nasi goreng itu tidak menyelamatkanmu? Berhenti bicara macam-macam dan habiskan makanmu.” Jahad mendorong kepala Edahn dari atas ke arah bawah untuk membuat Edahn duduk. Yang didorong sedang mengalami malfungsi menikmati sensasi dari Jahad berkata kalau dia adalah pacarnya di depan banyak orang begitu.

“Jahad.” Edahn memanggil nama Jahad dengan suara pelan lagi. Jahad memiringkan kepalanya sambil memberi pandangan ‘ada apa?’

“Aku sayang sekali padamu.”

“Aku tahu.”

Notes:

• Serius, saya kaget waktu bagian Edahn pingsan ternyata sedramatis itu…
• Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai akhir.
• Honorific title yang digunakan mengacu pada kebiasaan lokal dimana adik kelas harus menghormati kakak kelas.
• Sebenarnya saya sudah terpikirkan tentang sequel dan prequel cerita ini. Di cerita ini juga sudah disebutkan beberapa yang akan diungkap di sequel dan prequel (mungkin jika ada yang menemukan sesuatu yang belum terungkap, itu adalah clue untuk sequel dan prequel). Tetapi masih belum tahu akan dibuat atau tidak. sepertinya akan melihat bagaimana respon di cerita ini dulu.