Archive of Our Own ^beta

Chapter Text

Sebagai orang yang udah kenal Eunho dari lama, gue tetep enggak bakal bisa heran sama kelakuan itu orang. Oke, oke. Gue sendiri orangnya random. Tapi itu pure karena kebiasaan. Lagi pula, ke-random-an gue enggak ada, tuh, mengganggu atau menyakiti orang lain. Kalaupun ganggu, paling-paling cuma buat bikin ngang ngeng ngong. Sisanya aman.

Lah, Eunho?

Enggak jelas total.

Ngomong apaan, dia sendiri kadang enggak paham dia ngapain.

Gue temenan sama dia udah lama, jadi gue bisa sadar kalau keanehan dia itu adalah bentuk cari perhatian. Alias caper! Ke rumah orang tua Eunho gue pernah. Terungkap, deh, kalau di sana semua asbunnya Eunho bakal direspon sama si nyokap. Enggak selalu, sih. Kadang dia diabaikan penuh soalnya nyokapnya males. 

Ya, iya, lah. Siapa yang enggak muak denger dia bacot mulu, anjir. Mana enggak penting pula. 

Eunho dulu banget pernah ajak gue join gengnya. Band, sih. Kekurangan anggota soalnya. Kebetulan gue bisa main gitar, sekadar hobi aja. Ditarik masuk, deh. Di sana gue kenal sama bang Noah dan mas Yejun. Ternyata, oh, ternyata! Mereka juga sefrekuensi sama gue soal capernya Eunho.

Eh, tapi. Meski mereka notice Eunho tuh caper gajetot, cara mereka merespon Eunho, tuh, beragam asoy. Beda dari gue yang antara anggap dia astral atau jawabnya males-malesan. Mas Yejun bakal respon dia, cari celah, sampai akhirnya nemu titik tumpu yang bakal dia jadiin bahan serangan. Contoh easy-nya, sih, pas Eunho semangat banget cocot tentang game FPS. Nanti mas Yejun angguk-angguk aja sama kadang sambil ngomong “Oh, gitu, ya?”, mancing Eunho biar terus ngomong. Nah, di akhir dia bakal bilang, “Tapi, No. Di sini kayaknya enggak ada yang minta lo cerita tentang game itu enggak, sih?”

Suer. Muka planga plongo punya bocil Do sangat memuaskan kehausan gue. Fuck, satisfying banget. 

Di sisi lain… Gimana, ya. Bang Noah itu…

Gue enggak tau dia emang baik dan enggak enakan atau tolol. Intinya bang Noah dengan segenap jiwa tetap tulus dengerin Eunho. Well, seenggaknya gitu, sih, keliatannya. Jokes garing Eunho pun bisa pancing ketawa kecil dari bang Noah. Mumpung mereka sama-sama suka asbun dan out of the box, gue biarin, deh!

Datanglah Hamin.

Pemain bas baru band kami. Ketika Hamin enggak lama join, gue segera nanya tentang keanehan Eunho ke dia. Kebiasaan aja. Bestie, mah, gini. Gali-gali kejelekan temen biar bisa dipakai jadi senjata nanti. Toh, gue juga tau Eunho sering ngelakuin yang sama. 

Kembali ke Hamin. Gue enggak segan to the point nanya itu ke dia. Habisnya! Habisnya dia keliatan gigih banget idolain Eunho. Hamin, tuh, keliatan banget nge-fans sama kami-kami yang lebih tua. Gokil. Tapi, idolain Eunho? Be for real. Oke, dia peka nada. Bisa buat lagu. Bisa main instrumen musik terutama drum. Muka gue ngerut miris pas Hamin balas, “Soalnya, kak. Kak Eunho, tuh, keliatan bisa urus diri kalau gugup. Dari kita semua, cuma kak Eunho yang Hamin belum liat takut mau manggung.”

Oke, jawaban diterima.

Akan tetapi! Beberapa minggu setelahnya Hamin nyamperin gue CUMA buat bilang, “Kak, inget pertanyaan kakak dulu? Kayaknya mulai sekarang Hamin enggak bakal idolain kalian.”

Gue terkekeh aja dengernya, “Kenapa?” Hamin, tuh, tipe yang jujur. Bukan macam Eunho yang susah bohong, Hamin seolah udah diajarin dalem-dalem kalau dia enggak boleh bohong. Anak baik!

“Stress semua, ah. Ikut malu Hamin tiap liat kalian tingkah.”

“Eunho juga?”

“Kak Eunho terutama.”

Bangsat. Stand up comedy sekali hidup ini. Ngakak brutal setelah gue denger Hamin lapor kayak gitu. 

Oke. Em. Sebenarnya poin adanya ini fanfict itu bukan karena Eunho yang caper dan bacot aja. Ada lebih. 

Keadaan darurat.

Sekarang bacotnya Eunho jadi mirip V*cky Pr*setyo. 

Tai.

Kalian harus tau rasanya rapat bareng anggota band dan seketika Eunho ngomong, itu pasti… Sulit dijelaskan. Intinya mimpi buruk. 

Bayangkan aja lagi serius rapat. Serius rapat, nih, ya. 

Eh, si Eunho tiba-tiba, “Nirwana sana tidak akan bisa menampung jerih payah keringat bercucur air terjun Cimahi kita, mas. Penggemar harus bisa terciprat isak tangis derajat tidak pasti penampilan eksotis layaknya buah naga nanti. Jangan sampai kebingungan melanda bak kekeringan sanggup mewaduk kuasa api bergejolak di hati ini!”

Apa, sih, anjrot. 

Ini left grup boleh enggak?

Auto hening rapat. Sampai akhirnya bang Noah, BANG NOAH, ketawa sambil nepuk-nepuk punggung Eunho. 

Objek kedua pembicara ini, sudah jelas, bang Noah.

Eunho bacot sudah obvious. Bang Noah kalem demi menerima kebacotan Eunho???

What a game, man.

Sejak kenal bang Noah, terutama setiap Eunho enggak ada, gue jadi paham kalau dia itu the mood stabilizer of the group. Kalau Eunho itu mood maker, bang Noah itu si penstabil mood. Biar, mungkin, entah antara buat mood itu tetap di kondisi bagus atau biar mood tersebut enggak berlebihan rendah-tingginya. Alias enggak heran kalau bang Noah itu sama asbunnya kayak Eunho. Nah, kalau Eunho udah melancarkan keasbunnya, bang Noah seolah “Keasbunan gue tidak dibutuhkan di sini, yang dibutuhkan adalah mengendalikan keliaran ini anjing” jadi bang Noah mundur and let Eunho shine his way out.

Tetep aja asbunnya mereka sebelas dua belas. Namun, beda dari Eunho. Bang Noah itu kedengeran banget kalau asbun enggak disengaja. Dia enggak sadar dia asbun, jadi suka lucu. Gue jujur aja, nih. Bang Noah lucu. 

Misalnya kami orang lagi ribut tentang bubur aduk dan enggak diaduk. Terus bang Noah bakal nyeplos, “Apa enaknya dubur diaduk, anjir.”

Gitu, deh. Asbunnya enggak disengaja. Dia sendiri suka enggak sadar bahkan sampai denial. Tapi lucu! Gue bukan pendusta, jujur-jujur aja. 

Nah, si Eunho… Hanya dia dan penulis yang tau kenapa mulutnya asem banget. 

Objek ketiga adalah (maaf banyak banget, ini yang terakhir) mereka berdua. Alias koneksi keduanya.

Akhir-akhir ini gue suka liat Eunho itu bacot V*cky Pr*asetyo maksimal kalau ada bang Noah aja. Sisanya bacot biasa. Sayangnya gue enggak paham bahasa alien pak V*cky, jadi gue cuma bisa analisis dari intonasi dan ekspresi.

Dugaan gue yaitu. Mereka lagi latian akting?

I know it sounds impossible. Apa lagi buat Eunho. Tapi, cuy, hanya itu yang make sense untuk sekarang.

Tiap Eunho mode pak V*cky, bang Noah cuma senyam-senyum ngangguk. Enggak jarang dia ngusap kepala bocil Do pas si empu kelar. Seolah ngucap “Gila, good job, dick! Teruskan latihan aktingmu!” 

Iya, enggak, sih?

Most likely, ya.

Soalnya bang Noah enggak bilang apa-apa tiap puk-puk Eunho. Suer, cuma senyum dan ngangguk aja. Habis itu, enggak ada. Ya, balik ke aktivitas masing-masing.

Next kalau gue udah ngerti bahasa konsonan langit-langit mungkin akan gue update kabarnya. Gue harap gue enggak bakal bisa ngerti, sih. Bayangkan teror yang akan gue terima ketika gue ngerti itu cocot. Aduh…

Chapter Text

Update, gue masih enggak paham bahasanya, tapi! Gue sekarang punya informan!

Dari kesekian orgil yang hidup di band ini, gue (baru) tau kalau Hamin adalah orang yang diem-diem kenal bang Noah banget. Gue enggak tau pastinya siapa dia antara dia dan mas Yejun yang paling kenal bang Noah. Mungkin mereka berdua setara, tapi gue enggak bisa gali gosip tentang bang Noah dari mulut mas Yejun. Males, ah. Nanti gue jadi Eunho kedua, deh. Diisengin mas Yejun. Udah syukur gue jadi anak emas mas Yejun aja. Anak bawangnya Hamin. Anak pungutnya Eunho. 

Kebetulan banget gue liat Hamin nganggur di tangga studio. Nyebat, kah? 

Enggak, lah. Ya, kali Hamin nyebat.

Um.

Enggak, kan, ya?

“Kak, kalau mejeng diem gitu serem tau.”

Gue langsung sadar dari tadi gue cuma merhatiin Hamin aja dari tangga atas. Garuk-garuk enggak gatel, gue cengengesan aja nanggepin teguran dari Hamin. “Ngapain lo, Min, bengong di sini?” tanya gue sambil nyamperin itu bocah.

Hamin bergeser dikit biar gue bisa duduk di sampingnya. “Meditasi, kak.”

Shock, gue baru tau Hamin into meditate. “Lo suka meditasi?”

“Enggak, tadi cuma ngibul.”

“Tai,” walau gitu gue tetep ketawa basa-basi. Tapi emang keliatannya Hamin lagi bengong meditasi atau apa pun itu. Diem aja, liatin lorong studio. Cuma suara napas dia yang kedengaran. Enggak tahan canggung, gue pun bersuara. “Min, boleh nanya enggak?”

“Boleh,” Hamin ngangguk. “Selama pertanyaannya aman untuk segala umur. Hamin masih kecil, kak.”

Gue tempeleng kepala dia, “Kecil-kecil bongsor!”

Hamin nggrutu megang sisi kepalanya yang gue dorong, “Nanya apaan, sih?”

“Tentang bang Noah.”

Wajah Hamin langsung keliatan tertarik, alisnya keangkat satu. “Kak Bam suka kak Noah?”

“Apa, sih, anjir!” gue tempeleng lagi itu anak. “Seandainya gue maho juga, bang Noah bukan tipe gue.”

“Eh?”

“Eh?” gue ikut speechless. “Um, back to the topic. Lo udah kenal bang Noah berapa lama, Min?”

“Lama banget. Sampai nenek Hamin yang punya alzheimer suka ngira punya cucu blasteran.”

“Dan cucu yang dimaksud itu bang Noah?”

“Iya.”

Wow, oke. Memang gue enggak salah jadiin Hamin subjek wawancara. Yu Hamin tidak mungkin mengecewakan! 

“Um, bang Noah tuh, gimana, sih?”

Tanpa ngalihin pandangannya dari lorong, Hamin nyaut. “Apanya gimana?”

“Orangnya, personality-nya. Soalnya jujur, Min. Sesintingnya bang Noah, gue ngerasa dia itu people pleaser. Enggak enakan.”

“Eh, kak Bam sadar?”

Kesentak kaget, “Sadar maksudnya?”

“Kak Noah itu susah ngomong enggak, susah nolak,” jelas Hamin. “Beberapa orang yang Hamin ingetin biar enggak dorong kak Noah kejauhan suka nolak fakta itu. Padahal emang bener. Gini-gini, Hamin suka kasian kalau kak Noah yang sebenarnya sungkan, tapi enggak bisa nolak.”

GG, emang betul-betul pilihan hidup yang tepat dengan nanya ke Hamin. Jawaban dia adalah jawaban yang gue cari. Enggak jauh-jauh dari tebakan gue. Yaitu bang Noah yang “terlalu baik”. Gue berdehem, “Pantes aja,” si Eunho enggak ragu ngoceh ke bang Noah. Enggak herman.

“Hn?” Hamin dengan lugunya nengok ke gue sambil nunjukin muka bertanya-tanya. “Apa yang pantes?” ini perasaan gue aja atau emang muka sama intonasi si bocah enggak sinkron. 

“A-ah, maksudnya, tuh. Akhir-akhir gue notice, Eunho kalau bacot pasti ngutamain bang Noah,” gue beralasan. “Selama ada bang Noah, kita, nih, Min, aman-aman aja dari bunyi tong kosong si Eunho.”

Hamin kembali mamerin ekspresi dia yang seolah ngucap “Iya, kak! Betul banget!” Gila, sih. Giant-giant gini, Hamin memang si bontot. Kalau boleh jujur, boleh, dong, si Hamin itu lucu. Lucunya Hamin sama bang Noah tuh beda. Bang Noah tuh lucu bikin orang kagum kok orang sejompo di umur muda ini bisa ada. Sedangkan Hamin? Dia, tuh, tipe malu-malu, men. 

Malu-malu ala anak kicik yang baru belajar hal dewasa. 

Hal dewasanya enggak harus ngentot, ya. Jangan ngeres, ini rating fanfict-nya dibuka untuk remaja umum. Ganti website kalau mau nyolo.

Dua-duanya sama menghibur. Dan menghiburnya enggak harus buat ngakak, selama bikin takjub dan terhibur udah cukup.

Gokil, deh. Enggak nyesel gue join. Satu-satunya hal yang gue sesali adalah tidak pernah kepikiran buat hasut para tetua band buat kick Eunho.

Anyways, sampai di mana tadi?

Ah, iya.

“Kenapa, Min? Lo kok cuma natep gitu aja…” gue bergerak gelisah. Apa, sih, liat-liat.

Hamin menggeleng, “Hamin enggak nyangka aja, kak. Hamin kira, cuma Hamin yang sadar tentang hal itu. Ngerasa lega.” Hamin kemudian ngeistirahatin kepalanya di kedua lengan terlipat di atas lutut. Hamin jadi keliatan ekstra bocah banget kayak gitu.

“Lega ternyata ada orang lain yang notice kecaperan Eunho ke bang Noah?” tebak gue. “Bang Noah sebenarnya keganggu enggak, sih, Eunho kayak gitu? Gue kasian, sumpah, liatnya.”

“Hm…” Hamin melirik ke atas, mikir. “Keliatannya, sih, enggak. Kalau kak Noah enggak nyaman, bisa keliatan, kok, kak.”

“Oh, iya?”

Tiap Hamin ngangguk, antena di kepalanya ngikut toel-toel. “Iya. Mungkin kak Bam enggak merhatiin, tapi muka “iya”-nya kak Noah untuk “iya” tulus dan “iya” enggak ada pilihan lain, tuh, beda tau.”

Detective Conan real no fake, Yu Hamin.

Setelahnya gue ngobrol terus sama Hamin. Gue seneng banget ada yang sefrekuensi sama gue di sini yang bukan Do Eunho. Nanti gue jadiin Hamin anak emas gue, deh! Seru, nih, jadi bestie-nya Hamin. Sampai akhirnya kami inget kami lagi latian band untuk pertunjukkan dua minggu lagi. Alhasil kami buru-buru naik ke atas buat balik ke ruang latian kami. 

Ternyata di dalam Eunho udah siaga ngomel ke kami. Kalau dia ngomel nyangkut pautin nasib sendiri, sih, gue bakal anggap angin lalu aja. Bangsatnya, si Eunho ngomel sambil guilt trip gue dan Hamin tentang mas Yejun dan bang Noah. 

Gue ngedumel aja ngerespon si bocah Do.

Di pojok, mas Yejun yang lagi baca kertas lirik cuma ngakak terhibur. 

Dan bang Noah…

“Ya, udah. Yuk, guys, kita lanjut,” usul mas Yejun motong serapahan Eunho. Thanks, mas. 

Latian lanjut sampai kami tepar. Sebenarnya kami enggak cuma main, tapi sunting lagi pembawaan lagunya. Kapan Eunho atau bang Noah harus bantu vokal, kapan gitaris, aka gue, harus jeda main biar bas bisa ke-higlight, dan lain lagi. 

Kepemimpinan mas Yejun enggak usah ditanya, bro.

Keren abiz.

Jujurly, menurut gue bang Noah juga oke jadi pemimpin. Tapi, like Hamin said, dia ada masa sulit nolak. Kadang susah serius. NGL, dia cocok jadi mom of the (half of the) group. Mom-nya Eunho, wicked stepmother-nya gue dan Hamin. Serious side, enggak jarang kalian bakal nangkep kami diurus secara baik-baik dan gentle oleh bang Noah. Kalian tau? Bang Noah pernah nyembunyiin gue di baliknya, karena ada kecoak. Dia enggak tau aja gue OP kalau sama kecoak. Gue enggak nolak dilindungi gitu, ha-habisnya… Um… Ne-next topic!

Semakin lama gue diem-diem lirik bang Noah, semakin gue sadar bang Noah, tuh, bukan sekadar nurutin asbunnya Eunho. Tapi juga keeping him on the leash. Aduh, ibu-ibu banget. Vibe-nya kayak “Nak, Eunho. Duduk yang bener, nak, kalau lagi makan” kind of shit. Suka ngingetin cuci tangan, makan, and even mandi?!

Ajaibnya Eunho nurut bae sama bang Noah.

Mungkin Eunho mikir kalau dia enggak nurut, bang Noah bakal ogah denger asbunnya lagi. LOL.

Still… Insting gue mengatakan ada yang lebih dari sekadar “bang Noah dengerin Eunho karena dia orang “baik””. Jadilah gue sekarang, um, sering mata-matain mereka. Kadang gue sengaja nunggu, ngumpet, di balik tiang studio. Tau mereka berdua suka telat BARENG, jadi gue stand by. Seperti sekarang.

Skill gue sudah mengalahkan intel tukang bubur. 

Mereka enggak sadar kalau gue perhatiin. Keliatannya. 

Bisa kedengaran dari kejauhan suara Eunho yang gede bangsat. Ngoceh mulu, konteksnya apaan gue enggak tau. Intinya ngomong. Enggak ada makna enggak apa-apa yang penting ngomong. Kalimat dia, tuh, bagai kata-kata random yang disatuin secara asal sampai bikin kalimat. Kayak, “Golf bang Noah, tinggi enak gitu. Betul, kan?” Random shits being sandwiched into one sentence.

Bang Noah yang jalan di sampingnya merhatiin muka Eunho sambil ngangguk-ngangguk. Kadang dia nyaut, tapi terlalu pelan buat gue denger. Lebih apesnya, gue juga enggak bisa liat muka bang Noah. 

Saking asiknya berbincang mereka sampai berhentiin langkah mereka sesaat. Diem berdiri aja sambil ngoceh. Eunho gesturin tangannya sembari dia bersuara. Bang Noah di sampingnya manggut-manggut, rambut pirangnya goyang-goyang gitu. Gue yang bete coba pindah posisi biar lebih enak nge-stalk. Sampai akhirnya gue bisa nemuin posisi yang bisa liat muka bang Noah tanpa ketahuan.

Muka bang Noah terpapar cermin.

Suara Eunho lepas aja gitu dari telinga gue tepat ketika gue bisa liat muka bang Noah dari pantulan kaca. Mukanya itu…

“Kak Bam?” sapa Hamin sambil tunjukkin minuman kaleng ke muka gue. Gue ambil minuman itu, soda abis latian mantap.

Sesi latian kali ini selesai. Yang lain udah pada pulang, kecuali gue dan sepertinya juga Hamin. Mas Yejun balik setelah dia diskusiin sesuatu gitu sama warga studio. Kalau Hamin, mah, emang kebiasaan pulang terakhir. Katanya dia suka ngaret di studio. Gue juga denger si Hamin itu pulangnya naik transportasi umum, suka beralasan dia maunya pulang di saat yang tepat. Gue jarang naik transport umum, sih, mungkin Hamin nyari waktu yant enggak padet dan macet. Who knows. Atau nungguin seseorang, cie, Hamin.

Habis ngucap “makasih”, gue langsung buka dan tegak itu soda. Sedap…

“Kak Bam abis balik stalk kak Noah dan kak Eunho jadi murung terus, liat apa tadi?”

“Stalk?”

“Iya, tadi pagi pas kak Bam stalk mereka berdua. Liat apaan?”

Kok Hamin tau gue stalk bang Noah ama Eunho, sih. Malu anjir.

“Li-liat… Um…”

“Ya?”

Gue enggak mau langsung jawab, takutnya gue salah paham. Jadi gue respon pakai hal lain, “Bang Noah itu maho enggak, sih?”

“Eh?” Hamin ngembungin pipinya. “Enggak tau, deh. Hamin enggak pernah pacaran sama kak Noah.”

Gue tonjok bercanda lengan Hamin, “Ish!”

“Emang kenapa? Kak Bam duga kak Noah homo?”

“Em… Tadi gue liat bang Noah. Mukanya… Ekspresinya itu… Kayak liat, apa, ya. Kayak liat sesuatu yang wow gitu. Paham enggak?”

“Wow? Menurut kak Bam muka kak Noah itu ganteng, gitu?” Alis Hamin keangkat satu.

“Bukan gitu, bego! Kayak, amazed gitu. Ngeliatin Eunho seolah Eunho itu sesuatu yang came out straight from a fairytale. Something like that.”

“Hah?”

Ya ampun, gue lupa Hamin enggak lancar bahasa Inggris. “Seolah Eunho itu sesuatu yang “imajinatif”,” tangan gue mengutip kata itu, “Yang benar-benar fiksi!”

Ini mungkin ilusi mata aja, tapi gue liat antena Hamin ngebentuk tanda tanya. WTF. “Jadi, kak Noah liat kak Eunho kayak liat unicorn, gitu?”

Hadeh… “Iya, mirip-mirip.”

Kami hening.

“Karena itu kak Bam kira kak Noah homo, soalnya kak Noah keliatan suka sama kak Eunho?”

Mata gue berbinar, “Yes!” Gue jentikkin jari. Kebiasaan bang Noah yang nempel dan menyatu dengan diri gue. “Tatapan bang Noah tuh seolah ngomong kalau Eunho adalah sosok yang wow, yang di luar nalar, tapi punya peran yang spesial. Kayak… Kayak harta karun!” Fuck, bahasa gue alay. 

Sebenarnya ini tatapan enggak bakal aneh semisal bang Noah memang sering pakai itu. Masalahnya, tatapan bang Noah cuma aneh untuk Eunho seorang! Beberapa kali gue tangkap bang Noah seolah natap gue jutek. Gue semacam pakai barangnya tanpa izin. Barang apa yang gue pakai? Eunho? Gross!

Selesai gue celoteh panjang pendapat gue tentang bang Noah, Hamin lagi-lagi diem.

Dia keliatan ragu, tapi kemudian dia memutuskan mau kasih tau gue sesuatu. Enggak lupa peringatin gue biar enggak cepuin ini ke yang lain. Termasuk mas Yejun. Hamin mulai deketin mukanya ke telinga gue, deru napas Hamin kedengaran jelas dan besar dari jarak sedekat itu. Ketika Hamin mulai berbisik, gue mulai menggelinjang geli. Geli, men!

Selesai bisikin gue kontennya. Hamin menjauh. 

Dan gue?

Gue terdiam.

Dumbstruck.

Because what the actual fuck.