Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2025-09-25
Updated:
2025-09-25
Words:
1,433
Chapters:
1/2
Comments:
3
Kudos:
36
Bookmarks:
2
Hits:
767

Just Get Married

Summary:

Siapa bilang di era modern ini perjodohan itu sudah tidak ada?

Yang menjadikannya masalah adalah Wonwoo di jodohkan oleh ibunya dengan seorang pria. Apalagi tak pernah terpikirkan sebelumnya, selama ia hidup akan menikahi pria yang bahkan bisa mengandung.

Chapter Text

Siapa bilang di era modern ini perjodohan itu sudah tidak ada?

Di usianya yang sudah menginjak ke 29 tahun, Jeon Wonwoo selalu berdoa agar ia segera dipertemukan dengan jodohnya. Ingin hidup bahagia bersama pasangannya dan kelak mempunyai seorang anak.

Ia hampir setiap hari di tanya oleh sang ibu kapan akan memperkenalkan calon mantu untuknya, keburu tua jika menunggu terlalu lama, begitu katanya.

Wonwoo juga tengah berusaha, namun tak pernah ada yang bertahan lama bersamanya. Setiap kali ia ingin mencoba, selalu saja gagal entah kenapa. Mungkin karena wanita yang pernah menjalin hubungan dengannya membuat Wonwoo kewalahan.

Mereka terlalu menuntut banyak, susah di mengerti dan ingin selalu di mengerti.

Wonwoo bukan tipe yang akan menuruti setiap permintaan jikalau menurutnya itu tidak masuk akal, ia termasuk orang yang hemat meskipun hartanya terbilang mencukupi.

Sebab Wonwoo ingin hubungannya lebih serius, hanya saja mereka masih belum siap dan seringkali mengamburkan uang. Maka dari itu Wonwoo belum menikah, yah tidak untuk saat ini.

 

"Wonu, kamu ibuk jodohin."

Pria itu tertegun, memandang ke arah sang ibu tak percaya. Baru saja ia tiba di rumah sepulang bekerja, belum sempat berganti pakaian, tiba-tiba saja ibunya datang menghampiri dan berkata demikian.

"Maksud ibuk apa?" tanyanya.

Ibunya menghela napas, berjalan lebih dekat. Tangannya menyentuh lengan putra semata wayangnya dengan lembut. "Ibuk nggak mau liat kamu lama hidup sendiri, makanya sekarang, dengan persetujuan kamu ibuk jodohin."

Wonwoo terdiam, ia tidak bisa berkata apa-apa. Otaknya bahkan saat ini tidak dapat bekerja dengan cepat, ia masih memahami maksud dari perkataan itu.

"Wonu?" panggil sang ibu.

Wonwoo tersentak kecil, segera sadar dari alam bawah sadarnya, tak terasa sudah melamun terlalu lama. Ia kemudian menatap ibunya yang terlihat sedang menuntut jawaban darinya. Wonwoo menggosok leher merasa canggung.

Memang, bukan hanya sang ibu saja yang menginginkan Wonwoo untuk menikah, ia pun menginginkan hal tersebut. Tapi, apakah harus dengan jalan yang namanya perjodohan?

"Harus banget gitu buk, dijodohin? emang masih jaman ya?"

Ibunya menggeleng pelan, tangannya beralih turun menggenggam jemari Wonwoo erat. Seolah sang ibu sedang memberikan kepercayaan padanya. "Nggak ada aturan masih atau nggaknya, selama kedua belah pihak setuju itu nggak masalah. Tapi, ibuk berharap kamu bersedia, Nu."

Wonwoo mengulum bibir, masih mempertimbangkan akankah ia setuju atau tidak. Jauh dalam lubuk hatinya, ia ingin sekali menolak dengan keras. Sejauh ini memang dirinya belum bisa mendapatkan yang lebih tepat, tapi ia bisa pastikan Tuhan mempunyai rencana lain yang lebih pasti.

Dan, tidak mungkin yang lebih pasti itu dijodohkan... 'kan?

"Sama siapa ibuk mau jodohin aku?" ia bersuara setelah hening lama, sorot matanya tampak begitu pasrah.

Ibunya mengulas senyum tipis, kini sepenuhnya kedua tangan menggenggam jemari Wonwoo. "Sama anak dari temen lama ibuk, anaknya satu tahun di bawah kamu. Dia orang yang cocok jadi pasangan hidup kamu."

Wonwoo mengangguk mengerti. "Aku harap dia nggak kayak cewek yang pernah Wonwoo temuin, buk."

Seketika alis sang ibu berkerut membentuk guratan halus, wajahnya sontak berubah, tersamar rasa heran dengan ucapan putranya. "Siapa bilang ibuk bicara soal cewek?"

"Loh?" Wonwoo membeku, matanya mengedip beberapa kali. "Jadi bukan cewek?"

Ibunya menatapnya sembari menggeleng. "Tenang aja, dia bisa ngasih kamu anak kok. Dia juga nggak akan bikin kamu pusing kayak cewek yang pernah kamu temui."

Wonwoo menarik napas lalu menghembuskannya kasar, menggaruk kepala merasa pusing. Yang menjadikannya masalah adalah Wonwoo di jodohkan oleh ibunya dengan seorang pria.

Apalagi tak pernah terpikirkan sebelumnya, selama ia hidup akan menikahi pria yang bahkan bisa mengandung.

"Siapa namanya?"

Senyum ibunya semakin lebar, binar matanya jelas sekali menunjukkan rasa senang dan penuh keyakinan. "Kim Mingyu."

 

Pria bersurai kecokelatan itu duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela kamarnya yang terbuka. Angin sore berhembus pelan, tapi tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang penuh sesak.

Mata cokelatnya tampak sayu, sorotnya seakan kehilangan cahaya yang masuk. Bahkan terbangun dari ranjang yang sama pun terasa berbeda sekarang.

"Mau gimanapun kamu harus nikah sayang, mama sama papa percaya kalau pasangamu ini bakalan ngerti sama keadaanmu."

Kata tersebut berulang-ulang, terngiang di dalam kepalanya sampai ingin pecah, terasa begitu menyakitkan. Bukan karena ia tidak ingin, tapi memang kenyataan jika dirinya yang berbeda dari kebanyakan pria lainnya.

Terdengar suara detak jam yang berada di dinding, seolah memberitahu bagaimana sunyinya dalam kamar itu sekarang. Kim Mingyu, pria itu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam lalu helaan napas kasar keluar.

"Padahal hidup tanpa pasangan udah biasa bagi aku, tapi kenapa harus nikah?" lirihnya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya.

Sudah lama ia terbiasa dengan tatapan heran orang lain, atau pertanyaan yang seolah-olah menusuk tanpa peduli. Ia bisa hidup dengan itu. Tapi ketika kini pernikahan jadi nyata—ketika keluarganya benar-benar menjodohkannya dengan seorang pria—ia tak tahu lagi harus merasa apa.

Mingyu meremas ujung selimut. Mungkin orang luar tidak akan pernah paham. Ia terlahir dengan tubuh yang rumit, setengah bagian dari dirinya selalu dipertanyakan.

Intersex. Kata itu terdengar asing bagi banyak orang, bahkan terlalu tabu untuk diucapkan.

Pintu kamar terbuka perlahan, suara ketukan yang samar mendahului seseorang masuk. Mingyu menoleh ke arah sumber, menatap wanita paruh baya yang menyunggingkan senyum lembut kepadanya. Kesedihan tak bisa ia paksakan untuk baik-baik saja.

"Ayo turun, mereka udah dateng." sang mama berujar.

Mingyu tercekat, jantungnya berdetak kencang memompa darah hingga nyaris memekakkan telinga. Rasanya, seakan paru-parunya mengurangi pasokan oksigen, menolak udara yang masuk.

Dengan langkah gontai, ia beranjak, menepis sisa keraguan yang masih bergelayut.

Tangga rumah itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap pijakan membuat dadanya makin sesak. Begitu tiba di ruang tamu, tatapan matanya langsung bertemu dengan seorang pria yang sedang duduk kaku, menunduk seolah sama gugupnya.

Mingyu duduk di sofa seberang bersama mama dan papanya. Menyadari ada pergerakan lain, Wonwoo— pria itu mengangkat kepala. Netra keduanya saling bertrubrukan satu sama lain seperkian detiknya, cukup lama untuk membuat keduanya kehilangan kata-kata.

Sontak, punggung Wonwoo berubah tegak. Tak percaya bahwa inilah sosok yang dimaksud ibunya, sama persis seperti yang di foto. Sementara Mingyu hanya bisa menahan napas.

"Wonwoo, kenalin ini Mingyu." mama Mingyu bersuara, membuat Wonwoo menelan ludah kemudian mengulas senyum tipis.

"Halo." sapanya, berusaha agar tidak terdengar canggung.

Baik Wonwoo maupun Mingyu, keduanya sama-sama terpaksa untuk menyetujui ikatan di antara mereka. Dan masing-masing tak ingin memberikan kekecewaan terhadap keluarga.

Lampu-lampu jalan mulai menyala, menandakan jika senja yang tadinya berwarna oranye kini berganti dengan kilauan di malam hari. Saat kegelapan menyelimuti kota, pikiran mulai merenung, memikirkan apa yang terjadi sepanjang hari tadi.

Di halaman belakang, suasana terasa berbeda. Sebuah meja bundar berdiri tenang di antara tanaman yang baru saja disiram pagi tadi. Udara malam membawa keheningan, sampai suara jangkrik pun terdengar.

Mingyu duduk di sana, punggungnya sedikit membungkuk, kedua matanya tak henti-hentinya memandangi cincin di jarinya. Jemarinya berulang kali memutar logam tipis itu, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan.

Mereka baru saja memasang cincin pertunangan. Pernikahannya akan di laksanakan minggu depan, hanya di hadiri oleh keluarga besar dari kedua belah pihak.

Di hadapannya, Wonwoo duduk terdiam. Punggungnya bersandar pada kursi kayu, tetapi tubuhnya kaku, tatapannya melayang ke arah rerumputan. Sama sekali tidak tahu harus memulai darimana, apalagi kata apa yang tepat diucapkan.

Sunyi. Hanya suara serangga malam yang terdengar samar di sela-sela.

"Aneh, ya?" Mingyu membuka suara, matanya tetap menatap cincin tersebut. "Waktu cepet banget berlalu, bahkan bikin dua orang paksa untuk setuju."

Wonwoo menolehkan kepala pelan, memperhatikan pria di hadapannya. Ia mengerti maksud kalimat itu, tapi sulit mencari respon yang tidak terdengar canggung.

"Ya, emang aneh." sahutnya, entah nanti kedepannya akan merugikan kedua belah pihak atau malah menguntungkan.

Senyuman samar terpatri di wajah Mingyu, air muka yang terlihat murung kini berubah datar. Suasana hatinya memang gampang berubah-ubah. "Kamu pasti bingung kan."

Wonwoo sedikit memiringkan kepala, kedua alisnya kontan terangkat. "Bingung tentang apa?" tanyanya.

Mingyu memutar cincin sekali lagi, lalu akhirnya mengangkat pandangan, menatap Wonwoo lurus untuk pertama kalinya. "Aku nggak tau kamu merasa gimana, tapi pasti kamu bingung kan apa yang terjadi sama aku?"

Wonwoo menahan napas sejenak, kemudian ia mengangguk pelan. "Udah di kasih tau semuanya sama ibuk." ujarnya.

Sontak Mingyu mengangkat kedua alisnya, ia mendengus, tak menyangka jika calon pasangannya sudah tahu lebih dulu. "Aku pengen tau tanggapan kamu tentang itu."

"Tanggapan?"

"Iya."

Wonwoo mengangguk. "Aku sempet kaget, tapi nggak ada yang bisa aku lakuin. Aku masih belajar ngerti, mau coba kenal kamu dulu."

"Mencoba kenal aku dulu?" celetuknya, tawanya mengudara, seolah apa yang di katakan oleh Wonwoo itu sebuah lelucon.

Tentu saja Wonwoo terlihat bingung, merasa heran mengapa Mingyu malahan tertawa. Tapi ia tidak bertanya ataupun protes, hanya diam menatap pria di hadapannya itu berusaha untuk meredam tawa.

"Oke." ia bersuara, punggungnya berubah tegak. "Mari kita coba buat kenal satu sama lain lebih dulu." lantas Mingyu tersenyum.

Tak ada salahnya memulai sesuatu dengan mengenal satu sama lain terlebih dahulu, 'kan?

Ya, Wonwoo tidak masalah. Dan dia berharap dengan semua ini— kebahagiaan datang tanpa halangan.