Work Text:
Kalau dipikir-pikir gue sama Jihoon tuh udah temenan dari kapan ya? Nggak ingat deh, yang jelas dalam berjilid-jilid album foto yang disimpan sama Bunda di ruang keluarga, ada banyak potret gue bareng Jihoon.
Kadang kalau lagi bosen atau iseng, gue sering liatin, lucu banget, ada foto kami berdua dikelilingi boneka teletubbies, terus ada gue sama dia yang lagi main jungkat-jungkit, ada pula potret wajah kami yang berlumur kue coklat, kayaknya ini pas ulang tahun gue yang ke-5 deh
Berlembar-lembar setelahnya kayak time lapse, isinya foto-foto kelulusan kami di tiap jenjang pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas, lalu berbagai momen spesial lainnya yang kami lewati bareng-bareng.
By the way, kenalin, gue Kwon Soonyoung.
Sekarang ini album foto itu udah jarang diisi lagi, karena ya hari gini kayaknya males banget nggak sih kalau masih harus bawa-bawa tustel lalu cuci foto setelahnya?
Apalagi saat lo punya ponsel pintar yang bisa mengakomodir semuanya. Ditambah Jihoon yang udah punya si Roi, polaroid kesayangannya yang selalu dia bawa untuk mengabadikan momen yang menurutnya istimewa.
Walau kadang-kadang gue miris sih, karena Jihoon jadi suka memalak gue dengan embel-embel sajen buat Roi, iya, gue dipaksa ikut andil dengan menyumbang untuk beli refill instax alias kertas fotonya Roi.
“Muka lo juga nanti bakal nampang di sini, jadi gue minta kompensasinya sekarang, anggap aja biaya cetak.” imbuhnya ketika gue protes kala itu, layar ponselnya yang tengah membuka salah satu aplikasi e-commerce itu disodorkan tepat ke wajah gue.
Jarang-jarang tuh seorang Lee Jihoon bisa bawel begitu, jadi dengan berusaha berbesar hati, gue akhirnya membalas, “Transfer aja ya? Rekening apa pake Dana?”
Nggak lama setelah gue tanya begitu, Jihoon senyum.
Aduh kok perasaan gue nggak enak ya?
“Checkout-in keranjang gue sekalian dong, Nyong. Nanti kurangnya gue bayar deh, tapi nggak tau kapan.”
Bener ‘kan? Ini mah gue diporotin namanya. Nyengir doang pula anaknya.
Lagian manusia mana yang segitu malasnya pergi ke minimarket dan malah beli perlengkapan mandinya via platform belanja daring, coba? Lee jihoon doang pokoknya.
Kalau bukan karena dia temen gue dari orok dan berjasa membangun motivasi gue tiap mau ujian mah, mana mau gue menggelontorkan dana yang padahal bisa dialokasikan buat jatah makan gue selama seminggu itu?
Kwon Soonyoung, si bocah edan itu kayaknya udah bareng-bareng sama gue semenjak gue belum bisa jalan dan memanggil Mama dengan fasih.
Ingatan masa kecil gue tentang Soonyoung nggak jauh dari bocah yang selalu mengajak gue main di taman kompleks dan mengayuh sepeda pada sore hari.
Soonyoung dibenak gue juga masih berputar di kepingan memori soal anak paling berisik di Taman Kanak-kanak, sedari dulu, si hebring itu selalu pintar mencari kawan, tapi anehnya dan juga syukurnya, dia nggak pernah lupa kalau gue itu sahabatnya.
Tiap kali dia menemukan lingkar pertemanan yang baru, dia selalu menggandeng tangan gue dan bilang pada tiap-tiap manusia yang ada di situ bahwa gue, Lee Jihoon, adalah teman baiknya.
Kemudian, Soonyoung remaja yang terpatri di silabus otak gue adalah Soonyoung yang tiba-tiba mengetuk jendela kamar gue dari luar. Pertama kali dia melakukan aksi itu, gue kaget bukan main.
Karena lo bayangin aja deh, kamar gue itu ada di lantai dua, kok bisa dia ngetok-ngetok jendela gue?
Tahu nggak si bego itu ngapain biar bisa kayak gitu? Dia minjem tangga tukang bangunan yang kebetulan hari itu lagi ngebetulin atap rumahnya.
Lo bayangin lagi deh, itu abang-abang jadi nggak bisa turun dari atap karena tangganya dibawa sama si sinting Soonyoung buat manjat dan ngetuk jendela kamar gue.
Gue dengar-dengar sih hari itu Bundanya Soonyoung batal masak bandeng presto kesukaan anaknya karena yang bersangkutan kelewat badung.
Lalu entah gimana setelahnya, Soonyoung jadi punya tangga sendiri dan rutinitasnya untuk mengetuk jendela kamar gue jadi lebih intens.
Gue seneng-seneng aja sih, jadi nggak perlu repot-repot turun buat bukain pintu deh. Paling Mama aja yang heran karena Soonyoung kehadirannya tuh bagaikan jailangkung yang datang tak dijemput, pulang tak diantar.
Emang paling ajaib deh temen gue yang satu itu. Iya, temen. Cuma temen.
Semenjak di bangku TK sampai SMP gue nggak pernah pisah sekolah sama Jihoon, walaupun kita nggak melulu ada di kelas yang sama, tapi tiap istirahat atau jam kosong gue selalu nempel sama dia, entah ke kantin, ke perpus atau ketika Jihoon konsul ke ruang Bimbingan Konseling pun pasti gue ikutin. Berangkat dan pulang juga selalu bareng.
Kayaknya satu angkatanpun paham deh kalau gue dan Jihoon itu ibarat nasi dan ayam geprek alias sepaket.
Makanya waktu mau masuk SMA gue sempat bete karena ternyata kami nggak diterima di sekolah yang sama.
Berangkat dan pulangnya sih masih bisa bareng, sekolah kami searah soalnya, jaraknya juga nggak terlalu jauh, tapi siapa yang bakal paham kalau gue suka mie instan yang nggak lodoh? Siapa yang tahu kalau gue nggak bisa makan ayam polos yang kelihatan kulitnya, terutama kalau direbus?
Selama gue hidup, cuma Bunda dan Jihoon yang hapal di luar kepala perihal preferensi gue soal makanan. Jadi, membayangkan gue harus pisah sekolah sama sobat gue itu bikin suasana hati gue agak kelabu.
Berlebihan? Awalnya gue pikir sih nggak, karena emang beneran itu yang gue rasain. Sampai gue cerita sendiri ke Jihoon soal pemikiran gue itu, dan ternyata respon dia adalah, “Lebay banget sih lo?”
Oke, aslinya gue sedih dan agak kecewa karena gue pikir sahabat gue sendiri ternyata nggak bisa memahami apa yang gue rasa. Namun semuanya buyar begitu Jihoon perlahan ngomong, “Harusnya yang khawatir tuh gue, selama ini temen deket gue cuma lo, besok gue harus temenan sama siapa?”
Gue selalu mengganggap kalau Jihoon itu gemesin, tapi pemikiran gue yang satu itu nggak pernah benar-benar gue suarakan karena gue masih sayang nyawa.
Betulan deh, tiap kali gue ada indikasi untuk bilang dia lucu atau menggemaskan, gue pasti dikasih hadiah berupa tatapan maut, bahkan kalau lagi apes, gue bisa aja kena jitak atau tabok.
Tapi kayaknya buat momen yang satu ini, gue nggak bisa tahan buat nggak bilang kalau Lee Jihoon tuh lucu banget, bonus cubit pipi yang seketika bikin si kecil itu menyipitkan dua binernya, memasang tampang galak, yang bagi gue bakal selalu terlihat menggemaskan. Sebelum gue diamuk, gue buru-buru keluar lewat jendela kamar Jihoon.
Ujung-ujungnya gue balik lagi sih, dengan paper bag berisikan hoodie hitam milik gue, terus sembari mengucap kata-kata sok bijak dan sok memotivasi, gue serahkan paper bag itu,
“Nih, hoodie gue. Lo pake ya tiap ke sekolah biar nggak berasa jauh dari gue. Oh iya, gue yakin kok lo pasti juga bakal dapet temen baru yang nggak kalah baik dan asik.”
Gue pasang senyum terganteng, ya semoga aja sih perlakuan gue barusan tuh nggak cringe.
Demi seblak ceker depan komplek, waktu itu wajah Jihoon merona merah dan gue nggak paham apakah dia marah atau tersipu?
Karena anaknya cuma ngangguk dan bilang, “Makasih. Udah malem, sana istirahat. Besok mulai sekolah.” yang merupakan isyarat halus bahwa gue harus segera cabut.
Masa marah, sih? Emangnya perlakuan gue ngeselin? Tapi nggak mungkin juga ya kalau tersipu?
Terlepas dari itu, di sekuens-sekuens ingatan gue perihal masa SMA dan status gue sebagai ojek pribadi yang bertugas mengantar-jemput Jihoon, banyak diisi si kiciw yang mengenakan hoodie hitam gue tersebut.
Berarti dia suka hoodienya ‘kan?
Kwon Soonyoung itu tahu segala hal tentang gue kecuali satu, perasaan gue. Perasaan gue terhadap dia, itu lebih tepatnya.
Gue nggak tahu sejak kapan bocah yang perilakunya selalu berasaskan spontanitas bagai letupan kembang api itu jadi punya andil besar untuk memantik kembang api lain, dan sialnya kembang api itu serasa ada tepat di jantung gue.
Entah sejak kapan Soonyoung yang bau matahari karena seharian main bentengan di lapangan kompleks itu berubah jadi Soonyoung yang punya wangi menyegarkan juga menenangkan, padahal gue tahu wewangian yang dia pakai itu adalah cologne sejuta umat dan tersedia di minimarket terdekat, pastinya juga nggak cuma Soonyoung yang pakai wewangian tersebut, tapi hidung dan saraf-saraf penghidu di tubuh gue sudah kadung melabeli wangi itu sebagai wangi khas Soonyoung.
Maka jika ada barang lain selain sajennya Roi yang jadi tendensi belanja gue tiap kali berselancar di aplikasi e-commerce, itu adalah cologne yang biasa dipakai Soonyoung.
Gue nggak pernah memakaikan cologne itu ke pakaian gue sendiri, melainkan gue semprotkan ke hoodie Soonyoung yang rasanya udah jadi hak milik gue.
Hoodie itu setia menemani gue dari awal masuk SMA sampai sekarang gue menjajaki akhir semester lima di bangku perkuliahan, dari sejak gue pisah sekolah sama Soonyoung sampai gue satu kampus lagi bareng dia walaupun beda fakultas.
Lalu alasannya sesederhana gue yang ingin hoodie itu punya sensasi yang Soonyoung banget.
Di tahap ini, kalau kalian semua bilang gue tuh budak cinta alias bucin pun rasanya gue juga nggak bisa marah, deh.
Kalau kalian penasaran apakah Soonyoung tahu atau nggak soal perlakuan gue itu, jawabannya itu ya, dia tahu. Tanggapannya pas tahu kalau gue beli cologne yang sama dengan yang dia pakai cuma untuk disemprotkan ke hoodienya adalah, “Oh lo suka wangi ini juga?”
Rasanya mulut gue gatal banget mau ngomong kalau yang gue suka tuh bukan cuma wangi cologne dia, tapi juga... ah udahlah.
Dia juga ngomong, “Asik deh, kalau cologne gue abis dan gue belom sempet beli berarti gue boleh minta, ya?” sambil nyengir lebar.
Ya gue mau nolak juga gimana? Nggak akan bisa.
—
Beda sama gue yang pengalamannya nol besar soal hal pacar-pacaran, Soonyoung punya empat mantan sejak dia SMA sampai sekarang. Dua mantannya cewek, sisanya ya berbatang juga kayak gue.
Lucunya, hubungan mereka hanya bisa bertahan dalam hitungan bulan. Rekor paling lama tuh kalau gak salah sampai lima bulan, sama mantannya yang anak Psikologi, lalu putus akhir semester empat kemarin.
Heran nggak kalian kenapa gue bisa tahan banget liat Soonyoung dan siklus pacarannya itu sementara gue sendiri punya rasa ke dia?
Alasannya sesimpel Soonyoung yang masih punya waktu untuk jalan sama gue walaupun dia udah pacaran. Ada juga Soonyoung yang tiap putus sama mantannya bakal selalu muncul di kamar gue sambil bilang, “Emang cuma lo, Hoon, yang paling bisa ngertiin gue. Mereka nggak ada apa-apanya.”
Cukup dengan gue yang masih merasa dibutuhkan oleh dia, maka cukup pula untuk bikin gue nggak akan pernah pergi kemana-mana. Nggak mau juga sih, karena siapa juga yang pengen jauh-jauh dari orang yang disukainya?
Lalu kenapa gue nggak pernah mengutarakan perasaan gue yang sebenarnya ke Soonyoung? Mungkin kalau tahu alasannya kalian bakal ketawa, karena serius deh, ini klise banget.
Gue masih berpegang pada pemikiran bahwa begini saja sudah cukup, nggak perlu ada perasaan lain yang harus divalidasi karena akan berpotensi merusak relasi. Ya, gue takut kalau gue bilang tentang perasaan gue ke dia, persahabatan gue dan Soonyoung malah bakal hancur.
—
Tadinya gue benar-benar berniat untuk nggak pernah berbagi tentang perasaan gue ini ke siapapun, tapi kayaknya rencana itu harus dikaji ulang karena Jeon Wonwoo, teman gue sejak zaman jadi mahasiswa baru yang sering banget gue jajah kamar kosnya itu bertanya, “Lo suka sama Soonyoung tuh sejak kapan deh, Hoon?”
Gue benar-benar memutar otak untuk mencari respon yang tepat agar bisa mengelak, tapi sebelum gue sempat mengeluarkan sepatah kata, orangnya ngomong lagi, “Nggak usah nyari alasan, cerita aja kali, gratis kok.”
Akhirnya setelah berbagai paksaan, gue pun cerita segalanya ke dia, ya nggak semuanya juga sih, tapi yang jelas poin-poin pentingnya tersampaikan deh. Gue juga yakin kalau Wonwoo itu piawai menjaga rahasia, jadi harusnya gue nggak perlu khawatir.
Satu hal yang gue lupa, Jeon Wonwoo itu pacaran sama Kim Mingyu. Mingyu tuh pernah ikut program akselerasi pas SMA makanya sekarang dia satu angkatan sama kami. Mingyu sebetulnya asik diajak cerita tapi kadang dia suka lupa porsi dan garis batas tiap-tiap bahasannya.
Lalu pasangan itu kayaknya memegang prinsip apa yang jadi milik pasangan, maka jadi milik kita pula. Jadi, rahasia gue yang harusnya eksklusif hanya milik Wonwoo, entah sejak kapan juga jadi milik Mingyu.
Tiap kali pasangan itu pergi dan mengajak gue sama Soonyoung, Mingyu suka banget bilang kalau kita lagi double date, padahal ‘kan jelas-jelas yang pasangan kekasih di sini hanya dia dan Wonwoo, gue sama Soonyoung? Pasangan sahabat doang, ya itupun kalau istilah tersebut ada sih.
—
Tak ubahnya hari ini, kami sedang menjajal salah satu kedai makan kekinian yang baru buka di sekitaran kampus, dan Kim Mingyu tetap pada agendanya yang menyebut kalau kita berempat lagi double date. Sudah biasa sih, jadi nggak ada gunanya juga membantah.
Tapi nggak seperti biasanya, Soonyoung hari ini menimpali dengan sedikit terkekeh, “Apaan sih, Gyu. Gue sama Jihoon ‘kan nggak pacaran.”
Gue dengar bunyi seperti ada yang patah, apaan tuh kira-kira?
Lalu Kim Mingyu itu selalu punya seribu satu kosakata untuk membalas, “Ya pacarin lah bang.”
Aduh, ini bocah bakalan ngomong apa lagi, coba? Asli, feeling gue udah gak enak banget nih.
“Kasihan itu bang Jihoon udah suka dan nunggu dari lama, tahu.”
Kan, bocah jelmaan tiang listrik satu ini suka lupa porsi dan garis batas kalau lagi bicara, alias kalau ngomong tuh SUKA GAK ADA REMNYA!
Oh, gue lihat si jangkung yang kini meringis karena Wonwoo menginjak kaki pacarnya tersebut. Terima kasih Wonwoo, lo emang teman gue.
Sekarang gue berharap kalau lantai yang gue pijak ini bisa menelan gue hidup-hidup atau tiba-tiba gue punya kekuatan super untuk menghilang maupun jadi transparan.
Gue menolak ajakan Bang Seungcheol untuk mimik-mimik lucu semalam, jadi gue yakin seratus persen bahwa gue sadar dan nggak sedang berada di bawah pengaruh alkohol jenis apapun.
Gue juga kayaknya tadi pagi mencomot dua buah cotton bud dari meja Junhui dan langsung digunakan untuk membersihkan kedua telinga gue.
Maka sekarang gue heran, yang barusan gue dengar itu betulan apa halusinasi, sih? Yang tadi Mingyu bilang tuh benar kejadian atau sekarang gue lagi di alam mimpi?
Masa katanya, Jihoon suka sama gue? Udah nunggu gue dari lama? Gimana sih maksudnya? Ini bukan acara Super Trap ‘kan? Ulang tahun gue juga masih lama jadi nggak mungkin gue kena prank.
Gue lihat ke depan, Wonwoo malah ngomel-ngomel sama Mingyu dan si bocah tiang itu cuma bisa manyun aja. Perlahan gue lirik samping kanan gue, ketika pandangan gue bertemu dengan netra Jihoon, si kecil itu langsung membuang muka.
Wah, kayaknya ada yang benar-benar harus dilurusin nih?
“Won, Gyu, gue sama Jihoon ke situ bentar ya, lo pesan aja duluan, ntar kita nyusul.” ucap gue sambil melirik outdoor area yang juga memiliki spot-spot foto, sekilas gue lihat Jihoon melotot, tapi anaknya juga nggak menolak begitu gue genggam tangannya.
Gue bersyukur Wonwoo punya tingkat kepekaan yang tinggi karena tanpa bertanya ia mempersilakan gue menuju lokasi dengan menggandeng Jihoon. “Baik-baik lo, temen gue tuh.” celetuknya pelan ketika gue dan Jihoon bangkit dari kursi.
Gue tergelak pelan dan membalas, “Santai, dia juga sobat gue, kali.” Gue menjeda sebentar lalu melanjutkan, “Atau bisa aja statusnya bentar lagi bakal ganti?” Gue mengerling perlahan ke arah Jihoon dan kulit wajahnya yang seputih tahu susu Lembang itu jadi ada semburat merahnya.
“Jadi, lo mau cerita sesuatu nggak ke gue?” Soonyoung membuka konversasi begitu dirinya dan Jihoon sampai di outdoor area yang cukup terpojok dan jauh dari kerumunan.
Netra Lee Jihoon melebar, kedua alisnya bertaut namun belum sepenuhnya fokus menatap balik lawan bicara.
Ketika akhirnya binernya bersitatap dengan Soonyoung, ia malah membawa kedua telapak tangannya untuk menutupi wajahnya. “Gue harus cerita apa?” cicitnya pelan, masih dengan wajah yang belum nampak.
“Jangan ditutupin gitu dong, gue nggak tahu lo ngomong apa.” balas yang lebih tinggi sambil terkekeh, perlahan ia gamit dua tangan Lee Jihoon, ia genggam kembali, upaya agar Jihoon tak lagi menutup wajahnya. “Dih, udah keliatan mukanya kok malah diem?” Soonyoung gemas banget sama sahabatnya itu.
“Ya gue harus cerita apa lagi sih, Nyong?” Jihoon menghela napas. “Udah dibongkar semua sama Mingyu, gue nggak tahu muka gue sekarang mau ditaro mana.”
“Ya ditaro sini aja dong, kalau pindah nanti repot, gue jadi susah liatnya.” imbuh Soonyoung, Jihoon hanya mencebik.
Setelah sepersekian detik dilalui dengan hening, seberkas, “Ya udah, yuk?” meluncur dari lisan Soonyoung.
Jihoon jelas saja tak paham. “Hah? Apa?”
“Pacaran. Pasti mau dong?” balas Soonyoung setelahnya, kedua alisnya ia naik turunkan. Ngeselin banget.
“Serius nggak sih lo? Ngajak pacaran kayak ngajak beli batagor anjir.”
“Ya terus gue harus gimana, hoon? Berlutut gitu atau pakai trik-trik dari Tiktok? Ya elah, lo aja uwu-phobia.”
Jihoon belum melontarkan sepatah katapun, namun wajahnya kini benar-benar memerah dan ia sama sekali tidak berani menatap Soonyoung.
Maka lelaki gemini itu kembali berujar, “Eh pacar, gimana nih? Masa nggak dijawab? Gue berlutut beneran nih ya?”
“Lo lakuin hal yang cringe, pangkat lo sebagai pacar gue copot sekarang juga.”
Soonyoung tergelak, “Aduh gemesin banget sih pacar gue. Ya ampun akhirnya teman karib gue naik tingkat jadi teman hidup.”
“Bacot lo ah,” tapi senyum si kiciw merekah.
“Dijadiin thread Twitter kayaknya bakal rame nih, Hoon. Siap famous nggak lo?”
“Gak usah banyak gaya deh, males gue.”
Siang itu, tanpa sadar keduanya memasang senyum paling bahagia selama hampir dua puluh tahun mereka hadir di dunia, karena bahagianya dua insan itu sudah dilabeli dengan jelas. Garis tangan telah tergambar dan nama keduanya saling tertulis di sana.
