Actions

Work Header

Stories Around Dinner, Bed, University, and Family

Summary:

Dainsleif kehilangan istrinya, namun mendapatkan Aether dan Lumine sebagai pengganti. Zhongli berhenti merutuki takdir, berusaha mendapatkan kembali simpati anak lelakinya. Diluc mencoba berdamai dengan kenyataan, dan juga sahabatnya. Pada akhirnya, orang tua yang khawatir, dan anak-anak akan tetap menjadi anak-anak di mata orang tuanya.

Notes:

Chapter 1: Commisions

Chapter Text

 

“Pa, Aether boleh kerja?”

Tangan Dainsleif berhenti seketika. Ia letakkan sendok yang penuh dangan nasi goreng hangat itu Kembali ke piringnya. Kalau Aether membuka percakapan yang tidak jelas asal usulnya dari mana, sebaiknya ia tidak sedang mengunyah. Pengalaman, bagaimanapun juga, adalah guru yang baik.

“Uang jajan kamu kurang? Atau kamu ingin belanja sesuatu lagi?”

Aether masih mengunyah makanannya, namun Lumine menjawab pertanyaan papanya tanpa diminta. “Ae dapat tawaran komisi, Pa. Lumayan sih bayarannya, gak mengikat juga kerjaannya,” jawabnya lugas, yakin kalau Aether yang jawab bakalan berbelit.

“Maksudnya freelance?”

“Enggak freelance juga sih ya kalau kerjaan yang ditawarin cuma satu biji,” Lumine meneguk air dari gelasnya, “belum tentu juga ada yang nawarin lagi.”

“Heh! Kerjaan gue bagus, tau! Sirik aja!”

“Kerasukan itu orang yang minta komisi, atau kacamatanya waktunya ganti,” cibir Lumine tanpa merasa bersalah.

“Sebentar dulu kalian berdua itu, papa belum selesai nanya,” Dainsleif berusaha mengambil alih pembicaraan sebelum kedua anak kembarnya adu mulut lebih lanjut. Waktu mereka umur lima tahun keliatan manis, sih. Kalau sekarang ya bisa bikin pening kepala kalau diterus-terusin. “Jadi kamu mau nerima kerjaan apa, Ae?”

Aether memainkan sisa nasi di piringnya, segan juga ternyata bawa topik ini ke papanya. “Ada yang mau bayar ilustrasi latar belakang yang kubikin, Pa. Papa tahu kan Aether suka gambar lalu posting di Twitter sama Instagram, nah itu ada yang nawarin bikin 3 ilustrasi gitu,” jelas Aether secepat mungkin.

“Ilustrasi untuk? Yang menghubungi kamu siapa?”

“Cover buku, Pa. Bukunya self-publish, sih. Tapi kuliat profil orangnya bagus, ceritanya juga lumayan oke, dan ya cocok sih sama style gambarnya Aether.”

Dainsleif menimbang sejenak, “Kamu suka ceritanya?” kini ia merasa aman kalau mau menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Setidaknya, ia sudah tahu garis besar percakapan ini akan kemana.

“Suka, sih. Lumine yang lebih suka sama pengarang ini.”

Romance fantasy gitu, Pa. Ae bawel mulu soal protagonisnya.”

“Lah, klise amat bawa bunga dari pucuk gunung buat tanda cinta. Pake hal lain yang gak membahayakan nyawa, kek!”

“Dih, pantes Ae masih single sampai sekarang!”

“Berapa bayarannya?”

“Lima puluh ribu mora, per ilustrasi. Jadi, total 150 ribu mora,” jawab Aether, “kemahalan rasanya dia ngasih harga. Itu kayak uang jajanku tiga bulan. Mau kuturunin harganya tapi Lumine marah-marah.”

“Kak Aether-ku, kalau dia yang menawarkan 50 puluh ribu mora, itu sebenarnya harga minimal yang dia sanggupin. Kalau kamu naik harga jadi 100 ribu mora juga bisa aja dia masih mau bayar,” kini Lumine yang rasanya pening dengan kakaknya yang entah terlalu baik, atau naif, atau keduanya.

Nilai yang tidak buruk untuk sebuah pekerjaan pertama, menurut Dainsleif dalam hati. Beberapa kali ia memang meminta Aether untuk menggambar bahan promosi perusahaannya, dan itu sendiri sebenarnya sudah menghemat biaya yang cukup besar. “Selama sekolahmu tidak keteteran, papa ijinkan.”

Aether sebenarnya sudah membuka mulut untuk membalas Lumine, namun ucapan Dainsleif mengurungnkannya. “Beneran, Pa? Papa gak marah? Beneran boleh? Aether boleh kerja buka komisi gambar?” Kedua mata Aether berbinar, melayangkan sekelumit kenangan dalam benak Dainsleif tentang tahun-tahun yang telah lama berlalu.

“Ingat, kamu masih 16 tahun, tugas utamamu sekolah. Kamu juga, Lumine.”

Aether dan Lumine bersorak girang bersamaan. Aether segera beranjak dari kursinya dan memeluk erat papanya, “Aether janji tetep sekolah yang bener kok, Pa! Makasih banyak, Paaaa!”

“Iya-iya. Udah ayo lanjutin makannya. Telat nanti kalian ke sekolah.”

“Siap!” balas Aether, masih tidak bisa menahan tawanya. “Pa, Aether masih dapat uang jajan dari papa kan ya tapi?”

Dainsleif menahan tawanya, berusaha memasang wajah serius meski dihadapkan pertanyaan seperti itu, “Ya selama kamu sekolah ya dapat.”

Kali ini, ia tersenyum ketika Aether dan Lumine melakukan koor, “Iya, Papaaaaa,” sebelum akhirnya menyelesaikan sarapan mereka masing-masing.

Enam belas tahun. Dainsleif berdoa agar Celestia masih tetap menjaga mereka bertiga di tahun-tahun berikutnya, dan seterusnya.