Chapter Text
.
Satu hal yang paling Teru benci di dunia ini adalah orang-orang yang menginterupsi ketenangannya.
Menembus dinding dengan tubuh astralnya, sang hantu menatap kesal para pekerja berseragam yang tengah sibuk mengangkat kardus-kardus dan meletakkannya di ruang tengah. Suara bedebum keras saat kardus diletakkan kasar itu terasa amat mengganggu.
Ah, Teru benci dengan ini.
Ia melayang ke tengah-tengah ruangan. Tak ada yang bisa melihatnya, tentu. Kemudian, sang hantu dengan rambut gondrong itu pun mengeluarkan hawa mencekam yang membuat para pekerja itu merinding dan buru-buru menyelesaikan pekerjaan mereka. Teru tergelak keras saat melihat salah satu pekerja itu tersandung kardus dan berakhir terjatuh dengan konyolnya. Ia menyeringai penuh kemenangan sembari mendengar pembicaraan samar-samar di teras depan.
"Ini sudah semuanya, ya?"
"Su-sudah semua, tuan! Ka-kalau begitu, kami langsung pamit!"
"Ah, ya. Ini tip-nya. Terima kasih banyak!"
Suara deru mesin terdengar. Dari jendela besar di ruang tengah, Teru melihat truk dengan logo jasa pindahan itu menghilang dengan cepat di tikungan. Ia pun melambaikan tangan.
Nah, sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara mengusir si penghuni baru ini. Teru rasa mungkin ia butuh sedikit usaha lebih kali ini--ah, ia akhirnya datang juga!
Hawa mencekam yang tadi harusnya sudah cukup untuk membuat manusia waras mana pun berpikir seribu kali saat akan menempati rumah ini. Jangankan itu, yang sekadar numpang lewat saja akan langsung berlari sprint kalau saja merasakan hawa tak mengenakkan nan membuat bulu kuduk merinding itu.
Teru memperhatikan baik-baik sosok baru yang menempati rumah ini. Seorang lelaki yang terlihat masih muda dan bertubuh tak begitu semapai. Ia mengenakan kaus putih dan celana jins sobek-sobek, serta masker yang menutupi wajahnya.
Dan kebetulan sekali ia sedang berjalan ke arah kardus-kardus di sebelah Teru melayang-layang.
Kesempatan!
Teru sudah bersiap untuk menakut-nakutinya, dengan membuat jatuh semua tumpukan kardus ini, saat lelaki ini berjongkok untuk membuka salah satu kardus itu--
Mendadak saja lelaki ini mendongak.
Pandangannya lurus ke arah Teru. Mengunci tatap seolah ia bisa--
Tunggu, dia bisa melihatku?! Teru mengerjap terkejut. Ah, sial. Aku tak menyangka akan bertemu dengan manusia spesial sepertinya--
Ganti rencana. Kalau lelaki ini bisa melihatnya, tentu Teru bisa menampakkan wujud mengerikannya. Ya, dengan begitu ia pasti bisa seketika mengusir si penghuni baru ini!
Lelaki itu tak berkata apa-apa, mendadak meraih ujung masker dan melepasnya. Seluruh wajahnya kini terekspos di hadapan Teru, yang terhenyak.
Si penghuni baru ini ... memiliki wajah yang tampan, sekaligus terlihat menggemaskan untuk seorang dewasa ... andaikata Teru masihlah seorang manusia, pastilah jantungnya berdegup kencang saat ini.
"Hai," sapa si lelaki, menyunggingkan senyum ramah yang nampak sangat manis. "Kau penghuni disini, ya? Salam kenal."
Untuk sesaat sang hantu dan manusia itu terdiam, sampai si lelaki muda terkekeh dan mengangkat kardusnya ke ruangan lain, meninggalkan Teru yang masihlah terpongah dengan ekspresi agak konyol.
Dia ...
Sang hantu perlahan-lahan melayang turun, menghilang ditelan lantai berdebu.
Kenapa dia imut sekali?!
.
t b c
.
.
Notes:
a/n: okay, sekian chapter satunya! Ga banyak yang kurewrite sih disini wkwkwk
Aku sendiri juga blom nentuin fik ini bakal sepanjang apa xD doakan aja bisa weekly update biar cepet kelar HAHAHA. Thank you for reading and see you on next chapter!
Chapter Text
Lelaki imut itu ... sedikit ... aneh.
Entahlah apa, namun Teru merasa agak aneh tatkala memperhatikannya. Apa karena lelaki itu adalah manusia pertama yang ia temui, yang bisa melihatnya dengan begitu jelas?
Ia bertanya-tanya sendiri dalam hati sembari mengawasi lelaki yang tengah berbenah di ruang tengah itu. Dari langit-langit rumah, Teru dapat melihat ia agak kewalahan saat hendak memindahkan kardus-kardus berukuran besar.
"Hei, Tuan Hantu."
Sang hantu yang dipanggil tersentak, terjatuh begitu saja dari langit-langit menuju ke lantai--tentu saja badan astral Teru menembusnya.
"Ah, maaf! Aku mengagetkanmu, ya?" ujar lelaki itu, mendekati titik lantai dimana Teru terjatuh tadi.
Kepala Teru menyembul dari lantai kayu. "Tak masalah. Ada apa?"
"Apa kau bisa membantuku?"
Dan Teru mendengus mendengar pertanyaan yang terasa konyol itu. Ia mengangkat tangannya, yang seketika menembus lantai kayu.
"Aku ini hantu, mana bisa aku menyentuh barang fisik," tukasnya datar.
Sang lelaki yang mendengar itu hanya menggaruk tengkuk, terkekeh sendiri. "Benar juga, aku lupa." Ia mengangkat kardus di dekat kepala Teru yang menyembul, agak kesusahan juga sampai nyaris terjatuh.
Entah kenapa untuk sesaat Teru jadi tergelitik ingin membantunya.
Beberapa saat kemudian, Teru yang tengah menyandar pada ambang pintu tak menyadari presensi dari si lelaki imut yang sudah kembali ke ruang tengah, sontak terkejut saat mendapati lelaki itu sudah berada tepat di hapadannya.
Tangannya terentang seolah hendak menggapai Teru. Tentu saja, tak ada yang bisa ia pegang. Telapak tangannya menembus bahu astral Teru.
"A-apa yang--"
"Ternyata memang tak bisa, ya," desah lelaki itu kecewa, menarik tangannya kembali. "Maaf, aku hanya penasaran saja apa aku bisa menyentuhmu."
Kemudian, ia pun beranjak untuk membongkar sisa-sisa kardus yang ada, meninggalkan sang hantu yang mengernyit heran sembari menatap punggung yang membelakanginya.
Dia memang agak aneh ...
.
.
Biasanya Teru melalui malam-malamnya di rumah ini dengan penuh kesendirian, hanya ada suara jangkrik dan semilir angin yang menemani. Kali ini berbeda; suasana rumah jadi terasa lebih hidup dan ...
"Ano nee, daisuki da yo~"
... agak berisik, sih.
Teru yang duduk di atas ranjang si penghuni baru mendengus. Suara nyanyian itu datang dari arah kamar mandi, bergema hingga keluar ruangan.
Yah, sejujurnya Teru tak begitu mempermasalahkannya, kok. (Karena ia mengakui dalam hati, kalau suara lelaki itu cukup bagus.)
Sementara si penghuni baru menyelesaikan urusannya di kamar mandi, Teru termenung sendiri. Ia menyilangkan kedua lengan di belakang kepalanya dan merebahkan diri, berakhir menembus ranjang itu. Pikiran sang hantu yang bercabang kemana-mana, mengakar pada satu orang--si penghuni baru rumah ini.
Sejak kali pertama melihatnya, Teru sudah merasakan sesuatu yang aneh dari presensinya. Bagaimana lelaki itu bisa melihatnya dengan jelas, bagaimana lelaki itu bisa berkomunikasi dengannya dengan mudah ... apa karena ini kali pertama Teru menemui manusia spesial seperti lelaki itu?
Iya, presensi lelaki itu memang aneh, tapi Teru tak merasakan aura mengancam apa pun darinya ...
Ah, kalau diingat-ingat juga, Teru belum mengetahui namanya ...
"Tuan Hantu? Oi, kau disini bukan? Keluarlah."
Dipanggil seperti itu, sontak Teru menyembulkan kepalanya ke permukaan ranjang, dimana ia mendapati sosok lelaki imut itu tengah duduk tepat di hadapannya. Teru sontak mundur karena menyadari jarak mereka yang terlalu dekat.
"A-ada apa?"
"Tidak ada, sih. Aku hanya iseng memanggilmu," kekeh lelaki itu, memeluk lututnya dan menatap lurus pada Teru yang mengikuti gesturnya, tubuh astralnya duduk menyila di atas ranjang.
Untuk sesaat keduanya terdiam, tenggelam dalam pemikiran masing-masing. Teru baru saja ingin kembali menghilang ke bawah kolong ranjang saat lelaki itu menanyainya,
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
Teru terdiam sejenak, tak menyangka lelaki itu akan bertanya. Pelan belah bibirnya mengucapkan dua patah nama, "Nishizawa Teruki."
"Teruki-san?"
"Panggil saja Teru," tukas sang hantu, memalingkan pandangannya. Baiklah, sekarang saatnya ia menanyai balik, "Kau sendiri?"
"Eh?"
"Namamu."
Teru melirik. Lelaki itu merekahkan sebuah senyuman lebar hingga matanya menyipit. "Namaku Hiro," ia berucap, mengulurkan tangannya pada sang hantu. "Salam kenal ya, Teru."
Kebingungan, ditambah terdistraksi oleh senyuman yang begitu manis itu, Teru hanya bisa bergantian menatap tangan dan wajah Hiro.
"Ada apa?" Hiro menelengkan kepalanya, masih menanti Teru untuk menerima jabat tangannya.
Teru tersentak. "Ah, tidak. Um, salam kenal juga ..."
Jabat tangan itu pun diterima, walau akhirnya tangan Teru menembus tangan Hiro.
Lelaki itu terkekeh, lalu menggerakan tangannya ke atas dan ke bawah seolah sedang berjabat tangan sungguhan. Gesturnya menular pada sang hantu, yang akhirnya ikut tergelak sendiri.
Agaknya, niatan sang hantu untuk mengusir si penghuni baru ini perlahan-lahan urung, mungkin saja menghilang ...
.
t b c
.
.
.
bonus
.
"Hei, kau mau berfoto bersama?"
Teru mengernyit dalam saat mendengar ucapan Hiro. Apa ia bercanda? Mana mungkin hantu bisa tertangkap oleh kamera ...
Hiro, yang tengah rebah tengkurap di ranjangnya, melanjutkan, "Ayo, cepat kemari! Foto perdana, nih!" Ia mengangkat ponselnya.
Masih mengernyit heran, Teru memutuskan untuk hanya melayang di sebelah ranjang Hiro. Lelaki itu memberi aba-aba; tiga, dua, satu! sebelum menjepret dirinya dan sang hantu.
Sesuai dugaan, dalam hasil fotonya hanya Hiro yang tertangkap kamera. Teru menghela napas saat melihat lelaki itu mengunggah hasil jepretannya ke sosial media.
Hah, dia imut tapi aneh ...
Notes:
a/n: jadi bagaimana chapter dua-nya ges? ヘ( ̄▽ ̄*)ノ
Chapter Text
Dua hari semenjak Hiro tinggal di rumah ini dan sudah banyak hal-hal baru dirasakan oleh Teru sang hantu penunggu.
Sebut saja ... sekarang akan ada suara musik rock yang menggelegar tiap pagi di ruang tengah--sebenarnya cukup mengganggu bagi Teru, namun melihat Hiro yang menyanyi sambil ber-headbang itu cukup untuk menghilangkan gondok di hatinya.
Terdengar konyol, sih, namun Teru merasa ia mulai bisa menerima kehadiran Hiro di rumah ini.
Padahal baru dua hari dia disini ... batin sang hantu, mengusap wajahnya. Saat ini ia tengah melayang di belakang Hiro, turut menonton film entah apa yang ditayangkan di televisi.
Penasaran, sang hantu memutuskan mendekat ke sisi Hiro yang mendadak tergelak keras. "Hei," panggilnya, "ini film apa?"
"Ah, aku tak tahu judulnya," jawab Hiro disela tawanya. "Tapi ini sangat lucu. Kau harus menontonnya!"
Teru mengernyit, sesaat menatap pada layar televisi sebelum menghilang ke balik tembok, menembus ke halaman belakang. Ia bosan dan ia terjebak di sini, hanya dapat berputar-putar di balik pagar rumah ini.
Berkali-kali Teru mencoba untuk keluar dari rumah ini, berkali-kali ia pula gagal. Ada tembok tak kasat mata yang mengelilingi rumah ini, menghalangi Teru untuk keluar dari sini. Teru sudah tak bisa menghitung berapa lama ia terjebak disini, bertahun-tahun tubuh tanpa raganya bermukim di rumah ini.
Apa ia memang ditakdirkan untuk terus menunggui rumah ini? Abadi berdiam disini?
Teru menghela napas, tubuh tak kasat matanya duduk di rumput yang baru saja dipangkas kemarin. Rasanya aneh melihat halaman belakang yang berbulan-bulan ditumbuhi rumput liar tinggi menjulang, kini sudah dipotong sepenuhnya.
Rumah ini terletak tepat di persimpangan jalan dengan pagar yang rendah, jadi kau bisa melihat situasi di luar dengan jelas. Suasana di kompleks sore ini tak seramai biasanya. Mungkin karena ini adalah akhir pekan, jadi kebanyakan orang-orang bepergian keluar, entah ke mall atau jalan-jalan, dan baru pulang saat malam.
Di balik pagar, Teru melihat seekor induk kucing melintas dengan membawa seekor anaknya, yang lain mengikuti di belakang. Sang hantu tersenyum sendiri, walau dalam hati merasa kecewa tak bisa menyentuh mereka.
Suasana terasa tenang untuk beberapa saat, sampai akhirnya Teru mendengar suara pintu yang berderit terbuka, lalu mendapati sosok Hiro yang duduk di sebelahnya. Apa ia sudah selesai menonton?
"Sedang apa?" tanya Hiro.
"Entahlah," jawab Teru tak acuh. Matanya masih mengikuti arah perginya induk kucing dan anak-anaknya, sebelum makhluk-makhluk berbulu menggemaskan itu menghilang di tikungan.
Selepas konversasi singkat nan terasa canggung itu, keduanya terdiam. Diam-diam Teru melirik pada Hiro, yang nampak sedang memikirkan hal entah apa--terlihat dari sorot mata memincing dan alis berkedut.
Sesaat setelahnya, Hiro berseru "ah!" keras sampai menyentakkan sang hantu di sebelahnya.
"Hei, Teru. Bagaimana kalau kita bermain janken?" ujar Hiro, sebuah cengiran menghias wajah.
Teru menelengkan kepala. "Apa serunya bermain janken?"
"Ini bukan janken biasa. Ini janken truth-or-truth." Hiro memutar duduknya hingga menghadap Teru. "Yang menang boleh mengajukan pertanyaan kepada yang kalah."
"Hmm, baiklah." Teru menghela napas, turut memutar tubuh sehingga ia dan Hiro saling berhadapan. Ia beradu tatap dengan lelaki itu, sebelum keduanya memulai permainan.
Ronde pertama dimenangkan Hiro yang mengeluarkan gunting. Teru berdecak, menatap telapak tangannya yang terbuka--membentuk kertas.
"Baiklah Teru, sudah berapa lama kau ada disini?" tanya Hiro lugas.
Teru menjawab ala kadarnya--karena ia sendiri tak tahu, "Tak ingat. Yang jelas, sudah lama sekali."
Lawan mainnya manggut-manggut, sebelum mengajaknya kembali bermain. Untuk kali ini, Teru menang setelah mengeluarkan kertas. Tanpa berpikir lama, ia langsung menanyakan hal yang mengganjal di benaknya semenjak tadi pagi,
"Kau ... kenapa pergi sama sekali?"
"Hah?"
"Maksudku, biasanya 'kan orang berjalan-jalan, entah dengan teman atau mungkin keluarga." Teru mengendikkan bahu. "Kau tak melakukannya selama dua hari ini."
"Ah, soal itu ..." Lelaki Moriuchi itu agak kikuk saat hendak menjawab. Tangan Hiro mencabuti rumput-rumput ketika memberi balasan, "Aku tak punya teman. Ada sih, hanya dua orang, namun karena aku pindah kemari, kami jadi terpisah jauh ..."
Mendengar itu membuat Teru semakin penasaran akan sosok lelaki itu. Aneh saja mendengar kalau lelaki seatraktif Hiro (ya, Teru mengakuinya dalam hati) hanya punya dua orang teman.
"Kau tak punya teman karena-"
"Hei, sudah," sela Hiro, bersidekap. "Ayo janken lagi."
Untuk ketiga kalinya mereka beradu janken dan Hiro kembali menang.
"Pertanyaanku," Hiro menggantung sejenak perkataannya, "... Teru, apa kau ingat dengan kehidupan lampaumu? Atau bagaimana kau bisa berakhir--maaf--bergentayangan disini?"
Sang hantu terhenyak. Pertanyaan Hiro kali ini terdengar sulit sekali untuk dijawab. Menghela napas, Teru memeluk lututnya dan menjawab pelan, "Aku ... tak ingat apa pun selain namaku. Ketika terbangun ... yang kuketahui hanyalah fakta bahwa aku sudah mati dan jiwaku terjebak disini." Ada hela-hela napas disela perkataannya.
Hiro turut terdiam mendengar penuturan sang hantu. Sorot matanya berubah. Ia memalingkan wajah, berbisik dengan suara nyaris tak terdengar, "Sudah kuduga, kau tak ingat, ya ..."
"Apa katamu?"
Teru yakin ia tak salah dengar. Apa-apaan maksud perkataannya itu? "Sudah kuduga"? Apa ia tahu sesuatu-
"Oi, Hiro, apa maksud-"
"Kalau kau mau bertanya, kau harus menang di ronde berikutnya," Hiro memotong ucapan sang hantu.
Kertas versus batu. Ronde keempat dimenangkan Teru.
"Hiro, kenapa kau memutuskan pindah ke rumah--yang oleh warga sekitar dikenal berhantu--ini?"
.
tbc
.
.
Notes:
a/n: heyyoooooo im so sorry for the late update 😔🙏 aku sibuk banget belakangan ini :" untuk update kali ini aja aku sempatkan di tengah uas wkwkwk. Maaf ya kalau terkesan terburu-buru, nanti akan kurevisi.
Thank you for reading! Aku akan update chapter 4 setelah selesai uas :D

CringyCringy on Chapter 1 Mon 19 Apr 2021 06:41PM UTC
Comment Actions
Frauxinite on Chapter 1 Tue 20 Apr 2021 04:51AM UTC
Comment Actions
CringyCringy on Chapter 2 Tue 27 Apr 2021 09:44PM UTC
Comment Actions
CringyCringy on Chapter 3 Thu 16 Sep 2021 05:22AM UTC
Comment Actions
CringyCringy on Chapter 3 Sun 21 Nov 2021 01:16AM UTC
Comment Actions
CringyCringy on Chapter 3 Mon 18 Apr 2022 07:39AM UTC
Comment Actions
CringyCringy on Chapter 3 Tue 06 Sep 2022 10:52PM UTC
Comment Actions