Work Text:
Terhitung satu malam lagi hingga Hongjoong capai usia delapan belas.
Baginya, usia delapan belas adalah awal dari kebebasan. Awal petualangan yang menanti di luar desa terpencil di lereng gunung ini. Awal kehidupan berwarna dengan ia sebagai nahkodanya.
Seluruh tubuhnya menolak untuk mengistirahatkan diri akibat debaran gugup untuk esok hari. Antusiasmenya terhadap kebebasan diselingi oleh rasa takut, sebab akan hadapi hal yang tidak diketahui.
Namun, genggaman erat milik pemuda di hadapannya cukup buat Hongjoong merasa aman.
Merasakan bagaimana kawannya masih belum terlelap, ia putuskan untuk membuka suara.
"Kak Hwan selalu berkata, dunia luar jauh lebih baik daripada desa ini. Katanya, akan ada lebih banyak warna dan benda-benda menakjubkan di luar sana. Tidakkah kamu penasaran, Hwa?"
Dan lawan bicaranya menatap Hongjoong dengan bintang-bintang di kedua netra, tengah tatap Hongjoong hangat seolah apa yang dikatakannya adalah hal paling menarik sedunia. Pemuda itu ulas senyum lebar, mengangguk menyetujui pernyataannya.
Berbaring saling menatap seperti ini, Hongjoong jadi bisa lihat jelas tanda menyerupai bintang di leher kanan Seonghwa--identik dengan milik Hongjoong di tempat yang sama pula.
Tanda bahwa takdir mengikat keduanya.
Dan Hongjoong tidak pernah keberatan akan hal itu.
Suara Seonghwa mengalun lembut ke telinga di tengah-tengah pemikirannya, buat Hongjoong kembali fokuskan atensi ke Seonghwa.
"Tentu," ujar Seonghwa pelan, "bukankah kita harus kunjungi tempat-tempat yang ditandai, bersama?"
Jawaban Seonghwa buat Hongjoong tersenyum lebar. Ia pun masih ingat, peta dunia yang keduanya simpan di lemari, dan ditandai sebagai tempat-tempat yang wajib dikunjungi bersama.
Pemuda Park itu mengangguk puas, sebelum kembali mengutarakan, "Setelah upacara kedewasaan besok dan kita bisa pergi dari desa, aku akan bawa kamu ke tempat-tempat yang kita tandai."
Kekehan lolos dari bibir Seonghwa, lalu ia menangkup pipi Hongjoong sembari mengusapnya lembut. Tanda afeksi yang, kalau boleh jujur, masih buat Hongjoong kelabakan hingga saat ini--meski sudah berkawan hingga nyaris delapan belas tahun.
Seonghwa bergumam, "Aku menantikan hari itu."
Hongjoong pun tahu, realita takkan seindah angannya. Mungkin nantinya, akan ada beberapa tempat yang takkan pernah ia kunjungi. Mungkin juga, keduanya hanya akan melihat sebagian kecil dari dunia.
Namun, katakanlah Hongjoong seorang pemimpi. Ia dambakan petualangan mendebarkan ke seluruh dunia bersama kawannya, pun berangan-angan jadi orang yang rasakan sendiri keindahan dunia.
Katakanlah Hongjoong seorang pemimpi. Maka, Seonghwa adalah bagian besar dari mimpinya.
Pelengkap hidupnya. Bagian dari masa depannya.
Hongjoong selalu berpikir bahwa tanda di lehernya adalah pengikat takdir keduanya, bahwa Seonghwa ditakdirkan untuk ada di sisinya. Begitu pun Hongjoong untuk Seonghwa.
Maka, pemuda Kim itu mengulurkan jari kelingkingnya dengan senyuman penuh harap.
"Janji?"
"Janji."
Dan ketika Seonghwa mengaitkan pula kelingkingnya sembari menggumamkan janji yang sama, Hongjoong pikir mereka akan baik-baik saja.
Ia yakin semua akan baik-baik saja.
Hingga Hongjoong lupa, nyatanya realita tidak seindah angannya.
***
***
Hongjoong kira semua akan baik-baik saja.
Gemetar di tubuhnya berkata sebaliknya.
Ketika keduanya berjalan bersama ke tempat upacara kedewasaan, ditemani beberapa tetua desa di belakangnya, Hongjoong merasa isi perutnya akan keluar begitu saja.
Mual, pusing, dan sesak bercampur jadi satu.
Seharusnya, hari ini adalah hari di mana ia raih kebebasan. Hari bahagianya, di mana ia dan Seonghwa dapat mengembara bersama.
Tubuhnya menolak menganggapnya demikian. Alih-alih euforia, yang dirasakannya hanyalah rasa gugup dan takut terhadap apa yang akan terjadi.
Satu-satunya hal yang buatnya masih kokoh berdiri adalah genggaman kuat Seonghwa di sisi. Tidak sekalipun lepas meski tangan Hongjoong basah oleh keringat.
"Joong."
Suara Seonghwa memutus kekhawatirannya sendiri. Ia menoleh ke arahnya, menatap sang pemuda Park yang kini tengah tersenyum menenangkan. Buatnya sedikit merasa aman.
"Kamu akan baik-baik saja," ujar Seonghwa kemudian. "Aku di sini untukmu."
Hongjoong langsung menimpali, "kita."
Tampaknya Seonghwa anggap jawabannya lucu karena kini yang lebih tua beberapa bulan itu tengah menahan tawa, sebelum lepaskan kekehan kecil.
"Iya, kita akan baik-baik saja. Jangan terlalu khawatir, ya?"
Melihat Seonghwa yang tengah menenangkannya buat Hongjoong menjadi lebih rileks. Ia menghantarkan remasan pelan pada tangan Seonghwa, sebelum putuskan untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.
"Kita akan baik-baik saja," gumam Hongjoong, meyakinkan diri sendiri.
Sebelum Seonghwa sempat merespon, netra keduanya tangkap tempat di mana upacara kedewasaan diselenggarakan. Sebuah bangunan cukup besar bercat putih yang tampak polos dan tak terurus dari luar. Beberapa tanaman liar tumbuh mengitarinya.
Hongjoong menenggak ludah kasar.
Tiba-tiba, dirasakannya tangan yang mendorong punggungnya sebagai tanda bahwa ia harus melakukan sesuatu.
"Masuk," ucap salah satu tetua yang ikut mengantar keduanya.
Hongjoong baru saja akan menarik tangan Seonghwa perlahan ketika salah satu pria paruh baya menghentikannya, menahan tubuh sang kawan dengan genggaman di bahu.
"Kamu akan masuk sendiri, Hongjoong," ujar sang pria paruh baya. "Seonghwa akan masuk ke bangunan lain."
"Tapi-!"
"Joong."
Seonghwa menggenggam tangannya erat, sebelum perlahan lepaskan tautan tangan mereka. Lontarkan senyum tipis guna tenangkan sang pemuda Kim.
"Ingat? Kita bakal baik-baik saja," ujar Seonghwa. "Sehabis ini, kita akan jelajahi dunia bersama. Jadi, jangan khawatir, ya?"
Ditenangkan seperti itu, Hongjoong hanya bisa mengangguk. Gertakkan giginya sembari patuhi perintah untuk masuk ke dalam bangunan.
"Sampai bertemu lagi, Joong."
Dan mungkin, perkataan terakhir Seonghwa hanya akan jadi bualan semata.
***
***
Telinganya berdenging sesaat ketika dengar proses upacara kedewasaan yang telah ia tunggu-tunggu. Yang bisa ia lakukan hanyalah menatap benda runcing di hadapannya, tak percaya dengan apa yang harus ia lakukan dengan itu.
"Tanda yang ada di lehermu bukanlah tanda biasa, Hongjoong," ujar sang pria paruh baya, "melainkan ikatan jiwa. Kalian satu yang menjadi dua. Salah satu harus tinggal di sini selamanya untuk pastikan bahwa yang lain akan selalu kembali lagi ke desa."
Suara Hongjoong bergetar ketika ia suarakan sebuah tanya.
"Katamu salah satu hanya perlu tinggal agar yang lain dapat pergi. Lalu apa gunanya ini?"
Pisau. Di hadapannya, ialah pisau kecil yang buat Hongjoong mual hanya dengan melihatnya.
Dan sang tetua tersenyum, satu yang buat Hongjoong bergidik ngeri terlepas dari wajah ramahnya saat ini.
"Ini bayaran lain untuk kebebasan," jawab sang tetua, seolah tidak melihat masalah di pernyataannya, mengambil pisau tersebut dan memutarnya perlahan di tangan. "Nyawamu, atau nyawa pasanganmu."
Hongjoong tidak bisa suarakan protesnya terhadap upacara kedewasaan gila dan terkutuk yang mengharuskannya memilih antara dua nyawa. Tidak pula bisa suarakan protes karena suaranya tercekat di tenggorokan.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan kuat-kuat.
Mimpinya bak hancur di depan mata.
Persetan dengan kebebasan, Hongjoong mana bisa mengorbankan Seonghwa.
Bagian dari mimpinya. Yang seharusnya jadi masa depannya pula. Kawan yang ia bagi segala kesedihan dan kebahagiaan.
Kata kawan pun rasanya tidak cukup untuk utarakan perasaan, tetapi Hongjoong terlalu takut untuk ungkapkan lebih.
Seonghwa, yang selalu pasang senyum menenangkan di sampingnya, yang selalu berada di sisi Hongjoong kapan saja. Seonghwa, yang Hongjoong yakini lampaui keindahan apapun di dunia yang belum pernah ia lihat.
Hongjoong mana bisa korbankan Seonghwa. Ia takkan hidup jika Seonghwa pun tidak.
Namun, ia pun tidak bisa mengorbankan kebebasannya sendiri. Bermalam-malam ia bayangkan dunia luar. Sudah beribu malam pula ia rencanakan apa saja yang akan dilakukan. Beribu pertanyaan ia lontarkan ke Kak Hwan, satu-satunya orang dewasa di usia 20-an yang masih kembali ke desa, untuk ceritakan lebih mengenai dunia luar.
Kak Hwan.
Mendadak, Hongjoong ingat kata-kata yang pernah sang pemuda lontarkan.
"Jangan pernah batasi dirimu, Hongjoong. Lakukan apa yang kaumau."
Maka, itulah yang Hongjoong lakukan.
Tubuhnya bergerak tanpa ia sadari betul. Kakinya berayun, menendang tulang kering sang tetua. Pekikan sang pria paruh baya buatnya benar-benar sadar.
Tanpa tunggu apa-apa lagi, Hongjoong berlari sepenuh tenaga keluar bangunan. Membuka pintu yang tidak terkunci dengan satu gerakan.
Beberapa tetua tampak terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka, tetapi Hongjoong tidak buang-buang waktu untuk pedulikan hal-hal kecil.
Dalam delapan belas tahun hidupnya, Hongjoong belum pernah berlari sekuat ini untuk dapatkan keinginannya.
"Tangkap dia!"
Suara sang tetua terangkap di indera pendengarannya. Semakin lama, semakin kecil akibat jarak yang dibuatnya dengan berlari.
Entah ke mana, Hongjoong pun tidak tahu.
Hatinya ambil kontrol, bawa tubuhnya ke tempat yang ia sendiri pun tidak yakini sebagai solusi.
Namun, bagian besar dalam hatinya terus bisikkan satu hal.
Bahwa di tempat ke mana hatinya membawa tubuhnya, Seonghwa pun akan berada di sana.
***
***
"Hwa."
"Hm?"
"Aku masih tidak percaya kita pergi."
"Ini nyata, Joong. Kita pergi."
Hening kembali menyelimuti. Hongjoong terduduk di bawah pohon dengan kepala bersandar pada bahu Seonghwa. Keduanya tidak punya tenaga untuk kembali berjalan.
Sudah berapa hari kah? Hongjoong lepas hitungan.
Sudah berhari-hari sejak hatinya benar-benar mempertemukannya dengan Seonghwa yang juga buat keputusan yang sama saat upacara kedewasaan. Untuk lari dan takkan kembali lagi.
Sudah hari kesekian, keduanya belum juga temukan pemukiman.
Tubuh Hongjoong mulai melemah akibat kurangnya pasokan makanan dan minuman. Seonghwa tidak pernah bilang apa-apa, tetapi Hongjoong yakin pun ia rasakan yang sama.
Hongjoong bahkan tidak yakin mereka akan temukan dunia luar yang didambakan.
Seharusnya, Hongjoong rasakan takut akan ketidakpastian.
Alih-alih, dengan Seonghwa di sisinya, Hongjoong belum pernah merasa selega ini.
Meski matanya mulai berat dan pandangannya mulai mengabur, kehangatan dari Seonghwa cukup buatnya tersenyum tipis. Meski tubuhnya pun melemah, genggaman Seonghwa pada tangannya cukup buatnya rasakan kenyamanan.
Asalkan Seonghwa di sisinya, Hongjoong rasa ia akan baik-baik saja.
"Aku mengantuk," gumam Hongjoong.
Seonghwa balas menggumam lirih, "aku juga."
Hongjoong tidak balas gumaman Seonghwa lagi. Gunakan kesempatannya untuk mengusal lebih ke bahu Seonghwa, menggenggam tangannya lebih erat. Seerat yang Hongjoong bisa.
"Hwa."
"Hm?"
"Bulannya indah."
Seonghwa mendengus pelan, sebelum berbisik, "aku juga."
Mendengar jawabannya, Hongjoong tersenyum lelah. Pandangannya yang sudah mengabur, kian mengabur. Perlahan menghitam bersamaan dengan melemahnya tubuh.
"Selamat tidur, Joong. Sampai berjumpa besok."
Mungkin, esok yang disebut takkan datang. Mungkin, baik Hongjoong dan Seonghwa takkan pernah bangun dari tidurnya. Atau mungkin, mereka akan kalah oleh kehidupan di hutan.
Yang pasti, Hongjoong merasa tenang karena Seonghwa ada di sisi.
Dan hal terakhir yang diingatnya sebelum memejamkan mata adalah cahaya menyilaukan dan suara orang lain yang samar-samar.
Atau mungkin, itu pun hanya manifestasi harapannya saja.
