Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2021-09-19
Completed:
2021-09-19
Words:
3,217
Chapters:
3/3
Kudos:
16
Bookmarks:
1
Hits:
170

if someone does...

Summary:

Satu yang Mingi tahu: bahwa dia tidak ingin melepaskan dan menyerah, meski lelah telah mulai merayap dan mencengkram tumit--siap untuk menarik sang terkasih pergi. Karena San sudah jadi bagian dari dunianya (dan dia serakah juga lemah).

(atau, Choi San dan Song Mingi berpacaran--namun hubungan mereka berada di ujung tanduk karena insekuritas yang mengancam dan komunikasi yang buruk. Butuh dua obrolan agar masalah itu terselesaikan. Namun Mingi berjanji: apapun yang terjadi, dia akan selalu berusaha untuk San.)

Notes:

crosspost dari akun twitter/writeas @starandfires untuk arsip lol.

Chapter 1: on the verge (if you do)

Summary:

"sejak kapan hubungan kita jadi begini?" menjadi tanya yang menghantui... tapi m𝚒𝚗𝚐𝚒 tidak bisa melepaskan s𝚊𝚗 begitu saja. salahkah, jika dia berusaha mempertahankan apa yang menurut orang-orang mungkin sesuatu yang sia-sia?

Chapter Text

“Ayo kita putus.”

Song Mingi hanya bisa menatap kekasihnya selama setahun ke belakang dengan tatapan nanar, membiarkan iris gelapnya menemukan wajah Choi San yang tengah berpaling. Mereka sedang menikmati waktu berdua di kafe langganan, seperti biasa, hingga obrolan ringan kemudian berubah menjadi argumen berat dan kata-kata itu keluar begitu saja dari celah bibir sang pemuda yang merah delima. Mingi menarik napas dan membiarkan telapak tangannya bertemu dengan wajah. Mengabaikan segelas lemonade yang bahkan isinya belum habis diatas meja.

“Sannie-ya, masa begini lagi sih…” pemuda itu berkata dengan suara yang dilembutkan, berusaha meluluhkan hati sang pujaan yang masih enggan bertemu pandang. “Sedikit-sedikit minta putus. Kan kita bisa bicara baik-baik—”

“Jadi kamu udah capek ngadepin aku?” San masih memalingkan wajah, biar kini pemuda itu menunduk sembari mengaduk isi cangkirnya dan berusaha untuk menahan tangis. Terdengar, dari tremor pada suara yang bersangkutan… dan Mingi, Mingi tidak tahu harus bagaimana untuk menanggapi tuduhan yang dilontarkan.

“...bukan begitu.” Napas dihela. Tangan pemuda Song kemudian meraih telapak tangan lelaki Choi yang masih gemetaran, berusaha menenangkan. Berusaha menguatkan. (Mencurahkan seluruh cinta yang tersisa, kasih sayang yang masih ada.) “Dengarkan aku sebentar bisa, Sannie-ya?”

Mingi jadi bertanya-tanya sejak kapan hubungannya dengan San yang biasa dipenuhi tawa riang dan celetuk-celetuk manis berubah jadi sepahit ini. Padahal dulu yang membuat Song Mingi jatuh cinta pada Choi San adalah senyumnya yang secerah mentari, rasa percaya dirinya yang seolah dapat mengangkat rasa cintanya tiap kali pandangan itu saling bertumbuk.

Sekarang… sudah setahun lewat, apa ini artinya dia belum sesiap itu untuk menghadapi San dan segala naik-turun moodnya? Bahwa perasaan yang dikiranya serius selama ini ternyata belum sekuat itu… ketika sekarang dia sudah mulai lelah menghadapi tantrum yang dilempar sang pacar, ketika dia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana supaya San tetap tersenyum (senyum yang membuatnya jatuh cinta di kali pertama)?

Song Mingi akan mengakui kalau dirinya adalah tipe yang mudah menebar kata cinta, mudah mengatakan sayang. Selalu jadi hal natural baginya untuk menyentuh pemuda itu; sekedar menoel pipi tembamnya atau memeluk tubuh mungil Choi San ketika dirinya ingin. Bahkan sebelum hubungan itu resmi pun Mingi sudah merasa San adalah miliknya, membuat dirinya jadi lebih posesif daripada teman-teman kebanyakan. Barangkali dia sekedar sudah bosan, sudah merasa bahwa tak ada tantangan atau hal lain yang menyenangkan untuk dilakukan bersama San lagi, tidak seperti dulu, tapi…

“...aku mendengarkan.”

—kalau pemikiran itu benar, apa jadinya Mingi?

(Seorang yang egois. Jahat, tidak tahu diri—padahal San mencintaimu dengan sepenuh hati; berani-beraninya dirimu berpikir kalau semua ini salah pemuda itu, Song Mingi, ketika yang salah adalah k a m u?)

Tatapan mereka berdua akhirnya bertemu. Mingi dapat melihat bening melapis di bola mata San dan ulu hatinya terasa sakit. Disenggol sedikit pasti bendungan itu akan jebol. (Masalahnya, Mingi tidak ingin melihat San menangis di depan matanya. Ia… tak yakin akan sanggup menghadapi. Karena air mata Choi San adalah kelemahannya yang utama, dan pemuda Choi tahu benar akan hal tersebut.) Jemari si pemuda kemudian mengelus buku jari sang kekasih, mencoba meredakan tangis yang bahkan belum juga tumpah.

“Aku… bakal jadi lebih baik lagi. Aku akan berusaha supaya bisa jadi pacar yang baik buatmu. Jadi.” jeda diambil, tatapannya mengarah pada paras manis lelaki Choi. Mengeraskan hati dan niat. “Jangan sekali-kali lagi kamu minta putus dariku…”

Karena Song Mingi sesungguhnya takut ditinggalkan.

(Dia takut membayangkan hidup tanpa San. Setahun lebih menghabiskan waktu bersama sudah lebih dari cukup untuk membuat San menjadi fiksasi dalam hidup Mingi. Pemuda itu tidak mampu membayangkan suatu ruang dan waktu dimana dalam hidupnya tak ada sosok Choi San untuk diraih dan dipeluk.)

Choi San, di luar dugaan, hanya diam dengan bibir terkulum. Ekspresi si pemuda dijaga sebaik mungkin agar tidak mengkhianati emosi yang mungkin berkecamuk dibalik topeng indiferennya, namun Mingi terlalu mengenal San hingga dirinya bisa melihat mikro-ekspresi itu lebih jelas. Satu yang mengatakan dalam volume keras kalau San tidak mempercayai apapun yang terucap, dan Mingi… mendapati dirinya pasrah.

Tidak merasa apa-apa lagi kecuali capek.

Lelah menghadapi semua ini terus-terusan, ya, tapi dia terlalu pengecut untuk sekedar mengakhiri hubungan ini. Untuk membicarakan masalah diantara mereka selayaknya orang dewasa yang tahu bagaimana caranya menjadi cerdas secara emosional.

“Sungguhan?”

Suara San kecil dan lemah. Mingi merasa semakin bersalah dibuatnya.

“Aku janji,” dibawanya tangan si pemuda yang masih tergenggam mendekat ke bibir. Mendaratkan sebuah kecupan di punggung tangan yang sewarna salju. “Percaya padaku.”

“Hm,”

Choi San pun mengizinkan dirinya tersenyum kecil, kemudian, dan Song Mingi pun merasa kalau ya, semuanya pantas. Segala derita yang mungkin terasa tidak akan terasa apa-apa kalau dibandingkan dengan senyum yang menghias wajah Choi San.