Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandoms:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2022-03-08
Completed:
2022-03-08
Words:
1,800
Chapters:
2/2
Comments:
3
Kudos:
20
Bookmarks:
3
Hits:
299

Prisma

Summary:

Kento bak pelangi.
Dan Satoru, tentu bukan lamur rona;
Ah, tapi ada baiknya bila sekalian saja.

Gojo Satoru, and the lasting memories of Nanami Kento in colors.

Notes:

Am just copying it from this thread fic I wrote awhile back.

 

This is partly a remix/rewrite of a piece I worked on seven years ago for another fandom. I needed to practice my Indonesian writing, so, here goes nothing.

(+ Special thanks to Cil for being my first/beta reader!)

((If you translate your page it could probably still be read in English pretty decently LOL.))


Enjoy! (or not?)

(See the end of the work for more notes.)

Chapter 1: Prisma

Chapter Text

 


 

Putih.

 

Menyilaukan sekali. Kento mengernyitkan dahinya saat segerombolan senior dari program studi lain menghampirinya dan teman-teman sekelompoknya.

Seorang diantara mereka ada yang tinggi sekali, bahkan lebih tinggi daripada Kento yang termasuk jangkung untuk orang awam. Rambutnya putih, seputih salju. “Pasti disemir,” pikir Kento saat ia melihat seniornya itu menyapa teman-temannya terlebih dulu. Senior itu mengenakan kacamata hitam bulat dan senyumnya lebar sekali. Ah, dia terlihat menyebalkan.

 

“Hai! Namaku Gojo Satoru, tapi panggil Satoru saja!” si senior berambut putih akhirnya sampai di depan Kento, tangannya menjulur untuk berjabat tangan.

“Nanami,” Kento menjabat tangan senior— ah, Gojo. Satoru. Satoru...san? Gojo-san?? Harus panggil apa? Kento tidak mau dianggap amoral karena memanggil seniornya dengan nama depan saat baru pertama bertemu.

“Nanami...?”

“Hah? Oh. Uhm. Kento. Nanami Kento,” si pirang tertegun saat kacamata hitam Satoru (“Gojo-san!” Kento menghardik dirinya sendiri) sedikit meleset turun di batang hidungnya. Bulu mata lentiknya ternyata seputih salju pula. Matanya biru, sebiru langit. Samudera. Permata safir. Segerombolan kelopak hortensia.

 

“Hahaha kamu lucu sekali, Kenny!”

 

- - -

 

Ungu.

 

Jelek. Aneh. Tidak pantas. Satoru selalu kesulitan untuk memadumadankan bajunya kalau terpaksa harus mengenakan warna ungu.

Ketika Kento datang ke kencan pertama mereka sepuluh menit lebih awal—mengenakan sweater rajut berwarna ungu lavender yang, ugh! Sangat tidak adil! Kento terlihat tampan sekali mengenakan warna ungu. Satoru tidak tahu harus kesal atau terpikat.

Keduanya?

 

Seharian Satoru berusaha menyembunyikan rona pipinya di balik tawa lepas dan godaan godaan konyol yang ia tujukan pada Kento. Enak saja aku salah tingkah sendirian, Ken!

 

Kento, you take my breath away.

 

- - -

 

Nila.

 

“Violet, hm?” Satoru menyentuh dagunya dengan telunjuk, memasang wajah sok berpikir yang dibuat-buat. “Kenapa violet?” 

“Kenapa kepo sekali?”

“Kenapa kamu tertarik sekali mempelajari Floriografi?”

“Gojo-san—”

“Satoru!”

Kento menghela nafas, “Satoru,” ia melepas kacamata bacanya dan mengusap pangkal hidungnya. “Kalau kujawab, bakal berhenti, nggak?”

“Tentu!” Satoru menyeringai girang, akhirnya ia mendapat perhatian Kento setelah berusaha selama satu jam lebih.

“Mendiang ibuku, dulunya punya toko bunga—di Denmark, tentunya. Beliau suka sekali merawat dan merangkai bunga. Katanya, setiap bunga punya arti sendiri-sendiri. Mereka menyampaikan hal-hal yang tidak bisa kita ujarkan sendiri dengan perkataan."

"Jadi kamu belajar dari ibumu, Ken?"

"Begitulah."

"Masih belum menjawab pertanyaanku. Kenapa violet?"

"Viola itu bunga yang melambangkan mereka yang lahir di bulan Februari. Mendiang ibuku lahir di bulan Februari." Satoru hanya bergumam. "Warnanya juga cantik. Hampir seperti indigo."

 

Kamu juga cantik. Satoru pikir.

 

- - -

 

Biru.

 

Kento mengangkat tangannya untuk menghalangi langit musim panas yang sangat terik. “Musim panas di Jepang tidak bisa diajak berkompromi,” batinnya. Ia melihat kembali jam tangannya, “Tentu saja dia akan terlambat. Seharusnya aku tidak berharap.”

 

“Kento!” Huh.

“Satoru,” Kento mengangguk untuk menyapa seniornya itu. Ia berdehem, tiba-tiba merasa agak kikuk. “Uh...”

 

Keduanya berusaha mengalihkan pandangan dan mencari topik pembuka pembicaraan sebelum Kento mengeluarkan buket bunga mawar yang disembunyikan di balik punggungnya sebelum Satoru datang. Ada sekitar tujuh bunga dan beberapa rangkaian lainnya di buket itu, semua memiliki gradasi warna biru yang mengomplementasi satu sama lain— “Oh! Untukku?” Satoru tertegun. “Aku tidak membawakanmu apapun!”

“Sudah, ambil saja. Aku... malu,” Kento membisikkan bagian terakhir kalimatnya sambil membuang muka meronanya. Satoru berpura-pura tidak mendengarnya, ia hanya akan menikmati wajah Kento yang memerah lucu dan menerima buket bunga dihadapannya.

“Kenapa mawar biru, Kenny?”

“Ada alasannya tersendiri—ah, tapi anggap saja karena mereka mengingatkanku akan warna matamu.”

 

Mawar biru menandakan cinta sejati. Mawar biru bisa berarti cinta yang tak terjangkau, atau mustahil. Tentu saja, Satoru tau. Oh, Kento, kenapa berpikir begitu? Aku milikmu sejak pertama kali kita berjabat tangan untuk berkenalan dua tahun lalu.

 

- - -

  

Hijau.

 

Eh? Bukan hijau. Mungkin zamrud?

 

Satoru menatap lekat-lekat iris mata Kento saat sang empunya sedang sibuk menelaah baris demi baris paragraf dari novel terbitan baru penulis favoritnya. Kedua matanya bergerak perlahan mengikuti alur sajak-sajak itu dari balik kacamata baca yang bertengger di batang hidungnya. 

 

Tidak, tidak. Ada sedikit warna karamel disana. Warnanya seperti buih buih air laut yang terpantul sinar matahari musim panas.

 

“Ada apa, Satoru?” 

“Hm? Ah, maaf. Aku tadi cuma berpikir kalau warna matamu cantik sekali, Kento.” —Si pria pirang menyembunyikan wajah meronanya dengan sigap di balik lembar-lembar novel 500 halaman yang ada di genggamannya, mengutuk Satoru keparat di sela hembusan nafas. 

 

- - -

 

Kuning.

 

“Kenapa, ya, aku selalu terpikir bunga matahari kalau ingat kamu?”

 

Kento membuka sebelah matanya dan menatap Satoru ganjil. “Random banget?” si pirang mengernyitkan dahinya sewot saat jemari Satoru berhenti memainkan rambutnya. Setelah puas ketika si pemilik jari-jari lentik itu kembali mengusap helai rambut keemasannya, Kento memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman di paha Satoru.

Satoru menatap Kento yang sedang berusaha bersantai di pangkuannya. “Apa karena kamu lahir di musim panas, ya?”

“Satoru, kamu terlalu banyak bicara.”

“Galak banget, Nanamin.” Satoru tersenyum usil. Sudah bertahun-tahun nama panggilan itu tidak terujar diantara mereka.

“Gojo-san, tolong berhenti.”

Satoru tertawa mendengar balasan Kento, jemarinya menelusuri untaian pirang rambut Kento. “Oh, Kento. Sepertinya bunga matahari dan warna kuning akan menjadi favoritku mulai sekarang!”

 

Kuning mengingatkanku padamu. Dari rambut pirang keemasanmu, berkilauan di bawah matahari. Dari dasi jelek yang selalu bersikeras kamu pakai ke kantor. Dan bunga matahari, menurutku bukan kebetulan kalau Kento lahir di waktu saat musim panas sedang gila-gilanya. Hal-hal kecil seperti ini yang membuatku paling bahagia. Kamu membuatku paling bahagia, Kento.

 

- - -

 

Jingga.

 

Merona indah di ujung khatulistiwa, dimana garis laut bertemu langit. 

Kento mengambil nafas gugup, jemarinya menggenggam erat kotak beludru kecil yang ada di saku parkanya. 

 

Tenang, Kento. Satoru bukan klien yang suka marah-marah. Bukan dokumen penjualan saham yang perlu dikritisi dan revisi. Mudah sekali. Mudah sekali.” Kento menghitung mundur dari seratus untuk menenangkan hatinya.

“Keeeentooo!” Ah, panjang umur Satoru. Si pria berkacamata hitam itu berlari kecil untuk menghampiri Kento yang duduk di salah satu kursi yang menghadap ke laut, bersiap untuk matahari tenggelam.

 

“Kento, maaf agak lama. Mesin kopi konbini nya antri sekali—” Cantik. “—belikan kamu sandwich—” Milikku. “Eh, Ken, tahu nggak? Tadi waktu aku ke—” Satoru, kamu terlalu banyak bicara. “Ah. Aku lupa mengambil sedotan...” Bodoh.  

Satoru kembali mengoceh, lalu menertawakan sesuatu yang baru saja ia katakan sendiri—suaranya nyaring dan lepas. Matanya membentuk bulan sabit dan pipinya merona dibawah mentari senja. 

 

Aku ingin menghabiskan hidupku bersama pria ini.

 

“Hey, Satoru?” Si pria berambut putih itu menghentikan ocehan monolognya dan menoleh ke arah Kento. “Mhm?” 

 

Senyummu manis sekali. Adilkah untuk dunia kalau aku menginginkanmu untukku seorang?

 

Kento berdiri dari duduknya, merasa lebih percaya diri dan yakin sekarang. Ia berlutut dihadapan Satoru dan membuka kotak yang telah dibawanya kemana-mana dalam waktu tiga bulan terakhir, menunggu saat yang tepat. Cincin perak bersematkan permata safir—yang sekarang, Kento pikir, tidak ada apa-apanya dibanding gemerlap mata Satoru—menjadi saksi diantara kedua sejoli.

 

“Menikahlah denganku.”

 

- - -

 

Merah.

 

Satoru ingat merah.

Satoru harap warna merah dihapuskan saja dari dunia.

Satoru benci warna merah.

 

“Ken...to?” 

Pagi itu, sehari setelah ulang tahun Kento yang ke dua puluh delapan dan perayaan hari jadi mereka yang ke enam. Selebrasi yang seharusnya meninggalkan euforia dan kebahagiaan malah menjadi momen dimana semua mulai hancur dan lebur.

“S...a..to..ru...?” Kelopak mata Kento melebar, menatap Satoru horor. Kecemasan terlihat jelas di guratan wajahnya. Tangannya yang masih tetangkup dekat wajahnya berbalut satu warna,

 

Merah.

 

“Kento! Hey! Ada apa?!” Satoru yang tersadar dari rasa terkejutnya segera pergi ke samping Kento dan menopang tubuh lemasnya—sepertinya dirinya sendiri pun bisa bergerak hanya karena sokongan adrenalin.

“Sesak...” Kento terbatuk lagi dan lebih banyak warna merah memenuhi pandangan Satoru.

“Satoru,” Kento menatap kekasihnya dengan mata berkaca-kaca dan ketakutan. Ini adalah pertama kalinya Satoru melihat ekspresi itu di wajah Kento yang selalu serius, dan ia sangat sangat sangat membencinya. Pupil mata Kento tidak fokus dan tubuhnya bergetar, desakan demi desakan terbatuk-batuk dari tubuh Kento yang mulai terisak.

 

“Satoru, aku takut.”

 

- - -

ㅤ  

Kelabu.

 

Warna langit siang itu. Sinar mentari yang seharusnya bersinar terik tersibak malu-malu dari balik gumpalan awan tebal yang menyelimuti Kota Tokyo. Satoru mendongak keatas dan mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba menahan air mata yang mengancam untuk keluar. Si pria tinggi semampai itu mengambil nafas panjang dan menegakkan bahunya, kakinya kembali melangkah menyusuri jalanan paving yang akan membawanya ke tempat peristirahatan sang kekasih.

Banyak sekali yang ingin Satoru ceritakan. Sudah lama sejak dirinya terakhir mengunjungi tempat ini—tidak, bukan lalai atau lupa. Hanya saja memori dan bait bait kenangan yang selalu datang menghampiri setiap kali ia datang terkadang sangat memilukan; Satoru tak sanggup.

 

“Kento! Itʼs been a while.”

 

- - -

 

Hitam.

 

Bak setelan jas yang tengah dikenakan Satoru. Terjahit rapi, kainnya memeluk tubuh tinggi pria itu dengan sempurna. Rambutnya terlihat lebih mencolok akibat kontrasnya. Namun, setelan ini mungkin nantinya tidak akan dikenakan lagi oleh Satoru. Mungkin ini terakhir kalinya, setelah enam tahun berturut-turut. Mungkin ia akan menyimpannya dalam-dalam di lemari, aman di genggaman plastik kedap udara dan jauh dari ingatan. Mungkin dengan begitu ia akan bisa merelakan. Mungkin. Setelan satin hitam—yang seharusnya ia kenakan di hari pernikahannya dengan pria yang kini telah terkubur beberapa kaki di bawah tanah tepat dimana ia berdiri sekarang.

“Hey, senyum dong. Disana kan sudah nggak ngerasain sakit, Ken,” Satoru tersenyum pahit menatap foto si pria pirang yang terbingkai rapi itu, bersandar tegak di depan sebuah batu nisan kokoh. Wajahnya yang selalu tampak kaku terlihat sangat serius, bahkan di foto sekalipun.

Jarum-jarum jam tangan kesayangan Kento yang sekarang melingkar manis di pergelangan sang surai putih senantiasa bergerak; Detikannya terdengar nyaring, bising, seolah-olah sedang mencemooh keterpurukan yang sedang Satoru rasakan. Baginya, waktu telah berhenti bersamaan dengan degup jantung Kento yang terakhir.

Satoru berjongkok perlahan dan meletakkan buket bunga viola yang selalu ia bawa di hari peringatan kematian Kento.

 

Kentoʼs favorite.