Work Text:
“Terima kasih! Silakan berkunjung kembali …”
Tsukishima mengangguk kecil sebagai tanggapan pada sapaan penjaga kasir mini market, seraya menggerakkan kaki keluar dari sana. Dalam hati mengucap kekaguman pada aura ceria yang masih menguar dengan kental dari perempuan itu.
Jarum pendek pada jam tangannya hampir menunjuk angka 10. Entah jarum pendeknya mengarah ke mana. Tetapi, untuknya pribadi, tetap bekerja hingga selarut ini di malam Minggu … itu melelahkan.
Ia tidak tahu dari mana kesibukan ini bermula. Yang jelas, jadwalnya tak pernah sepadat, seramai, sepenuh ini, selama ia duduk di bangku kuliah.
Kepanitiaan acara kampus, magang secara sukarela di salah satu galeri seni milik seorang seniman, voli dengan klub universitas dan Sendai Frogs, tugas dan laporan akhir.
Dengan itu semua, terkadang Tsukishima bisa lupa jika ia masih bernapas.
Tapi, ia tidak mengeluh. Ia pun tak tahu kenapa, namun ada satu dorongan dalam diri yang membuatnya masih bisa bangkit dan berlari dengan semua beban yang datang secara berbondong-bondong dan bersamaan itu.
Tak apa, batinnya. Yang penting bisa lupa.
Yup. Tak masalah. Baginya, segala kelelahan dan keletihan ini sangat sepadan dengan hasilnya. Tsukishima tak lagi punya waktu lama untuk berdiam diri, merenung, melamun. Waktu rehat tak begitu banyak, jadi jam makannya pun berlalu dengan singkat. Tidak ada kesempatan berlama-lama membuka media sosial dan berinteraksi di dunia maya.
Tiba-tiba saja matahari menggantung di atas kepala.
Tiba-tiba saja mentari hanya nampak separuhnya dan biru malam menyelimuti langit.
Tiba-tiba saja ia berada di apartemen kecilnya, membersihkan diri, makan makanan instan, lalu bersiap tidur.
Tiba-tiba saja alarm paginya bordering nyaring memekakan telinga.
Begitu terus siklusnya.
Menjemukkan, memang. Namunꟷlagiꟷtak mengapa.
Yang penting bisa lupa.
Secara garis besar, itu bagus. Setidaknya, tidak sampai lelaki berhelai pirang itu memasukkan kunci apartemen ke lubangnya, bermaksud memutarnya berlawanan arah jarum jam hingga terdengar bunyi penyangga pintu yang tergeser dari asalnya.
Tetapi, bunyi itu tak juga terdengar.
Tanpa disadari, Tsukishima menahan napas. Tahu betul jika itu merupakan pertanda jika pintunya tak terkunci.
Entah dibobol seseorang, entah dirinya yang tadi pagi lupa mengunci pintu dengan benar.
Kemungkinan kedua perlahan tersisihkan seiring pintu yang dibuka lebih lebar, memperlihatkan apartemen yang sudah dalam keadaan terang benderang. Kontras sekali dengan hari-hari sebelumnya, di mana yang menyambutnya hanya dinginnya angin malam dan kegelapan.
Sepasang sepatu yang diletakkan rapi di rak sangat cukup memberikan jawaban atas belasan tanya yang menggantung di benak Tsukishima saat ini, yang tentu saja tidak percaya begitu saja dengan pemandangan di depannya.
“Oh, Tsukki? Sudah pulang?”
Setidaknya sampai suara khas itu menyergap indera pendengarannya.
“Kuroo-san? Kenapa kauꟷ Sejak kapanꟷ”
“Aku mengirimimu pesan tadi pagi, tapi hanya kau baca,” sahut yang lebih tua dengan senyuman tipis.
Buru-buru Tsukishima membuka kotak masuk ponselnya. Dan benar saja. Ada satu pesan dari Kuroo yang menanyakan keberadaannya di apartemen, juga bertanya kesediaannya untuk dikunjungi tadi pagi. Pasti Tsukishima tanpa sadar membukanya ketika baru bangun tidur, kesadarannya belum terkumpul sehingga pesan itu terlupakan begitu saja.
Sama dengan dirinya yang lupa jika kunci cadangan apartemen ini sudah diserahkan ke Kuroo sejak pertama kali ia tiba di Tokyo.
*
“Kuroo-san,” Tsukishima memanggil nama surai hitam yang saat itu baru saja selesai mengangkut kotak berisi barang bawaannya dari Sendai. “Kunci cadangannya.” Lalu begitu saja melempar sebuah kunci berwarna perak ke arah Kuroo, yang untungnya dapat menangkapnya dengan sigap.
“Hah?”
“Simpan saja.”
“Hah???”
“Untuk jaga-jaga, kalau kau butuh sesuatu.”
“HAAAHHHH???”
Kedua mata Tsukishima menyipit tajam. “Kenapa kau heboh sekali?”
Yang lebih tua tak segan menunjukkan senyum lebar, lengkap dengan kedua pipi yang merona. “Kau mengizinkanku datang ke sini sesukaku?” tanyanya iseng, sembari mendekati si kacamata satu langkah.
“Hm.”
“Kapan pun itu?” Satu langkah lagi.
“Hm.”
“Setiap hari?” Satu langkah lagi.
“Kau kira ini hotel?” Tsukishima langsung mendelik Kuroo yang telah berdiri tepat di sampingnya. “Mau apa kau?” desisnya tajam.
Yang lebih tua tak menjawab. Lengkungan bibir masih menghiasi wajahnya, membuatnya tampak konyol.
“Kau tidak tahu, Tsukki. Ini sangat bermakna bagiku.” Kuroo mengangkat benda kecil berwarna silver itu.
“Apanya?”
“Yah … mungkin saja ….” Kuroo menempelkan pundaknya pada pundak si pirang, memberikan dorongan kecil dengan niat menggoda. “Suatu saat, kita akan berbagi satu kunci rumah yang samaꟷ Aduh! Kenapa aku dipukul?!”
Belum selesai Kuroo berucap, Tsukishima sudah menepuk belakang kepalanya cukup keras.
“Jangan berpikir terlalu jauh!” sahut Tsukishima tanpa rasa bersalah.
“Tetap saja, setiap kemungkinan itu ada, kan?” Kuroo belum menyerah.
“Kuroo-san.”
“Ya?”
Tsukishima yang tadinya sibuk membongkar sebuah kardus bertulisan “BAJU-BAJU” menghentikan kegiatannya, menatap Kuroo dengan pandangan yang mampu membekukan surai hitam. Bukan dalam artian buruk. Sebab senyuman kecil terlukis pada wajah si kacamata, menguarkan keteduhan yang hanya bisa Kuroo rasakan.
“Hidup kita juga masih panjang, bukan?”
*
Saat itu, Tsukishima bukannya benci memikirkan kemungkinan mereka tinggal satu atapꟷdalam artian sesungguhnya. Menjadikan semua bagian tempat tinggal mereka jadi milik bersama. Tidak perlu menanyakan kesediaan satu sama lain untuk dikunjungi. Menjadikan Kuroo ‘rumah’-nya.
Tsukishima sangat menyukai ide itu.
Hanya saja ….
“Tsukki?”
Panggilan Kuroo mengembalikan Tsukishima pada dunia nyata. Ketika fokusnya kembali, yang lebih tua sudah berdiri di depannya, lengkap dengan celemek bergambar telapak kaki kucing di tengahnya.
“Kau tak apa? Wajahmu terlihat pucat,” tanya Kuroo cemas.
Tsukishima mengerjap. “Ya,” jawabnya gelagapan. Cepat-cepat melepas sepatunya untuk mengalihkan perhatian. “Daripada itu, apa yang sedang kau lakukan di sini?”
Kuroo masih bergeming di tempatnya, mengejutkan surai pirang yang bangkit dengan kaki telanjang sebab jarak keduanya yang sempat hanya terpaut lima sentimeter.
Keheningan langsung menyergap.
“Kau sibuk sekali rupanya, ya?” tanya Kuroo, diiringi dengan helaan napas berat. “Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”
“Empat bulanꟷ”
“Tujuh belas hari.”
Senyuman Kuroo melebar, sementara Tsukishima mencoba menyembunyikan wajahnya yang memanas.
“Senang kau juga menghitungnya, Tsukki.”
“Kau belum menjawab pertanyaanku.”
Giliran Kuroo yang mengalihkan pandangan. “Harus sekali kujawab, ya?” sahutnya pelan.
“Kuroo-sanꟷ”
“Yang penting, sekarang kau isi perut dulu! Makan malam sudah siap, tinggal kupanaskan sebentar.” Kuroo berkata sembari berjalan kembali ke dapur. “Mungkin sebaiknya kau mandi dulu? Kamar mandinya sudah kubersihkan.”
Seolah tak memiliki pilihan lain, surai pirang menurut. Ia berjalan masuk ke kamarnya untuk menaruh tas ransel yang berat, melepas jaket dan menggantungnya di belakang pintu kamar, lalu berjalan ke kamar mandi.
Keranjang baju kotornya tak lagi terisi. Padahal tadi pagi penuh sekali, sempat membuatnya ingin menyerah dan mengantarkannya ke binatu saja esok hari. Wastafelnya juga berantakan beberapa hari ini, sebab tubuhnya terlalu letih dan kerapian tidak lagi menjadi prioritas. Setelah menggunakan sikat gigi, sabun wajah, dan peralatan lainnya, ia taruh begitu saja. Berniat akan bersih-bersih total besok.
Namun, semua pekerjaan untuk besok, tampaknya sudah diselesaikan Kuroo tanpa sisa hari ini.
Awalnya, Tsukishima tak berniat berlama-lama di kamar mandi. Sungkan dengan keberadaan Kuroo yang tidak terduga. Akan tetapi, seiring air yang membasahi pucuk kepala mengalir turun menuju mata kaki, beban tak kasat mata yang ada di otak turut menguap bersamaan dengan aliran itu. Perasaan tenang seketika menyelimuti tubuhnya, membuatnya mengesampingkan perihal surai hitam sejenak, menikmati mandi tanpa terburu-buru.
Toh, meskipun ia menyelesaikan mandi dengan cepat, ia belum tahu harus bagaimana di depan Kuroo. Apa yang harus dilakukan, apa yang harus dikatakan, semuanya. Tsukishima bingung dan dilemma.
Bohong jika dikatakan ia tidak menantikan pertemuan dengan Kuroo. Namun, di sisi lain, rasanya ia tidak pantas merasakan hal itu.
Sudah hampir pukul sebelas saat Tsukishima berjalan menuju dapur dengan rambut yang belum kering sepenuhnya. Biarlah, pikirnya. Mungkin memang sebaiknya lebih cepat, lebih baik. Untuknya, dan untuk Kuroo.
Aroma sedap langsung tertangkap indera penciumannya. Langkahnya sempat terhenti mendapati meja makannya terisi penuh dengan masakan rumah, yang mana sudah lama sekali tak ia dapatkan. Semuanya dalam keadaan hangat, terlihat dari uap yang masih mengepul dari sajian berkuah dan nasi.
“Silakan,” ucap Kuroo, tersenyum hangat.
“Kau membuat semua ini?” Tsukishima tak bisa menahan rasa ingin tahunya.
Yang lebih tua mengangguk.
“Kau sendiri? Tidak makan?”
“Aku sudah tadi. Kau lama sekali datangnya, jadi aku makan duluan.”
Kedua mata di balik lensa bening menyipit. “Yang benar?”
“Benar. Lihat bekas piringku, belum kering, tuh.” Kuroo menunjuk beberapa alat makan di rak piring basah.
Tatapan curiga Tsukishima tak terlepas dari Kuroo yang terkekeh. Lupa pada kabut kegundahan yang sempat melandanya, dengan santai ia menarik kursi di hadapan Kuroo, mengucapkan ‘selamat makan’ dengan pelan, lalu menyuapkan sesendok sup hangat.
“Bagaimana?” tanya Kuroo, dengan antusias menantikan jawaban si pirang.
“Enak …” jawab Tsukishima. “… seperti sup pada umumnya.”
“Tsukki! Kejam sekali, sih!” Kuroo refleks menggerutu.
Untuk sejenak, rasa-rasa yang telah lama kembali merasuki Tsukishima.
Getaran-getaran aneh di kulit, perut yang seolah terisi dengan kupu-kupu yang sibuk mengepakkan sayap mungilnya, atmosfer hangat yang senantiasa membuat wajah memanas.
Sudah sejak lama Tsukishima melupakan hal-hal konyol itu.
Tidak ada yang memulai percakapan. Pada dasarnya, Tsukishima sendiri merupakan seseorang yang canggung. Dan saat ini, dirinya terlalu gengsi untuk membuka suara, bahkan hanya untuk memuji masakan yang diolah Kuroo yang tak pernah tidak enak.
Si pemilik helai jelaga pun demikian. Ponsel yang semula dimainkan selagi menunggu Tsukishima selesai mandi telah ditaruhnya di sisi meja makan, tak berniat mengecek notifikasi atau pun jam di layarnya. Lebih memilih memandang sekeliling apartemen Tsukishima yang sederhana, sambil sesekali melirik yang lebih muda di depannya, mencoba menafsirkan makna raut yang terlukis di paras berbingkai kaca mata itu.
Tepat ketika Tsukishima meneguk suapan terakhirnya, Kuroo beranjak. “Kalau begitu, aku pulang, ya.”
“Ha?” Pergerakan Tsukishima yang ingin minum terhenti mendengar kalimat itu.
“Semua baju kotormu sudah kucuci dan kusetrika. Semuanya sudah di lemari, tapi mungkin ada beberapa yang lipatannya tidak sesuai seleramu, jadi tolong dicek saja, ya.” Kuroo tidak memberi kesempatan pada Tsukishima untuk menyela.
“T-Tungguꟷ”
Dengan cepat, Kuroo menyampirkan ranselnya di pundak. Tanpa menggubris Tsukishima, terus mengoceh tentang kalimat-kalimat yang sudah disusun sedemikian rupa dalam kepala.
“Di rak makanan juga sudah kubelikan beberapa cemilan, juga roti. Jangan lupa dimakan, hanya tahan sampai lima hari kedepan.”
“Tunggu! Kuroo-sanꟷ”
“Buah juga sudah kubelikan, ada di kulkas. Segera dihabiskan juga sebelum membusuk. Susu, telur, beberapa sayuran juga sudah kusiapkan. Sempatkanlah untuk membuat sesuatu untukmu sendiri. Jangan membeli yang instan terus.”
“KUROO-SAN!”
Sang empu nama tidak sadar dirinya sudah berada di ambang pintu, dan Tsukishima menarik tangannya dengan gerakan cepat, lalu menutup kembali pintu apartemennya dengan kencang. Suara pintu terbanting itulah yang mengembalikan Kuroo pada kenyataan.
“Tsukki …”
“Kau kira aku melihatmu sebagai apa, Kuroo-san?”
Pertanyaan diluar dugaan itu membuat Kuroo tersentak. Rasanya sulit sekali menemukan kata yang tepat kala otaknya tengah dirudung panik seperti ini.
“Kau … memangnya kau senang melihatku hari ini?”
Tanpa bisa ditahan, justru Kuroo malah melemparkan pertanyaan kembali. Disandarkannya punggung pada daun pintu, menundukkan kepala, menghindari tatapan dari kedua bola mata Tsukishima yang melebar, menatapnya tak percaya.
Setelah beberapa detik yang terasa panjang dan mencekam, Tsukishima akhirnya menjawab. “Sejujurnya, aku pun bingung harus merasa bagaimana,” tuturnya. “Kita tidak bertemu selama beberapa bulan. Pertemuan terakhir kita juga bisa dibilang kesannya tidak begitu baik. Karena itu, melihatmu hari ini, di tempatku, mengerjakan banyak hal seolah tidak terjadi apa pun diantara kita …” Tsukishima menghembuskan napas berat. “Aku bingung.”
Hati Kuroo tercubit mendengarnya.
“Lalu, setelah semua yang kau lakukan, kau pikir bisa pergi begitu saja? Bahkan tidak membiarkanku mengucapkan terima kasih?”
Cubitan yang kecil, yang mana jauh lebih menyakitkan.
“Kuroo-san, aku tidak melihatmu sebagai pembantuku, yang datang saat keadaanku sedang berantakan, dan pergi begitu saja ketika semuanya sudah kembali tersusun rapi.”
Kali ini, tak hanya cubitan, ratusan jarum seolah tengah menyerang hatinya secara kasat mata. Kalimat itu mengenai Kuroo tepat sasaran.
“Kau kira aku memandangmu serendah itu?!” Emosi Tsukishima yang campur aduk semakin tergambarkan seiring volume suaranya yang kian meninggi, disertai getaran tak tertahankan yang membuat siapa pun yang mendengarkan kehilangan kemampuan napas mereka selama beberapa detik.
“Tsukishimaꟷ”
“Di matamu, aku masih bocah yang tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri, kan? Karena itu kau datang, mengerjakan semua pekerjaan rumahku, memasakkan makan malam untukku, karena kau tahu betapa berantakannya aku, kan?”
“Tidak, Tsukishima. Bukan begituꟷ”
“Dan karena semua asumsimu benar, kau tidak perlu pembuktian apa pun lagi, jadi kau langsung ingin pergi setelah semuanya beresꟷ”
“KAU KIRA AKU MENIKMATI INI SEMUA?!”
Nada suaranya meninggi, kedua tangan mencengkeram pundak Tsukishima dengan kuat, mengikis jarak mereka.
Kuroo tidak tahan mendengarkan lebih lama, amarahnya kian tersulut oleh serentetan kata yang diucapkan Tsukishima. Amarah untuk dirinya sendiri, mengetahui isi pikiran yang lebih muda yang ternyata berlawanan dengan apa yang selama ini ia kira.
Helaan napas Tsukishima yang tengah terengah menerpa wajahnya. Genangan cairan bening di kelopak matanya juga tampak lebih jelas setelah Kuroo mengambil satu langkah besar untuk mendekatinya.
“Kenapa, Kuroo-san?” pertanyaan itu tak lebih dari sekadar bisikan, yang mana dalam suasana tegang, sunyi, dan senyap ini, terdengar sangat jelas di telinga Kuroo.
“Pertama-tama, aku ingin minta maaf. Aku tahu seharusnya sudah melakukan ini sejak lama, tapi …”
Perlu harga diri berlebih bagi Kuroo untuk melanjutkan.
“… aku pengecut. Aku payah dan aku pengecut, jadi alih-alih meminta maaf karena telah melewati batas yang seharusnya tidak kulalui, aku justru melarikan diri. Maafkan aku, Tsukishima.”
Hanya satu dua kali Kuroo memanggilnya dengan nama itu. Tsukishima sendiri menganggapnya sebagai sebuah fenomena langka yang akan terus ia kenang dan ingat.
“Tapi, aku tidak memandangmu sebagai anak kecil. Tidak pernah. Aku yakin, dari segi kedewasaan, kau jauh lebih dewasa dariku. Kurasa, yang membuatku tidak berani membuat kontak denganmu selama ini adalah keraguanku terhadap diriku sendiri.”
Tsukishima mendengarkan dengan saksama, tak sadar jika jantung dalam rongga paru-parunya seakan siap melompat keluar kapan saja saking cepatnya ia berdetak saat ini.
“Aku ragu kau akan membutuhkanku sama seperti aku membutuhkanmu, atau selama ini, hanya aku yang merasa begitu.”
Si kacamata berdecak kesal, berusaha melepaskan genggaman Kuroo dari pundaknya. “Pemikiran bodoh macam apa itu?!”
“Benar! Bodoh sekali, kan?” balas Kuroo, enggan menarik kedua tangannya. “Karena itu, aku menyembunyikan diriku darimu. Inginnya, sih, aku merasa puas, jika memang keadaanmu tidak sebaik saat kita bersama. Tetapi, justru sebaliknya, aku semakin terpuruk dan kalut. Aku panik. Aku berpikiran terlalu berlebihan. Terkadang, kupikir, ‘Ah, Tsukki memang lebih baik tanpa aku.’ Tapi kemudian, ‘Anak itu sudah makan belum, ya? Apakah tidurnya teratur? Apakah dia sempat membersihkan apartemennya?’ Begitulah. Aku tidak bisa berhenti berpikir begitu. Akhirnya, kuputuskan untuk mendatangimu. Aku tahu kau tidak suka kejutan, jadi kukirim pesan tadi pagi, yang hanya kau baca.” Kuroo tertawa getir, lalu melanjutkan. “Jujur saja, harapanku sempat pupus. ‘Sebegitu bencinyakah kau padaku?’ tanyaku pada diri sendiri …”
Rasa tak enak menjalari Tsukishima, yang hanya mampu menundukkan kepala. Otaknya dipenuhi oleh gema yang menyahut tiap pertanyaan Kuroo.
Tidak. Kupikir kau yang akan lebih baik tanpaku.
Benar. Hidupku jadi sangat tidak teratur belakangan.
Tidak. Aku tidak membencimu. Tidak sama sekali.
“… Tapi, kalau tidak kucoba, aku tidak akan tahu sama sekali, kan? Jadi, di sinilah aku. Saat aku datang, kau sudah pergi. Karena ini akhir pekan, jadi kukira kau tidak akan lama. Ternyata, sampai lewat jam sembilan pun, kau belum muncul juga. Makanya, kuputuskan untuk tinggal setidaknya sampai kau datangꟷ”
“Lalu pergi?”
Tatapan dari iris keemasan dan hazel bersinggungan, mengunci jiwa satu sama lain.
“Lalu pergi, dan tidak kembali lagi? Begitukah rencanamu?” Tsukishima harus menggunakan satu lengannya untuk menyembunyikan wajah yang mulai dibasahi air mata. “Bahkan setelah kau melihat kenyataannya di sini? Setelah bertemu denganku yang begini? Kau tetap akan pergi?”
Yang lebih muda mulai terisak, dan paru-paru Kuroo seolah diremas kuat tiap telinganya menangkap suara Tsukishima yang sedikit kesulitan bernapas karena tangisnya.
“Aku membutuhkanmu juga, Kuroo-san. Perasaan itu … tidak hanya kau yang merasakannya. Aku juga,” ujar Tsukishima. “Apakah pemandangan apartemen yang berantakan tadi pagi masih belum cukup untuk membuktikan hal itu?” Mengambil napas sejenak, lalu melanjutkan. “Maafkan aku juga, aku sudah bertingkah kekanakan, dan seharusnya aku lebih menghargai kau yang telah memberanikan diri mengungkapkan perasaanmu. Bukannya meninggalkanmu begitu saja hari itu. Ini juga salahku. Maaf, Kuroo-san.”
Dengan perlahan, ditariknya lengan si pirang yang menutupi wajahnya, kemudian menghapus jejak air mata di kedua pipinya, yang justru membuat aliran cairan itu lebih deras.
“Ssh … Tenanglah, Tsukki.”
Terisak lagi, Tsukishima menahan tangan yang mengelus lembut wajahnya, mengenggamnya pelan.
“Aku senang mendengar itu, tapi tangisanmu membuatku tidak bisa senang seutuhnya. Berhentilah menangis, ya?”
Tsukishima hanya bisa mengangguk, lalu menggeleng, lalu mengangguk lagi. Dilepasnya kacamata yang masih terpasang agar bisa menangis lebih leluasa, lalu tanpa disadari, menarik tubuh Kuroo padanya, memeluknya erat.
Surai jelaga tentu saja terkejut, namun tak lama. Dibalasnya pelukan itu seraya mengelus punggung si pirang, yang masih tersedu dengan wajah disembunyikan di pundaknya.
“Kau pasti lelah sekali, ya?”
Kuroo sadar jika tangisan ini mungkin tidak hanya tentangnya, tentang mereka. Hanya dengan melihat sekilas, Kuroo tahu Tsukishima sudah bekerja sangat keras selama hubungan mereka terputus. Sangat keras. Lelah dan letih yang telah bertumpuk-tumpuk itu akhirnya bisa dilepaskan di momen ini. Dengannya, dalam pelukannya.
“Kerja bagus, Tsukki. Sangat kelewat bagus. Setelah ini, tidurmu pasti nyenyak.”
“Kau jadi pergi?”
“Tidak.”
“Sungguh?”
Tsukishima mengangkat wajahnya yang sembab, tak bisa menyembunyikan harapan agar tak nampak dari kedua netranya yang masih basah.
“Sungguh,” jawab Kuroo, lengkap dengan senyum menenangkan.
“Terima kasih,” ucap Tsukishima tulus, sebelum kembali menyandarkan kepalanya pada pundak kokoh yang lebih tua. “Aku menyayangimu, Kuroo-san,” imbuhnya lagi.
“Aku juga, dan aku tahu,” sahut Kuroo, mengecup pucuk kepala si pirang.
“Maaf, membuatmu menunggu.”
Kuroo tertawa pelan. “Bagaimana, ya? Kau memang tidak peka.”
Tsukishima ikut tertawa. Dan Kuroo akhirnya merasa dirinya ‘kembali’, merasakan hatinya utuh, merasa terobati.
“Kuroo-san?”
Tsukishima memanggilnya ketika keduanya telah berbaring, bersiap mengarungi alam mimpi.
“Hm?”
“Kau pernah bilang, semua kemungkinan atas segalanya itu ada, kan?” tanya Tsukishima.
“Benar.”
“Bagimana menurutmu dengan kemungkinan untuk kita?”
Kuroo langsung menoleh pada Tsukishima yang memandang kosong langit-langit kamar. “Maksudmu?”
Yang lebih muda membalas pandangannya. “Kau tahu, aku tidak terlalu berpengalaman dalam hal ini. Dan aku juga bisa jadi orang yang sangat merepotkan dan membebankan. Aku khawatir jika pada akhirnya, kita ….”
Kuroo memahami maksud Tsukishima. Sebelum menjawab, tangannya yang sudah berada di balik selimut menarik tangan helai pirang, menggamnya kuat sebelum memberikan kecupan di antara jemari-jemari lentiknya.
“Bagaimanapun, aku ingin mencobanya,” sahut Kuroo. “Jika pun kemungkinannya jelek, aku tetap ingin mencobanya. Terus begitu sampai mencapai titik baik, hingga mencapai titik 100%, bahkan jika bisa melampauinya.”
Remangnya kamar Tsukishima berhasil menyembunyikan paras putihnya yang merona. “Kenapa kau begitu yakin?”
“Karena aku tahu apa yang kubutuhkan.” Kuroo mendekatkan wajahnya pada Tsukishima, yang secara refleks menahan napas. “Akan kucoba untuk tidak kehilangannya lagi.”
Satu kecupan mendarat di kening.
Kemudian mata.
Kemudian hidung.
Lalu pipi.
Tsukishima mati-matian menahan sensasi menggelitik yang ia dapatkan secara bertubi-tubi itu.
“Bagaimana, Tsukki? Kau bersedia membantuku?”
Yang ditanya tidak sadar telah memejamkan mata, dan saat kelopaknya kembali terbuka, wajah Kuroo begitu dekat hingga hangatnya napas dari hidung mancungnya terasa begitu nyata.
“Y-ya?” Perlakuan Kuroo bahkan merontokkan satu per satu sel otaknya.
“Bantu aku memenuhi kebutuhanku akan dirimu, dan aku akan membantumu memenuhi kebutuhanmu akan aku.”
Kalimat itu mungkin terdengar konyol dan berlebihan, tapi itulah kenyataannya.
Tsukishima membutuhkan Kuroo, hanya terlalu gengsi untuk mengakui.
Kuroo membutuhkan Tsukishima, hanya terlalu meragukan diri sendiri.
“Y-ya … bisa dicoba.”
Tsukishima mengarahkan pandangannya pada benda lain selain Kuroo, karenaꟷ Ya Tuhan, Kuroo payah sekali menyembunyikan gejolak panas dari tatapannya yang terus menghujam Tsukishima.
Yang lebih tua tersenyum, sebelum memberikan ciuman dalam pada bibir tipis si pirang, yang langsung merengkuhnya erat.
Tiap sentuhan, tiap kecupan, tiap ciuman membuat Tsukishima semakin jatuh. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bisa jatuh dengan tenang, tanpa khawatir akan tersakiti oleh permukaan yang keras.
Sebab sekarang, ada Kuroo di sisinya.
Dan sama dengan surai hitam, ia tak berniat kehilangannya, sampai kapan pun.
*
“Aku menyukaimu, Tsukki.”
Harusnya kalimat itu memberikan kebahagiaan yang membuncah, tapi tidak.
Untuk saat ini, Tsukishima belum bisa merasakannya.
“Kau tidak harus menjawabnya, atau semacamnya. Aku hanya mau mengungkapkan perasaanku.”
Kalimat itu justru membuatnya bingung.
“Aku tahu, mungkin tidak seharusnya aku merasakan ini. Tapi, aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri.”
Kalau begitu, jangan.
Jangan ungkapkan.
Jangan katakan.
Jangan rasakan.
Perasaanmu itu tidak nyata.
Bagaimana bisa menyukai orang sepertiku?
Sore itu cerah. Langit berlukiskan warna jingga yang khas, atmosfernya hangat, dan angin berhembus lembut.
Tapi tidak untuk Tsukishima, yang merasa tidak pantas mendapat limpahan rasa sayang dari seorang Kuroo Tetsurou.
Tidak pula untuk Kuroo, yang akhirnya menyalahkan diri sendiri karena terlalu gegabah.
Sore itu cerah, mulanya. Hingga kejadian itu terjadi, dan hanya ada badai tak kasat mata yang memisahkan keduanya.
ꟷ END ꟷ
