Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Stats:
Published:
2023-01-02
Words:
1,429
Chapters:
1/1
Comments:
24
Kudos:
121
Bookmarks:
9
Hits:
827

garis interaksi

Summary:

Tak ada yang istimewa tentang Transjakarta Rute 1B. Hanya baja beroda dingin meninggalkan ramainya Stasiun Palmerah, berjalan melewati gedung metropolitan menjulang tinggi, mengantarkan penumpang menuju halte destinasi.

Namun, bagi Soonyoung, ada seorang penumpang yang membuat rute perjalanan itu menjadi tidak biasa-biasa saja.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Work Text:

Tak ada yang istimewa tentang Transjakarta Rute 1B. Hanya baja beroda pergi meninggalkan ramainya Stasiun Palmerah, berjalan melewati gedung metropolitan menjulang tinggi, mengantarkan penumpangnya menuju halte destinasi, repetitif. Pukul delapan lebih sedikit, kendaraan berwarna biru itu sampai untuk menjemput insan-insan pejuang hari ini. Soonyoung berlari kecil, berusaha untuk mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Ia pandangi jalanan pagi hari depan stasiun yang tak pernah ada matinya, baik mobil mewah maupun ojek online selalu memenuhi jalanan ini. Soonyoung senang melihat bagaimana semua orang terlihat sibuk, hendak menuju suatu tujuan.

(Soonyoung juga punya tujuan. Namun, ia tak yakin dengan tujuannya.)

“Mas, maaf, tasnya boleh digeser?

Soonyoung mendongak, mendapati lelaki berkacamata yang berdiri di samping kursi sebelahnya yang kosong. Segera ia raih tas ransel hitam itu, dan ia taruh di pangkuannya.

“Sorry, mas,” lirih Soonyoung pelan.

“Santai aja, mas,” balas laki-laki itu singkat.

Tak ada interaksi antar mereka setelahnya. Soonyoung sibuk memandangi gedung ibukota yang tak pernah membosankan baginya dalam hening, sedangkan lelaki itu tampak sibuk membaca dokumen di ponselnya. Lelaki itu turun terlebih dahulu di halte Bendungan Hilir. Soonyoung turun satu halte setelahnya.


Kali ini, lelaki itu masuk Transjakarta terlebih dahulu. Masih banyak kursi kosong, namun entah mengapa kursi sebelah lelaki tersebut terlihat lebih menarik. Lelaki itu melirik ke arah Soonyoung dan tersenyum kecil. Ia mengenali lanyard perusahaan yang kini dikenakan oleh lelaki itu. Tali hitam dengan logo putih perusahaan. Perusahaan kompetitor. Perjuangan kita sama, gumam Soonyoung. Tiba-tiba, lelaki itu memberikan Soonyoung sebungkus camilan. Sebuah vegetable cracker. Kelebihan beli, kebanyakan di rumah, katanya.

“Makasih ya,” ucap Soonyoung sambil ia buka plastik bungkus tersebut dan menggigit cracker.

“Suka, enggak?” tanya lelaki itu.

Soonyoung menatap wajah lelaki itu lekat-lekat. Matanya tajam, namun senyuman yang mengembang di wajahnya membuat laki-laki itu terlihat menyenangkan. Kacamata tipis bertengger di hidungnya, rambutnya disisir rapi.

“Suka, kok,” kata Soonyoung, pandangannya tak lepas dari lelaki itu.

(Entah apa yang ia sukai, makanan itu atau si pemberi makanan.)

Belum sempat mereka bercakap, bus sudah tiba di halte Bendungan Hilir dan lelaki di sebelahnya bergegas turun keluar dari bus. Besok bisa ketemu lagi, pikirnya. Tapi, berapa peluang ia dan lelaki itu bisa bertemu lagi di tempat dan waktu yang sama? Soonyoung tak pandai berhitung, namun ia tetap berharap.


Pagi itu begitu dingin, hujan mengguyur bumi tanpa ampun. Soonyoung merutuki dirinya sendiri, seharusnya di musim hujan ini ia harus bawa jaket ke kantor. Sialnya lagi, hari ini, ia tak dapat tempat duduk. Ia berdiri, berdesakan dengan penumpang lainnya. Sejujurnya, ia tak ingin berangkat kerja hari ini. Ia tak ingin meninggalkan hangatnya selimut dan nyamannya kasur. Inilah bagian dari pendewasaan, dan meskipun Soonyoung tak suka, ia harus melewatinya. Seperti hari-hari yang sudah lewat, semoga hari ini bisa ia lewati dengan baik.

Ia berjinjit, matanya mencari keberadaan batang hidung seseorang di tengah keramaian. Laki-laki itu tidak ada. Kemudian, Soonyoung bertanya ke dirinya sendiri, apa alasan ia mencari orang asing tersebut. Retorika, karena Soonyoung rasa ia sudah tahu jawaban atas pertanyaan itu.


Hari itu, mereka bertemu kembali. Soonyoung memberanikan diri untuk menyapa lelaki tersebut. Lucu sekali, ia terlihat kaget ketika Soonyoung menyapanya. Percakapan mereka tak begitu istimewa. Soonyoung bercerita bahwa dirinya adalah penari, namun kini tak banyak waktu tersisa untuk menari setelah ia mengecap kehidupan korporat. Lelaki itu tersenyum getir, berempati dengan Soonyoung. Lalu, ia menunjukkan foto tiga kucing peliharaannya yang dijadikan wallpaper ponselnya. Ia menjelaskan dengan riang bahwa ia kerap mengadopsi kucing liar, karena ia ingin memberikan rumah yang lebih layak untuk binatang lucu berbulu itu. Soonyoung mengangguk, setuju dengan apa yang ia bicarakan.

(Menurut Soonyoung, lelaki itu lebih mirip dengan kucing daripada kucing peliharaannya).

Perjalanan Transjakarta yang biasa-biasa saja menjadi menyenangkan. Pintu bus terbuka di halte Bendungan Hilir, dan Soonyoung tak pernah sesedih ini melihat terbukanya pintu bus. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan segera berlalu ke tujuannya. Mereka belum bertukar nama, namun Soonyoung menyempatkan diri untuk mengintip ID Card yang digunakan laki-laki itu.

Jeon Wonwoo.

Ia simpan nama itu dalam memorinya lekat-lekat.

Tak ada yang istimewa tentang Transjakarta Rute 1B. Segala hal tentang bus ini biasa saja.

Namun, penumpang yang selalu memberikannya vegetable cracker tiap pagi membuat bus rute ini terasa lebih istimewa beberapa hari ini. Penumpang yang selalu duduk di sebelahnya, atau berdiri berdesakan bersama Soonyoung apabila tidak ada lagi kursi yang tersisa. Penumpang yang mendengarkan ceritanya dengan penuh atensi, dan selalu memberikan respon yang suportif. Penumpang yang selalu bersemangat ketika ia bercerita tentang film yang ia tonton, jauh berbeda dengan Soonyoung yang biasanya tertidur di tengah penayangan film.

Penumpang yang membersamai kelananya, membuat kelana ini terasa nyaman.


Dua minggu setelahnya, ia tak lagi menemukan Wonwoo di bus itu. Mungkin Wonwoo naik bus di waktu yang lain? Ia melakukan rutinitas perjalanan tanpa Wonwoo, termenung memandangi pencakar langit dan riuhnya lalu lintas.

Biasa saja. Memang seharusnya begini. Wonwoo hanya sekadar penumpang lainnya dalam bus ini yang lewat dalam kehidupan Soonyoung. Sekali berjumpa, tak perlu bertemu lagi.

(Soonyoung membuka halaman akun media sosial Jeon Wonwoo yang terkunci. Tombol 'Follow' terlihat begitu menarik, namun ia urungkan  niatnya. Memang mereka tak pernah bertukar nama, tak seharusnya ia terhubung seperti ini. )


 

Hari ini tak ada Wonwoo lagi. Mungkin Wonwoo sekarang telah membeli mobil. Sudah terlalu keren untuk menaiki bus umum yang hobi terlambat dan tak dapat diprediksi kedatangannya. Namun, Soonyoung tetap mencarinya di tengah kerumunan penumpang. Berharap tiba-tiba ia menemukan wajah familiar tersebut.


 

Matahari telah lama menghilang di cakrawala, digantikan oleh cerahnya bulan pada gelap langit. Soonyoung menyandarkan dirinya di dinding lift, memandangi angka di lift gedung yang semakin mengecil seiring dekatnya ia dengan permukaan tanah. 39... 38... 37...... 1. Pintu lift akhirnya terbuka di angka 1, penumpangnya bergegas keluar, tak sabar ingin pulang dari kelana hari ini. Ia berjalan menuju pintu keluar, namun langkahnya terhenti tiba-tiba. Laki-laki kucing itu duduk di sofa lobi gedungnya, menatapnya lekat-lekat. Soonyoung tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“Hai,” sapa Wonwoo.

“Hai,” balas Soonyoung canggung.

Soonyoung duduk di tempat kosong sebelah Wonwoo, dan ia menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan.

“Ngapain ke kompetitor?” Soonyoung tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

“Jemput orang nih,” balas Wonwoo.

Oh. Soonyoung selalu berasumsi bahwa pria ini lajang. Tak terpikirkan olehnya bahwa pria ini telah memiliki kekasih hati yang bekerja di perusahaan yang sama dengannya. Rasa malu bercampur dengan sedih menyeruak di hati Soonyoung, dan ia segera bangkit dari sofa tersebut.

“Oh gitu, duluan ya!” kata Soonyoung, melangkah dengan cepat menjauhi Wonwoo.

Baru beberapa langkah, ia merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Ia menoleh. Wonwoo?

“Kok pergi?” tanya Wonwoo, dahinya berkerut.

“Ngejar TJ,” ucap Soonyoung singkat.

“Oh, ya ikut dong,” jawab lelaki di hadapannya.

Sekarang, Soonyoung yang bingung. “Kan lo nungguin orang?”

Wonwoo tersenyum getir, menggaruk-garuk tengkuk lehernya, “Iya, nungguin orang, tapi tiba-tiba orangnya pergi mau ngejar TJ.”

Soonyoung tertegun. Dirinya kah yang dimaksud? Wonwoo datang jauh-jauh ke gedung kantornya, perusahaan kompetitor, untuk menemui dirinya? Apa ia tak salah tangkap?

“Gue?” tanya Soonyoung, berusaha mengonfirmasi hipotesisnya.

Wonwoo hanya menyengir, memperlihatkan barisan giginya, “Iya,” katanya lirih.

Soonyoung masih bingung, namun ia tak bohong tadi, ia memang benar harus mengejar bus Transjakarta 1B ke Palmerah, “Yaudah, kejar TJ aja dulu ya?”

Wonwoo mengangguk, dan mereka bergegas berjalan ke halte Transjakarta yang berada di sebelah kantor Soonyoung. Mereka berjalan dalam sunyi, diliputi jutaan pertanyaan yang ingin dilontarkan.

Ternyata, beberapa minggu ke belakang ini Wonwoo pergi bekerja di kantor klien di Tangerang, jadi ia tidak menaiki Rute 1B. Hari ini, ia sengaja pergi ke kantor kompetitornya, dengan modal informasi dari logo pada lanyard milik Soonyoung, untuk menemui dirinya.

“Ngapain emang ketemu gue?” tanya Soonyoung, penasaran.

“Ini earphone lo ketinggalan,” balas Wonwoo, mengeluarkan case earphone oranye kepunyaan Soonyoung yang ia pikir jatuh di jalan karena kecerobohannya, dan sudah ia ikhlaskan.

Soonyoung tak dapat menahan senyumnya. Jauh-jauh datang ke kantor orang, yang belum tentu ketemu juga, hanya untuk mengembalikan earphone? Lucu banget, pikir Soonyoung.

“Makasih Wonwoo,” kata Soonyoung, “Gue kira jatoh di jalan pas naik gojek.”

Wonwoo menoleh, matanya terbelalak, “ Lo tau nama gue?”

Soonyoung terkekeh, “Itu ada di ID Card. Jeon Wonwoo.”

Wonwoo memanyunkan bibirnya, “Gak adil, masa gue gak tau nama lo?”

Bus sudah sampai di Senayan JCC, satu halte sebelum mereka sampai ke halte terakhir, Palmerah, menandakan sedikit lagi waktu yang tersisa. All or nothing, it is.

“Soonyoung. Kwon Soonyoung,” kata Soonyoung, mengulurkan tangannya, yang dijabat Wonwoo. Genggaman tangan Wonwoo terasa hangat. It feels electrifying, and Soonyoung does not want to let it go.

Ada sesuatu yang mengganjal sedari pertemuan tadi di lobi, dan Soonyoung tak kuasa menahan rasa penasaran itu, “Eh, Won, lo single kan?”

Wonwoo tertegun, namun dengan cepat ia mengangguk, “Single kok. Kenapa?”

(Please don't be in love with someone else.)

“Kaki lo baik-baik aja kan?” tanya Soonyoung.

Wonwoo memiringkan kepalanya, bingung, “Baik-baik aja kok...”

“Jalan yuk?”

Notes:

psa: its cute in fics but be careful when you wear your corporate lanyard in subways, strangers can know your name!