Actions

Work Header

Homemade

Summary:

Tanaya adalah seorang hopeless romantic, tetapi Mami punya rencana lain yang jauh dari kata romantis.

-

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Chapter 1: Telepon Dari Mami

Chapter Text

Manhattan, New York

Dimana? ” Adalah kata pertama yang Tanaya Illiyas Kanaka dengar setelah mengangkat telepon dari ibunya.

Tanaya baru saja tiba di rumah tempatnya menginap setelah seharian berkegiatan di luar ruangan yang membuat energinya terkuras habis. Jam menunjukkan pukul satu dini hari dan Tanaya  ingin cepat-cepat bertemu dengan kasur lalu mengoleskan krim penghilang rasa sakit di kedua kakinya.

Tanaya menekan tombol angka di atas gagang pintu rumah yang ia sewa, setelah berbunyi ting ia masuk dan membuka kedua sepatunya tanpa bantuan tangan sebelum berkata, “Ya, Mi?”

Kamu, ada di mana, Tanaya ?” Ulang ibunya dengan nada yang lebih ditekan.

“Oh, aku? Aku di Manhattan, Mi, New York.” Jawab Tanaya. Sementara satu tangannya memegang ponsel, satu tangannya lagi ia gunakan untuk menyimpan barang-barang yang ia bawa.

Di seberang sana, ibunya menghela napas panjang. “Thank Goodness.”

Tanaya mengangkat kedua alisnya bingung. “Ada apa, Mi?”

Kamu di New York. ” Kata ibunya.

Tanaya mengangguk menyetujui walaupun ibunya tidak bisa melihat. “Ya.” Jawab Tanaya. “Ada apa, Mi?” Tanyanya sekali lagi. 

Kamu makan malam ya, Ta. ” Nada bicara ibunya jelas-jelas memerintah dan Tanaya dibuat kebingungan.

Ivanna Kumara-Kanaka di usianya yang tidak lagi muda masih sangat aktif berkegiatan. Dua minggu yang lalu ia baru saja menyelesaikan proyek desain furniture kolaborasi dengan firma arsitek terkenal untuk salah satu hotel di Bintan. Ia masih sangat sehat dan masih sangat bersemangat bekerja dan turun langsung untuk memantau semuanya, jadi mendengar nada bicara ibunya yang sedikit menuntut sudah biasa bagi Tanaya.

“Makan malam apa, Mi? Kapan?” Tanaya menghentikan gerakan tangan yang tadi akan melepaskan sabuk yang dipakainya lalu berjalan ke arah sofa di sebelah tempat tidur kamar hotelnya.

Uh …” Ibunya terdengar sedikit gugup sebelum menjawab, “Mami juga sebetulnya belum tahu.

Tanaya duduk dan menyandarkan punggungnya di kepala sofa, ia lalu berkata, “Maksud Mami? Ini makan malam dalam rangka apa sebenarnya, Mi?” Tanya Tanaya.

Makan malam dengan tunangan kamu, Tanaya .” Kata ibunya.

Tanaya menegakkan posisi duduknya dan menghentikan seluruh pergerakan tubuhnya. “...apa?” Kata Tanaya pelan, hampir berbisik.

Tunangan kamu, Tanaya, kamu dengar Mami, makan malam dengan tunangan kamu. ” Kata ibunya lagi.

“Tunangan? Tunangan apa?” Tanya Tanaya benar-benar kebingungan. “Mi, sejak kapan aku punya tunangan? Aku tidak punya tunangan.”

Ibunya di ujung telepon sana berdecak. “Sejak hari ini. Kamu akan makan malam pada hari… ” Ibunya berhenti sejenak untuk berpikir sebelum melanjutkan ucapannya, “Rabu, ya, Rabu waktu Amerika Serikat, sebentar akan Mami kirimkan email tunangan kamu. Maaf, Mami tidak punya nomor lokal Amerika Serikat miliknya, tapi kamu bisa menghubunginya lewat email untuk sementara waktu sebelum kamu meminta nomor teleponnya. Oh iya, kamu harus menghubunginya secepat mungkin karena Mami dengar dia tidak akan lama di New York.

Tanaya memijat pelipisnya pelan, ia tidak mengerti sama sekali dengan apa yang ibunya barusan katakan. “Mami, breathe .” Kata Tanaya mengingatkan.

Ah , ya, Sorry.” Ibunya terkekeh pelan.

“Mi, sebenarnya ada apa? Tunangan apa maksud Mami?” Tanya Tanaya dengan keputusasaan yang sangat jelas terdengar.

Tanaya, dengarkan Mami. ” Perintah ibunya yang otomatis membuat Tanaya menegang dalam duduknya. “Kamu akan menghubungi tunangan kamu dan kamu akan makan malam bersama dengan dia secepatnya .”

“Mami, dengarkan aku.” Tanaya mengulang kata-kata ibunya, bermaksud untuk melawan permintaan—perintah ibunya yang terdengar sangat tidak masuk akal di telinganya saat ini. “Aku tidak mempunyai tunangan, aku tidak akan bertunangan dengan siapapun, dan aku tidak akan pergi makan malam.”

Ivanna menghiraukan perkataan anaknya dan melanjutkan ucapannya. “Mami akan kirimkan email -nya kepada kamu sebentar lagi. Mami serius, Tanaya. Kamu harus menghubungi tunangan kamu, sekarang juga kalau bisa, lebih cepat lebih baik.

Tanaya berjalan dengan lemas dan menjatuhkan dirinya di atas kasur dengan kencang sebelum menghela napas panjang. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Tanaya. Setelah pergi ke salah satu restoran untuk keperluan artikel yang ditulisnya dan mewawancarai beberapa orang, ia baru tiba di rumah sewaannya pukul satu malam.

“Mami, ini semua terdengar sangat tidak masuk akal di telinga aku.” Tanaya menyisir rambutnya dengan tangan sambil memijat puncak kepalanya yang terasa berat. “Di sini jam satu pagi kalau Mami tidak tahu, aku baru saja sampai dan aku sangat lelah. Aku akan bersih-bersih sekarang lalu tidur. Aku tidak mau mendengar Mami berbicara tentang pertunangan atau apapun itu. I’m sorry , Mi.” Kata Tanaya panjang lebar lalu menutup telepon tanpa menunggu balasan dari ibunya.

Tanaya melempar ponselnya sembarangan di atas kasur lalu menutup kedua matanya dengan tangan. Ia tahu kalau ibunya tidak menghiraukan penolakannya tadi dan akan menemukan segala cara agar Tanaya setuju dengan apapun yang ibunya inginkan. Jarak bukan halangan untuk Ivanna Kanaka, bukan masalah kalau sekarang Tanaya berada di New York dan ibunya di Jakarta, ibunya pasti akan mendapatkan apapun yang ia mau. Tanaya sedikit banyak mengerti kalau sifat keras kepalanya turun menurun dari ibunya.

Karena sudah sangat lelah, Tanaya memutuskan untuk segera membersihkan tubuhnya yang terasa sangat kotor karena kegiatannya hari ini. Ia bisa memikirkan perkataan ibunya besok ataupun kalau bisa tidak sama sekali. Tanaya kelelahan dan ia tidak mau ambil pusing. Setelah selesai mandi dan membereskan kamar hotelnya yang berantakan, Tanaya tidur dengan nyenyak tidak lama setelah ia merebahkan tubuhnya di kasur.

Chapter 2: Michelin-star Experience

Summary:

Julian and Tanaya first meeting

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Manhattan, New York.

Hal yang Tanaya sadari setelah ia masuk ke dalam ruangan VIP yang berada di lantai atas restoran ini adalah ruangannya terlalu kecil. Ini lebih terlihat seperti ruang kerja seseorang atau mungkin ini memang ruang kerja seseorang. Banyak pigura foto yang menggantung di sisi atas dinding ruangan ini. Wangi. Ya, ruangannya wangi pengharum ruangan bercampur dengan wangi makanan, mungkin karena ruangan ini terletak tepat di atas dapur yang bisa ia lihat langsung dari jendela besar di sebelah kanan. Tanaya memperhatikan semuanya di ruangan ini kecuali laki-laki yang duduk di sisi sebelah kanan meja membelakangi kaca, seolah memang tidak ada kehadirannya.

Are you just gonna stand there?

Tanaya mungkin terlalu gugup sehingga hanya berdiri di depan pintu dan menatap kepada apapun selain laki-laki yang barusan berbicara. Ia berdeham pelan lalu berjalan dan duduk di hadapan laki-laki itu, matanya menatap susunan alat makan di meja seolah itu adalah barang menarik yang baru pertama kali ia temui.

Good evening, gentlemen. My name is Lucas, I am the—” Pelayan yang tadi mengantar Tanaya berbicara menjelaskan delapan menu yang akan dihidangkan dengan rinci dan beberapa rekomendasi wine yang bisa dipilih ketika suaranya tiba-tiba mengecil di telinga Tanaya.

Sialan. Telinga Tanaya tiba-tiba berdenging, aku punya tunangan, pikirnya panik.

“— doing here in New York ?”

Tanya mengerjap, tidak mendengar perkataan lawan bicaranya, lalu melihat ke sekelilingnya. Pelayan yang tadi mengantar Tanaya sudah pergi dan ia tidak menyadari sama sekali kepergiannya. Sampai mana tadi? Oh, pilihan wine untuk hari ini. Oh, mungkin sudah. Ya, menu hari ini ada delapan course tasting menu dengan menu pembuka adalah—

What are you doing here in New York? ” Ulang laki-laki itu lagi.

Tanaya mengangkat kepalanya dan menatap laki-laki di hadapannya sekejap lalu kembali menunduk. “Hah?” Tanaya mengerutkan alisnya bingung, tidak terlalu mendengar jelas.

Laki-laki itu tersenyum tipis, “What are you doing here in New York , Tanaya.”

You know my name .” Bisik Tanaya melongo.

Senyuman tipis laki-laki itu berubah menjadi kekehan, “Of course? Tanaya Illiyas, right? It’s stated in the email .”

 Oh. Stupid lo, Ta. Kata Tanaya meringis di dalam hati.

"Right .” Jawab Tanaya mengangguk.

So, what are you doing here in New York? ” Ulang laki-laki itu untuk ketiga kalinya.

New York marathon and work .” Jawab Tanaya sekenanya.

Oh, so you’re an athlete? ” Laki-laki itu terdengar sedikit terkejut mendengar jawaban Tanaya.

Tanaya menggeleng, “No, not an athlete. I just like to run, helps my insomnia .” Jawabnya.

Laki-laki itu mengangguk mengerti lalu berkata, “I’m Julian. ” Katanya lalu mengulurkan tangannya.

Tanaya akhirnya memberanikan diri untuk menatap laki-laki di hadapannya dengan jelas. Tangannya penuh dengan tato yang terlihat mulai dari buku-buku jarinya. Wow . Julian menggunakan polo shirt berwarna hitam yang membungkus tubuhnya yang kekar dengan sangat pas. Oh . Ternyata Julian terlihat lebih muda dari perkiraannya dan ia jelas-jelas tidak bau sama sekali. Definitely not ugly either , Tanaya sedikit bersyukur di dalam hatinya.

Tanaya menelan ludahnya sebelum membalas uluran tangan Julian. “Tanaya, as you already know .”

Julian mengangguk lagi dan menarik uluran tangannya lalu keduanya kembali diam, terlebih lagi Tanaya yang mematung. Selama beberapa menit tidak ada yang berbicara di antara mereka, tetapi Tanaya diam-diam sedang mempersiapkan pidato panjang di benaknya untuk menolak pertunangan ini. Walaupun perkataan kakaknya benar— he’s definitely my type —mungkin di keadaan yang berbeda, Tanaya akan dengan senang hati menjadi tunangannya. Bukan paksaan Mami, tentu saja.

Julian, I think we –“

Do you want to –“

Keduanya berbicara secara bersamaan.

Tanaya menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal dan memutuskan untuk mengalah, “You can go first. ” Katanya

Do you want to wear the ring right now ?”

“HAH!”

What?

“Apa kata lo?”

Do you want to wear the ring, Tanaya?”

Tanaya benar-benar kehilangan kesabarannya yang hanya tersisa sedikit lagi karena memendam kekesalan kepada Mami dan Kakaknya dan sekarang harus mendengar orang asing yang katanya adalah tunangannya berkata seperti itu. 

Tanaya menarik nafasnya panjang untuk menenangkan dirinya, “Ga. Ga mau.” Tanaya menatap Julian jengkel. “Kenapa juga gue harus pake cincinnya? Gue ga akan pake cincin dari lo. Gila ya? Gue ga pernah setuju ya sama apapun ini whatever arrangement engagement thing . Bisa ga sih lo bilang juga ke orang tua lo atau siapa kek yang berwenang kalo lo juga ga mau sama acara perjodohan apapun ini. Lo udah gila ya–”

Ucapan Tanaya terpotong karena empat orang pelayan masuk ke dalam ruangan dan menyiapkan hidangan pertama mereka dan menuangkan wine serta air mineral ke dalam gelas-gelas yang ada di meja. Tanaya menegakkan duduknya dan kembali mengatur nafasnya. 

“Lo sadar ga sih kalo kebebasan lo untuk memilih jalan hidup lo sendiri tuh udah dirampas? Kenapa juga lo udah bawa cincin segala? Kenapa lo setuju? Lo mau nikah sama orang asing? Emangnya lo ga punya pacar apa sekarang? Kenapa sih gue harus dateng hari ini. Gue masih muda gue ga seharusnya udah punya tunangan? Shit. Apalagi nikah? Karir gue gimana? Lo juga kenapa setuju aja? Lo udah gila ya?” Cecar Tanaya panjang lebar setelah semua pelayan yang tadi mengantar hidangan pergi.

Julian sama sekali tidak terlihat terganggu mendengar ucapan Tanaya yang terdengar sangat tidak sopan untuk ukuran seseorang yang baru ia temui beberapa menit lalu, Julian justru dengan santai mengangkat gelas wine -nya dan meminumnya dengan seksama lalu menyantap hidangan di hadapannya.

Tanaya tidak habis pikir. “Say something! ” Teriak Tanaya frustasi.

Julian yang baru saja akan menyuap makanan ke mulutnya berhenti menggerakan sendoknya lalu meletakkan sendok itu kembali ke atas piring. Julian berdeham pelan, “Sorry, I don’t understand Bahasa Indonesia.” Kata Julian menggaruk belakang kepalanya.

Tanaya terdiam. “Bohong ga sih…” Katanya berbisik.

Julian meringis lalu menggelengkan kepalanya. 

Tanaya menyandarkan tubuhnya lemas ke kursi. “Anjing.” Bisiknya lagi. Ia benar-benar diambang menangis. Kalau saja Tanaya tidak berada di restoran sialan ini, ia sudah menangis dengan kencang.

Julian yang melihat Tanaya hanya terdiam berkata, “I mean, I can understand most of the words, but what you just said, I don’t. ” 

Tanaya tiba-tiba menegakkan duduknya dan menatap tepat ke dalam bola mata Julian. “Emang lo ga pernah tinggal di Indo?” Tanya Tanaya.

Julian mengangguk, “I lived in Indonesia for a few years, I live in London now .” Jawabnya.

Tanaya mengerutkan keningnya. “So you’re flying from London just to have a dinner with me?

Julian terkekeh, “No, I was in Mexico and I’m heading to Brazil tonight .” Katanya sebelum menyuapkan makanan ke mulutnya.

Like right after this? Like tonight, tonight? ” Tanya Tanaya.

Julian mengangguk mengiyakan pertanyaan Tanaya dan kembali memakan hidangan di hadapannya dengan santai.

Tanaya benar-benar tidak habis pikir. Julian bisa menerima semua ini, bersikap sangat tenang dan santai, makan malam bersama Tanaya seolah mereka sudah mengenal satu sama lain, dan fakta kalau mereka dijodohkan sama sekali tidak mengganggunya. Sedangkan Tanaya sejak tadi tidak menyentuh makanannya sama sekali.

Why are you agreeing to this? ” Tanya Tanaya, melipat tangannya di depan dada.

Julian mengangkat bahunya, “Why not? ” Jawabnya.

You don’t know me. ” Ucap Tanaya.

We can get to know each other. ” Balas Julian.

“Gila.” Tanaya melotot kepada Julian.

Julian tertawa pelan sebelum menyesap wine -nya. “We can get to know each other before stepping into any further relationship, I will follow your pace.

Tanaya menghela napasnya. “Masalahnya guenya yang ga mau, anjir. Gimana mau follow my pace .” Katanya bermonolog pelan. “Follow my pace tiba-tiba udah bawa cincin. Gila.”

What? ” Tanya Julian.

Tanaya menggeleng. “ ulian, I am so against this… arrangement, I was here for work and suddenly I am now here sitting in front of you, I didn’t know anything. I’m so sorry if my mom disrespect you because of the email she sent last night or anything that she did before, I apologize on her behalf. Let’s make it clear that I will not be your… fiance, so we’re not going to get to know each other and I am not wearing your ring.” Jelas Tanaya panjang lebar . “Let us enjoy this dinner and continue to live separately. Deal?”

Julian mengangguk mengerti. “I understand. I’m sorry if I make you uncomfortable, Tanaya. If I had known that you oppose this engagement, I wouldn't have mentioned the ring. That wasn’t so nice of me, I apologize. Let’s just enjoy the dinner, okay?

Tanaya sangat bersyukur, setidaknya Julian adalah laki-laki yang sopan dan baik. Ia tidak bisa membayangkan jika Julian Alexander yang ia temui hari ini bukan laki-laki di hadapannya, makan malam hari ini bisa jadi lebih buruk dari yang ia harapkan. Tanaya menghembuskan napasnya yang sejak tadi tertahan karena amarahnya lalu meminum air mineral untuk menetralkan emosinya. Tentu saja ia tidak bisa melewatkan makan malam eksklusif di restoran ini.

Tidak banyak obrolan yang mereka tukar karena Julian menghormati pilihan Tanaya dan Tanaya pun tidak ada niatan untuk mengobrol lebih dengan Julian.

Sebelum mereka berpisah, Julian berkata, “If anything happens, you know where to find me. ” Katanya tersenyum sebelum menghilang di balik pintu.

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 3: Happy New Year!

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Jakarta, Indonesia

You’re here.

Tanaya membalikkan tubuhnya terlalu cepat dan membuat kepalanya semakin berputar. “Oh . Julian . You’re also here.” Kata Tanaya tidak punya kesempatan untuk merasa terkejut.

Julian terkekeh pelan lalu bertanya, “You okay there? ” Julian bertanya sebelum mencuci tangannya di wastafel.

Di tengah-tengah cahaya yang tidak begitu terang dan suara musik yang teredam, Tanaya bisa melihat Julian dengan jelas walaupun kepalanya terasa sangat ringan dan ia harus menopang tubuhnya di dinding. Tanaya sedikit menyesali keputusannya meminum terlalu banyak alkohol sebelum tengah malam, lain kali ia tidak akan membiarkan perasaannya mengambil alih. Hanya kali ini saja.

Tanaya mengangkat satu jempolnya dan menunduk untuk meredakan pusing kepalanya yang tentu saja tidak berhasil.“Yeah, just… super tipsy.” Jawab Tanaya. Ia benar-benar sudah terlalu banyak meminum alkohol dan kepalanya tidak baik-baik saja. “What are you doing here?” Tanya Tanaya.

"Using the toilet, obviously.” Julian menjawab.

Tanaya memutar mata malas di tengah-tengah kepalanya yang terasa begitu ringan, ia masih bisa memproses nada bicara Julian yang terdengar begitu menyebalkan. “Emangnya gue bego apa. Maksudnya, why are you here in Jakarta?” Kata Tanaya, mengangkat kepalanya dan menemukan Julian yang sudah menyandarkan tubuhnya di tembok.

To offer you the ring again, of course.” Jawab Julian tersenyum miring.

Mata Tanaya menyipit. “You really want to die huh?” Katanya melipat kedua tangannya di depan dada. “Just answer the question.

Julian terkekeh, ikut melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Tanaya dengan tatapan geli. “I’m on my break.

Tanaya mengangguk, “Right. You’re a Formula 1 driver and I remember Satria said something about this season's last race that ended in Abu Dhabi.” Katanya panjang lebar.

Julian tersenyum congkak. “I see you’ve done your research, Tanaya.”

Tanaya mendesah dramatis. “Stop calling my name. Kok lo jadi nyebelin sih? Perasaan waktu dinner you're very polite and even apologizing! You said you wouldn’t even mention the ring!” Kata Tanaya sedikit menaikan volume suaranya.

I could try to convince you again, no?

No.

Julian tertawa mendengar jawaban Tanaya, mungkin karena gerak-gerik Tanaya yang lucu setelah mengatakan no sambil menggelengkan kepalanya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang.

Tanaya meringis pelan lalu menyeimbangkan tubuhnya lagi.

Julian berjalan mendekat ke arah Tanaya, “Who did you come with?

"Satria and a few of Satria's friends.” Jawab Tanaya, kali ini ia memutuskan untuk duduk di lantai toilet.

Tanaya tidak bisa berpikir dengan jernih lagi dan tidak bereaksi apapun selain menatap Julian yang mengikutinya duduk di lantai toilet, menatap Tanaya tepat di matanya. Tidak mungkin Tanaya bereaksi setenang ini jika ia tidak berada di bawah pengaruh alkohol, sudah pasti ia akan menatap Julian dengan sinis dan mengatakan sesuatu yang tidak sopan seperti pertemuan pertama mereka. Atau mungkin ia akan sangat salah tingkah dengan jaraknya dan Julian yang sedekat ini. 

Can you go back to your friend by yourself or do you want me to accompany you?” Tanya Julian, masih menatap Tanaya.

Tanaya menggeleng, “Ga usah, gue bi—” Ucapannya terpotong.

Pintu toilet terbuka, “Naya…” Panggil seseorang.

Tanaya menutup matanya jengkel. Not Naya shit again please , pikirnya dalam hati.

Julian memutar kepalanya untuk menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam toilet dan melihat laki-laki itu terkejut. Julian menatapnya dengan alis terangkat. 

“Oh. You’re… Julian Mahija.” Kata laki-laki itu, melupakan fakta kalau ia baru saja memanggil Tanaya.

Julian mengangguk lalu berdiri dari duduknya, masih memperhatikan Tanaya yang kali ini memeluk kedua kakinya dan menumpu keningnya di lutut. “Julian it is, you?

Laki-laki itu tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya dan memperkenalkan diri sebagai, “Dennis, Dennis Edwyn.” Katanya. “You know him ?” Tanya Dennis menunjuk Tanaya dengan dagunya.

Julian membalas uluran tangan Dennis sejenak sebelum menariknya kembali. “Yeah, he’s a… ” Julian menghentikan ucapannya sejenak, memikirkan kata yang tepat. “ ...friend. Yeah, a friend.”

Dennis lagi-lagi terkejut. “Oh, I didn’t know you’re friends with Julian Mahija, Ya.” Kata Dennis berbicara kepada Tanaya.

Tanaya mengabaikan ucapan Dennis dan berkata, “Lo ngapain kesini?” Tanyanya mengangkat wajahnya dan menatap Dennis.

 “I’m looking for you, you’ve been gone for too long. Takut kenapa-kenapa.” Jawab Dennis.

Tanaya menegakkan kepalanya sebelum berusaha untuk berdiri yang tetap saja mengakibatkan tubuhnya sedikit terhuyung dan Julian dengan sigap menangkap tangannya yang terulur. Tanaya tidak menyukai apapun yang terjadi saat ini. Sebuah kesalahan besar karena ia terlalu banyak meminum whiskey yang ada di meja tadi.

Well, I’m fine.” Tanaya menopang tubuhnya dengan menggenggam pergelangan tangan Julian.

Dennis mengangkat alisnya menatap Tanaya. “Ayo balik ke meja.” Katanya.

Why should I?” Tanya Tanaya, kini mengaitkan tangannya di sela-sela siku Julian.

“Naya. Ayo.” Dennis memanggil namanya.

Tanaya memutar matanya jengah. “Stop calling me Naya.” Kata Tanaya, lalu menumpu lebih dari setengah berat tubuhnya kepada Julian. “And you don’t get to tell me what to do.

Julian menatap bingung Tanaya dan Dennis secara bergantian tetapi tidak mengatakan satu katapun, membiarkan mereka berdua menyelesaikan obrolannya. 

Let’s go, Julian.” Kata Tanaya lalu menarik Julian untuk keluar dari toilet.

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 4: Maybe I Could

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

"It’s embarrassing .” Kata Tanaya memecah keheningan di dalam mobil.

Julian menatap Tanaya sekilas lalu kembali menatap ke depan. "What ?” Tanya Julian.

Tanaya menyandarkan kepalanya di jendela mobil. “I shouldn’t be drunk on our second meeting.” Jawabnya.

Setelah Tanya menarik Julian keluar dari toilet, Julian memutuskan untuk mengantar Tanaya pulang tanpa banyak berkata apapun dan mengambil barangnya terlebih dahulu di mejanya. Beruntung karena Tanaya sudah membawa tasnya ke toilet jadi ia tidak perlu kembali lagi ke mejanya dan bertemu dengan Dennis. Julian tidak membawa mobil dan mereka berdua pulang menggunakan taksi. 

It’s fine. I didn’t know you were going to be there either. We can arrange another meeting again later, not drunk, of course.” Julian menarik napasnya. “I thought Max rented the whole club.” Kata Julian.

Tanaya menoleh kepada Julian dengan cepat. “Hah?” Katanya bingung.

Max, my friend, he rented half of the club, I think, or more I don’t know.” Julian menjawab.

Tanaya membuka mulutnya lebar. “Club segede stadion bola itu? Dia sewa setengahnya lebih?” 

Julian tertawa mendengar reaksi Tanaya. “Yeah, to celebrate his second win.” Ujar Julian.

Kali ini Tanaya mengerutkan alisnya kebingungan, “Menang apa?” 

World driver’s championship. ” Jawab Julian singkat.

“Oh yang juara satu dunia itu ya, kalo poinnya paling banyak berarti dia menang, terus poinnya diambil dari masing-masing race , dapet poin kalo tiap race dia menang antara P1 to P10, obviously P1 paling banyak poin iya ga sih?” Kata Tanaya tanpa henti. “Terus jadi lo ga menang ya tahun ini? Bukannya lo menang terus udah lima kali?” Tanya Tanaya menutup matanya karena ia semakin mengantuk.

Jika Tanaya sepenuhnya sadar, ia jelas tidak akan berbicara seperti itu karena Tanaya cukup mengerti batasannya walaupun ia lebih sering berbicara tanpa berpikir.

Julian bukannya tersinggung, ia malah tertawa lagi. “I guess luck wasn’t on my side, again.” Jawabnya. “I’m very impressed by how much you did your research.” 

Tanaya tersenyum senang. “Gue pinter.” Jawab Tanaya. “You know you can’t possibly win five times if you’re just lucky. It’s talent and you will eventually win again, have more faith.” 

Julian terdiam.

“Keren kan gue.” Gumam Tanaya.

Julian kembali tertawa mendengar gumaman Tanaya. “Must you ruin it all by saying ‘keren kan gue,’  Tanaya?”

Ditengah matanya yang tertutup Tanaya mengerutkan alisnya mendengar Julian berbicara bahasa Indonesia. “Tuh kan lo bisa bahasa Indonesia! Ketebak banget lo bohongnya.” 

Julian tertawa kecil untuk kesekian kalinya malam ini. “Sorry, I needed something to escape.”

Tanaya mengangguk mengiyakan. “Berisik banget ya gue? Wajar sih, kalo gue jadi lo gue udah kabur kali keluar dari DANIEL waktu itu, jadi yaudahlah udah lewat juga. Maaf juga gue nyerocos waktu itu padahal baru kenalan.” Kata Tanaya masih dengan mata terpejam.

It’s okay.” Kata Julian. And actually, my bahasa Indonesia is not really great so I’m not a hundred percent lying.

Tanaya menepiskan tangannya ke udara. “Terserah sumpah.” Kata Tanaya. “Lo ketawa mulu deh malem ini, emangnya gue lucu banget apa?” 

Lagi-lagi Julian tertawa.

“Tuh kan ketawa lagi.” Kata Tanaya

I am sure you wouldn’t have said all this when you’re sober.” 

“Iyalah! Kalo kata Niki mah ini liquid courage doang!” 

Who is Niki?” 

“Temen gue! Ya engga lah! Penyanyi! Uncultured banget sih ga tau Niki.”

Julian menimbang-nimbang apakah ia akan bertanya mengenai kejadian di toilet tadi sebelum Tanaya berkata, “I’m sorry about earlier, jadi lo terpaksa harus nganter gue pulang juga deh.” Katanya.

Julian menggeleng walaupun Tanaya tidak melihatnya. “Engga terpaksa, It’s okay .” Katanya.

Tanaya membuka matanya dan menatap Julian dengan mata disipitkan. “Udah berapa kali lo bilang it’s okay coba. Sekali-kali bilang anjing gapapa.”

Julian tertawa lagi dan lagi.

Tanaya menganggukkan kepalanya. “You can ask .” Katanya.

Julian sedikit terkejut mendengar ucapan Tanaya, lalu menggeleng pelan. “It’s not my place to ask.” Katanya.

Technically, you can, we’re getting engaged anyway.” Ucap Tanaya enteng.

Julian sendiri tidak menghitung sudah berapa kali ia tertawa malam ini karena celotehan setengah sadar dari Tanaya. “You can just tell me whatever you want to tell me, I don't want to overstep your boundaries.” Katanya.

Tanaya mengerutkan keningnya dan menutup matanya lagi. “Do you know that you're attractive? ” Tanya Tanaya.

I heard it many times, yes.

Tanaya berdecak, “Maksudnya bukan cuma tentang muka lo yang ganteng dan tato lo yang banyak itu tapi personality wise ya, you’re respectful, mindful, considerate, understanding, and being all that is so attractive to me.” Tanaya menegakkan kepalanya. “I wish I could hate you so everything is, at least, a little bit easier, but you’re just so…"  Tanaya menarik napasnya. “Kind.” Ucap Tanaya panjang lebar. “Padahal kita aja baru ketemu dua kali.”

Julian tidak tahu harus bereaksi seperti apa mendengar pengakuan dari Tanaya, jadi ia hanya diam dan mendengarkan.

I know I’m going to regret everything tomorrow morning but yeah, whatever.” Tanaya menarik napasnya panjang. “Dennis is an asshole. I thought he was in Beijing, I didn’t expect him to show up tonight.” Katanya.

Julian masih diam dan mendengarkan.

“Dulu gue pernah ga tidur sampe 5 hari, not even a blink. Imagine that. Horrible. I was sick, I was so out of this world, I was so… depressed. Gue hampir ga lulus tepat waktu gara-gara ini because I’m not doing anything and I’m not sleeping either. Kalau bisa tidur pun satu hari ga lebih dari dua jam, itupun karena gue udah terlalu capek dan bukan karena gue emang mau tidur. It happened so fast I didn’t even realize that I hadn't slept for days until I passed out. Sampe akhirnya gue ke psikiater and I found a way to tire myself supaya bisa tidur, lari. I find running to be so therapeutic, I feel free, like true freedom. Gitu deh asal usul gue kenapa bisa ikut marathon dan ketemu lo di New York. Thanks to that stinky feet son of a bitch, Dennis. Ew, I don’t even want to say his name.

Mungkin memang karena pengaruh alkohol Tanaya berbicara sebanyak dan sejujur ini, tentu saja Julian tidak tahu harus berkata apa karena mereka berdua benar-benar belum mengenal satu sama lain dan Julian tidak ingin melebihi batasannya. Jadi, Julian memilih untuk diam dan merekam cerita Tanaya di otaknya.

“Kakinya beneran bau by the way, like very very very stinky the moment he takes off his shoes. On worst day bahkan kecium tanpa dia buka sepatu.” Kata Tanaya. “Jadi kebayang lagi kan bau kaki dia, it traumatized me even now gue kaya bisa mencium baunya.”

Ditengah-tengah keseriusan Julian mendengarkan cerita Tanaya tentang masa lalunya, ia tidak bisa menahan tawanya mendengar celotehan aneh Tanaya. Satu hal yang Julian catat dan ia garis bawahi di dalam list di otaknya, Tanaya is very talkative when he’s drunk .

“Engga deh.” Tanaya mengendus-endus, “Kalo sekarang wangi stella jeruk. Wangi parfum lo juga. Tom Ford ya?”

Yes, how do you know?” Tanya Julian terkejut mendengar pertanyaan Tanaya.

Tanaya mengangkat bahunya ringan, “Oud Wood kan?”

You’re so weird.”

Thanks. I’ll take that as a compliment.

Tanaya menarik napasnya panjang, membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. “Ngantuk.” Ucapnya lalu menguap. “Ambil handphone gue terus kalo udah nyampe telpon aja kakak, password- nya 1234.” Ucap Tanaya menepuk-nepuk tasnya.

Julian mendengarkan apa kata Tanaya dan mengambil ponsel Tanaya yang berada di dalam tasnya tanpa mengatakan apapun, membiarkan Tanaya untuk tidur.

Thanks, Julian.” Bisik Tanaya. “Maybe I could actually try it with you.” Katanya sebelum benar-benar tertidur.

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 5: Seat of Your Rover

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Jakarta, Indonesia.

“I will send you the money later, just text me your bank account number.” Ucap Tanaya memecah keheningan di dalam mobil.

Julian menoleh kepada Tanaya, mengalihkan pandangannya dari jalan raya sekejap. “I told you it’s fine. You don’t have to pay me back. It’s my treat.” Jawab Julian.

Tanaya menggeleng, tidak setuju dengan pernyataan laki-laki itu. “No . Kan gue sama Satria yang kalah jadi yang bayar harusnya gue sama Satria.” Katanya.

Julian malah terkekeh kecil. Pasalnya, ia tidak tahu kalau ada perjanjian siapa yang kalah adalah yang membayar, Tanaya juga tidak mengatakan kedua temannya—Maha dan Satria—akan ikut bermain bowling bersama. Terlihat dari ekspresi Maha dan Satria yang sama-sama terkejut saat melihat Julian, ia pikir kedua teman Tanaya pun tidak diberitahu akan kedatangannya.

Lalu sebelum permainan dimulai Tanaya memutuskan untuk membagi tim menjadi dua dan menentukannya dengan kertas, gunting, batu yang berakhir dengan Tanaya satu tim dengan Satria lalu Julian dengan Maha.

“You didn’t tell me that your friends were going to be there as well and you didn’t even bother to tell me about the deal. Isn’t it your plan?” Tanya Julian jahil.

Tanaya mengerutkan alisnya bingung. Rencana? Rencana apa? “What do you mean by my plan ? Kalo maksud lo biar gue ga bayar, don’t be cocky, I have the money to even buy the place.” Jawab Tanaya sedikit kesal.

“I am sure you do, Tanaya.” Julian lagi-lagi terkekeh geli. “So, when’s the next date?”  

Tanaya mengerang kesal mendengar pilihan kata Julian. “Stop calling it a date!” Seru Tanaya.

“Oh it wasn’t a date? Because it wasn’t just the two of us? A date is supposed to be just between two people, yeah?” Tanya Julian, memancing.

Lebih tepatnya memancing amarah Tanaya, tepat sasaran karena Tanaya lagi-lagi mengerang kesal. “Stop teasing me or you will never see me again.” Kata Tanaya. “Okay, fine, I’m sorry it was my fault that I didn’t tell you my friends were going to be there.” Tanaya menyerah.

Julian mengatupkan mulutnya, berusaha meredam kekehan yang sedari tadi ia keluarkan lalu berdeham pelan untuk menetralisir. “You’re surprisingly good at bowling though.” Kata Julian.

Tanaya tersenyum congkak, mengangkat bahunya. “What’s there to be surprised about? A man can be pretty and good at everything too, right?” Jawabnya.

Julian mengangguk-angguk. “Right. You can be pretty and good at everything at the same time. That makes you more and extra attractive.” Kata Julian, sengaja memancing Tanaya.

Tanaya menoleh ke arah Julian secepat kilat, tidak menyangka dengan komentar Julian. “I am so about to hit your head if you say nonsense again.” Tanaya memutar matanya malas.

Julian malah tertawa, “It’s not nonsense, I can’t lie about things like that.” Katanya lagi.

Sejujurnya Tanaya malas menanggapi komentar Julian yang semakin lama semakin membuat pipinya panas, Tanaya tidak menyukai perasaan ini. “Shut up. Nyetir aja deh lo yang bener.”

Julian mungkin sudah pegal karena sedari tadi tertawa dengan lepas dan pipinya selalu ditarik ke atas. Tapi, Julian sangat menikmatinya, terlalu menikmatinya mungkin. “Seriously though, how are you so good at bowling?”

Tanaya tersenyum congkak. “Why? You’re afraid that someone will outdo you?” Tanyanya.

Julian menyeringai. “Never, Tanaya. Never.”

“Don’t pull out your five-time-world-driver’s-championship-winner face on me, Julian.” Kata Tanaya mengeluh karena ekspresi Julian yang terlihat sangat menyebalkan dan percaya diri. Tanaya tahu Julian tidak pernah takut akan apapun.

Julian tertawa kecil. “You didn’t answer the question, how can you be so good at bowling? Did you practice every day?” Tanya Julian, penasaran.

“I used to go bowling every day, yes. Let’s say that I was competitive enough to be good at it.” Jawab Tanaya, nada suaranya lebih teredam dan lebih sunyi yang otomatis ditangkap Julian.

Julian mengerti. Ada sesuatu dibalik kalimat Tanaya yang tidak ingin ia ingat. “I’m no match to you though, try a little harder next time so i have to pay again.” Katanya, mencairkan suasana.

Tanaya tertawa sarkastis, “Very funny, Julian. As if there will be next time.” 

“Oh, I’m sure there will be another time, Tanaya . We’re engaged anyway.” Julian tahu kalau ia hari ini terlalu sering menyenggol Tanaya. Mungkin Julian sedikit banyak menikmatinya.

Tanaya menggeram, menahan teriaknya. “I will fucking kill you.” Katanya, jelas-jelas terganggu dengan kalimat we’re engaged anyway. “Turunin gue disini aja.”

“Okay. That’s too far. Sorry.” Kata Julian meminta maaf. Tetapi malah melanjutkan ucapannya, “I was just quoting you, though.”  

Tanaya menoleh dengan cepat kepada Julian. “What?” Tanyanya bingung. 

Julian mengangkat alisnya, menatap Tanaya sekilas. “You don’t remember? On New Year's eve?”

“Huh? When did I even say shit like that?”

“Right. You were drunk. Of course you won’t remember.”

“…what”

“You really said ‘we’re engaged anyway’, Tanaya.”

“Bohong.”

“Even in your subconscious mind, you know we’re engaged.”

“Lo beneran udah gila ya?”

“I’m telling the truth. It’s on you whether you want to believe it or not.”

“Yaudah ga udah bahas bisa ga sih astaga merinding gue dengernya.”

Julian menghela napasnya. “You know we have to do the talk, right?” Tanyanya.

Tanaya mengambil beberapa detik untuk menjawab. “I know.” Jawab Tanaya. “I am so bad at this. Nyerah gue ngurusin yang beginian. Gatau deh.” Lanjut Tanaya lagi, jujur.

Julian mengangguk mengerti. “At least tell me one thing.” Kata Julian, melirik lagi ke arah Tanaya.

Tanaya hanya berdeham, menunggu Julian melanjutkan perkataannya sambil memandang jalanan yang kini sudah agak sepi.

“Do you or do you not accept the proposal?” Tanya Julian.

Tanaya mematung. Punggungnya tiba-tiba panas mendengar pertanyaan Julian. Menjalar dari tulang ekornya hingga ke ujung kepala. “Can I not answer this?”

Julian menggeleng. “It’s the least you could tell me.” Katanya.

Tanaya menarik napas panjang sebelum menjawab. “I… I do.” Katanya, menghembuskan napasnya cepat. “I accept the proposal.”

Julian menjatuhkan bahunya yang menegang karena menunggu jawaban Tanaya. “Okay.” Katanya.

“Okay. ” Tanaya membalas.

“Do you want to wear the–“

“No. Let’s not talk about that.”

“Alright.”

“Yeah.”

“Okay.”

Tanaya memainkan jari-jarinya gugup. Ia baru saja mengatakan hal yang sejak perang batinnya tahun lalu ia pendam. Salah satu langkah besar yang ia ambil dan ternyata rasanya sedikit melegakan. Lebih melegakan dari yang Tanaya kira. Mungkin setelah ini ia bisa lebih menerima takdirnya dan mengenal Julian lebih jauh. One step at a time.

“I will move to London, probably next week or a little later this month.” Kata Tanaya menjatuhkan pernyataan tiba-tiba.

Julian menegang. “What?”

“For work. You dumbass.” Lanjut Tanaya, melihat Julian yang menegang. “What? Do you think I will move to London for YOU?”

Julian tertawa lega. Lega sekali. “I was, for a second.” Jawabnya jujur. 

“Bego.” Kata Tanaya ketus.

Julian tertawa lagi. “Sorry. You got deported from Kalon Jakarta or something?”

Tanaya melirik Julian sebal. “Ngajak berantem ya? Kenapa deported sih bahasa lo? Kesannya kaya gue melakukan kesalahan terus disuruh pindah. Engga. Promoted. Puas lo?”

“Oh. Right. Sorry.”

“Ya.”

“Okay.”

“Okay.”

“Do you have a place to stay already?”

“Not yet.”

“Do you want to live in my house?”

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 6: Bienvenue à Londres

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Julian, it’s nice to finally meet you.”  

Tanaya menghela napasnya saat melihat ibunya, menarik tubuh Julian ke dalam pelukan tidak lama setelah ia melihat laki-laki itu. Tanaya melirik ke arah kakaknya yang juga sedang menatapnya dengan tatapan mengejek, yang lalu ia balas dengan memutar bola matanya malas. Seharusnya Tanaya menolak tawaran Julian untuk menjemputnya di bandara sebelum seluruh anggota keluarganya terbiasa dan tidak memberikan tatapan geli setiap kali ia menyebutkan nama Julian.

“Tante.” Sapa Julian, membalas pelukan Ivanna. “I hope the flight was okay.”  

“Flight was okay, bearable.” Ivanna mengurai pelukannya dengan Julian, “Don’t call me Tante, Julian. Panggil Mami aja.” Kata Ivanna, menatap Tanaya dengan senyuman dan tatapan yang lagi-lagi Tanaya tidak sukai.

Kini giliran Julian yang menatap Tanaya setelah mendengar ucapan Ivanna, meminta persetujuan Tanaya, yang hanya ia dengan mengangkat bahunya tidak peduli. “Okay, Mami.” Kata Julian. 

Thank you ya, udah bolehin Tanaya tinggal sama Julian.” Kata Ivanna, kali ini mengambil salah satu tangan Julian lalu ia genggam.

Julian tertawa sumbang, canggung dengan keadaan. “ No problem , Tante—” Julian dihadiahi tatapan tidak setuju dari Ivanna. “Mami.” 

Ivanna mengangguk dan tertawa senang dengan jawaban Julian lalu melepaskan genggaman tangannya, kemudian mengambil ponselnya di dalam tas untuk memberi kabar kepada suaminya.

Julian otomatis mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju Sean. “Sean.” Sapa Julian, mengulurkan tangannya. “It’s been a while.” Katanya.

Sean mengambil tangan Julian yang terulur lalu membalas jabatan tangannya. “Julian.” Sean membalas sapaan Julian. “Been a while, it is. New year yeah?”  

Julian mengangguk dan mengurai jabatan tangan mereka. “Yeah, how are you?” Tanya Julian, basa-basi.

Sean mengangkat bahunya ringan. “Same old, same old, just jet lagged.” Jawabnya.

Julian mengangguk lalu berkata kepada tiga orang di hadapannya. “Let’s just get going then, my drivers are waiting outside.” Kata Julian, tangannya mengambil alih trolley milik Ivanna yang langsung dibalas oleh senyuman manis dari wanita itu, bergumam ‘ thank you’ kepada Julian.

Tanaya yang sedari tadi sedang membalas pesan dari temannya, memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu menggandeng lengan Maminya. 

“Han jadi ta, jemput kesini?” Ivanna bertanya, menatap anaknya, lalu merapikan helaian rambut Tanaya yang mencuat kesana kemari.

Tanaya mengangguk menyetujui. “Jadi, udah nyampe katanya.” Jawab Tanaya.

Ivanna lalu mengedarkan pandangannya, melihat setiap wajah yang berdiri menunggu di luar pintu kedatangan. “Nathaniel!” Sapa Ivanna saat matanya menangkap bayangan Nathan dan Sakha yang berdiri sambil memegang banner.

Yang disapa tidak bergeming, matanya tidak menatap ke arah Ivanna melainkan kepada seseorang yang mendorong trolley milik Ivanna. Ivanna berjalan mendekat ke arah Sakha terlebih dahulu dan memeluknya lalu beralih memeluk Nathan. “Udah lama Mami ga ketemu Nathan yo, Nathan apa kabarnya?” Katanya.

Nathan masih saja bergeming yang tentu saja disadari Ivanna, lalu Ivanna melihat ke arah pandang Nathan sebelum tertawa kecil. “Julian, sini.” Panggil Ivanna, melambaikan tangannya.

Julian berjalan mendekat ke arah mereka. “Kenalin, ini Nathaniel, temannya Tanaya Since Elementary School , yo?” Kata Ivanna, menunjuk Nathan. “Kalo yang ini Sakha, suaminya Nathaniel.” 

Julian mengangguk, menjulurkan tangannya ke arah Nathan. “Julian.” Katanya, Nathan hanya menatap kosong uluran tangan Julian alih-alih menjabatnya untuk berkenalan.

Sakha di sebelahnya tertawa maklum, menjabat tangan Julian untuk suaminya. “Sakha.” Katanya. “I’m so sorry, Nathan is a big fan of Formula 1. He’s shocked, obviously.” Sakha menjelaskan.

Julian mengangguk paham lalu tertawa kecil. “Oh. Right. Okay.” Sahut Julian, kembali menatap Nathan. “It’s nice to meet you, Sakha. And Nathan too.” Katanya, tersenyum ke arah keduanya.

Nathan yang tersadar dari keterkejutannya berdeham pelan, mengulurkan tangannya, berniat untuk berjabat tangan dengan Julian. “Nathan.” Katanya, akhirnya. “I’m sorry about earlier.”  

“No, no, it’s okay.” Julian menggeleng, menjabat tangan Nathan. “Nice to meet you, Nathan.” Katanya. 

“I never met you so close like this at the race, but you’re so handsome.” Nathan belum melepaskan genggaman tangan mereka.

Julian tertawa mendengar kejujuran Nathan lalu melirik ke arah Sakha yang juga sedang tertawa mendengar celetukan Nathan. “Thank you?” Jawabnya. “I will make sure to give you two VIP access later.”

Nathan tersenyum lebar sebelum melepaskan jabatan tangan mereka. “Thanks, Julian. You’re so kind. Unlike my friend.” Katanya, menatap sinis ke arah Tanaya.

Julian mengangkat kedua alisnya. “Tanaya?” Tanya Julian retoris.

“Who else?” Jawab Nathan.

“Why? What happened?” Tanya Julian, melirik ke arah Tanaya yang dengan bosan menyandarkan seluruh beban tubuhnya kepada trolley .

“He didn’t tell me that he knew you whilst knowing I’m crazy about Formula 1.” Nathan mengeluh, melipat kedua tangannya.

Julian menatap ke arah Tanaya lagi, mengangkat kedua alisnya, meminta konfirmasi dari yang bersangkutan yang hanya dijawab Tanaya dengan mengangkat bahunya. “I suppose that you also didn’t know about our—”

Tanaya secepat kilat berjalan ke arah Julian lalu menyenggol lengannya sebelum Julian menyelesaikan kalimatnya. “Let’s just get going.” Kata Tanaya.

“Okay, okay.” Kata Julian, tertawa geli melihat gelagat Tanaya.

Nathan mendelik. “You didn’t even hug me. Traitor.”

Tanaya lalu meraih Nathan untuk ia bawa ke dalam pelukannya, mengayunkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri. “I miss you.” Kata Tanaya.

Nathan memukul pelan punggung Tanaya. “I miss you too, fucker. Even when you always leave me in the dark.”

Tanaya tertawa. “ I’ll tell you later , bandara bukan tempat ngobrol.” Katanya.

Nathan mendelik, melepaskan pelukan mereka. “Lo ngomong kaya gitu terus and it’s been what? One month.”

“I promise I will tell you, Nathan.”

“Ya kapan?”

“Soon.”

“Ow—” Kaki Tanaya diinjak kencang oleh Nathan.

Nathan melemparkan banner yang sejak tadi belum ia lepaskan dari tangan kirinya kepada Tanaya sebelum berjalan ke arah Sean dan memeluknya lalu bertukar tanya mengenai kabar masing-masing, sedangkan Tanaya berjalan ke arah Sakha dan memeluknya singkat.

“Let’s get going.” Ucap Julian setelah semua orang selesai bertukar sapa. “ My drivers are outside. Nathan and Sakha, you two can follow my car. If the traffic is alright, it’s only around an hour to my house. Where do you guys park your car?” Tanya Julian, menatap pasangan di hadapannya.

Nathan melongo. “Your what? We’re going to YOUR house?”

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 7: Bienvenue Chez Nous!

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“You have a beautiful home, Julian.” Kata Ivanna akhirnya setelah mereka semua duduk di meja makan.

Apartemen Julian terletak tepat di tepi Sungai Thames. Berada di lantai paling atas membuat pemandangan yang terlihat dari setiap sudut jendelanya sangat luar biasa. Dari tempat mereka duduk, terlihat dengan sangat jelas Landmark Kota London, House of Parliament di sebelahnya dan juga London Eye . Julian tidak mengada-ngada saat mengatakan kalau rumahnya berada di tengah Kota London. Benar-benar pemandangan yang indah untuk dinikmati setiap hari.

“Thank you.” Julian tersenyum lebar. “Let’s enjoy the meal, shall we?” Katanya, mengedarkan pandangan  menatap satu per satu tamunya.

Makanan yang disajikan oleh chef di rumah Julian sangat lezat. Pasta, steak serta beberapa makanan pendamping lainnya yang tidak kalah lezat. Tentu saja ditambah dengan wine dari koleksi milik Julian yang ia pilih untuk mendampingi makan malam hari ini.

Sementara semua mulai menyantap hidangan di depannya, Nathan melirik ke sebelahnya. “Kak.” Panggilnya kepada Sean. 

Sean hanya berdeham pelan, tangannya fokus memotong daging di piringnya.

Qu'est-ce qui se passe vraiment entre eux? ” Tanya Nathan. [What is really going on between them?]

Pertanyaannya fasih dalam Bahasa Perancis yang membuat semua orang di meja makan tersebut mengalihkan perhatian seluruhnya kepada Nathan.

“Kenapa, Han? Ngomongnya pake Bahasa Indonesia aja, to? Mami nggak ngerti kalo pake French .” Malah Ivanna yang menyahut ucapan Nathan, bukan Sean.

Sean yang duduk di sebelahnya tertawa kecil. “Tanaya ne t'a rien dit?” Balasnya. [Tanaya didn’t tell you anything?]

Nathan menghela napasnya dramatis. “Non.” Katanya, menyimpan garpu dan pisaunya dramatis. “Cet enfoiré.” [No. That Bastard.]

Tanaya memutar bola matanya malas. Kalau Sean dan Nathan sudah berbicara dalam Bahasa Perancis, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena kemampuan berbicara Bahasa Perancisnya yang terbatas, Tanaya tidak bisa mengimbangi. Tanaya masih bisa mengerti apa yang mereka berdua bicarakan, tapi terlalu membuang waktu jika harus menjawabnya dengan Bahasa Perancis juga.

“Bisa nanti aja ga ngobrolnya? Lagi pada makan loh ini.” Kata Tanaya sebal.

Tapi Tanaya tidak bisa berbuat apa-apa karena ini adalah kesalahannya juga. Jadi Nathan menjawab, “Okay then, let’s talk in english so everyone knows what’s up.”

Tanaya menggelengkan kepala terlalu cepat, menatap Nathan dengan tatapan memohon. “Jangan.” Katanya, matanya mengisyaratkan kalau ada Julian di sebelahnya. “Please, please.”

Nathan tersenyum menang. “Qu'est-ce qu'il s'est passé ?” Tanyanya lagi kepada Sean. [What happened?]

Sean menunjuk makanan di hadapan Nathan dengan garpunya. “Mange ta nourriture.” Katanya. [Eat your food.]

Nathan mengerang. “S'il te plaît, s'il te plaît, dis-moi.” [Please, please tell me.]

Sean mengangguk, lalu menunjuk kembali daging di atas piring Nathan yang lalu dipatuhi Nathan dengan mengambil garpu dan pisaunya kemudian ia mulai memotong makanannya sambil terus menatap wajah Sean.

“Ils sont fiancés.” Kata Sean, dengan santai menyuapkan potongan kecil daging ke mulutnya. [They are engaged.]

Nathan tersedak. Sakha yang berada di sebelahnya buru-buru menyodorkan air mineral untuk Nathan. “Pelan-pelan, sayang.” Katanya.

Nathan buru-buru menegak minumnya setelah batuknya reda. “Quoi?!” Katanya sedikit berteriak, menatap Tanaya dan Julian yang duduk di sebelahnya tidak percaya. Va te faire foutre, Tanaya!” [What? Go fuck yourself, Tanaya!]

Julian melongo. Lalu mengisap wine -nya, menatap ke arah tiga orang yang sedang mendominasi obrolan di meja kali ini.

Tanaya mendengus. “It was three weeks ago, okay? I didn’t want to tell everybody on this planet about it.” Balas Tanaya, tidak terima.

Nathan menghiraukan Tanaya, bertanya lagi kepada Sean. “Depuis quand ils se connaissent?” Tanyanya. [ How long have they known each other? ]

“Leur première rencontre était en novembre, je crois, après le marathon de New York.” Jawab Sean. [Their first meeting was in November, I think, after the NYC Marathon.]

Nathan menatap Tanaya dengan mata menyipit, tidak percaya dengan situasinya saat ini. “Traitor.” Katanya. Tu as couché avec lui?” Tanyanya pada Tanaya. [Did you sleep with him?]

Tanaya tersedak. Obrolan di meja makan ini membuat ia lupa caranya untuk mengunyah makanan dengan baik. “Careful, Tanaya.” Ucap Julian, menyodorkan gelas berisi air mineral untuk Tanaya yang lalu tanpa berpikir panjang Tanaya terima.

Tentu saja tindakan Julian tadi tidak luput dari perhatian empat pasang mata lain yang berada di meja itu. Sebelum Tanaya sempat menjawab pertanyaan Nathan, Julian menyela. “Non, nous ne l'avons pas fait. On prend les choses doucement, Nathan.” Ucap Julian Santai. [No, we haven't. We're taking things slowly, Nathan.]

Tidak ada suara sedikitpun setelah Julian berbicara. Tentu saja. Seluruh pasang mata menatap ke arahnya dengan terkejut. Nathan dan Tanaya dengan mulut terbuka, Sean dengan tangannya yang berhenti di udara, Sakha yang dalam diamnya mengisap wine , Ivanna yang berhenti menggerakan tangannya yang akan memotong daging.

Julian yang menyadari keheningan tiba-tiba itu menatap ke arah Tanaya dengan alis terangkat, seolah bertanya ada apa.

Tanaya menatap Julian tidak percaya. “You speak French.” Katanya.

Julian mengangguk polos.

Nathan berteriak tertahan lalu membawa tangannya untuk mengusap mukanya gusar. Salah tingkah. “Just kill me already.” Katanya, suaranya teredam. Bagaimana tidak, Nathan berbicara dalam Bahasa Perancis yang artinya tidak pantas untuk diketahui oleh seseorang yang baru saja ia kenal kurang dari dua jam, belum lagi fakta kalau Julian adalah seseorang yang ia idolakan. Sakha yang berada di sampingnya hanya tertawa dan mengusap punggung suaminya prihatin.

“Why didn’t you tell us earlier?” Tanaya menatap Julian sebal. Kembali melanjutkan kegiatannya memotong daging.

Julian mengangkat bahunya ringan. “You didn’t ask.” Jawab Julian. “Besides, it’s a conversation between Nathan and Sean, I shouldn't interfere.” Kata Julian lagi.

“Julian pinter yo Bahasa Perancisnya. Pernah sekolah di Perancis, ta?” Kali ini Ivanna yang bertanya, mengalihkan pembicaraan dan fokus semua orang kepadanya alih-alih kepada Sean dan Nathan yang terlihat begitu tertekan.

Julian menggeleng, tersenyum. “My mom speaks French, Tante.” Jawabnya. “I learned it from her.” Jelas Julian.

Ivanna mengangguk mendengar penjelasan Julian. “Pinter yo, Julian. Tata juga waktu sekolah ambil kelas minor Bahasa Perancis, tapi ga bagus-bagus nih. Karena ga banyak dipakai bahasanya.” Ivanna memberikan penjelasan, mengusap rambut anaknya pelan. “Julian bisa bahasa apa lagi, nak? Banyak yo?”

Julian tersenyum malu mendengar pujian Ivanna. “Not much, Tante.” Katanya rendah hati.

“Keren, Julian.” Kata Ivanna, mengangkat jempolnya lalu melanjutkan menyantap makanannya.

Sakha berdeham pelan, berniat untuk mengalihkan pembicaraan juga mengingat suaminya masih bergeming dari tadi. “Ta, jadi minta kontak SA Audi?” Kata Sakha.

Tanaya mengangguk. “Jadi, Kha. Kenalan Mas Nolan ga ada katanya kalo Audi. Adanya BMW.” Jelas Tanaya.

“Oke, gue kirim ke lo habis ini ya.” Kata Sakha.

Julian menimpali. “You want to buy a car?” Tanyanya.

“Ya.” 

“You can just use my car.” Ucap Julian.

Tanaya menghela napasnya, lalu menyimpan alat makannya sebelum menyilangkan tangannya di depan dada, memutar tubuhnya sedikit ke kiri menghadap Julian. “Do you think I don’t have the money to buy a car?”

Julian mengerutkan keningnya. “That’s not what I meant.” Sanggah Julian.

Tanaya menyipitkan matanya. “Sounds like it.”

Julian akhirnya menyerah dan meletakkan alat makannya. “You’re being ridiculous.” Katanya, menatap Tanaya. “I just want to make your life easier, Tanaya.”

“Gue bisa beli mobil sendiri.” Kata Tanaya, keras kepala.

“I know.” Timpal Julian. “But you had to wait a few months, right? And you will start working next week. How are you getting to the office then?” Katanya.

Tanaya mengangkat bahunya. “Like London doesn’t have public transportation?”

Julian menyerah. “Fine.” Katanya, mengalihkan pandangannya dari Tanaya.

  Tanaya mengerang sebal. Kalau dipikir-pikir Tanaya tidak masalah menggunakan transportasi umum, lagipula ia sudah terbiasa. Tetapi jika diberikan pilihan yang lebih mudah, kenapa ia harus menolak? 

“Fine.” Kata Tanaya akhirnya, ikut menyerah. 

“Fine, what?” Tanya Julian, tersenyum geli.

“I will just use your car.”

“Okay. Good.”

“Mobil lo emangnya apa?”

“Mercedes.”

“As expected from you.”

“I had a ferrari too, if you want.”

“Gila ya?”

“And also McLaren.”

“Okay Mr. had it all.”

“I’m serious, though. You can choose one of my cars.”

“Engga lah, udah deh ga usah gila.”

“Okay, I’ll show you around the basement tomorrow. You have to rest now.”

“Okay.”

“Okay.” Julian menjawab Tanaya, lalu menyodorkan gelas wine -nya untuk bersulang yang lalu dibalas langsung oleh Tanaya.

Tanaya dan Julian tidak menyadari semua orang yang ada di meja tidak ada yang bersuara dan hanya mendengarkan mereka berdebat mengenai mobil. Ivanna tersenyum senang melihat anaknya akrab dengan Julian, Sean ikut tersenyum. Sakha hanya memperhatikan dalam diamnya, sedangkan Nathan tentu saja melongo.

“Holy shit.” Gumam Nathan kepada dirinya sendiri yang tidak luput dari perhatian Sean.

Sean terkikik geli, mengangkat gelas wine -nya untuk bersulang dengan Nathan. “This is also my first time seeing them together.”

Nathan menggeleng heran. “You sure they’re not in love?”

Sean menggeleng sambil tertawa. “Sooner or later.”

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 8: Good Night!

Chapter Text

“Be good to Julian, Ta.” 

Air mata Tanaya sudah menggenang di kelopak matanya, ia memeluk ibunya lebih lama lagi, berusaha keras menahan tangisnya yang hampir sudah tidak bisa dibendung. “Mami harusnya doain Ta supaya sehat selalu, bukannya malah mikirin Julian.” Jawab Tanaya kesal.

Ivanna melepas pelukan mereka lalu merapikan anak rambut Tanaya yang keluar dari beanie yang digunakannya. “Mami selalu doain Ta, ga perlu Ta suruh Mami.” Kata Ivanna tersenyum, mengusap pelan pipi anaknya yang membuat Tanaya tidak bisa lagi menahan tangisnya.

Tanaya memeluk ibunya lebih erat. “Ta bakal kangen banget sama Mami.” Isak Tanaya, suaranya teredam tangis.

Tersenyum lagi, Ivanna mengusap-usap punggung anaknya. “Wes lho Ta, masa nangis, malu dilihat Julian itu.” Kata Ivannya menatap Julian yang sedang memperhatikan interaksi mereka dengan senyuman juga.

Tanaya melepas pelukannya kesal yang membuat Ibunya tertawa kecil. “Mami…” Tanaya Memperingati.

Julian yang sedang berdiri sedikit di belakang Tanaya akhirnya diraih oleh Ivanna untuk dibawa ke dalam pelukan. “Mami titip Tanaya yo, Julian.” Kat Ivanna, mengelus pelan punggung Julian ke atas dan ke bawah. “Tanaya memang anaknya agak susah diatur, Julian yang sabar yo?”

“I will, Tante.” Jawab Julian, tidak bisa menyembunyikan senyuman dalam ucapannya. Sedangkan Tanaya menatap mereka berdua sambil mengernyit, malas mendengar ucapan ibunya. 

Muak mendengarkan percakapan yang masih saja berputar di sekitar itu-itu saja, Tanaya memalingkan pandangan dari Ibunya dan Julian kemudian memutuskan untuk memeluk kakaknya. “Be careful always ya, Ta. Kabarin aku kalo ada apa-apa.” Ucap Sean yang dibalas oleh Tanaya dengan anggukkan dan membenamkan kepalanya di ceruk leher kakaknya yang tertutupi padding. “Behave, Ta. Kasian Julian.” Lanjutnya yang lagi-lagi membuat Tanaya kesal. Memangnya Tanaya ini masih kecil, ya?

“Sekali lagi kamu bahas Julian aku pukul.” Ucap Tanaya, sengaja menyeka pipinya yang terdapat bekas air mata pada padding kakaknya.

Sean tertawa jahil. “Bukannya kalian udah truce ?” 

Tanaya melepas pelukannya, menatap Sean dongkol. “Ya udah ga usah diperjelas bisa kan?”

Godaan dan tatapan geli yang selalu datang saat ia menyebut nama Julian ataupun saat berinteraksi dengan Julian membuat Tanaya sedikit banyak kesal. Mungkin ia harus lebih terbiasa setiap kali nama Julian diucapkan oleh mulutnya.  “Kalau sakit, kalau ada apa-apa, bilang sama Julian, Ta.” Tambah Sean lagi, menepuk-nepuk pelan belakang kepala Tanaya yang ia tidak tanggapi dan malah berlalu ke arah trolley dengan koper milik ibunya dan mendorongnya menjauh, berjalan mendekat ke arah pintu kepergian.

“Hati-hati ya, anak Mami.” Ucap Ivanna final, memberikan pelukan terakhir kepada anaknya, mencium pipinya singkat sebelum berjalan menjauh bersama Sean yang melambaikan tangannya kepada Tanaya dan Julian seiring dengan ia berjalan menjauh.

“Let’s go home, Tanaya.” Ajak Julian, menatap Tanaya yang masih saja memperhatikan figur ibu dan kakaknya yang semakin lama semakin mengecil dimakan jarak.

Kenyataan tiba-tiba membangunkan Tanaya dengan rupa suara Julian yang terucap lembut. Menghela napasnya panjang, this is it , pikir Tanaya dalam hati. Kemudian ia mengangguk pelan dan membalikkan tubuhnya berjalan berlawanan arah dari pintu kepergian dengan hati yang sedikit berat dan Julian yang mengikuti di sebelahnya. 

“Gue lagi pengen masak.” Ucap Tanaya tiba-tiba memecah keheningan di antara mereka. “Lo mau request apa?” Katanya melanjutkan, membuat Julian sedikit terkejut.

Julian hanya menatap Tanaya heran tanpa menjawab pertanyaannya yang langsung disadari oleh Tanaya. “Kenapa sih?” Tanyanya, menatap Julian dengan alis berkerut bingung. 

“You’re asking me?” Tanya Julian retoris, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Ya iya?” Kata Tanaya menyipitkan matanya heran.

Julian tersenyum begitu lebar dan cerah—matanya hampir menghilang di balik pipi yang terangkat ke atas. “I’ll just have whatever you want to make.” Jawab Julian.

Jawaban Julian selalu sama setiap kali Tanaya bertanya dan jelas respons Tanaya adalah memutar bola matanya malas, yang sebenarnya untuk menyembunyikan keinginan untuk membalas senyuman lebar Julian. “You have to bust out the wine again today, though.” Jawabnya, melanjutkan langkah kakinya menuju ke tempat mereka memarkirkan mobil.

Julian mengangkat bahunya tidak peduli, toh ia punya lebih banyak wine di rumahnya dibandingkan dengan air mineral. “I will even build a whole vineyard for you.” Balas Julian ringan.

Tanaya menghentikan langkahnya tiba-tiba, menatap Julian secepat kilat sebelum berkata. “Lo tuh beneran udah gila ya?”

Melihat ekspresi Tanaya yang menggemaskan, Julian otomatis tertawa. Menggoda Tanaya mungkin akan menjadi kegiatan favoritnya mulai hari ini—yang tanpa ia sadari sudah ia lakukan sejak pertemuan kedua mereka. “Just say the words and I'll take it from that.” Kata Julian lagi.

“Orang gila.” Tanaya berjalan sedikit lebih cepat—setengah berlari dari Julian yang segera menyusulnya sambil tertawa.

 


 

 

“Say, Julian” Tanaya menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa—setengah berbaring. Have you ever, like, peed in your seat? Tanya Tanaya sebelum menyesap wine -nya.

Sesampainya di rumah, Tanaya bergegas mengeluarkan daging untuk dipanggang di atas pan dengan bumbu yang sederhana. Julian tentu saja berinisiatif untuk membantu Tanaya membuat makan malam mereka, tetapi Tanaya menolak dan meminta Julian untuk menyiapkan wine saja dan alat makan. Tanpa diberi perintah, Julian menyiapkan juga cheese board untuk dinikmati dengan wine yang ia pilih malam ini.

Tidak ada obrolan berarti saat mereka menyantap makan malam, Tanaya lebih banyak diam dan fokus mengunyah serta sesekali menyesap wine -nya. Julian pikir mungkin Tanaya membutuhkan waktu untuk sendiri karena merasa sedih dan kosong selepas kepulangan ibu dan kakaknya ke Indonesia sebelum Tanaya beralih untuk duduk di sofa dan meminta Julian untuk menyusulnya dan membawakan cheese board yang tadi ia siapkan.

Julian tertawa sedikit lebih kencang dari biasanya, melemparkan kepalanya ke belakang—merasa aneh dengan pertanyaan laki-laki di sampingnya. “Weird question, Tanaya.”

Tanaya mengangkat bahunya dan menekukkan bibirnya ke bawah. “Masuk akal ga sih pertanyaan gue?” Katanya. With the level of heat and vibration, I just know that you’re fighting to hold your pee. Lanjut Tanaya. 

Ucapan Julian selanjutnya terdengar sangat menyebalkan di telinga Tanaya. “Heat and vibration, huh? Immersing yourself into the Formula 1 world, Tanaya?” Kata Julian sambil tersenyum congkak. 

Bukannya pertanyaan Tanaya adalah pengetahuan umum, ya? “That is common sense, Julian. Even a 5 year old knows that.” Kata Tanaya ketus. “We really can’t have serious conversation, ya?” Tanaya mendengus sebal, lalu menyimpan gelas wine-nya di meja sebelum mengambil sepotong kecil keju dan menyantapnya.

Julian tertawa lagi, menurutnya Tanaya benar-benar mempunyai tingkat kesabaran yang tipis. “I’m not one of the pee-ers. So, no, Tanaya. I have never peed in my car.”

Tanaya mengangguk-angguk mengerti walau di dalam hatinya ia tidak begitu mempercayai Julian. “But have you ever, like, wanted to pee when you race?” Tanya Tanaya sekali lagi, masih penasaran.

“Everytime.” Respons Julian cepat, mengangguk dengan alis yang dikerutkan. “So we have our engine behind us as well, it’s almost like a heated seat or a sauna in the back of you. The problem is for me there’s just a lot of nerves to pee.” Jelas Julian panjang lebar,  menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa—hampir meniru posisi Tanaya yang terlihat begitu nyaman.

Tanaya menatap Julian dengan mata yang melebar terkesima. “And you had to sit in there for like, what? Two hours?” Ia bertanya lagi, menginginkan validasi.

Julian menyetujui—tangannya mengambil sepotong keju kecil. “It’s different for every race, two hours is for Singapore GP, but it is more than an hour.” Jelas Julian, kali ini mengalihkan pandangannya kepada Tanaya. “ As you said, with the level of heat and vibration, of course it’s a challenge to hold your pee.” Goda Julian sebelum mengunyah keju.

Tanaya menggeram sebal. “Bisa diem gak?!” Katanya sedikit mengancam, menatap Julian yang berada di sisi kanannya dengan mata disipitkan, sebelum kembali menatap ke sembarang arah dan melanjutkan ucapannya. “Kayanya kalo gue bakal kencing sih. Is it common?” Tanya Tanaya penasaran.

“Uhuh, more than you could ever think.” Jawab Julian yang membuat Tanaya semakin tertarik untuk bertanya hal-hal tidak masuk akal yang terlintas di pikirannya saat ini.

Tanaya menghadapkan tubuhnya kepada Julian—masih dalam posisi setengah berbaring di sofa—memeluk lututnya dan memberikan perhatian sepenuhnya kepada Julian. “Emangnya ga haus ya? Gimana dong, lo selama race ga minum gitu?”  Tanya Tanaya penasaran.

“We have like a water tube that goes through our helmet, we drink from that.” Kata Julian dengan sabar menjawab segala pertanyaan yang diajukan Tanaya.

Tanaya membuka mulutnya sedikit, tercengang mendengar jawaban Julian. “Sumpah, helm lo itu isinya dunia ya, banyak amat pernak-perniknya.” Ceplos Tanaya yang membuat Julian tertawa lepas—sangat lepas.

“I have some of my old helmets in my room, you want to see them?” Tanya Julian, mengisyaratkan arah kamarnya dengan gerakan dagu.

Posisinya Tanaya saat ini terlalu nyaman, membuatnya tidak ingin bergerak walau hanya satu senti—jadi Tanaya menggeleng, menolak ajakan Julian. “Later.” Katanya. “Gue posisinya lagi enak banget.” 

Julian mengangguk setuju—tidak kalah nyaman pada posisinya sekarang. “We have forever anyway.” Ucap Julian.

“Lo tuh bisa gak ya, stop?” Tanaya protes, tidak bisa menyembunyikan lagi pipinya yang memerah—karena wine. Ya. Karena wine. 

Entah sudah berapa kali Julian tertawa malam ini, Tanaya adalah orang yang humoris menurutnya—atau mungkin karena ekspresi Tanaya yang menggemaskan. “I will try to reduce it.” Jawab Julian. “For you.” Lanjutnya lagi, mengganti tawanya dengan senyum manis.

Menyebalkan. Sangat Menyebalkan. Memutuskan untuk tidak menghiraukan Julian, Tanaya mengalihkan pembicaraan. “Terus lo selama race itu minumnya berapa banyak? Pasti haus banget ga sih? Kalo berhenti dulu gitu kan ga bisa, ya kan?”

Julian mengubah posisi tubuhnya menjadi duduk, mengambil selimut yang berada di meja sebelahnya dan memberikannya kepada Tanaya—yang langsung diterima dengan baik oleh Tanaya dengan balasan gumaman ‘thanks’ kepada Julian. Kemudian Julian mengambil wine-nya yang tadi ia taruh di meja sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dan menumpu lengan kirinya di sana.

“It’s usually around 1 to 2 liters. But again, it’s different for every driver, depending on their hydration level, their physique, the temperature and the humidity while also considering about the weight .” Mulai Julian, menyisip sedikit wine -nya sebelum melanjutkan. “Weight for us is performance. If we eat too much the week before it’s literally costing the team in some ways millions.”

Tanaya terdiam, tiba-tiba teringat sesuatu. “Lah terus waktu kita makan di DANIEL itu bukannya lo mau race ya? Where was it again—”

“—Brazil.” Sela Julian.

“Right, Brazil.” Tanya Tanaya.

Julian mengangguk. “Yeah.”

“Terus gimana? Lo naik ya berat badannya? Kan kita makannya banyak banget…” Suara Tanaya mengecil di akhir.

“Nah, let’s not talk about that.”

 “Kenapa sih emangnya? Lo waktu race di Brazil podium ga?”

“You know a lot, Tanaya. You’re a fast learner.”

“Kan emang, udah berapa kali coba gue kasih tau kalau gue pinter!”

“I am sure you are.”

“Jadi, podium apa engga?”

“Engga.”

“Oh. Yaudahlah. You can always try again next time.”

“You sound a lot like my boss.”

“Terus gimana kalo berat badan lo naik? Damn it’s so strict ya, it’s good though.” Tanaya menatap Julian lekat—sedikit mengantuk dan terlalu fokus mendengarkan penjelasan Julian.

“That can only mean extra weight for the car and that can lead to trouble for everyone on the team . So we try to reduce our water weight and try to drink the bare minimum because we have to carry extra weight on the car, it’s gonna cost us lap time.” Jelas Julian Panjang lebar, sesekali melihat ke arah Tanaya. “We need to find this extremely fine balance between hydrated enough for maximum performance but as dehydrated as possible to save on weight.” Julian mengakhiri penjelasannya.

“That’s hot.” Komentar Tanaya.

“Yeah it is, more than it seems, actually.”

Tanaya menggeleng. “No. I mean, You.”

Hening. Julian terpaku, tiba-tiba kehilangan seluruh kata di otaknya. Ia hanya diam menatap Tanaya yang juga sedang menatapnya sejak tadi.

“Do you realize that you talk a lot today?” Tanya Tanaya—Julian masih saja diam, tidak mengatakan satu katapun.

Tidak ada yang berbicara satu katapun diantara keduanya, saling bertatapan. Tangan Julian masih menggenggam erat gelas wine di tangan kirinya dan Tanaya diam memperhatikan air muka Julian.

Julian lah yang pertama kali memecah keheningan dengan berdeham pelan sebelum meneguk sisa wine di gelasnya. “That’s enough Formula 1 lecture for today. Let’s get to sleep, Tanaya, it’s late.”

“Kaget ya, gue bilang gitu?” Tanaya tersenyum congkak, merasa menang karena Julian tiba-tiba saja terdiam.

Memilih untuk merapikan alat makan di atas meja, Julian tidak menjawab pertanyaan Tanaya alih-alih berkata. “I’ll take care of the dishes, you can go to your room.”

“Gue juga bisa kali kaya lo.”

“Alright, champion, just go to sleep.”

“Okay.”

“Good night, Tanaya.”

“Good night, Julian. Thanks for the help with the dishes.”

Chapter 9: I'll Miss You

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Really, Tanaya?” Julian menatap tidak percaya kepada laki-laki yang kini duduk di lantai di seberangnya.

Tanaya hanya tersenyum tipis kemudian mengangkat bahunya ringan, ia lalu menggelar dua baju putih milik teman-teman barunya di atas meja sebelum membuka tutup spidol permanen berwarna hitam dan mengulurkannya ke hadapan Julian.

Julian mendengus pelan, “what the hell,” ia mengambil spidol dari tangan Tanaya, “ I didn’t expect you to pull this.

“People need to be ready 24/7, Julian.” Ucap Tanaya tersenyum manis, menatap Julian yang sedang menandatangani baju merchandise dari timnya.

“And these are…?” Tanya Julian, berpindah menandatangani baju selanjutnya.

Tanaya Tersenyum puas, “my friend’s.” Jawab Tanaya.

“Did you tell your friend that we—” Ucapan Julian disela.

“That we’re together?!” Tanaya menyela Julian cepat, sedikit meninggikan suaranya. “No! Engga lah! Udah gila kali kalo iya.”

“Right, of course.” Jawab Julian singkat, merapatkan bibirnya. “You don’t have to be so defensive, you know.”

Menggigit bibir bawahnya, Tanaya tiba-tiba merasa tidak enak mendengar jawaban dari Julian, “I'm just helping them out to get your sign. They’re your fans.” ia menjelaskan.

“Doing your job properly as my partner, huh?” Tanya Julian, ujung bibirnya naik ke atas membentuk seringaian yang menjengkelkan, menatap Tanaya yang pura-pura sibuk melipat kembali pakaian-pakaian yang baru saja ditandatangani Julian.

Sebenarnya Tanaya masih belum terbiasa dengan sebutan ‘partner’ yang bahkan ia lontarkan sendiri beberapa hari lalu atau fakta kalau keduanya sudah resmi bertunangan atas persetujuan masing-masing.

Hubungannya dengan Julian berangsur membaik setelah beberapa minggu Tanaya tinggal bersama Julian. Setiap pagi sebelum berangkat bekerja, keduanya selalu menyempatkan untuk sarapan bersama. Setelah Tanaya selesai dengan rutinitas lari paginya, ia akan pulang dan di kulkas sudah tersedia kopi untuknya yang Julian siapkan. Lalu Tanaya akan membuat sarapan sederhana untuk mereka berdua, kemudian Julian akan mengantarkan Tanaya ke kantor dan menjemputnya pada sore hari.

Tanpa sadar Tanaya dan Julian sudah membuat rutinitas yang sama-sama mereka nikmati. Tentu saja tidak luput dengan obrolan-obrolan kecil dan pertanyaan-pertanyaan aneh dari Tanaya mengenai istilah-istilah dalam F1 yang ia tidak mengerti dan juga komentar jahil dari Julian yang selalu dibalas oleh Tanaya dengan berapi-api.

Memutar bola matanya malas, Tanaya membalas, “I told you I'm doing it right, ‘ kan ?” Kata Tanaya berani, mendongak menatap kepada Julian yang juga sedang menatapnya.

Selama beberapa detik tidak ada yang bersuara, keduanya hanya saling tatap. Jarak di antara Tanaya dan Julian hanya terhalang oleh meja—kurang dari dua meter, tetapi seolah jaraknya lebih jauh dari itu. Seharusnya Julian tidak terpaku ketika mendengar jawaban Tanaya, karena ini bukan pertama kalinya Tanaya membalas ucapan Julian dengan berani.

Mengakhiri kontak matanya dengan Tanaya, Julian tersenyum miring. “I know.” Jawabnya. “I know you will.” Senyum Julian semakin lebar, menyandarkan tubuhnya di sofa.

Telinga Tanaya memerah, sampai kapanpun ia tidak akan terbiasa dengan Julian.  “What do you want for dinner?” Tanaya bertanya, mengalihkan pembicaraan. Mencoba mendinginkan tengkuknya yang terasa hangat.

“Salmon.” Julian menjawab dengan cepat. “I want salmon.”  

Tanaya tertawa mendengar jawaban Julian. “Cepet amat jawabnya.” Katanya. “Sashimi?”  

“Anything.” Jawab Julian, menegakan duduknya bersemangat.

“Okay.” Tanaya mengangguk, berpikir sejenak. “Salmon wellington?” Ia bertanya kembali.

“Call.” Julian tersenyum kembali.

Jika dihitung, mungkin sudah lebih dari dua puluh kali Julian memakan masakan Tanaya. Salah satu hal yang Julian sadari adalah betapa Tanaya begitu menyukai memasak. Selama mereka tinggal bersama, Julian tidak pernah sekali pun melihat Tanaya membeli makanan. Dia selalu memasak sarapan, makan siang, dan makan malamnya sendiri dan bahkan menyisihkan waktu untuk itu.

Saat Tanaya sibuk menyiapkan makan malam, Julian meninggalkan ruang makan sebentar untuk kembali ke kamarnya. Tak berselang lama, dia kembali dengan membawa beberapa merchandise timnya yang masih terbungkus plastik.

“For your friends.” Kata Julian yang mengundang tatapan bingung dari Tanaya saat ia melihat beberapa barang merchandise tambahan yang Julian bawa. 

“Buat apa? Kan mereka udah ada?” Tanya Tanaya bingung.

Julian mengangkat bahunya ringan. “To bribe them not to tell anyone that we’re together?”

Tanaya memutar bola matanya malas. “Kan gue bilang mereka ga tau. I don't plan on telling them either.” Balas Tanaya, memalingkan tubuhnya untuk kembali membungkus salmon-salmonnya dengan puff pastry .

 Alih-alih mendebat Tanaya, Julian memilih untuk memasukan barang-barang merchandise timnya ke dalam paper bag. “How many are your friends?” Tanyanya. 

“Four.” Jawab Tanaya tanpa membalikan tubuhnya, sibuk menyiapkan salmon wellington yang akan ia panggang. “Tapi yang fans lo cuma dua kayanya, I don’t know, I didn’t ask.”

Julian mengangguk setelah mendengar jawaban Tanaya, lalu kembali ke kamarnya untuk mengambil lebih banyak lagi merchandise . Kemudian membuka plastiknya satu persatu sebelum ia tandatangani lalu menyusunnya rapi ke dalam paper bag .

Tanaya yang sedari tadi sibuk menyiapkan makan malam mereka dan tidak menyadari apa yang sedang Julian lakukan terkesiap dramatis saat melihat empat buah paper bag dengan logo tim Julian. "Oh my god, they're going to ask me how close we are now that you've given them this much." Ucap Tanaya.

Julian tersenyum menyebalkan. “You have no choice but to tell them then.” Ucap Julian kemudian menghampiri Tanaya yang sedang mengoles bagian atas puff pastry- nya dengan kening telur. 

“We’ve talked about this, Julian.” Ucap Tanaya menghela napasnya, fokus dengan pekerjaannya mengoles puff pastry dengan kuning telur.

“I know. I’m just saying.” Julian menyandarkan tubuhnya pada kitchen set tepat di sebelah Tanaya, memperhatikan setiap gerakan Tanaya yang sedang memberikan sentuhan terakhir sebelum ia masukkan ke dalam oven . “Do you want to tell them though, someday?” Julian bertanya.

Tanaya menghentikan gerakan tangannya. “Maybe… Someday.” Jawabnya. “Someday.” Ucap Tanaya lagi, meyakinkan dirinya sendiri.

“We have forever anyway.” Kata Julian, menutup kalimatnya dengan senyuman. Julian tidak memberikan komentar apapun lagi dan hanya diam memperhatikan. Kemudian Tanaya memasukkan dua salmon wellington ke dalam oven yang tadi sudah dipanaskan lalu mengatur waktunya selama dua puluh menit.

“What time are you leaving tomorrow?” Tanya Tanaya, tangannya kini sibuk membersihkan meja yang dipenuhi dengan alat memasak yang baru saja ia gunakan. 

“Why? You’d miss me?” Tanya Julian usil.

Lagi-lagi Tanaya memutar bola matanya malas, tangannya masih sibuk membersihkan alat memasak yang tadi ia gunakan. “I mean, I need my personal driver to take me to the office, no?”  

“Fair enough.” Jawab Julian tertawa. “I can still drive you to the office though, my flight’s at 3.” Kata Julian.

Tanaya mengangguk. “Alright.” Jawabnya.

“I’ll miss you.” Ucap Julian tiba-tiba.

“Ew. Cringe” Tanaya mengerutkan hidungnya, tetapi telinganya berkata lain karena lagi-lagi memerah.

Julian terkekeh pelan. “I'm serious though, I’ll miss you, Ta.”  

Memang sudah beberapa kali Julian memanggil Tanaya dengan Ta ataupun Tata, panggilan dari orang-orang terdekatnya saja. Tanaya pikir panggilan itu biasa saja, tidak ada yang spesial sampai Julian yang mengatakannya. 

Telinganya memerah. “Tau sih, emang gue kan ngangenin banget orangnya.” Jawab Tanaya, berusaha menyembunyikan apapun yang bisa ia sembunyikan.

Julian tertawa renyah. “That, I agree.” Kata Julian kemudian berjalan ke depan kulkas dan membukanya.

“Uh uh.” Ucap Tanaya saat melihat Julian yang baru saja mengeluarkan carrot cake yang ia buat kemarin malam dari kulkas. “That will be your third slice today, Julian.” Ucap Tanaya, menyipitkan matanya menatap Julian. “Yang bener aja lo kan bentar lagi race. No .”

Salah satu hal yang membuat Tanaya bahagia adalah ketika makanannya disukai orang lain, tentu saja. Julian tidak pernah berkomentar apapun tentang masakan Tanaya, ia akan selalu makan dengan lahap tanpa meninggalkan sedikitpun makanan di atas piring. Setelah mengetahui fakta bahwa Julian dalam diet yang sangat ketat untuk kepentingan race -nya, Tanaya mau tidak mau menjadi memperhatikan jumlah makanan yang Julian santap setiap harinya.

“I will join your morning run tomorrow.” Jawab Julian, memberikan tatapan memohon kepada Tanaya.

“No.” Kata Tanaya tegas kemudian mengambil carrot cake dari meja mini bar dan menyimpannya kembali ke dalam kulkas.

“Pelit.” Kata Julian yang membuat Tanaya terkesiap dramatis.

“Oh my god, you’re really gonna do this?” Tanaya menatap Julian tidak percaya. “Ngomong Bahasa Indonesia just because I didn’t let you eat a cake?”  

Julian berjalan menjauh dari kulkas kemudian duduk di meja makan, melipat tangannya didepan dada. “You’re not my PT.” Katanya.

Tanaya menggeleng, mengikuti Julian duduk di meja makan. “At this point, I am.” Tanaya menyipitkan matanya, meniru Julian melipat kedua tangannya didepan dada. “Sumpah jangan kaya anak kecil deh, nanti gue yang disalahin kalo berat badan lo naik sekarang.” Katanya.

Menyerah, Julian kemudian melepas lipatan tangannya. “When you told me you'd do your job as my partner, this isn't what I had in mind."

Tanaya tersenyum miring. “What do you have in mind then?”

Meniru Tanaya, Julian tersenyum miring. Matanya menatap lurus kepada Tanaya. “Like calling you baby?”  

Masih belum menyerah dengan serangan Julian, Tanaya mempertahankan senyum miringnya. “Uhuh, and then?” Tanya Tanaya, menantang Julian.

“I don’t know. Kissing here and there, maybe?” Jawab Julian, menyerang Tanaya. Senyuman miringnya masih belum luntur.

Tanaya mengangguk. “Hugging and all that stuff, huh?” Jawabnya, masih tersenyum miring.

Julian menggigit ujung bibirnya. Shit. Pikirnya, ia kalah telak.

Keduanya terlibat dalam kompetisi saling tatap, tidak ada yang mau memalingkan pandangannya dari masing-masing. Suasana dingin malam hari London seolah tidak berarti karena baik Tanaya maupun Julian merasakan udara di sekitar mereka menghangat, merambat naik dari ujung kaki hingga ke setiap sisi tubuh.

Tidak ada yang bersuara ataupun bergerak sama sekali diantara keduanya, masih bersikeras untuk memenangkan lomba yang entah apa tujuan dibaliknya.

Tanaya akhirnya menyerah dan melepaskan tatapan matanya dari Julian ketika mendengar suara dentingan oven yang menandakan salmon wellington yang tadi ia panggang sudah matang. Tanaya berdiri dan mengeluarkan loyang berisi salmon wellington yang masih panas dan mengepul.

Setelah itu keduanya memulai makan malam mereka tanpa bersuara sebelum Julian yang pertama kali memecah keheningan. “Can I?”

Tanaya mengerutkan keningnya bingung. “Apa? Mau nambah lagi?” Tanya Tanaya.

Julian menggeleng. “Can I call you baby?”

Tidak siap dengan pertanyaan Julian yang tiba-tiba, Tanaya tersedak dan kemudian dibantu oleh Julian dengan memberikan air mineral. 

“Cringe banget sih.” Jawab Tanaya akhirnya setelah meredakan batuknya.

Julian hanya tertawa mendengar jawaban Tanaya, sebenarnya ia tidak mengharapkan apapun. Ia mengerti sepenuhnya kalau Tanaya berusaha untuk menerima keadaannya, tidak jauh berbeda dengan Julian.

Ucapan Tanaya selanjutnya lah yang kini membuat Julian tersedak.

“Boleh sih, terserah aja.” Jawab Tanaya, pipinya memerah.

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!

Chapter 10: I Don't Want to Exist

Notes:

Trigger Warnings : contain details of a panic attack, vomiting, trauma.
Reader discretion is advised.
Written in english.

Chapter Text

Tanaya's Monologue

Tanaya thinks that he is okay—obviously, since he's been off medication for two years—until he isn't. The realization comes in the form of a person, confirming that he's not as healed as he thought he was. He heard it too many times from his therapist that being fully healed means encountering the triggers of your trauma and feeling nothing, when it no longer bothers you, and when it becomes insignificant—Tanaya definitely doesn’t feel that way.

"Tanaya?" He hates the way his name slips out of the woman’s mouth—it sounds like an insult, like a nightmare.

Tanaya feels as if his chest is shrinking and the air has been taken out of his lungs. He feels as if he has been trapped in a small box, with the walls pressing closer and his body being squeezed smaller. Punishment comes in different forms, and maybe this is his—that peace will never dare to come near him.

"Tanaya, right?" The woman across from him calls again as she walks closer to his table. Tanaya doesn’t respond to that—he couldn’t.

Upon hearing his name being called again, Tanaya feels as if he isn’t here; he feels like he's suddenly 20 again—taken to a place where he doesn’t want to remember. He's suddenly in a tiny apartment in Queensland, watching his life flash right in front of him. His ears begin to ring, the back of his neck starts to sweat, his hands start to tremble, and he can’t feel the ground beneath him—he feels like he's floating.

One thing that Tanaya hates the most is not being able to control his own body. It happens a lot back then; he couldn’t comprehend what was going on. Tanaya hates it every time he feels as if he becomes smaller, and the world around him becomes too big. And now his head starts to feel lightheaded—and one small touch could make him disappear. He feels like he is nothing.

"It’s been a while, I didn’t expect to meet you here in London. What are you doing here?" The woman asked again despite Tanaya not responding to anything she said. The irony. Tanaya never wishes to meet her, he never even had the thought of her—no one wants to remember pain.

Running has always been Tanaya's favorite thing to do to hide from the world, but maybe he isn’t doing it right—he isn’t pushing himself hard enough. Because right now he can’t find himself running, running from any possible threat his mind could ever discover—from her, he finds himself unable to move his body. 

"Tanaya, are you okay?" Tanaya wants to tell her to shut up, to stop calling his name. He wants to shout at how ridiculous his name sounds when she says it. He wants to tell her to leave—but he can’t even say a word. Nothing comes out of his mouth.

The woman might have noticed the change in Tanaya's expression as she observed him closely. His face starts to lose color, and small drops of sweat appear on his forehead. Tanaya feels like he's dying. He can't breathe for a few seconds, and he feels as though his stomach acid is rising up into his throat, like he might vomit all of his organs.

With only one fully functioning brain cell left, Tanaya packs up his things without a word and makes his way to the restroom as fast as his feet can take him, ignoring the woman's confused stares as she tries to call his name a few times as he walks away from her.

Finding the nearest bathroom stall, he locks himself in and begins to vomit—emptying his stomach completely. It lasts longer than he had imagined—It's been a while since he felt like life was not meant for him, and maybe it would have been better if he were gone. Tanaya feels his nose stinging as he throws up everything from his stomach and his body starts to tremble. After what feels like forever, he finally sits himself on the dirty restroom floor, feeling his head throb as he tries to let the oxygen enter his lungs, breathing slowly—collecting any remaining sanity to avoid passing out.

It has been 6 years since the last time Tanaya saw her—2 years since he has been off medication. Tanaya thinks that he is fine, that everything is okay, and nothing scares him anymore, nothing can ever touch him—until he’s not.

The realization comes in the form of a person—and Tanaya doesn't want to exist.

He wants to disappear.

Chapter 11: Blind

Notes:

Trigger Warnings: Cheating, do not read if you're uncomfortable. Details of panic attack, vomiting, suicidal thoughts.
Content warning: implicit sexual content.
Reader discretion is advised.
Written in english.

Chapter Text

Brisbane, Circa 2017

Tanaya’s POV

Throughout his life, Tanaya never faced any difficulties. Everything was given to him before he could even voice what was on his mind. Being born into a wealthy and well-connected family had its perks, and never once did Tanaya beg for anything. Maybe it was because of the comfort he had, maybe it was because of the enormous amount of love he grew up with, or maybe it was entirely his fault that led to this.

Tanaya always believed that everything comes with consequences, and perhaps this was a sign that he had to stop trusting people too easily, as it could come back to bite him in the end. Tanaya was raised with so much love that he was ready to share it with the world, but it wasn't enough for him to get it from Dennis.

Love is blind, they said. And Tanaya always refused to believe all the bad things his friends used to tell him about Dennis. How could he not? God, Dennis was so kind and perfect, he was everything Tanaya could ever wish for and he was always ready to beg Dennis not to leave him.

Perhaps it was love that clouded Tanaya’s mind—causing him to overlook Dennis’s flaws. But God , Dennis was the one who brought roses for him every other day. Dennis was the one who waited in front of Tanaya’s class with lunch every single time. Dennis was the one who cuddled him to sleep when Tanaya missed home. Dennis was everything but a cheater. Dennis was never that—or so he thought.

It was chilly when Tanaya landed in Brisbane, he had returned home to Jakarta for a few days to visit his family. The moment he turned off airplane mode, a message from his friend popped up. Check this out. You might want to see it. Was the message alongside the link. An OnlyFans link, to be precise. Crazy how Maha thought that Tanaya was interested in watching porn—not the second after he got off the plane at least. 

Wtf Maha.

Just watch. Please. 

What? Right now? I was just getting off the plane wtf

Just watch it before you surprise Dennis by coming two days early.

What? What was that supposed to mean?

Watch. The. Video.

Fine. I’ll go to the restroom.

I’m sorry, Ta.

What? Wdym? Maha? Woy jawab gue.

Tanaya was a bit hesitant to open the link at first when Maha stopped replying to his messages. He mentally prepared himself for a second, put on his AirPods, and clicked the link reading the title of the video that said: 'Fucked My Gay Best Friend and Made Him Cum Inside of Me.'

Perhaps it was just a regular porn video, and Tanaya honestly didn’t know why Maha was so eager for him to watch it—not until Tanaya watched it at 00:43 and recognized the tattoo. The butterfly tattoo right in the middle of the man’s nape in the video—it was exactly like Dennis's, almost identical.

Tanaya repeatedly rewinds the video to see the tattoo more clearly, and he thought that maybe it was just a coincidence that the man in the video had the same tattoo as Dennis's. Right? It's possible for someone to have the same tattoo as your boyfriend—clearly, tattoos are not something personal. There will always be a possibility of having the same tattoo as someone else. Right?

Curiosity does kill a cat.

Tanaya refused to believe what he just saw and opened the account only to find more videos with similar titles, causing his hands to start trembling. ‘Fucked My Gay Best Friend Until He Turns Straight’ and ‘Ask My Gay Best Friend to Eat My Pussy’ also ‘Fucked My Gay Best Friend For 2 Hours Straight’. The more Tanaya scrolled through the account, the more his hands trembled and his heart started to beat a little bit faster.

No, no, no, no. It's not Dennis. It's not real.

He locked his phone hastily and rushed out of the small restroom stall only to face the mirror and see his terrible face. In a span of possibly five minutes, everything felt like it was taken away from him—yet he refused to believe it all. His mind raced, searching for any logical explanation, trying to deny what he had seen.

There is no way. It's not Dennis. It's not Dennis. It's not Dennis. It's not Dennis. It's not Dennis. Tanaya repeated the words in his mind. A silent prayer. A reassurance. A plea. A wishful thinking.

The drive back to his and Dennis's shared apartment didn't feel exciting anymore. Tanaya’s mind raced with conflicting thoughts, and it got worse bit by bit as he neared home. The once comforting and familiar route suddenly felt strange and scary—and Tanaya felt his chest tighten with anxiety.

As the taxi stopped in front of the apartment lobby, his heart started to pound faster. Taking a deep breath to steady himself, Tanaya grabbed his bags and luggage, slowly made his way to the entrance. Each step felt heavier than the last, and the thought of facing Dennis made his stomach twist. 

It was the longest time he had ever been in an elevator. A minute to reach his floor never felt so long. Each second felt heavier, as if his life was falling apart as the elevator climbed. Tanaya watched the numbers change slowly, praying with each passing moment. He prayed that everything was just his assumption and that it wasn't Dennis. It couldn't be Dennis.

It's not Dennis. It's not Dennis. It's not Dennis. Tanaya repeatedly prayed in his mind as he closed his eyes, waiting for the elevator to stop, and desperately wished for time to freeze. He tried to calm himself, reminding himself of all the reasons why it couldn’t be Dennis. When the elevator finally stopped and the doors slid open, Tanaya’s heart raced even more.

It was unusually quiet in the hallway, the kind of quiet that sends a shiver down your spine. There were no sounds of laughter from any rooms like there usually were—since the apartment was full of university students. It was too cold. Too silent. And it was ironic, really. Tanaya started to think that everything was mocking him, even lifeless objects like the apartment walls were lying ro him—as if they had been keeping secrets from him. It felt like he was the only one who didn’t know, like the world was conspiring against him.

His hands trembled more as he tried to enter the password to the door, needing to physically steady one hand with the other. Tanaya honestly didn't know what he was more scared of, the fact that Dennis was indeed the man in the video or the fear of Dennis leaving him. Love is blind, they said. And maybe Tanaya was always ready to be blind for Dennis. 

A-ah… Yes… Baby… Ah”

“Faster baby… A-ah… just like that, yes baby… ah…”

“...ah…”

“Aah… please… please… yes…”

Tanaya suddenly couldn't feel the ground beneath him. His ears started to ring, and there was a sharp pang in his heart—like an arrow. He felt as if a giant magnet was pulling him, making it impossible to even move his fingers. The sounds coming from the bedroom had never seemed so loud. He forced himself to move forward, and each step he took drove the arrow deeper. His heart beat even faster, and his whole body started to tremble. As he reached the door, his hand hesitated over the doorknob, shaking uncontrollably.

It was blinding—Tanaya noticed it first, even through a small crack. Maybe it was from the lighting; Tanaya was sure it was from lamps because the bedroom usually didn't have very bright lights. The sound of two people grunting and moaning was deafening, and Tanaya could barely comprehend what was happening when he opened the door wider because it was so bright. The two didn't even notice the door had opened and Tanaya standing there, his hands frozen in the air. 

It was Dennis.

It was Dennis.

Dennis was the man in the video.

There were cameras, lots of cameras. And big lighting, like the one you see in a studio. And there was Dennis. Naked, clearly. Pounding the woman to the point where she begged Dennis to go harder. Certainly fucking in the bed where Tanaya usually slept. In the bed where they slept every night. In the bed where they also fucked. In the bed that held memories of him and Dennis. In the bed that witnessed everything. In a room that belonged to him. In a room that belonged to them.

"Stop! Stop! Dennis!" The woman said, looking horribly mortified, finally noticing that there was someone else in the room beside them.

Dennis stopped moving. "What? Why?" He looked down at the woman, then followed her gaze to see Tanaya standing there.

“Naya? Naya!” Dennis said, quickly getting off her and standing up, frozen and at a loss for words. Naked. The woman quickly followed suit, grabbing whatever she could to cover her body. “Naya, I–”

Tanaya wanted to throw up. He started to feel lightheaded, and the only thing he could do was breathe slowly through his mouth—an immediate reaction to the room’s foul smell of sex. The situation was funny because Tanaya was just standing at the door while the other two panicked, trying to cover their bodies with whatever they could find. 

“Naya, I ca—” Before Dennis could finish his sentence, Tanaya stormed out of the room, walking fast—almost running towards the elevator.

Tanaya felt like his head could explode any second now. He felt a mix of overwhelming emotions—anger, betrayal, and confusion—that made him feel nauseous. Unable to process what he had just witnessed.

It was Dennis. 

It was Dennis.

Dennis was the man in the video. 

Dennis was cheating in the worst possible way, and it was by far the lowest a person can go. He wondered how long it had been going on, how many times Dennis had lied to him, how long he had been cheating. The thought made him feel even more nauseous, and the elevator wasn't coming fast enough. But time wasn't going to wait for him so without thinking, he bolted for the emergency stairs, running as if his life depended on it. He ran and ran, needing to escape from everything, needing to escape the world. 

Tanaya ran and kept on running. He didn't think of anything; he just ran. Ran as fast as he could. Ran as far as his body could take him. Ran until he couldn't feel his feet anymore. Ran until he couldn't feel anything at all.

When his body started to give out, Tanaya broke down in the middle of the road and vomited. He emptied his stomach completely, his face turning red as sweat dripped from all over his body. Tanaya couldn't help it—he started to cry. At first, it was just tears streaming down his face, but then it turned into a single sob, and soon he was crying loudly, almost screaming. He screamed for what he had seen, for what Dennis had done, for everything he had gone through, for pitying himself, for everything.

People started to approach Tanaya with confused stares and concerns, but he kept on screaming and crying. He didn’t even notice their presence, lost in his own world. He screamed until he couldn’t breathe anymore, until he couldn’t even feel his own body, until he couldn’t feel the ground beneath him. 

Love is blind, they said. And Tanaya had never agreed with that until today. Until he witnessed everything after being blind for months. Everything he thought he knew about love and trust had been destroyed, leaving him questioning everything he once believed in, leaving him questioning his worth.

And for the first time, Tanaya felt like death would be better than this; he felt like maybe death would bring peace. For the first time, Tanaya wished he were dead. He wished for death rather than witnessing what he had seen.

Love is blind, they said, and Tanaya agreed.

Chapter 12: I'll Be Here, Always

Chapter Text

Mata Tanaya terbuka lebar saat ia terbangun dari tidurnya dan mencoba untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, terengah-engah sambil mencerna apa yang sedang terjadi. Ia terbangun di tempat yang asing serba putih dan merasakan kepalanya berdenyut, lalu kesadarannya datang dalam bentuk panggilan namanya.

“Hey, hey, Tanaya, It’s okay. It’s okay. You’re okay.” Ucap seseorang di sebelahnya yang Tanaya sadari adalah Julian. Ia terlihat khawatir, tangannya bergerak untuk meraih kepala Tanaya dan mengusapnya perlahan sambil terus merapalkan kata it’s okay.

“Julian?” Tanya Tanaya memastikan, mengerutkan keningnya saat ia merasakan kepalanya berdenyut.

Julian mengangguk, menatap lekat wajah Tanaya. “I’m here.” Jawabnya, masih mengelus-elus rambut Tanaya.

Setelah menyadari bahwa ia berada di rumah sakit dan Julian berada di sampingnya, Tanaya mulai bernapas dengan tenang dan berusaha menetralkan detak jantungnya yang cepat. “What happened?” Tanya Tanaya, tidak mengingat apa yang terjadi sampai ia berakhir di kamar rumah sakit.

“You passed out at work.” Jawab Julian, mengingatkan Tanaya akan apa yang terjadi sebelum ia pingsan di kantor.

Oh.

Ingatan Tanaya kembali kepada hari ketika ia bertemu dengan perempuan itu, dan Tanaya menyadari bahwa mungkin ia belum sembuh sepenuhnya—ada yang salah dengan dirinya. Ya, Tanaya ingat bahwa ia tidak tidur selama hampir empat hari karena pikirannya bekerja terus-menerus dan membuatnya tidak bisa menutup matanya sama sekali. Ia juga tidak ingat kapan terakhir kali ia makan dan minum selain kopi. Kepalanya berdenyut hebat dan terasa sangat berat sebelum akhirnya ia pingsan saat hendak mengambil kopinya, entah gelas yang keberapa, di pantry.

Tanaya menghela napasnya dan menutup matanya kembali, salah satu tangannya yang tidak diinfus terangkat untuk menutup kedua matanya dengan punggung tangan. Ia masih merasakan tangan Julian yang mengusap lembut rambutnya dan ia berpikir kalau ia akan baik-baik saja. Ada Julian. Ia akan baik-baik saja.

Get some more sleep, I'll be here when you wake up.” Ucap Julian, masih mengusap lembut rambut Tanaya.

Ia tidak tahu sudah berapa lama sejak ia kehilangan kesadaran, tetapi yang Tanaya rasakan sekarang adalah tubuhnya begitu lelah dan ia butuh tidur. Tanaya tidak berkata apa-apa lagi tetapi tangannya meraih tangan Julian yang belum berhenti mengusap-usap rambutnya untuk ia genggam dan mengatur napasnya menjadi lebih teratur, bersiap untuk tertidur kembali. Julian membalas genggaman tangan Tanaya lembut, seolah memberikan Tanaya sedikit dari kekuatannya.

Untuk beberapa saat Tanaya menyadari kalau ia tidak sendirian lagi dan ia berharap akan selalu seperti ini. Semuanya akan baik-baik saja saat ia terbangun dari tidurnya nanti.

 


 

Tanaya merasakan sentuhan lembut di wajahnya dan mendengar namanya dipanggil berkali-kali. Ia mengerutkan kening, membuka mata perlahan dan yang pertama kali dilihatnya adalah Julian yang tersenyum lembut, rambutnya mencuat kesana-kemari, matanya yang terlihat sedikit lelah.

“Hey,” Sapa Julian yang hanya dijawab dengan dehaman oleh Tanaya. Julian kemudian membantu Tanaya duduk dan memberikan segelas air mineral untuk Tanaya kemudian mengatur posisi tempat tidur Tanaya agar lebih tegak.

“How long have I been asleep?” Tanya Tanaya, menghabiskan segelas air minumnya sebelum menyerahkannya lagi kepada Julian.

Julian melihat jam di tangannya sebelum menjawab. "They took you to the hospital at 2 PM yesterday, and you've been sleeping ever since."  

“A much needed sleep.” Gumam Tanaya sebelum menyandarkan tubuhnya pada kasur. “Aren’t you supposed to be in Bahrain?”

“How could I possibly be in Bahrain when I know you’re in a hospital, Tanaya?” Julian menjawab pertanyaan Tanaya dengan pertanyaan lagi, tangannya sibuk menyiapkan meja untuk Tanaya menyantap sarapan.

Tanaya mengangkat bahunya ringan lalu terdiam kembali. “Did you tell my family?” ia bertanya, tiba-tiba teringat dengan keluarganya.

Julian mengangguk mengiyakan pertanyaan Tanaya. “I told them as soon as I got the news yesterday. I told Nathan too, he was here last night.”  Tangannya masih sibuk menyiapkan sarapan untuk Tanaya.

Sedangkan Tanaya terdiam, menatap kosong makanan di hadapannya yang sedang Julian siapkan. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia makan dengan benar karena Tanaya selalu memuntahkannya kembali, yang ia konsumsi setiap hari adalah kopi dan minuman berenergi saja. Belum lagi kepalanya yang berdenyut setiap hari akibat ia tidak tertidur. Tanaya merasa seperti kembali ke umur 20 tahun dan bagaimana seolah hidupnya kembali berhenti disitu.

“Hey,” Panggil Julian. “You alright? Do you want me to call the doctor?”

Tanaya menggeleng, tersenyum tipis. Julian menatap Tanaya ragu, tetapi Tanaya malah mengulurkan tangannya meminta sendok untuk memulai sarapannya dan Julian menuruti.

Dalam hati Tanaya berharap agar kali ini perutnya menerima makanan yang ia makan karena ia sudah sangat lelah dan ia tahu kalau perutnya harus diisi. Tidak ada yang bersuara selama Tanaya menyantap sarapannya, Julian hanya memperhatikan sambil sesekali menawarkan air mineral kepada Tanaya. Setelah dirasa sudah cukup kenyang, Tanaya kembali menyandarkan tubuhnya ke kasur dan Julian membersihkan peralatan makannya.

”Lo mau nanya apa? Tanya aja.” Ucap Tanaya saat melihat Julian yang sudah kembali duduk di sebelahnya hanya diam dan menatap Tanaya dengan senyum tipis.

Julian menggeleng dan ia malah bertanya, “Do you want to sleep more?”

“Later.” Jawab Tanaya sambil menggeleng. “So… Tell me, champion, how’s the pre-season testing going?”  

“It was okay. The car was okay I guess.” Jawab Julian. “But there are still a few things that need to be fixed, we’re not quite where we want to be so we’re kinda busy.” Menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi, melipat tangannya.

Tanaya mengerutkan keningnya bingung. “Why are you here then? Aren't you supposed to be working?” Ia bertanya.

“How could I possibly be anywhere but here with you, Tanaya? You’re sick.” Jawab Julian, kini tidak lagi menyandarkan tubuhnya di kursi, mendekat ke arah Tanaya.

“Gue cuma pingsan, Julian.” Jawab Tanaya mengelak. “Don't be dramatic.”  

Tangan Julian bergerak meraih tangan kanan Tanaya untuk ia genggam. “From exhaustion and dehydration. You look really terrible. The doctor said you haven't been sleeping for days.”  

“Go see the mirror, Julian. You also look terrible.” Tanaya tersnyum, membalas genggaman tangan Julian. “Gue lagi banyak kerjaan aja kemarin.”

“Even on weekends? Really?” Julian menyipitkan matanya, tidak percaya dengan ucapan Tanaya.

“You also work on weekends, Julian” Katanya membalas Julian, tersenyum geli melihat ekspresi Julian. 

Julian tidak bisa membantah Tanaya kali ini, dia benar-benar kalah telak. "That’s it. I’m calling your boss.” kata Julian dengan nada final. Tidak tahu harus menjawab Tanaya bagaimana lagi, ia melepaskan genggaman tangan mereka berdua dan berpura-pura mengambil ponselnya dari saku celananya.

”Lebay.” Ucap Tanaya mendengus, memutar bola matanya malas. “Did you talk to the doctor? Gue boleh pulang kapan?”

Kondisi Tanaya jauh lebih baik dibandingkan tadi ketika Julian baru mendarat di London pada pukul empat dini hari. Kantung matanya tidak terlalu hitam lagi, dan wajahnya sudah tampak lebih berwarna.

“You can be discharged today if your condition is stable enough and you can continue to rest at home, get enough sleep.” Jawab Julian panjang lebar, kembali meraih tangan kiri Tanaya untuk ia genggam.

Telapak tangan Julian hangat walau sedikit kasar—mungkin karena latihan yang ia lakukan setiap hari untuk mempertahankan performanya saat balapan. “Okay.” Jawab Tanaya singkat.

“Okay.” Julian membalas.

”Okay.” Kata Tanaya lagi yang dibalas dengusan dari Julian. “Are you going to leave after I get discharged from the hospital?”

Julian mengerutkan keningnya. “Why would you always want me to leave?” 

Mengedikkan bahunya ringan, Tanaya menjawab, “I don’t know, the season has just begun. I don’t think you can be here, you know? You shouldn't be here.” Kini Tanaya hanya menatap ke arah tangannya yang sedang digenggam Julian.

“I’ll be here.” Ucap Julian, menekan setiap katanya, mengeratkan genggaman tangannya. “Always.”  

Tanaya merasa ucapan Julian mempunyai dua arti dan ia kembali menatap Julian yang juga sedang menatapnya lembut. “Thank you.” Ucap Tanaya, tiba-tiba merasa emosional.

“It's my job as your partner, no?” Kata Julian sambil tersenyum dan Tanaya mendengus, jelas saja Tanaya mengingat kata-katanya sendiri untuk Julian beberapa waktu lalu.

“Got anything you wanna ask?” Tanaya bertanya setelah tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka.

Tanaya sudah menawarkan Julian untuk bertanya dua kali dan Julian tahu kalau yang Tanaya maksud adalah bagaimana Tanaya bisa jatuh pingsan di kantornya dan tidak tidur selama empat hari. Julian jelas tahu penyebabnya bukan hanya karena banyaknya pekerjaan minggu itu ataupun karena kelelahan, tetapi ia memilih untuk menahan diri.

Jadi Julian bertanya. “Who’s Adrian Gennadi?” Tanyanya menatap Tanaya tepat di matanya.

Tidak menyangka Julian akan menanyakan pertanyaan itu, Tanaya jadi terdiam. “Hah?” Jawabnya, bingung.

”Who is Adrian Gennadi, Tanaya?” Ulang Julian, kali ini menyebutkan nama Tanaya dengan sedikit penekanan.

“How do you know Adrian Gennadi?” Tanya bertanya bingung, ia belum pernah menceritakan tentang teman-temannya di kantor kecuali teman-temannya dari Indonesia. Selain itu, Tanaya sama sekali tidak pernah menyebut nama Adrian.

“You're avoiding my question.” Julian menyipitkan matanya curiga.

Tanaya tersenyum miring, belum juga menjawab pertanyaan Julian. “What? You're jealous?”  

Keduanya masih saling menggenggam tangan, saling bertatapan. “What if I am?” Tanya Julian lagi, meniru ekspresi wajah Tanaya yang tersenyum miring.

Tanaya selalu menyangkal setiap kali ia memikirkan Julian dan betapa ia sangat merindukannya. Namun, dengan Julian yang kini berada di hadapannya, menatapnya sambil tersenyum, membuat Tanaya semakin merindukannya.

“Temen gue di kantor anjir, bos gue sih sebenernya, dia creative director.” Jawab Tanaya mengalihkan pandangannya dari Julian, kembali menatap kedua tangan mereka yang saling menggenggam.

Julian menundukkan kepalanya, menghalangi arah pandang Tanaya yang masih menatap tangan mereka, hampir menidurkan kepala di paha Tanaya. “Why did he take you to the hospital instead of James? Where's James?” Tanaya Julian.

Kini Tanaya menatap Julian bingung, baru mengetahui fakta kalau yang mengantarnya ke rumah sakit adalah Adrian. “Oh yang nganter Adrian? Gue kira Sabian atau Bang Evan.” Kata Tanaya. “Gue aja pingsan gimana sempet sih kabarin James.” Tambahnya lagi sedikit sebal.

Julian terdiam. “Okay, fair point.” Katanya, mengangkat kepalanya lagi menjauh dari pangkuan Tanaya dan duduk tegak.

Tanaya memutar bola matanya malas. “Ga jelas.” Katanya. “Terus lo dikabarin sama siapa gue masuk rumah sakit?” 

“Your friend called me from your phone. I think their name is Sabian? They said that you were taken to the hospital with Adrian driving.” Jawab Julian, mengingat seseorang yang berbicara kepadanya kemarin.

Tanaya membulatkan matanya. “Oh my god, he’s going to be dead. Dia kan ngefans banget sama lo.” Kata Tanaya, tertawa kecil memikirkan reaksi Sabian.

  “That actually got me thinking, do you have me saved as your emergency contact?” Tanya Julian.

Tanaya kembali menatap Julian yang saat ini sedang tersenyum menyebalkan. “Iya lah. Kan lo yang suruh.” Jawab Tanaya yang mengundang senyum Julian semakin melebar hingga mencapai matanya.

“What did you save my contact as? Your husband?” Julian bertanya sambil menaik-turunkan alisnya. 

Menyebalkan. “Partner.” Jawab Tanaya singkat lalu melepas genggaman tangan mereka dengan sedikit tenaga.

Julian tertawa melihat wajah Tanaya yang cemberut, lalu meraih tangannya dan menggenggamnya kembali. “Good.” Katanya. “Partner. Partner.” ulang Julian sambil tertawa kecil dan menunduk, menggambar pola acak di punggung tangan Tanaya.

Tanaya mendengus dan kembali menatap Julian. Kali ini lebih lama, mencermati setiap detail wajahnya. Memerhatikan bagaimana hidungnya berkerut saat senyumnya melebar, dan bagaimana matanya membentuk bulan sabit yang menatapnya dengan lembut. Sungguh menakutkan bagi Tanaya betapa cepat ia merasa bergantung pada Julian, bagaimana hidupnya berubah drastis dalam waktu singkat.

Tiba-tiba Tanaya merasa sedih, ia merasa beberapa hari ini emosinya benar-benar naik turun. Lalu dalam sekejap matanya mulai berkaca-kaca dengan air mata yang menggenang di kelopak matanya. Julian yang baru saja mengangkat kepalanya terkejut melihat Tanaya yang hampir menangis.

“Hey, hey, what’s wrong? Are you okay? Are you hurt?” Tanya Julian bertubi-tubi, panik. Kemudian berdiri, mendekatkan kepalanya kepada Tanaya sambil masih terus mengusap lembut tangan Tanaya.

Tanaya menggeleng dan membuat air matanya jatuh. “Can I hug you?” Tanaya bertanya, menatap Julian.

Mata Julian melembut, kemudian ia memposisikan dirinya untuk duduk disisi tempat tidur. “Oh baby,” Katanya, “of course.” Julian menyetujui, kemudian melepaskan genggaman tangan mereka sebelum membuka lengannya lebar, mempersilakan Tanaya untuk masuk ke pelukannya.

Tanpa banyak bicara, Tanaya memeluk leher Julian dan menghela napas panjang saat merasakan elusan lembut tangan Julian di punggungnya. Ia bisa merasakan hangatnya pelukan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, memberikan rasa tenang yang ia butuhkan beberapa hari ini. Aroma khas Julian yang selalu membuatnya nyaman tercium, semakin membuatnya enggan melepaskan pelukan tersebut.

Tanaya memejamkan matanya, menenangkan pikirannya yang dipenuhi banyak kekhawatiran dan ketakutan. Meyakinkan dirinya kalau tidak ada yang perlu ia takuti karena ada Julian. Ada Julian disisinya.

“Thank you.” Ucap Tanaya tiba-tiba di tengah keheningan. 

Julian tersenyum sebelum mengeratkan pelukan mereka. “I’ll be here.” Katanya. “Always.”

Chapter 13: Whispers in the Dark, Between Heartbeats

Chapter Text

Waktu menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh menit saat Tanaya dan Julian sampai di apartemen. Tanaya diperbolehkan untuk pulang hari ini dengan catatan ia harus beristirahat dengan cukup dan tidak melakukan olahraga yang terlalu berat untuk beberapa hari. Tentu saja mau tidak mau Tanaya harus mengikuti saran dari dokternya. 

Setelah pelukan yang mereka bagi tadi siang, Tanaya tidak banyak bicara dan Julian menghormatinya. Julian mengerti kalau Tanaya mungkin sedang memikirkan banyak hal yang tidak ingin ia bagi, jadi ia hanya diam dan menggenggam tangan Tanaya. Kemudian, Julian pergi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan dan pergi ke gym, lalu kembali pada sore hari untuk menjemput Tanaya pulang.

Keduanya memutuskan untuk segera mandi sementara makan malam mereka disiapkan oleh Mbak Lidya. Makan malam pun berlangsung tanpa ada yang berbicara, hanya ada suara garpu dan piring yang sesekali bergesekan. Tidak ada satupun dari keduanya yang bersuara untuk memulai obrolan. 

“I’m gonna go back to my room,” Julian membuka pembicaraan setelah menyelesaikan makan malamnya. “Don’t forget to take your medicine, okay?” Lanjut Julian sebelum menghabiskan air mineral di gelasnya dan beranjak dari duduknya.

Sebelum Julian sempat untuk berdiri dari kursinya, Tanaya menahannya dengan berkata. “Can I…”  

“Hmm?” Julian kembali duduk di kursinya, mengurungkan niat untuk berdiri, tetapi Tanaya tidak melanjutkan kata-katanya, jadi Julian kembali bertanya, “Is there something you need?”  

Tanaya belum melanjutkan lagi ucapannya, ia hanya menunduk menatap kedua tangannya yang ia mainkan. Julian sedikit banyak bisa membaca situasi kalau Tanaya sedang gugup.

“Hey,” panggil Julian, kini memberanikan diri untuk meraih tangan Tanaya untuk ia genggam. Julian berpikir untuk beberapa saat mungkin menggenggam tangan Tanaya akan menjadi kegiatan favoritnya. “What happened? Do you need something? Are you hurt?” Tanya Julian bertubi-tubi karena Tanaya masih saja diam.

Akhirnya Tanaya menjawab dengan gelengan. “Can you… ” Ucap Tanaya yang lagi-lagi tidak dilanjutkan.

“Can I…?” Ulang Julian, mengikuti kalimat Tanaya yang menggantung. “Baby, you have to say it so I know what’s wrong.” Julian sedikit menekan kalimatnya karena Tanaya belum juga menyuarakan keinginannya.

“Can you…” Tanaya membalas genggaman tangan Julian, tetapi masih menundukkan kepalanya.

“Hmm?” Julian mengangkat alisnya, menunggu Tanaya untuk melanjutkan kalimatnya.

“Can you sleep with me tonight?” Ucap Tanaya akhirnya, semakin menundukkan kepalanya tidak berani menatap Julian dan tidak ingin melihat reaksi Julian.

Tatapan Julian melembut, satu tangannya terangkat untuk mengelus rambut Tanaya yang setengah basah. “Of course.” Jawab Julian lembut, ia kemudian tersenyum sebelum tangannya turun untuk mengelus pipi Tanaya dan sedikit mengangkat kepalanya agar ia bisa menatap wajah Tanaya. “Only tonight? I don't mind sleeping with you every night if you want.” tambah Julian dengan senyum menggoda.

Tanaya melepas genggaman tangan mereka kemudian menjauhkan kepalanya dari tangan Julian yang mengundang tawa kencang dari Julian. “Nyebelin.” Tanaya hanya bisa mengucapkan satu kata itu karena pipinya mulai terasa panas.

Tawa Julian berlangsung sedikit lebih lama yang membuat Tanaya semakin merengut sebal. Kemudian Julian berdiri dari duduknya sambil menarik tangan Tanaya, mengisyaratkan untuknya ikut berdiri juga. Keduanya berjalan ke arah kamar Julian dengan tangan saling menggenggam—Julian tidak melepaskan genggaman tangan mereka—setelah Tanaya meminum obatnya.

“Tidurnya di kamar lo?” Tanya Tanaya, karena ia kira kalau Julian hanya akan menemaninya di kamarnya.

Julian mengangguk. “It can be your room too, if you'd like.” Ucap Julian tersenyum jahil, menatap Tanaya yang berjalan sedikit di belakangnya. “My room has the best view in this apartment, and it's bigger too. It can comfortably fit both of us.”  

Tanaya memutar bola matanya malas untuk menutupi kegugupannya. “Iya lah, kan master bedroom gimana sih.” 

Benar kata Julian, pemandangan dari kamarnya sangat indah karena berhadapan langsung dengan Big Ben dan sungai Thames. Kamar Tanaya terletak di seberang kamar Julian, sehingga pemandangan dari jendela kamarnya berbeda dengan yang bisa dilihat dari kamar Julian. Desain kamarnya hampir sama dengan kamar Tanaya, dengan semua ruangan di apartemen ini. Perbedaan yang cukup signifikan adalah lemari kaca besar dengan berbagai piala dan helm di sisi kanan ruangan.

Melihat helm yang berjajar, Tanaya berkomentar. “Ini ya?” Tanyanya, “Helm lo yang isinya dunia itu?” 

Julian tertawa lagi sambil mengangguk setuju atas ucapan Tanaya, sementara tangannya masih memegang tangan Tanaya. Ia kemudian mempersilakan Tanaya untuk duduk di sisi kanan kasurnya. Karena malu, Tanaya segera merebahkan tubuhnya dan menyelinap ke dalam selimut, menariknya hingga menutupi setengah wajahnya. Julian hanya mendengus ringan melihatnya, lalu pergi untuk menutup gorden kamarnya dengan remote dan mematikan lampu besar, menggantinya dengan lampu tidur di samping tempat tidurnya.

Julian membaringkan tubuhnya sedikit ke tepi tempat tidur, menjaga jarak dari Tanaya meskipun tempat tidurnya sangat besar dan dapat menampung hampir lima orang dewasa. Julian sebisa mungkin tidak mengganggu ruang pribadi Tanaya, tidak ingin melewati batasnya walaupun Tanaya sendiri yang meminta untuk tidur dengannya malam ini.

Untuk beberapa saat, suasana hening dan Julian mengira Tanaya mungkin sudah tertidur karena dia sudah minum obatnya tadi. Napasnya terdengar teratur dan Tanaya tidak bergerak gelisah ataupun terlihat tidak nyaman. 

“Julian.” Panggil Tanaya yang dijawab Julian hanya dengan dehaman. “Lo emangnya gamau tau gue kenapa bisa sampe gini?” Tanya Tanaya.

Julian mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap kepada Tanaya kemudian menggelengkan kepalanya. “I won't ask if you don't want to tell me.” Jawab Julian, “What matters most is that you get better.”

Tanaya mengerucutkan bibirnya sedih, menahan air matanya yang tiba-tiba mengenang di kelopak matanya. “Why are you so kind? Why are you so good to me?”   

Melihat Tanaya di ambang menangis, Julian menggeser tubuhnya lebih dekat dan menumpukan badannya dengan sikunya. “I have no reason not to be kind to you, Tanaya.” Jawab Julian.

Tanaya semakin ingin menangis mendengar ucapan Julian tetapi sebisa mungkin ia tahan. Setelah menenangkan diri beberapa saat, Tanaya memulai ceritanya. “Um… Let's say that I met someone last week, who um… reminds me of something really, really terrible.” Ucap Tanaya, mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap Julian dan menggesernya lebih dekat. 

Julian tidak mengatakan apapun tetapi tangannya bergerak mencari tangan Tanaya di balik selimut untuk kembali ia genggam, memberikan sedikit kekuatannya yang dibalas senyuman tipis oleh Tanaya.

“I was… I don’t know… I feel like I’m being reminded again of the… situation, I guess… and it triggers so many things in my mind. To the point I’m back to not sleeping again… it's just so bad I started to see things… I feel like I was there again… It makes me want to throw up just to think about it… and… and I was…” Lanjut Tanaya, mengeratkan genggaman tangannya dengan Julian. Menahan air matanya yang semakin lama semakin menumpuk di kelopak matanya. “Gue kira gue engga akan… triggered, you know. Because it’s already been 6 years, I thought I was way past that, I’m okay, I’m already okay, but guess I’m not.” Air matanya mengalir keluar dari kelopak matanya, membasahi bantal dan rambutnya.

Julian bergeming, tidak tahu harus berbuat apa dan Tanaya kembali melanjutkan ceritanya. “Lucu, soalnya waktu ketemu… Dennis… lagi setelah hampir 6 tahun aku… aku… engga kenapa-napa… aku engga triggered sama sekali…” Tanaya mulai terisak dan air matanya keluar tanpa bisa ia kontrol. “It's funny because I still can't… I still see Dennis as a good person, padahal Dennis sama besar salahnya sama… sama perempuan itu… padahal Dennis yang paling jahat…” 

Tangisan Tanaya semakin keras, membuat Julian mendekatkan tubuhnya lagi. Kemudian ia melepaskan genggaman tangan mereka dan meraih tubuh Tanaya untuk memeluknya. Kedua tangannya ia lingkarkan kepada tubuh Tanaya dan menepuk-nepuk punggungnya pelan untuk menenangkan tangisnya. 

“Tapi kenapa… kenapa otak aku masih bisa mikir kalo yang salah cuma… cuma… perempuan itu dan bukan dua-duanya… Dennis yang paling salah… tapi aku… aku… aku ga suka sama diri aku sendiri yang masih bisa mikir kaya gitu… aku ga suka sampe sekarang aku masih… sama aja kaya dulu… Lanjut Tanaya lagi, sambil terbata-bata di tengah tangisnya.

Respon Julian hanya berupa elusan di punggung Tanaya yang menenangkan, tidak ingin memotong cerita Tanaya dan hanya berniat untuk mendengarkan. Tangannya terus-menerus mengelus punggung Tanaya hingga tangisnya mereda.

Karena tidak mendengar satu patah kata pun dari Julian, Tanaya bertanya. “Kamu tuh ngerti ga sih aku ngomong apa dari tadi?” Tanya Tanaya yang otomatis mengundang tawa dari Julian.

“Now you're making me feel bad for laughing.” Julian menjauhkan kepalanya dari kepala Tanaya untuk menatap matanya. “Of course I understand, it's not like I can't speak Indonesian at all, Tanaya.” Ucap Julian yang kemudian mengusap air mata di sekitar wajah Tanaya. “Tanaya, it's okay. It's okay if you feel that way. It's okay if it takes a lot of time to heal. You are doing the best you can, and that's enough.” Tambah Julian di sela-sela usapannya.

Tanaya memejamkan matanya selama Julian membersihkan sisa air matanya, menikmati setiap sentuhan lembut dari tangan Julian walaupun telapak tangannya sedikit kasar. Saat Tanaya membuka matanya, Julian sudah lebih dulu menatapnya. Ada yang berbeda dari tatapan mata Julian yang Tanaya tidak tahu apa, yang pasti tatapan matanya masih terlihat lembut, penuh kasih sayang, kalau ia boleh berharap. 

“Can I…” Tanya Julian dan Tanaya hanya menjawabnya dengan dehaman kecil, nyaris seperti bisikan, takut jika Tanaya menjawab terlalu keras apapun ini akan hilang. “Can I kiss you?”  

“Tapi aku banyak ingusnya.” Jawab Tanaya yang membuat Julian lagi-lagi tertawa kencang. Perlu ada penelitian tentang bagaimana Tanaya selalu dengan mudah membuat Julian tertawa hanya dengan kehadirannya.

“I don't care.” Balas Julian, mengangkat alisnya sebagai bentuk pertanyaan lanjutan dan kali ini Tanaya menjawabnya dengan anggukkan persetujuan.

Sudah lama sejak Tanaya merasakan waktu seakan berhenti dan oksigen seperti ditarik habis dari pari-parunya. Tangan Julian berpindah dari pipinya ke tengkuk sebelum menarik kepala Tanaya mendekat dan memiringkan kepalanya kemudian menempelkan bibirnya di bibir Tanaya.

Bibir Julian lembut, sangat lembut sampai Tanaya tidak bisa memikirkan apapun selain Julian. Otaknya dipenuhi oleh Julian dan hanya Julian yang mulai menggerakkan bibirnya, mencium Tanaya lebih dalam. Tangannya mengelus lembut tengkuk Tanaya yang membuat tubuhnya merinding.

Tanaya membuka mulutnya sedikit mempersilahkan Julian untuk menciumnya lebih dalam lagi sementara tangannya ia bawa untuk mengelus punggung Julian. Julian dengan senang hati memperdalam ciumannya dan mendekatkan tubuhnya lagi kepada Tanaya, mengubah posisinya menjadi di atas Tanaya.

Ciuman yang awalnya hanya kecupan ringan berubah menjadi lumatan panas dengan Tanaya yang terus saja mempersilahkan Julian untuk memperdalam ciumannya, mengikuti ritme bibir Julian yang semakin lama semakin cepat dan menuntut. Tangan keduanya bergerak kesana kemari, mencari tumpuan untuk apapun itu.

Sampai akhirnya Tanaya yang pertama kali melepaskan ciuman mereka setelah mengeluarkan desahan yang tertahan karena kehabisan napas. Keduanya terengah, berlomba menarik oksigen sebanyak-banyaknya. Julian mengecup sekali lagi bibir Tanaya sebelum kembali membaringkan tubuhnya di sebelah Tanaya, merapikan rambut Tanaya yang berantakan sambil tersenyum.

Tidak ada kata canggung diantara keduanya, mereka sama-sama menikmati kenyamanan di setiap detiknya. Tanaya pun ikut merapikan rambut panjang Julian yang mencuat kesana kemari karenanya, mengelusnya lembut sambil tersenyum.

Tawa Julian kembali terdengar saat ia melihat Tanaya menguap, kemudian ia membawa Tanaya ke dalam pelukannya. “Let’s sleep.” Katanya.

“Will you have left by the time I wake up tomorrow?” Tanya Tanaya, merapatkan pelukannya di pinggang Julian. ia merasakan Julian mengecup rambutnya sebelum Julian menempelkan pipinya di kepalanya.

“Why do you always want me to leave?” Tanya Julian, menghirup wangi dari rambut Tanaya kemudian membenarkan posisi kepalanya agar lebih nyaman. “I’m not leaving without you, Tanaya. And you will be coming with me to Bahrain.”

Chapter 14: Coups de cœur

Chapter Text

“Okay, that wraps up our meeting for today. If there are no further questions, I'll go ahead and end the meeting.” Tanaya tersenyum kepada kamera di laptopnya, menutup rapat yang ia pimpin.

Tanpa Tanaya sadari, Julian telah bangkit dari sofa dan perlahan berjalan mendekatinya yang sedang duduk di meja makan. Setelah insiden Julian tiba-tiba muncul dengan membawa bunga dan setengah tubuhnya terlihat oleh kamera, Tanaya kembali melanjutkan meeting -nya yang berlangsung selama kurang lebih 40 menit. 

“I will not be available in the office next week as I am still abroad, but feel free to reach out if anything comes up. Thank you for your time, guys. Have a great rest of your day.” Ucap Tanaya final sebelum mengakhiri sesi Zoom Meeting -nya.

Sedetik setelah Tanaya menutup laptopnya, kepalanya tiba-tiba ditarik lembut menghadap ke atas dan Tanaya merasakan bibir lembut Julian di atas bibirnya. Untuk seseorang yang mengatakan tidak ingin melewati batasnya, kali ini Julian tampak sangat tidak sabar. Mungkin karena Tanaya sudah secara resmi menyatakan akan mencoba menjalani hubungan dengannya dan Tanaya sama sekali tidak keberatan.

Menurut Tanaya, apa yang baru saja Julian lakukan bukanlah sebuah ciuman, melainkan hanya sebuah kecupan. Jadi, begitu Julian melepaskan kecupan yang terasa terlalu singkat itu, Tanaya berdiri untuk menyamai tingginya dengan Julian dan tanpa ragu kembali menciumnya. Kali ini lebih lama dan lebih dari sekedar kecupan.

Tanaya berpikir ia akan menyukai kegiatan ini—berciuman dengan Julian—karena ya tuhan, Julian begitu pandai melakukannya. Seperti tadi pagi, setelah menyelesaikan sesi olahraganya dan kembali ke kamar mereka untuk sarapan pagi, Julian menciumnya cukup lama.

 Julian kemudian menarik pinggang Tanaya dengan satu tangan, mendekapnya lebih erat seakan tubuh mereka masih berjarak. Sebelah tangannya lagi ia gunakan untuk mengelus lembut pipi Tanaya, memperdalam ciumannya. Julian menjelajahi setiap sudut dan senti bibir Tanaya yang ia tahu menggunakan lip oil yang terasa manis di lidahnya.

Salahkan Tanaya yang sudah lama tidak menjalani hubungan apalagi berciuman dengan seseorang, tapi ia begitu menikmati ciumannya dengan Julian yang masih bisa dihitung jari sejak ciuman pertama mereka di apartemen. Benar apa yang dikatakan Sean, Tanaya memang perlu mulai percaya dan membuka hatinya untuk Julian, sebagai langkah awal dalam memulai lembaran baru dalam hidupnya. Because, God, it does feel good.

Tanaya mencium Julian tanpa banyak berpikir, tangannya ia bawa untuk menggenggam rambut Julian—sebagai pegangan, kakinya berjinjit karena Julian sedikit lebih tinggi. Ia lupa apakah ia pernah mengakui hal ini kepada dirinya sendiri atau belum, tapi Tanaya begitu menyukai figur tegap tubuh Julian. Lehernya yang kuat, bahunya yang tegap, punggungnya yang lebar. 

Julian memperdalam ciuman dengan menggunakan lidahnya dan memiringkan kepala agar bisa lebih mudah menjangkau bahkan sudut terkecil sekalipun dari bibir Tanaya. Tanpa sadar, keduanya sudah berjalan ke ujung ruangan, bergerak ke sana kemari tidak ada tujuan. Mereka terus berciuman hingga menabrak banyak barang di sekitarnya, lidah keduanya terus bermain dan saling berpautan. 

Keduanya masih belum ada yang mau melepaskan ciuman mereka, seakan berlomba siapa yang paling kuat menahan napasnya. Kedua tangan Tanaya terus mencari pegangan dan secara bergantian meremas tubuh Julian yang dapat dijangkau karena kakinya sudah tidak sanggup lagi menahan beban tubuhnya. Sedangkan Julian menahan beban tubuh Tanaya dengan sebelah tangannya dan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menarik kepala Tanaya lebih dekat untuk semakin memperdalam ciuman mereka.

Bibirnya sudah mulai terasa kebas dan bengkak, Tanaya merasakan air liur mereka yang bercampur mulai mengalir turun ke rahangnya. Saat Tanaya akhirnya melepas ciuman mereka, ia membuka matanya dan menyadari posisi mereka yang canggung di sudut ruangan, bersebelahan dengan guci yang lebih tinggi dari kepalanya. Keduanya tidak bisa menahan tawa dan merasakan betapa konyolnya situasi ini. Kemudian Julian menarik kepala Tanaya ke dekapannya, memeluknya lebih erat, sambil masih terus tertawa kencang. 

“Oh my god, this is so…” Ucap Tanaya yang suaranya teredam di pundak Julian, masih tertawa, sedikit canggung dengan situasi ini. 

“Why are you so eager? I’m not going anywhere.” Ucap Julian, meredakan tawanya. Kemudian ia membawa tubuh mereka untuk digoyangkan ke kanan dan ke kiri, mengecup ringan rambut Tanaya.

Tanaya memukul pelan punggung Julian. “Eh nyebelin banget ya, yang nyium duluan kan kamu anjir, laptop aku aja masih panas noh.” Kata Tanaya dengan nada kesal, bercanda. Ya, Tanaya sebenarnya mengakui kalau ia begitu… bersemangat.

“But you got up and kissed me longer, I initially just wanted to give you a peck.” Julian menjauhkan kepalanya untuk menatap Tanaya, kemudian merapikan rambutnya yang berantakan akibat ciuman mereka.

“What a great fucking liar.” Balaa Tanaya dengan menyipitkan matanya sebelum memutar bola matanya dengan malas. Ia tahu, meskipun ia tidak membalas ciuman Julian sebelumnya, Julian pasti akan menciumnya lebih lama dan lebih dalam juga. Jadi, bukan salahnya jika ia merasa tidak sabar dan mengambil inisiatif untuk memulai ciuman lebih dulu.

Julian tertawa lagi sambil mengeratkan pelukannya. Satu hal yang disadari Tanaya adalah bahwa Julian sebenarnya betul-betul menahan diri agar tidak melewati batasan yang Tanaya tetapkan. Nyatanya, setelah Tanaya mengatakan untuk mencoba hubungan mereka, Julian tidak ragu untuk memberikannya afeksi seperti memeluk dan menciumnya. Mungkin bukan hanya Tanaya yang berusaha untuk percaya dan membuka hatinya, tetapi Julian juga. 

“Let's go out for dinner.” Julian berkata, masih dalam posisi memeluknya. Suaranya sedikit tidak jelas karena ia berbicara dengan bibirnya yang dibenamkan pada rambut Tanaya.

“Kan aku mau pergi sama Jeremy, orang aku mau jalan-jalan terus beli street foods .” Kata Tanaya yang dibalas geraman tidak setuju dari Julian.

“Trust me, you're gonna love this one. I’ve booked us a private place, you can go hunt for street foods later.” Kata Julian, mengecup-kecup kepala Tanaya, kembali meggoyangkan tubuh mereka ke kanan dan ke kiri.

Tanya berdeham pelan, menikmati kecupan-kecupan kecil Julian di kepalanya. “Yaudah, iya.” Jawab Tanaya akhirnya.

“Not before we—” Ucapan Julian terpotong karena ia kembali mencium Tanaya.

Notes:

Halo! Ini cuma potongan narasi dari sosmed AU, you can check the full work on my twitter @catnetice
Enjoy!