Work Text:
Pandangan mata Tirta masih tertuju ke arah pergelangan tangannya yang berhias gelang manik mutiara dan jam tangan mewah hadiah ulang tahunnya yang ke 29, pemberian dari sang ayah. Gerak jarum yang menunjukkan tiap detik pun ia ikuti tanpa terkecuali, sesekali menghela napas panjang sambil menyembunyikan rasa kesalnya.
Coba saja ketemu dulu, ngobrol sebentar. Anak Ayi Meili ini cakep, sopan, smart pula. Siapa tahu cocok. Kan kita nggak pernah tahu bakal nemu jodoh kapan dan dimana.
Mama Pim emang paling jago kalo bikin alasan berkedok nasihat. Logis sih argumennya, tapi kan namanya perjodohan ya bisa saja dicocok-cocokkan supaya sesuai rencana.
Batin Tirta sembari mendengus sinis melihat sosok berpakaian super formal yang terdiam di hadapannya, masih diam berkutat mengetik serius dengan iphone terbarunya.
Tipikal anak sibuk idaman orang tua kebanyakan. Pasti lulusan sekolah bisnis antara Australia atau Amerika dengan gelar summa cumlaude, topik obrolannya berat dengan istilah-istilah berat dan teknis yang Tirta tak ingin mengerti.
Pokoknya membosankan lah.
Sesaat kemudian pikiran Tirta teralihkan oleh waiter yang hadir menyajikan macam-macam hidangan yang tak begitu familiar olehnya. Tirta paling sebel jika harus berada pada situasi yang super duper asing, tak menguntungkan bagi mentalnya saat ini.
Kalau saja ia bisa memilih sendiri tempat yang fancy namun masih terasa familiar, mungkin restoran Perancis atau Thailand lebih baik.
Tangannya memegang mangkok kecil dan sumpit dengan kikuk, seolah bingung harus memulai makan dari mana begitu dihadapkan dengan berpiring-piring potongan sayur, daging, mi, herbs, dan condiments yang serba terpisah.
“Terima kasih, Mas.” sahut pria di seberang Tirta dengan senyum manis yang dibalas dengan sapaan ramah oleh waiter mereka. Logat Jawanya kental sekali, pikir Tirta sambil menahan tawa, meskipun konon katanya lelaki ini sudah bersekolah di luar negeri sejak SMP dan baru kembali ke Indonesia setahun belakangan tapi nada bicaranya sesaat lalu benar-benar terdengar lokal.
“Tirta bisa makan yang pedes-pedes, ndak?” ujarnya memecah keheningan sambil mengisi mangkok kecil yang dipegangnya dengan racikan sayur, mi beras, daging, sedikit herbs dan beberapa sendok condiments ini-itu.
“Gue suka makanan spicy kok, biasa makan Thai food juga.” perkataan Tirta pun dijawab dengan senyum kecil si lawan bicara.
Wajah yang sedari tadi tampak serius membosankan sejenak berubah lebih menarik ketika lesung pipitnya muncul.
Jujur saja, Tirta harus setuju dengan kata Mama Pim tentang ketampanan pria satu ini. Ah, Sial.
Nampak beberapa potongan bird’s eye chili ditambahkan ke dalam sajiannya, lalu ia menyodorkan mangkok racikan tersebut ke arah Tirta.
“Coba diicip dulu, kalo ndak cocok bilang aja kurangnya apa. Ntar tak racikin yang sesuai seleramu.”
Tirta pun mengernyit skeptis. Ia tak yakin bahwa makanan tak familiar itu akan sesuai dengan lidahnya. Bahkan makanan kesukaan Tirta pun akhir-akhir ini tak bisa menggugah selera makannya.
Kedua pasang netra mereka pun saling pandang. Tirta tak bisa mengelak saat pria tersebut menggenggamkan tangan mereka pada mangkok kecil sajian, sorot matanya cukup optimis dan percaya diri untuk membujuk Tirta mulai makan.
Sesuap makanan yang nampak segar tersebut akhirnya Tirta rasakan. Tiap kunyah dipenuhi dengan tekstur yang renyah dan menyegarkan, indra pengecapnya pun dimanjakan dengan rasa manis, asam, pedas dan gurih yang berpadu sempurna.
“Enak tho? Makan yang banyak. Aku denger dari Ayi Pim, katanya Tirta ini suka lupa makan. Mumpung nemu yang cocok, ayo ndang dihabiskan.”
Tatapan matanya nampak begitu hangat melihat Tirta yang masih saja menikmati kumpulan rasa dalam makanan yang ia nikmati.
“Lo juga temenin gue makan dong…sorry, gue sampe ngga sopan gini belum ngajak kenalan.”
Sejenak Tirta meletakkan alat makannya dengan terburu, menyodorkan tangan halusnya untuk dijabat oleh telapak yang kokoh namun terasa nyaman menggengam jemarinya.
“Kuncoro Ciandra. You can call me Kun.”
