Actions

Work Header

He Shouldn't Know

Summary:

AU, TW: Abuse and Rape.

Diperlakukan kasar oleh para senior sudah menjadi makanan sehari-hari seorang Ultraman bernama Max, tapi yang paling parah adalah perlakuan yang dilakukan oleh mantan atasannya Max.

Chapter Text

Land of Light, tempat asal para Ultraman. Ultraman dikenal sebagai pelindung galaksi, mereka melindungi makhluk hidup lain dari serangan kaiju dan alien yang ingin menginvasi planet lain.

Di Silver Cross, ada seorang Ultra yang bernama Max. Di sekujur tubuhnya terdapat luka dan memar. Mother of Ultra, atau bisa juga dikenal sebagai Ultrawoman Marie, tengah mengobati Max.

"Max, bagaimana kau bisa terluka seperti ini?" Tanya Mother of Ultra.
Max terdiam sesaat, dia terlihat gugup ketika dia diberi pertanyaan seperti itu. "Aku... jatuh dari tangga. Lain kali aku akan lebih hati-hati."

Mother of Ultra sebenarnya tahu kalau Max sebenarnya berbohong, tapi dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh mengenai alasan sebenarnya di balik luka-luka itu.
"Baiklah, kalau begitu, kamu harus banyak beristirahat dan jangan terlalu banyak melakukan aktivitas fisik yang terlalu berat," saran Mother of Ultra. Max menunduk hormat pada Mother of Ultra, lalu berjalan keluar dari ruangan itu.

Setelah Max berjalan keluar dari Silver Cross, dia menghela napas berat. "Seharusnya aku katakan saja yang sejujurnya." Max memegang bagian lengan atasnya. "Tapi kalau aku katakan yang sebenarnya, aku pasti akan dipukuli lagi oleh mereka."

"Max."

Max menoleh ke arah sosok Ultra yang memanggilnya. "Xenon."

"Barusan aku melihatmu keluar dari Silver Cross. Apakah terjadi sesuatu padamu?" tanya Xenon.
"Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil saja," jawab Max.
"Apanya yang luka kecil? Badanmu memar begini dan lukanya cukup parah! Kau yakin kalau kau baik-baik saja?" Tukas Xenon.
"Aku tidak apa-apa, Xenon. Aku permisi dulu, masih ada yang harus kukerjakan," Max pun bergegas pergi, tidak peduli walau Xenon memanggilnya.

---------

Max kini berada di kantornya, menyelesaikan seluruh laporannya yang akan dia berikan pada Zoffy. Baru saja dia akan beranjak dari tempat duduknya, seniornya datang dan memberikan tumpukan tugas padanya.

"Apa ini?" tanya Max.
"Tugas untukmu, Max. Dan kau harus menyelesaikannya malam ini," jawab seniornya Max. "Tapi bukannya itu tugasmu? Kenapa harus aku yang mengerjakannya?" timpal Max.
Seniornya Max menatap tajam ke arah Max, seakan tidak terima dengan perkataan Max.

"Dengar ya. Aku ini seniormu, jadi sudah sewajarnya kamu mengerjakan apa yang disuruh oleh seniormu. Kalau kamu tidak mau mengerjakannya, akan kuadukan kepada atasanmu biar kamu dihajar habis-habisan," ancam seniornya Max. Max tidak berkutik, lalu dia menganggukkan kepala sebagai isyarat kalau dia akan mengerjakan tugas milik seniornya itu.

"Bagus. Itu baru Junior yang baik," kata seniornya Max yang melangkahkan kakinya keluar kantor, meninggalkan Max yang terpaksa mengerjakan tumpukan tugas milik seniornya yang tidak bertanggung jawab.

Time skip saat pagi,

Max sudah menyelesaikan semua tugas-tugasnya. Max sudah merasa lelah dan mengantuk. "Semoga saja tidak ada misi atau tugas apapun hari ini." Itulah yang dipikirkan Max. Max teringat kalau dia harus memberikan laporannya pada Zoffy. Dia pun mengambil laporannya dan membawanya keluar dari kantor.

Di tengah perjalanannya untuk menemui Zoffy, Max bertemu dengan Taro.

"Hai, Max!" sapa Taro.
"Ah, Taro-san! Selamat pagi," Max membalas sapaan dari Taro.
"Max, kamu baik-baik saja? Kamu terlihat lelah," kata Taro. Taro memperhatikan sekilas luka-luka di tubuh Max. "Max, kenapa dengan tubuhmu?"
"Aku tidak apa-apa, Taro-san. Cuma jatuh dari tangga saja. Aku baru saja mengerjakan tugas semalam, dan baru selesai tadi pagi," balas Max.
Tentu saja Taro tahu kalau Max berbohong. Karena menurut Taro, mana mungkin jatuh dari tangga lukanya sampai separah itu, kecuali kalau jatuh dari anak tangga ke-1051.
"Bukannya tugasmu cuma menyusun laporan untuk Zoffy. Bukannya tugas dari Zoffy tidak sebanyak itu? Atau jangan-jangan...," Taro tidak menyelesaikan kata-katanya karena Max yang langsung menyela pembicaraan Taro.
"Tidak! Bukan apa-apa. Aku harus cepat-cepat memberikan ini pada Zoffy-san," tukas Max.

Tiba-tiba Max merasa lemas, dan dia pun jatuh pingsan.

"Max!" Taro bergegas menghampiri Max yang tidak sadarkan diri. "Max! Ada apa, Max? Gawat, aku harus membawanya ke Silver Cross. Bertahanlah, Max! Akan kubawa kau ke Silver Cross!" Taro pun membopong Max ke Silver Cross.

----------------------------------------

"Aku tidak tahu apa yang terjadi, Max tiba-tiba saja pingsan," kata Taro.
"Ini sudah ke-34 kalinya dalam seminggu ini," kata Mother of Ultra menambahkan.
"Ini bukan pertama kalinya Max seperti ini. Aku pernah mendapati dirinya pingsan di tempat latihan," kata Leo.
"Aku juga pernah menemukan Max dalam kondisi tak sadarkan diri, hanya saja Max pingsan dalam keadaan penuh luka," kata Astra.
"Apa ada yang tahu kenapa Max bisa seperti itu?" tanya Mother of Ultra.
"Aku sudah menanyakan itu padanya setelah dia siuman, tapi dia tidak pernah memberitahukan yang sebenarnya," jawab Astra.

Max kini terbaring di Silver Cross dalam keadaan tak sadarkan diri. Tidak ada yang tahu kenapa kondisi Max seperti itu, karena Max memilih untuk menyembunyikan apa yang terjadi sebenarnya.

Chapter Text

Setelah sekian lama, akhirnya Max mulai siuman. Dia membuka matanya perlahan, dan mendapati dirinya berada di Silver Cross... lagi.

"Max? Kamu sudah sadar?"

Max menoleh ke sebelah kanan, dan dia melihat Xenon disampingnya.

"Xenon? Apa yang kau lakukan disini?" tanya Max.
"Sudah pasti menunggumu. Begitu Taro-san memberitahuku kalau kamu pingsan dan dibawa ke Silver Cross, aku segera menjengukmu," jawab Xenon.
"Oh begitu," kata Max. "Omong-omong, sudah berapa lama aku pingsan?"
"Sekitar dua hari," balas Xenon.

Max mengangguk, sebelum dia sadar dengan ucapan Xenon.

"APA?! DUA HARI?! AKU BELUM MEMBERIKAN LAPORANKU KEPADA ZOFFY-SAN!" teriak Max yang bisa saja mengagetkan semua Ultra yang ada di Silver Cross, bahkan Xenon juga kaget karena Max yang tiba-tiba berteriak.
"Max, kamu jangan khawatir. Taro-san sudah memberikannya pada Zoffy-san. Aku yakin Taro-san juga sudah menceritakan kondisimu pada Zoffy-san. Zoffy-san memang tegas, tapi kalau dia tahu tentang kondisimu, dia pasti akan mengerti," jelas Xenon untuk menenangkan Max.
"Begitu ya? Syukurlah," ujar Max, walaupun dalam hatinya, dia berharap atasannya bisa seperti Zoffy, tegas tapi penuh pengertian. "Tapi tetap saja..."

Tangan Xenon memegang bahu Max. "Lebih baik kau istirahat saja. Jangan memaksakan diri." 
"Baiklah. Terimakasih, Xenon, karena sudah menemaniku selama dua hari ini," kata Max, lalu dia membaringkan diri diatas kasur.
"Aku harus pergi, soalnya aku masih bertugas. Pokoknya kamu istirahat dulu, Max," kata Xenon.

Ketika Xenon sudah pergi, Max justru beranjak dari kasurnya. Dia tidak peduli dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Yang ada dipikiran Max adalah perasaan takut tentang hal yang bisa saja dilakukan oleh senior-seniornya dan juga seorang atasan kalau dia tidak menuruti apa yang mereka perintahkan. Max pun diam-diam berjalan keluar dari Silver Cross

Max sudah keluar dari Silver Cross dan bermaksud untuk pergi ke kantornya. Ketika dia akan mulai berjalan ke lokasi yang akan dia tuju, dia bertemu dengan Zero.

"Bukankah kamu Max?" Zero sudah melihat Max terlebih dulu. Max berusaha untuk mengabaikan Zero, tapi Zero sudah mencegatnya.

"Kamu mau kemana, Max?" tanya Zero.
"Bukan apa-apa," jawab Max sambil mengalihkan pandanganya dari Zero.
Zero, sama seperti Taro, memperhatikan beberapa luka dan memar di sekujur tubuh Max. "Harusnya kamu jangan pergi kemana-mana dulu. Lihat luka-luka ini! Perlukah aku membawamu ke...," Zero tidak dapat menyelesaikan kata-katanya karena Max yang menyela pembicaraan.

"Aku tidak apa-apa, Zero! Aku juga harus kembali ke kantorku, kalau tidak...," kata-kata Max terputus ketika Zero menatapnya dengan serius.
"Kalau kamu tidak mau istirahat di Silver Cross, lebih baik kamu istirahat saja di rumah. Biar aku antarkan," kata Zero.
"Eh, tidak usah repot-repot, Zero. Nanti kamu kena masalah," kata Max.
Zero berdecih. "Mana mungkin aku kena masalah hanya karena mengantar seorang ultra yang terluka pulang kerumahnya. Sudahlah, biar kuantar.

Mau tidak mau Max pun mengalah. Dia membiarkan putra dari Ultraseven untuk mengantarnya pulang.
Di tengah perjalanan, mereka dicegat oleh beberapa ultra yang merupakan senior-seniornya Max.

"Hei, Max. Darimana saja kamu?" tanya seniornya Max 1.
"Iya, tugasmu jadi menumpuk, Max," kata seniornya Max 2 menambahkan.
"Ma-maaf, aku akan mengerjakan semuanya segera," kata Max.

Zero mengeryitkan dahinya, lalu dia berbisik pada Max. "Max, mereka ini siapa?"
"Mereka senior-seniorku, Zero," jawab Max, berbisik pada Zero.

"Hei!" 

Max dan Zero pun menatap ke arah senior-seniornya Max

"Berapa lama kamu akan berdiri saja disitu, Max? Kau harus kembali ke kantor dan kerjakan semua tugas-tugasmu!" seru seniornya Max 2.
"Jangan lupa kerjakan tugas-tugas punya kita ya," ujar seniornya Max 3.
"Kalau kamu tidak mau, kami akan menghukum kamu," ancam seniornya Max 1 sambil mengepalkan tinjunya.

Max ketakutan. Zero yang melihat kejadian itu, merasa kesal.

"Kasih Max waktu untuk istirahat! Lihat dia! Kondisinya benar-benar parah seperti ini!" seru Zero yang berusaha membela Max.
"Heh, Zero! Kamu jangan ikut campur! Ini urusan kita dengan Max," kata seniornya Max 2.

Zero, yang kesabaran sudah mencapai batas, meninju salah satu seniornya Max. Membuat ultra tersebut terjatuh.

"Apa-apaan itu?" gerutu seniornya Max yang tidak terima ditinju oleh Zero.
"Mentang-mentang kalian seniornya Max, lalu menyuruh Max melakukan apapun yang kalian perintahkan tanpa mempedulikan kondisinya. Kalian memang brengsek," kata Zero sambil mengacungkan jari tengah kepada senior-seniornya Max.
"Kurang ajar!" Seniornya Max yang sudah menjadi korban tinju dari Zero pun bangkit dan ingin membalas perbuatan Zero, tapi ditahan oleh kedua rekannya.

"Jangan!" seru seniornya Max 1.
"Dia itu Zero, putranya Ultraseven dan muridnya Ultraman Leo. Kita bisa kena masalah kalau mereka berdua juga tahu tentang ini," kata seniornya Max 3.

Mereka hampir terlibat dalam sebuah perkelahian ketika Ultraman 80 datang dan melihat kejadian itu.
"Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut seperti ini?" tanya 80.
"Ah, 80-sensei! Begini, mereka...," Zero berusaha menjelaskan kejadian barusan, tapi Max menutup mulutnya.
"Tidak apa-apa. Ini hanya kesalahpahaman saja," jawab Max.
Zero tidak terima ketika dia mendengar jawaban dari Max. Dia pun melepaskan tangan Max yang menutup mulutnya. "Kenapa kamu menutup mulutku, Max? Mereka bertiga yang mulai duluan!"

80 berusaha untuk menenangkan keadaan. "Tidak apa-apa. Kesalahpahaman itu memang wajar. Oh iya, Max. Bagaimana keadaanmu?" ujar 80.
"Aku baik-baik saja, 80. Tapi aku harus kembali ke kantor. Banyak yang harus dikerjakan," jawab Max.

Zero kembali menatap Max dengan wajah cemberut. "Tidak, Max. Kamu tidak..."
"Sudah tidak apa-apa. Asal kamu ingat untuk istirahat saja," 80 menyela perkataan Zero. 

Max kini mengikuti senior-seniornya, meninggalkan Zero yang masih tidak percaya kalau Max harus mengikuti senior-seniornya yang kurang ajar itu.

"Zero, ayo ikut aku!" ajak 80 yang sejak dari tadi memperhatikan Zero. Zero masih kesal dengan para senior yang sudah mengancam Max. Dengan terpaksa, dia menuruti 80.

80 dan Zero kini duduk di sebuah bangku yang ada di taman. Zero masih kesal, terlebih lagi, dia kesal karena dia gagal untuk membela Max.

"Zero, mau sampai berapa lama kamu kesal seperti itu?" tanya 80.
"Bagaimana aku tidak kesal? Mereka menyuruh Max untuk melakukan apapun yang mereka minta, padahal kondisi Max tidak baik-baik saja! Apalagi mereka mengancamnya! Max juga tidak berbuat apa-apa! Dia hanya bilang kalau dia baik-baik saja, padahal kondisinya benar-benar tidak baik-baik saja!" omel Zero.
"Ya, Max memang tidak baik-baik saja. Tapi dia masih memaksakan diri untuk menuruti mereka dengan alasan tertentu. Itu menjelaskan luka-luka ditubuhnya," kata 80.

"80-sensei tahu itu?" tanya Zero.
80 menganggukkan kepalanya. "Aku tahu kalau Max berbohong tentang kondisinya, itu terlihat di matanya. Selain itu, perasaan takut itu juga terlihat di matanya," jawab 80.
"Kalau 80-sensei tahu, kenapa kamu tidak berbuat apa-apa?" tanya Zero.
"Aku percaya padamu, tapi kita perlu lebih banyak bukti dan kesaksian dari ultra lain kalau Max benar-benar diperlakukan kasar oleh mereka. Kita masih perlu lebih banyak waktu," jawab 80.

Sementara itu, senior-seniornya Max mempertemukan Max dengan atasannya.

"Halo, Max. Sudah dua hari aku tidak melihatmu," kata atasannya Max.

(Btw, ini settingnya sebelum Xenon jadi atasannya Max.)

"Tidak perlu bersikap seperti kamu peduli padaku," tukas Max dengan ketus. "Aku sudah lelah dengan perlakuanmu dan juga mereka. Aku tidak bisa terus begini."
"Dengar ya, Max. Kamu adalah bawahanku. Sudah kewajibanmu untuk menuruti apa yang diminta atasanmu," kata atasannya Max.
"Sudah cukup! Lebih baik aku keluar dari sini!" Seru Max.

Atasannya Max yang tidak terima Max membalas perkataannya, seketika raut wajahnya berubah. Dari senyuman yang terpampang di wajahnya, berubah menjadi kekesalan terhadap kata-kata Max.

"Oh, jadi bawahanku sudah berani melawan balik ya? Kalau begitu, biarkan atasanmu mendisplinkan dirimu," kata atasannya Max dan beranjak dari tempat duduknya. Dia sudah bersiap-siap untuk menghajar Max.

Di saat itulah, Max berada di situasi yang benar-benar gawat.

Chapter Text

Xenon baru menyelesaikan tugasnya ketika dia berencana untuk menjenguk Max lagi.

"Max pasti merasa kesepian di Silver Cross. Akan lebih baik kalau aku menjenguk dia lagi," batin Xenon. Tetapi di tengah perjalanan, dia melihat sesuatu yang ada di sebuah gang dekat dengan gedung yang Xenon lewati. Xenon berhenti sejenak dan memperhatikan sosok yang terbaring di gang tersebut.

"Bukankah itu...?" Xenon memperhatikan dengan seksama, dan ketika dia mengetahui sosok yang terbaring itu, Xenon dikejutkan oleh fakta kalau yang terbaring itu adalah...

"MAX!" seru Xenon, lalu dia menghampiri Max yang terbaring lemas di gang dengan tubuh dipenuhi dengan luka-luka yang masih baru.

"Max, kenapa kamu ada disini? Seharusnya kamu tetap di Silver Cross," kata Xenon sambil membantu Max bangun dengan posisi duduk.
"Xenon..., aku...," Max tidak punya cukup tenaga untuk mengatakan sesuatu pada Xenon karena luka-luka di tubuhnya.
"Diam dulu, Max. Biarkan aku membawamu kembali ke Silver Cross," kata Xenon, dan dia mengangkat Max dengan bridal style untuk membawa Max kembali ke Silver Cross.

Sesampainya di Silver Cross,

"Aku tidak percaya kalau Max pergi diam-diam dari Silver Cross," kata Xenon.
"Aku juga minta maaf, Xenon. Aku juga tidak tahu kalau Max diam-diam pergi meninggalkan Silver Cross tanpa sepengetahuanku," kata Marie.
"Entah apa yang dipikirkan Max. Kenapa juga dia harus pergi ketika dia belum pulih?" ujar Xenon.
"Berdasarkan dari hasil pemeriksaan dari luka-luka di tubuh Max, diperkirakan kalau Max pergi sekitar lima jam yang lalu dan ada kemungkinan kalau dia sempat berkelahi dengan Ultra lain," jelas Marie.

Xenon tercengang ketika dia mendengar hal itu. "Apa maksudmu dengan Ultra lain?" tanya Xenon.
"Luka di tubuh Max bukan disebabkan karena kecelakaan, tapi ini disebabkan oleh Ultra lain," jawab Marie. "Saya juga sempat curiga ketika Max selalu mengatakan kalau dia terluka akibat hal-hal sepele, padahal penyebab sebenarnya bukan karena itu."

Xenon bermaksud untuk menanyakan lebih lanjut ketika dia mendengar suara Zero.
"Oh, begitu? Syukurlah kalau Max sudah di Silver Cross lagi."

Xenon menoleh ke arah dimana posisi Zero berada. Zero tengah menanyakan kondisi Max pada salah satu Ultra yang bertugas di Silver Cross. Sebelum itu, Xenon mengucapkan terima kasih pada Ultrawoman Marie sambil membungkuk hormat padanya. Setelah itu, dia berjalan mendekati Zero.

"Zero, bisakah kita bicara sebentar?" tanya Xenon.
"Tentu," jawab Zero.

Mereka berdua memutuskan untuk berbicara di luar Silver Cross, dan Zero menceritakan tentang apa yang terjadi setelah Max diam-diam meninggalkan Silver Cross.

"Mereka melakukan apa?!" Xenon terkejut setelah dia mendengarkan apa yang sudah diceritakan Zero.
"Itu benar, Xenon. Aku juga tidak terima ketika mereka menyuruh Max untuk melakukan apapun yang mereka perintahkan, meskipun kondisi Max tidak begitu baik. Apalagi salah satu dari mereka mengancam Max. Kalau aku bertemu dengan mereka lagi, akan kuhajar mereka!" omel Zero.

Xenon menganggukkan kepala, lalu dia berpikir kalau mungkin itulah sebabnya Max tidak mau menceritakan kejadian sebenarnya.

"Satu lagi, Xenon. Sewaktu 80-sensei datang dan aku berusaha menceritakan kejadian itu, Max justru membungkamku dan mengatakan kalau dia baik-baik saja. Sepertinya ada sesuatu yang membuat Max takut kalau kejadian yang dia alami diketahui oleh ultra lain. 80-sensei yang bilang kalau ketakutan Max terlihat di matanya," kata Zero.
"Begitu ya," kata Xenon. 

"Sepertinya masalah Max cukup rumit," batin Xenon.

Sementara itu di Silver Cross, tepatnya di kamar tempat Max dirawat, Max mulai siuman dan dia membuka matanya pelan-pelan.

"Sudah bangun ya?" 

Max mendengar sebuah suara, tapi itu bukan suara Xenon. Max membuka matanya secara keseluruhan. Alangkah terkejutnya Max karena yang berada disamping kasurnya adalah atasannya, yaitu Ultraman Frost.

"F-Frost?" Max terkejut, membuatnya terbangun dari tidurnya dan menyandarkan punggungnya.
"Aku yakin kamu pasti sudah cukup istirahat. Jadi lebih baik kalau kamu bangun dan ikut aku sekarang," kata Frost sambil memegang pergelangan tangan Max dengan kasar.
"Lepaskan aku!" teriak Max.

Teriakan Max terdengar hingga ke lorong Silver Cross, dan teriakannya terdengar oleh tiga ultra, yaitu Tiga, Dyna dan Gaia yang kebetulan berada di Silver Cross.

"Siapa yang berteriak di Silver Cross?" tanya Tiga.
"Entahlah," jawab Gaia.
"Lebih baik kita hampiri," usul Dyna.

Tiga, Dyna dan Gaia segera berjalan menghampiri sumber suara itu. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan Frost yang menyeret Max dengan paksa.

"Tunggu dulu, bukankah ultra itu masih terluka ya?" tanya Gaia.
"Iya, kamu benar," balas Dyna.

Mereka bertiga berjalan mendekati Frost dan juga Max, lalu mencegat mereka.

"Hei, apa yang kamu lakukan?" tanya Tiga.
"Bukan apa-apa. Lagipula ini bukan urusan kalian," jawab Frost.
"Tapi dia masih belum pulih," kata Gaia.
"Lalu apa? Sebenarnya aku hanya ingin mengantarkan Max pulang. Itu saja," tukas Frost.

Dyna menoleh ke arah Max, dan dia melihat Max menggelengkan kepalanya. Dyna menganggap itu sebagai isyarat dari Max agar jangan langsung percaya pada Frost.

"Bohong! Lagipula, kamu tidak bisa mengajak seorang ultra yang terluka tanpa meminta izin pada Mother of Ultra!" Seru Dyna.
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Frost, lalu dia menatap tajam kearah Max. "Pasti kamu yang beritahu ya?"

Frost menggenggam pergelangan tangan Max lebih keras, dan bersiap untuk menghajar Max. Sebelum Frost sempat melayangkan tinju ke Max, Dyna sudah lebih dulu meninju Frost hingga Frost melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tangan Max dan terjatuh.

"Jangan coba-coba!" gertak Dyna. Frost terbangun sambil memegang pipinya yang terkena tinju dari Dyna. Frost pun berlari pergi meninggalkan mereka.

"Benar! Pergi saja kau dari sini!" bentak Tiga. Sementara Gaia membantu Max bangun.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Gaia. Max mengangguk. 
"Baguslah. Kalau begitu, biar kami antar ke kamarmu," kata Gaia. Tiga, Dyna dan Gaia pun mengantar Max kembali ke kamarnya.

Di kamarnya Max,

"Jadi namamu Max ya?" tanya Tiga.
"Bagaimana kalian tahu namaku?" tanya Max.
"Ultra yang barusan aku tonjok itu sempat menyebut namamu," jawab Dyna.
"Sebenarnya siapa ultra itu?" tanya Gaia.
"Namanya Frost. Dia itu atasanku," jawab Max.
"Jadi itu atasanmu? Tapi perlakuannya kepadamu itu terlalu....," Tiga menghentikan kata-katanya.
"Terlalu apa?" Max ingin tahu apa yang dipikirkan Tiga mengenai atasannya.
Tiga menghela napasnya sebelum dia mengucapkan satu kata, "abusif."

Max mengeryitkan dahinya.
"Maksudku, kalau dia atasanmu, harusnya dia mengerti kondisimu kan? Dia bersikap seperti tidak peduli pada kondisimu dan selalu memaksakan dirimu untuk melakukan apapun yang dia katakan," jelas Tiga.
"Aku tahu itu," kata Max.
"Kalau kamu tahu itu, kenapa kamu masih mau jadi bawahannya?" tanya Gaia.

Baru saja Max akan menjawabnya ketika dia mendengar suara pintu yang terbuka.
"Max?" Xenon memanggil nama Max dan dia dikejutkan oleh tiga ultra yang bersama dengan Max.
Max yang menyadari kehadiran Xenon pun segera memberitahu Xenon. "Tidak apa-apa, Xenon. Mereka bertiga adalah temanku."

"Sebenarnya baru kenal sih," tukas Dyna.
"Begitu ya. Kalau begitu, terimakasih karena sudah menemani Max," kata Xenon.

Tiga berjalan menghampiri Xenon, lalu menyentuh pundak Xenon sambil berbisik padanya. "Xenon, bisakah kita bicara sebentar?"

Tiga dan Xenon kini berada di lorong Silver Cross, di luar kamar Max. Tiga juga menceritakan hal yang telah terjadi di Silver Cross ketika Xenon tidak ada.
"Jadi itu yang terjadi," kata Xenon dengan wajah datar, walaupun dalam hatinya, dia merasa geram setelah mendengar kejadian itu. Xenon mengepalkan tangannya sebagai wujud kekesalannya pada Frost, atasannya Max.

"Itulah yang terjadi. Dan aku merasa kalau Max tidak bisa lama-lama di Silver Cross tanpa siapapun yang menemaninya," kata Tiga.
"Sebenarnya aku bisa saja menemani Max, tapi kalau ada tugas dan misi...," ucapan Xenon terhenti.
"Kalau kamu mau, kita bisa bantu. Kalau kamu ada misi, jadi salah satu dari kami bisa menemani Max," usul Tiga.
"Maaf ya. Kalau seperti ini, aku jadi merepotkan kalian, "kata Xenon.
"Tidak apa-apa. Lagipula kita kan juga sudah menjadi temannya Max," kata Tiga. 

Semenjak kejadian itu, mereka berempat sering bergantian untuk menjaga Max. Xenon juga bersikap biasa saja seolah-olah dia masih belum mengerti tentang masalah Max.

Hingga suatu ketika,

"Gawat! Hari ini aku dapat misi!"seru Dyna.
"Aku juga dapat misi," kata Gaia.
"Aku juga," kata Tiga.
"Sebenarnya aku juga dapat misi, tapi aku tidak bisa meninggalkan Max," kata Xenon.
"HUA! Bagaimana ini? Tidak ada yang menjaga Max kalau begini caranya!" gerutu Dyna.

Max tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka. Max membuka pintu kamarnya, lalu berbicara pada mereka.

"Kalian dapat misi? Lebih baik kalian pergi saja kalau misinya memang penting," kata Max.
Xenon, dan juga Tiga, Dyna dan Gaia menoleh ke arah Max. Mereka tidak percaya dengan yang dikatakan Max.

"Tapi, Max...,"

"Tidak apa-apa. Lagipula, sebentar lagi aku akan pulih. Kalian jangan khawatir," kata Max.
"Max, kamu yakin? Aku juga tidak tega buat meninggalkan kamu," kata Xenon.
"Tidak apa-apa, Xenon. Aku akan baik-baik saja," kata Max.

Dengan berat hati, mereka berempat meninggalkan Max untuk menjalankan misi mereka.

Setelah keempat temannya pergi, Max pun diam-diam pergi meninggalkan Silver Cross. Meskipun begitu, Max tidak ingin pergi ke kantornya, melainkan dia ingin pulang kerumahnya. Max tahu kalau Frost bisa saja datang lagi, jadi dia memutuskan untuk lebih baik pulang kerumahnya dan mengunci semua pintu dan jendela. Setidaknya sampai Xenon pulang dari misinya.

Disisi lain, Zero bersama dengan Cosmos ketika mereka berdua melihat Max.

"Max? Kenapa dia tidak di Silver Cross? Apa dia tidak takut kalau dia bertemu dengan senior-seniornya lagi?" gerutu Zero.
"Bagaimana kalau kita ikuti dia?" Usul Cosmos.
"Ide yang bagus," ujar Zero.

Zero dan Cosmos pun mengikuti Max untuk memastikan agar Max tidak bertemu dengan senior-seniornya, ataupun kembali ke kantornya.

Selama mereka mengikuti dan mengawasi Max, mereka menyadari kalau Max tidak berjalan menuju kantornya.

"Pasti dia mau pulang kerumahnya," kata Zero.
"Kalau itu yang dia inginkan, itu bagus," kata Cosmos.

Baru saja mereka bernapas lega, tiba-tiba Max dicegat dan ditangkap oleh senior-seniornya Max. Max yang menyadari kehadiran senior-seniornya pun memberontak dan melawan balik, tapi kekuatannya tidak seimbang dengan kekuatan ketiga seniornya karena kondisi Max yang belum pulih sepenuhnya. Max pun diseret ke suatu tempat oleh mereka bertiga.

Zero dan Cosmos yang menyaksikan kejadian itu, segera mengikuti mereka.

Max dibawa ke sebuah tempat. Sepertinya sebuah bangunan tua. Max dibawa masuk ketempat itu.

Zero dan Cosmos mengikuti mereka, tapi ketika mereka akan masuk, pintunya sudah terkunci.

"Sial! Terkunci!" umpat Zero.
"Zero, bagaimana kalau kita mengintip lewat jendela?" usul Cosmos.
"Oke, asal jangan ketahuan mereka," kata Zero.

Mereka berdua lalu mengintip lewat jendela. Mereka memastikan agar tidak ada satupun dari senior-seniornya Max yang menyadari kehadiran mereka.

"Wah, Max. Sudah lama tidak bertemu," kata Frost.
"Aku tidak bertemu denganmu selama lima hari, Frost. Jangan berlagak seperti kamu peduli padaku," kata Max.
"Kamu masih marah soal kejadian waktu itu? Itu hanya salah paham, Max," tukas Frost.
Max memalingkan wajahnya dari Frost.
"Hei, jangan palingkan wajahmu dari atasanmu!" Salah satu seniornya Max menendang Max hingga dia terjatuh.

"Jangan kasar padanya. Lagipula, dia adalah bawahanku. Bersikap baik padanya," tegur Frost.
"Kau bicara seperti itu, padahal kamu juga sama saja dengan mereka," tukas Max.
"Bukan, lebih tepatnya senior-seniormu ini mengikuti apa yang kukatakan. Kau tahu kan kalau seorang junior harus menuruti seniornya, dan seorang bawahan harus menuruti atasannya," kata Frost.

Max berusaha untuk bangkit ketika Frost berjalan mendekatinya, lalu mencengkeram leher Max. "Sebagai atasanmu, aku harus menjagamu dari para ultra payah itu," kata Frost.
Max meronta-ronta agar Frost melepaskan cengkraman tangannya dari lehernya. "Selama aku bersama mereka, aku tersadar kalau seharusnya aku menjauhimu. Setidaknya mereka lebih peduli padaku, terutama Xenon."

"Xenon? Jadi kamu lebih memilih bersama dengan ultra payah itu daripada atasanmu?" Frost menatap Max dengan perasaan terkejut dan tidak percaya dengan perkataan Max.
"Xenon bukan ultra payah! Dia temanku! Dia selalu ada untukku, meskipun aku tidak pernah mengatakan yang sejujurnya padanya! Xenon adalah temanku yang sangat mempedulikan diriku!" Seru Max.

Frost mulai merasa kesal karena Max sudah mulai tidak mematuhinya lagi.
"Jadi bawahanku yang setia dan penurut ini sudah berani melawan ya? Kalau begitu, biarkan atasanmu ini mendisiplinkan dirimu," kata Frost. Lalu dia melepaskan cengkraman tangannya dari leher Max. Setelah itu, dia memegang bagian belakang leher Max dan menyeretnya hingga mereka mendekati sebuah wadah yang terisi penuh oleh air. Frost melepaskan bagian belakang leher Max, lalu beralih memegang bagian belakang kepala Max dan membenamkan kepala Max ke dalam air.

Max meronta-ronta. Dia kesulitan untuk bernapas. Namun, Frost justru membenamkan kepala Max lebih dalam kedalam air.

Senior-seniornya Max, termasuk Zero dan Cosmos yang melihat kejadian itu, merasa kasihan pada Max.

"Frost-san, bukankah itu sudah kelewatan?" tanya salah satu seniornya Max. Perasaan empati mulai terlihat di wajahnya.
"Diam kamu! Ini hanya caraku sebagai seorang atasan untuk mendisiplinkan bawahanku," jawab Frost.
"Tapi tidak seperti itu!" Teriak seniornya Max yang lain.
"Kalian juga mulai melawan ya? Sebaiknya kalian pergi sebelum aku melakukan hal yang serupa pada kalian!" ancam Frost. Ketiga ultra senior itu ketakutan dan mereka pergi meninggalkan Frost karena mereka tidak ingin merasakan hal yang sama.

"Kurang ajar!" Zero merasa geram. Dia bermaksud untuk memecahkan jendela itu dan langsung masuk melewati jendela itu untuk menghajar Frost, tapi Cosmos menahannya.
"Jangan, Zero! Kita tidak boleh mengambil tindakan seenaknya! Lebih baik kalau kita laporkan ini pada Ultra Brother," kata Cosmos.
"Baiklah, tapi kita harus cepat! Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan di brengsek itu pada Max setelah ini," kata Zero.

Zero dan Cosmos pun pergi untuk melaporkan kejadian itu pada Ultra Brother.

Tanpa mereka ketahui, Frost baru akan memulai perbuatan paling mengerikan pada Max.

Chapter 4: 🔞

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

"Kemana Zero? Padahal hari ini dia harus latihan," gumam Astra. Astra tengah mencari Zero karena hari ini adalah jadwal latihan Zero. Astra mencari Zero hingga dia mendekati sebuah bangunan tua. Astra mendengar suara seperti suara-suara pukulan dan benda-benda yang jatuh. Awalnya dia mengira kalau Zero yang berada di dalam bangunan tua itu, mengingat kalau Leo pernah menceritakan pada Astra tentang perilaku aneh Zero selama dia melatihnya. Leo mengatakan kalau Zero berlatih dengan penuh emosi seperti ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tapi Zero enggan menceritakannya pada Leo.

Astra berpikir kalau perilaku Zero ini ada hubungannya dengan masalah Max. Dia teringat kalau Max pernah berbicara dengannya tentang masalah yang dia alami, tapi tidak pernah lagi setelah atasannya Max yang bernama Frost memergokinya dan segera menyeretnya, menjauhkan Max dari Astra. Satu-satunya hal yang diingat Astra ketika dia berpisah dengan Max hanyalah satu kalimat.

"Aku akan baik-baik saja, jadi jangan khawatir tentang aku."

Setelah itu, Astra tidak pernah lagi berbicara dengan Max. Kalaupun dia bertemu dengan Max, Max akan segera mengabaikannya, walaupun Astra memanggilnya. Satu-satunya momen ketika Astra melihat Max lagi adalah ketika dia menemukan Max dalam kondisi tidak sadarkan diri dan tubuhnya yang dipenuhi luka-luka. 

Astra berniat untuk mengecek bangunan tua itu karena dia berpikir kalau itu mungkin Zero yang sedang melampiaskan kekesalannya karena suatu hal. Ketika Astra mencoba untuk membuka pintu, ternyata dikunci! Astra pun berpikir untuk melihat situasi terlebih dahulu dengan mengintip lewat jendela.

Ternyata dugaan Astra salah! Kini dirinya telah menjadi saksi dari kejadian yang mengerikan.

Max telah dihajar habis-habisan oleh Frost. Tubuhnya yang sebelumnya hampir pulih, kini kembali dipenuhi oleh luka-luka baru. Badan Max juga dipenuhi memar-memar di sekujur tubuhnya.

"Sekarang tahap terakhir untuk mendisplinkan bawahanku," kata Frost.

Frost memulainya dengan menjilat mulut Max dan kedua tangannya menyentuh seluruh tubuh Max tanpa persetujuan dari Max. Frost melanjutkan perbuatannya dengan menggigit leher Max, membuat Max mengerang.

"Ngg..., Frost-san, j-jangan...," larang Max dengan lirih.

"Jangan apa? Maksudmu jangan ini?" Frost memegang bagian privat Max dan menggosoknya dengan tempo yang sangat cepat, lalu dia memasukkan jarinya kedalam lubang milik Max. Max tidak terima dengan perbuatan Frost, tapi Max tidak bisa melawan karena rasa sakit di sekujur tubuhnya. Max terbaring dengan pasrah, dengan air mata mengalir membasahi pipinya.

"Tahap selanjutnya...," Frost memaksa Max untuk membalikkan badannya hingga posisi Max membelakangi Frost, lalu Frost memasukkan bagian privatnya kedalam lubang milik Max. 

"J-jangan...," desah Max dengan suaranya yang lirih. Tetapi Frost tidak peduli, dia pun menggerakkan bagian privatnya di dalam lubang milik Max dengan tempo yang cepat.

Max mengerang, tapi dia sudah tidak punya tenaga untuk berteriak, apalagi melawan. Dia tidak merasakan kenikmatan ketika Frost melakukan itu padanya, hanya ada rasa sakit. Kini Max benar-benar menangis, merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya sekaligus merasa dirinya telah dikotori karena diperlakukan secara tidak senonoh oleh atasannya.

Kejadian itu cukup mengerikan bagi Astra. Begitu mengerikan sehingga bisa memicu PTSD bagi Astra.

"Aku tidak percaya ini! Aku tidak menyangka seperti ini perlakuan Frost pada Max," gumam Astra. Astra berusaha untuk pergi tanpa membuat suara, tapi sayangnya, dia tidak sengaja menendang barang-barang didekatnya hingga menimbulkan kegaduhan yang kemudian didengar oleh Frost.

"SIAPA ITU!"

"Gawat...," Astra pun dengan terpaksa meninggalkan tempat kejadian dengan secepat kilat.

Notes:

Maaf kalau untuk chapter ini terlalu pendek. Sewaktu aku nulis ini, aku malu sekaligus pingin muntah ketika menulis adegan 18+.

Chapter Text

Astra berusaha mencari Ultra Brothers agar dia bisa memberitahukan tentang kejadian yang baru saja dia lihat. Sayangnya, Ultra Brothers saat ini terlalu sibuk. Astra yang bingung harus bicara dengan siapa lagi.

"Kalau saja Leo-niisan tidak pergi menjalankan misi...," batin Astra.

Ketika Astra berpikir demikian, tiba-tiba perhatiannya tertuju pada Taro yang sepertinya baru saja selesai melatih para Ultra muda.

"Mungkin aku bisa bicarakan ini dengan Taro-san," batin Astra. Astra pun berlari mendekati Taro.

"TARO-SAN!"

"TARO-SAN!"

Taro yang menyadari kalau ada Ultra yang memanggilnya, segera menengok. Tapi Taro pun menyadari kalau sebenarnya ada lebih dari satu Ultra yang memanggilnya dan terjadilah...

GEDUBRAK!

Terjadilah tabrakan antara mereka semua. Taro yang baru saja ditabrak menyuruh mereka untuk minggir dan dengan segera, Astra dan Zero membantu Taro untuk berdiri.

"Ada apa dengan kalian?" tanya Taro.
"Ada sesuatu yang harus kukatakan," jawab Astra.
"Kami juga punya hal yang penting untuk dikatakan," kata Cosmos dan Zero bersamaan.

"Zero, kamu ada disini? Pantas saja kenapa aku tidak menemukanmu," kata Astra.
"Maaf, Astra-san. Tapi aku dan Cosmos sudah melihat hal buruk yang menimpa Max," balas Zero.
"Aku juga melihat yang kejadian yang menimpa Max, hanya saja itu membuatku..," Astra tidak menyelesaikan kata-katanya ketika teringat kejadian yang sudah memicu PTSD-nya dan hampir membuatnya muntah.

Taro yang mendengar nama Max disebutkan, mulai mempertanyakan hal yang terjadi pada Max. "Memangnya apa yang terjadi pada Max? Cepat jelaskan padaku!"

Akhirnya, Zero, Cosmos dan Astra pun menceritakan apa yang terjadi pada Max, termasuk hal yang sudah dilakukan oleh Frost kepada Max. Mendengar semua itu, Taro pun meminta agar mereka membawanya ke tempat yang dimaksud, berharap kalau mereka masih bisa menolong Max.

Setelah mereka sampai di depan bangunan tua itu, Zero pun mendobrak pintu itu. Sayangnya, Frost sudah tidak ada disana, hanya ada Max yang terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri.

"MAX!" Mereka berempat segera menghampiri Max dan memeriksa kondisinya.

"Dia tidak sadarkan diri," kata Cosmos.
"Lukanya juga cukup parah. Lebih baik kita bawa dia ke Silver Cross!" Taro memerintahkan mereka bertiga untuk segera membawa Max ke Silver Cross.

Beberapa hari kemudian, Tiga, Dyna dan Gaia sudah kembali dari misi mereka. Ketika mereka telah mendengar apa yang terjadi apa Max, mereka bergegas untuk menemui Max dirumahnya.

"Max! Max! Kamu ada didalam kan? Tolong keluarlah!" seru Tiga.

"Percuma saja, Tiga," kata Cosmos yang kebetulan datang. "Max sudah mengurung diri didalam rumahnya selama beberapa hari terakhir ini. Luka di tubuh Max sudah sangat parah. Dia sudah diobati oleh Mother of Ultra, tapi Max menolak untuk dirawat di Silver Cross."

"Selain itu, Astra-san juga bilang kalau Max bukan hanya dihajar sampai babak belur, tapi Frost juga melakukan..., Arrgh! Bagaimana caranya aku mengatakannya?! Intinya Frost sudah melakukan hal yang tidak senonoh pada Max," kata Zero.
"Karena kejadian itu juga, Max merasa dirinya sudah menjadi kotor dan tidak pantas untuk menunjukkan dirinya di hadapan Ultra lain," kata Cosmos.

"Kasihan Max," kata Gaia yang merasa kasihan pada kondisi Max. "Kalau begini, bukan hanya fisik Max yang terluka, tapi mentalnya juga terluka."

"Omong-omong, Xenon masih belum kembali dari misinya?" tanya Zero.
"Belum," jawab Tiga.
"Kalau Xenon tahu masalah ini, bagaimana reaksinya?" ujar Dyna.
"Menurutku, Xenon pasti akan merasa kesal dan sedih kalau dia tahu ini," balas Zero. "Setahuku Max dan Xenon begitu dekat. Sudah dipastikan kalau Xenon bakal marah besar kalau dia tahu perbuatan Frost."

Sementara itu di posisi Taro,

Taro masih memikirkan Max. Taro masih teringat ketika Max tersadar dan setelah dia tersadar, Max menolak untuk dirawat di Silver Cross sampai dia pulih. Taro bisa melihat kesedihan dan kesakitan yang dirasakan oleh Max. Perasaan Max setelah tubuhnya 'dikotori' oleh sang atasan. Mengingat apa yang terjadi pada Max dan perbuatan Frost membuat Taro marah, tapi dia menahan amarahnya.

Taro bersama dengan Ace ketika Ace mengatakan kalau hari ini ada rapat bagi Ultra Brother. Di tengah perjalanan mereka, Taro melihat seorang Ultra yang ciri-cirinya sesuai dengan yang dikatakan oleh Zero, Cosmos dan Astra: seorang Ultra dengan tanduk yang menyerupai stalaktik es, berwarna biru gelap, dan diperkirakan berusia 23.000 tahun. Dialah Frost!

Taro yang melihat Ultra itu kini tak bisa lagi memendung kemarahannya. Taro pun melepaskan mantelnya dan memberikannya pada Ace.

"Ace-niisan, tolong pegang mantelku."

Taro pun berjalan mendekati Ultra itu sambil mengepalkan tinjunya.

Frost, bersama dengan ketiga Ultra yang bersamanya, menyadari kehadiran Taro. "Ah, Taro-san. Selamat..." Frost tidak menyelesaikan kata-katanya ketika Taro sudah melayangkan tinjunya yang mengenai pipi kiri Frost.

Ace yang melihat kejadian itu terkejut karena melihat Taro yang berbuat seperti itu.

"Beraninya kamu masih menginjakkan kakimu di M78 setelah apa yang sudah kamu lakukan!" bentak Taro.
"Tunggu sebentar, apa maksudmu, Taro-san?" tanya Frost yang masih memegangi pipi kirinya.
"Masih belum mau mengaku ya?" Taro hampir menghajar Frost sekali lagi kalau saja Ace tidak cepat-cepat menahan serangan Taro.

"Taro, sudah cukup!" Ace berusaha menahan Taro yang posturnya lebih tinggi darinya.
"LEPASKAN AKU, ACE-NIISAN! DIA MEMANG PANTAS DIHAJAR!" Seru Taro.

Ketiga Ultra yang bersama Frost, dengan sigap membantu Frost untuk berdiri, lalu mereka pergi meninggalkan Taro dan Ace.

"MAU KEMANA KAU?! URUSANKU DENGANMU MASIH BELUM SELESAI! KEMBALI KE SINI, PENJAHAT SEKS!" teriak Taro.
"Taro, kubilang sudah cukup!" Ace berusaha untuk menenangkan Taro. Setelah itu, dia membawa Taro ke tempat yang cukup sepi dan jauh dari keramaian.

"Taro, ada apa denganmu? Kenapa kamu menghajar Ultra itu?" tanya Ace.
Taro mendengus kesal. "Ceritanya panjang," jawab Taro.
Ace menghela napas dengan berat. "Lebih baik kalau ceritakan padaku. Mungkin itu akan membuatmu lebih baik," kata Ace.

Akhirnya Taro pun menceritakan semuanya, mulai dari ketika dia bertemu Max dan meyaksikan Max yang tiba-tba pingsan, hingga segalanya yang telah diceritakan oleh Zero, Cosmos dan Astra mengenai perbuatan yang dilakukan Frost.

"Pantas saja kenapa kamu memanggil Ultra itu dengan sebutan "penjahat seks". Sekarang aku paham," kata Ace.
"Aku tidak bisa membiarkan Frost berkeliaran setelah apa yang dia lakukan pada Max," ujar Taro.
"Aku tahu kalau untuk masalah ini kita punya saksi yang sudah melihat perbuatan Frost, tapi kalau hanya mereka, itu masih belum cukup. Max harus mengatakan segala perbuatan yang dilakukan Frost," kata Ace.
Taro menunduk lemas ketika dia teringat akan kondisi Max saat ini. "Mengatakan hal itu memang mudah, tapi yang jadi masalah adalah kondisi Max yang sekarang..."

Di depan rumah Max,

"Max..," Gaia memanggil Max dengan pelan.
"Gaia, aku tidak yakin kalau Max akan keluar dengan kondisinya yang sekarang," kata Cosmos.
"Tapi aku tidak tega kalau melihat Max yang terus-menerus mengurung dirinya seperti itu. Kalau Xenon pulang dari misinya, bagaimana kita akan mengatakannya?" ujar Gaia.

"Mengatakan soal apa?"

Gaia, Tiga dan Cosmos menoleh ke arah Ultra yang baru saja menanyakan hal itu.

"Xenon? Kamu sudah pulang?" tanya Tiga.
"Aku baru saja pulang. Awalnya aku mau menjenguk Max di Silver Cross, tapi tenyata dia tidak ada disana," jawab Xenon. "Kenapa kalian semua berkumpul didepan rumah Max?"

Tiga, Gaia dan Cosmos terdiam. Xenon menatap mereka dengan perasaan bingung.

"Kenapa?" tanya Xenon.
"Xenon, mengenai itu...," Akhirnya Cosmos menceritakan apa yang telah terjadi pada Max ketika Xenon tidak ada. Mata Xenon terbelalak ketika Cosmos menceritakan tentang perbuatan yang dilakukan Frost hingga membuat Max mengurung diri seperti itu.

"Itulah yang terjadi, Xenon. Sekarang Dyna dan Zero sedang pergi menemui Astra. Mereka mencoba mendiskusi masalah ini," kata Cosmos.

Kemarahan dan kekesalan Xenon sudah tidak terbendung. Xenon tidak bisa memaafkan Frost atas perbuatan yang telah dia lakukan pada Max. Setelah dia mendengar semua perkataan Cosmos, Xenon membalikkan badan dan berjalan pergi meninggalkan Tiga, Gaia dan Cosmos.

"Xenon! Kamu mau kemana?" tanya Cosmos.
"Ada hal yang harus kuselesaikan dengan Frost," jawab Xenon.

Cosmos berusaha untuk menghentikannya, tapi Tiga menahannya. Apalagi Tiga merasakan aura hitam yang keluar dari kemarahan Xenon yang meluap-luap.

Di kantornya Frost, Frost masih memegangi pipi kirinya yang masih sakit karena dihajar oleh Taro.

"Sial! Bisa-bisanya anggota Ultra Brother keenam itu menghajarku secara tiba-tiba?" gerutu Frost.

Terdengar suara pintu yang diketuk dengan kencang.

"Masuk!" seru Frost.

Xenon membuka pintu itu dengan kasar, membuat Frost kaget karena suara pintu yang dibanting.

"Kau pasti Frost kan? Aku ingin bicara denganmu," kata Xenon.
"Kamu pasti Xenon kan? Max pernah membicarakan dirimu, kamu pasti temannya kan?" kata Frost.

"Jangan bersikap sok ramah! Aku sudah tahu apa yang telah kamu lakukan pada Max!" bentak Xenon.
Frost terdiam, lalu melanjutkan pembicaraannya. "Apa maksudmu?"
"JANGAN BERPURA-PURA LAGI, FROST! AKU SUDAH TAHU TENTANG PERBUATANMU! BERANINYA KAMU MEMBUAT MAX TERSIKSA! KAMU SUDAH MEMPERLAKUKAN MAX DENGAN KASAR, SEKARANG KAMU SUDAH MENGOTORI TUBUH MAX! PERBUATANMU TIDAK BISA KUMAAFKAN!" bentak Xenon.

"Dasar Ultra muda kurang ajar!" teriak Frost. Belum sempat Frost mengambil tindakan, Xenon sudah melancarkan serangan ke arah Frost.

Kemudian terjadilah perkelahian antara Xenon dan Frost.

 

Chapter Text

Tiga, Cosmos dan Gaia masih menunggu didepan rumah Max. Kini mereka bertiga mengawatirkan kondisi Xenon.

"Menurut kalian, apakah Xenon akan baik-baik saja?" tanya Cosmos.
"Aku tidak yakin tentang itu. Tapi untuk menghentikannya saja, aku tidak berani," jawab Tiga.
"Kenapa kamu jadi penakut begitu sih?" ujar Gaia.
"Hei, apa kalian tidak melihat betapa marahnya Xenon ketika Cosmos menceritakan seluruh kejadian itu? Aku belum pernah melihat seorang Ultra yang marah besar seperti itu," balas Tiga.

Sementara didalam, Max masih menangis. Kata-kata "Aku kotor" terus terngiang-ngiang di kepalanya. Dipukuli oleh atasannya sudah menjadi hal biasa bagi Max, tapi diperkosa oleh sang atasan? Kejadian itu sekarang menjadi pengalaman paling traumatis bagi Max. Max sekarang benar-benar merasa hancur. Dirinya sudah mengalami luka secara fisik dan mental. Dia tahu kalau teman-temannya rela menunggu didepan rumahnya agar dia bisa membicarakan masalahnya, tapi apakah dirinya yang sudah dikotori ini pantas untuk menampakkan dirinya di hadapan Ultra lain? Bahkan Max berpikir kalau mungkin Xenon tidak akan mau lagi berbicara padanya kalau dia tahu kejadian itu.

Diluar rumah Max,

"Bagaimana kita akan menghadapi masalah ini? Max sudah terluka seperti ini, kalau terjadi apa-apa pada Xenon...," Gaia menghentikan kata-katanya sambil menundukkan kepalanya.
"Sudahlah, Gaia. Aku yakin tidak akan terjadi sesuatu pada Xenon. Selain itu, Xenon tidak mungkin meninggalkan Max, meskipun Max sudah dikotori oleh Ultra kurang ajar yang bernama Frost," kata Cosmos sambil menepuk pundak Gaia.

Tiba-tiba saja Xenon muncul, tapi dia datang dalam kondisi terluka. Belum sempat dia mengatakan sesuatu, Xenon sudah jatuh pingsan. Tiga, Gaia dan Cosmos yang menyadari hal itu, segera menghampiri Xenon.

"XENON!" 

"Gawat! Dia perlu membawanya ke Silver Cross!" Seru Tiga.
"Apakah ini ada hubungannya dengan kalimat yang dia ucapkan?" tanya Gaia.
"Mungkin saja. Dia bilang kalau dia ada urusan dengan Frost, tapi aku tidak menduga kalau ini yang akan terjadi," jawab Cosmos.
"Seharusnya Xenon tidak berkelahi dengan Frost. Kalau tahu ini akan terjadi, seharusnya kita hentikan dia," kata Gaia.
"Sudah, sudah! Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi! Aku akan membawa Xenon ke Silver Cross, kalian berdua, tunggu disini!" Perintah Tiga.

Gaia dan Cosmos menganggukkan kepala mereka. Tiga pun segera membawa Xenon ke Silver Cross.
Tanpa mereka sadari, Max sempat menguping pembicaraan mereka ketika mereka meneriakkan nama Xenon.

Seketika Max merasakan penyesalan.

Di kantornya Frost, Frost tengah mengobati luka di tubuhnya akibat dari perkelahiannya dengan Xenon. Dia tidak peduli dengan kondisi kantornya yang seperti kapal pecah.

Di depan rumahnya Max,

Gaia dan Cosmos tertidur di depan rumah Max karena mereka terlalu lama menunggu. Max yang mengetahui kalau kedua temannya tertidur, memutuskan untuk keluar secara diam-diam, lalu dia pergi ke Silver Cross.

Di Silver Cross, Max berusaha untuk mencari kamarnya Xenon sambil menghindari kontak dengan Ultra lain. Di tengah pencariannya, dia melihat salah satu pintu kamar terbuka, dan Max dengan sigap segera bersembunyi. Dia melihat Tiga yang keluar dari kamar itu. Teringat kalau Tigalah yang mengantar Xenon ke Silver Cross, Max menduga kalau itulah kamar Xenon.

Max diam-diam berjalan mendekati pintu kamar itu, membukanya lalu menutup pintu itu pelan-pelan. Setelah dia masuk, Max melihat Xenon yang terbaring tidak sadarkan diri. Max berdiri disamping kasur Xenon, persis seperti yang dilakukan Xenon setiap kali dia dibawa ke Silver Cross dalam keadaan tak sadakan diri.

"Xenon..." Max berbicara dengan suaranya yang melemah. "Apakah kamu begini karena kamu sudah tahu itu? Apakah kamu jadi seperti ini setelah kamu tahu apa yang Frost lakukan padaku?" Air mata mulai membasah pipinya. "Inilah alasan kenapa aku tidak mau mengatakan hal yang sejujurnya padamu, Xenon. Aku tidak mau kalau kamu terlibat dalam masalahku... Aku tidak mau kamu terluka karena membelaku, Xenon. Aku tahu kalau kamu begitu peduli padaku. Bahkan kamu rela terluka untuk membela diriku, walaupun diriku ini sudah kotor. Maafkan aku, Xenon." Max sudah tidak bisa menahan tangisannya. Dia memegang tangan Xenon sembari mengatakan satu hal.

"Kau tahu, Xenon? Aku rasa sudah waktunya aku melakukan hal ini. Astra pernah mengatakan ini kepadaku, tapi aku tidak berani melakukannya waktu itu. Aku akan mengatakan ini pada Frost. Aku akan berhenti menjadi bawahannya. Aku tidak mau disakiti lagi, jadi ini adalah keputusanku," kata Max ditengah Isak tangisnya.

Setelah dia mengatakan itu, Max pun keluar dari kamar Xenon. Tanpa dia ketahui, kalau sebenarnya Xenon sudah tersadar beberapa jam yang lalu. Tapi dia memilih berpura-pura pingsan agar dia bisa mendengarkan curahan hati Max.  Xenon segera bangun dari kasurnya.

Dyna dan Zero yang baru saja tiba didepan rumah Max, melihat Cosmos dan Gaia yang tertidur didepan rumah Max.

"Hei, kenapa kalian tertidur disini? Ayo bangun!" Zero membangunkan Gaia dan Cosmos.

Gaia membuka matanya perlahan. "Zero? Dyna? Kalian sudah kembali?"
"Kenapa kalian malah tidur? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Max?" tanya Dyna.
Cosmos terbangun sambil meregangkan tangannya. "Selama kami disini, Max tidak keluar sama sekali."
"Iya. Lihat saja. Tidak ada tanda-tanda kalau Max ke...luar," Gaia memelankan suaranya ketika dia menyadari kalau pintu rumah tidak terkunci. 

"Pintunya tidak dikunci," kata Gaia.
"Maksudmu..." Cosmos mulai berkeringat dingin. "Jangan bilang..."
"Kalian biarkan Max pergi?!" teriak Zero dan Dyna.
Cosmos dan Gaia menunduk lemas.

"Kalau begitu, kita cari Max. Cosmos dan Gaia, kalian cari di arah Utara. Aku dan Zero ke arah sebaliknya!" perintah Dyna.

Dengan segera, mereka mulai mencari Max.

Di tengah pencarian mereka, Dyna dan Zero bertemu dengan Xenon yang ingin pergi ke suatu tempat.

"Xenon!" seru Dyna dan Zero, lalu mereka menghampiri Xenon.
"Xenon, apa yang terjadi padamu? Kenapa badanmu terluka seperti ini?" tanya Zero.
"Itu tidak penting. Sekarang, aku harus bisa menolong Max, sebelum kejadian yang sebelumnya terulang lagi," jawab Xenon.
"Kejadian sebelumnya? Jadi kamu sudah tahu soal itu?" ujar Dyna.
"Aku tahu kemana Max pergi, tapi kita harus cepat! Aku yakin kita masih bisa menolong Max sebelum kejadian mengerikan itu terjadi lagi padanya," kata Xenon.
Dyna dan Zero menganggukkan kepala mereka, lalu mereka pergi bersama dengan Xenon.

--------------------

Max kini sudah sampai di depan kantornya Frost. Dia langsung masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Frost, yang sudah menduga kalau Max akan datang, merasa tidak senang dengan hal itu.

"Kenapa kamu tidak mengetuk pintunya terlebih dahulu? Bukankah kamu adalah bawahanku yang penurut?" kata Frost.
Max menghela napas dalam-dalam dan mulai mengumpulkan keberaniannya.

"Frost, ada sesuatu yang ingin aku katakan. Aku tidak ingin menjadi bawahanmu lagi!" seru Max.
Frost yang mendengar itu tercengang mendengarnya. "Apa katamu?"
"Itu benar, Frost. Aku tidak mau lagi menjadi bawahanmu. Aku tidak mau lagi hidup di bawah tekanan darimu, Frost. Ternyata memang benar kalau selama ini aku berada didalam hubungan atasan dan bawahan yang toksik. Maka dari itu, aku ingin berhenti mengabdi padamu, Frost!" kata Max.

Frost merasa kesal dengan ucapan Max. Dia tidak terima kalau Max sudah berani menentangnya.

"Oh, jadi kamu tidak ingin mengabdi lagi pada atasanmu lagi? Memang benar kalau seharusnya kamu tidak bergaul dengan sekumpulan Ultra-Ultra payah itu. Kalau begitu..." 

Frost mencengkeram kedua bahu Max, lalu mendorong Max hingga dia terjepit di lantai, dengan Frost yang menahan tubuhnya.

"Aku akan mendisplinkan dirimu lagi, tapi kali ini, aku akan melakukannya lebih keras dari sebelumnya," kata Frost.
Max yang teringat akan perbuatan Frost yang sebelumnya, merasa ketakutan. Dia meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri agar kejadian itu tidak terulang lagi, tapi kondisi fisiknya yang melemah dan tenaga Frost yang lebih kuat dibandingkan dirinya, membuat Max tidak mampu melepaskan dirinya.

"Sekarang diamlah. Ini tidak akan berlangsung lama," kata Frost yang kembali menyentuh tubuh Max tanpa persetujuan dari Max.

 

Chapter Text

Frost baru saja akan memulai pelampiasan seksualnya pada Max ketika pintu kantor Frost didobrak oleh Zero dan Dyna.

"Apa yang...?" Kata-kata Frost terputus ketika dia berusaha menghindari slugger milik Zero, ditambah dengan Dyna yang melawan Frost.

"Xenon, cepat bawa Max pergi!" Teriak Dyna yang berusaha menahan Frost.
"Baik," Xenon segera mendekati Max yang masih terbaring di lantai. "Max, kamu tidak apa-apa kan?" tanya Xenon sambil membantu Max untuk berdiri.
"Aku tidak apa-apa. Aku beruntung karena Frost belum sempat melakukan itu padaku," jawab Max.
"Sebaiknya kita pergi," kata Xenon.
"Tapi Zero dan Dyna...," Max menoleh ke arah Zero dan Dyna yang sekarang terlibat perkelahian dengan Frost.

"Kalian pergi saja! Kami akan menahan Frost!" teriak Zero. "Cepat!"

Xenon memegang pergelangan tangan Max, lalu mengajaknya untuk segera pergi dari sana.

Setelah mereka pergi cukup jauh dan menemukan tempat yang cocok untuk bersembunyi.

"Akhirnya kita bisa menjauh dari Frost," kata Xenon dengan napas yang terengah-engah, lalu dia menoleh ke arah Max yang sekarang tertunduk lemas.
Xenon yang menyadari itu, menanyakan kepada Max. "Max? Kamu tidak apa-apa kan? Apakah ada yang terluka?" 

Max menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Lalu, apakah ada sesuatu?" tanya Xenon.
Max masih menundukkan kepalanya, dia masih belum berani menatap wajah Xenon secara langsung.
Xenon mengubah posisinya agar dirinya berhadapan langsung didepan Max. "Max, kamu bisa katakan sesuatu padaku."

Kali ini Max menatap Xenon. Xenon bisa melihat ada air mata yang mulai keluar dari mata Max.
"Xenon, aku tidak menyangka... kalau kamu masih mau menolongku, padahal aku... sudah...," Max tidak mampu menyelesaikan kalimatnya ketika air matanya mengalir membasahi pipinya. Max terisak-isak ketika dia teringat kembali dengan kejadian yang membuatnya trauma dan merasa kotor.
Xenon menyentuh pipi Max, lalu mengusap air matanya.

"Tidak perlu takut, Max. Aku ada disini. Aku tidak peduli kalau kamu sudah 'kotor', aku selalu ada buat kamu, Max," kata Xenon, lalu dia memeluk Max agar dirinya merasa lebih baik dan tenang.
Max belum pernah merasakan pelukan seperti itu. Pelukan Xenon terasa hangat. Max pun membalas pelukan Xenon.

Setelah cukup lama, mereka melepaskan pelukan mereka. 

"Bagaimana? Apakah kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Xenon. Max menatap Xenon, lalu menganggukkan kepalanya.
"Baguslah. Kalau begitu, ada satu hal yang harus aku lakukan, dan aku membutuhkan dirimu, Max," kata Xenon.
"Apa maksudmu?" tanya Max.
"Sudahlah. Kau ikut saja. Percayalah padaku," jawab Xenon, lalu mengajak Max ke suatu tempat.

Disisi lain, Zero dan Dyna masih berkelahi dengan Frost.

"Sial! Ternyata dia tangguh juga!" umpat Zero.
Dyna sudah memasang kuda-kuda untuk menyerang Frost lagi, tapi dia menghentikan aksinya ketika dia melihat Ultra Sign dari Astra.

"Zero, kita mundur dulu!" seru Dyna.
"Tapi...," Zero menghentikan kata-katanya ketika Dyna menyentuh bahunya, lalu membisikkan sesuatu padanya.
Zero memahami hal itu, lalu membalasnya dengan anggukan kepala. Dengan segera, Zero dan Dyna pergi meninggalkan Frost.

"Ya, itu benar! Pergi saja! Dasar Ultra muda kurang ajar!" teriak Frost.
Frost menyadari kalau dirinya terluka akibat dari perkelahian barusan. Frost memutuskan untuk pergi ke Silver Cross.

Sesampainya di Silver Cross, dia bertemu dengan Jack dan Leo.

"Ah, selamat siang, Jack-san, Leo-san!" sapa Frost.
Tetapi mereka tidak membalas sapaan dari Frost. Mereka justru menatap Frost dengan tatapan marah dan jijik padanya.

Frost tidak tahu apa yang terjadi, tetapi dia menganggap mereka bersikap seperti itu karena kelelahan. Frost pun memutuskan untuk menemui Mother of Ultra.

Tetapi ketika dia menemui Mother of Ultra, dia justru ditolak secara halus. Mother of Ultra juga mengatakan kalau Frost tidak bisa dirawat di Silver Cross.

Frost tidak habis pikir. Dia tidak mengerti kenapa dia ditolak untuk mendapatkan perawatan di Silver Cross. Frost pun memutuskan untuk meninggalkan Silver Cross dan merawat lukanya sendiri 

Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Ultraseven. Frost menyapanya, tapi seperti Jack dan Leo, Ultraseven menatap Frost dengan tatapan sinis dan jijik kepadanya.

"Seven-san, anda tahu kalau putra anda sudah menyerang saya? Lihat apa sudah dia lakukan padaku!" kata Frost yang segera mengadukan perbuatan Zero kepada Ultraseven.

Ultraseven masih menatap sinis pada Frost. "Putraku punya alasan untuk melakukan itu, dan kau pantas mendapatkannya," kata Ultraseven, lalu dia berjalan meninggalkan Frost.

Frost tidak mengerti kenapa semua Ultra bersikap ketus padanya. Hingga dia mendapat panggilan dari Zoffy lewat Ultra Sign.

"Zoffy-san memanggilku. Dia memintaku untuk menemui semua anggota Ultra Brothers," kata Frost. Walaupun sebelumnya Jack menatap sinis dan Seven yang bersikap ketus padanya, Frost tetap memenuhi panggilan dari Zoffy.

Sesampainya di lokasi Ultra Brothers, Frost segera menemui Ultra Brothers. Dia juga terkejut karena Xenon juga ada disana. Para Ultra Brothers, dan juga Leo dan Astra yang telah menunggunya, menatapnya dengan tatapan sinis dan jijik.

"Zoffy-san, aku telah datang sesuai dengan permintaanmu. Apakah ada sesuatu yang penting?" tanya Frost.
"Jelaskan padaku tentang apa yang kau lakukan!" balas Zoffy.
"Kalau soal itu, saya hanya melakukan pekerjaanku seperti biasanya," jawab Frost.

"WOI!" Taro berteriak ke arah Frost, tapi Ace menahannya agar Taro tidak menghajar Frost lagi.
Zoffy kembali berbicara, "Maksudku hal lain yang kau lakukan, selain pekerjaanmu."

Frost mengeryitkan dahinya. "Apa maksud anda, Zoffy-san?" tanya Frost yang masih belum paham dengan maksud Zoffy.
"Katakan yang sejujurnya, apakah benar kamu bersikap abusif pada bawahanmu?" tanya Zoffy.

"Apa maksud anda, Zoffy-san?" tanya Frost yang memastikan kalau Zoffy tidak salah bicara.
"Jangan bohong, Frost!" seru Ultraman.
"Sudah ada saksi-saksi yang mengatakan kalau kamu bersikap abusif pada salah satu bawahanmu!" teriak Jack.
"Bahkan Astra juga sudah mengatakan kalau kamu sudah melakukan hal yang tidak pantas pada salah satu bawahanmu!" teriak Ultraseven.
"Bukan cuma Astra, Taro juga sudah tahu tentang perbuatanmu yang menjijikkan itu!" teriak Ace.
"Aku tidak percaya kalau kamu sudah memperkosa bawahanmu, Frost!" teriak Taro.

Seketika Frost membeku di tempat. Sekarang Frost tahu alasan kenapa Taro menghajarnya.

"Bagaimana kalian tahu itu?" tanya Frost. Lalu dia menatap ke arah Xenon.
"Kamu yang mengatakan itu pada mereka?" tanya Frost.

Xenon menggelengkan kepalanya. "Bukan aku, tapi dia." Setelah Xenon mengatakan itu, Max segera menampakkan dirinya.

Frost terkejut ketika mengetahui bahwa bawahannya telah mengatakan pada Ultra Brothers tentang perbuatannya.
"Max, kamu yang mengatakan semua itu?"

"Itu benar, Frost-san. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, aku tidak mau lagi menjadi bawahanmu. Sudah waktunya semua Ultra tahu perbuatanmu, Frost-san, maksudku Frost," jawab Max.

Frost mulai merasa kesal.

"Itu benar, Frost! Kami juga sudah tahu perbuatanmu!" teriak Tiga yang memasuki ruangan itu, bersama dengan Dyna, Gaia, Cosmos, dan Zero.

Seketika Frost merasa terpojok ketika semua Ultra di ruangan itu sudah mengetahui perbuatannya.

"Kau tidak bisa berbuat apa-apa lagi, Frost," kata Xenon.

Frost, dengan kemarahan yang memuncak, mengumpat kepada Max dengan penuh emosi.
"INI SEMUA SALAHMU! DASAR BAWAHAN TIDAK TAHU DIUNTUNG! PADAHAL KALAU TIDAK ADA AKU, APA YANG BISA KAU PERBUAT!" 

Tiba-tiba ada sebuah slugger yang melayang dan mengenai wajah Frost hingga menggores mata kirinya.

Semua Ultra dikejutkan oleh kejadian itu. Tiga, Dyna, Gaia dan Cosmos menatap Zero. Zero menggoyangkan tangannya sebagai isyarat kalau bukan dia yang menyerang Frost.

Xenon yang tadinya syok, segera menoleh ke arah Max. Begitu juga dengan Ultra yang lain. Ternyata Max telah yang menyerang Frost! Dia menyerang Frost secara refleks karena dia ketakutan dengan Frost. Alasannya karena perlakuan Frost yang sebelumnya telah membuat Max ketakutan dan trauma, hingga secara refleks menyerang Frost dengan Maxium Blade miliknya.

Frost memegang mata kirinya, lalu menatap Max dengan kemarahannya yang sudah mencapai batasnya. "DASAR BAWAHAN KURANG AJAR! KAMU MEMANG PANTAS DIHUKUM!" Frost pun mengeluarkan serangan yang diarahkan ke Max.

Max tidak sempat menghindar. Dia menutup matanya ketika serangan dari Frost hampir mengenainya. Serangan dari Frost menimbulkan suara ledakan yang sangat keras.
Semua Ultra yang menyaksikan itu merasa sangat syok.

Max membuka matanya perlahan dan mendapati kalau dirinya masih selamat, tapi dia dikejutkan oleh Xenon yang telah memasang badan untuk melindungi Max.

"Xenon...," 

"Max, kamu baik-baik saja kan?" tanya Xenon sambil menahan rasa sakit akibat serangan dari Frost, lalu dia jatuh berlutut dihadapan Max 
"Xenon, kenapa..." Max menahan tubuh Xenon.
"Kan sudah kubilang, aku akan selalu ada untukmu," kata Xenon, lalu dia pun pingsan.

"XENON!" teriak Max. Max menangis sambil memeluk Xenon yang tak sadarkan diri.

Semua Ultra, termasuk Ultra Brothers geram dengan perbuatan Frost.
"Frost, aku tidak menyangka..." Ace buka suara ditengah keheningan itu.
"Pertama, kamu bersikap abusif pada Max. Bahkan kamu juga sudah memperkosanya! Sekarang kamu berniat untuk menghabisinya dan sekarang Xenon telah menjadi korban!" teriak Zoffy.

"Kesabaranku sudah habis!" teriak Zero. "Aku ingin menghajarmu, Frost!"
"Untuk sekarang, aku setuju denganmu," kata Dyna sambil mengepalkan tinjunya.
Taro juga ingin menghajar Frost. Bahkan Astra juga. 

Frost, yang sebelumnya bersikap arogan, kini ketakutan ketika dia melihat tujuh ultra yang berniat untuk menghajarnya.

"Ini untuk membuatmu merasakan bagaimana rasanya berada di posisi Max," kata Astra. Astra sudah bersiap-siap untuk menghajar Frost ketika Ultraman King secara tiba-tiba muncul.

"Cukup! Janganlah kalian melakukan hal seperti itu!" seru Ultraman King.

"Ultraman King!" sahut para ultra.

Ultraman King berjalan mendekati Max yang sedang memeluk Xenon. 
"Max, benarkah kalau Frost telah melakukan perbuatan kotor itu kepadamu?" tanya Ultraman King.
Max tidak mengatakan apapun. Dia hanya menganggukkan kepalanya.
Ultraman King memahami hal itu, lalu dia berbalik ke arah Frost.

"Frost, karena perbuatanmu, kamu sudah tidak pantas untuk menginjakkan kakimu di Nebula M78. Hukumanmu adalah.... Pengasingan!" seru Ultraman King.

Frost terkejut ketika Ultraman King mengusirnya dari planet tempat dia lahir dan tinggal. "Tapi..."

"Kau tidak dengar apa yang dikatakan Ultraman King? Pergi dari sini!" teriak Zero.
"Tempatmu bukan disini, penjahat seks!" teriak Astra.
"Yeah, pergi dari Nebula M78!" teriak Dyna.
"Seorang Ultra yang telah memperkosa ultra lain, tidak pantas tinggal disini!" teriak Gaia.

Frost dengan terpaksa pergi meninggalkan Nebula M78 sebelum dia dihajar hingga babak belur oleh sekumpulan ultra yang marah.

Setelah Frost pergi, Max segera membawa Xenon ke Silver Cross, dibantu oleh teman-temannya.

Beberapa minggu kemudian, Xenon sudah pulih dari luka yang diakibatkan oleh serangan Frost. Sementara Max, dia masih perlu dirawat lebih lama karena trauma yang dia alami. Xenon berjalan menuju Silver Cross untuk menjenguk Max.

Xenon memasuki kamar Max. Dia melihat Max yang terbaring di kasurnya. Max yang menyadari kehadiran Xenon pun terbangun.

"Xenon," kata Max.
"Hai, Max. Bagaimana keadaanmu?" tanya Xenon.
"Tubuhku sudah mulai pulih. Tapi Mother of Ultra bilang kalau aku masih perlu waktu lama untuk sembuh dari traumaku," jawab Max.
"Begitu ya," kata Xenon.
"Maaf ya, Xenon. Gara-gara aku, kamu sampai terluka pada waktu itu," kata Max.
"Ah sudahlah. Lagipula aku hanya pingsan saja. Serangan Frost itu tidak ada apa-apanya," tukas Xenon.

Seketika mereka berdua terdiam. Mereka berdua merasa canggung di dalam ruangan itu.

"Omong-omong, aku mau memberimu sesuatu," kata Xenon yang akhirnya memecahkan keheningan itu.
"Benarkah? Memang apa yang ingin kau berikan padaku?" tanya Max.
"Tapi karena kamu masih trauma, mungkin lain kali saja ya," kata Xenon.
"Jangan begitu, Xenon," rengek Max.
Xenon yang tidak tega mendengar rengekan Max pun akhirnya mengiyakan permintaan Max.

"Baiklah, tapi kamu jangan kaget ya," kata Xenon. Perlahan-lahan Xenon mendekatkan wajahnya ke Max, lalu...

Cup!

Xenon mencium Max. Max merasa sedikit terkejut ketika Xenon menciumnya. Ciuman Xenon terasa hangat, Max bisa merasakan ketulusan hati Xenon lewat ciuman itu. Max membalas dengan melingkarkan kedua lengannya disekitar leher Xenon, memperdalam ciuman mereka.
Mereka lalu melepaskan ciuman mereka setelah 36 detik.

"Kamu suka itu?" tanya Xenon.
"Ya, terimakasih, Xenon," jawab Max. 
Mereka menempelkan dahi mereka satu sama lain dan sebelum mereka sempat berciuman, mereka tersadar kalau perbuatan mereka sudah ditonton oleh teman-teman mereka yang menjenguk Max.

"Kalian masih melakukan itu?" tanya Tiga.

Xenon dan Max yang menyadari itu segera menghentikan aktivitas mereka dan seketika, mereka mulai merasa canggung lagi.

"Hei, tidak apa-apa. Lanjutkan saja," kata Gaia.
"Anggap saja kami tidak ada," kata Dyna.
"Kalian jangan begitu, kasihan Max. Dia pasti malu," tegur Cosmos.

Max seketika menjadi salah tingkah. "Tidak! Aku tidak begitu!" tukas Max.
"Tapi mukamu memerah, Max," timpal Zero.
"Tidak!" tukas Max lagi.
"Tuh kan! Mukanya memerah!" ujar Dyna.
"Jangan-jangan Max memang suka sama Xenon," goda Gaia.
"Sudah, sudah! Kasihan Max kalau kalian terus-menerus menggodanya!" tegur Tiga.

Beberapa hari berlalu, dan Max sudah diperbolehkan pulang kerumahnya. Sekarang Max bekerja sebagai pengamat planet dengan Xenon sebagai rekan kerjanya. Selama bersama Xenon, Max diajak untuk sering berinteraksi dengan Ultra lain karena selama bersama Frost, Max selalu diisolasi dari Ultra lain, termasuk dilarang untuk berbicara dengan ultra lain.

"Jadi bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Xenon ketika hanya ada mereka berdua.
"Masih ada sedikit rasa takut karena trauma yang aku alami. Tapi itu bukan masalah, aku yakin aku bisa melewati semuanya," jawab Max.
Xenon menepuk bahu Max. "Aku yaki kamu bisa melalui itu semua, Max. Kalau perlu, kamu bisa berbicara denganku kalau kamu punya masalah. Jangan kau sembunyikan," kata Xenon.

Saat itulah, Max merasakan kebahagiaan yang selalu dia inginkan.

Melalui segalanya bersama dengan Xenon, termasuk mengatakan hal yang sejujurnya tanpa rasa takut karena ancaman dan perlakuan abusif.

 

Chapter 8: Epilogue

Chapter Text

Bertahun-tahun kemudian, Max kini menjadi senior bagi seorang ultra benama Ribut. Tidak seperti senior-seniornya yang sebelumnya, Max memperlakukan Ribut dengan baik dan selalu mendukungnya.

Suatu ketika, Ribut sedang membaca beberapa arsip dan tidak sengaja menemukan arsip yang menyinggung nama Frost. Ribut tidak pernah mendengar nama Frost sebelumnya, tapi didalam arsip itu disebutkan kalau Frost adalah seorang Ultra yang diasingkan dari Nebula M78. Hanya saja tidak disebutkan alasan kenapa Frost diasingkan.

Rasa penasaran Ribut membuatnya ingin menanyakan hal itu kepada seniornya, yaitu Max.

"Max-senpai, bolehkah aku bertanya satu hal. Siapa itu Fro-Hmph?!" Ribut tidak dapat menyelesaikan pertanyaannya karena Xenon yang secara tiba-tiba menutup mulutnya.
"Ada apa?" tanya Max yang tidak sempat mendengarkan pertanyaan dari Ribut.

Dengan gugup, Xenon mencoba mengganti topik pembicaraan. 

"Maksud Ribut, cuaca di bumi sekarang memasuki musim hujan. Jadi suhunya dingin, walau tidak sedingin wilayah lain di bumi yang tengah memasuki musim dingin," jawab Xenon. Sementara Ribut berusaha melepaskan tangan Xenon yang menutup mulutnya.
"Oh begitu ya?" ucap Max, lalu dia kembali memfokuskan dirinya dengan laporan yang dia kerjakan.

Sementara Max sibuk, Xenon membawa Ribut agar dia menjauh dari Max.
Setelah mereka menjauh dari Max, Xenon melepaskan tangannya yang sebelumnya dia pakai untuk menutup mulut Ribut. Ribut nampak terengah-engah.

"Xenon-san, kenapa anda melakukan itu?" tanya Ribut. Xenon memegang kedua bahu Ribut. 

"Ribut..."

Ribut menatap Xenon, seakan-akan dia mengerti kalau Xenon ingin memberitahukan sesuatu yang penting.

"Jangan pernah sebutkan nama itu didepan Max!" kata Xenon.
"Maksudmu Frost? Ada apa dengan nama itu?" tanya Ribut.
"Benar. Dia adalah seorang ultra yang telah lama diasingkan dan alasan dia diasingkan itu berkaitan dengan luka yang dialami Max," jelas Xenon.
"Apa maksudmu dengan luka yang dialami Max-senpai? Dia baik-baik saja," tukas Ribut.

Xenon menarik napas dalam-dalam. "Bukan luka fisik, tapi sebenarnya Max terluka secara mental. Kalau kamu menyebutkan nama Frost didepan Max, itu justru memicu traumanya," jelas Xenon.

"Benarkah? Memangnya apa yang telah dilakukan Frost hingga membuat Max-senpai mengalami trauma?" tanya Ribut.
"Aku ingin menceritakan itu padamu, tapi kamu pasti akan merasa ketakutan, walaupun kamu tidak pernah mengalami kejadian itu," jawab Xenon.
"Tidak apa-apa, Xenon-san. Lebih baik ceritakan saja padaku. Dengan begitu, aku akan lebih berhati-hati ketika berbicara dengan Max-senpai," kata Ribut.

Akhirnya Xenon menceritakan semua yang terjadi di masa lalu, dan Ribut yang mendengarkan semua itu, menunjukkan reaksi yang sama dengan Astra setelah dia mengetahui kejadian mengerikan yang menimpa Max.

Setelah itu, Ribut berjanji agar dia tidak akan pernah menyebutkan nama Frost didepan Max.

Omake

"Apakah tidak apa-apa kalau kita melakukan ini?" tanya Tiga yang tengah memperhatikan Dyna yang sedang membakar sesuatu.
"Tidak apa-apa, Tiga. Lagipula ultra sialan itu juga tidak tinggal disini lagi," jawab Dyna. Lalu dia mengambil marshmellow yang sudah dia tusuk, kemudian memberikan satu bungkusan penuh dengan marshmellow kepada Tiga. "Ini, kalau kau mau!"

Saat itu pula, datanglah Trigger dan Decker.

"Tiga-san, Dyna-san, apa yang kalian lakukan?" tanya Decker. Sementara Trigger memperhatikan api yang membakar sesuatu yang sebelumnya ditumpuk oleh Dyna.

"Dyna-san, kenapa kamu membakar dokumen-dokumen itu? Bukannya dokumen-dokumen itu harusnya disimpan?" tanya Trigger.
"Oh ini? Biarkan saja. Lagipula dokumen-dokumen ini milik seorang ultra yang telah diasingkan karena perbuatannya yang kotor, dan kami tidak mau mengingat kejadian itu," jawab Dyna.
"Memangnya kejadian apa?" tanya Decker.
"Kalau kuceritakan, nanti kalian malah dapat mimpi buruk," tukas Dyna.
"Ceritakan saja. Lagipula, mental kami kuat kok!" timpal Decker.

"Kalau begitu, kalian berdua duduk disini. Biar kami ceritakan, tapi berjanjilah, agar jangan menyebutkan nama itu didepan Max," kata Tiga.

Trigger dan Decker menganggukkan kepala mereka, walau mereka masih sedikit bingung dengan kalimat yang terakhir diucapkan Tiga.

Series this work belongs to: