Chapter Text
Sepuluh tahun yang lalu di kota kenangan, Kota Bandung.
Cerita ini dimulai ketika Wonwoo pulang dari kegiatan kampus yang melelahkan dan di depan matanya sudah ada dia, dia, dia. Berdiri tegak dengan kaki panjangnya. Tersenyum ramah dan akrab kepada ibu, nenek, dan kakaknya.Sedangkan Wonwoo berdiri tepat di posisi yang sama ketika dia menyaksikan cowok itu pergi dari kota ini tepat sepuluh tahun yang lalu. Bedanya dia berbalik arah ke rumahnya bukan ke jalan, seperti yang dilakukan cowok itu sekarang. Balik ke tempat asalnya. Berbagai sensasi bergejolak di dalam tubuh Wonwoo. Amarah, kecewa, dan tak bohong dia juga bahagia bisa melihat kulit tan itu lagi. Marah dan kecewa karena bisa-bisanya muka itu tanpa dosa ada di hadapannya lagi setelah dirinya tidak mendengar sama sekali soal apa saja yang sudah dilalui pria di depannya ini.
“Eh, Wonwoo, udah pulang, nak?” Ibunya memberi pertanyaan yang sangat basa-basi karena dia bisa dengan jelas melihat bahwa anaknya memang sudah pulang di sore hari ini. Namun Wonwoo peduli amat. Maaf, bu, pikirnya. Tapi rasa yang berhamburan bisa melihat sosok ini di depannya lebih penting dari sekedar basa-basi itu. Namun ternyata hal itu memberi dampak karena saat ini semua mata tertuju padanya. Termasuk mata itu. Mata yang dulu dipenuhi dengan jahil dan rencana konyol dengan kakaknya sekarang menjadi lebih dalam dan berbeda seolah terkikis dengan waktu yang membuat mereka dewasa.
Mungkin delusionalnya kembali kumat ketika dia merasa mata itu terlihat kembali pulang. Atau mungkin itu adalah cerminan dari apa yang dilihat oleh pria di depannya. Wonwoo masih diam, membuat suasana menjadi canggung apalagi dengan ekspresinya yang masih datar melihat ke depan. Sesuai dengan yang diduga, kakaknya punya seribu jurus agar suasana tidak menjadi canggung. Memang sangat kebalikan dua bersaudara ini.
Wonwoo dirangkul oleh Jeonghan dan menunjuk ke arah orang itu sambil berkata, “Won, ini sapa dulu tamu kehormatan!”
Mengundang tawa kecuali dari Wonwoo sendiri yang masih terpaku apalagi setelah mendengar tawa yang dulu menemani ruang tamu rumah ini ketika pria ini dan kakaknya bermain PS di sana. Ini tidak hebat dan malah menjadi malapetaka bagaimana jantungnya bekerja sesuai yang diduga tapi Wonwoo tetap kecewa karena dia berharap lebih pada jantungnya, tidak berdetak untuk cowok di depannya lagi seperti misalnya.
“Weh, udahlah jangan gitu!” Begitulah suaranya masuk ke dalam telinga Wonwoo. Cowok itu kemudian mengambil langkah ke depan.
“Ya kan emang tamu kehormatan, fenomena yang sangat jarang seorang Mingyu bisa nginjek Bandung. Dikira udah lupa sama kita-kita ya, Won?” tanya Jeonghan sambil melirik ke Wonwoo. Jahat dan tidak punya hati, itu kakaknya. Dia tahu semua rahasia Wonwoo, tapi bersikap seperti seorang yang tidak berperikemanusiaan. Sisanya Wonwoo tidak tahu apa yang mereka bicarakan, palingan argumen kosong yang penuh dengan kerinduan. Yang Wonwoo lakukan hanya mendongak, menelisik ke wajah Mingyu yang kurang ajarnya semakin tampan. Menggerogotinya sampai dia menderita dan memenuhi kebahagiaan anak kecil dalam dirinya.
“Halo, Won, gimana kabarnya?” tanya pria itu langsung kepadanya, senyumnya tak pernah tinggal. Senyum ramah, hangat, dan manis. Namun sayangnya bisa membuat banyak orang salah paham dan jatuh. Termasuk Wonwoo di umur sepuluh tahun. Memang dewasa sebelum waktunya. Salah siapa? Orang yang sedang menunggu responnya sekarang.
“Woy! Malah diem, ditanya itu.” Mengerjapkan matanya ketika Jeonghan menepuk bahunya. Wonwoo berdehem, dia menetralkan ekspresinya. Tidak tersenyum atau apapun karena rasanya tidak mau memberikan rasa kepuasan tersendiri pada orang di depannya ini, bilang Wonwoo adalah orang yang salty dan pendendam.
“Uh, baik. Kakak juga, apa kabar?” tanya Wonwoo dengan muka yang berusaha untuk menutupi kartu-kartu perasaannya. Jadi jatuhnya malah acuh tak acuh.
“Yeah, yeah, m’good. Sejak kapan pake kacamata? Pasti hobi main gamenya ga pernah putus, ya?”
Cowok itu ingat, dia ingat Wonwoo suka main game sejak kecil. Dia ingat, dan itu sangat kurang ajar bagaimana bisa memberikan efek di mana perasaan itu kembali ke dasar secara perlahan-lahan. Hopeless, itu Wonwoo.
“Wah, udah nikah dia mah sama game-gamenya. Tuh kacamata aja baru ganti gara-gara minusnya naik.” Jeonghan tak pernah absen mempermalukan adiknya. Wonwoo memberi tatapan sinis sebagai balasan yang mana tidak ditakuti oleh cowok lebih tua itu.
“Inget banget dulu kamu sering ngadu ke tante soalnya kita berdua ga pernah kasih kamu main PS. Wah, such a good memories.”
Wonwoo tak menjawab soalnya Jeonghan yang merespon itu dengan antusias. Beberapa kali bahkan bahasanya switch ke Sunda dan Wonwoo cukup kaget karena pria itu masih bisa berbicara bahasa daerah asalnya kendati sudah menginjak negeri Singapura sejak delapan tahun yang lalu.
Wonwoo sesekali melirik ke arah pria itu. Tertawa lebar dan menunjukkan gigi taring yang dulu selalu menjadi bahan fantasi Wonwoo si anak kecil soal cowok itu yang kemungkinan adalah makhluk semacam drakula atau vampir. Wonwoo benar-benar mengutuk dirinya lagi ketika bagaimana tawa itu diselingi dengan hidungnya yang mengkerut dan matanya yang hampir hilang. Entah kakaknya adalah komedian bertalenta atau dia yang humornya anjlok.
Tak sadar sejak tadi menguliti pria itu dengan matanya, Wonwoo terkejut ketika mata pria itu bertabrakan dengan miliknya. Dia langsung menoleh ke arah lain. Dengan mulus dia menoleh ke arah teras rumahnya yang ternyata di sana ibu dan neneknya sudah tidak ada. Wonwoo hanya sekilas melihat ke arah pria itu dan menuju ke kakaknya.
“A’, (Wonwoo) masuk, ya.” Berpamitan dan memberi senyum singkat ke keduanya, meninggalkan beberapa detik berlebih ke arah pria itu dan langsung membuat Wonwoo menyesali eksistensi hidupnya. Tanpa mendengarkan apapun lagi, Wonwoo langsung berjalan masuk ke dalam rumahnya. Bahkan bisa dibilang sedikit berlari. Salim kepada ibu dan neneknya yang ternyata di ruang tamu, menjawab basa-basi seadanya, dan langsung pergi ke kamar.
Ketika pintu kamar ditutup, Wonwoo melempar buku yang tadi di tangannya ke kasur dan dia breakdown. Bukan, dia tidak menangis sama sekali, tapi dia menjambak rambutnya dengan kedua tangan. Dia frustasi, kepada dirinya dan kepada semesta yang entah kenapa membawa pria itu lagi ke Bandung. Ya, walaupun Bandung bukan milik Wonwoo juga sih. Tapi apa maksudnya ketika Wonwoo menghabiskan waktu remaja dan pubertasnya untuk melupakan cinta pertamanya agar bisa dengan sangat mudah jatuh, jatuh, dan jatuh lagi ketika pria itu kembali ke kota?
Wonwoo berjalan ke jendela yang menghadap ke pekarangan depan rumahnya. Tentu untuk melihat pria itu lagi yang sekarang duduk di taman dan menghabiskan sebatang rokok di tangan bersama dengan kakaknya. Sejak kapan pria itu merokok? Sejak kapan pria itu menjadi sangat dewasa dan irresistible ? Well, pria itu selalu menarik di mata Wonwoo sejak dahulu, tapi ini? Wonwoo bisa saja mimisan jika dia tidak punya pertahanan diri.
Oh. Wonwoo kacau.
Sangat kacau.
Pria bernama Kim Mingyu, yang membuat Wonwoo naksir setengah mati dan membuat pria itu menjadi cinta pertamanya lewat godaan, perhatian, dan kejahilan yang dilakukan bersama kakaknya kepada Wonwoo. Kim Mingyu yang sudah dipastikan akan membuat Wonwoo pecah berkeping-keping untuk kedua kalinya.
****
Jadi begini, simple saja tentang Wonwoo dan Mingyu, yah dan juga kakaknya Wonwoo yakni Jeonghan. Mereka bertiga adalah trio abstrak yang sebetulnya awalnya merupakan duo troublemaker Jeonghan dan Mingyu karena mereka satu sekolah, satu kelas, seumuran, dan juga tetangga. Wonwoo, dia hanyalah adik kecilnya Jeonghan yang bisa dibilang selalu membuntuti kakaknya itu. Selalu ingin ikut main dan selalu ingin diperhatikan kakaknya yang beda lima tahun itu.
Anyways, kembali lagi ke topik. Ketika Jeonghan dirasa lebih sibuk dan sudah mulai menolak main dengan Wonwoo, sang adik tentu marah. Simulasi menjadi detektif kecil dan mulai merangkai teka-teki ketika Jeonghan membawa pulang seorang lelaki yang berisik, jahil, dan….perhatian. Awalnya Wonwoo tantrum dengan fakta bahwa kakaknya sudah direbut oleh teman SMP nya, bahkan Wonwoo tidak lelah memberikan tatapan sinis ke arah cowok itu. Tapi kembali lagi ke fakta bahwa cowok itu perhatian. Sangat perhatian. Ketika Wonwoo mulai merasakan bahwa afeksi kakaknya memudar seiring umur yang dewasa, teman kakaknya itu memberikannya lagi dengan efek yang berbeda. Wonwoo mulai luluh ketika cowok itu membela Wonwoo saat Jeonghan dengan masalah amarah remajanya tertuju kepada adiknya yang tak sengaja mematahkan kerajinan sekolah miliknya. Wonwoo mulai luluh ketika cowok itu akan membantu Wonwoo memberi alasan kenapa dia, saat itu kelas enam SD,bisa ikut main dengan mereka, yang baru saja menginjak SMA, mulai luluh ketika cowok itu rela salah satu koleksi mobil Hotwheels miliknya dibawa pulang oleh Wonwoo, serta pria itu punya senyum terbaik yang mampu membuat Wonwoo juga ikut tersenyum melihatnya.
Semua itu tak terhenti bahkan berkembang. Mereka bertiga bisa dibilang tak terkalahkan, walaupun dengan cerita keseharian yang berbeda karena umur dan senioritas yang tak terelakan dari Jeonghan kepada adiknya (secara jenaka). Semua itu menjadi sangat berkembang, Wonwoo menghangat dan perasaan polosnya mengatakan bahwa mereka akan selamanya menjadi seperti itu. Apalagi jika mengingat tentang Mingyu. Cowok itu bukan main sabar dan pedulinya dia kepada Wonwoo, bahkan sampai beberapa teman Wonwoo dulu berpikir bahwa dia mempunyai dua kakak karena jika Jeonghan tidak bisa mengantarnya ke sekolah atau menjemputnya dari tempat les maka itu menjadi tugasnya Mingyu.
Seharusnya orang-orang jika ada di posisi Wonwoo akan menganggap bahwa Mingyu adalah kakak dengan orang tua yang berbeda. sahabat kakaknya yang sudah dianggap menjadi saudara. Tapi kesalahan pertama Wonwoo ada pada pikirannya yang sudah disusupi oleh sinetron murahan bahkan drama korea yang ditonton nenek beserta ibunya di televisi nasional. Dia naksir pada sahabat kakaknya dan itu semua karena dia sudah mengenal delusional dan berpikir bahwa jalan ceritanya bersama Mingyu akan semulus cerita Goo Jun-pyo dan Geum Jan-di. Berpikir bahwa lelaki yang memberikan sikap seperti di drama Korea itu berarti akan menuju jalan cinta, dan Mingyu adalah lelaki itu.
Naif dan delusional, juga dewasa sebelum waktunya. Itulah Wonwoo. Sungguh memalukan. Dia sekarang bahkan menunjukkan wajah geli ketika sedang mengunyah makan malam bersama keluarganya, dan sayangnya dia sedang mengingat itu semua. Mengingat kebodohannya dan Mingyu.
“Kenapa, dek? Aya cucukna? (Ada tulang ikannya?)” tanya ibunya yang membuat Wonwoo tersadar dari lamunan. Cowok itu menggeleng dan melanjutkan kunyahannya dengan normal. Tidak mengindahkan tatapan aneh dari kakaknya yang duduk tepat di sampingnya. Jeonghan itu sayangnya dia begitu sayang kepada Wonwoo begitu pun sebaliknya sampai mereka bisa tahu isi pikiran masing-masing.
“Meuni tambah kasepnya budak teh?” (Tambah ganteng banget ya anak itu?)Itu neneknya yang tiba-tiba membuka pembicaraan yang ambigu namun tentu saja mereka semua tahu yang dimaksud wanita tua itu siapa. Siapa lagi kalau bukan Kim Mingyu? Pria mana lagi yang tampan?
“Iya, bu, sigana mah angin Singapura aya bubuk kegantengan. Hoyong ah aa’ kerja diditu.” (Kayanya angin Singapura ada bubuk kegantengan. Mau ah kakak kerja di sana.) Jeonghan menyahut setuju dengan menyebut ‘ibu’ kepada neneknya karena memang semua anggota keluarga memanggil sepuh itu dengan panggilan yang sama.
“Aamiin, sugan weh aya kesempatan.” (Semoga aja ada kesempatan.) Ibu mereka giliran memberikan support pada angan-angan Jeonghan, angan-angan mengingat kakaknya itu sekarang terikat dengan kontrak korporat. Ya mungkin untuk beberapa tahun ke depan. Wonwoo dalam hati ikut mengaminkan.
“Tapi kenapa ya pulang ke Bandung? Lain sugan teh bumina tos dijual, a’.” (Kirain rumahnya udah dijual, kak) Neneknya kembali mengangkat topik Mingyu. Diam-diam Wonwoo memberikan lirikkan kepada nenek kesayangannya itu. Dia sudah lelah jika harus membicarakan Mingyu terus, bukan apa-apa tapi Wonwoonya aja yang capek nahan dirinya sendiri biar perasaan konyolnya tidak kembali ke dasar.
“Ngga sih kayanya, soalnnya ga pernah tuh ada baliho ‘Dijual’. Terus tadi sempet nanya sih katanya kangen Bandung aja, sama kita semua,” ujar Jeonghan dan kurang ajarnya diakhiri dengan, “....sama kamu juga, dek.”
Jeonghan? Wah, dia sangat tahu perasaan konyol Wonwoo di masa puber dan itu tidak pernah absen jadi bahan godaan kakaknya itu. Kaki Wonwoo menyenggol cukup keras kaki Jeonghan di bawah meja makan yang disambut suara kesakitan.
“Kagak bohong ini, suer! Doinya bilang begitu kok.” Jeonghan memberi dua jari ke Wonwoo yang kemudian dibalas putaran mata sinis.
“Ya terus?”
“Adeuhhh adek, dulu inget pisan si mama meuni harus beliin kamu game-game apa tuh dulu biar kamu berhenti nangis gara-gara ditinggal sama Mingyu.”
Wonwoo menghela nafasnya dengan lelah sampai menyimpan alat makannya. Jika neneknya sama-sama menyebalkannya dengan sang kakak, maka sekarang Wonwoo menatap ibunya untuk meminta tolong.
“Eh hooh baru inget mama dulu kamu tuh nangis kejer banget sambil masih pake seragam SMP soalnya ngeliat Mingyu berangkat pindahan. Dulu kamu tuh naksir kan ya sama Mingyu?”
“Yah, mama, jangan diperjelas begitu atuh. Kalo si adek ngambek pokokna aa’ ga mau tanggung jawab,” ujar Jeonghan dengan mengangkat tangannya kemudian diikuti dengan ibunya yang menutup mulutnya tapi matanya menunjukkan tidak adanya rasa menyesal di sana.
“Sumpah ya padahal dari tadi aku mingkem, diem, masih aja kena. Awas aja ntar kalo Wifi rusak, aku ga akan bantu benerin.”
Seluruh keluarganya tertawa dengan kemudian Wonwoo yang dipeluk kepalanya oleh sang mama sambil sok meminta maaf. Untungnya setelah itu obrolan mereka beralih ke urusan rumah dan juga pertanyaan mengenai kuliah Wonwoo serta pekerjaan Jeonghan.
****
Wonwoo bangun dari tidurnya dan ketika dia membuka mata, dia langsung mengeluarkan suara keluhan dan kemudian membenamkan wajahnya ke bantal. Soalnya yang pertama kali dia lihat adalah tiga mobil hotwheels yang ada di rak tembok yang ada di depannya. Mingyu dan eksistensinya yang Wonwoo harap bisa hilang dalam kepalanya. Wonwoo tak mau tenggelam dalam rasa menyebalkannya kepada pria yang di seberang jalan sana entah sedang apa. Alhasil dia bangkit dari tidurnya.
Namun nihil, Wonwoo memutuskan untuk menelan penyesalannya nanti dan memilih untuk mengambil pemandangan rumah di seberang jalan di matanya. Masih tertutup dengan mobil Pajero di pekarangannya. Ya, karena ini masih cukup pagi juga sih. Tapi pikiran Wonwoo tidak kepada kenapa Mingyu tidak bangun dan menampakkan wajah atraktifnya di pekarangan rumah, tapi tentang alasan pria itu kembali.
Wonwoo masih ingat dengan delapan tahun yang lalu. Semua menjadi kelabu dan tragedi ketika mendengar tetangga mereka yakni orang tua Mingyu mengalami kecelakaan dan harus meninggalkan anak mereka yang baru saja akan masuk ke perguruan tinggi. Beberapa bulan kemudian, tidak ada kabar spesifik kepada Wonwoo berakhir dengan dia yang melihat Mingyu yang tiba-tiba pamit untuk pindah ke Singapura bersama kakeknya. Kakak, ibu, dan neneknya terlihat sudah mengetahui fakta itu tapi Wonwoo tidak. Entahlah kenapa saat itu tidak ada yang memberi tahu dari awal soal itu kepada Wonwoo. Kenapa Mingyu tidak mengatakannya dulu kepada Wonwoo sedangkan kepada Jeonghan bisa?
Di saat itulah Wonwoo sadar bahwa dia tidak sekrusial itu di bagian cerita hidup seorang Kim Mingyu. Dia sadar bahwa ketika dia memberikan beribu kalimat untuk mendeskripsikan Mingyu di bagian cerita hidupnya, Wonwoo hanyalah sekedar nama yang beberapa kali disebut dengan judul ‘adik sahabat’nya. Sejak itu mereka bisa dibilang lost contact, atau mungkin hanya Wonwoo sedangkan kakaknya sesekali bertukar kabar lewat email, mungkin.
Wonwoo menggelengkan kepalanya dan mulai berjalan ke kamar mandi, membungkuk di wastafel dan mencuci mukanya dengan air dingin agar menghilangkan pria bernama Mingyu itu di kepalanya. Mingyu yang tiba-tiba kembali memenuhi kesehariannya Wonwoo lagi. Dia tidak yakin dengan kedua kalinya mereka bisa dekat seperti dulu apalagi ketika dia tidak tahu apakah Mingyu akan menetap di Bandung atau tidak. Namun yang pasti dia bisa dipastikan akan kacau. Kacau karena sahabat kakaknya itu.
“Pagi, tuan pangeran. Tumben bangun pagi, ada kuliah?” tanya neneknya yang sedang mengupas bawang di meja makan yang juga berada di dapur. Tidak mengindahkan sarkasme neneknya itu, dan Wonwoo hanya menggeleng.
“Ngga main game jadi tidur cepet,” jawabnya sambil mengambil gelas dan menuang air ke dalamnya untuk diminum. Selagi minum dia mendengar cerocosan neneknya soal main game sampai subuh dan sebagainya. Untungnya, ibunya datang sambil membawa plastik hitam yang Wonwoo yakini adalah sarapan andalan mereka, kupat tahu. Pas juga setelah itu kakaknya datang ke dapur dan sudah rapih dengan pakaian kerjanya, tapi kelihatannya Jeonghan saat ini sedang terburu-buru.
“Aa’ pergi duluan ya.” Itu pamitnya membuat semua orang berfokus pada sulung keluarga tersebut.
“Eh, ngga sarapan dulu masa? Kok buru-buru amat? Biasanya masih setengah jam-an lagi,” respon ibunya. Kemudian Jeonghan menggeleng sambil menghela nafas, tangannya mengambil satu bungkusan coklat sambil kemudian merogoh tempat makan dan tas dari lemari dapur.
“Ga tau nih ga jelas banget, atasan pagi-pagi udah marah sambil minta revisian. Jadi mending langsung ke kantor aja. Udah ya, pamit duluan semuanya!” Jeonghan salim kepada dua wanita di rumahnya kemudian mengulurkan tangannya pada Wonwoo untuk bergantian. Setelah itu tidak ada kata apapun lagi kakaknya meninggalkan rumah dengan mobil miliknya. Sedangkan Wonwoo mendengarkan keluhan neneknya yang memberi sugesti kepada Jeonghan agar resign daripada harus terus tersiksa seperti itu.
Wonwoo berpikir bahwa dia setuju juga dengan neneknya karena memang kakaknya itu tidak sekali dalam situasi seperti ini bahkan lebih parah, mereka mengira awalnya memang seperti itu pekerjaan kantoran tapi semakin kesini semakin parah. Sambil berpikiran seperti itu, tangan Wonwoo yang sekarang akhirnya merogoh satu bungkus kupat tahu di dalam plastik hitam. Namun tiba-tiba saja tangan ibunya menahan Wonwoo.
“Anterin dulu ini buat a’ Mingyu!”
Ya elah, pikirnya. Bahkan Wonwoo memejamkan matanya sebentar karena nama itu dan bagaimana nama itu berelasi dengan Wonwoo.
“Kok tiba-tiba?”
“Tiba-tiba gimana?”
“Maksudnya kenapa beliin buat orang lain juga?” tanya Wonwoo. Dalam hatinya ditekankan maksudnya, kenapa harus membelikan orang itu dan membuat Wonwoo ada di posisi ini?
“Hush ih ai kamu jangan begitu! Apa salahnya sih ngasih? Lagian nak Mingyu juga bukan ‘orang lain’, di rumahnya sendirian terus kalo misal mau beli makan di komplek pasti agak ga sreg takut tetangga pada nanya ini itu.”
Benar juga sih, tapi tetap Wonwoo mau menjambak dirinya sendiri. Dia tidak mau berhadapan dengan cowok itu, dan berhadapan dengan fakta bahwa jantungnya akan keluar, serta dia akan merangkak ke rumahnya karena jatuh untuk kesekian kali. Well, itu agak dramatis sih tapi pokoknya Wonwoo tidak mau merasa canggung pasalnya mereka sudah lama tidak bertemu dan bercengkrama, siapa yang tidak merasa canggung dengan orang yang baru saja kau temui dalam rentang hampir satu dekade? Apalagi jika disatukan dengan fakta jika Wonwoo pernah naksir berat dengan sahabat kakaknya itu.
Maka untuk pertama kalinya dia berkata seperti ini kepada ibunya, “Mama aja lah yang kesana.”
Pasalnya dia akan berusaha untuk mengatakan ‘iya’ jika itu membuat beban ibunya hilang sebagian. Tapi untuk ini? Wonwoo lebih baik berhadapan dengan dosen pembimbingnya yang kritis dan galak. Namun apa daya ketika saat ini mamanya memberikan tatapan murung dan kepalanya miring. Ugh, itu tidak adil.
“Kalo mama ga harus prepare buat pesenan Haji Iky, mama ga akan suruh kamu. Cuma di seberang loh dek, tinggal ketuk terus kasih. Kalo bisa kamu ngobrol dikit sama dia, bukannya dulu kamu juga deket sama Mingyu, iya kan?”
Itu yang mamanya tidak ketahui. Untuk Wonwoo, Mingyu lebih dari sekedar ‘pernah dekat’. Wonwoo di umur sepuluh tahun sudah mulai secara harfiah menghabiskan masa pubertasnya dengan delusional akan mengadakan pernikahan adat sunda dan membuat kakak beserta sahabatnya itu menjadi benar-benar saudara. Klise dan konyol, dan menurut mama serta neneknya atau mungkin kakaknya itu hanya sekedar ‘naksir berat’ dan mereka akan melempar pernyataan ‘Masih kecil ga tau apa-apa’ jika Wonwoo menyatakan apa yang benar-benar dia rasakan pada yang lebih tua itu.
Mamanya tidak tahu rasanya begitu membakar bahkan sampai sisa-sisa api dan abu yang berserakan masih ada dalam dirinya sekarang. Mamanya tidak tahu anak laki-laki bungsunya menghabiskan masa SMP nya mengurung di kamar bukan karena sekedar main game sampai subuh tapi juga meratapi penghuni rumah di seberang yang sudah meninggalkan kota mereka. Mendedikasikan seluruh lagu sedih untuk pria itu dan juga untuk memberi makan rasa sengsaranya. Huh, memang se-emo itu dirinya dulu. Emo dan dewasa sebelum waktunya.
“Apa jangan-jangan…” Mamanya menggantungkan pertanyaannya dengan alis menukik, membuat Wonwoo juga melakukan hal yang sama tapi karena antisipasi pertanyaan macam apa yang ada di ujung lidah ibunya.
“....Kamu masih naksir ya sama dia?”
Kan.
Untuk itu, Wonwoo mendelik dan melihat ujung bibir ibunya naik serta kekehan neneknya yang sejak tadi mendengar mereka berdua. Wonwoo kemudian mengeluarkan semua bungkusan kupat tahu di dalam kantong kresek dan menyisakan satu bungkus di dalamnya untuk dia jinjing.
“Ga.” Itu jawabannya sebelum akhirnya pergi meninggalkan kedua wanita itu di dapur.
Wonwoo berjalan, berjalan, dan berjalan. Sayangnya jarak ke rumah di seberang itu tiba-tiba berubah menjadi sejengkal saja. Dalam hati Wonwoo, dia menggerutu. Mempersiapkan apa yang akan dia ucapkan, “Makan!”. Dia menggeleng, terlalu kasar dan tidak sopan apalagi mengingat Mingyu lebih tua. “Mama nyuruh nganterin ini.” Kemudian kepalanya menggeleng lagi, kurang konteks dan terkesan seperti terpaksa. Ya memang sih, tapi kurang sreg aja.
Cklak.
Mata Wonwoo melotot ketika pintu di depannya terbuka dan menampilkan Mingyu dengan wajah paginya yang entah kenapa sialannya sungguh menawan, harusnya orang ini belum mandi, kan? Anyways, kembali ke dia yang kaget yang juga disambut tak kalah kaget dari Mingyu yang bahkan mengambil beberapa langkah ke belakang.
“Wonwoo?”
Malapetaka. Memang malapetaka. Bagaimana namanya keluar dari mulut Mingyu? Dengan suaranya yang khas di pagi hari? Wonwoo benar-benar akan pulang merangkak ke rumahnya. Well, tidak juga sih, dia hanya dramatis. Tapi apakah dia berbohong? 100% tidak.
“Kaget tiba-tiba udah di depan rumah. Ada perlu sesuatu?”
Dulu ketika Wonwoo datang ke rumah ini entah untuk mengganggu kakaknya main dan juga ingin melihat wajah orang ini dengan alasan “Mau liat hotwheels barunya” atau “Ada game baru, aa’ lagi sibuk (jadi lo satu-satunya yang available)”, dia akan disambut dengan riang dan bahkan digandeng masuk ke dalam rumah tanpa tanda tanya oleh orang yang sama. Tapi cukup getir ketika sekarang ketika mereka sudah masuk 20-an butuh password untuk Wonwoo masuk ke dalam rumah ini.
Karena baru sadar dia melamun, akhirnya Wonwoo cepat-cepat berdehem dan menetralkan wajahnya. Tangannya yang menjinjing makanan akhirnya terulur ke Mingyu. Ketika kata-kata yang belum dia siapkan ternyata dengan mudah berputar di lidahnya.
“Mama tadi beli sarapan, beliau bilang sekalian buat rumah seberang.” Wonwoo mengatakan itu dengan sedikit dingin. Mingyu tidak sadar atau dia memang sadar dan hanya merespon itu dengan kekehan terhibur. Dia mengambil bungkusan itu dengan rasa terima kasih di wajahnya.
“Wah ngerepotin banget. Sampein ke tante makasih gitu, ya!”
Wonwoo mengangguk dan dia tidak tahu lagi apa yang akan dia lakukan. Tapi Mingyu untungnya kembali mendongak dan senyum tak pernah hilang di wajahnya sekarang menatap Wonwoo.
“Makasih juga udah nganterin.” Wonwoo kembali mengangguk tanpa bersuara. Dia mau kabur aja rasanya karena suasana canggung di antara mereka tidak terelakan.
“Mau masuk dulu?” Sekejap ada sesuatu dalam diri Wonwoo yang antusias akan pertanyaan itu, seolah dia menunggunya keluar dari mulut pria itu. Dia mau masuk kedalam
dan mungkin mereminisasi ruangan yang sudah lama tidak ia injak, mau masuk ke dalam dan memiliki pembicaraan simple tentang cerita apa saja yang dilewatkan oleh Wonwoo dalam hidup Mingyu dan begitu pula sebaliknya apabila cowok itu peduli, mau masuk ke dalam dan jika bisa dia mau memaki cowok ini karena pergi dan tidak pernah sekedar menitip salam kepadanya entah lewat kakaknya atau siapapun.
“Kayanya mau pulang aja, soalnya mama lagi ada banyak pesenan.” Tapi itu yang menjadi jawaban Wonwoo. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan kepada pria di depannya ini jika harus ditinggal berdua. Fakta bahwa pria itu pergi dari kota ini dan tidak memberi kabar memberikan sensasi bahwa tawaran Mingyu tadi hanyalah sekedar basa-basi yang wajib agar adik sahabatnya itu tidak tersinggung.
“Oh, tante masih buka usaha katering, ya?”
Wonwoo mengangguk, “Sesekali aja, ga sesibuk dulu.”
Giliran Mingyu yang hanya mengangguk tanpa bicara. Jelas ada jarak yang tak terelakan di antara mereka berdua. Inner child Wonwoo menangis melihat semua ini. Dulu Mingyu adalah panutannya selain kakaknya, karena cowok ini menurutnya adalah manusia terkeren se-Bandung. Dekat, dekat, dekat, dekat, lalu jauh, jauh, dan jauh.
Kemudian Wonwoo memberi gestur perpisahan kepada Mingyu sebelum dia akhirnya menggerakkan kakinya pergi dari rumah itu. Tapi ketika menginjak bagian entrance beton di rumah itu, Wonwoo berhenti karena suara Mingyu.
“Won,” panggilnya dan Wonwoo mengangguk yang dia yakini juga matanya sekarang berubah menjadi mata rusa.
“It’s really, really nice to see you again.”
Entah apa yang diharapkan pria itu, mungkin dia berharap Wonwoo membalasnya dengan kalimat yang sama. Tapi Wonwoo benar-benar ingin menangis saat itu, dan Wonwoo membencinya. Wonwoo benci Mingyu karena dengan mudahnya mengatakan itu tanpa tau bahwa itu memiliki efek berkepanjangan untuk Wonwoo.
