Chapter Text
01. life is just a game maybe
Seorang pemuda berpakaian putih rapi dengan dasi kupu-kupu datang menghampiri Gojo Satoru, membawakan sebuah nampan yang hanya berisi satu gelas minuman dengan warna merah seperti semangka, bibir gelasnya dihiasi dengan tempelan gula kristal yang diberi pewarna dan membuatnya seolah-olah adalah butiran emas. Satoru hanya mengangguk sambil berterima kasih dengan pelan, memandangi gelasnya seperti seorang pengawas restoran. Alisnya berjengit, memeriksa bahwa dia memang disajikan minuman cherry seperti permintaannya, tetapi seharusnya bukan ini.
Dia menoleh ke sudut lain ruangan, mengabsen satu per satu minuman orang-orang untuk memastikan bahwa bukan cuma dia sendiri yang mendapatkan minuman ini. Sepertinya sour cherry margarita, pikirnya. Dia memang meminta secara khusus minuman yang berhubungan dengan bunga sakura, tapi bukan ini. Sakura memang cherry, tetapi, sekali lagi, bukan ini.
Satoru tidak mengerti mengapa kali ini dia ingin kesal pada hal remeh-temeh. Dia pun melangkah berkeliling, sambil menebar salam basa-basi pada para tamu ayahnya atau tamunya. Mereka semua datang berpasangan, dengan pakaian paling licin atau paling berkilau dari lemari. Satoru mengenal banyak wajah, walaupun dia melupakan banyak nama. Sebuah penyakit baginya, begitu mudah untuk mengingat rupa tapi begitu sulit untuk menghafal kata penanda rupa.
Kebanyakan memegang minuman warna merah, tetapi beberapa memilih mengambil minuman berwarna hijau atau bening. Satoru memilih sendiri minuman apa saja yang akan dia sajikan di gala malam ini, dia senang mengatur segalanya sesuai dengan keinginannya.
Seharusnya ada sakura martini di sini. Minuman dengan buah ceri langsung dari Kroasia yang asli, buah yang memukau Satoru pada pertemuan pertamanya ketika dia dijamu dengan benda itu ketika bertamu ke Venesia tahun lalu. Dia ingin minuman itu disajikan padanya dan tamu-tamu pentingnya, untuk memperlihatkan betapa nikmat sesuatu yang dikreasikan dengan ide brilian seperti itu.
Dia tiba-tiba melihatnya: gelas berkaki tinggi yang dibawa oleh seorang pelayan yang menyelinap di antara tiga orang di dekat tangga melingkar. Satoru melebarkan langkah, bermaksud mendahului siapapun untuk mengambil itu, tetapi pelayan tersebut kemudian dihentikan oleh seseorang yang tak terlihat di balik punggung seorang sutradara yang pernah menjadi atasan Satoru di film keduanya. Satoru ingin mencari tahu, tetapi kemudian seseorang menepuk bahunya.
“Tuan Gojo.”
Oh sial, minumanku. Satoru mau tidak mau menoleh. “Nanamin. Ya?” Dia berusaha tersenyum cerah, sebuah usaha tanpa henti untuk menghapus kerut di kening dan garis wajah pemuda yang sesungguhnya lebih muda darinya itu, yang telah mengabdi pada keluarga Gojo sejak masa magangnya. Dia tersenyum saja seorang Nanami Kento masih memajang wajah bosan begitu, apalagi kalau dia galak?
“Tuan Gojo ingin memanggil Anda.”
“Bicara saja,” tukas Satoru.
“Tapi beliau membutuhkan Anda.”
“Bilang saja tentang apa itu. Akan kuselesaikan di sini.”
Kento terlihat ragu, dia mengerjap bingung.
Satoru menggeleng. “Dia pasti mengatakan padamu apa yang membuatnya menyuruhmu ke sini, kan? Tentang apa?”
“Dia ingin Anda bertemu dengan salah satu koleganya. Keluarga mereka memutuskan untuk menjadi donatur dengan jumlah yang sangat besar untuk penggalangan dana malam ini.”
“Seberapa besar?”
“Mereka berani memberi jaminan bahwa sumbangan mereka adalah lima puluh persen dari biaya yang kita keluarkan pada acara malam ini.”
Mata Satoru membelalak dan dia nyaris melemparkan gelasnya ke udara karena kegirangan. “Itu gila! Mana keluarga gila itu, aku mau bertemu mereka!”
Kento tampak meringis, berusaha menahan rasa malu dan takut, bahkan mungkin rasa kesal ketika Satoru malah melengkingkan kata-kata tak sopan itu di tengah umum. Namun Satoru tak peduli, dia malah berbalik mendorong punggung Kento untuk mengantarkannya ke tempat ayahnya berada. Dia menghela napas, mungkin menghitung sisa kesabarannya yang setipis kulit bawang. “Lewat sini, Gojo-san,” dia menunjuk ke arah jam sepuluh dari posisi mereka.
Sementara Satoru, baru saja mengingat sesuatu. Dia menoleh, tidak lagi menemukan pelayan yang membawa gelas tinggi berwarna rose gold barusan, beserta orang yang mengambil kesempatan terakhir darinya.
Ayahnya sedang bicara dengan seorang broker yang Satoru kenal sejak kecil. Blasteran Jepang dan Jerman, orang itu telah membantu banyak bisnis keluarga Gojo untuk membangun offshore company di berbagai negara, terutama perusahaan tekstil yang mereka kelola dengan intens dua puluh tahun belakangan. Ayah Satoru tampak tertarik untuk menjadi bagian dari pabrik jam tangan yang berbasis di Swiss sekarang, oleh karena itu dia terus-terusan berada hampir di manapun dengan broker yang satu itu.
Satoru, kurang tertarik dengan pembicaraan, mendekat pada ayahnya tanpa berbasa-basi dengan di broker. “Papa memanggilku?”
Ayah Satoru mengerutkan kening karena putranya tampak cuek pada seseorang yang seharusnya dia hormati sebagai salah satu tonggak dari karirnya. Satoru menangkap isyarat itu, tertawa kecil sambil berpaling pada sang broker, “Tuan Tadashi. Selamat malam, selamat datang di acara kami, semoga Anda menikmati semua hidangan dan bisa berpartisipasi di acara inti!”
Tuan Tadashi hanya mengangguk sambil menyambut jabatan tangan Satoru. “Aku melihat filmmu di bioskop bulan lalu. Luar biasa. Putriku senang sekali melihatmu sebagai pembalap. Ah, seandainya aku punya sesuatu untuk ditandatangani.”
“Aku bisa memberi putrimu tanda tangan lewat ponsel!” Satoru merentangkan tangannya riang. “Mana, biar kuberikan langsung padanya lewat chatroom Anda berdua.”
Tuan Tadashi pun memberikan ponselnya, Satoru meminta pria itu membuka ruang obrolan dengan putrinya. Dengan topeng kepercayaan diri yang biasanya dia kenakan di depan kamera, Satoru pun berswafoto, kemudian menyuntingnya dengan menambahkan tanda tangan menggunakan fitur corat-coret. Dengan cengiran lebar menempel di wajahnya, dia menyerahkan kembali ponsel itu. “Salam untuk putrimu, semoga dia suka peranku selanjutnya yang berbeda jauh dengan film sebelumnya.”
Satoru kembali pada ayahnya, yang tampak tak terkesan sedikit pun. Tuan Gojo hanya menggumam pelan, mengatakan sesuatu yang terdengar seperti kuharap tanda tanganmu lebih sering digunakan di urusan dokumen keluarga, tetapi dia tidak menggubrisnya. Kedua tangan Satoru pada saku celananya, berdiri dengan tumpuan di atas salah satu kaki seolah-olah ini hanya sebuah pertemuan santai dengan kawan-kawan lamanya. “Jadi, Nanamin bilang—”
“Di sebelah sini.” Ayah Satoru pun berpamitan sesaat pada Tuan Tadashi untuk kemudian berpaling, melangkah beberapa meter menuju sebuah meja bundar yang ditempatinya beberapa saat yang lalu, bagian dari barisan meja dan kursi untuk tamu naratama. “Kau ingat keluarga Iori, yang punya firma hukum besar di Tokyo, yang juga partner bisnis keluarga Gojo beberapa tahun lalu, yang pernah memberikan investasi mereka saat kita membangun pabrik-pabrik di banyak kota?”
Satoru tidak bisa menggali ingatannya dengan mudah jika berurusan dengan bisnis keluarga, terlalu banyak nama dan peran yang tidak pernah membuatnya tertarik. Dia mencoba tersenyum, tetapi belum bisa mengenali wajah Tuan Iori yang berada di hadapannya sekarang. Dia menjabat tangan pria itu dengan ingatan yang kosong, berusaha berbasa-basi, “Apa kabar? Senang bertemu Anda kembali.”
“Tuan Gojo Satoru,” pria itu tersenyum tipis, “mungkin Anda sudah tidak ingat lagi padaku, terakhir kali kita pernah bertemu adalah saat Anda masih berusia enam tahun, kalau tidak salah. Ah, sekarang Anda sudah menjadi aktor besar. Waktu berlalu begitu cepat.”
“Ah, terima kasih. Kuharap Anda bisa menikmati karyaku.”
“Ini istriku,” Tuan Iori memperkenalkan wanita yang sedang berdiri di sampingnya, seorang perempuan dengan tulang pipi yang tinggi dan bibir yang tipis, yang mengingatkan Satoru pada seseorang, tetapi ingatannya tak begitu jelas. Mungkin salah seorang staf panggung?
“Dan ini keponakanku, yang kubantu untuk kuorbitkan. Kau pasti pernah bertemu dengannya, kalian pasti pernah bersilangan jalan karena pekerjaan kalian yang tak jauh berbeda.”
Perhatian Satoru terfokus pada gelas rose gold berisi minuman khusus untuk malam ini yang salah sasaran. Perempuan itu memegangnya! Dialah yang menerima minuman itu!
“Apa Anda ingat, Tuan Gojo Satoru? Iori Utahime, yang sekarang memakai nama panggung HIME. Kudengar gedung agensi kalian bersisian di Shinjuku. Dan ingatkah Anda, kalian dulu pernah bermain bersama di malam gala sampai kami kebingungan mencari kalian, dan akhirnya menemukan kalian di sudut taman belakang dengan bantuan lima orang dari security.”
Satoru mengerjapkan matanya dengan cepat dua, tiga kali. Perempuan di hadapannya menelengkan kepala, kemudian mengulurkan tangan. “Apa kabar, Adachi Satoshi?” Senyumnya terkembang ketika ia mengucapkan nama peran yang dimainkan Satoru di film terbarunya.
“Heh,” Satoru tersenyum miring, “tentu saja baik. Senang bertemu denganmu malam ini. Apakah Nona Iori bermaksud untuk turut menyumbang? Kalau ya, betapa kami senang! Seorang diva turut menjadi bagian dari partisipan, itu sebuah kehormatan.”
“Mari kita lihat,” Iori Utahime menyesap martininya dengan pelan seakan-akan mengejek Satoru akan minuman yang gagal didapatkannya. Pipinya bersemu kemerahan, dan Satoru tahu itu bukan hanya karena riasannya. “Aku akan dengan senang hati menjadi bagian dari acara amal ini. Terima kasih telah mengundang keluarga Iori, Gojo Satoru.”
Satoru turut menelengkan kepala. “Kutunggu partisipasi kalian di acara utama.”
Iori Utahime tersenyum, dan Satoru sedang berusaha mengingat senyum itu. Rasanya ini bukan kali pertama dia melihatnya.
Moderator sedang membacakan daftar nama penyumbang yang akhirnya memberikan kontribusi pada malam gala kali ini. Satoru bersandar di pinggir ruangan, berusaha mencocokkan nama-nama itu dengan wajah yang berada di memorinya. Siapa itu Tuan Aihara? Siapa itu Tuan Souzuke? Siapa itu Tuan Kawahara? Mereka menyumbang dengan jumlah yang rata-rata sama, kecuali keluarga Iori yang telah disebutkan di paling awal sebagai tamu naratama sekaligus penyumbang terbesar. Selain karena Iori Chihiro memang seorang pengacara terkenal yang punya firma hukum berstandar internasional, tampaknya keponakannya, Iori Utahime mendapat keuntungan besar dari albumnya yang menjadi best seller tiga kali berturut-turut, mengubahnya menjadi penyanyi pop kelas A di Jepang di era ini.
Satoru berusaha mengingat terakhir kali dia bertemu Utahime selain malam gala yang kata sang paman terjadi dua puluh dua tahun yang lalu, tetapi tidak bisa menemukan ingatannya. Gedung agensi mereka bertetangga, tetapi bukan berarti dia berada di sana setiap hari. Mungkin mereka pernah berselisih jalan, tetapi seingat Satoru, dia tidak pernah mengetahui soal Utahime kecuali dari cerita-cerita para kru atau orang-orang yang mendampinginya di manajemen, mendengar lagu-lagunya sekilas di jeda-jeda syuting. Nama HIME bukan nama yang asing, tetapi bukan berarti hal itu bisa membangkitkan ingatan dengan mudah, kapan terakhir kali mereka bertemu?
Moderator telah hampir selesai membacakan nama, dan selanjutnya adalah sesi pembacaan lebih lanjut mengenai profil-profil yayasan dan organisasi non-pemerintah yang menjadi sasaran kegiatan amal, serta pertanggungjawaban dari dana sumbangan yang telah dilakukan yayasan keluarga Gojo pada malam amal periode sebelumnya. Satoru menguap, merasa janggal karena telah mengantuk di pukul sebelas malam. Biasanya, syuting hingga pukul tiga pun bisa dia tangani tanpa kesulitan.
“Tuan Gojo.”
“Nanamin.” Satoru pun memindahkan tumpuannya ke kaki yang lain. Dia melihat Kento membawakan ponselnya, dan wajahnya pun mengkerut. “Aku belum mau berurusan dengan itu. Nanti saja.”
“Tapi ada lima panggilan tidak terjawab dari manajermu di agensi.”
“Ouch.”
“Dan ada pesan darurat, minta Anda untuk segera menghubungi balik.”
Satoru pun menghela napas. Dia akhirnya menerima ponsel tersebut dari Kento, lantas berjalan menjauh dari ruangan tersebut, menuju langkan terdekat. Dengan enggan, dia menelepon balik manajernya sambil bertopang di birai. “Halo, Yaga. Iya. Acaraku belum selesai. Ada apa?”
“Tawaran itu harus dijawab besok pagi. Aku tidak mungkin tidak mendiskusikannya denganmu. Kamu mau terima, atau tidak?”
“Sebentar, sebentar. Ini tawaran yang mana?”
“Tawaran dari agensi MAGICSOUND untuk video klip salah satu artisnya.”
“Oh, iya. Yang suratnya kau perlihatkan minggu lalu itu, ya Gampang, lah. Video klip paling cuma tiga menit, kan? Mudah.”
“Tapi kali ini mereka mereka punya skrip yang lebih panjang. Sepertinya menjadi film pendek, karena single HIME yang selanjutnya akan punya rangkaian sinematik sendiri.”
“Oh. Oke. Mengerti. Aku terima. Kalau bisa, berikan padaku skripnya, paling tidak garis besarnya saja paling lambat besok pagi, ketika kalian bertukar persetujuan. Kapan aku menandatangani hitam di atas putihnya?”
“Sabar dulu, Satoru. Kita urus satu-satu, yang penting kau setuju dulu.”
“Memangnya siapa yang meneleponku tengah malam di tengah-tengah acara keluargaku hanya untuk mencari jawaban ya atau tidak?”
“Aku cuma butuh jawaban satu kata, maka kau juga hanya akan dapat satu kata dariku: tunggu.”
Satoru mendecakkan lidah. Namun dia menyadari ada sesuatu yang kurang. “Tunggu, tunggu. Siapa tadi nama artisnya? Yang video klipnya harus kubintangi?”
“HIME.”
“HIME? Iori Utahime?”
“Kau lebih mengenalnya dengan nama aslinya? Ya, kemungkinan besar yang itu. Yang jelas, nama panggungnya HIME. Penyanyi pop yang lagunya selalu di puncak tangga lagu itu. Anak-anakku selalu mendengarkan lagu-lagunya.”
Satoru hampir saja menjatuhkan ponselnya. Dia mengerjap, mendapati seseorang di sudut langkan sedang melirik ke arahnya. Masih memegang gelas martini yang tidak pernah hilang dari ingatan Satoru yang seperti seekor banteng yang kehilangan targetnya dan masih mengincarnya selama dia masih bisa melihat warna merah. Dia tidak mempedulikan kalimat penutup dari Yaga dan dia mengantongi ponselnya begitu saja. Perempuan itu mengangguk dari jauh, dan akhirnya ia pun tersenyum. Ia mengangkat gelasnya sebagai salam, dan menyesap tetes terakhir dari martini itu. Satoru menelan ludah, tidak bisa dirinya sendiri pahami apakah karena tetes terakhir martini tersebut atau bibir merahnya yang ranum.
Satoru pun melangkah mendekat, seolah-olah gerak autopilot.
“Halo.” Satoru bersandar pada birai. Dia mengedikkan dagu pada gelas di tangan Utahime. “Lama sekali minumnya. Kulihat kau selalu membawa itu sejak kita bicara sebelum ini.”
Utahime tertawa kecil, tawa polos yang malah melelehkan hati Satoru. Akhirnya dia mengingatnya. Nama Iori Utahime, portofolio yang diserahkan padanya beberapa waktu lalu untuk kontrak pekerjaan setelah ini.
“Aku suka sekali. Martini sakura? Ini benar-benar luar biasa.”
“Sakura martini. Sentuhan sake dan ditambah dengan Maraska Marschino Cherry Liqueur. Dibuat langsung dari cherry yang berasal dari Kroasia. Selanjutnya, adalah kreasi dari tangan ahlinya.”
“Kedengaran sangat artistik. Seperti karya seorang artisan.”
“Aku yang mengusulkannya.” Satoru membetulkan letak dasinya yang entah mengapa tiba-tiba terasa mencekik. “Penciptanya adalah kenalanku. Aku langsung jatuh cinta di cicipan pertama.”
Utahime mengangguk-angguk. “Mengesankan sekali. Di mana aku bisa memesannya?”
“Kenalanku punya bar di Ginza dan dekat Roppongi. Kalau mau, aku bisa memberikan alamatnya.”
“Boleh.” Utahime tersenyum polos, Satoru takjub melihatnya. Seorang yang dewasa masih bisa punya senyuman semanis anak remaja? Budget untuk dokter kecantikan wanita ini pasti gila-gilaan. Pengalaman bertahun-tahun di industri di mana produk seperti mereka harus dipoles setiap tahun agar tetap menarik di depan kamera membuat Satoru memahami dan mampu menilai wajah hanya dengan sekali melihat: perempuan tidak cantik bersinar seperti supermodel, tetapi dia manis dan polos seperti seorang remaja, padahal Satoru bisa menebak bahwa wanita ini sudah kepala tiga. Badan mungilnya membuatnya semakin bisa menipu publik, jika ia mau.
“Mungkin aku harus punya nomor teleponmu dulu.”
Utahime tersenyum lagi, menangkap maksud Satoru. “Lewat manajerku. Sebentar lagi kita bertemu di pekerjaan, kan?”
Satoru pun tertawa. “Aku juga baru menyadarinya. Siapa yang punya ide untuk memakaiku sebagai pemeran video klipmu?”
“Atas saran teman-teman, aku memilihmu.” Utahime mengetuk-ngetukkan jari lentiknya pada badan gelas yang tipis, Satoru bisa melihat kilatan permata kecil yang menghiasi kukunya. “Video klipku kali ini punya plot yang cukup panjang, tidak seperti yang biasanya. Aku ingin sebuah film pendek, mungkin sekitar tujuh sampai sepuluh menit, dan melibatkan ekspresi dan emosi seperti yang sering kau lakukan di beberapa filmmu sebelumnya, misalnya The Night After Tomorrow dan Autumn’s Light.”
Film tujuh dan empat tahun lalu, pikir Satoru. Keduanya film genre coming of age yang membuatnya harus mengasah caranya berekspresi, membuat raut yang sedih dan murung, dan belajar untuk menangis secara alami. Dia mengikuti kelas akting paling traumatis dalam hidupnya, karena dia harus duduk di dalam sebuah kelas dan belajar keras seperti yang dulu pernah dialaminya waktu kecil. Jika bukan untuk bayaran yang besar dan iming-iming perpanjangan kontrak, Satoru akan mundur di film pertama. Dia lebih suka jenis akting yang dekat dengan aksi dan menyajikan tontonan pengundang adrenalin.
“Jadi, apa kau menerima tawaran itu, Gojo Satoru?”
“Karena kau sendiri yang memilihku, aku merasa sangat tersanjung, Nona HIME.” Dia menyunggingkan senyum terbaiknya, yang dia tahu sangat disukai penggemarnya sampai mereka bisa meneriakkan namanya berulang kali, mengejar dari ujung jalan ke ujung jalan, rela menunggu di luar lokasi syuting hingga tengah malam. “Dan aku sudah bilang setuju.”
“Oh, terima kasih,” Utahime lagi-lagi membalasnya dengan senyuman polos, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pesona Satoru. “Aku menunggu pertemuan kita selanjutnya.” Utahime pun mengangguk, lantas mulai melangkah menjauh. “Sampai jumpa.”
Satoru memandang kepergian Utahime tanpa berkedip. Kali ini, bukan cuma tentang segelas sakura martini yang tidak bisa dapatkan malam ini.
Notes:
a/n: yak kembali lagi dengan trope impianku buat gojohime yaitu aktor x penyanyi HAHAHAYYYY dan setelah sebelumnya karya-karya gjhm-ku dipersembahkan untuk lagu-lagu klasik pengantar masa kecil dan masa mudaku (richard marx dan air supply), sekarang aku make lagu masa kini pengantar usia late-20s aku awkwkwkwokwkowk semoga kalian menikmati perjalanan ini bersamaku!!!
Chapter 2: 02. i like playing dumb, letting you figure me out
Chapter Text
02. i like playing dumb, letting you figure me out
Satoru menggulirkan daftar lagu itu seperti sedang memilih kupon lotre. Mana yang mungkin akan membuatnya jatuh cinta di pendengaran pertama, mana yang mungkin akan terasa biasa-biasa saja tetapi akan didengarkannya sampai tiga bulan ke depan tanpa merasa bosan? Dia bukan tipe pendengar lagu, dia sudah berhenti melakukannya sejak belasan tahun yang lalu karena kesibukannya. Tidak ada waktu untuk menikmati lagu. Jika ada waktu luang, dia harus menggunakannya untuk menghafalkan skrip atau tidur. Dia hanya sesekali mendengarkan lagu klasik sebagai pengantar tidur, itu pun dia sangat pemilih, karena dia menghindari lagu-lagu yang cukup traumatis; masa kecil penuh paksaan untuk berlatih musik tiga kali seminggu dengan guru yang kejam menyisakan kesan buruk semata untuk musik-musik klasik yang, menurut orang-orang, elegan.
Ada dua belas lagu dalam album terbaru HIME. Dilihat dari tema kaver albumnya dan tipikal judul-judulnya, kemungkinan album ini adalah tentang cinta musim panas. Genre populer dengan selipan B-side beraliran country, karena HIME pernah belajar aliran musik tersebut saat bersekolah di Illinois, begitu kata salah satu staf di manajemen tempat Satoru bernaung ketika dia secara iseng minta rekomendasi lagu padanya. Ternyata staf tersebut adalah penggemar berat HIME, punya gantungan seperti ID card holder di tas tangannya yang berisi foto HIME, dan dia bisa menceritakan sejarah karir HIME hingga nanti malam seandainya saja Satoru tidak segera menghentikannya.
Jejak Musim Panas, Mahkota Krisan, Rumah Masa Kecil, Kehangatan yang Terbawa dari Musim Semi, Cerita Tak Terlupakan, Satoru menyeleksi sebagian dahulu dalam permainan undi judul di dalam kepalanya. Mobil yang membawanya berhenti sebentar di persimpangan besar terakhir sebelum memasuki area luar kota, sopirnya mengerem halus sampai-sampai Satoru tidak merasakan perhentiannya. Dia hanya menengok sebentar ke luar jendela, melihat orang-orang bersepeda di jalurnya, menikmati sore yang jingga. Mereka mungkin mahasiswa yang baru pulang dari kelas, sementara Satoru baru berangkat bekerja. Manajernya sedang menelepon di kursi depan, Satoru pun menyambungkan airpods.
Dia menutup mata untuk memilih lagu yang akan menjadi lagu HIME pertama yang dia dengarkan sungguh-sungguh. Dia tidak melihat lagi pada judulnya di layar ponselnya, dia menatap kosong ke luar jendela, melihat akhir musim semi mulai kehilangan daun-daun pada pohon di sepanjang jalan dan orang-orang mulai kesusahan karena angin yang semakin deras, ramalan akan hujan yang deras terus-terusan menggaung di televisi dan pemberitahuan ponsel. Mahasiswa yang berlaluan memakai jaket tipis.
Tawa kecil membuatku bertanya-tanya,
mungkinkah kita melalui masa bahagia lagi,
yang indah dan tak ada kekhawatiran,
lugu seperti masa kecil kita yang telah lama berlalu.
Sungguh-sungguh indah, tawa masa kecil di sudut taman,
kita hanya mengerti permainan,
bisakah kita menjadi dewasa dengan cara itu lagi?
Sungguh-sungguh indah, mahkota bunga yang kita rangkai sembarangan,
kita hanya mengerti bersenang-senang,
bisakah kita menjadi dewasa dengan cara itu lagi?
Satoru pun akhirnya mengecek judulnya. Mahkota Krisan. Lagu ini, beserta iramanya, seperti bercerita akan masa kecil yang indah dan berkesan. Suara lembut HIME membuat pendengarnya seolah-olah ikut merasakan masa lalu yang semarak, yang lugu. Ia seperti berbagi kenangannya sendiri, dan membuat pendengar juga masuk ke dalam kenangannya. Tidak heran orang seperti ini punya banyak penggemar.
Mari kita lihat lagi di balik senja yang menawan,
tantangan apa yang berhasil kita taklukkan hari ini?
Lihatlah lagi kepada hari ini,
laluilah lagi dengan senyuman seperti masa kecil kita,
senyuman dengan mahkota krisan yang tak pernah layu.
Mata Satoru berat. Dia memejamkan mata, terhanyut. Terbawa kepada masa kecil yang jauh, tentang sudut taman dan lampu-lampu yang samar, persembunyian di sudut semak dan bunga-bunga yang dicuri begitu saja. Ketika dia bangun, mobil telah berhenti di sebuah gudang besar yang disewa untuk syuting, dan dia tidak bisa mengenali dengan jelas mimpinya: apakah itu kenangan lama, atau hanya bunga tidur karena suara HIME terlalu merdu.
Satoru mengetukkan kakinya tidak sabar di lantai yang terlalu licin. Sneakers-nya berdecit berisik ketika dia memutar-mutarnya, masih bentuk gestur gelisah karena Yaga terlambat dua menit. Dia beberapa kali menganggukkan kepala saja untuk membalas salam dari orang-orang yang membungkuk melewatinya di lobi kantor agensinya tersebut, Satoru menengok wajah setiap orang yang datang, menanti Yaga.
Begitu pria itu menunjukkan batang hidungnya, Satoru langsung berdiri dan mencangklong tasnya di bahu kanan. “Ayo kita berangkat.”
“Sabar dulu. Aku masih harus ke lantai tiga untuk menyerahkan ini.” Dia memperlihatkan sebuah map tipis. “Tunggu saja di depan. Aku tidak akan lama.”
“Cepatlah.”
“Biasanya kau yang datang terlambat. Kenapa sekarang malah kau yang menyuruh-nyuruhku?”
Satoru cuma nyengir, sebuah cara andalan untuk kabur dari amarah orang lain dengan mudahnya. Dia membiarkan Yaga pergi ke arah lift, sementara dia langsung melangkah lebar-lebar ke tempat parkir, mencari tempat berteduh. Dia hanya perlu menoleh ke arah kiri untuk menemukan gedung agensi Iori Utahime. Kerja sama tidak akan sulit dilakukan karena jaraknya sedekat ini.
Yaga kembali lima menit kemudian, dan mereka berdua berjalan kaki melalui pagar samping untuk menyeberangi jalan ke blok tempat gedung tersebut berada. Tempat itu adalah distrik khusus industri hiburan, kantor-kantor agensi banyak menyewa gedung yang terpusat di blok-blok sekitar. Agensi pertama Satoru pun tak begitu jauh, hanya sekitar dua blok dari gedungnya sekarang. Satoru masih mengingatnya dengan jelas, kantor pertama yang dia datangi bersama agen yang memperkenalkannya pada peran dan rumah produksi film pertamanya saat dia masih berusia dua belas tahun. Dia melewati jalan-jalan ini dengan antusias, memikirkan bahwa dia bisa mendapatkan uangnya sendiri dengan bekerja menjadi pemeran figuran. Oh, betapa lugunya ketika dia mengenang semua itu kembali.
Resepsionis mengarahkan mereka untuk pergi ke lantai tiga, tempat ruangan pertemuan berada, dan seseorang telah menunggu mereka di sana. Satoru harus memendekkan langkahnya karena tidak semua orang menjejakkan kaki dengan rentang lebar sepertinya, termasuk Yaga sekalipun. Dia melihat-lihat di sepanjang koridor kantor agensi tersebut, yang tak jauh berbeda dengan kantor agensinya. Putih dan kelabu monoton, tidak meninggalkan kesan apapun. Orang-orang datang dan pergi terlalu cepat di kantor seperti ini, tak mementingkan keindahan. Selama urusan selesai dan uang terus berputar, kenapa tidak?
Sekeliling lift adalah cermin, membuat mereka berdua menjadi berkali-kali lipat lebih banyak. Satoru menekan ujung jarinya di permukaan cermin, menemukan ujung kukunya berjarak dengan bayangan di dalam cerminnya. Satoru tersenyum kecil, oh, cermin biasa, dan dia menarik tangannya lagi.
Dia mendapati dirinya selalu mengulangi kebiasaan ini, kebiasaan yang diajari oleh manajer pertamanya di awal karirnya. Seorang artis punya banyak penggemar, mulai dari yang normal hingga penguntit, bahkan orang dalam yang eksploitatif. Cermin dua arah bisa mengintai di mana saja untuk mengawasi gerak-geriknya di ruang paling pribadi.
Lift berhenti nyaris tanpa terasa. Yaga menjawab telepon sebentar di perjalanan mereka menuju ruang pertemuan yang dimaksud, pintu ketiga di arah kanan lift. Tiga orang telah berada di sana, berbicara ringan dengan suara pelan, termasuk Iori Utahime. Satoru tersenyum dan melambaikan tangannya pada Utahime saat pandangan mereka berserobok.
Setelah berbasa-basi sedikit, Yaga dan Satoru mengambil tempat yang berseberangan dengan tiga orang tersebut. Salah seorang dari mereka, yang memperkenalkan diri sebagai bagian dari tim kreatif agensi, berkata pada Yaga dan Satoru, “Mohon maaf, kami sedang menunggu kru dari studio rekanan kami yang akan merancang video klip yang akan kami buat. Terlebih dahulu, Anda berdua bisa membaca garis besar dari proyek ini.” Dia memberikan dua bundel kertas tipis yang berisikan tulisan dan gambar alur rencana.
“Nona Iori akan membuat video klip yang kurang lebih berdurasi sembilan menit dengan cerita tentang sepasang mahasiswa yang sedang merantau di Amerika Serikat, yang berjuang bersama di tengah-tengah lingkungan baru, tertekan oleh perilaku diskriminasi, tetapi mereka berusaha berjuang bersama dan saling menemukan di kesunyian. Lagu terbaru Nona Iori akan menggambarkan perjuangan itu dan kehangatan yang mereka temukan di musim gugur kota Chicago.”
Satoru membaca dengan cara memindai cepat tiga halaman itu terlebih dahulu. Dia mendongak untuk mengajukan pertanyaan sebelum mengulanginya lagi, “Syutingnya di Chicago?”
“Untuk sekitar tujuh puluh persen adegan, ya, kita akan berangkat ke sana. Sementara sisanya akan direkam di sini. Seluruh adegan yang melibatkan Anda, Tuan Gojo, akan difilmkan di Chicago.”
Satoru mengangguk-angguk sambil membaca ulang. Dia mengabaikan pintu yang terbuka dan salam dari orang-orang yang baru datang. Pasti orang-orang di studio yang dimaksud. Dia hanya menunduk dalam ketika orang-orang itu menyapanya dan Yaga sebelum duduk.
Dia membaca paragraf demi paragraf, rincian adegan yang dimuat di dalam lembaran tersebut. Penggambaran oleh tim kreatif barusan sudah merangkum seluruhnya, kertas tersebut hanya memuat rincian adegan demi adegan yang harus mereka lakukan sebagai bagian dari film pendek tersebut.
Sesekali, Satoru mengerling pada Utahime. Perempuan itu masih berbicara dengan intens dengan kru dari studio yang baru datang. Satoru menggali ingatan tentang Utahime, berusaha mencari tahu karena cerita di dalam skrip ini tampaknya tak begitu jauh dari kenyataan. Utahime pernah bersekolah di Amerika Serikat, mungkinkah ini bagian dari pengalamannya?
Mungkin ini adalah salah satu hal yang membuat Utahime menjadi sangat relevan dengan para pendengarnya yang kebanyakan remaja dan dewasa muda. Ia menceritakan hal-hal yang dekat dengan pengalaman sehari-hari para pendengarnya.
Satoru merasa menyimpulkan terlalu cepat, dan dia ingin tahu seberapa jauh kebenarannya. Dia menutup lembaran skrip tersebut dan mengangguk. “Aku akan berusaha. Mohon bantuannya, semua.”
Seluruh mata tertuju padanya, terutama Utahime, yang kemudian menyunggingkan senyum dan mengangguk puas. Ia kembali bicara dengan kru studio, sembari membahas gambar-gambar tema yang ditawarkan oleh kru sebagai setting dari film yang akan mereka buat. Satoru kemudian berdeham, “Sebagai permintaan awal … apa aku boleh mendengarkan lagunya lebih dulu, agar aku bisa mendalami peran yang akan kulakukan?”
Tim dari manajemen melirik pada Utahime dan Utahime mengiyakannya tanpa berpikir panjang. “Akan kubagikan. Bisa nyalakan Airdrop?”
Satoru mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan mengaktifkannya segera. “Sebuah kehormatan,” ucapnya, berusaha mengingatkan Utahime pada malam gala tempo hari, dan perempuan itu tampaknya mengerti karena ia sepertinya menahan sebuah senyuman.
“Baiklah, kalau begitu, bolehkah saya memulai pemaparan tentang storyboard yang telah kami, sebagai rekanan pembuat film pendek proyek ini, rancang beserta dengan set dan ambience yang telah kami rencanakan?” kru studio tersebut pun buka suara.
Satoru menegakkan punggungnya. “Aku siap. Silakan, mulai saja.”
Satoru terus-terusan mengulangi rekaman lagu yang dikirimkan Utahime tersebut di tiga hari menjelang keberangkatan menuju lokasi syuting. Dia terkejut mendapati dirinya masih bisa mengingat ilmu permusikan yang dulu dijejalkan paksa ke dalam kepalanya sebelum dia berusia sepuluh tahun, dan dia bisa memahami melodi lagu itu dengan cepat bahkan bisa turut menyanyikannya. Akhirnya dia mengerti manfaat semua itu, walau sedikit dan sesungguhnya akan hilang begitu saja setelah dia menyelesaikan proyek ini.
Datanglah, malam-malam penuh canda tawa,
lagi, bersama kembang api-kembang api kecil,
yang kita bawa dari masa bahagia kita,
yang menyalakan api harapan lagi.
Menyalalah, harapan-harapan kecil,
yang menari seperti kunang-kunang lincah,
meski begitu cepat hilang,
aku mengingat kembang api-kembang api yang hangat itu.
Satoru bisa membayangkan adegan demi adegan yang telah dirancang di dalam kepalanya. Sore yang berangin, yang dihabiskan oleh sepasang mahasiswa kesepian bersepeda menjauh ke sudut kota, kemudian bersinggah di toko serba ada untuk membeli dua cup ramen dan dimakan di sudut sunyi dekat gedung asrama, di samping lapangan basket yang tidak lagi terpakai. Mereka akan menyalakan kembang api kecil bersama dan menutup malam dengan saling menggenggam tangan sebelum berpisah jalan, berjanji untuk terus bersama di tengah-tengah kesulitan beradaptasi yang sedang mereka alami.
Mungkinkah Utahime sedang mengunjungi memori masa lalunya di sana, dengan lagu ini?
Satoru tidak tahan untuk tidak mencari tahu.
Kelas bisnis tidak penuh hari itu, seluruh kru lain berada di kelas ekonomi. Satoru menghitung, hanya ada empat penumpang kelas bisnis termasuk dirinya dan Utahime. Dia mencari cara untuk mengundang perhatian, Utahime terlihat sibuk sendiri dengan sesuatu pada iPad-nya. Apakah ia sedang membuat lagu?
Satoru pun berdiri, pura-pura ke toilet. Tidak melakukan apa-apa, hanya mencuci ujung jarinya dan keluar sambil mengeringkannya dengan selembar tisu tipis. Dia berpura-pura menjatuhkan ponselnya ke lantai di jalur pemisah antara dirinya dan Utahime, dan merebut perhatian perempuan itu. Dia cuma nyengir lebar saat Utahime terkejut dan menggeleng-geleng.
“HP-nya nggak apa-apa?” tunjuk Utahime ketika Satoru mengantongi ponselnya lagi sambil duduk.
“Sudah tahan banting. Sering terjadi, bahkan pernah jatuh dari set yang tinggi.”
Kening Utahime berkerut dalam. Satoru buru-buru memunculkan topik baru sebelum Utahime sibuk sendiri lagi, “Bikin lagu?”
“Nggak juga. Cuma iseng-iseng bikin sampel musik.” Ia pun melepaskan airpod-nya dan mengembalikannya ke dalam case. Satoru merasa puas, serta terhormat sebagai lawan bicara.
“Kau membuat semua lagumu sendiri?”
“Tidak juga. Ada banyak komposer kolaborasi. Tapi kebanyakan liriknya adalah sumbangan dariku.”
“Kau sudah melakukannya sejak dulu?”
“Yah, sepanjang ingatanku.”
Satoru mulai menikmati pembicaraan ini. “Apa lagu-lagumu juga cerminan dari pengalaman pribadi?”
Utahime hanya tersenyum miring, menggantung jawaban selama beberapa saat, membuat mata Satoru semakin liar mengikuti gesturnya; memainkan pen sebelum menyisipkannya ke dalam case, membuka tutup botol air mineral kecil dari maskapai, minum sedikit, dan meletakkannya di armrest. “Tergantung. Kita tidak mungkin membagi seluruh pengalaman kita pada pendengar, kan?”
“Oh, ada benarnya.” Satoru menopangkan dagu sambil menghadap Utahime. “Kudengar dari penggemarmu, kau pernah sekolah di Illinois. Jadi aku berpikir mungkinkah kau membuat lagu ini dan syuting ke sana karena hal itu?”
“Kau terdengar seperti wartawan saja, Gojo Satoru.”
“Satoru saja, santai.”
Utahime melirik, alisnya berjengit. “Gojo-san.”
“Satoru.”
Utahime menghela napas. “Gojo.”
“Baiklah.” Satoru mengalah. “Jadi, lagumu?”
“Sudah kubilang barusan, kan. Aku membagi sebagian agar pendengarku bisa merasakan apa yang kurasakan. Tapi sebagian lainnya,” ia menyunggingkan senyum yang sedikit miring, “aku tidak membuka seluruhnya. Biarkan mereka membuat cerita mereka sendiri, atau menghubungkannya sesuka mereka. Kita adalah seniman. Orang-orang yang menggubah sesuatu yang baru dari kompilasi pengalaman kita sendiri, dan setelahnya, karya yang baru itu adalah hal yang bebas diinterpretasi.”
Mata Satoru membeliak sesaat. “Kau benar-benar pemusik yang punya prinsip.”
“Memangnya kau tidak, saat berakting?”
“Aku cuma mau dapat uang yang banyak.”
Utahime menatapnya tak percaya. Tatapannya seolah bertanya, kau waras?
Satoru pun terbahak-bahak. “Bercanda. Aku sebenarnya ingin menjadi banyak orang sekaligus dalam hidupku. Itu esensi dari berakting, kan? Menjalani peran kehidupan yang bukan milik kita, mencoba menjadi seseorang yang belum pernah kita kenal sebelumnya, bukankah itu menyenangkan?”
Utahime mengedikkan bahu. “Itu masuk akal.”
Satoru tertawa lagi. “Memangnya jawaban sebelumnya tidak masuk akal?”
“Ya tentu saja aneh. Kau adalah anak dari keluarga kaya sejak kecil, kenapa kau masih mau cari uang yang banyak?”
Satoru masih tertawa, “Itu namanya usaha mempertahankan status quo.”
“Tapi kau bisa melakukannya hanya dengan menjadi bagian dari perusahaan-perusahaan keluargamu, tidak perlu memanjat tangga karir di akting seperti ini.”
Untuk sesaat, tatapan Satoru kosong dan dia sendiri pun tidak bisa mengenali dengan jelas perasaannya. Dia seperti melihat ke dalam masa lalu sekaligus gejolak pikiran yang menari-nari, seperti fatamorgana di ruang kelas bisnis penerbangan yang dingin. “Terkadang kita memang ingin lari dari sesuatu, kan?”
Tatapan Utahime melembut, bahunya melemas, dan air mukanya berubah, Satoru tak sempat memperhatikannya dalam waktu yang terlalu singkat karena Utahime lagi-lagi memakai topengnya kembali. “Kau berlari dengan menjadi orang lain.”
“Memangnya kau tidak?”
“Aku tidak menjadi orang lain. Aku menjadi diriku sendiri.”
“Tidak mungkin Iori Utahime adalah orang yang seratus persen sama dengan HIME, Nona. Jangan menipu orang yang berada di industri yang sama,” Satoru menyeringai tipis. “Kau juga bisa berakting, kan? Kulihat kau punya banyak video di mana kau berakting seperti seorang aktris. Kau pasti mengenal cara yang kumaksud.”
Utahime terlihat menghela napas panjang, emosi yang tidak bisa bersembunyi. “Aku pernah ikut kelas akting.”
“Ooh, menarik! Mungkin kita sekolah akting yang sama?”
“Bukan, pasti berbeda. Aku cuma kursus privat selama dua minggu dengan pengajar yang dipanggil ke kantor agensi. Kalau kau, pasti kelas yang intens khusus untuk aktor.”
“Oh. Tapi hasilnya cukup bagus untuk orang yang hanya belajar dua minggu.”
“Kau menonton seluruh video klipku?”
“Tidak semuanya, karena jumlahnya terlalu banyak. Tidak ada waktu untuk itu. Cuma beberapa, lagu hitsmu.”
“Dedikasi yang membuatku terkesan.” Utahime menampilkan senyuman yang tak sepenuhnya tulus, hanya sekadar balasan yang sopan.
“Tentu saja aku harus tahu tipikal video seperti apa yang sering kau buat, Utahime, aku tidak mungkin mengecewakan penggemarmu.”
Utahime terdiam cukup lama, Satoru memandanginya dan ia segera menghindari kontak mata. “Ini pertama kalinya aku memutuskan untuk menyewa aktor besar. Jadi … aku juga sedikit gugup karena penggemarmu banyak ….”
“Oh! Kau baru saja mengakuiku sebagai aktor besar?”
Wajah Utahime mengerut, “Kau masih butuh validasi semacam itu?”
“Hidup selalu dipenuhi oleh kebutuhan akan validasi, kan, Utahime? Bukankah itu realistis?”
Utahime memutar bola matanya, tetapi sebaliknya, Satoru tampak sangat menikmati perdebatan yang konyol itu. “Kau tahu? Aku gugup karena aku takut penggemarmu akan cemburu.”
Satoru semakin merasa tertarik, Utahime yang seperti ini sangat berbeda dengan Utahime yang ditemuinya di langkan pada malam gala itu, seseorang yang bisa saja seduktif jika ia mau, yang memberikan kesan bahwa dirinyalah yang berani bertaruh untuk menyewa seorang Gojo Satoru. Namun di sini, seorang Iori Utahime, mengucapkan kecemasannya setelah aliran dialog yang disetir dua arah. Sosok HIME kah yang ditemui Satoru malam itu? Atau HIME adalah persona yang berbeda?
“Mereka cemburu, itu normal. Namun aku sudah melakukan beberapa adegan ciuman, kurasa mereka sudah tahu batas tentang akting dan dunia nyataku.”
Utahime hanya menjawab dengan ketukan jari pada armrest, dan akhirnya ia pun mengangguk, tunduk pada akhir pembicaraan. “Kurasa aku bisa mengerti. Semoga syuting kita berjalan lancar, kalau begitu.” Utahime pun menaikkan pijakan kakinya untuk mengatur posisi agar ia bisa setengah berbaring dengan nyaman. Ia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Sudah malam waktu setempat, Gojo. Selamat malam.”
“Selamat malam, Iori Utahime!”
Utahime yang baru saja menarik selimutnya kemudian berhenti. Ia mendongak lagi. “Utahime saja.”
Satoru menjeda sejenak, membuat Utahime merasa aman untuk kembali berbaring dan beranjak dari percakapan tersebut. Namun dia lagi-lagi membuat Utahime gagal merasa tenang, “Kenapa tidak mau dipanggil Iori? Padahal kau memanggilku Gojo.”
Utahime segera mengatur arah lampu yang menerangi area kursinya dan bergumam pelan, “Tidak perlu memanggilku dengan nama keluargaku.”
Lalu, ruangan itu pun senyap.
Adegan pertama direkam di sebuah kampus dan melibatkan mereka berdua secara langsung. Adegan di dalam kelas, ketika mereka duduk di sisi yang berseberangan, kemudian Satoru yang duduk sendirian di sebuah bangku dekat taman kampus, Utahime yang merasa tersingkirkan di antara orang-orang yang membentuk klik mereka sendiri, kemudian ketika mereka berkenalan di senja yang sunyi di koridor kampus.
Cerita untuk film pendek video klip kemudian berlanjut ke adegan-adegan yang lebih intens setelah perkenalan mereka, ketika Satoru menolong Utahime yang dirundung oleh perempuan lain di kelasnya, dan ketika Utahime menolong Satoru untuk tugas kelas kalkulus di perpustakaan. Cerita lanjut difilmkan di asrama kampus, di mana mereka bertemu di gedung paling sudut untuk belajar bersama, mengasah bahasa Inggris mereka dengan sama-sama mengobrol dengan dialek yang patah-patah.
Satoru menikmatinya seperti peran-perannya yang lain. Film, iklan, serial, baginya semuanya sama: semua adalah tentang totalitas. Menjadi seseorang yang diperintahkan skrip, menjadi sosok yang diinginkan untuk ditampilkan. Dengan cara-cara seperti ini, sesaat dia bisa lupa segala kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang Gojo Satoru.
Tidak ada satupun adegan Utahime menyanyi di sini, adegan itu kabarnya akan direkam di Jepang, dan tidak melibatkan Satoru.
Utahime berakting dengan cara yang menurut Satoru bagus untuk seseorang yang terkenal sebagai penyanyi. Kelas akting yang ia ambil sungguh benar adanya dan ia belajar dengan cepat. Satoru turut mengamati ketika Utahime berakting sedang menulis lagu di asrama kampus sendirian, mencoba menerima diri dan memaafkan sekeliling yang berada di luar kendalinya. Ekspresi murungnya tampak alami, membuat Satoru bertanya-tanya apakah itu terjadi karena kelas akting atau Utahime hanya sedang mengunjungi kesedihan masa lalu yang begitu membekas.
Adegan lain melibatkan dirinya dan Utahime yang bersepeda bersama ke sebuah toko 24 jam, menggabungkan sisa uang saku yang tidak seberapa untuk membeli ramen dalam kemasan, kemudian membawanya ke sudut kota. Utahime membawa gitarnya, dan Satoru membawa kembang api kecil di dalam tasnya. Mereka berkeliling kota hingga tengah malam, dan pulang tetapi tidak langsung menuju asrama. Mereka menuju ke fasilitas olahraga, ke sebuah lapangan basket tua di sudut yang sudah digantikan oleh gedung basket indoor yang baru. Di sana, mereka menyeduh ramennya dan makan dengan perlahan. Utahime mencoba lagu yang ditulisnya di asrama, kemudian Satoru mengajaknya menyalakan kembang api.
Adegan semakin intens ketika suhu tengah malam semakin dingin, mereka semakin merapatkan diri, bahu menyentuh bahu, kemudian tangan yang saling menggenggam. Skrip mengatur mereka harus hampir berciuman, tetapi Utahime menghentikannya dan hanya berbisik di depan bibir Satoru, kita akan selamanya seperti ini, kan?
Satoru hanya menatapnya, kemudian menatap bibirnya, mengembuskan napas berasap yang dihirup oleh Utahime tanpa mengatakan apapun. Satoru sudah berulang kali melakukan adegan semacam ini, baik yang gagal, yang kemudian dipotong pada masa produksi, maupun yang akhirnya menjadi pembicaraan oleh penggemarnya setelah melangkah keluar dari bioskop. Seharusnya tidak apa-apa, dan dia bisa memperlakukan Utahime sama seperti lawan mainnya yang lain.
Namun skrip yang telah dihafalkannya dan dibuatnya bayangan tersendiri di dalam kepalanya mendadak menguap begitu saja, dan dia mengamati bibir itu seolah pertama kali: seolah mereka tidak pernah bertemu di dalam cerita sakura martini dan malam gala waktu itu hanya mimpi. Satoru memikirkan lagu yang didengarkannya sebelum berangkat ke Chicago dan menyadari bahwa bibir ini adalah bibir penyair yang melamar ribuan telinga dengan kerendahan hati dari musik-musiknya. Bibir seorang pemusik yang menyanyikan cerita terindahnya agar orang-orang bisa merasakan kehangatan yang sama dengan memori yang ia pelihara dalam kotak kenangannya.
Satoru menelan ludah. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Satoru merasa jadi aktor paling bodoh sedunia karena dia tersesat di tengah-tengah.
Improvisasi, improvisasi. Ayo improvisasi, Satoru.
Tapi, tunggu. Ini bukanlah adegan yang bisa sesuka hati dia ubah. Utahime selalu menyuguhkan musik dan cerita cinta yang polos, yang hangat, mengundang rindu dan menggiring sendu. Satoru pun memejamkan mata, bergeming, tetapi jarinya merambat naik ke pipi Utahime, menyentuhnya seperti seorang pianis kecil yang ketakutan pada resital pertamanya. Dengan jari-jarinya yang ragu menangkup wajah Utahime itu, dia mendekatkan Utahime agar kening mereka saling menyentuh. Dia bisa merasakan Utahime juga menarik napas sambil gemetar.
“Cut!”
Sungguh aneh karena hatinya mencelus ketika mundur dan mendengar Utahime mengembuskan napas lega, seolah baru menahan beban berat di dadanya di sepanjang syuting. Dia melirik, Utahime tidak membalas pandangannya. Seorang kru berbisik pada sutradara, dan dia hanya mengangguk-angguk. Satoru menantikan perintah untuk mengulang scene tersebut, tetapi tidak kunjung muncul. Tidak ada perintah selanjutnya, dan mereka hanya menunggu, meringkuk menekuk kaki.
Dia mengerling. “Sori. Yang barusan tidak ada di skenario.”
“Tidak apa-apa. Malah … kurasa, lebih baik.” Utahime mengedikkan bahu. “Tujuanku dari awal membuat adegan ini adalah ingin menyuguhkan makna hangat, bukan sekadar soal jatuh cinta.”
Satoru menelengkan kepala, ingin bertanya lebih banyak, tetapi Utahime segera berdiri dan mendekati kameramen, meminta izin untuk melihat ulang bagian tersebut dan menilainya sendiri. Ia kemudian berbicara banyak dengan sutradara, sementara Satoru hanya diam, masih bersandar pada pagar kawat lapangan basket tua tersebut. Seorang staf mendekatinya dan menawarkannya cokelat panas, yang dia sambut dengan enggan.
Malam telah larut, sutradara mengumumkan bahwa seluruh syuting adegan yang dijadwalkan hari ini telah terpenuhi.
Manajernya sudah menawarinya untuk sarapan ke kamar, tetapi Satoru memilih untuk turun, sendirian. Restoran hotel telah ramai, dia cuek-cuek saja karena ini tempat yang asing, tidak begitu banyak orang yang mengenalnya, ini bukan Jepang. Film yang pernah dia bintangi ada yang pernah tembus ke Cannes atau Toronto, tetapi perannya tidak mayor dan film itu pun tidak mencetak angka bombastis di luar negeri.
Baru saja dia memilih sarapan dan membawanya ke meja kecil di sudut, ponselnya berbunyi. Sekretaris ayahnya, Satoru pun menjawabnya dengan ragu. Sekarang sudah tengah malam di Tokyo, apa urusan mereka?
“Tuan Satoru.”
“Mmm. Ya.” Satoru sengaja mengunyah sepotong kentang besar dengan berisik.
“Besok waktu Tokyo, sekitar pukul delapan, dewan direksi akan mengadakan rapat bersama dewan komisaris, membahas tentang offshore company kita yang sepertinya mendapat masalah karena tuntutan dari warga sekitar dan organisasi lingkungan karena beberapa hal.”
Satoru mengerutkan kening dalam-dalam, tidak sedikit pun memahami masalah tersebut. “Apa urusannya denganku?”
“Ayah Anda meminta Anda untuk ikut serta secara daring.”
“Aku tidak tahu apa-apa soal itu. Untuk apa?”
“Tapi nama Anda tertulis di daftar dewan direksi, Tuan Satoru.”
“Sudah kubilang berapa kali, itu bukan permintaanku. Aku tidak ingin bertanggung jawab karena aku tidak selalu bisa hadir karena pekerjaanku sendiri. Sampaikan itu pada Ayah.”
“Tuan Satoru—”
“Tidak, aku tidak akan hadir. Syutingku belum selesai.” Satoru tidak memberikan ruang untuk disergah, dia segera mengantongi ponselnya kembali, dan melanjutkan makan dengan gusar.
Ketika dia menoleh, seseorang sepertinya telah menguping sebagian atau seluruh pembicaraannya di meja sebelah, dan orang itu membuat ekspresi iba.
“Oh, halo. Utahime,” Satoru kembali menjadi dirinya yang biasa, sambil menabik dengan bercanda. “Sejak kapan ada di situ?”
“Sejak kau bertanya apa urusannya denganku?” Utahime menyendok salad dengan mayones yang memenuhi hampir seluruh permukaannya dengan santai. “Maaf ya, jadi menguping.”
Satoru pun mengangkat piring makannya beserta secangkir kopi hitam ke meja Utahime, serta menarik kursi di hadapan perempuan itu. Tidak ada izin atau basa-basi, seolah mereka teman karib sejak bertahun-tahun lalu yang sudah lumrah berbagi meja. Utahime hanya memasang ekspresi datar.
“Santai saja,” kilah Satoru. “Keluargaku memang begitu. Suka sekali dengan agenda dadakan.”
“Kau juga memegang jabatan di perusahaan keluargamu?”
“Cuma numpang nama karena keturunan. Aku anak satu-satunya.”
“Bukankah itu bagus?”
“Tapi kalau aku tidak ingin?”
“Yah, itu cerita yang berbeda.”
“Aku tidak ingin dilibatkan dalam hal yang tidak mungkin kupertanggungjawabkan.”
“Tapi itu easy money, Gojo. Kau bisa dapat tempat pensiun yang bagus nantinya.”
“Aku belum mau pensiun sekarang,” wajah Satoru masam. “Kalaupun harus pensiun, aku ingin mempersiapkannya sendiri.”
“Cukup idealis juga.”
“Aku mati-matian jadi aktor besar tentu ada alasannya,” dia tertawa lebar.
Utahime mendengus pelan. “Narsis.”
“Tapi Utahime baru melihat permukaannya, jangan buru-buru menilai dulu, dong.”
Utahime pura-pura tidak peduli, tapi lagi-lagi Satoru tersenyum. Di meja ini, seolah-olah ada dua teman lama yang sedang berdebat ringan tanpa melibatkan sentimen tertentu. Sejak kapan bisa semudah ini?
“Tapi kau tampak bahagia sekali di acara malam itu,” Utahime terdengar penasaran, yang malah membuat Satoru semakin tergugah dan siap untuk membagi apa saja. “Aku malah bukan melihat seorang aktor Gojo Satoru. Aku melihat pewaris keluarga Gojo yang bangga pada suasana itu.”
Satoru terbahak-bahak. “Kau lupa bahwa aku adalah seorang aktor?”
Utahime terdiam, lantas tersenyum setelah menyadari maksud tersembunyi dari kalimat Satoru.
Satoru pun memainkan sendoknya di udara, “Itu tandanya aktingku sudah terbukti. Berarti aku lolos dari penilaianmu, Nona Iori.”
Utahime berusaha menyembunyikan senyumannya sambil makan, tetapi Satoru tahu bahwa dia akhirnya berhasil membuat impresi yang tidak biasa-biasa saja.
Chapter 3: i’ll never go, i just want to be invited, oh
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
03. i’ll never go, i just want to be invited, oh
Saat dia masih berusia dua puluh tahun, Satoru pernah menjadi pemain figuran sebuah film aksi. Film aksi dan thriller itu adalah yang pertama untuknya di genre semacam itu, sebuah permulaan yang sangat berkesan untuknya, sekaligus menjadi yang pertama dalam banyak hal lainnya. Dia menjadi anggota kelompok mata-mata swasta yang mengejar seorang buronan pencuri berlian yang licin, melompat dari kota demi kota dalam hitungan hari dengan lusinan identitas palsu. Syuting diadakan di lima kota di luar Jepang, dua di antaranya di Amerika Serikat. Kali pertama pula Satoru syuting di luar negeri, meski Amerika Serikat bukan negara yang asing untuknya sejak masa kecilnya.
Syuting diadakan di Las Vegas dan pinggiran kota New York, dan pada salah satu aksi untuk adegan krusial film tersebut Satoru tidak mendapatkan stunt double karena dia adalah pemain figuran. Namun, dia terlalu bersemangat untuk peran minor, membuatnya jatuh dalam satu adegan, mengakibatkan luka robek lebar pada betisnya, cedera yang hampir saja mematahkan tulang keringnya. Ibunya yang panik ketika dia pulang dari Amerika Serikat dengan luka besar, dan segera menyuruhnya untuk ke dokter bedah plastik.
Kesan pertama syuting di negara orang seperti Satoru mungkin akan terasa traumatis untuk orang lain, tetapi dia tidak pernah jera. Malah, hal itu membuat syuting lain terasa lebih mudah untuknya. Waktu itu, dia bersikeras untuk melanjutkan syuting, sehingga kakinya yang terluka dan baru dijahit pun ikut masuk ke dalam adegan yang direkam, sebuah luka alami yang menjiwai perannya di sana.
Dibandingkan dengan semua itu, syuting kali ini begitu mudah.
Syuting di hari terakhir melibatkan lebih banyak adegan individual. Satoru dan Utahime lebih banyak direkam secara terpisah, untuk pelengkap alur film yang dibuat. Satoru banyak direkam di luar ruangan, sementara Utahime di dalam ruangan. Ada pula adegan tersendiri di pinggir kota, di mana mereka direkam secara terpisah lebih dahulu, kemudian sebagai penutup, mereka menanti matahari terbenam di sana. Skrip mengatakan bahwa mereka harus saling bersandar satu sama lain, menghadap matahari di tepi sungai yang sunyi, dan kamera akan menangkap siluet mereka.
Satoru menyadari bahwa bagian yang sulit dilakukan dari hidupnya yang kadang terlalu sibuk bekerja atau terlalu sibuk istirahat itu adalah tentang menikmati alam. Tentang melihat dunia sebagaimana mestinya, bukan seperti yang dirancang oleh skrip atau kemauan orang-orang yang mengendalikannya.
Utahime menyandarkan kepalanya pada bahunya, dan Satoru pun menghela napas. Mengamati permukaan sungai yang berkilauan seperti keping emas, arus menciptakan alur-alur yang simetris memenuhi permukaan. Satoru melihatnya sebagai bagian dari kenangan yang bersemayam di benak Utahime, mungkinkah ini bagian dari sesuatu yang ingin dibaginya pada orang lain?
Tidak ada seorang pun yang memutar musik ketika mereka melakukan adegan terakhir, tetapi Satoru bisa mendengarkan bagian bridge yang menurutnya bagian terbaik dari lagu yang sedang mereka perankan ini,
Kita menemukan harta karun, bukan tentang peti emas yang berkilauan,
tetapi kotak kenangan yang penuh,
kita akan mengunjunginya lagi,
dan memainkan kembang api cinta bersama.
Syuting di tempat yang baru selalu memberinya kesan terbaik.
Satoru mengejar Utahime yang lebih dulu mendapatkan seluruh kopernya. Perempuan itu bermaksud mendorong trolinya sendiri, tetapi salah seorang dari manajemen pun segera mengambilnya, mendorongkan benda itu untuknya. Satoru mendorong santai trolinya sendiri, sementara Yaga masih sibuk dengan teleponnya. Sebentar lagi pria itu pasti akan mengambil alih juga.
Satoru dengan sengaja berlari kecil seperti seorang anak yang baru mengalami liburan pertamanya. “U-ta-hi-me~”
Utahime hanya berjengit, tetapi kemudian memelankan langkahnya agar seimbang dengan Satoru. “Ada apa?”
“Aku cuma mau bilang terima kasih.”
“Bilang pada seluruh kru, sana.”
“Sudah. Sama Utahime juga, dong.”
“Kurasa kemarin sudah,” Utahime menjawab sambil mengetik pesan di ponselnya.
Kenapa jarak menuju pintu gerbang kedatangan yang terakhir begitu pendek? Satoru sengaja memelankan langkahnya. “Jangan lupa kabari aku saat lagunya rilis.”
“Manajemen mungkin akan mengabarinya. Tapi kurasa tanggal perkiraan rilisnya sudah tercantum di klausul kontrak?”
“Oh. Aku tidak membacanya.”
Utahime memutar bola matanya. Mereka pun melintasi gerbang terakhir, dan tak jauh di depan sana, pintu menuju area penjemputan. Yaga kemudian datang, mengambil alih troli koper dari Satoru dan membelok menuju tempat perjanjian menjemput dengan staf manajemen yang sudah menunggu. Satoru pun berhenti sebentar, menepuk bahu Utahime. Utahime menoleh dengan sorot mata yang perlahan melembut.
“Terima kasih.”
“Seharusnya aku yang berterima kasih, Gojo Satoru.”
“Yeah. Syutingnya mengesankan sekali.”
“Aku yang seharusnya tersanjung. Seorang aktor yang hebat bersedia bekerja bersamaku, dan aku yakin, ini akan menjadi sesuatu yang besar. Sekali lagi, terima kasih.”
Oh, tentu saja. Nilai seorang Satoru terlihat pada wajahnya, pada aktingnya. Dengan memakai perannya, keuntungan dan jaminan bahwa karya tersebut akan jadi buah bibir telah berada di tangan. Utahime jelas menyukai keberadaannya karena karya tersebut akan jadi buah bibir. Seorang penyanyi besar dan aktor besar, mereka sesungguhnya punya kekuatan yang hampir setara.
Namun, kekuatan sebagai seseorang yang lain.
Satoru pun melambaikan tangan pada Utahime untuk mengikuti Yaga, tidak menyadari senyum getirnya mengubah raut Utahime untuk sesaat.
Hari-hari berjalan seperti seharusnya. Setelah beristirahat dua hari, yang diisinya dengan tidur dan makan berselang-seling, Satoru kembali memenuhi kewajibannya sebagai pekerja depan kamera. Yaga menjemputnya bersama seorang sopir pada pukul sembilan pagi di akhir minggu yang cerah.
“Apa saja jadwalku hari ini?” Satoru bersandar pada bingkai kaca jendela, sesekali mengamati dunia luar.
“Ada briefing terkait pemotretan sampul majalah minggu depan. Sepertinya mereka akan mempertimbangkan tempat kedua untuk pemotretannya. Entah ke Swiss atau Eslandia, semua masih menunggu keputusan hari ini.”
“Itu pemotretan yang disponsori produk padding jacket itu, kan?”
“Benar.”
“Selanjutnya?” Satoru menopangkan tangannya dan melirik penampilan Yaga dari sudut matanya sekarang. Sepertinya Yaga memakai kacamata hitam yang baru.
“Ada pertemuan dengan produk minuman buah yang mengontrakmu untuk iklan mereka besok pagi. Mereka akan meminta tanda tanganmu besok.”
“Kira-kira iklannya seperti apa?”
“Salah satu krunya sempat bercerita, mungkin iklannya melibatkan adegan surfing.”
“Oh!” Satoru langsung duduk tegak. “Itu keren sekali! Aku selalu ingin belajar berselancar sejak dulu! Aku harus belajar secepatnya, kapan kira-kira syutingnya? Apa aku masih sempat belajar?”
“Tidak usah repot-repot, semuanya pakai layar hijau.”
“Tapi aku mau! Apa ada kursus kilat? Setidaknya agar nanti aku tidak terlihat bodoh meskipun itu hanya pakai efek.”
Yaga menoleh padanya dengan tidak percaya.
“Ayolah! Syutingnya kapan?”
“Masih belum tahu. Kau baru akan tanda tangan kontrak.”
“Kalau begitu, carikan aku guru privat yang bisa mengajar secepatnya. Awal minggu depan, kalau bisa. Aku tidak punya jadwal lain, kan?”
“Mungkin ada, pertemuan dengan tim rumah produksi film TRAIN akan dilakukan dalam waktu dekat, Satoru.”
“Oh ya? Kapan mulai syuting?”
“Mereka bahkan belum masuk tahap pra-produksi. Paling cepat awal bulan depan kau baru bisa syuting.”
“Itu artinya waktuku cukup luang, kan? Aku ingin kursus berselancar selagi bisa. Siapa tahu suatu saat nanti aku akan dapat peran menjadi peselancar, maka aku sudah pasti punya bekal.”
Yaga mengeluarkan ponselnya dari saku, menggeleng-geleng, “Kau ini berpikir terlalu jauh ke depan.”
“Yang namanya kesempatan,” Satoru mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi, “harus dipersiapkan sebelum dia datang.”
Dia memandangi lagi dunia luar yang berjalan semakin cepat karena mobil yang dikemudikan driver agensi juga semakin cepat. Dia tidak lagi bisa melihat orang-orang dengan jelas satu per satu. Dunianya kembali berputar terlalu cepat, seperti sebelumnya. Hari-hari singkat di Chicago terasa seperti mimpi belaka.
“Tadi pagi salah satu staf ayahmu meneleponku.”
Satoru hampir saja tersenyum, tetapi menahan diri karena sadar bahwa hal itu bisa membuka kedoknya, yang dengan isengnya mematikan ponsel pribadinya selama dua hari, dan orang-orang di sekitar ayahnya termasuk dalam daftar terbatas di kontak ponsel kerjanya.
“Siapa?” tanyanya, pura-pura tidak bisa menebak. Sudah jelas orang itu pasti Kento, satu-satunya senjata ayahnya untuk menanganinya karena ayahnya tahu dia tidak bisa marah pada orang semacam dia. Pria datar yang tidak mempan pada omelan secerewet apapun, selama dia bisa melakukan tugasnya sesuai dengan kewajibannya maka dia tidak akan peduli pada sekadar omongan anak manja belaka.
“Nanami.”
“Oh, tentu saja.”
“Dia bilang ayahmu ingin kau datang ke kantor untuk ikut membahas hasil rapat dengan dewan komisaris tempo hari.”
“Sudah pasti.” Satoru mengedikkan bahu.
“Datanglah. Sepertinya mereka membutuhkanmu.”
“Kalau dia menelepon lagi, bilang aku sedang les berselancar.”
“Kau bukan anak kecil, mereka akan menertawakan alasanmu.”
“Sudah biasa.”
“Gojo Satoru.”
“Tidak, aku tidak ingin. Aku bisa datang ke kantor mereka saat aku bersedia, dan itu bukan hari ini atau besok.” Satoru tidak lagi menatap Yaga, alih-alih membuang muka dan menatap jalanan, menghitung pohon yang terlewati dan berusaha untuk segera lupa.
Adalah suatu sore ketika Satoru merasakan bahwa mempelajari hal baru di usianya yang sekarang sudah cukup berbeda. Berlatih dan mencoba hal baru dari nol pada usia awal dua puluh dan akhir dua puluh memberikan beban fisik yang lebih berat. Meskipun dia berolahraga dengan cukup rutin (memperhitungkan jadwalnya yang kerap tidak bisa diduga), tetap saja, dia mengantuk lebih cepat sekarang.
Di perjalanan pulang dari tempat berlatih selancar secara privat (yang akhirnya dikabulkan Yaga) yang berada di luar kota, Satoru bermaksud untuk mendengarkan musik agar bisa tidur dengan nyenyak. Dia menjatuhkan pilihan dengan mudah. Hanya dengan mengetikkan kata kunci pencarian HIME Ballad, bahkan aplikasi pemutar musik pun langsung bisa memberikan banyak rekomendasi.
Di laman terdepan artis HIME ketika dia iseng melihat seberapa banyak trek yang dimiliki gadis itu, tercantum jadwal rilis selanjutnya dalam dua minggu ke depan. Satoru nyengir lebar, ada aku di lagu itu, tuh.
Lagu lembut dari HIME pun mulai membuainya. Dia sengaja meminta sopir untuk menyetir lebih pelan, agar dia bisa menikmati tidur yang lebih tenang dan tidak buru-buru tiba ke rumah. Kepalanya sudah terantuk-antuk di jendela ketika dia menggulirkan layar, menu demi menu tanpa kesadaran penuh. Dia membuka status orang-orang di media sosialnya tanpa berpikir.
Namun akhirnya dia sampai pada satu status yang memakai musik, yang mengganggu musik yang sedang dia putar. Dia mengerjap, membuka matanya lebar-lebar.
Seorang Nanamin, juga memutar lagu Utahime?
Kento memotret meja kerjanya, dengan kutipan “over time.” dan memasang salah satu lagu instrumental HIME sebagai latar belakang.
Satoru tahu, hampir semua orang yang menonton TV atau memutar YouTube di Jepang pasti setidaknya tahu siapa itu HIME. Tapi, seorang Nanami Kento, juga memakai lagunya bahkan untuk media sosialnya?
Satoru sepertinya mengerti siapa yang harus dia ajak bicara setelah ini.
Semua orang yang bekerja di kantor itu seperti menghentikan seluruh pekerjaan semua orang di sana untuk sesaat. Mereka berpaling dan berbisik, Tuan Satoru di sini, Tuan Satoru di sini! kemudian membungkuk dan memberi salam dengan terburu-buru. Satoru menyadari keberadaannya di sini adalah aneh, seperti melihat langit bersalju pada musim semi. Namun dia berjalan cuek saja, dan bertanya pada siapapun yang punya nyali untuk menatap matanya.
“Di mana Nanamin?”
Seorang pria yang baru saja keluar dari ruang divisi periklanan tersebut pun tergagap, “Nanami-san? Sa-saya rasa tadi saya melihatnya di lantai tiga ….”
Sebenarnya dia bisa langsung menelepon Kento dan menyuruhnya menunggu di lobi, tetapi Satoru menikmati interaksi di sini, sesekali, karena hal ini terlalu jarang dilakukannya. Sesekali mengenali wajah-wajah yang berada di sini, melihat bagaimana reaksi mereka ketika bertemu dengannya.
Satoru naik ke lantai tiga, di dalam lift dia bertemu beberapa pegawai magang yang memandanginya tidak percaya. Dia tidak memakai ID Card, mungkin beberapa orang yang tidak tahu bahwa dia adalah bagian dari keluarga pemilik perusahaan itu bertanya-tanya, kenapa pemain film ini bisa ada di sini?
Kento berada di ruangan pribadinya, bekerja serius dengan punggung tegak dan segelas tinggi kopi hitam yang baru diminum sedikit di samping laptopnya. Dia hanya membuka separuh kerai pada jendela di belakang punggungnya. Ruangan itu terlalu dingin, Satoru melirik pada indikator suhu pada dinding dan mendapati angka terendah. Musik instrumental lembut terdengar, Satoru bisa mengenalinya dengan mudah, membuatnya menyeringai karena lagu ini begitu familier untuknya.
“Yo.”
Bahkan seorang Nanami Kento pun terkejut Gojo Satoru bisa berada di tempat ini tanpa undangan, tanpa paksaan.
“Tuan Gojo.” Kento membetulkan letak kacamatanya. “Akhirnya Anda datang juga.”
Satoru duduk di kursi yang berhadapan dengan Kento tanpa dipersilakan. “Ayo makan siang.”
Kento melihat ke arah jam tangannya dan menggeleng. “Saya rasa belum waktunya.”
“Aku mau bicara.”
“Kita bisa bicara di sini.” Kento pun menyalakan iPad-nya dan mengamati jadwal yang dia susun, beserta dengan check list yang harus dipenuhi, yang baru separuh penuh diberi tanda centang. “Anda belum memeriksa laporan yang saya kirimkan setelah rapat dewan direksi dan dewan komisaris waktu itu. Jika Anda bermaksud membahas itu, kita bisa sekalian bicara dengan paman Anda. Kebetulan beliau berkantor di sini beberapa minggu belakangan.”
“Tidak, tidak. Aku tidak perlu itu. Aku ingin bicara santai denganmu. Makanya aku mengajakmu makan siang.”
“Saya tidak bisa makan siang keluar hari ini karena ada rapat tepat pukul satu. Saya tidak ingin terlambat.”
“Oh, jadi kau bawa bekal?”
Kento mengangguk tanpa rasa malu dan ragu.
“Kalau begitu kita bicara di sini saja.”
“Silakan.”
Satoru diam, membuat Kento mengerutkan kening dalam-dalam. Satoru pun mengangkat jarinya ke udara, seolah-olah menunjuk sesuatu yang tak kasatmata. Kento semakin bingung. Satoru pun segera menembak, “Dunia Musim Semi.”
Kento tampak terkejut, kemudian menyadarinya, dan dia segera menurunkan volume lagu instrumental yang sedari tadi mengudara.
Hal itu malah mengundang tawa keras Satoru. “Aku tahu, Nanamin. Santai saja. Oleh karena itu, aku mau bertanya beberapa hal tentang Utahime—maksudku, HIME.”
Kento menggeleng-geleng. “Saya rasa saya bukan orang yang tepat.”
Satoru tidak menggubris. “Kira-kira, hal apa yang paling disukai oleh HIME?”
“Anda bisa mencarinya di internet.”
“Oh ayolah, artikel dan cerita langsung oleh penggemarnya tentu berbeda.”
“Artikel-artikel yang bertebaran itu juga ditulis oleh penggemar,” Kento berkilah.
“Ceritakan saja, jangan malu-malu.”
“Saya hanya menggemari lagu-lagunya.”
Cukup sulit untuk memancing Kento, rupanya. Satoru kehabisan ide. Dia memutar otak. “Sebentar lagi dia merilis lagu baru, kan?”
“Mungkin.”
“Biasanya, apa yang dia lakukan setelah merilis lagu?”
Kento melepaskan kacamatanya, kemudian menekan pangkal hidungnya. Barangkali sudah mulai migrain karena ada seorang bocah yang sedang mengorek-ngorek hal yang tak perlu di hadapannya. “Saya kurang tahu. Mungkin konser?”
Satu ide terpantik di kepalanya. Satoru terkekeh. “Benar juga. Setelah rilis, promosi berkeliling, begitu ya. Sama seperti first screening film di mana kami ketemu calon penonton?”
“Kurang lebih seperti itu.”
“Hmmm, aku mengerti.” Satoru pun bertopang pada meja Kento, kepalanya pada telapak tangannya. “Lagu apa yang paling menyenangkan dari HIME, Nanamin?”
“Saya hanya suka mendengarkan versi instrumentalnya. Ada di setiap CD. Kalau tidak ada, di internet ada banyak sekali penyanyi cover yang menyusunnya dan menaruhnya di internet secara gratis.”
“Oh! Benar juga!” Satoru menjentikkan jarinya. “Dan mungkinkah, dia suka gitar?”
Kesekian kalinya Kento mengernyit, kali ini disertai dengan tarikan napas panjang. Sebentar lagi dia sampai pada batasnya. “Anda ingin memberinya sesuatu?”
“Cuma pengandaian.”
“HIME sering memakai gitar dalam konsernya, setahu saya.”
“Oh, tentu saja.” Satoru mengingat gitar dan tepian kota Chicago. Semua terasa begitu dekat dan begitu jauh sekaligus. Belum satu bulan sejak mereka syuting bersama, tetapi rangkaian hari-hari itu malah terasa seperti mimpi saja ketika dia berusaha mengingatnya kembali; setiap rincian adegan dan setiap tawa, berusaha menggali bagian mana yang tulus dan mana bagian yang bagian dari seorang HIME atau bagian dari Utahime. Sulit sekali ketika dia berusaha meneliti lawan mainnya sendiri, seakan-akan cermin dari dirinya sendiri: Utahime juga cerdas dalam berakting.
“Jadi, Tuan Gojo ….”
Satoru pun mencondongkan badannya. “Sekarang, katakan padaku apa kesimpulan dari rapat waktu itu.”
“Saya sudah mengirimkannya ke surel Anda.”
“Tidak, tidak. Aku hanya butuh kesimpulan singkat, langsung, secara lisan oleh orang yang turut serta di dalam rapat itu. Bukan dalam tulisan formal yang terlalu panjang dan bertele-tele.”
Kento lagi-lagi berusaha mengisi stok kesabarannya dengan tarikan oksigen yang sekarang terlalu berisik. “Seperti yang Anda tahu, perusahaan offshore kita di Thailand mengalami tuntutan karena pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah setempat, dan pembayaran upah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang baru diperbarui oleh pemerintah mereka. Tuntutan itu telah dipersiapkan untuk diperkarakan.”
“Apa tindakan dari dewan?”
“Mereka ingin minta perpanjangan waktu pada pemerintah setempat.”
“Dan membayar upeti agar tuntutan itu tidak berlanjut?”
“Saya rasa keputusan akhirnya tidak mengatakan apapun soal itu, Tuan Gojo.”
“Nanamin, tidak usah sok lurus. Aku tahu bahwa kamu tahu.”
Kento tidak mengiyakan tapi tidak juga menolak. Dia bergeming.
Satoru lantas berdiri, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Baiklah. Aku pergi dulu. Terima kasih sudah bicara denganku soal HIME.”
Kento, merasa tidak melakukan apa-apa, dan merasa bahwa urusan Satoru di sini masih begitu banyak, juga turut berdiri, “Saya rasa kita belum selesai—”
Satoru berhenti, berbalik sebentar. “Keluarga Iori punya firma hukum, kan?”
Kento diam, berusaha menggali ingatan.
“Katakan pada paman dan ayahku. Kita bisa minta firma hukum mereka membantu menyelesaikan ini. Kenapa hanya berusaha untuk maju minta keringanan pada pemerintah setempat tanpa membawa senjata? Jangan merasa tinggi lebih dulu di depan mereka. Kita harus punya kekuatan hukum untuk membuat kita tidak terkesan seperti macan ompong.” Dia pun melangkah, hanya melambaikan tangan pada Kento tanpa menoleh.
Dia menutup pintu dengan puas.
Peringatan secara khusus berdering di ponselnya pada tanggal enam belas tersebut. Satoru pun menelepon Yaga begitu dia diingatkan oleh peringatan tersebut.
“Sibuk?”
“Sedang menyiapkan jadwalmu untuk besok. Ada apa?”
Satoru mengangkat kakinya ke armrest sofanya, sedang begitu menikmati liburan yang hanya tinggal dua hari lagi, setelah lebih dari satu minggu sebelumnya selalu bekerja tanpa libur. Dia tersenyum lebar, membayangkan bunga-bunga krisan yang mungkin akan cocok disandingkan dengan bunga mawar putih, dahlia berwarna lembut, dan bunga matahari dengan warna yang kontras. “Bisa tolong pesankan aku karangan bunga untuk ucapan selamat? Hari ini juga.”
“... Tidak bisakah kau memesannya jauh-jauh hari?”
“Aku baru ingat sekarang.” Satoru memindah-mindahkan kanal televisinya yang sebenarnya tidak dia tonton secara serius. “Lagipula, kau tahu kan, aku sibuk sepanjang minggu.”
“Ya sudah. Untuk siapa, bunga apa saja?”
“Krisan merah muda, mawar merah, dan apapun yang cocok dengan itu. Untuk ucapan selamat, omong-omong.”
“Untuk siapa?”
“Kirimkan ke kantor Iori Utahime untuk ucapan selamat atas perilisan lagu barunya hari ini.”
“Oh. Kau mengirimkan untuknya?”
“Kenapa? Apakah itu hal yang mengejutkan?”
“Tidak. Hanya saja ini tidak biasanya terjadi.”
“Aku terlibat di lagu itu.”
“Jadi kau merayakan dirimu sendiri?”
Tawa Satoru meledak. “Benar juga kalau kau menganggapnya begitu.”
Yaga tidak ingin memperpanjang perkara. “Akan kupesankan. Pukul berapa harus sampai di kantor agensinya?”
“Sekitar jam makan siang, tidak apa-apa.”
“Baiklah. Tapi jangan lupa, sore ini kau akan kujemput untuk ketemu dengan penulis skrip untuk TRAIN.”
“Ha? Kukira besok? Bukankah hari ini masih liburanku?”
“Liburan dari jadwal resmi, Satoru, dan bukan berarti kau bebas tugas. Dia minta untuk bertemu karena sepertinya ada sedikit revisi dari skrip yang sudah diberikan padamu sebelumnya.”
“Kenapa tidak dikirimkan lewat kau saja?”
“Tidak bisa, mereka harus menjelaskannya secara langsung.”
Satoru menggerutu, tapi dia tidak berada dalam mood untuk mengelak. “Baiklah. Aku cuma bisa dua jam, katakan padanya begitu.”
“Hm. Kujemput pukul empat.”
“Ya, ya, ya.”
Satoru baru menyadari, dia tidak pernah benar-benar mendapatkan nomor ponsel Utahime. Sebagian karena Utahime menganggapnya bercanda sehingga dia tidak bisa sungguh-sungguh mendapatkannya, dan sebagian lagi karena dia melupakannya saat mereka sedang sibuk bersama di hari-hari yang singkat itu.
Bukan berarti dia menunggu ucapan terima kasih itu, ya. Bukan, sama sekali bukan, kok. Satoru hanya mengirimkannya sebagai bentuk terima kasih pada kolega, dan tidak bermaksud mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh spesial, karena mungkin Utahime juga sibuk dengan pekerjaannya sendiri. Barangkali ia baru akan menerima benda itu besok, atau lusa, entah kapan. Yang terutama untuk Satoru, dia telah memenuhi kewajiban untuk hatinya sendiri.
Sudah tanggal tujuh belas. Berarti lagu tersebut sudah dilepas ke pasaran, termasuk film singkatnya. Satoru pun mencari nama HIME di internet, dan yang muncul di barisan teratas tentu saja lagu barunya, videonya, serta liputan dari media untuk lagu terbarunya tersebut. Yang tentu saja termasuk namanya sendiri: bahwa video klip terbaru HIME kali ini juga dibintangi oleh seorang aktor terkenal, Gojo Satoru.
Satoru tersenyum lebar saat menonton video tersebut. Dia masih hafal adegan demi adegan, dan ketika menontonnya kembali, memorinya mengulanginya lagi. Terasa seperti melihatnya untuk kali pertama. Dia sudah membintangi banyak iklan, serial, dan film dan menontonnya berulang-ulang, dan setiap kali dia menyaksikannya, dia seringkali merasa puas jika dia bisa melihat seseorang yang lain. Itu berarti aktingnya telah cukup bagus untuk mengubah personanya sendiri.
Total durasi akhir setelah penyuntingan akhirnya mencapai delapan menit, dan Satoru mendapati dirinya, alih-alih menyukai bagian akhir di mana mereka menyaksikan matahari terbenam bersama, dia paling menyukai bagian ketika dia mengurungkan diri untuk mencium Utahime dan hanya saling menyandarkan kening mereka bersama. Bagian di luar skrip yang ternyata mereka pertahankan, merupakan sebuah kepuasan tersendiri bagi Satoru karena artinya improvisasinya adalah sebuah inovasi yang malah membuat film menjadi semakin hidup, karena awalnya tak pernah terpikirkan oleh tim kreatif; tetapi pada akhirnya mereka menerimanya.
Dia akhirnya menyaksikan bagian menyanyi Utahime yang direkam sendiri di Jepang tanpa dirinya. Ia menggunakan gitarnya, bernyanyi di sebuah rooftop dan sesekali latar berganti dengan di padang bunga matahari atau padang rumput. Dia sungguhlah memenuhi harapan tentang pesona seorang wanita polos kesayangan publik pada lagu ini. Lagunya begitu indah, suaranya lembut, tetapi menggugah.
Satoru mendapati dirinya mengulangi film tersebut lagi dan lagi, sampai dia seolah-olah bisa melihat video tersebut saat menutup mata dan hanya mendengarkan lagunya.
Utahime. Dia memang seorang putri yang dilahirkan untuk nyanyian, irama puitis yang disayangi oleh banyak orang.
Satoru menatap ponselnya sambil tersenyum lebar. Pesan itu sudah masuk enam jam yang lalu, saat dia sedang sibuk bersama tim untuk keperluan pra-produksi filmnya yang akan datang. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, apakah perempuan itu masih sibuk, sedang istirahat? Waktu seperti ini masih belum terlalu malam untuk orang-orang seperti mereka.
Namun di atas semua itu, di mana Utahime mendapatkan nomor ponselnya?
Satoru tidak pernah bermain judi, mencoba peruntungan di kasino dan semacamnya, tetapi kali ini dia ingin mencoba bertaruh dengan peruntungannya sendiri: dia menekan tombol panggil pada kontak tersebut.
Tidak ada jawaban, bahkan sampai sambungan tersebut berakhir otomatis. Satoru pun mengirimkan balasan sebagai pancingan lain:
Satoru menikmati perjalanan pulang sambil menunggu, sesekali menyela sesi menonton video-video lucu dengan musik dari HIME. Melihat pola perilisan lagu perempuan itu, menemukan bahwa ia lebih suka membuat video di luar ruangan dengan tone yang cerah, dan tidak sekalipun ia membuat video yang bertemakan gelap. Citra yang dihidupkannya sejak debutnya pada usia sembilan belas sangat konsisten.
Panggilan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang saat dia baru melangkah masuk ke dalam apartemennya. Sebuah keberuntungan karena tidak ada siapapun sehingga dia tidak perlu bersembunyi.
“Halooo~~”
“Mmm. Ya. Gojo? Terima kasih bunganya. Sudah kubawa pulang.”
“Tidak perlu sungkan. Suka bunganya?”
“Kau bisa tahu aku suka krisan?”
“Oh, itu cuma menebak. Soalnya kamu punya lagu soal bunga krisan.”
“... Ah, benar.”
“Utahime sibuk?”
“Masih di perjalanan pulang. Baru selesai rekaman buat acara TV.”
“Begitu.” Satoru berjalan tanpa maksud apapun ke arah lemari es, membukanya tanpa niat tertentu, dan hanya bergeming di depannya tanpa mengambil apapun. “Akhir minggu ini sibuk?”
“Aku harus konsultasi dengan manajerku dulu. Mungkin ada satu hari yang lowong. Ada apa?”
Satoru mengamati sisa-sisa makanan take away yang belum sempat dibersihkan di dalam lemari esnya, kotak pizza yang masih menyisakan satu potong pizza beku, kemudian lasagna yang sepertinya hampir berjamur. Dia mengambilnya dan segera melemparkannya ke tempat sampah. “Ayo makan bersama.”
“Eh?”
Satoru nyengir pada sebuah kaleng soda yang diambilnya begitu saja. “Untuk merayakan lagu barumu, tentu saja.”
“Kau sudah mengirimiku bunga.”
“Yah, masa tidak boleh tambah lagi?”
“Gojo, yang benar saja.”
“Kamu dilarang manajermu untuk jalan berdua?”
“Tidak juga, tapi—”
Seketika senyuman Satoru, yang bisa dilihatnya sendiri pada kaleng yang mengkilat tersebut, pudar, “Utahime sudah punya pacar?! Maaf! Soalnya aku tanya pada orang manajemen tidak ada yang bilang begitu!”
“Tidak ada! Bukan itu!” sambar Utahime. Sejenak kemudian, nadanya merendah, “Mau makan di mana?”
Satoru tersenyum lagi, dan meletakkan kaleng tersebut kembali ke bagian pintu kulkas. “Aku suka makanan yang manis, jadi … Utahime mau ke dessert shower?”
“Biasanya tempatnya agak terbuka dan di tengah kota, kan? Yakin tidak apa-apa? Ada banyak mata yang bisa melihat, Gojo. Terlalu banyak.”
“Utahime maunya di mana?”
“Aku punya kenalan, dia punya restoran yang tidak berada di pusat kota, yang juga melayani reservasi.”
“Berarti fine dining?” Satoru malah menutup lemari esnya kembali seperti seorang bocah inkonsisten. Dia pun menuju minibar, berputar-putar di kursi bulat kecilnya, dan memainkan sebuah apel yang berada di sana sejak kemarin.
“Menunya tidak cuma fine dining. Dia juga menyediakan menu dan ruang khusus seperti yang biasa kita temui di izakaya.”
“Woah! Boleh! Utahime yang pesan?”
“Boleh,” jawab Utahime pelan. “Nanti aku telepon lagi kalau aku sudah dapat jadwal kosong dan tempatnya.”
“Akan kutunggu!”
“Iya. Sudah dulu ya, ada telepon masuk lain … sampai jumpa, Gojo.”
Satoru mengakhirinya dengan puas, dia tersenyum senang sambil menggigit apel barusan, yang dikunyahnya dengan gembira meski biasanya dia tidak pernah ingin makan apel yang tidak dikupas dan tidak dipotong-potong.
Notes:
a/n: credit untuk codenamecarrot dan la_temperanza yang luar biasa karena sudah menyediakan koding lengkap untuk ios text bubble-nya, jadi tinggal kopas dan edit dikit :”)
Chapter 4: so good right now
Chapter Text
04. so good right now
Satoru masih berdiam di dalam mobilnya sampai pukul delapan kurang satu menit. Dia mengawasi, dan pada pukul delapan lewat lima dia melihat sebuah mobil berhenti di pintu depan restoran, seorang perempuan dengan masker dan rambut diikat tinggi turun dengan tenang dari sana. Tak panik, tak curiga dengan sekeliling. Tenang seolah tidak ingin menyembunyikan sesuatu. Betapa sulit untuk hidup menjadi sorotan publik: ketika sesuatu yang seharusnya tak berbahaya pun harus diwaspadai demi ketenangan khalayak.
Satoru baru turun beberapa menit kemudian, memakai masker dan topi, serta menuju ke pintu samping dengan langkah ringan, kedua tangan pada saku jaket biru gelapnya. Seorang pelayan yang sejak awal berjaga di sana langsung mengerti begitu dia menyebut meja delapan, dan dia segera mengantarkannya ke lantai dua, menuju bagian belakang restoran yang ditata seperti bilik-bilik dengan dinding rendah. Nomor besar dipajang di masing-masing dinding, nomor delapan berada di paling sudut, dekat dengan dinding kaca besar di bagian belakang gedung yang memperlihatkan cahaya kota di kejauhan.
Di dalamnya, putri cantiknya sudah menunggu. Satoru tersenyum lebar sambil menabik dan kedipan bercanda yang malah membuat Utahime berjengit.
“Hai, hai.” Satoru menarik kursi dengan berisik. “Terima kasih sudah reservasi. Bills on me, Utahime.”
“Split bill saja. Tidak apa-apa.”
“Nah. Biarkan aku jadi gentleman malam ini.” Satoru menengok pada buku menu yang sedang dibaca Utahime, Utahime mengedikkan dagu pada buku menu lain yang menganggur di atas meja.
“Karena sepertinya kau mau makanan santai, aku sengaja tidak pesan menu pembuka duluan. Pilih saja, aku yang bayar.”
“U~tah~hi~me, biarkan aku yang membayar,” ulang Satoru lagi, dengan nada bernyanyi yang dibuat-buat, yang anehnya terdengar merdu. Satoru merasa bangga karena suara menyanyinya tak berkarat setelah bertahun-tahun berhenti belajar bermusik. “Aku mau daging panggang. Yang banyak. Es krim vanilla double untuk penutup … mmmm, tiba-tiba aku juga mau sushi. Aku ingin makan banyak karena belakangan ini sibuk dan aku juga sedang tidak dalam jadwal diet. Utahime, bagaimana?”
“Aku juga mau daging panggang. Birnya, jangan lupa,” Utahime melirik pada pelayan yang menunggu. “Gojo, kau tidak minum?”
“Aku tidak minum alkohol kecuali anggur-anggur ringan.” Satoru mengetuk-ngetukkan bagian bawah buku menu yang keras ke permukaan meja. “Hanya beberapa jenis. Aku tidak suka mabuk.”
Utahime mencebik, Satoru balas tertawa. Mereka mengakhiri pemilihan menu begitu saja, dan ketika pelayan mundur dari mereka, Utahime menghela napas panjang.
“Kenapa?” Satoru menangkap gelagat tersebut. “Capek?”
“Sedikit. Tadi malam aku baru tidur jam dua, dan jam lima sudah harus siap-siap untuk pre-recording acara. Selesai jam sepuluh, aku pulang dan langsung tidur sampai jam enam.” Ia tersenyum lemah. “Kebanyakan tidur juga kurang enak.”
“Tidak satupun dari kita yang punya jadwal tidur yang sehat.” Satoru tertawa miris sambil menyandarkan punggungnya. “Aku sudah masuk jadwal pra-produksi untuk film terbaru. Mungkin sebentar lagi aku harus mulai syuting. Kali ini syutingnya banyak di luar negeri.”
“Oh ya? Di mana saja?”
“Di Phuket, Thailand, kemungkinan besar juga di Bali, kemudian di Jerman dan Inggris. Aku belum tahu mana yang lebih dulu.”
“Ah, kau bakal berkeliling setengah bumi. Tambahkan Los Angeles, maka kau bakal mendapat satu putaran penuh.”
“Dari segi cerita, hal itu mungkin. Tapi kurasa tidak soal budget.” Satoru mengulum tawa. Seorang pelayan datang membawakan air mineral sebagai pembilas tenggorokan tahap pertama. Satoru menenggak setengahnya hanya dalam sekali mengangkat gelas. “Budget agak tipis. Alokasinya terlalu banyak untuk tokoh utama, orang yang akan jadi bosku.”
”Good luck dengan proyek yang alokasi dananya mepet. Aku pernah mengalaminya sekali, di single kesebelasku. Kau tahu, aku merekam video klip di pekarangan belakang rumah pamanku. Untung saja penjualan CD-nya bagus, jadi mereka bisa menutupi modalnya dan setuju untuk memberikan lebih banyak untukku.”
“Oh, omong-omong, soal pamanmu,” Satoru menjentikkan jarinya dan segera mencondongkan diri di meja, mendekat pada Utahime. “Dia punya firma hukum, kan?”
“Paman? Iori Chihiro? Dia memang pemilik saat ini dari firma hukum milik keluarga Iori. Ada apa?”
“Jadi … eh, tunggu. Kau bilang pemilik saat ini? Sebelumnya memangnya bukan miliknya?”
Utahime membiarkan Satoru menunggu selama beberapa saat. Ia menengok, tidak seorang pun pelayan berada di jarak dengar. Ia masih menunggu beberapa saat, mengikuti instingnya, dan benar saja, pelayan yang membawakan menu pertama mereka pun datang, menyiapkan daging untuk dipanggang dengan santai di meja mereka. Mata Satoru berulang kali mengerling awas ke arah Utahime, menahan perempuan itu untuk tidak beralih dari topik ini begitu saja saat pelayan tersebut pergi.
Daging mendesis dengan penuh godaan di antara mereka, tetapi sekarang yang menggugah hati bukan lagi aroma bumbu gurihnya.
“Pendiri firma hukum kami sebenarnya adalah Iori Kenji. Paman sekaligus ayah angkatku yang pertama.”
Sumpit Satoru berhenti di udara. “Ayah kandungmu di mana?”
“Meninggal dunia saat umurku masih enam bulan.”
“Oh, turut berduka.”
“Aku tidak pernah mengenalnya. Usianya jauh lebih tua daripada Ibu.”
“Lalu kau tinggal bersama pamanmu?”
Utahime membolak-balik daging dengan santai, seolah-olah bukan sedang membicarakan sejarah keluarganya yang jauh. “Iori Kenji, benar. Cuma beliau yang peduli. Pernikahan ibu dan ayahku ditentang karena Ibu terlalu muda, baru enam belas tahun waktu melahirkanku. Banyak yang menganggap bahwa ibuku pantas mendapatkannya ketika Ayah meninggal dunia. Kecuali Paman Kenji.”
“Kuharap kau tidak memasukkan semua itu di lagumu.”
“Ah, terlambat, Gojo. Ada dua single-ku yang bercerita tentang masa kecil yang pahit. Entah pendengarku bisa menggali ceritanya atau tidak, aku menyerahkannya pada mereka.”
“Yang mana? Aku juga mau mendengarkannya!”
“Cari saja sendiri.” Utahime tersenyum licik.
“Hei, kau punya lebih dari tiga puluh single!”
“Itulah namanya berusaha, Gojo.”
Satoru mendengus. Utahime mengambil satu lembar daging dan mencicipinya.
“Tapi kata pamanmu malam itu, dia yang menerbitkanmu.”
Utahime diam sejenak, membiarkan minyak daging yang ia angkat menetes ke dalam mangkuk di hadapannya. Ia menatap kosong pada irisan matang yang berkilauan itu. “Kadang-kadang, seseorang lebih suka mengakui lebih dari yang mereka lakukan, kan?”
Satoru tidak ingin terlalu cepat menceburkan diri di danau rahasia orang lain, tetapi dia benar-benar tidak bisa berkonsentrasi untuk makan kali ini. Dia berusaha mengunci tatapan Utahime, tetapi perempuan itu nampaknya sungguh-sungguh lapar. Ia mengunyah dengan mantap meski dagingnya masih panas.
“Ada apa dengan pamanku? Kau ingin menyewa jasa anak buahnya?”
“Ada sedikit masalah di perusahaan keluargaku. Aku dimintai pendapat, aku tidak hadir rapat. Sebagai kompensasi, aku berusaha untuk memberi saran. Cuma itu yang bisa kukatakan, firma keluargamu mungkin bisa membantu.”
“Masalah legalitas? Izin? Tuntutan?”
“Yang terakhir.” Satoru mengunyah dengan berisik.
“Aku tidak terlalu menyarankannya, tetapi mungkin kau telah memberikan saran yang cukup bagus untuk keluargamu.”
“Hei, Utahime, tidak bisa ada dua kata yang kontradiktif begitu di dalam satu kalimat.”
“Kau akan tahu kalau bekerja dengan pamanku dan perintah-perintahnya.”
“Bukan aku yang kerja. Orang-orang di perusahaan keluargaku saja. Biarkan mereka yang menyelesaikannya.”
“Kau berharap bisa selesai dengan pamanku?”
“Aku tidak punya saran lain, tahu.” Satoru mengambil lagi lebih banyak daging untuk dipanggang di sisi miliknya. “Aku cuma mencoba terlihat berguna sedikit. Kau benar-benar tidak suka pamanmu, dan cara kerjanya?”
“Kau akan tahu kalau berhadapan dengannya.”
“Tapi orang itu yang membantu mengorbitkanmu.”
Mata Utahime berkilat ketika melirik ke arahnya dan untuk sesaat Satoru merasa takut. “Itu menurutnya.”
“Oh.”
“Label pertamaku adalah milik Paman Kenji.”
“Ke mana Paman Kenji-mu?”
“Belasan tahun yang lalu, penyakit jantung merenggut nyawanya mendadak saat dia sedang di luar negeri.”
“Turut berduka cita.”
“Label pertamaku lantas dibubarkan dan stafnya dilebur ke perusahaan lain milik Paman Chihiro.”
“Kukira drama keluarga yang aneh hanya terjadi di Gojo.”
“Setiap keluarga besar yang tidak lagi memikirkan harga nasi yang ditanak akan seperti itu, Gojo.”
Satoru terbahak. “Jadi begitu. Aku akhirnya paham.”
Utahime meminum bir semudah Satoru menenggak air mineral pada bagian awal makan malam ini. Satoru tercengang melihatnya. Ketika Utahime menggeleng puas dan mendesah karena minumannya, dia semakin tidak bisa melepaskan pandangannya.
“Gojo, siapapun itu, yang mungkin mengikuti kita, seandainya dia membuatnya menjadi berita, apa yang akan kau berikan sebagai tanggapan?”
“Ha, untuk apa? Aku tidak pernah membaca berita tentang diriku sendiri. Aku tidak tahu dan tidak mau tahu, kecuali berita tentang karyaku.”
“Tapi itu perlu bagi agensimu untuk publikasi.”
“Biarkan mereka yang bicara. Aku tidak akan bicara apapun.” Satoru melahap tiga lembar daging sekaligus. “Pernyataan di media pun seringkali bukan suaraku. Semua kalimatku akan mereka seleksi dan perbaiki setelahnya.”
“Mmm, hmmm.”
“Utahime sendiri, bagaimana? Kau sering main di media sosial?”
“Kadang-kadang saja. Seperlunya, terutama saat konser dan hari perilisan. Selebihnya aku cuma main di akun pribadi. Itupun kalau sempat. Aku lebih suka tidur.”
“Ah, itu aku.” Satoru menelan gumpalan kunyahan besar dengan suara yang disengaja lebih keras. “Jadi, klarifikasi macam apa, kalau Utahime yang ditanyai oleh wartawan?”
“Apa yang harus kuklarifikasi? Tidak ada sesuatu pun yang terjadi di antara kita.”
Satoru menyeringai lebar. Dia pun mengulurkan tangan di atas meja dia menanti Utahime membalasnya. “Aku ingin serius. Tolong bantuannya, Nona Utahime.”
Air muka Utahime adalah campuran antara kaget dan ingin tertawa. “Serius apa?”
Satoru mendesaknya dengan menggoyangkan tangannya di udara. “Jangan pura-pura tidak mengerti.”
Utahime cuma pura-pura mendengus, ia bermaksud hanya ingin menepuk telapak tangan Satoru, tetapi Satoru menangkapnya dan menggenggamnya dalam jabat tangan yang aneh. Pria itu hanya terkekeh ketika Utahime menarik tangannya dengan canggung.
“Jadi, kau akan mengadakan konser, kan? Di mana aku bisa beli tiketnya?”
“Kau serius, mau nonton? Katamu kau bakal sibuk syuting setelah ini.”
“Tergantung jadwal. Akan kucocokkan. Setidaknya aku sudah punya kursi.”
“Akan kutanyakan pada manajerku.” Utahime menunduk, pura-pura sibuk makan.
“Baiklah. Nanti balasannya adalah tiket premier filmku. Tenang saja, akan kuatur.”
Utahime memutar bola matanya. Sejenak kemudian, dia menenggak birnya lagi.
“Utahime,” panggilnya.
“Mmm,” Utahime menjawab tanpa memandang.
“Kau sungguhan tidak apa-apa, kan?”
“Dalam hal apa, maksudmu?”
“Yang barusan?”
Utahime melambaikan tangannya di udara, “Segala keputusan yang kubuat sebelum aku mabuk, aku membuatnya secara sadar.”
Satoru terkekeh gembira. “Baiklah. Tunggu aku di konsermu, oke?”
“Yah, baik.” Utahime memainkan sumpitnya dengan tidak karuan di atas mangkuk. Ia tampak memikirkan sesuatu, dan Satoru memanfaatkan waktu hening tersebut untuk makan sebanyak mungkin. Dia melirik sisa daging dan kira-kira hanya cukup untuk satu orang. Dia pun memutuskan berhenti perlahan, menahan dirinya hanya dengan mengingat bahwa setelah ini masih ada porsi besar es krim yang menunggu.
Utahime menarik napas dalam-dalam, dan Satoru menahan dirinya dari berkomentar capek ya? lagi, karena itu sudah terlalu basi.
“Gojo. Aku boleh tanya sesuatu?”
“Silakan, silakan!”
“Kau mendengarkan lagu-laguku?”
“Tentu saja!” Satoru menjadi antusias kembali.
“Lagu apa yang paling kau suka?”
“Ah, haruskah kusebut satu per satu? Mahkota Krisan, Tulisan di Langit Musim Panas … Cerita Kecil dan Tarian Awan … apalagi, ya? Mungkin kau harus lihat daftar putarku!” Satoru bersiap mengeluarkan ponselnya.
“Tunggu sebentar. Mahkota Krisan?” Utahime tampak tidak percaya.
“Ya, tentu saja.”
Utahime tampak mencoba meyakinkan dirinya, maju dan mundur untuk sebuah kalimat. Satoru menyadarinya, dan mendorongnya untuk bicara melalui tatapan matanya.
“Kau ingat sesuatu tentang mahkota krisan?”
“Liriknya, maksudmu?”
Utahime menggeleng. “Bukan. Ini bukan soal lagunya. Mahkota krisan, secara harfiah.”
Kening Satoru mengernyit dalam. “Apa itu?”
Utahime tampak kecewa, bahunya melemas. Satoru merasa ada yang salah, tetapi dia tidak tahu harus bertanya di bagian mana. “Sudahlah, lupakan saja.” Ia mengibas-ngibaskan tangannya di udara.
“Apa aku melewatkan sesuatu?”
“Sudahlah, kubilang abaikan saja. Sekarang aku yang mau dengar ceritamu. Film terbarumu, ceritakan sedikit. Kurasa kau terlalu banyak mendengar dariku dan tidak sebaliknya.”
“Ah! Aku sebenarnya dilarang menceritakannya pada siapapun, tapi apa Utahime bisa pegang janjiku?”
“Mmm, hm. Bagaimana kalau ditukar?”
“Aku juga bakal menyimpan rahasia Utahime?” mata Satoru berbinar seperti anak kecil yang baru saja menerima sebuah permen favoritnya.
“Akan ada dua puluh enam lagu, sepuluh arena di Jepang, dua dome, dan dua negara di luar Jepang.”
“Utahime keren sekali!” Satoru menopangkan wajah di tangannya, menatap Utahime seperti seorang seniman yang terlalu memahami sebuah karya dan memujanya. “Kalau begitu, saatnya bertukar. Filmku, TRAIN, tiga orang anggota pemburu peretas akan punya satu anggota baru, yang harus mereka latih dalam waktu satu bulan untuk menggagalkan operasi yang akan terjadi di sebuah kereta antarnegara di Eropa. Di perjalanan, anak baru itu dicurigai sebagai mata-mata musuh dan dia dibunuh dalam sebuah operasi tipuan. Kelompok lawan, tempat anak itu berasal, marah dan memajukan operasi tersebut yang akan melibatkan banyak korban di kereta Jepang.”
Utahime mengerjap setelah cukup lama mengamati antusiasme Satoru saat bercerita. Ia menelengkan kepalanya, kemudian duduk tegak lagi, sadar bahwa ia terlalu memperlihatkan diri sebagai reaksi. “Kau tampaknya senang sekali dengan genre seperti itu. Aksi, mata-mata.”
“Aku senang dengan peran yang memicu adrenalin!”
“Tapi kau juga bisa berakting sedih dengan hasil yang brilian, Gojo.”
“Wah, Utahime menonton film-filmku yang lain?”
Utahime mencebik, buru-buru buang muka. “Maksudku, di video klipku.”
“Duh, mengaku, dong. Kau juga menonton The Night After Tomorrow, Autumn’s Light, The Last Fireflies, Sea of Stars, ya kan?”
“Kalau iya, memangnya kenapa?” sambar Utahime ketus.
“Bagus! Kau mengakui kehebatan Aktor Gojo Satoru?”
“Tolong, kapan sih kau puas dengan dirimu sendiri?”
“Akui saja, soalnya kalau tidak mengakui, kau tidak mungkin memilihku untuk lagumu, kan?”
“Gojo Satoru, bisa makan dengan tenang saja, tidak?” Utahime pun menyumpal mulutnya sendiri dengan lembaran daging.
“Makananku sudah habis!” Satoru merentangkan tangannya, memperlihatkan mangkuk dan piring yang telah bersih.
“Pesan lagi, mau?”
“Tidak usah berkedok memesan hanya untuk menutup mulutku, Utahime~ aku bisa makan sambil bicara~”
“Kalau kupanggil pelayannya untuk membawakan es krimnya sekarang, kau bisa tutup mulut, tidak?”
“Ah! Es krim! Aku mau! Utahime mau berbagi denganku?”
“Lebih baik aku menambah birku.”
“Utahime tidak suka yang manis-manis?”
“Tidak, tidak. Makanan manis membuat tenggorokanku gatal. Suatu bala bencana untuk penyanyi.”
“Memangnya bir tidak?”
“Jangan bandingkan birku dengan makanan super gulamu, dong.”
“Ow, ow, kau meremehkan es krimku?” Satoru berpura-pura mencebik kesal. “Makanan manis membantu stimulasi otak, memberi energi untuk otakmu. Aku bisa terjaga, mempelajari skrip, dan hal-hal penting lainnya untuk keperluan syuting kalau otakku berenergi seperti itu.”
“Kau cek kesehatan rutin, tidak?”
“Kau juga harusnya begitu, memangnya belum pernah dengar kalau minuman beralkohol merusak livermu?”
“Tapi aku tidak meminumnya tiap hari!”
Untuk sesaat, Satoru diam, hanya menatap Utahime sambil menahan sesuatu di balik pipinya. Sejenak kemudian, dia tertawa terbahak-bahak, dan Utahime menatapnya dengan bingung sekaligus kesal.
“Kau kenapa, sih?”
Satoru sampai harus menyeka sudut matanya. “Tidak apa-apa. Jangan tersinggung. Aku hanya merasa terharu.”
“Tidak ada orang terharu yang tertawa seperti itu, Gojo!”
Satoru menatap pada mata Utahime yang malah membuat wanita itu salah tingkah, “Senang rasanya bercanda dengan Utahime. Utahime lucu dan tidak mau kalah. Seru.”
Utahime tercengang sesaat sebelum ia benar-benar menyadari makna kalimat Satoru. Kemudian, ia mendengus, buang muka, segera menghabiskan minumannya tanpa berpikir panjang. Ia meletakkan gelasnya dengan bunyi benturan yang cukup berisik. “Sudahlah. Kau ini memang tidak mau kalah, Gojo.”
Satoru nyengir lebar. “Karena sepertinya aku akan menyukai cara seperti ini, Utahime,” dia sengaja membuatnya seperti riddle, menikmati kebingungan pada wajah Utahime dan matanya yang bergerak-gerak liar seperti mencari sesuatu di wajah Satoru.
Satoru ingin keluar begitu saja dari mobilnya tetapi Yaga tiba-tiba menghentikannya. “Topimu, hei!”
Satoru cuma nyengir, dan kembali menutup mobil untuk mengambil topinya. Dia hanya terlalu antusias dengan konser ini, sehingga dia pun dengan terburu-buru mengambil topi dari kompartemen di hadapannya. Namun dia berhenti sebentar begitu melihat botol parfum yang selalu berada di dalam mobil. Dia mengambil parfum tersebut tanpa pikir panjang, kemudian menyemprotkannya ke hampir seluruh bagian torsonya, belakang telinga, dan pergelangan tangannya. Dia pun berhenti sebentar, memikirkan apakah dia bisa sempat bertemu Utahime? Dia bisa dipanggil kapan saja karena dia mencuri-curi waktu dari jadwal, dan mungkin saja Utahime tidak bisa ditemui meskipun Satoru punya akses belakang panggung sendiri.
Satoru pun melangkah dengan yakin ke dalam venue melalui pintu yang berbeda. Utahime mengirimkan sebuah kartu akses belakang panggung melalui agensinya, dan Satoru menunjukkannya pada seorang penjaga yang kemudian mengarahkannya melalui jalur yang berbeda untuk mendapatkan kursi sesuai yang telah dipesan oleh Utahime untuknya. Dia datang di waktu yang sudah begitu dekat dengan timing penutupan gate masuk, tak begitu lama setelah dia duduk, konser pun dibuka oleh sebuah band lokal.
Satoru tidak pernah datang ke konser apapun sebelumnya, kecuali sejenis filharmonik, beberapa kali ketika dia kecil dan masih intens bermain musik. Hampir seluruh pentas filharmonik tenar di Eropa pernah dikelilinginya bersama ibunya; mulai dari di Austria hingga Inggris. Konser penyanyi pop Asia, tentu saja memiliki cara dan suasana yang berbeda.
Konser dibuka dengan sebuah lagu ceria dari Utahime, yang belum pernah didengar oleh Satoru. Mungkin salah satu dari single lamanya yang belum sempat didengarkan oleh Satoru. Utahime memakai pakaian seragam sekolah dengan rok plaid berwarna biru tua dan hitam, masih terlihat cocok untuk tubuhnya yang mungil. Ia menyanyi dengan ceria dari ujung ke ujung panggung, menyapa penggemar sambil melambai-lambaikan tangan.
Apa yang Utahime lihat dari para penontonnya? Apakah ia mengenali wajah mereka semua? Apakah ia merasa gugup meski ia telah berada di panggung kesekian ratusnya? Utahime tampak berenergi sekali bahkan di lagu kesembilannya, Ia mulai menggunakan gitarnya di set lagu pertengahan konser, dan lebih banyak duduk untuk menyimpan energi untuk lagu-lagu belakangan. Set sengaja diatur untuk lagu-lagu yang minim mobilisasi di tengah-tengah acara, agar ia bisa menutupnya dengan enerjik.
Satoru melihat betapa berbedanya panggung dan layar perak seperti yang dilakukannya. Berada di depan kamera dan di depan orang banyak sekaligus menempa mental mereka dengan cara yang berbeda. Utahime harus melakukan semuanya secara spontan setiap kali konser. Satoru bisa mengubah aktingnya sampai sutradara menganggapnya pantas untuk ditayangkan. Utahime harus mampu bekerja sendiri, tanpa penopang kecuali tim belakang panggung, sementara Satoru harus bekerja dan berinteraksi langsung dengan banyak orang. Utahime mampu menguasai panggungnya seorang diri dan mengatur dinamikanya sendiri, sementara Satoru bekerja dalam tim dan menyelaraskan dinamika.
Kedua dunia mereka memang berbeda, tetapi hal ini yang paling menarik. Satoru punya lebih banyak ide untuk dibicarakan ketika mereka bertemu nanti.
Tiba di lagu-lagu yang Satoru kenali, dia mendapati dirinya bisa mengikuti lagu-lagu tersebut. Betapa menyenangkannya tenggelam di tengah keramaian yang seirama dengannya. Ketika semua orang juga turut bernyanyi dengan Utahime, Satoru tersenyum lebar merasakan euforia yang sama, yang merasuk ke dalam relungnya dan semakin menenggelamkannya dalam lautan nada. Sesekali dia melambaikan tangannya mengikuti arus gestur orang-orang di sekelilingnya, dan menemukan kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
Dia bisa melihat binar bahagia di mata Utahime bahkan sampai ke akhir dari konser. Perempuan itu seolah tidak kehabisan energi, meski ia telah berkali-kali berganti kostum dan menyanyikan lebih dari dua puluh lagu. Jika seorang pemain film mendapatkan kepuasannya setelah menunggu diselesaikannya film tersebut dan melihat reaksi pasar setelah mendapatkan tanggal rilis, maka seorang penyanyi dalam konser langsung melihat kepuasannya di depan matanya saat itu juga; kerlip cahaya bak bintang di dalam kubah raksasa. Meskipun ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk mendapatkan semua ini, tetapi dirinya, seorang aktor, juga menempuh jalan berkerikil serupa. Namun kebahagiaan ini, yang membuncah hingga ke seluruh sudut nadinya, begitu asing sekaligus hangat.
Mungkin ada kesunyian yang hanya Utahime sendiri yang mengerti di dalam karirnya, ketika ia harus berjalan seorang diri. Masa lalunya pun tidak begitu jauh berbeda, sama sepinya, tetapi Utahime memiliki semua ini. Ia bisa bahagia dengan caranya sendiri; Satoru lega.
Semua itu membuat Satoru ingin bicara lebih banyak dengannya, mengenalnya lebih jauh.
Dan mungkin membersamainya, karena kebahagiaan ini begitu ingin dia cicipi lagi dan lagi.
Satoru berlari kecil di jalur yang begitu dekat dengan panggung. Ketika dia mencoba untuk menerobos ke belakang panggung, seorang staf menahannya. Satoru pun membuka masker dan topinya, serta memperlihatkan kartu akses belakang panggung yang dia selipkan di balik sakunya. Staf tersebut segera mengenalinya bahkan meminta maaf, serta mengantarkannya ke belakang panggung.
“Nona HIME mungkin sedang bersama kru,” staf tersebut mengajak Satoru untuk melewati sebuah pintu yang diberi label HANYA STAF. Di koridor-koridor yang ada di dalam, para staf sibuk dengan in-ear atau membawa beberapa perlengkapan dari bagian depan. “Ada briefing setelah manggung, biasanya seperti itu. Apa Anda bersedia menunggu, Tuan Gojo?”
Satoru melihat sebuah bangku panjang di dekat meja konsumsi staf di ruang besar tersebut dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Jangan paksa dia. Kalau dia sibuk, jangan repot-repot.”
Staf tersebut membungkuk pada Satoru dan segera menuju ke bagian lain yang dibatasi oleh sekat non-permanen. Satoru menunggu sambil melirik beberapa bungkus camilan yang masih tersisa di atas meja, dan minuman-minuman pada kulkas display di samping meja. Dua jam lebih di kursi penonton cukup membuatnya lapar. Dia menimbang-nimbang untuk minta izin pada staf manapun yang lewat untuk meminta barang salah satunya.
Dia sedang menimbang-nimbang apakah dia harus meminta minuman atau salah satu dari keripik tersebut ketika seseorang menyapanya,
“Hei. Maaf membuatmu menunggu.”
Satoru mendongak dan tersenyum. Jadi ini rasanya para penggemar yang bisa melihat idolanya dari dekat? Sebuah ironi karena dirinya juga seorang tokoh publik yang dipuja di mana-mana, dan lucunya dia sering merasa bangga pada dirinya sendiri, sebagai orang yang dikejar-kejar dan digandrungi. Dunia Satoru jungkir balik hanya dalam satu malam konser.
Dia segera berdiri. “Tidak apa-apa. Penampilan yang luar biasa. Dan,” Satoru memperlihatkan kartu aksesnya, “terima kasih atas ini.”
“Sama-sama.” Utahime tersenyum, kening dan lehernya basah karena bulir keringat.
Satoru tidak tahu harus melakukan apa dengan tangannya. Dia menggosokkannya dengan canggung di kedua sisi jinsnya. Utahime tampaknya menyadari hal itu, dan ia hanya tersenyum penuh pengertian, walaupun Satoru tidak tahu apa yang Utahime mengerti tentang dirinya, karena dirinya sendiri pun tidak bisa memahami apapun mengenai semua ini.
Dia menggaruk bagian belakang kepalanya. “Aku mau bilang … aku akan mulai syuting minggu depan. Aku akan ke Bali, Phuket, kemudian Eropa dengan estimasi waktu sekitar tiga bulan, kurang lebih.”
“Oh.” Utahime mengangguk pelan. “Aku juga akan sibuk tur dalam beberapa bulan ke depan.”
Keheningan menjadi paradoks di antara mereka berdua, ketika staf belakang panggung sibuk bekerja dengan berbagai pembicaraan menyela. Mereka berdua hanya saling menatap bingung dengan senyuman yang mulai memudar. “Jadi ….” Satoru mengangguk, yang lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri. “Kurasa ini adalah perpisahan? Untuk sementara, maksudku.”
“Jangan bilang begitu,” Utahime menunjuk dada Satoru, menotolnya dan Satoru yang sedang tidak punya daya untuk melawan pun sedikit tersentak ke belakang. “Kau masih punya HP, kan? Benda itu diciptakan untuk tujuan tertentu.”
Satoru tertawa, entah kenapa selera humornya menjadi kering sehingga tawanya terlalu singkat dan hambar. “Aku akan menelepon, sesekali. Kau punya permintaan khusus? Aku bisa membawakanmu sesuatu.”
“Tidak perlu repot-repot.” Utahime menotol dada Satoru sekali lagi. “Aku pernah liburan ke Bali. Aku punya rekomendasi makanan lokal yang enak-enak. Nanti kukirimkan.”
“Oh, kutunggu!”
Utahime mengangguk. “Sukses untuk syutingnya.”
“Kau juga. Semoga turmu lancar.” Satoru kembali bingung dengan tangannya. Dia mengangkat tangan kanannya, tetapi apa yang harus dia lakukan? Apa Utahime bersedia jika dia mengusap kepalanya? Satoru impulsif, dan akhirnya tetap melakukannya meski hati kecilnya berkata, mungkin dia tidak suka, bodoh.
Namun Utahime menerimanya, dan tersenyum. Hidungnya berkerut lembut seperti seekor kucing yang jinak. Satoru pun tertawa, untuk sesaat dia melihat seorang HIME, tetapi detik berikutnya, ia adalah seorang Iori Utahime.
Putri musik, yang paling bersinar saat berada di panggung.
Dan saat berada di hadapannya.
Chapter 5: i will never ask you for anything, except to dream sweet about me
Chapter Text
05. i will never ask you for anything, except to dream sweet about me
Utahime melepaskan sebuah bobby pin terakhir pada rambutnya, yang rupanya luput dari perhatian penata rambutnya saat membersihkan seluruh sisa properti dengan terburu-buru setelah konser. Dengan hati-hati, Utahime menyisipkannya pada kompartemen di bagian belakang kursi di hadapannya. Mobil dari agensi membawanya menjauh dari arena, perjalanan mungkin memerlukan dua hingga dua setengah jam untuk tiba di apartemennya di Tokyo. Utahime pun bercermin melalui kamera depan ponselnya, memastikan tidak ada sisa riasan di wajah ataupun properti apapun lagi di kepalanya.
Ia pun mengubah posisi sandaran kursi agar ia bisa meletakkan punggungnya dengan nyaman. Sisa perjalanan bisa dimanfaatkannya untuk tidur, tetapi ketika ia memejamkan mata, ia masih merasakan adrenalin dan euforia dari konser barusan, melonjak-lonjak di dalam kepalanya dan seolah-olah tubuhnya masih perlu bergerak untuk mengalirkan sisa energi tersebut. Ketika ia membuka mata, ia masih melihat bayang-bayang kerlip lampu di dalam arena di langit-langit mobil.
Ia tidak mungkin bisa langsung tidur dengan keadaan seperti ini. Otak dan tubuhnya perlu semacam proses pendinginan untuk mempersiapkan dirinya untuk beristirahat. Ia pun membuka tote bag yang berada di kursi sebelah, mengambil tablet dari dalam sana.
Setelah layar terbuka kuncinya, tablet tersebut masih memperlihatkan jendela pemutar musik terakhir yang masih tersambungkan pada pemutar lainnya di ponselnya, posisi berada pada sebuah lagu demo yang tersimpan di dalam cloud. Lagu lama miliknya, yang ia dengarkan ulang sebelum pergi ke arena kemarin, karena kali ini ia menampilkan versi band yang sedikit berbeda dengan versi rilis digitalnya.
Mahkota Krisan. Lagu yang telah beberapa kali berulang tahun, salah satu lagu yang selalu berada dalam setlist konsernya karena lagu itu begitu berarti. Ia menulis dan mengaransemennya sendiri. Lagu ini sempat mengalami penolakan oleh salah satu orang di agensinya, dan diputuskan untuk ditunda perilisannya karena petinggi tersebut memilih lagu lain, tetapi pada akhirnya Mahkota Krisan tetap dirilis pada album yang direncanakan.
Utahime masih ingat apa yang ia bayangkan ketika menulis lagu ini: sudut sebuah taman dan yang jauh dari keramaian, seorang anak laki-laki yang akhirnya bisa tersenyum setelah semalaman penuh cemberut di dekat kaki ayahnya. Kenapa kau tertawa—oh, aku akhirnya bisa melarikan diri, aku senang. Utahime tidak perlu memejamkan mata untuk melihat kembali kejadian tersebut.
Ada bunga-bunga kecil yang bercerita tentang kebahagiaan,
masa kanak-kanak yang riang dan jembatan di atas rerumputan,
mahkota kecil dan dandelion yang beterbangan,
dunia yang sekarang membuatku merindu.
Lihatlah ke langit dan tanyakan pada burung-burung kecil,
bisakah orang-orang dewasa merasa riang lagi,
seperti dua anak kecil yang mengenakan mahkota krisan,
pada malam hari di dunia milik mereka sendiri.
Lihatlah ke langit dan tanyakanlah,
bisakah orang-orang dewasa merasa riang lagi.
Tawa kecil membuatku bertanya-tanya,
mungkinkah kita melalui masa bahagia lagi,
yang indah dan tak ada kekhawatiran,
lugu seperti masa kecil kita yang telah lama berlalu.
Sungguh-sungguh indah, tawa masa kecil di sudut taman,
kita hanya mengerti permainan,
bisakah kita menjadi dewasa dengan cara itu lagi?
Sungguh-sungguh indah, mahkota bunga yang kita rangkai sesuka hati,
kita hanya mengerti bersenang-senang,
bisakah kita menjadi dewasa dengan cara itu lagi?
Mari kita lihat lagi di balik senja yang menawan,
tantangan apa yang berhasil kita taklukkan hari ini?
Lihatlah lagi kepada hari ini,
laluilah lagi dengan senyuman seperti masa kecil kita,
senyuman dengan mahkota krisan yang tak pernah layu.
Ia sudah begitu sering menulis lagu dengan dasar imajinasi, membumbuinya sebagian dengan pengalaman dan aliran ide dari alam bawah sadar, menukar-nukar semuanya agar tidak banyak yang sadar seberapa besar kenyataan yang mengisinya. Namun untuk kali ini, Utahime tidak bisa mencegah lagu ini menjadi terlalu personal. Ia tidak bisa melupakan seorang anak laki-laki yang mengajaknya kabur dari sebuah acara gala ke sebuah taman di pekarangan belakang mansion tempat acara tersebut diadakan, mengajaknya bercerita tentang hal-hal yang sekarang telah gagal Utahime ingat kembali, dan membuatkannya mahkota kecil dari bunga-bunga yang dipetiknya sembarangan.
Rasanya waktu itu semua begitu sederhana dan mudah untuk bahagia: hanya dengan melarikan diri, untuk menjadi diri sendiri dan bersenang-senang dengan cara mereka sendiri. Ketika menulis lagunya, Utahime berharap agar para pendengar bisa menengok lagi ke belakang, ke masa kecil mereka dan membahagiakan diri mereka dengan kenangan-kenangan tersebut.
Sebagaimana dirinya juga sering membahagiakan dirinya dengan kenangan akan momen itu lagi.
Dan ketika ia bertemu lagi dengan sang pembuat mahkota krisan kecil tersebut, rasa rindu kembali datang seperti sebuah kehangatan yang membuncah pada seluruh benaknya.
Sang pembuat mahkota, seorang anak yang kini telah menjadi aktor besar bernama Gojo Satoru.
Pukul delapan, pikir Satoru. Syuting hari ini selesai lebih cepat. Dia ingin segera tidur dan melewatkan makan malam, tetapi akhirnya dia menyerah saja pada tawaran makanan di dalam kotak yang diserahkan Yaga. Perutnya bergejolak meski pikirannya menolak.
“Ponsel kerjamu,” Yaga menyerahkan ponsel milik Satoru. “Ada beberapa dering penting. Kurasa dari asisten ayahmu.”
“Nanamin?” Satoru menerima ponsel tersebut sambil mengunyah dengan mulut penuh. Dia mengecek pemberitahuan, dan benar saja, Kento telah menelepon lima kali. Kento tidak suka bicara di telepon, dan tidak akan mengganggu seseorang lebih dari sekali dering kecuali sangat-sangat penting.
Sekarang belum terlalu malam di Jepang. Satoru pun dengan seenaknya memutuskan, dia bisa menelepon balik Kento saat ini juga.
“Selamat malam.”
“Yo, Nanamin. Ada apa?”
“Saya dengar Anda sedang syuting di Thailand?”
“Hm. Aku masih di Phuket. Sudah selesai, sebenarnya. Setelah ini mau kembali ke Jepang dulu, baru lanjut syuting di Eropa.”
“Apa Anda punya waktu luang?”
“Ayah menyuruhku melakukan sesuatu? Tidak bisa, aku sibuk syuting. Kalaupun ada waktu libur, aku mau istirahat sambil menghafalkan skrip.” Alasan klasik, Satoru sadar entah berapa kali dia telah menggunakan alasan ini setiap kali Kento menyampaikan sesuatu dari ayahnya.
“Bukan sebuah paksaan. Hanya saran dari Tuan Gojo.” Tidak seperti biasanya, kali ini Kento terdengar persuasif.
“Kalau begitu sampaikan padanya aku sibuk.”
“Anda bahkan belum mendengar apa yang harus saya sampaikan.”
“Ya sudah. Apa itu?” Satoru mengaduk-aduk nasi di dalam kotak makannya dengan sebal. Dia pun kemudian menyuapnya dalam jumlah banyak agar mulutnya bisa penuh, dan mungkin akan membuat risi Kento dan sambungan panggilan ini akan selesai.
“Anak perusahaan yang sedang bermasalah berada sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota Bangkok. Beliau berharap Anda bisa meninjaunya sebentar ke sana dan melihat masalah yang sedang diperkarakan. Kami akan mengirimkan pendamping dari kantor perwakilan di Bangkok jika Anda setuju untuk pergi kesana.”
Satoru sadar bahwa jika ayahnya memerintahkan sesuatu seperti ini, meski di tengah-tengah kegiatan syutingnya, maka itu berarti dia harus tetap melakukannya. Hanya saja Satoru yang terlalu sering membangkang, merasa bisa menemukan jalannya sendiri. Saat ini entah mengapa hati kecilnya tergerak, merasa harus melakukan sesuatu. Atau, paling tidak, melihat keadaan. Dia menelan makanannya lebih dulu, bersamaan dengan rasa tak terlihat yang mencekik tenggorokannya. “Apa mereka sudah setuju untuk mengerjakan perkara ini bersama keluarga Iori?”
“Perjanjian sudah ditandatangani. Sekarang kita mendapat pendampingan hukum dari firma keluarga Iori. Ayah Anda menunggu laporan lapangan dari tim yang akan dikirim minggu depan, tetapi beliau akan sangat senang jika mendapat laporan lebih dini dari sudut pandang Anda.”
Satoru berpikir dan menanyakan pada dirinya sendiri sekali lagi: apakah ini sepadan dengan hasilnya? Kerja sama dengan keluarga Iori entah mengapa membuat hatinya antusias. Rasanya ingin sekali bicara dengan Utahime dan tersenyum padanya: lihat, kedua keluarga kita bekerja bersama, kekuatan di belakang kita cukup besar. Apa kau mau menerima konsekuensi bersamaku?
Dia pun akhirnya menyerah pada godaan tersebut, “Dua hari lagi aku dapat libur selama tiga hari sebelum pulang kembali ke Tokyo. Aku ingin pergi ke sana tanggal sembilan. Katakan itu pada orang-orang di kantor Bangkok. Jemput aku di Phuket.”
“Akan saya atur, Tuan Gojo. Terima kasih atas pengertian Anda.”
Satoru tidak menjawab salam Kento, dan mengantongi ponselnya alih-alih memberikannya kembali pada Yaga. Yaga, yang sedari awal menyimak, hanya menatapnya datar. “Kau yakin akan pergi ke sana?”
“Yah, aku hanya ingin melihat-lihat, seberapa jauh keluargaku berbuat kekacauan.”
Ketika Yaga berdecak dan bergumam sambil pergi, kau juga suka mengacau, Gojo Satoru, Satoru tak terlalu peduli. Dia menghabiskan lembaran daging terakhir dan berharap bisa cepat-cepat tidur.
Pendamping dari kantor Bangkok terlihat familier bagi Satoru, tetapi dia tidak bisa mengingat namanya sebelum akhirnya dia memperkenalkan diri. Haibara Yuu, dia menjabat tangan Satoru dengan mantap dan wajahnya tersenyum ramah, seakan-akan telah mengenal Satoru sebelumnya sebagai seseorang yang bukan aktor. Mungkin orang ini pernah berada di kantor pusat di Tokyo dan bersilangan jalan dengannya di sebuah acara, ingatan Satoru hanya sebatas pada fakta itu. Sebuah kekurangan dari kemampuan mengingat wajah tanpa mengingat nama.
“Kami sudah menerima kabar dari kantor utama Tokyo, bahwa tim bersama dengan penasihat hukum akan datang ke sini untuk meninjau.” Yuu mengajak Satoru berkeliling di area terluar dari pabrik pakaian tersebut. Sebuah offshore company yang memproduksi untuk label yang dibawahi oleh salah satu perusahaan milik keluarga Gojo. “Seperti yang Anda lihat, pabrik ini sudah cukup memenuhi standar kelayakan operasi karena dulunya pabrik ini juga memproduksi barang tekstil sebelum diakuisisi oleh perusahaan keluarga Anda.”
Satoru berhenti di salah satu tepian halaman samping pabrik. Dia memicingkan mata ke kejauhan, tampak permukiman penduduk merayap di sisi kanan pabrik tersebut, bersisian dengan sebuah sungai yang meliuk di antara semak-semak tinggi pada kontur tanah yang sedikit meninggi. Satoru kemudian berbalik, mengamati pemandangan di bagian belakang pabrik yang terhalang bangunan tinggi tersebut. Tidak banyak yang bisa dilihat kecuali area permukiman yang lebih jarang, dan tanah kosong yang sedikit lebih tinggi daripada area yang lainnya.
“Bisakah kau membawaku ke jalur pembuangan limbah pabrik?”
Yuu kemudian berbicara dengan seseorang lagi yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai penanggung jawab pekerja di pabrik tersebut dalam bahasa Thailand yang lancar. Satoru langsung terkesan, Yuu terlihat seperti orang yang berbeda ketika bahasa yang meluncur dari bibirnya juga berganti. Sesaat kemudian Yuu mengangguk ke arah Satoru, “Boleh. Mohon ikuti kami, Tuan Gojo.”
Satoru berjalan sambil memperhatikan sekeliling. Pabrik ini memang dibangun di daerah pinggiran, yang jauh dari gedung-gedung tinggi dan permukiman padat. Di sekelilingnya masih terlihat banyak lahan tidur yang belum dimanfaatkan. Para pekerja yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil di sekeliling Bangkok mendapat akomodasi tempat tinggal khusus lima puluh meter dari gerbang utama pabrik untuk memudahkan mereka agar tidak bepergian bolak-balik.
Satoru tidak pernah mau ikut campur dalam seluruh urusan perusahaan kecuali sangat terpaksa atau ketika ayahnya menyeretnya tanpa persetujuannya, sehingga dia tidak memahami banyak hal terutama birokrasi dan celah-celah yang dimanfaatkan ayahnya dan para tangan kanannya untuk melancarkan urusan-urusan mereka. Namun Satoru memahami satu hal penting mengapa mereka memanfaatkan negara-negara berkembang atau negara-negara kecil di luar Jepang untuk memproduksi barang yang akan mereka jual; upah pekerja lebih rendah di luar Jepang. Selain itu, jika punya jaringan yang lebih dalam di negara-negara tempat asal kolega mereka, mereka lebih bisa mengakali peraturan dan menghindari pajak dari negara sendiri.
Semua premis itu sudah cukup menjadi bukti bahwa tidak terlalu sulit untuk memahami sepak terjang ayahnya berikut sifat-sifat dan harapannya ke depannya. Tentu saja, salah satunya agar Satoru mengikuti cara-cara yang telah dilakukannya.
Yuu menunjukkan sisi lain pabrik yang menjadi hilir dari limbah pewarna pakaian, proses kimiawi produksi lainnya, yang berujung pada sebuah sistem yang dialirkan ke dalam tanah, kemudian di ujung lain yang berada di tepi sungai yang sebelumnya Satoru lihat, sebuah pipa besar mengalirkan air secara terus-menerus ke sungai.
“Sistem pemurnian dipasang di bawah tanah sebelum dialirkan ke sungai melalui pipa yang bisa Anda lihat di sebelah sana.” Yuu menunjuk pada apa yang sedang dipandangi Satoru. Tidak ada kejanggalan pada pipa yang mengalirkan air pada sungai. Tidak ada buih yang mencurigakan, airnya langsung menyatu dengan sungai, tidak ada jejak aneh pada aliran yang kemudian terbawa oleh arus sungai tersebut.
“Kudengar ada tuntutan dari warga sekitar dan organisasi non-pemerintah atas hal ini,” Satoru buka suara. “Aku tidak melihat ada yang aneh. Apa saja detail tuntutan mereka?” Kento mungkin pernah menunjukkannya di surel, tetapi Satoru tidak ingin repot-repot membuka laporan yang sangat bertele-tele tersebut. Belum lagi polesan kata-kata dari perusahaan keluarganya sendiri yang ingin cari aman dari kumpulan berkas tersebut.
“Salah satunya adalah pencemaran air tanah, Tuan Gojo,” raut muka Yuu sedikit berubah. “Reservoir limbah di bawah permukaan yang dibuat oleh pabrik tidak lagi sesuai dengan standardisasi yang direvisi oleh pemerintahan lokal. Mereka juga mengajukan protes pada kebijakan penandatanganan paksa surat pengunduran diri atas beberapa karyawan yang mengharapkan keadilan atas cuti bekerja dan pengupahan.”
Satoru menyerah untuk berusaha memecahkan solusi cepat dari semua itu. Dia menggeleng-geleng, frustrasi pada kemampuannya yang minus berat untuk hal seperti ini. Lebih baik suruh dia menghafalkan skrip tebal dalam satu hari untuk syuting kejar tayang daripada melakukan ini semua. “Apa kau punya berkas tuntutan itu? Langsung pada poin-poin detailnya saja.”
Yuu pun menyalakan tablet yang dipeluknya di sepanjang perjalanan. Dengan tangkas tangannya memilah-milah menu dan berkas, kemudian menyerahkannya pada Satoru. “Ini, Tuan. Ada sepuluh poin, dan mereka mengharapkan feedback dari petinggi setidaknya sampai akhir minggu ini, jika tidak mereka akan mengajukan hal ini ke tingkat pemerintahan pusat.”
Satoru mengernyit. Sepuluh tuntutan itu hanyalah elaborasi dari kesimpulan yang dijabarkan Yuu barusan. Pemuda itu menggosok-gosokkan tangannya, sepertinya gugup, terlihat dari senyumannya yang canggung. “Sayangnya, Tuan Gojo, saya juga mendengar bahwa serikat pekerja anak perusahaan lain yang terletak di utara Thailand juga akan maju mengajukan tuntutan jika yang di sini berhasil tembus ke pusat.”
Kening Satoru mengernyit. “Anak perusahaan yang mana?”
“Eksportir nikel yang dimiliki dalam bentuk joint company dengan perusahaan dari Thailand sendiri.”
Oh sialan. Satoru menyerahkan kembali tablet tersebut. “Tapi jika kita berhasil mengkompensasi yang di sini, mereka akan tutup mulut?”
“Tergantung keadaan, Tuan Gojo, tetapi di sana kondisinya tidak separah di sini. Di sana mereka hanya bersoal tentang kenaikan upah, dan sejauh ini belum ada masalah soal lingkungan. Setidaknya sampai saat ini.”
Tentu saja para petinggi di Tokyo harus menjegal gerakan di sini, pikir Satoru. Karena mereka akan menghadapi lebih banyak masalah jika mereka mengalami kegagalan di kasus ini. Satoru menghela napas. Sekarang keluarganya telah menggandeng firma hukum yang cukup besar, tapi apakah itu keputusan yang tepat? Satoru tidak pernah membuat keputusan untuk perusahaan, dan dia menyampaikan tanpa pikir panjang, hanya karena firma hukum tersebut adalah bagian dari keluarga Utahime. Semua masih karena Utahime, Utahime, dan Utahime lagi. Bagaimana jika terjadi sesuatu, kesalahan akan ditimpakan padanya? Kasus ini bukan kasus biasa, dan bisa saja mencapai tingkat multinasional.
Sial, sial.
“Ada yang kurang jelas, Tuan Gojo? Atau ada hal lain yang bisa saya sediakan untuk Anda?” Yuu menyadarkan Satoru.
Satoru menggeleng. “Kurasa sudah cukup jelas. Sayang sekali aku tidak bisa bersama-sama tim yang akan datang ke sini dalam waktu dekat. Aku sudah harus kembali ke Tokyo,” Satoru menyunggingkan senyuman ala seorang aktor Gojo Satoru kembali. Saatnya bermain dengan dirinya yang lain lagi. Dia tidak datang untuk memecahkan masalah, dia hanya mencari tahu untuk dirinya sendiri. Jika itu juga berarti bisa sedikit menghibur ayahnya dan memenuhi harapan pria tersebut pada seorang anak, Satoru tidak ingin dan tidak mau tahu.
“Tidak mengapa. Kami merasa terhormat Anda datang berkunjung di sela-sela waktu sibuk Anda, Tuan Gojo. Saya harap film Anda yang akan datang sukses besar seperti biasanya.” Senyuman Yuu kembali seperti semula. Satoru bertanya-tanya apakah Yuu juga sedang melakukan hal yang sama dengan dirinya? Satoru pun membalas senyum Yuu dengan anggukan. “Senang bertemu denganmu, Haibara Yuu,” dia berharap dia tidak salah menyebut nama. Dilihat dari ekspresi riang Yuu, sepertinya dia tidak salah. “Semoga kita bertemu lagi. Semoga pekerjaanmu lancar.” Dia pun mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Yuu.
Yuu menyambutnya dengan riang. “Terima kasih, Tuan Gojo. Sebelumnya … mohon maaf, bolehkah saya minta tanda tangan Anda? Pacar saya yang sekarang tinggal di Osaka adalah penggemar berat Anda.”
Satoru tertawa. “Tentu saja boleh. Di mana aku bisa memberimu?”
Yuu pun buru-buru membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah foto polaroid sang kekasih yang diselipkan di belakang foto mereka berdua di salah satu kompartemen dompet tersebut. “Saya selalu membawa fotonya. Dia suka menonton drama dan film Anda. Dia bahkan mengoleksi banyak bromide Anda, Tuan Gojo.”
Satoru memberikan tanda tangannya dengan hati riang di atas foto polaroid tersebut. Betapa mudah melakukan ini semua, mengapa dia tidak bisa berada di dunia ini selamanya saja? Tanda tangannya diperlukan untuk orang-orang yang mengharapkannya dengan riang dan kebahagiaan, dan bukan untuk orang-orang dengan penuh keinginan tersembunyi dan hati yang tak bisa ditebak. Seperti yang berwujud pada gedung pabrik yang menjulang di hadapannya; yang dingin, penuh misteri.
-
Utahime tidak menjawab teleponnya, sehingga Satoru pun hanya mengirimkan pesan,
Satoru meninggalkan ponselnya untuk tidur sedari pagi hingga menjelang sore. Begitu dia terbangun, dia mengecek semua pesan yang masuk, menemukan satu dari Utahime yang langsung membuatnya bangun.
Satoru segera berdiri, entah mengapa hasratnya untuk mandi tiba-tiba membuncah. Dia mengetik pesan sebelum memasuki kamar mandi,
Apakah Satoru pantas menyebut ini kencan? Dia memakai pakaian yang lebih rapi daripada pertemuan pertama mereka waktu itu dan dia datang lebih awal daripada Utahime, memesankan bir paling mahal untuk wanita itu sebagai kejutan awal.
Namun Satoru baru menyadarinya satu hal, yang bisa saja mengusik acara ini, ketika dia baru saja selesai menyebutkan pesanan tambahannya: dia membawa serta ponsel kerjanya. Ponsel itu berdering dan menampilkan nomor telepon Kento, yang sama sekali tidak ingin dilihatnya saat ini. Satoru bermaksud mematikan ponsel tersebut, tetapi rasanya dia masih punya sedikit hati nurani pada Kento, yang pasti harus terus-terusan bekerja lembur hanya demi menjadi kaki tangan orang-orang di dalam perusahaan. Terkadang Satoru ingin menolong Kento keluar dari dunia melelahkan tersebut, apalagi Kento punya rupa yang mungkin akan menjual di industri tempat Satoru bekerja.
Namun mungkin hal yang bisa dia lakukan untuk Kento saat ini hanyalah menolongnya lewat jawaban.
“Ada apa, Nanamin?”
“Anda sudah di Jepang?”
“Kalau seseorang mencariku, aku masih sibuk. Walaupun aku di Tokyo aku masih punya urusan di pekerjaanku.”
“Saya hanya ingin tahu apa hasil kunjungan Anda ke pabrik di Thailand tempo hari.”
“Nanamin, sampai kapan kau mau menjadi budak mereka untuk menggali dariku? Kenapa tidak suruh mereka saja yang bertanya langsung padaku? Aku bukan anak ayahku? Bukan keponakan pamanku?”
Kento terdiam sejenak. Satoru tidak menyesali apapun, alih-alih dia malah berpikir bahwa mungkin Kento tidak akan cocok untuk pekerjaan di depan kamera. Orang yang lebih memilih untuk bersembunyi di balik gedung kelabu untuk pergi bekerja pukul sembilan dan pulang pukul lima seperti dia tidak mungkin bisa berhadapan dengan lampu kilat dan jadwal gila. Kento menjawab beberapa saat kemudian dengan tenang, “Saya hanya melakukan tugas saya. Biarkan saya yang meneruskannya. Anda tidak perlu bicara pada mereka.”
Satoru tenggelam dalam kebingungan. Seorang Kento, berusaha melindunginya?
“Mungkin jika Anda tidak ingin repot-repot mengetik, Anda bisa bicara sekarang. Saya sedang di perjalanan pulang, saya bisa merekam pembicaraan kita untuk saya teruskan.”
Gila, pikir Satoru.
“Atau Anda sedang berada di suatu tempat di dekat saya? Saya baru saja pulang dari bar. Jika Anda ingin bicara.”
“Tidak, tidak, di sini saja. Aku tidak menemukan hal yang signifikan, Nanamin, semua sama saja dengan apa yang diketahui perusahaan. Selain itu, jika tuntutan berhasil sampai ke pemerintahan pusat, maka perusahaan nikel yang berada di utara juga akan mengajukan tuntutan melalui serikat pekerjanya.”
“Ah, sepertinya itu belum sampai ke kantor pusat. Saya sudah merekam pembicaraan ini, Tuan Gojo.”
“Haibara Yuu belum menyampaikannya ke Tokyo?”
“Saya rasa laporan lengkapnya baru akan tiba setelah tim pulang dari survey lapangan.”
“Catat itu untuk dibicarakan dengan penasihat hukum. Aku tidak tahu apa kompensasi yang akan ditawarkan oleh perusahaan ayahku, tapi aku hanya ingin mereka memenuhi harapan orang-orang itu, karena ini adalah tentang kepentingan orang-orang yang lebih banyak daripada mereka yang berlindung di balik tembok gedung kelabu itu!” Satoru tidak tahu apa yang barusan dia katakan dan mungkin saja dia juga turut menyindir Kento, tetapi dia sudah muak. Bagaimana jika keluarganya membiarkannya sibuk dengan urusannya sendiri saja? Dia telah mencari penghidupannya sendiri, dan jika mereka menginginkan penerus, ada banyak orang yang lebih terdidik darinya dan masih bertalian darah dengan Gojo.
Kento tidak menyahut. Mungkin masih menunggu. Satoru merasakan kehadiran seseorang, dan dia menoleh. Seketika, wajahnya berubah cerah. “Utahime!” ucapnya, dan segera menurunkan ponsel dari telinganya. Tanpa dia sadari sepenuhnya, dia menekan tombol tutup untuk panggilan tersebut.
Persetan dengan urusan perusahaan. Dia punya tuan putrinya, dia tidak perlu memikirkan hal yang menyusahkan ketika Utahime berada di sini.
“Kalau penting, teruskan saja. Aku bisa menunggu.”
“Tidak, tidak.” Satoru pun menyingkirkan ponselnya, menaruhnya ke dalam tas pinggangnya yang tergeletak di sudut kursi makan di sisinya. “Sudah selesai.”
Utahime mengangkat alis.
Satoru nyengir lebar. “Sudah lama kita tidak bertemu. Coba kau ceritakan tentang hari-harimu saja.”
Utahime menaruh tasnya di kursi da nyaris tertawa. “Aku? Aku hanya sibuk berkeliling. Bernyanyi, konser. Seperti yang kau tonton waktu itu.”
“Tidak apa, ceritakan saja.”
“Akan membosankan, Gojo.”
“Aku tidak mungkin bosan! Aku memang ingin mendengarkannya.” Satoru bersandar sambil bersedekap. “Karena itu yang kutunggu-tunggu selama kita tidak bertemu.”
Entah apa yang Utahime sembunyikan di wajahnya karena ia tiba-tiba menunduk untuk mengamati kotoran tak kasatmata di atas meja, mencolek sesuatu dari permukaan kayu yang tak terlihat, mengernyit seolah telah menemukan sesuatu. “Seperti biasa saja ….”
Satoru mendengarkan, penuh akan rasa ingin tahu. Minat bersinar pada wajahnya, dan dia bisa melakukan ini selama berjam-jam.
Chapter 6: time is luck and i wish ours overlapped more or for longer
Chapter Text
06. time is luck and i wish ours overlapped more or for longer
Kento mungkin lebih cocok pada kesunyian daripada hidup penuh ingar-bingar sepertinya. Apartemen Kento terletak di antara dua gedung tinggi, sebuah gedung yang mungkin saja terlewatkan seandainya dia tidak sungguh-sungguh mencarinya. Mungkin sifat alami Kento adalah berada di dalam arus yang tenang, tidak terusik oleh publik.
Satoru menunggu lima menit dan tidak seorang pun berlalu di koridor lantai keenam tersebut. Dia sampai menghabiskan waktu sambil menggosok kukunya dengan bosan. Menyesal mengapa dia meninggalkan airpod-nya.
“Tuan Gojo?”
Kento telah memakai kemeja yang rapi, berwarna biru laut dengan dasi hitam. Yang menjadi perhatian Satoru adalah jam tangan silvernya yang cukup mencolok. Tissot Chronograph, pikirnya. Anak pamannya yang masih berusia belasan adalah penggemar Tissot dan selalu minta ayahnya membelikan jam tangan setiap kali ayahnya bepergian. Sang ayah adalah atasan langsung Kento, dan barangkali Kento juga mendapat hadiah karena hal tertentu, membuat Satoru sedikit lega. Kento mungkin diperlakukan lebih baik daripada yang dia kira.
“Seharusnya jika Anda perlu sesuatu, Anda telepon saja. Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?”
Satoru mengabaikan basa-basi tersebut. “Apa yang kulakukan sudah benar?”
Alis Kento berjengit. “Maksud Anda?”
“Aku ingin tahu. Apa pendapat ayah dan paman-pamanku soal firma hukum yang kusarankan untuk disewa? Apakah mereka menerimanya karena ingin membuktikan bahwa aku bisa berguna, atau mereka menyiapkan rencana lain?”
“Mengenai proses pengambilan keputusan, Tuan, itu di luar ranah saya. Saya hanya mengerjakan tugas saya, yaitu mengatur jadwal dan urutan prioritas eksekusi kebijakan. Namun jika Anda ingin tahu proses kerja sama dengan firma hukum keluarga Iori, saya bisa menjabarkannya sedikit untuk Anda.”
“Apa berjalan dengan lancar?”
“Firma hukum keluarga Iori meminta bayaran yang besar dengan jaminan kemudahan. Saya ditugaskan untuk mempelajari firma hukum tersebut terlebih dahulu, dan mereka mempertimbangkan laporan analisis saya sebelum memutuskan untuk menyewa mereka. Kebetulan, kontrak dengan penasihat legal kita yang sebelumnya berakhir pada musim lalu, sehingga perusahaan pun membuat keputusan bersama keluarga Iori.”
“Apa saja yang kau temukan dari keluarga Iori?”
“Mereka juga punya beberapa anak perusahaan di bawah pertanggungjawaban Iori Chihiro. Salah satunya adalah perusahaan tekstil di daerah Asia Tenggara, sehingga saya tulis di dalam analisis bahwa dengan adanya perusahaan yang mereka miliki di area serupa, mereka bisa memberikan lebih banyak insight mengenai permasalahan yang sedang kita hadapi.”
Satoru mengernyit. “Perusahaan serupa?”
“Benar.”
“Memang benar hal itu akan membantu karena mereka pasti punya insight yang mirip, tapi bukankah ada potensi persaingan, dan dalam hal ini posisi mereka adalah yang kita mintai bantuan?” Satoru berdiri tegak dan menekan keningnya.
Kento terdiam sejenak. Dia kemudian meyakinkan diri, “Anda mungkin benar, tapi kita bisa memegang kredibilitas firma Iori Chihiro untuk membantu kita, dalam hal ini posisi mereka adalah terpisah dengan entitas lain yang mereka miliki tersebut.”
“Kau yakin kau telah memasukkan poin tersebut ke dalam klausul perjanjian?”
“Mengenai hal itu, itu bukan ranah saya, Tuan Gojo.”
Satoru menghela napas. “Maafkan aku. Aku cuma berprasangka. Aku hanya … sedikit ragu, Nanamin, apakah aku sudah membuat keputusan yang benar? Aku hanya tidak ingin mereka datang ke pintuku dan menyalahkan ucapanku suatu saat nanti.” Tidak setiap hari Satoru bersedia membuka hatinya semudah ini. Namun dia merasa harus melepaskan sesuatu, sebelum pergi untuk bekerja lagi.
Kento mengangguk. Dia tampak tersenyum, tetapi terlalu tipis jika tidak diperhatikan sungguh-sungguh. “Anda telah memenuhi tugas Anda, Tuan Gojo. Mungkin ini memang bukan kehendak Anda, tetapi Anda telah berusaha keras untuk sesuatu yang tidak Anda inginkan, dan tidak semua orang bisa melakukan itu.”
Satoru membelalak.
“Dan saya selalu mengingat visi dan misi yang harus selalu dihafalkan saat masa pelatihan sebelum diterima di perusahaan milik keluarga Gojo.” Kento berjalan mendekat pada Satoru. “Keberanian. Berani memutuskan, berani bertanggung jawab. Tanpa semua itu, tidak ada kemajuan yang diraih. Anda telah memenuhinya, dan sekarang kita bisa berharap pada proses.” Kento pun membungkuk singkat. “Saya mohon diri. Saya harus berangkat ke kantor.”
Satoru menarik napas dalam-dalam, dan dia pun menepuk bahu Kento, “Terima kasih. Aku akan mengingat kata-katamu. Kurasa aku masih bisa mengemukakan ide-ide gila lagi jika mereka memaksaku, Nanamin. Aku punya pendukung di sini.”
Kento tidak terlihat setuju, tetapi dia juga tidak menyanggah. Alih-alih, dia tampak terdistraksi oleh sesuatu, yang akhirnya mendorongnya untuk bertanya, “Tuan Gojo, bolehkah saya tahu sesuatu?”
“Tentu saja. Sebagai bayaran bahwa kau telah membantuku sejauh ini, aku akan menjawab apapun.”
“Maafkan jika saya lancang karena menguping.”
“Ah, tentang apa ini?”
“Di telepon malam itu,” jeda Kento sesaat, “sebelum Anda memutuskan tiba-tiba, saya mendengar Anda memanggil nama seseorang.”
“Oh. Oh.” Satoru pun tertawa kecil. “Jelas saja. Kau penggemarnya. Kau pasti hafal nama aslinya.”
Sesaat kemudian, Kento mengulas senyum samar. “Saya mengerti.”
Satoru menepuk bahunya sekali lagi. “Aku bisa percaya bahwa kau bisa memegang rahasia.”
Ramalan cuaca mengatakan bahwa akhir musim panas di Eropa akan diisi oleh hari-hari berangin yang dingin, yang berbeda dari tahun lalu. Para kru bahkan mengadakan rapat untuk membuat rencana cadangan, jika cuaca di luar memburuk maka mereka harus bisa menemukan tempat untuk syuting di dalam ruangan dan, jika perlu, mengubah adegan di skrip untuk menyesuaikan. Satoru, yang merasa jatah adegannya untuk beberapa adegan kunci telah selesai, terlihat santai dan hanya menikmati angin yang baginya sepoi-sepoi tersebut.
Inilah sela-sela waktu yang biasanya dia cari untuk bermain game atau menonton film-film singkat untuk mengamati karya-karya orang lain.
Awalnya ponselnya berada dalam mode jangan ganggu kecuali untuk nama-nama tertentu karena dia sedang mengejar ketertinggalannya dalam game yang dia sukai, tetapi sore itu beberapa pesan masuk secara beruntun dan muncul di barisan notifikasi. Satoru yang tak memperhatikan nama pengirimnya, sedikit menggerutu ketika menyadari bahwa sebenarnya dia telah menyetel mode, kenapa masih ada pemberitahuan yang masuk?
Satoru yang tadinya duduk bermalas-malasan di kursi kru langsung duduk tegak. Dia keluar dari menu permainan, mengetikkan balasan dengan jari yang melompat-lompat tidak sabar.
Oh, semesta terkadang menyuruh manusia bermimpi.
Dan tiba-tiba mewujudkannya.
Dua artis besar bertemu di satu tempat tentu saja akan menjadi magnet yang besar. Meskipun mereka berada di benua yang berbeda, tidak berarti tidak mungkin ada yang mengenali mereka. Satoru telah bertahun-tahun belajar untuk melakukan misi-misi tersembunyi dalam hidupnya, meskipun sesederhana membeli soda di konbini. Kali ini, dia mencoba mengatur semuanya tanpa bantuan Yaga, pria itu tidak mendampinginya penuh di Eropa karena harus segera kembali ke Jepang, ada aktor-aktor junior yang baru bergabung ke agensi mereka dan Yaga dipanggil untuk mendampingi mereka.
Apartemen yang disewa kru filmnya berada berada lima ratus meter dari hotel tempat Utahime dan kru majalah menginap. Ada sebuah toko bunga yang bersisian dengan bakery di titik tengah. Satoru meminta Utahime untuk membeli roti di pagi hari perjanjian dan jika dirinya telah datang membeli bunga, maka Utahime akan berjalan lebih dulu ke belakang blok melalui arah kanan, dan dirinya melalui arah kiri. Di sana ada banyak gang kecil yang menghubungkan blok demi blok gedung-gedung penyusun kota, dan mereka akan bertemu di belakangnya.
Utahime berkomentar lewat pesan ketika Satoru selesai menjabarkan rencananya menggunakan gambar coretan stickman.
Utahime hanya membalas dengan satu emoji, tapi perjanjian telah dikunci. Satoru tidak sabar untuk membeli bunga-bunga kecil untuk dibawa di pertemuan besok.
Mata Satoru dengan awas mengerling ke sekitar berulang kali. Hari itu masih hari kerja, tidak terlalu banyak orang yang duduk-duduk di kursi depan toko roti tersebut. Dia menghabiskan waktu cukup lama untuk memilih bunga selain peony merah jambu yang diambilnya pertama kali. Krisan putih atau iris? Ranunculus atau baby’s breath? Dia melirik lagi dan lagi, dan akhirnya orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Utahime tampak melirik ke arahnya, dan Satoru pun segera menjatuhkan pilihan, dengan sedikit terburu-buru: krisan putih dan baby’s breath. Dia berusaha mengatur langkahnya agar tidak terlihat mencurigakan, sambil bersiul-siul dan memandangi sekeliling.
Utahime menerima kantong kertas berisi roti-roti yang dipesannya, Satoru menuju arah yang direncanakan, mengitari blok melalui sebelah kiri. Dia menahan diri untuk tidak menoleh untuk memastikan apakah Utahime telah melangkah menuju arah yang dimaksud.
Rasanya ingin berlari saja, seperti di peran-perannya. Satoru pun melebarkan langkah dengan tidak sabar.
Dia menunggu di titik pertemuan yang dijanjikan. Dia mengetukkan kaki sampai dua puluh kali, barulah perempuan itu muncul dari balik gang kecil dengan kantong kertas di pelukannya. Roti-roti itu pasti hangat, sama seperti pelukannya. Satoru menabik sambil tersenyum lebar.
“Hei,” sapa Utahime lembut.
“Hai,” Satoru merasa suaranya aneh seperti cicitan tikus yang panik. Dia melambaikan bunga yang dibelinya dan membuat Utahime membuka mata lebar-lebar, untuk alasan yang tidak bisa dia mengerti. Namun dia mengabaikannya. “Sudah berapa lama, hm? Dua bulan?” Makan malam mereka tempo hari sudah terasa lama sekali, Satoru benci mulai kehilangan memori tentang setiap detailnya.
“Lima minggu,” jawab Utahime, yang menghitungnya lebih akurat. Matanya masih sesekali tertuju pada buket yang berada di tangan Satoru.
Satoru menyadari arah mata Utahime, dan segera saja menyerahkan apa yang memang seharusnya miliknya. Utahime menelan ludah, kembali menatap Satoru dengan mata sendu ketika menerima bunga tersebut. “Kau sengaja memilih krisan?”
Satoru mengangkat bahu. “Hanya naluri. Karena kupikir kau suka krisan. Tapi, lihat, peony ini cantik sekali. Sama dengan topimu hari ini, Utahime!”
Utahime tersenyum tipis, ia pun memeluk buket tersebut.
Satoru nyengir lebar, hadiah terbaik adalah yang diterima dengan senyuman paling cantik. “Jadi, kita mau ke mana? Jalan-jalan di pusat kota? Kurasa pusat perbelanjaan belum buka, tapi pertokoan sudah mulai buka satu per satu. Utahime mau ke mana?”
Utahime menggeleng. “Kenapa harus ke pusat kota, ke pusat perbelanjaan? Gojo, ini kali keberapamu ke Paris?”
Satoru berusaha menghitung dengan jari di salah satu tangannya, tapi kemudian dia kehilangan ingatan. Dia mengangkat tangan yang lain, tetapi tidak bisa benar-benar menghitungnya. Dia pun menggeleng.
“Pusat perbelanjaan, semuanya ada di Tokyo. Itu sudah terlalu biasa. Kita bisa ke sana kapan saja. Kau bahkan bisa menemukan wajahmu di toko-toko di sana, Gojo, kenapa repot-repot ke tempat begitu?”
“Utahime punya ide?” Matanya berbinar cerah. “Aku mau ikut ke mana saja Utahime mengajakku!”
“Baiklah. Ikut aku, ya? Tapi, ayo makan dulu.” Utahime menepi, tidak menemukan bangku atau apapun di gang yang bukan ditujukan untuk tempat bersantai tersebut. Ia terlihat ragu, tetapi Satoru tidak pikir panjang, berjongkok begitu saja di tepian tembok besar dan menengok ke dalam kantong kertas yang diserahkan oleh Utahime. Utahime memandangnya heran, yang cuek-cuek saja makan di tempat yang tidak seharusnya. Pipinya gembung karena roti, kunyahannya berisik dan antusias.
“Kenapa? Utahime malu duduk di tempat begini?”
“Bukan begitu, aku malah memikirkanmu—”
“Di sini tidak ada kamera. Tidak perlu sok menjaga citra. Aku sesekali ingin makan begini,” dia tersenyum lebar meski mulutnya penuh. “Tanpa seorang pun mengatai kalau makanku berisik dan tidak sopan.”
Utahime menatapnya dengan iba, kemudian tersenyum sendu. Ia pun ikut berjongkok di samping Satoru. Pria itu makan dengan riang, begitu cepat menghabiskan rotinya sampai-sampai Utahime harus mengejar kecepatan makannya dengan terburu-buru.
Satoru sudah sering pergi ke Prancis bahkan sejak dia kecil. Salah satu tempat berlibur pertama dalam ingatannya adalah Disneyland, dan baginya Paris selalu lekat dengan gemerlapan lampu kota dan aroma wangi parfum yang tidak pernah absen mengisi meja rias ibunya. Ingatan masa remaja dan dewasanya tentang Paris selalu diisi dengan pekerjaan dan kesibukan. Pemotretan dan syuting, semuanya menghabiskan waktunya dan dia tidak pernah melihat Paris sebagaimana adanya; melainkan hanya sebagai bagian dari ruang kerja yang hanya akan menyambutnya datang dan mengantarnya pergi dalam sekejap.
Tidak pernah dia mengamati kota dan bangunannya senyaman pagi ini, ketika Utahime mengajaknya memutar menuju suatu jalan yang sepertinya telah dihafalkannya jauh sebelum ini. Satoru, yang terbiasa melangkah lebar-lebar dan meninggalkan orang lain di sekelilingnya, justru harus menyusul Utahime kali ini.
“Utahime,” dia menyeimbangkan langkah dengan Utahime saat melangkah di atas zebra cross, “kau sering ke Paris?”
Utahime menyimpan senyumnya. Ia berjalan dengan mantap, menuju ke trotoar yang lengang. Di sisi lain perempatan jalan, sebuah Mustang ‘56 melintas, menarik perhatian Satoru untuk sesaat. Warna merah mencoloknya kontras dengan bangunan berwarna gading dan cokelat hangat yang melatari kota.
“Aku pernah ikut kelas musim panas di Paris,” ia mengerling, secara tak langsung mengatakan pada Satoru seberapa banyak rahasia yang masih disimpannya. “Aku pernah SMA di Illinois, kan? Dan untuk mengisi waktu, aku ikut program musim panas di Paris. Aku belajar musik dan menonton banyak kabaret di sini.”
“Kenapa masa mudamu terdengar keren sekali?”
“Semuanya sesingkat kehangatan musim panas, Gojo. Terlalu sebentar dibandingkan masa dewasa yang rumit ini.”
Satoru terkekeh. “Saat itu, mungkin aku sedang menghafalkan skrip-skrip memusingkan itu. Serial-serial yang kuambil demi menaikkan nama itu kumulai di usia lima belas sampai tujuh belas.”
Utahime tidak langsung menjawab, ia berbalik dan berjalan mundur ketika berada di trotoar, memotret bangunan yang berada di belakang mereka. “Baguslah,” sahutnya kemudian, menimbang-nimbang apakah ia harus mengambil porsi langit atau bangunan yang lebih banyak dalam bingkai fotonya. “Itu adalah awal perjalanan karir yang bagus. Kau bekerja keras sedari muda.”
“Kurasa kau sudah debut menjadi penyanyi waktu itu, Utahime?”
“Aku memang penyanyi cilik, kan?” Utahime kembali berjalan maju, ia mengedikkan bahu, entah sebagai reaksi atas cerita masa kecilnya atau foto yang belum membuatnya puas. “Badai dalam keluarga membuatku agak bingung. Aku ingin lanjut menyanyi, tapi Paman Kenji selalu berpesan agar aku tidak meninggalkan sekolahku. Aku tidak boleh lupa pada akarku, pada keluarga Iori yang semuanya adalah orang-orang berpendidikan,” suaranya merendah saat itu. “Saat Paman Kenji punya pekerjaan di Amerika, aku ikut dengannya. Dua tahun bersekolah di Illinois cukup membuatnya puas.”
“Orang-orang yang berpendidikan,” Satoru menggarisbawahi bagian tersebut, “keluargamu punya firma hukum besar. Hal itu mengatakan segalanya.” Satoru memasukkan tangannya ke saku mantel panjangnya, berjalan dengan bahu terangkat dan langkah yang dibuat-buat seperti pinguin. “Kau tahu? Di keluargaku, cuma aku yang punya titel berhubungan dengan seni. Aku baru lulus setelah tujuh setengah tahun. Sebuah aib bagi keluargaku.”
“Seni? Menarik sekali.”
“Seni teater.” Wajah Satoru masam. “Sebuah ironi karena aku tidak pernah berakting di teater. Kadang-kadang aku menonton stage play untuk serial anime dan berandai-andai aku ada di sana. Bagaimana rasanya berakting di situ?”
“Oh, itu ranah yang benar-benar berbeda. Menarik kalau kau bisa masuk, Gojo.” Utahime tersenyum miring seolah-olah itu adalah tantangan, dan Satoru dengan mudah tergugah oleh ide tersebut. “Omong-omong soal teater, kau tahu commedia dell’arte? Aku pernah menonton bentuk modernnya saat di Paris! Keren sekali!”
“Aku pernah belajar tentang itu, mungkin. Suatu masa yang lalu.” Satoru lantas tertawa. “Aku tidak begitu ingat, tapi aku tahu itu.”
“Mereka memakai komedi slapstick, komedi seperti itu tidak pernah terlihat di teater Jepang. Bentuk itu tidak pernah kulihat sebelumnya, jadi aku merasa menemukan sesuatu yang luar biasa.” Utahime menatap jauh ke depan, Satoru mengikuti arah pandangnya dan menengok wajahnya. Ia tersenyum, tapi bukan pada deretan toko yang akan menyambut mereka di depan sana. Ia tersenyum pada sesuatu yang jauh, yang dipeluknya erat di dalam kotak memori, seperti ia memeluk bunga dari Satoru di dadanya. Satoru tidak pernah merasakan kehangatan sedalam ini.
Bangunan pada sisi kiri Satoru berwarna lebih gelap daripada di sisi kanannya. Dari arah berlawanan pada trotoar yang sama, seorang anak memandangi mereka berdua dari dalam stroller, Utahime membalas tatapannya dengan lambaian tangan. Satoru menyimak senyuman Utahime yang teduh dan ringan.
Di tepian jalan, mobil-mobil terparkir rapi. Pepohonan yang meranggas memenuhi tepian trotoar. Matahari sedikit hangat, tetapi angin yang berembus dingin membuat beberapa orang memakai padding jacket dalam perjalanan mereka. Utahime mengajak Satoru masuk ke dalam sebuah gang kecil yang dibatasi pagar hitam, sebuah bendera Prancis menyambut mereka di dekat gerbang. Satoru mengecek lokasi pada peta di ponselnya, menemukan keterangan Rue de Bretagne.
Gerbang tersebut membukakan sebuah kejutan untuk Satoru; sebuah komplek pasar yang bersih dan rapi, jeruk berjejek rapi di dalam kotak-kotak yang berdampingan dengan nanas dan buah-buahan segar lainnya. Utahime melangkah ke sela-sela gang, makanan seperti daging panggang dijual dengan asap yang menggugah selera. Di sisi lain, permen-permen dijual bersama dengan minuman cokelat yang hangat. Satoru tidak bisa menahan dirinya dan lidah pecinta manisnya, dia berhenti untuk membeli minuman dan sekantong permen telah masuk ke dalam mantelnya.
Utahime kemudian mengajaknya keluar gerbang lagi, menyusuri pertokoan yang membentang di sepanjang ruang penglihatan. Satoru sesekali mendongak, mengamati gedung-gedung antik berwarna gading yang menjulang di atas pertokoan. Mereka melewati sebuah toko buku dan Utahime bersinggah. Ia bertanya dengan bahasa Prancis yang mengejutkan untuk Satoru.
“Kau masih lancar berbahasa Prancis?”
“Cuma kata-kata dasar,” Utahime keluar dari toko tersebut dengan satu totebag berwarna biru tua, berisi dua buku bersampul keras yang dibelinya tanpa pikir panjang. Sebuah mobil boks turut menjejal jalan satu arah di samping mereka, seseorang berteriak dalam bahasa lokal. “Kau suka membaca?”
“Membaca skrip, iya.” Satoru tergelak. Dia merogoh sakunya dan mengambil sebuah permen cokelat. Dia menawarkannya pada Utahime, yang menolaknya secara halus.
Ada banyak makanan yang dijual di kafe-kafe dan toko roti pada gang-gang yang mereka masuki dengan acak. Sebuah toko berpagar menawarkan jasa foto di samping toko jam tangan, Satoru sedang mengamati toko sandwich dan sosis di seberangnya. Sebuah grafiti besar menghiasi tembok, Utahime mengambil fotonya dari beberapa sisi. Sisi jalan tersebut lebih sepi, sehingga mereka pun kembali ke jalan utama.
“Kudengar, bagian ini adalah salah satu area tertua di Kota Paris. Distrik ini punya pasar tradisional, bahkan tempat-tempat yang cukup bersejarah.”
“Utahime suka ke bagian kota yang tua, kalau begitu?”
“Kota tua, tentu saja,” Utahime semringah. “Aku bahkan punya lagu tentang kota tua.”
“Oh ya? Yang mana?”
“Rusa-Rusa Kecil,” Utahime mengerling dengan riang. “Tentang Nara. Kota tua Jepang dengan kota tua di Barat memang berbeda, tapi kurasa mereka punya satu persamaan.”
“Hmmm, menurutmu apa?”
“Kau tahu di mana jantung sebuah kota paling lama berdetak? Sisi kota tuanya, Gojo. Dari sanalah pembuluh paling awal mengalirkan nyawa kehidupan kota.”
Satoru mengerjap, menyerapi kata demi kata dengan hati-hati. Utahime adalah penyair, bakat yang sesuai dengan nama. Satoru berdecak kagum sambil menggeleng-geleng. “Kau memang penulis lagu.”
“Tentu saja, memangnya selama ini aku pakai ghost writer?”
“Siapa yang menuduhmu begitu heeei?” Satoru mengacak-acak topi Utahime sambil mendapatkan gerutuan kesal dari bibir wanita itu. “Kata-katamu puitis bahkan tanpa sadar.”
“Mungkin sudah bawaan,” seloroh Utahime. “Hei, mau makan sesuatu lagi?” Utahime menunjuk pada sebuah toko yang menjual roti lapis dan hot dog.
“Aku ikut saja, Tuan Putri.” Satoru mengikuti langkah Utahime, yang kemudian memesan dua porsi hot dog. Satoru menunggu di sisi Utahime sambil berdiri di dekat salah satu kursi yang berimpitan dengan meja di sisi trotoar. Seekor anjing labrador berlalu bersama tuannya, berjalan-jalan pagi menjelang siang. Satoru bersiul dan anjing tersebut menoleh, menjulurkan lidahnya dan menggonggong riang. Hanya karena pemiliknya menyuruhnya untuk berjalan lurus anjing tersebut tidak jadi mendekati Satoru.
Utahime menyerahkan hot dog untuk Satoru, dan satu untuknya. Ia mengepit buket bunganya di dekat dadanya, ketika Satoru menawarkan bantuan untuk membawanya, ia menolak. Mereka duduk berhadapan di meja yang kecil tersebut, makan sama lahapnya. Satoru mengamati kota tua yang melatari Utahime yang sedang makan; sebuah era di mana kegiatan niaga dan pengaman perut warga berdampingan. Di tempat seperti ini, berbagai cerita dan berita meluncur dari mulut ke mulut, ingatan ke ingatan.
Ceritanya, akan dia ingat setiap detiknya bahkan dalam mimpinya.
Setelah puas berkeliling dan makan dua kali, giliran Satoru yang menawarkan tempat berikutnya untuk dikunjungi. Utahime yang membantu memesan taksi untuk menuju ke museum yang memamerkan ribuan karya Picasso. Dua jam mereka di sana, sore baru saja dijelang dan memberikan mereka lebih banyak waktu untuk dihabiskan lagi. Seolah naluri, secara bergantian mereka menawarkan satu sama lain tempat untuk dikunjungi. Utahime meminta pada sopir taksi untuk mengantarkan mereka dalam bahasa Prancis yang ditangkap Satoru seperti Montmartre, dia merasa bisa mengingat sesuatu tentang tempat itu, tetapi tidak bisa menggali memorinya lebih jauh.
Tempat tersebut terlihat lebih tinggi daripada sisi Paris yang lain. Di kejauhan, sebuah basilika menjulang gagah. Sopir taksi menghentikan mobilnya di tepi sebuah alun-alun kecil yang sepi, sepasang tangga terbentang di hadapan mereka. Satoru bersikap seperti seorang gentleman yang membayarkan taksi tersebut, sementara Utahime dengan riangnya naik menuju tangga tersebut. “Kau masih bisa berjalan kan, Gojo?”
“Kau meremehkanku?” Dengan langkahnya yang lebar-lebar, Satoru mengejar Utahime. Mereka mendaki sambil mengamati sekeliling, begitu sering berhenti untuk berfoto. Satoru selalu senang setiap kali Utahime minta untuk difoto, mengagumi wanita itu tidak pernah cukup baginya.
Di puncak Montmartre seolah-olah mereka bisa melihat seluruh Paris. Eiffel berdiri kesepian, berusaha mencapai langit, gedung-gedung gading terlihat kerdil, saling membaur satu sama lain. Utahime telah melepaskan topinya, rambutnya yang dikepang menjadi ekor kuda yang berayun ketika ia menyerbu gembira ke dekat birai untuk melihat semuanya dengan lebih puas. Tak lepas-lepas, ia masih memeluk buket bunganya. Satoru menelan ludah, berharap bisa membekukan momen ini selamanya. Seandainya bisa seperti film, dapat diputar berulang kali tanpa ketinggalan satu detik pun kejadian di sini. Kemampuan pikiran perlahan bisa menurun, mengaburkan semua kecuali bagian-bagian penting yang juga kemudian memudar. Rasanya dia ingin kembali lagi ke sini dengan kamera dan mengulangi semuanya agar bisa menjadi sebuah film yang nyaris abadi.
Satoru berdiri di samping Utahime, mengabaikan orang-orang di sekitar mereka. Satoru menyadari sebuah bunga tanggal dari tangkainya di pelukan Utahime, dan dia pun mengambilnya sebelum jatuh ke kaki mereka.
“Utahime.”
Perempuan itu pun menoleh. Satoru meletakkan bunga krisan putih tersebut di bagian atas telinga Utahime, seketika membuat senyuman Utahime memudar karena terkejut. Matanya membulat lebar, Satoru mendengar bunyi napas yang tercekat pelan di tenggorokannya.
“Gojo ….”
Satoru mengangguk sambil tersenyum. Tak sedikit pun terlintas di pikirannya tentang apa yang dilakukan Utahime selanjutnya: menarik tengkuknya sambil berjinjit setinggi-tingginya, dan mencium bibirnya.
Rasanya seperti mabuk, tetapi Satoru yang biasanya membenci mabuk kali ini berharap bisa terus-terusan merasakan ini. Ketika dia memejamkan matanya, dia balas menarik tengkuk Utahime karena dia sadar perempuan itu mungkin akan mundur kapan saja. Buket bunga terimpit di antara mereka, Satoru mendengar bunyi plastiknya yang samar, menghilang karena yang bisa dia dengar adalah suara lenguhan Utahime yang lembut dan mengundang candu.
Di sini, dia berharap waktu bisa berhenti selamanya.
Chapter 7: we thought we had it all, thought we had it all
Chapter Text
07. we thought we had it all, thought we had it all
Memori Paris barangkali akan bertahan selamanya.
Satoru menutup mata dan masih mengingatnya dengan jelas, Paris berada di bawah kaki mereka dan Eiffel seorang diri berdiri menjulang dalam kebisuan, melihat kisah terbentuk di bawah awan musim gugur yang perlahan datang. Melihat sebuah ciuman dan mendengar seutas janji, dan Satoru tidak lagi heran ketika mendengar orang-orang mengatakan bahwa legenda romansa melekat di Paris hingga ke akarnya. Jantung kota Paris mengalirkan romansa ke setiap inci pembuluhnya, dan itu nyata.
Dia mendengar suara Utahime di telepon dan masih mengingat bagaimana perempuan itu berkata di depan bibirnya, aku menginginkanmu.
Satu bulan setelah semua itu terjadi, bahkan setelah ratusan adegan yang dibuatnya untuk penutup syuting filmnya yang akan datang, Satoru masih mengingat bagian tersebut sama nyatanya. Dia masih tersenyum setiap kali mendapati nama perempuan itu menyalakan layar ponselnya, dan dia menjawabnya tanpa bisa melunturkan senyum.
“… Hm, jadi, kau mau beli gitar baru?” Satoru menaikkan maskernya ketika turun dari mobil. Parkiran bawah tanah di komplek apartemen Utahime sudah penuh, dia harus memutar, dan akhirnya meletakkan mobilnya di mulut area parkir, membuka ruang yang lebih lebar baginya untuk dilihat oleh orang banyak. Sekarang, ketika dia harus menyetir ke mana-mana sendiri karena Yaga dan sopirnya lebih sering mengurus para junior, dia harus lebih awas.
”Tidak juga. Aku cuma mau membawanya ke tokonya lagi untuk melapisinya dengan warna baru.”
“Kapan mau ke sana?” Satoru masuk dari pintu samping, menaiki tiga anak tangga dalam sekali langkah.
“Karena aku sudah tidak terlalu sibuk … mungkin besok? Eh, besok akhir minggu. Tempat itu mungkin akan sedikit lebih ramai. Senin saja. Aku juga libur.”
“Aku bisa mengantarmu.”
“Oh ya? Tidak sibuk?”
“Syuting sudah selesai, dan aku mau istirahat dulu. Kenapa tidak sekarang saja? Aku bisa mengantarmu.”
“Bukannya kau bilang kau masih di Osaka?”
Satoru tersenyum riang pada refleksinya di lift. Angka pada layar berganti-ganti, tanda panah berkedip setiap detik. “Kau lupa? Jadwalku sudah selesai sejak dua hari yang lalu.”
“Jangan bercanda.”
“Aku serius.” Bunyi ding disusul oleh pintu yang terbuka. Satoru melangkah ke arah kanan. “Sekarang buka pintumu. Pangeranmu sudah datang.”
Satoru sengaja tidak menutup teleponnya bahkan ketika pintu terbuka, memperlihatkan Utahime yang terkejut dengan ponsel juga masih menempel di telinga. “Gojo!”
Satoru membuka tangannya lebar-lebar, yang pertama Utahime lakukan adalah memukul dadanya. Satoru mencubit kedua sisi pipi Utahime yang menggembung lucu, dan mengejutkannya dengan ciuman pada keningnya. Dia menggandeng Utahime masuk setelah melepaskan sepatunya dengan sembarangan di ambang pintu, tak peduli pada Utahime yang menggerutu, sepatumu, Gojo!
Kertas-kertas dan tablet berserakan di ruang tengah Utahime, gitarnya disandarkan pada sofa begitu saja. Satoru hampir saja menginjak sebuah pulpen di lantai, dan dia duduk di atas selembar kertas yang langsung membuat Utahime memekik, “Itu drafku! Singkirkan bokongmu dari benda itu!”
Satoru mengamati not-not pada kertas tersebut, mengernyit, dan mendapati dirinya masih bisa membaca nada tersebut dan menyanyikannya dalam suara pelan. Ketika menyerahkannya kembali pada Utahime dia bergumam, “Lain kali kalau aku disewa untuk video klipmu, aku juga harus dapat bagian menyanyikan lagumu.”
“Bilang sendiri ke manajemenku.”
“Kukira kau sudah punya kebebasan dalam membuat dan mengaransemen lagu.”
“Soal itu, memang benar. Tapi kalau urusan bentuk video klipku, aku masih harus menuruti kata-kata mereka dan konsep yang mereka atur.”
“Kau sudah siap-siap buat album baru?”
“Belum. Paling-paling cuma single. Biasanya aku rilis satu single baru satu tahun sekali, jadi ini baru menyiapkan draft mentahnya.” Utahime membereskan kekacauan itu, mengumpulkan kertas-kertasnya dan menutup case tabletnya, menaruh gitarnya pada tempat yang semestinya, dan memunguti sampah-sampah kertas di sekeliling sofa.
“Produktif sekali, nonaku.”
“Namanya juga bekerja,” Utahime pun beranjak menuju ke bagian dalam rumahnya, “aku mau masak, kau mau ikut atau cuma tiduran saja di sana?”
“Kalau Utahime masak, aku mau ikut!” Satoru bangkit berdiri tanpa pikir panjang, mengekori Utahime yang menyiapkan bahan-bahan dari dalam kulkas. “Mau masak apa?”
“Nasi kare. Sudah lama aku tidak makan kare.”
“Kita bisa beli. Jadinya tidak repot, kan?”
“Aku sedang dalam mood untuk memasak sesuatu,” Utahime memotong-motong sayuran dengan cekatan, Satoru mengamati jarinya dan teringat bagaimana Utahime memainkan piano di atas panggung konsernya. Wanita itu punya jari yang lentik dan lincah, apapun yang ia lakukan pasti luwes dan cekatan. “Aku kadang-kadang merasa harus melakukan sesuatu. Harus produktif. Beberapa hari belakangan setelah konser selesai aku cuma tiduran.”
“Aku bisa bantu apa?” Satoru berkeliling. Dia tidak asing dengan dapur Utahime, tetapi berada di tempat seperti ini masih sering membuatnya kagok. Dia tidak bisa melakukan apapun yang berhubungan dengan kompor.
“Aku tidak mau kau menghancurkan dapurku, jadi sebaiknya kau duduk manis saja di sana,” Utahime menunjuk meja makan dengan menggunakan pisaunya, membuat Satoru pura-pura bergidik takut.
“Aku bisa masak nasi, kok!”
“Masak nasi bukan cuma soal menekan tombol di alat memasakmu, tahu.”
“Berasnya tinggal dicuci, kan?”
Utahime menoleh cepat. “Memangnya kau bisa mencuci beras?”
Satoru mendekat ke arah Utahime, “Bisa! Itu gampang!”
Utahime memutar bola mata, kemudian menunjuk pada rak di depan kepala Satoru, “Pakai beras yang di situ. Aku biasanya pakai takaran yang ada di dalamnya. Masukkan tiga takar. Cuci sekali saja, baru masukkan ke dalam rice cooker. Airnya jangan banyak-banyak.”
Satoru menurut seperti anak anjing yang patuh. Seakan-akan jika dia punya ekor, ekor tersebut mengibas-ngibas gembira ketika dia berjalan dari wastafel lalu ke tempat rice cooker berada, kemudian saat dia memasukkan berasnya ke dalam alat pemasak tersebut. “Airnya sebanyak apa? Seperti ini?”
Utahime menengok ke dalam alatnya. “Kurangi sedikit. Pakai sendok saja, kurangi lima sampai enam sendok.”
Satoru bersiul girang ketika dia kembali ke meja makan, sudah selesai dengan tugas mulianya. Utahime masih asyik memasak kuah kare. Satoru tidak tahan duduk bingung begitu lama, sehingga dia pun berjalan berkeliling dapur. Mengamati tempat Utahime meletakkan piring-piringnya, laci tempat mengeringkan piring yang terbuka di samping kakinya, dan hiasan kulkas yang disusun begitu rapi. Magnet-magnet dari berbagai kota di dunia ditempelkan di sana, beserta beberapa lembar foto yang membuat Satoru tersenyum lebar. Dua dari tiga foto tersebut adalah strip foto yang mereka ambil di sebuah photobox di Paris, dan satu lainnya lagi adalah foto polaroid Satoru yang dihiasi tanda tangan pada sudutnya, yang Satoru berikan padanya ketika dia kembali ke Jepang seusai syuting. Sebuah foto di jalanan Jerman, dan Satoru berkata padanya, tidak adil kalau cuma penggemarku yang dapat foto bertanda tangan dariku, kau juga seharusnya punya. Ketika Utahime membalasnya dengan memberikan sebuah CD albumnya dengan tanda tangan besar di sampulnya, Satoru kegirangan seperti anak kecil menemukan kantong besar permen, aku menang undian signed CD Utahime!
Dunia mereka penuh ironi sederhana yang baginya lucu. Satoru pun berbalik, mendapati Utahime sudah hampir selesai memasak kuah kare. Satoru berinisiatif menyiapkan dua buah piring, mengeluarkan sumpit dari laci rak makan, kemudian mengecek nasi yang tadi dimasaknya.
“Belum,” ucap Utahime, “mungkin sebentar lagi.” Ia mencuci tangannya sebentar di wastafel. “Kau mau minum sesuatu? Ambil saja di kulkas.”
Satoru menemukan minuman soda kesukaannya, dan mengambilnya dengan senang hati. Sekaleng bir untuk Utahime, dan dia juga mengeluarkan sebotol air mineral, barangkali salah satu dari mereka akan menginginkannya.
Makanan siap beberapa saat kemudian. Satoru begitu senang menyusun letak piring bahkan memotretnya sebelum mereka berdua duduk makan. Utahime duduk lebih dulu, mengamati Satoru yang masih asyik mengambil foto dari berbagai sisi. Seharusnya ia tidak terkejut, ketika foto terakhir yang diambil oleh Satoru adalah dirinya di depan sepiring nasi kare yang masih mengepul hangat. Namun Utahime masih belum terlalu terbiasa dengan jepretan itu, dan Utahime mengerjapkan mata seperti baru terkena lampu kamera yang menyilaukan.
“Hei!”
“Chefnya juga harus difoto, dong.” Satoru pun duduk, tidak malu-malu untuk makan lebih dulu meski bukan dia tuan rumahnya. Utahime hanya menggeleng-geleng.
Begitu mudah bagi Satoru untuk menyibukkan dirinya dalam urusan domestik bersama Utahime, seakan-akan telah terbiasa dengan hal ini. Perubahan mengejutkan yang tidak pernah diperhitungkannya, tetapi bukan sesuatu yang menakutkan. Dia tersenyum pada pemikiran bahwa sekarang dia sudah punya rencana pensiun yang menyenangkan.
Satoru mengambil alih tugas mencuci piring, walaupun pada awalnya Utahime menolak dengan alasan Satoru mungkin akan memecahkan piring-piringnya, tetapi pria itu meyakinkannya bahwa dia bisa bekerja becus kali ini. Satoru membuktikan dengan piring-piring yang bersih pada rak pengering, berkata bahwa aku tidak cuma berakting aku bisa cuci piring, ya!
Mereka kembali ke ruang tengah, Utahime sibuk lagi dengan kertas-kertas draftnya. Satoru menemani sambil menonton film pada tablet pinjaman dan dipaksa oleh Utahime untuk memakai headset agar tidak mengusik. Satu film selesai, Utahime juga tampaknya telah merampungkan satu potong bridge yang membuatnya bangga.
Satoru menengok pada lembaran kertas yang penuh coretan tersebut. Utahime sengaja merapatkannya ke dadanya. “No spoiler.”
“Kalau begitu kau pasti menulis lagu tentangku.”
Utahime mencebik. “Besar kepala.”
“Hei, seharusnya kau sudah membuat satu lagu buatku! Penyanyi-penyanyi di luar sana pasti banyak sekali yang sudah diam-diam menulis lagu tentang pacarnya.”
Utahime mendadak diam. Ia memainkan pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Tatapannya kosong, membuat Satoru bertanya-tanya dengan kening berkerut. Dia mencoba mengikuti arah pandangan Utahime, yang tertuju pada vas kecil di tengah-tengah meja. Beberapa tangkai bunga putih berdampingan dengan lavender yang memudar. Lavender tersebut adalah bunga artifisial, sedangkan bunga putihnya segar. Satoru mengernyit, tentu saja dia mengenali bunga ini. Krisan putih, yang sepertinya begitu sering dia dapati di antara dirinya dan Utahime.
“Sebenarnya, sudah pernah.”
Satoru berpaling, mendadak ingatan jangka pendeknya tidak bisa kooperatif. “Apanya yang sudah?”
Utahime meliriknya sesaat, kemudian menunduk pada kertas draftnya. Ia menggigit ujung pulpennya sebentar, matanya bermain lagi ke arah Satoru, membuat pria itu lagi-lagi ingin menggigit pipinya gemas. “Lagu, tentangmu.”
“Oh!” Satoru beringsut pelan ke arahnya. “Yang mana? Kenapa tidak pernah bilang?”
Utahime mengambil bantal dari sofanya, kakinya menyelonjor lurus sampai ke bagian bawah meja. Mencari posisi yang nyaman untuk cerita yang telah disimpannya bertahun-tahun, sebuah kotak yang siap terbuka karena kuncinya telah berada di hadapannya. “Kau bahkan menyukai lagunya.”
Satoru menjadi tidak sabar. “Yang mana? Jangan main tebak-tebakan, Utahime, aku tidak mungkin menghafal tiga puluh single-mu itu, dan semua trek B-side di album-album yang lain.”
Utahime membuka kotak pandora dan kenyataan menyeruak ke udara, “Mahkota Krisan.”
Cukup lama Satoru memprosesnya. Bahkan ketika menyadari kenyataan pun dia tidak langsung bisa menerimanya. “Lagu itu? Bukannya itu lagu lamamu?”
“Justru karena itu adalah lagu lama.”
Satoru menggeleng-geleng. “Aku tidak mengerti.”
“Kau tidak ingat malam gala waktu kau berusia enam atau tujuh tahun, dan kau melarikan diri bersama seorang anak perempuan ke taman belakang puri … memetik bunga untuknya, kemudian merangkai mahkota darinya?”
Mata Satoru membelalak. “Jadi … itu Utahime?”
“Kurasa ada seseorang yang mengatakannya padamu saat gala waktu itu.”
“Aku … aku tahu. Tapi aku benar-benar tidak ingat ….”
“Tidak apa-apa. Aku juga sudah lupa sebagian besar kejadiannya. Aku hanya ingat mahkota bunga, kemudian rambutmu, dan cara tertawamu. Kalau bukan karena kau jadi aktor dan aku melihat wajahmu di banyak kesempatan dan orang-orang di sekitarku membicarakan filmmu, aku pun tidak akan benar-benar mengingatnya. Sudah lama sekali, Gojo, wajar kalau kau sudah lupa.”
“Tapi kau mengingat tentang mahkota itu.”
“Ingatan manusia itu selektif. Dia hanya akan memilih momen yang paling menyenangkan dan menyimpannya di alam bawah sadar, membawanya kembali ke permukaan untuk penghiburan atau memori yang samar-samar.” Utahime tersenyum teduh. “Aku mengingat itu sebagai momen di mana aku bisa melarikan diri, bisa bebas, dan bisa tertawa saat aku sangat bosan.” Ia membuat coretan acak di sudut kertas. “Aku menulis lagunya saat aku mulai beranjak dewasa, berhenti menjadi seorang remaja, dan menengok lagi ke belakang, mengingat apa yang bisa membuatku bahagia di tengah dunia orang dewasa yang membosankan. Aku ingin punya perasaan seperti malam itu lagi.”
Satoru menatapnya seakan-akan baru pertama kali jatuh cinta. Beribu macam ekspresi saat dia berakting, raut wajah kali ini adalah ekspresi paling sulit jika dia harus membuat-buatnya. Dia senang, tidak percaya, kesal pada waktu karena begitu lama menahan mereka berdua, dan dia ingin memulai semuanya lagi dari awal dengan rute yang berbeda. “Apakah aku adalah cinta pertamamu?”
Utahime tertawa kecil. “Jangan konyol. Aku bahkan tidak tahu apa itu cinta di usia sekecil itu.” Ia kemudian meletakkan kertas dan pulpennya ke atas meja. Ia duduk menghadap ke arah Satoru, tangan menangkup pipinya, menahan Satoru yang tidak sabar untuk menciumnya. “Aku hanya menganggapnya sebagai memori yang menyenangkan dari kedua orang yang bisa menemukan diri mereka sendiri setelah melarikan diri. Bukankah itu indah, Gojo, ketika kita bisa melakukan hal yang kita mau meski harus berada di tengah taman yang menurut mereka kotor, tetapi kita tertawa bersama?”
Satoru melihat refleksinya sendiri di mata Utahime, dan melihat betapa miripnya kedua orang yang masih tertatih di usia dewasa mereka, meniti kepingan kayu yang melintang di atas arus kehidupan yang kadang berwujud seperti badai. Pelarian mereka dari kebiasaan keluarga, sebuah cara untuk mewujud menjadi diri mereka sendiri, membuat Satoru bertanya-tanya apakah semua memang sudah terjalin sejak awal?
“Aku ingin pendengarku tahu bahwa mereka bisa menggali ingatan kecil yang jauh tersembunyi dan berbahagia karenanya. Berbahagia itu bisa karena hal yang sederhana, dan semoga saja mereka melihat hal yang sama.”
Satoru meletakkan tangannya di atas tangan Utahime, dan perlahan menutup matanya. Dia berucap dalam satu embusan napas, “Kau sudah membuat banyak orang bahagia, sekarang biar aku melakukannya untukmu.”
Koleksi Satoru akan barang-barang yang diiklankannya sudah tak lagi terhitung. Mulai dari pakaian hingga jam tangan, dia membuat sebuah lemari khusus untuk benda-benda tersebut. Beberapa di antaranya dia berikan pada kru atau orang-orang di agensinya secara cuma-cuma, sebelum barang-barang itu memenuhi lemarinya.
Kali ini, barang yang dia pakai dalam pemotretan ini pun akan menjadi miliknya. Dia baru-baru ini mendapatkan kontrak untuk menjadi bintang iklannya, yang disusul oleh pemotretan edisi spesial untuk majalah langsung di Italia, rumah asal untuk merk tersebut.
Satoru memandangi jam tangan yang baru saja dipakai untuk sesi kedua yang dilakukan di rooftop sebuah gedung tinggi di tengah-tengah Florence, Italia. Salah satu dari tim menunggunya untuk memastikan apakah dia butuh polesan riasan tambahan.
“Seingatku, brand ini juga punya lini untuk perempuan, kan?”
“Tentu saja. Jam tangan wanitanya cantik-cantik, Gojo-san. Kudengar baru-baru ini mereka merilis lini khusus untuk perhiasan sekaligus jam tangan untuk wanita.”
“Oh ya?” Satoru segera saja tertarik. “Di mana aku bisa mendapatkannya? Sudah rilis di Jepang?”
“Saya rasa itu edisi terbatas? Saya bisa mengontak tim brand untuk mencari tahu.”
“Ah, lupakan, lupakan. Italia adalah tempat asalnya, kan? Aku akan pergi ke store.” Satoru mengenakan lagi jam tangan tersebut untuk sesi berikutnya. Dia tersenyum puas hanya dengan membayangkan apa yang bisa dia persembahkan untuk Utahime.
Maka di sanalah dia berada beberapa jam kemudian, setelah sesi pemotretan selesai dan dia bisa dengan bebas berjalan-jalan sendirian di sebuah pusat perbelanjaan. Dia menemukan toko yang dicarinya dengan mudah, dan produk yang dimaksud sedang diiklankan dalam gambar yang sangat besar di depan toko tersebut.
Berbagai perhiasan berkilauan di bawah lampu neon putih. Hanya sedikit yang dipajang, menggambarkan eksklusivitas. Sebagian ditata pada rak dan etalase mungil yang tersebar di penjuru ruangan, Satoru berkeliling satu kali lebih dulu untuk mencuci mata sebelum akhirnya bertanya pada seorang pramuniaga dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Terlalu sering bersama Yaga dan bergantung padanya selama bertahun-tahun membuat kemampuan bahasa asingnya berkarat.
“Yang Anda cari ada di sebelah sini, Tuan.” Pramuniaga ramah tersebut kemudian menunjukkan etalase yang tak jauh dari arah Satoru masuk, sebuah kotak hitam besar yang berisikan satu paket jam tangan yang berpasangan, serta sepasang kalung untuk wanita dan pria, seluruhnya berwarna perak mengkilat. Kalung wanita memiliki lekuk logam kecil seperti huruf v sebagai liontin, dengan sebuah berlian mungil di bagian tengah. Sementara untuk pria, sebuah kalung rantai maskulin dengan sebuah persegi seperti dog tag kecil sebagai hiasan. “Edisi khusus dari kami, persembahan khusus untuk para pasangan yang ingin tampil bersinar berdua.”
Satoru menatap puas pada kotak tersebut, tidak ragu-ragu mengeluarkan kartunya. “Aku mau ini.”
“Sudah kubilang jangan repot-repot,” Utahime protes, tetapi tetap menutup matanya sesuai dengan permintaan Satoru. Ia tidak sempat menengok isi totebag yang ada di atas meja karena Satoru langsung memberinya perintah.
Satoru pun berjalan mengelilingi sofa setengah putaran, kemudian mengeluarkan kalung tersebut dari dalam kotaknya. Dengan hati-hati, dia memasang kalung tersebut, mengaitkannya dengan rasa girang. Dia tahu persis bahwa hadiah dalam wujud materi adalah prioritas nomor sekian untuk mereka berdua, tetapi dia berharap bahwa ini bukan hanya sekadar barang untuk Utahime. Mereka mungkin bisa membelinya sendiri-sendiri tanpa kesulitan, tetapi nilai suatu barang kadang tak terlihat dari harga materialnya.
Utahime meraba tulang selangkanya ketika merasakan sesuatu yang dingin di sana. Ia baru membuka mata ketika Satoru sudah mengitari sofa satu putaran penuh untuk kembali ke sisinya. “Gojo ….”
“Aku tahu kau pasti akan bilang, aku bisa beli sendir, tapi kuharap kau tidak melihatnya sebagai barang yang kau bisa beli sendiri saja.”
Utahime mengangkat liontin kalung tersebut ke arah cahaya. Senyum simpulnya hangat. “Seenaknya saja kau memutuskan apa yang kupikirkan sekarang.” Ia meletakkan kembali kalung itu ke dadanya dengan hati-hati. “Aku senang, tahu.”
“Baguslah kalau kau senang.” Satoru pun tiba-tiba saja merebahkan dirinya di pangkuan Utahime. Dia mengeluarkan kalungnya di balik kemejanya. “Dan di kotak itu,” dia menunjuk tote bag yang telah berpindah tempat ke bagian lain meja, “ada jam tangan untuk kita berdua.”
“Kau sedang jadi brand ambassador mereka, kan?”
“Tapi ini aku beli sendiri.”
“Beda lini?”
“Iya. Aku cuma mengiklankan jam tangan chronograph-nya.”
“Oh.” Utahime pun menyusurkan jarinya dengan pelan di antara helai rambut Satoru. “Terima kasih. Kau mau minta apa dariku?”
Satoru terbahak. “Saat ini, aku cuma ingin kita seperti ini. Kurasa saat seperti ini adalah yang paling kita butuhkan. Seakan-akan kita memang punya segalanya.”
Utahime bahkan memijat lembut kepala Satoru, membuat pria itu sesekali memejamkan matanya. “Punya segalanya,” Utahime mengutipnya, “agak ironis. Kita dilihat oleh orang-orang bisa memiliki segalanya. Tapi sebelum ini? Kita cuma bekerja.”
“Mau bagaimana lagi? Kita adalah anomali dalam keluarga kita sendiri, Utahime,” Satoru tertawa kecil, miris sekaligus menganggapnya lucu dengan cara yang aneh. “Kita sendirian. Kita melarikan diri.” Lagi-lagi, dia mengingat Mahkota Krisan dan memutarnya di dalam kepalanya. Saat ini, seolah-olah dia ingin memakai lagu itu di dalam kepalanya.
“Omong-omong soal keluarga, bagaimana dengan kasus tuntutan itu?”
“Ah, aku tidak ingin tahu.”
“Nanami tidak memberitahumu?”
“Sesekali. Tapi banyak update yang diberikan Nanamin hanya sekadar acara-acara bisnis dan relasi yang baru. Kurasa hanya sekali, atau dua kali, kabar bahwa perkara itu sudah masuk tahap perundingan dengan berbagai pihak, termasuk pihak perusahaan nikel. Aku tidak tahu apakah ahli dari keluargamu bisa memuluskan jalan atau tidak. Pamanmu tidak cerita apa-apa?”
“Aku tidak pernah terlibat urusan mereka.” Utahime memberikan pijatan pelan di dekat pelipis Satoru. “Terakhir kali aku mengandalkan Paman Chihiro adalah saat aku ingin mendiskusikan kontrak terakhirku di label yang lama, yang masih punya afiliasi dengannya. Aku agak trauma. Semenjak itu aku selalu mengandalkan tim legal dari agensi saja. Koneksi keluarga tidak selalu membuatmu beruntung.”
“Apa yang dia lakukan?”
“Dia menyetujui permintaanku yang meminta timnya untuk mengajukan porsi royalti yang lebih besar untukku pada agensi, tetapi ada komisi yang lebih besar dari sisiku. Aku diminta menandatangani kontrak tim legal secara personal dan bukan dari agensi, dan membuat klausul baru agar aku selalu membuat konsultasi legal terkait pencairan royalti. Yang berarti aku harus selalu melalui mereka setiap kali ingin menarik keuntungan.”
Satoru membuka matanya, mengamati kerut-kerut kesal pada wajah Utahime. Tangan usilnya mengebuti bagian atas kaos hitam Utahime. “Dia sepertinya punya banyak akal.”
“Aku sudah memperingatkannya tentang kasus bersama keluargamu, ya.”
“Itu urusan mereka. Aku mengajukannya karena aku hanya ingin tahu bagaimana bekerja sama dengan keluargamu.” Pria itu menyeringai tipis.
“Ide itu tidak seromantis yang kau pikirkan pada awalnya, Gojo.”
“Aku memang naif. Kupikir waktu itu ideku bisa membuat kita lebih dekat.”
“Dengan cara mendekati pamanku yang bahkan tidak ingin kudekati?” Utahime tersenyum miris. “Kau salah langkah, tapi semoga kesalahannya hanya sampai di situ.”
“Lagipula, hal buruk apa yang bisa terjadi? Firma hukum keluarga Iori terikat hitam di atas putih dengan perusahaan Gojo. Kalau kalian mencurangi, akan ada konsekuensi hukum.”
“Tidak usah pakai kata kalian, aku tidak termasuk dalam kelompok itu.”
Satoru tergelak. “Oke, aku salah.”
“Seperti yang terjadi padaku, mereka justru mengakalinya dengan hitam di atas putih.”
“Mungkin itu karena kau adalah bagian dari keluarga mereka? Jadi mereka menganggapmu bisa berkompromi.”
“Sudah kubilang, kan? Mereka pintar mencari celah.”
“Lalu apa yang kau lakukan setelah itu? Kau terjepit.”
“Aku memilih opsi mengikuti kemauan dari agensi lamaku yang meminta perpanjangan kontrak hanya selama enam bulan, hanya mengejar rilisan album dan setelahnya mereka akan menentukan berdasarkan hasil penjualan. Profitnya sangat kecil, kebetulan penjualan album itu juga tidak sebaik album sebelumnya. Setelahnya, aku memilih untuk pindah label. Sulit ketika di agensi pun aku masih berada di dalam bayang-bayangnya.”
“Kau maju mengikuti perpanjangan kontrak, tapi masih berada di bawah kendalinya. Dia mengambil profit yang banyak dari agensi yang terafiliasi dengannya?”
“Kurang lebih begitu.”
“Tapi ketika kau minta keadilan pembagian, dia malah memeras dari sisimu? Serakah sekali.”
“Perlu kekuatan besar untuk lepas darinya, Gojo. Aku perlu sembilan belas single, tujuh mini album, dan tiga album untuk membuktikan diriku.”
“Tapi kau sudah melakukannya.” Satoru menyentuh pipi Utahime, yang awalnya berniat lembut tetapi sifat isengnya tak pernah luntur: dia mencubit pipi Utahime, yang membuat perempuan itu melebas tangannya hingga berbunyi keras. “Kau memang kuat.”
“Perjalanan yang berdarah-darah.” Utahime tertawa miris. “Seandainya Paman Kenji masih hidup, ceritaku mungkin akan berbeda.”
“Ya, mungkin saja. Mungkin juga berbeda itu artinya kita tidak akan bertemu.”
Utahime tersenyum ketika Satoru memejamkan matanya lagi. “Tapi kadang, sampai saat ini pun aku masih berada di bayang-bayangnya. Dia selalu mengaku bahwa dialah yang mengorbitkanku. Ingat malam gala itu?”
“Sombong sekali. Memangnya dia yang memegangi mikrofonmu saat kau bernyanyi?”
Utahime, secara mengejutkan, tertawa atas humor garing Satoru barusan. “Kau lucu juga.” Ia menarik pelan rambut Satoru untuk mencandainya.
“Aku pernah ikut kelas tertawa.”
Utahime tergelak. “Serius?”
“Tentu saja! Aku harus berlatih seperti itu agar akting tertawaku natural!”
“Tapi yang barusan, sepertinya bukan akting.”
“Kurasa pelajaran dari kelas itu sudah masuk ke dalam alam bawah sadarku.”
Utahime masih tersenyum ketika mengecup kening Satoru setelahnya. Kemudian, ia pun bernyanyi pelan, tangannya sesekali mengusap kening Satoru. Satoru terhanyut, terbawa ke alam mimpi yang tenang, syahdu, dengan membawa serta lirik penutup dari lagu Mahkota Krisan,
Lihatlah lagi kepada hari ini,
laluilah lagi dengan senyuman seperti masa kecil kita,
senyuman dengan mahkota krisan yang tak pernah layu.
Seandainya yayasan ini bukan peninggalan dari Paman Kenji dan acara tahunannya bukan atas gagasannya bertahun-tahun yang lalu, Utahime tidak akan pernah lagi menghadirinya. Apalagi itu artinya harus berhadapan dengan Paman Chihiro sebagai tuan rumah, mewarisi posisi Paman Kenji.
Menjamu tamu dengan mulut manisnya adalah keahlian Paman Chihiro. Dia akan memamerkan prestasi yayasan sebagai induk dari beberapa sekolah swasta di Jepang dan menganggap semua pencapaian itu, dari hulu hingga ke hilirnya, adalah miliknya. Utahime sebisa mungkin menghindari interaksi langsung dengannya. Ia sengaja mengambil minum dari pelayan dan segera menjauh ke sudut ruangan, mencari siapapun yang ia kenal dan bicara basa-basi dengan banyak orang, meski ia tidak terlalu menyukainya.
Utahime bisa sedikit lega karena ada banyak orang dari sekolah privat musik yang diundang oleh Paman Chihiro kali ini. Ada banyak yang ia kenal karena kursus vokal di masa lalu atau orang-orang dari label musik yang sering bersilangan jalan dengannya. Setidaknya ia bisa lupa waktu.
Namun, tak bisa seorang tamu selamanya lolos dari tuan rumah yang suka berkeliling area pesta jamuan. Tiba-tiba saja setelah ia selesai bicara dengan seseorang dari label lamanya, sang paman datang dan menyapa ringan Utahime beserta lawan bicaranya. Utahime menyingkir perlahan, berharap sang paman bisa menyibukkan diri dengan lawan bicara tersebut sampai ia bisa melarikan diri, tetapi ia gagal lolos.
“Utahime,” Paman Chihiro mengangkat gelasnya sebagai gestur menabik khasnya. “Cantik sekali penampilanmu malam ini.”
Utahime membungkuk singkat. “Terima kasih. Paman juga luar biasa.” Dan dia tidak lagi mendapati lawan bicara pamannya. Sial.
“Bagaimana konsermu?”
“Sukses. Aku sedang mempersiapkan single baru, kuharap musim dingin awal tahun depan sudah bisa kurekam.”
“Oh, bagus sekali. Sangat produktif. Aku senang kau selalu punya etos kerja keluarga Iori.”
Utahime minum untuk meloloskan dirinya dari kewajiban menjawab. Ia mengangguk saja sebagai bentuk kesopanan.
“Omong-omong,” Paman Chihiro berdiri menghadapnya, senyumannya membuat Utahime was-was. “Kalungmu bagus sekali. Bvlgari edisi khusus, hm? Kudengar hanya ada beberapa di Jepang, dan periode perilisannya di Italia sudah selesai.”
Utahime secara naluriah menyentuh kalungnya. Tidak, tidak mungkin dia sadar.
“Kau pasti mendapatkannya dari seseorang yang spesial.”
Oh, tidak.
“Kurasa ada seseorang yang belakangan ini menjadi brand ambassador Bvlgari untuk Jepang.” Paman Chihiro minum, seolah-olah sedang merayakan sebuah kemenangan argumen. “Jangan tanya kenapa aku tahu. Billboard yang memuat wajahnya bisa terlihat dari salah satu apartemenku.”
Skakmat.
“Jadi rumor itu benar.” Paman Chihiro tersenyum lebar. “Tapi aku sangat menyayangkan seleramu, Utahime. Kenapa kau malah memilih seseorang dari keluarga yang baru saja kita buat kalah?” tuturnya jemawa, “seharusnya kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih tinggi lagi. Kudengar salah satu direktur agensi besar di Jepang baru saja bercerai dengan istrinya, seharusnya kau membidik seseorang yang lebih tinggi. Bukannya si pembangkang dari keluarga yang bisa kita curangi.”
Telinga Utahime panas. Residu minumannya mendadak terasa pahit di mulut dan tenggorokannya. “Kalah?”
“Kau tidak mendengar perkara yang dihadapi keluarga Gojo?” Paman Chihiro tertawa. “Keluarga itu selalu ingin jalannya mulus. Seandainya mereka mendengarkan saja tuntutan dari keluarga besar organisasi non-pemerintah dan serikat pekerja, ganti rugi yang akan mereka berikan tidak akan sebesar tuntutan yang diberikan balik oleh pemerintah pusat.”
Pelipis Utahime berdenyut-denyut terutama ketika Paman Chihiro menertawakan ceritanya seolah-olah yang barusan cuma sebuah guyonan tengah malam. Terasa dejavu, karena posisi terjepit ini bukan sekali ia alami. Ia berusaha untuk menutupi rasa kesal dan canggungnya dengan minum, tapi ia malah mual melihat wajah sang paman. Seandainya saja ia bisa menghilang semudah kedipan mata.
Chapter 8: we were gonna use the road as a ramp to take off
Chapter Text
08. we were gonna use the road as a ramp to take off
Ketika dia mengecek ponsel pribadinya, ada banyak sekali pesan dari Utahime, berikut tiga panggilan tidak terjawab. Satoru menggosok wajahnya, tidak percaya paginya dibangunkan oleh telepon mendadak dari Kento pada pukul tujuh pagi, sebuah panggilan dadakan ke kantor karena ada hal yang benar-benar penting dan harus kita pertanggungjawabkan.
Kento menggunakan kata kita, yang cukup misterius untuk Satoru. Seakan-akan misteri pagi ini tidak cukup hanya dengan banyak telepon dan pesan dari Utahime. Satoru pergi mandi dengan nyawa setengah terkumpul, pikirannya hanya berputar-putar apakah dia harus membuka pesan dari Utahime lebih dulu atau menelepon balik Kento? Dia akhirnya menjatuhkan pilihan ke opsi kedua setelah mendengar telepon dari Kento lagi begitu dia keluar dari kamar mandi.
Dia tidak sempat menjawabnya, tetapi Kento meninggalkan pesan setelah panggilan tersebut,
Hanya ada beberapa ruangan penting di lantai enam, ruangan yang sepi karena direksi tidak pernah benar-benar berada di kantor kecuali ada hal yang benar-benar penting.
Satoru menyetir mobilnya dengan berbagai tebakan mengelilingi kepalanya, apa yang telah dia lakukan sehingga harus berurusan sepagi ini? Kento juga kelihatan kerepotan, dia tidak ingin kesalahan yang mungkin dia perbuat juga melibatkan Kento. Namun apakah dia pernah bekerja bersama Kento sehingga mereka dipanggil secara bersamaan seperti ini?
Di ruangan yang dimaksud, Satoru menemukan kedua pamannya, adik ayahnya yang menjadi pengendali kantor pusat Tokyo. Tidak ada ayahnya, setidaknya dia merasa lebih aman. Satoru berusaha terlihat baik-baik saja, tidak seperti orang yang rusak mood-nya karena dibangunkan terlalu pagi untuk urusan yang dirinya pun tidak tahu-menahu. “Selamat pagi,” dia menatap kedua pamannya bergantian.
Adik bungsu ayahnya, Paman Iwata, mengedikkan dagu agar Satoru duduk di hadapannya. Kakaknya, Paman Akio, berdiri di sisinya, bersedekap dan matanya seolah-olah sedang menguji pakaian Satoru. Siapa yang datang ke kantor pada hari kerja dengan kaos hitam dan jaket varsity kecuali keponakannya ini? Satoru pun mengempaskan dirinya di kursi, menimbulkan decit yang membuat alis salah satu pamannya berjengit.
“Kau mungkin sudah tahu. Sekarang kau harus benar-benar terlibat untuk membereskan semuanya.”
“Apa yang sudah kulakukan?” Satoru duduk tegak, kerutan di antara kedua alisnya terlalu dalam untuk pagi yang seharusnya dimulai dengan tenang untuknya di hari libur yang panjang ini. “Jangan langsung ke intinya, katakan padaku apa yang kalian lakukan sampai kalian harus melibatkanku.”
“Inilah jadinya kalau dia dibiarkan, Iwata. Dia memang seharusnya melaksanakan tugasnya dengan benar di dewan.”
“Aku tahu. Katakan itu pada ayahnya supaya dia bisa dapat pelajaran yang benar lain kali.”
Satu kalimat saja lagi dari perdebatan itu maka Satoru akan angkat kaki. Tatapan Paman Iwata akhirnya mencegahnya untuk benar-benar melakukannya. “Kita mendapatkan konsekuensi hukum dari masalah perusahaan di Thailand.”
“Bukankah kita sudah menyewa penasihat hukum yang bisa membantu? Mereka tidak memenangkan kita?”
Pukulan pada meja terdengar seperti sambaran petir. Satoru sudah sering menyaksikan sutradara marah besar sampai membanting kursi di hadapannya, tetapi yang kali ini punya efek berbeda.
“Mereka menjebak perusahaan, menyarankan untuk maju ke pemerintah pusat dan menjanjikan koneksi untuk menyelesaikannya di pusat, tetapi sesungguhnya mereka tahu itu adalah bencana. Padahal mereka tahu deal yang bisa dilakukan bersama serikat pekerja dan organisasi itu hanyalah penggantian dengan nilai kerugian yang lebih ringan daripada sanksi pemerintah pusat.”
Paman Akio menambahkan, “Dan mereka juga punya perusahaan saingan, yang berani membayar serikat pekerja dengan tawaran yang lebih besar untuk memenangkan bursa tenaga kerja.”
“Tunggu dulu.” Satoru berdiri, kedua tangannya bertopang pada meja, menatap mata sang paman tanpa rasa takut, “Kalian menuntut pertanggungjawabanku atas sesuatu yang tidak becus kalian lakukan? Kalian menyalahkanku padahal kalian yang tidak bisa membuat keputusan? Siapa yang menyuruhku melakukan ini semua? Kalian kehabisan orang-orang yang bisa berpikir?”
“Kaulah orang itu, Satoru, yang seharusnya sedari awal berada di sini dan mempertanggungjawabkan posisimu.”
“Aku tidak minta berada di sini! Aku punya pekerjaanku sendiri!”
“Katakan hal itu pada ayahmu dan tunggu saja sampai namamu dicoret dari daftar nama penerima hak keluarga Gojo!”
“Jika sedari awal itu yang kuinginkan, bagaimana kalau kalian sekalian usir saja aku?”
“Satoru!”
Satoru berbalik dan pergi dan membanting pintu. Langkahnya berderap cepat dan dia tidak mau repot-repot turun melalui lift. Dia menuju tangga darurat dan berlari dari anak tangga ke anak tangga, membuang energinya hanya sekadar untuk melampiaskan rasa amarahnya yang meluap-luap. Seseorang yang mengganggu paginya layak dihadapi dengan cara seperti barusan, pikirnya, dan dia tidak mengerti dari mana cara berpikir para pamannya berasal. Filosofi kerja keluarga Gojo tak jauh dari soal keberanian, dan jika keberanian itu dilakukan untuk memojokkan seorang anak yang harus selalu dikambinghitamkan, maka dia tidak akan pernah bisa menerima ini.
Dia tiba di lantai terbawah dengan napas pendek-pendek, wajahnya merah padam. Ketika dia keluar dari pintu tangga darurat, seseorang juga keluar dari salah satu pintu di koridor. Satoru memicingkan matanya, memfokuskan penglihatannya yang nanar karena gerakan tubuh yang menggila dari lantai enam. “Nanamin?” Dia pun melangkah lebar-lebar menuju pria itu. Napasnya masih memburu, membuat Kento sedikit bingung sekaligus khawatir.
“Tuan Gojo?”
“Mereka melakukan sesuatu padamu?” Satoru mulai merasakan nyeri yang meledak-ledak di sekitar tungkai dan pahanya. Adrenalinnya telah pecah membanjir ke seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya menjadi lemas mendadak. Dia tertunduk memegangi kakinya.
Kento menolongnya untuk berdiri tegak. “Mungkin kita harus bicara di tempat yang lebih tenang. Sepertinya mereka juga mengadili Anda?”
Satoru menggeleng-geleng. “Aku tidak sudi bicara di tempat ini. Cari tempat untuk sarapan, Nanamin, kurasa aku hampir gila karena lapar dan orang-orang brengsek di atas sana.”
Kento hanya mengangguk. Tidak seperti dugaan Satoru, dia tidak berkilah atau memberikan perlawanan sedikit pun. “Saya tahu kedai roti yang enak di sekitar sini. Mungkin kita harus sarapan di sana.”
Kento sepertinya sudah terbiasa ke tempat ini, pelayannya mengenalinya dan bisa menyediakan pesanannya tanpa perlu Kento menyebutkannya. Satoru tidak bisa berpikir jernih, sehingga dia hanya memesan roti dan kopi yang sama persis dengan Kento. Dia memijat kepalanya sementara menunggu Kento berada di toilet. Dia menatap Kento dengan penuh harap ketika pria itu datang bersamaan dengan roti yang hangat dan kopi hitam yang pekat. “Ceritakan padaku dengan runut dari awal. Aku tidak bisa memahami pembicaraan orang-orang tua yang kehilangan kemampuan nalar yang waras itu.” Satoru menyambar rotinya yang masih wangi dan empuk, mengunyahnya dengan keras.
“Apa saya harus memulai dari bagian paling awal, tentang tuntutan dari organisasi non-pemerintah dan serikat pekerja di Thailand?”
“Tidak, tidak. Aku masih ingat bagian itu. Langsung saja ke hasil dari tuntutan, yang membuatku harus bertanggung jawab untuk semua ini.”
“Saya juga termasuk orang yang harus bertanggung jawab, Tuan.”
Satoru menelan paksa sisa roti yang berada di mulutnya. “Bagaimana?”
“Karena sayalah yang membuat analisis mengenai keputusan Anda waktu itu, dan Anda mengatakan keputusan itu kepada saya, sehingga saya juga harus mempertanggungjawabkan apa yang telah saya nilai baik pada awalnya.”
Satoru hampir saja menggebrak meja jika lupa tempat ini bukanlah kantor keluarga Gojo. “Bedebah.”
“Saya mohon Anda tidak perlu memarahi mereka sampai seperti itu, Tuan. Ini adalah konsekuensi.”
Kento hanya mengangguk. Namun Satoru tidak bisa melihat wajah Kento dengan cara yang sama lagi. Pria itu turut bertanggung jawab atas saran mentahnya dan sekarang harus menanggungnya dengan konsekuensi yang belum berani Satoru gali sampai sejauh apa.
Tidak, tidak, ini bukan salah kami. Semua adalah salah dari perusahaan yang seenaknya menunjuk seseorang yang tidak pernah ingin terlibat pada urusan perusahaan seolah-olah mereka kehabisan orang untuk berpikir waras di dalam sana. Jika mereka memintanya untuk bertanggung jawab sedari awal, mereka bisa melakukannya dengan lebih baik. Namun jika ini hanyalah cara untuk menjebaknya, Satoru sudah siap dengan balas dendam yang tidak pernah terpikirkan olehnya sejak awal.
“Pendamping legal berjanji dengan sebuah kontrak tertulis untuk mendampingi tuntutan ini sampai ke pemerintah pusat, dan secara lisan mereka menjanjikan bahwa mereka siap memenangkan kasus ini dan perusahaan offshore kita tidak perlu memberikan penggantian apapun pada serikat pekerja dan organisasi,” Kento menerangkan dengan hati-hati, “tanpa kita ketahui detail peraturan yang baru direvisi oleh pemerintah pusat mengharuskan kompensasi yang lebih besar bahkan sampai ke penyitaan aset yang menyebabkan masalah lingkungan. Belum terhitung lagi biaya kerugian pengadilan karena kita adalah pihak yang kalah, kemudian bayaran pendamping legal yang lebih tinggi, pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menggugat, kemudian pembaruan alat reservoir limbah yang membuat kita harus memperbarui proses dari awal. Ada berapa hari proses produksi yang harus tertunda karena semua itu?”
Angka yang besar berada di depan mata. Satoru sesaat mengerti mengapa mereka semua mengamuk. Kesadarannya mulai terkumpul dan dia mulai tahu konsekuensi dari ide yang terlalu prematur tersebut. Dia menggeleng-geleng. Kalau mereka tidak bisa menyelesaikannya sendiri, mengapa mereka malah menunjuk anak ingusan untuk disalahkan?
Dirinya, mungkin bisa segera berlari dari permasalahan ini dan berpura-pura tidak pernah ada di dalam masalah ini. Namun bagaimana dengan Kento?
“Pihak petinggi menganggap bahwa firma hukum keluarga Iori punya motif tertentu karena mereka juga punya perusahaan di lini serupa, dan dengan kerugian yang kita derita ini, mereka bisa memenangkan bursa pekerja dan memenangkan persaingan produksi.”
“Semua ini karena perusahaan Gojo lebih ingin menang daripada harus mengakui kesalahan.” Satoru melirik pada etalase roti di dekat meja kasir, berisi roti-roti berkilauan yang dia harap bisa mengisi perutnya lagi. “Seandainya sejak awal mereka mau mengganti dan mendengarkan, mereka tidak perlu melewati runtuhan efek domino yang menyebalkan ini.”
“Untuk hal itu, saya sependapat dengan Anda.” Kento makan dengan tenang, baru separuh dari rotinya berhasil dia habiskan. Hidupnya begitu tertata, Satoru melihat kebalikannya pada dirinya. Serampangan dan impulsif. Cocok untuk jadwal pekerjaan yang tidak teratur seperti yang dilakukannya selama belasan tahu. Pada inti jiwanya sekalipun Satoru tidak bisa melihat dirinya berada pada gaya bekerja yang ingin ditanamkan keluarganya.
“Apa yang mereka lakukan untukmu, Nanamin?”
“Mereka meminta saya untuk menandatangani surat pengunduran diri.”
Satoru mengerjap. Penyadaran akhirnya membuatnya benar-benar memukul meja. “Itu artinya mereka tidak mau memecatmu, dan menggugurkan kewajiban mereka untuk membayar pesangon!”
“Sepertinya begitu.”
“Kenapa kau tidak marah, Nanamin?!”
“Apa yang bisa saya lakukan, Tuan Gojo? Inilah realita dunia pekerja. Saya bersyukur akhirnya bisa lepas dari semua itu. Setidaknya saya bisa memulai dari awal lagi di tempat lain.”
Satoru berdiri, mengacak kepalanya frustrasi. Satu-satunya hal yang membuatnya bisa berpikir normal adalah harum roti yang menguar di sekeliling ruangan, dan dia pun menghampiri etalase roti. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba merunut masalahnya satu per satu. Mungkin dia harus menyelesaikan rasa laparnya lebih dulu agar bisa berpikir jernih. Dia pun menoleh. “Nanamin, kau mau lagi?”
“Tidak perlu, Tuan Gojo. Terima kasih.”
Satoru kembali lagi ke meja, dan menyadari kopinya telah dingin. Dia menyesapnya, dan dengan adrenalin yang mulai mereda, dia mulai mengingat apa yang seharusnya dia lakukan. Dia pun mengecek ponselnya. Ada lebih banyak pesan dari Utahime dan tambahan panggilan tak terjawab dua kali. Dia mengernyit, membuka satu per satu pesan tersebut.
Di antara pesan-pesan yang berada di bawah adalah sebuah tautan menuju artikel. Tidak ada pratinjau, sepertinya Utahime mengirimkannya dengan terburu-buru. Satoru tidak langsung menuju artikel tersebut, dan hanya membaca pesan-pesan di atasnya.
Satoru punya firasat bahwa ini adalah bagian lain dari masalah. Adrenalinnya meledak lagi dan membuatnya tidak sabar menunggu saat laman tujuannya masih dimuat. Dia hanya membaca cepat bagian judul dan langsung menuju bagian akhir artikel dengan membaca memindai.
AKTOR GOJO SATORU DAN SOLOIS HIME DIKABARKAN BERKENCAN
[…] terlihat berulang kali menuju apartemen tempat tinggal HIME tinggal […]
[…] dikabarkan mereka sedang menjalani hubungan serius dan hal ini dibenarkan oleh HIME melalui pihak manajemennya [….]
Satoru segera menutup laman tersebut. Ketika dia mendongak, dia mendapati ekspresi penuh simpati dari Kento.
“Mungkin bukan hak saya, tapi saya rasa Anda butuh bantuan lain? Ada masalah?”
Satoru meletakkan ponselnya dengan keras, membantingnya ke atas meja. Dia menyugar rambutnya dengan kasar, embusan napas lelahnya sudah mewakili seluruh perasaannya kali ini. “Aku mau hidup yang damai, tapi kurasa hal seperti itu tidak ada di dalam kontrak.”
“Paman Anda menghubungi lagi?”
Satoru menggeleng. Dia pun menyodorkan ponselnya ke arah Kento. Kento membaca artikel tersebut sekilas, kemudian kembali pada Satoru dengan senyuman iba. “Masalah memang biasanya tidak datang sendirian.”
Gojo berharap rotinya segera datang agar mulutnya yang selalu ingin marah-marah sedari tadi bisa tertutup. Dia mengambil cangkir kopinya dan langsung menghabiskannya dalam beberapa reguk. Kento tampaknya mempertimbangkan untuk membeli roti lagi, tetapi sungkan untuk meninggalkan Satoru. Satoru mengambil ponselnya, berupaya menelepon Utahime, tetapi perempuan itu sepertinya membalas dendam padanya dengan tidak menjawabnya sama sekali.
Beruntung roti pesanan Satoru datang beberapa saat kemudian, sebelum dia melampiaskannya dengan menambah masalah baru lagi.
Satoru berulang kali menekan bel di apartemen Utahime dengan tidak sabar, sampai membuat risi Kento yang berada di sampingnya. Dibarengi dengan telepon yang tidak dijawab berulang kali, Satoru hampir meledak karena ketidaksabarannya. Dia berjalan bolak-balik di depan pintu Utahime, tampaknya sudah lupa bahwa dia tidak ke sini sendirian.
“Ayo Utahime jawab … jawab … kau masih hidup, kan?” Satoru melihat ke arah ponselnya, telepon masih tersambung dengan cara yang meresahkan Satoru. Apa Utahime pergi tanpa membawa ponselnya? Atau dia sengaja meninggalkannya? Atau terjadi sesuatu?
Satoru bermaksud menekan bel sekali lagi, tetapi pintu terbuka dengan cepat dan tangannya ditarik tiba-tiba ke dalam apartemen. Dia hanya sempat memelotot ke arah Kento, ekspresinya panik untuk meminta tolong, sebelum melenyap di balik pintu. “Nanamin—”
Punggungnya diempaskan ke pintu yang kembali tertutup secara otomatis. Napasnya tercekat, tetapi di hadapannya hanya ada Utahime. Perempuan ini, punya kekuatan untuk menariknya ke dalam rumah sendirian? Satoru memegangi kedua pipi Utahime, setengah mencubitnya untuk memastikan bahwa pipi ini memiliki tekstur pipi yang memang dikenalinya.
“Lepaskan!” Utahime memukul lengannya. Ia mengerjap dan seolah-olah bertukar persona; antara seseorang yang panik dan seseorang yang marah. “Sori. Aku agak parno. Jadi aku langsung menarikmu ke dalam. Soalnya barusan ada berita tentang kita dan kau datang tidak sendiri.”
“Aku bareng Nanamin,” Satoru menunjuk ke balik pundaknya melalui jempolnya, “dia penggemarmu!”
“... Itu kedengarannya lebih buruk ….”
“Sumpah, dia tidak berbahaya! Dia barusan dipecat dari perusahaan keluargaku di tengah kekacauan ini, Utahime! Apa dia tidak boleh masuk?”
Utahime tampak mempertimbangkannya sebentar, kemudian mengintip melalui lubang kaca kecil di pintu. Ia masih berpikir ketika Satoru meraih gagang pintu dan mengambil alih kendali. Namun Utahime masih sempat menahannya, “Seberapa jauh dia tahu?”
“Tergantung kau bertanya, tahu soal apa?”
“Aku bahkan tidak tahu pangkal masalah kita!”
“Nah, kalau begitu, kalau kau pun tidak tahu, ayo kita bicara bertiga.” Satoru pun menarik tangan Utahime dari gagang pintu dan akhirnya membukanya. Dia menengok ke balik pintu, Kento berdiri canggung di baliknya dan melepaskan kacamatanya. “Nanamin, kau boleh masuk!”
“Tidak perlu jika Anda berdua perlu waktu—”
“Kami ingin menyelesaikan masalah, tenang saja, kami tidak akan berciuman di depanmu—”
”Gojo!” Utahime mendorong balik wajah Gojo ke belakang pintu, ia tidak sempat melihat bagaimana rasa horor menempel di ekspresi Kento yang membuat pria itu ingin menghilang dari gedung apartemen ini begitu saja. Tak lama kemudian, sang diva yang merasa bersalah pun mengintip separuh wajah dari balik pintu. “Nanami-san? Tidak apa-apa. Masuklah. Berjanjilah dulu kau tidak akan memberitahu tempat ini pada siapapun, ya?”
“Saya bersumpah, Nona.” Kento menunduk. “Mohon izin.”
“Santailah, Nanamin, kau bukannya mau masuk penjara, kok!”
“Apa kau baru saja mengatai apartemenku penjara, Gojo?”
Kento semakin canggung, tetapi di saat bersamaan juga terkejut bahwa mood Satoru bisa dengan sangat mudah berubah jika dijinakkan oleh wanita ini. Seseorang yang tadi terlihat ingin membanting meja kedai roti sekarang seperti anak anjing patuh yang mengibas-ngibaskan ekornya bahkan ketika pawangnya sedang menggerutu marah.
Utahime langsung menutup pintu begitu Kento masuk, dan menggiring mereka berdua menuju ruang tamu yang berada di tempat terpisah dengan ruang tengah yang biasanya menjadi tempat Satoru bersantai setiap kali berkunjung. Ia mengomel bahkan sebelum duduk di sofa, “Kau mati suri, ya? Pesanku dari tadi malam tidak kau baca!”
“Sori. Ketiduran, ponselku nyasar ke bawah kasur. Ternyata itu adalah pertanda buruk.” Dia memandang Utahime langsung ke matanya dan sontak membuat gadis itu meluluh di tengah kepanikannya, bahunya melemas dan ia pun meringis takut. “Pamanmu, Utahime. Apa yang dikatakannya?”
“Dia membenci keluarga Gojo.”
“Kurasa aku tidak terkejut.”
“Dan bertanya mengapa aku mau berhubungan dengan orang sepertimu, orang dari keluarga yang berhasil mereka kalahkan.”
“Oh, kurasa sekarang dia orang paling menjengkelkan nomor dua di dunia,” matanya bergerak liar, “nomor satunya adalah kedua pamanku.”
Utahime tampak tidak peduli pada hal itu. “Kelihatannya dia berhasil mengalahkan keluargamu dalam persaingan bisnis?”
“Hal itulah yang membuatku hampir membanting meja di toko roti barusan.”
“Kuharap kau tidak segila itu.”
“Aku beruntung aku punya Nanamin.”
Kento merasakan kehadiran malaikat kematian ketika tatapan Utahime beralih ke arahnya dengan alis merendah dan kening berkerut. Satoru buru-buru mendeham, “Sori, sori. Maksudnya, tentu saja, aku punya kamu. Tapi kalau tidak ada Nanamin di sana, mungkin aku sudah membuat skandal baru yang jadi masalah ketiga hari ini.”
“Apa masalah pertamamu?”
Satoru menghela napas panjang. “Ceritakan, Nanamin. Singkat saja, langsung kesimpulannya.”
Utahime langsung memotong sebelum Kento sempat buka suara, “Aku tidak bodoh, ceritakan saja dari awal.”
“Bukan begitu maksudnya! Aku cuma muak dengan masalah itu sampai aku pun malas mendengarnya lagi!”
“Itu namanya kau lari dari masalah, Gojo!”
“Bukannya memang begitu dari awal? Kita selalu berlari dari masalah sejak kita kecil dan kita hanya mengulanginya lagi saja!”
”Gojo Satoru,” nada bicara Utahime mendingin dan membuat atmosfer ruangan berubah. Bahkan Satoru yang barusan berapi-api dengan emosi yang campur-aduk sekarang diam seribu bahasa, hanya melirik Kento entah dengan maksud meminta pertolongan atau berharap penuh pria itu bisa lebih bijak darinya.
Kento pun memulai dengan waspada, penuh kehati-hatian. “Seperti yang Anda tahu, Iori-san, ada kerja sama antara offshore company milik keluarga Gojo dalam hal pendampingan hukum atas tuntutan karena perusakan lingkungan dan kesejahteraan pekerja dengan firma hukum keluarga Anda. Perusahaan Gojo mempercayakan kemenangan hukum pada keluarga Iori agar mereka tidak perlu mengganti rugi.
Pengacara dari pihak Anda menyarankan untuk mengajukan perkara tersebut ke pemerintah pusat saja karena perhitungan untung-rugi yang lebih kecil. Akan tetapi, keluarga Gojo mensinyalir bahwa tim pengacara sesungguhnya sudah tahu konsekuensi dari peraturan yang baru dari pemerintah pusat dan tidak memberikan pendampingan hukum yang semestinya, sehingga pihak keluarga Gojo kalah dan harus menanggung rugi berkali-kali lipat, mulai dari biaya perkara sampai penggantian alat reservoir limbah yang baru karena tidak sesuai dengan peraturan.”
Utahime diam selama beberapa saat, dan hanya bisa mengangguk lemah setelahnya. “Kedengaran dejavu, Nanami-san. Aku pernah memiliki masalah dengan mereka dan aku tidak terkejut dengan cara mereka.”
“Tuan Gojo Satoru adalah orang pertama yang mengajukan nama firma hukum keluarga Anda, kebetulan kontrak mereka dengan pendamping hukum yang lama pun telah habis. Namun sekarang, Tuan Gojo Satoru disalahkan karena sarannya. Saya, sebagai salah satu analis yang menyetujui ide tersebut juga harus menanggung akibatnya dengan diharuskan menulis surat pengunduran diri.”
“… Itu kejam sekali, Gojo, kau tidak melakukan sesuatu?!”
“Aku menyesal aku tidak menjungkirbalikkan meja di ruangan pamanku.”
“Bukan itu maksudku!”
“Utahime, mereka mengkambinghitamkan aku hanya karena masalah itu! Seandainya sedari awal mereka tidak bermaksud mencurangi organisasi dan serikat pekerja, mereka tidak akan menanggung hal konyol semacam ini!”
“Saya rasa semua ini adalah bagian dari persaingan bisnis,” ucapan Kento bisa menghentikan perdebatan itu untuk sementara. “Keluarga Gojo tidak ingin pesaing potensial di kelas offshore company di area sana, salah satunya adalah milik keluarga Iori, mengambil tempat mereka. Mereka berusaha menutup mulut penuntut dengan melakukan apapun, untuk menunjukkan kekuatan. Jika mereka berkompromi dengan tuntutan, itu berkaitan dengan harga diri. Sama saja dengan merendah. Mereka tidak menginginkan itu.”
“Ego keluarga besar,” Satoru mengangkat bahu. “Apalagi yang kau harapkan?”
“Saya mendengar bahwa satu orang yang membiarkan keputusan itu lolos di tingkat direksi adalah ayah Anda, Tuan Gojo.”
Satoru menoleh dengan cepat ke arah Kento. “Tapi kenapa?”
“Saya tidak tahu apa keinginan beliau sebenarnya, tetapi saya mencoba melihatnya dari sudut pandang saya yang telah bekerja dengan keluarga Anda selama bertahun-tahun.” Dia menggenggam tangannya sendiri erat-erat. “Dia ingin Anda turut andil dalam sebuah keputusan besar di bisnis keluarga. Dan mengajari Anda tanggung jawab.”
“Hanya untuk membiarkan adik-adiknya membuatku jadi kambing hitam?!”
Kento menggeleng. “Kerugian di tempat itu adalah satu hal. Mungkin beliau akan melakukan hal lain untuk menutupinya. Beliau bisa saja menutup pabriknya dan membuka yang baru di tempat yang lebih potensial dan dengan peraturan yang lebih longgar. Itu hanya satu anak perusahaan dari sekian banyak. Sejak awal mungkin ini bukan tentang perusahaannya, atau persaingan dengan keluarga Iori, Tuan Gojo.”
Satoru menahan napasnya. Kento lebih tegas daripada seorang hakim dan tiba-tiba saja dia terlihat menakutkan.
“Ini adalah tentang memberi pelajaran pada putranya yang tidak pernah ingin terlibat pada hal yang dibangun bersama oleh keluarga.”
Langit-langit yang berwarna putih bisa menjadi kanvas yang sempurna untuk berangan-angan. Satoru melukis imajinasi dengan cepat di sana; dia yang pergi menjauh dari keluarga dengan menerima tawaran untuk iklan pertamanya lewat teman ibunya saat dia masih kecil. Merengek sampai membanting pintu jika orangtuanya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal tersebut.
Kemudian tawaran berikutnya, berikutnya, dan berikutnya lagi. Satoru ketagihan, ditambah dengan seorang agen yang dengan murah hati bersedia menawarkan banyak peran figuran untuk serial dan iklan untuknya. Satoru melompat dari satu peran ke peran yang lain, sampai orangtuanya tidak bisa mencegahnya karena agennya punya kekuatan legal untuk mengontraknya, ditambah kemarahan masa remajanya yang bisa membuat mereka kehilangan sosok anak mereka jika mereka tidak menurutinya.
Lukisan tersebut, sayangnya, adalah kenyataan. Kilasan balik yang diperlihatkan memorinya untuk mengingatkannya betapa jauh dia telah menuruti kemauannya sendiri dan membelok terlalu jauh dari jalur keluarganya. Semuanya buyar ketika dia menghela napas panjang, dan memberanikan diri.
“Jika ini adalah cara untuk membuatku terjun ke dunia yang Papa buat,” Satoru menggeleng, “aku tidak akan bisa.” Dia mencoba menggiring emosinya ke katup yang tepat, tetapi tidak tahu cara mengekspresikannya dengan benar. Apakah dia marah? Apakah dia kesal? Seluruh emosinya bercampur sampai akhirnya terlihat bingung, tersesat. “Terlalu banyak melibatkan orang lain hanya untuk memberiku sebuah pelajaran.”
Sang ayah cuma diam, bergeming di kursinya seperti patung. Dia menatap Satoru dan betapa Satoru benci bahwa sorot mata itu mengingatkannya pada cermin. Dia menggeleng. “Ternyata aku salah ketika aku berpikir bahwa dengan memberimu tanggung jawab, lalu melihatmu menyadari kesalahanmu, akan membuatmu benar-benar terjun pada apa yang telah diwariskan untuk darahmu.”
“Berhenti membawa-bawa kata warisan ketika yang Papa lakukan adalah menghancurkan banyak jalan untuk orang lain.”
“Ada pepatah dalam bahasa Inggris,” ayahnya menyandarkan punggung pada kursi, tidak melepaskan tatapan intimidasinya pada Satoru, “it takes a village to raise a kid.”
“Ini bukan hanya satu desa! Berapa banyak orang yang kepentingannya dikorbankan hanya karena kau ingin mendidik anakmu?”
Pria itu menggeleng. “Ini adalah bisnis yang dibangun oleh keluarga. Semua ini dibangun bersama. Kau harus tahu dan melibatkan dirimu.”
“Kalau begitu aku ingin membangun bisnis yang dimulai dari keluargaku sendiri,” Satoru menunjuk dirinya, “jika kau ingin mendidik seorang anak untuk bekerja sama dan membuat keputusan, maka biarkan dia melakukannya sendiri!”
Keheningan yang mengisi ruangan terasa mencekik. Ayah Satoru menariknya semakin erat di leher Satoru, “Katakan itu sekali lagi dan aku akan mencoret namamu dari daftar dewan direksi dan melepaskan hakmu dari perusahaan.”
“Lakukan saja itu sekarang, aku sudah muak! Kau tidak bisa lagi mengorbankan orang lain hanya karena ingin melihat anakmu seperti keinginanmu. Dia hanya akan berlari lagi dan lagi!” Satoru terengah-engah, emosinya ingin meledak tetapi dia masih belum bisa menyeberangi tembok yang tak terlihat itu. “Kalau kau ingin melihatku bekerja untuk keluarga Gojo, bukan ini cara yang harus kau tempuh. Jika prinsip keluarga Gojo adalah keberanian dan kerja keras, maka aku akan melakukannya dengan caraku sendiri.”
Satoru menutup pintu tanpa penyesalan.
Chapter Text
09. we’re out here and we’re ready
Rasanya seperti keluar pada dunia dalam keadaan telanjang.
Dengan hubungannya yang telah diketahui dunia, dan dirinya telah dicoret dari daftar penerima hak keluarga (dan mungkin juga warisan—siapa yang tahu? Kecuali ayahnya punya kehendak berbeda di ranjang kematiannya kelak), Satoru merasa seperti seseorang yang asing dalam dunianya sendiri. Masa depan menjadi lebih sedikit buram, tetapi bukan berarti dia kehilangan seluruh bagian hidupnya.
Malah, sekarang dia punya kontrol penuh.
Bukankah ini yang kau harapkan, Satoru?
Dia mendengar desis lembut dari pan yang berada di atas api kecil, dan suara grasak-grusuk dari Utahime yang terburu-buru mengambil sendok untuk mencicipi kuah karenya. Dia tersadar dari lamunannya, dan sesaat mengira bahwa dia telah tiba pada masa pensiunnya.
Sadar, bodoh. Bahkan kau baru memulai segalanya.
Satoru tertawa kecil ketika Utahime mendesis karena kuahnya terlalu panas.
“Kau menertawakanku, aku tahu.”
Satoru tidak bisa menahan cengirannya yang seperti orang linglung. “Ini Utahime yang kutemui malam itu, yang menggodaku dan mengatakan bahwa dia akan mengontrakku untuk video klipnya?” Dia mengamati seorang perempuan yang sedang berusaha untuk membuat rasa kare yang pas, yang menolak untuk dibantu dengan alasan, kau tidak tahu caranya menambahkan bumbu dengan takaran yang pas!
“Berhenti mengingatkanku soal malam itu.”
“Kenapa, kau malu?” Satoru terbahak lagi.
Utahime pun mematikan kompornya setelah merasa bahwa karenya sudah sesuai harapannya. Butuh beberapa lama sebelum ia menoleh dan menatap Satoru seperti seorang anak kecil yang merengek setelah dipermalukan. “Aku hanya berusaha menyeimbangkan kelas, tahu. Aku berhadapan dengan seorang aktor besar di acara keluarganya yang penuh gengsi? Aku tentu saja harus memakai salah satu persona dari HIME, Gojo.”
Satoru menopangkan kepalanya pada telapak tangannya. “Sudah kubilang, berhenti memanggilku dengan nama itu, Nona.”
“Sepertinya kau harus mengingatkanku tiga kali sehari.” Utahime pun membawa kuah kare tersebut ke meja, menuangkannya ke dua piring nasi yang telah disiapkan Satoru. “Kau sudah bilang pada manajemenmu?”
“Seharusnya beritanya turun hari ini.” Satoru pun mengecek ponselnya, seketika kehilangan minat ketika melihat begitu banyak pemberitahuan pesan masuk dari petinggi agensi, tim dari iklan, kru film yang sedang mengadakan deal dengannya. Keningnya berkerut, aroma kare sudah menggoda tapi pekerjaannya menanti di hari libur yang indah ini.
Namun kalimatnya sendiri menghantuinya, jika prinsip keluarga Gojo adalah keberanian dan kerja keras, maka aku akan melakukannya dengan caraku sendiri. Dia sendirian, tidak lagi membawa nama Gojo pada karirnya, mengganti nama panggung dengan dalih bahwa dia ingin sesuatu yang baru pada musim ini, dan jika dia melakukan pekerjaan dengan sembarangan setelah ini, maka dirinya pada hari itu akan menghajar dirinya yang saat ini habis-habisan. Dia pun menyeleksi pesan-pesan tersebut sesuai prioritasnya.
Dia tiba pada pesan dari agensinya,
Satoru tersenyum, lantas minta izin pada Utahime dengan isyarat mata, bahwa dia ingin menelepon seseorang sebelum makan. Utahime memberinya izin dengan anggukan.
“Halo. Ya, ini aku. Cuma permintaan sederhana. Hmmm. Ya … seperti yang kalian tahu, aku harus berbagi manajer dengan para junior, kan? Aku sedikit kerepotan, apalagi setelah ini aku ingin menerima peran baru di serial yang rencananya tayang di saluran streaming di musim gugur yang akan datang … benar. Aku butuh manajer untukku sendiri, dan aku punya rekomendasi. Seseorang yang kupercaya.” Dia mengerling ke arah Utahime yang menyimak tenang, sembari meniup-niup nasi kare di depan mulutnya. “Dia berpengalaman dalam banyak hal terutama mengatur jadwal dan menganalisis prioritas pekerjaan. Benar. Namanya Nanami Kento.”
Utahime menyerahkan kembali tablet pada Satoru yang terkantuk-kantuk di pangkuannya. “Jadi ceritanya, seluruhnya, benar-benar bergenre horor, thriller. Kau yakin kau akan mengambil peran itu? Berapa banyak peran horor yang pernah kau ambil sebelumnya?”
“Aku cuma pernah jadi figuran satu kali. Itu pun saat usiaku delapan belas.”
“Lalu bagaimana saat kau harus jadi pemeran utama begini?”
Satoru tersenyum polos, membuka salah satu matanya saja dan mendapati Utahime membungkuk dan menatap matanya seperti pengintai yang menakutkan. “Ya jalani saja.”
“Itu tidak bertanggung jawab namanya, Satoru.”
Satoru pun membuka matanya sepenuhnya. “Oke, karena kau membawa kata tanggung jawab, aku jadi dihantui oleh diriku sendiri di masa lalu.”
“Setidaknya kau harus mengambil kelas akting untuk mendalami peran ini.” Utahime menotol dadanya. “Aku tidak akan terima alasan, aktor besar sepertiku masa harus ikut kelas akting lagi? Tidak pernah ada yang namanya berhenti belajar meski kau sudah membintangi seribu judul.”
“Iya, iya, Nona.” Satoru pun duduk, tabletnya nyaris melorot ke lantai dari perutnya. “Aku tidak bilang begitu, ya. Itu cuma ada di kepalamu.” Dia pun mengambil ponselnya. “Aku akan cari kontaknya.”
“Baguslah.”
“Lewat Nanamin,” Satoru nyengir lebar, dan setelah mengetikkan pesan singkat, nanamin, aku butuh kelas akting untuk peran psikopat, cari segera, dia pun kembali ke bantalnya yang paling nyaman: pangkuan Utahime. Dengan santainya dia menyilangkan tangannya di balik kepalanya, membuat Utahime pura-pura mendengus kesal. Dia tersenyum, memejamkan mata, memikirkan bahwa memunguti hidupnya keping demi keping dan menyusunnya sendiri terasa menyenangkan jika dia melakukannya dengan hati-hati.
Dan tentu saja, tidak sendiri.
“Bisa menyingkir, tidak? Aku harus menyelesaikan bagian penutup laguku.” Utahime mengangkat gitarnya, siap menyingkirkan Satoru dengan cara brutal jika pria itu masih berakting seperti anak manja.
“Lima menit lagi!” Satoru menawar.
“Boleh saja, tapi kau jadi alas dari gitarku.”
“Dih, iya, iya!” Satoru pun bangun dengan paksa. Dia duduk bersandar pada sofa, kepala mendongak sambil menggerutu tak jelas. Dia baru berhenti menggumam bahwa dia butuh tidur yang nyenyak ketika pesan dengan prioritas tertinggi masuk: dari Kento, tentu saja.
Satoru menjawabnya dengan mengirimkan pesan suara, “Aku ambil, catat namaku. Thanks, Nanamin!”
Utahime mengerling. Perlahan, ia tersenyum ketika Satoru tertawa padanya. “Aku akan jadi murid lagi. Sepertinya seru.”
Utahime mengangkat bahu, lantas menyetel kunci gitarnya sambil main-main. “Jika itu prinsip yang diwariskan keluargamu, seharusnya kau lebih pantas memakai nama itu dibandingkan mereka.” Ia menatap Satoru, senyum teduhnya membuat pria itu lagi-lagi ingin menyingkirkan gitarnya dari pangkuannya. “Kau malah menanggalkan nama itu dari nama panggungmu.”
Satoru membalas senyuman yang serupa. “Ini caraku untuk memulai hidupku lagi.”
Notes:
a/n: menamatkan cerita gjhm lain lagi di tahun ini, kayaknya ini prestasi buatku wkwkwkwkwk okehhhh, terima kasih banyak telah bersamaku di proyek ini!


kirisakichans on Chapter 1 Fri 03 May 2024 04:19PM UTC
Comment Actions
kirisakichans on Chapter 2 Mon 13 May 2024 10:13AM UTC
Comment Actions
kirisakichans on Chapter 4 Sat 01 Jun 2024 03:40PM UTC
Comment Actions
creamykim on Chapter 4 Fri 07 Jun 2024 02:01AM UTC
Comment Actions
goatjosatoru on Chapter 4 Sat 08 Jun 2024 09:30PM UTC
Comment Actions
goatjosatoru on Chapter 6 Fri 21 Jun 2024 08:04PM UTC
Comment Actions
kirisakichans on Chapter 6 Sat 22 Jun 2024 07:33PM UTC
Comment Actions