Actions

Work Header

In The Land of Gods and Monsters, I was an Angel

Summary:

Hanya dendam yang membuat Hongjoong tetap hidup dan mati.

Work Text:

Harmoni dari alat musik yang menghibur terdengar menggema ke seluruh penjuru istana.

Setiap pelayan baik wanita maupun pria masing-masing terlihat memegang sebuah meja kecil yang berisi banyak jamuan. Mereka semua berjalan serempak, namun juga cepat, seperti sedang dikejar oleh suatu makhluk tak kasat mata.

Kaki dan tubuh para pelayan itu sudah sangat mengenal arah dan jalanan di dalam istana sehingga mereka tidak akan tersesat walaupun kepalanya tertunduk dalam.

Jamuan yang dibawa dengan penuh kehati-hatian di tangan kasar mereka itu terlihat sangat lezat dan mahal, setidaknya untuk para rakyat kecil yang menjalani kehidupan sulit di luar tembok istana. Rasanya sangat ironis, mengingat harga dari makanan dan minuman yang sangat mahal itu dapat membiayai dan meningkatkan taraf hidup rakyat di seluruh penjuru negeri.

Para pejabat dan petinggi pemerintahan hanya bisa tertawa puas ketika jamuan-jamuan itu diletakkan di hadapan mereka. Bagi para bangsawan dan seseorang yang lahir dari keluarga berada seperti mereka, jamuan ini adalah makanan sehari-hari yang sudah biasa mereka masukkan ke dalam kerongkongan. Bahkan beberapa orang diam-diam mencibir, merasa sudah bosan dengan apa yang diberikan, tetapi tetap tersenyum dan berterima kasih banyak karena itu semua adalah jamuan dari sang raja.

Para pelayan tetap berlalu lalang di antara halaman besar istana, tempat diadakannya perjamuan besar raja. Sang raja tidak akan mentolerir jika ada tamu yang tidak dilayani dengan baik. Pelayan-pelayan yang sebagian besar berasal dari keluarga rendahan itu hanya bisa mematuhi perintah. Jika tidak, nyawa dan seluruh keturunan-lah taruhannya.

Di tengah-tengah halaman istana, sebuah panggung yang indah sudah disiapkan oleh para pelayan atas perintah langsung dari raja. Panggung berbentuk lingkaran dengan hiasan kain berwarna-warni dan bunga indah itu masih kosong sebelum seorang pria datang dan berdiri tepat di tengahnya seorang diri.

Pria itu mengenakan pakaian juga selendang panjang yang indah dari sutra berkualitas tinggi, berwarna-warni dan akan terlihat sangat menakjubkan ketika ia menggerakkan tubuh kecilnya. Rambut hitam panjangnya terurai dengan indah, memantulkan sinar dari bulan yang terang benderang di atas sana.

Para pemusik yang duduk tidak jauh dari panggung itu memulai permainan baru, seolah-olah telah melihat tanda dari pria yang menutupi bagian bawah wajahnya dengan kain berbordir bunga dafodil itu.

Tabuhan dan petikan alat musik dengan irama berbeda mulai terdengar di telinga semua orang yang menghadiri perjamuan.

Pria yang ada di atas panggung itu mulai menggerakkan tubuh indahnya. Dimulai dengan tarian tangan yang lemah gemulai, membuatnya terlihat seperti boneka yang digerakkan oleh seseorang dengan tali.

Musik indah terus terdengar dan tubuhnya kian meliuk-liuk dengan apik, membuat setiap orang yang berada di sana terpana.

Tak terkecuali sang raja.

Pria nomor satu di negeri itu duduk di atas tahta emasnya, dengan meja panjang yang dipenuhi makanan serta minuman berharga yang sulit didapatkan. Wajahnya tampak dingin tetapi mata tajamnya terus memperhatikan tubuh lentik pria yang sedang menari di atas panggung.

Tentu saja, panggung yang diletakkan tepat di tengah-tengah tempat acara itu memang diperuntukkan untuk menghibur para tamu undangan yang duduk berderet di sekitarnya. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa sebenarnya panggung itu disediakan untuk tetap menjaga kesenangan dan suasana hati sang raja.

Pria yang duduk dengan angkuh di atas tempat duduk terpenting itu memang diketahui mempunyai tabiat buruk yang terkadang tidak manusiawi. Ia dikenal sebagai seorang yang kejam dan berdarah dingin karena tidak pandang bulu dalam menghilangkan nyawa setiap orang yang menghalangi jalannya. Semua lawan yang pernah menghadapinya di medan perang tidak akan selamat; seluruhnya akan habis tak bersisa.

Sang raja yang baru saja naik tahta beberapa tahun yang lalu itu seringkali dikecam oleh para rakyat yang tidak menyukai fakta bahwa ia menggunakan cara yang keji untuk mendapatkan yang diinginkan. Tentu saja semua orang yang mengecamnya akan berakhir di pedang algojo atau tergantung pada tali yang terikat kencang di tembok luar istana.

Ia tidak akan segan-segan menghabisi rakyat yang menurutnya tidak berhak berada dalam asuhannya itu dan sepertinya cara tersebut berhasil karena sejak hukuman mati yang tak adil itu diberlakukan, tidak ada lagi yang berani membuka mulut dan menghakimi sang raja tiran.

Semua orang akan bersujud sambil meletakkan dahi di atas tanah tanpa memikirkan apapun selain kemauan untuk tunduk dan patuh setiap kali sang raja memberikan perintah atau melakukan sesuatu yang tidak masuk di akal.

Penari pria itu tiada hentinya bergerak, mengikuti alunan musik yang dapat membuai indera pendengaran setiap orang. Pakaian indahnya bergerak mengikuti setiap gerakannya dan rambutnya melambai-lambai, seperti menyatu dengan kain yang melekat pada tubuh kecilnya.

Pria itu terus menari dan pada satu titik, ia berputar pelan selama beberapa kali lalu jatuh berlutut dengan anggun; seolah-olah lututnya terbuat dari kaca rapuh yang tidak boleh tersentuh apapun.

Tangan kecil nan rampingnya ia rentangkan ke samping dan membuat lengan pakaiannya terbentang, seperti membentuk sepasang sayap untuknya. Kedua tangannya lalu diayunkan dan dilipatnya ke depan, pelan-pelan bersujud dalam kepada sang raja yang duduk tidak jauh tepat di hadapannya.

Alat musik berhenti dimainkan. Semua orang yang melihat aksinya turut memutar tubuh mengarah kepada sang raja dan bersujud, mengikuti gerakan sang penari yang mengajak mereka semua untuk memberikan penghormatan tinggi kepada sang raja.

Tidak ada perubahan dari wajah dingin sang raja, mata hitam kelamnya tetap melihat ke depan. Tiba-tiba ia bergerak memajukan tubuhnya, pakaian kebesarannya yang dibuat dengan kain terbaik yang sulit ditemukan di seluruh negeri dengan bordir naga emas yang tampak menakjubkan nan megah bergerak mengikuti tubuhnya.

Ia mengambil sebuah gelas kecil yang mewah dan mengarahkannya ke hadapan seorang pelayan paruh baya yang sedari awal setia berdiri di sampingnya.

Pelayan itu beringsut maju, memotong jaraknya dengan sang raja sambil membawa sebuah teko yang tidak kalah mewah. Ia menuang isi dari teko itu ke dalam gelas kecil yang dipegang sang raja, sedikit bergetar karena takut melakukan kesalahan. Setelah gelas kecil itu penuh, sang raja berdiri dari duduknya, membuat semua orang semakin bersujud dalam.

Sang raja berjalan menuruni tangga kecil yang menghalangi tahtanya dengan tempat jamuan tamu. Rambut hitamnya yang dipangkas rapi tampak tidak terganggu karena langkahnya yang ringan sekaligus tegas. Pakaian panjang mewahnya terseret di atas tanah, mengikuti layaknya bayangan yang tidak akan hilang.

Ia akhirnya berhenti di depan panggung, di mana sang penari masih setia bersujud. Ia mengulurkan tangan yang memegang gelas kecil ke arah pria bertubuh kecil itu.

Semua orang menahan napasnya dan membuang muka ke arah lain, tidak memiliki keberanian untuk menyaksikan kejadian di hadapan mereka.

Sang penari masih menundukkan kepalanya saat ia mengangkat kedua tangan mungilnya untuk mengambil gelas itu. Lengan pakaiannya tersingkap, menunjukkan kulit putih pucatnya yang ditimpa sinar cerah dari rembulan; membuat siapapun, termasuk raja, tidak dapat menahan diri untuk tidak memandang.

Ia tak mengangkat wajahnya untuk menatap si orang nomor satu, sebaliknya, ia dengan cepat meneguk habis isi dari gelas itu dan mengulurkannya kembali kepada sang raja.

Raja hanya menatap sang penari dengan tatapan yang tidak terbaca, lalu mengambil kembali gelas yang sudah kosong itu. Ketika ia berbalik, pakaian panjangnya yang terseret mengeluarkan bunyi yang terdengar sangat nyaring di tempat yang sunyi tanpa suara maupun gerakan itu.

Saat ia sudah kembali mendudukkan tubuhnya di atas tahta kebesaran, semua orang akhirnya kembali duduk tegak.

Sang raja kembali mengarahkan gelas kecil yang digunakan oleh sang penari tadi kepada pelayan pria yang sama. Gelas kembali terisi penuh dan raja mengangkat tangannya tinggi, menampilkan lengannya yang dipenuhi dengan bekas luka karena banyaknya pertempuran yang dipimpinnya–sekaligus menunjukkan kebesarannya.

Semua pejabat ikut mengangkat gelas mereka dengan penuh hormat sambil menundukkan kepala dalam. Ketika raja meneguk habis isi dari gelas yang sama itu, para pejabat akhirnya dapat bernapas lega dan ikut menghabiskan isi gelas mereka.

Musik kembali terdengar dan sang penari bangkit dari posisi sujudnya. Ia kembali bergerak mengikuti alunan musik yang dapat menyenangkan hati siapapun itu.

Pria itu menari seolah-olah ia hanya bisa bernapas dan tetap hidup karena tariannya. Lekukan tubuhnya berayun seperti ia tidak dapat mengendalikannya. Tangan dan kakinya terangkat dengan ringan dan anggun.

Bagian hidung hingga lehernya memang tertutupi sebuah kain, sehingga hanya sepasang matanya yang tampak oleh semua orang di sana. Namun, hanya dengan sepasang mata besar cemerlang dengan bulu mata yang lentik itu saja sudah cukup baginya untuk menghipnotis orang-orang agar tidak berpaling darinya.

Sesekali pakaian indahnya akan sedikit tersingkap karena tariannya, menyebabkan napas para pejabat yang terdiri dari pria yang sudah berusia uzur itu tercekat lalu mengalihkan pandangan, berusaha mengendalikan diri.

Mereka tidak akan menunjukkan nafsu tidak beradab seperti itu di ruang umum, apalagi di depan sang raja yang sangat dihormati (walaupun beberapa dari mereka akan terus menatap dengan tidak tahu malunya).

Sang penari tiba-tiba terdiam.

Dengan pelan ia berjalan menuju tepi panggung lalu meraih sesuatu yang tersembunyi. Sebuah pedang panjang yang masih bersarung sudah berada dalam genggamannya ketika ia kembali ke tengah panggung dengan punggung yang menghadap tahta.

Tidak menunggu waktu yang lama untuknya kembali menari mengikuti irama, dengan pedang bersarung yang masih setia berada dalam genggaman, serta punggung kecil yang masih membelakangi sang pria tirani.

Ia melepaskan sarung dari pedang itu dalam satu gerakan yang mulus, seakan sudah sering melakukannya. Ia lalu membuang sarung pedang ke luar panggung.

Matanya mengikuti pantulannya yang terlihat jelas pada mata pedang yang berkilap hingga berakhir di ujungnya yang sangat tajam.

Ia memegang gagang pedang itu dengan mantap kemudian mengarahkannya ke atas, menuju langit malam cerah yang disinari bulan besar dan dipenuhi bintang yang berserakan, seolah-olah menantang siapapun yang berada di atas sana.

Si penari kemudian memutar tangannya hingga bilah pedang dapat membuatnya melihat pria yang duduk dengan angkuh di belakangnya.

Sekarang, baik kedua matanya maupun mata pedang itu merefleksikan satu hal yang sama.

Sang raja.

 

"Pangeran Hongjoong, Anda harus segera pergi dari sini!" Ibunya berteriak sambil mendorongnya. Suara dan tatapan matanya penuh dengan rasa horor yang dapat membuat siapapun ikut bergetar ketakutan, dan hal itulah yang dirasakan oleh Hongjoong ketika melihat ibunya juga keadaan di sekitarnya.

Istana yang indah, tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan, sudah dilahap oleh api besar yang membara.

Semua orang berlari tidak tentu arah, dengan para tentara asing yang mengejar di belakang. Para penjaga istana yang Hongjoong kenal baik sejak kecil ditusuk dengan kejam di depan matanya sendiri, begitu pula dengan pelayan-pelayan yang selalu menemaninya setiap waktu.

Teriakan dan tangisan kesakitan yang bergema tiada henti merasuki telinga Hongjoong hingga ia tidak bisa mendengar apapun yang ibunya katakan.

"... Joong– HONGJOONG!"

Sang ibu mencengkram kedua sisi wajah Hongjoong untuk memaksanya melihat ke arahnya. "SADARKAN DIRIMU!" Ibunya menyeka pipi basah Hongjoong, kontras dengan kontak kuat yang baru ia rasakan tadi. "Kau dengar Ibu?! Pergi dari sini!"

Hongjoong menggeleng, ia tidak bisa meninggalkan semua orang yang sangat berharga baginya. Sang ratu terus mendorongnya.

"Sadarkan dirimu, Pangeran!" Wanita yang sangat dihormati Hongjoong itu berteriak putus asa. Ia menggenggam erat kedua lengan atas putra kesayangannya itu dan menggoncang tubuh kecilnya, berusaha menyadarkannya dari semua hal yang mengisi pikirannya.

"Lari dari sini! Kau harus tetap hidup! Demi ibu dan ayahmu, kau harus tetap hidup! Jika kau tertangkap, ia tidak akan membiarkanmu hidup Hongjoong!"

Laki-laki itu tersadar. Ia memfokuskan pandangan kepada sang ibu. Wanita cantik itu sangat berantakan sekarang, pakaiannya compang camping dan rambut hitamnya yang selalu tertata rapi malah terurai tidak karuan. Pipi pucatnya dibasahi oleh air mata dan membuat Hongjoong merasa kesakitan ketika melihatnya.

Ia meraih wajah sang ibu dan menghapus air mata itu. Aneh melihatnya menangis seperti ini ketika Hongjoong selalu mengingatnya tersenyum.

Ibunya kembali mendorong Hongjoong. "Pergi! Lari sekencang mungkin! Ibu akan mencari ayahmu. Jangan khawatir dan..." ia tersenyum sedih lalu menggenggam kedua tangan putranya, "Jaga dirimu, Nak. Semoga kita dapat bertemu lagi."

Dengan itu, ia mendorong Hongjoong hingga laki-laki itu menabrak seorang pria yang segera menariknya berlari menjauh.

Saat Hongjoong menoleh, sang ibu sudah tidak ada disana.

 

Si penari menurunkan tangannya lalu berbalik. Pedang di genggamannya berkilauan dengan indah karena cahaya dari lampu warna-warni yang digantung di atas halaman istana itu.

Ia berputar pelan sambil melepaskan pakaian bagian luarnya, menyisakan pakaian dalamnya yang hanya menutupi hingga bagian bawah betis tak bercelanya.

Ia kembali bergerak pelan, kaki telanjangnya melangkah hati-hati, seperti takut akan menginjak sesuatu yang salah.

Musik yang dimainkan oleh para pemusik tiba-tiba berhenti, lalu memulai kembali dengan irama yang jauh berbeda dari sebelumnya.

Daripada irama yang lembut dan pelan, kali ini mereka memainkan alat musik dengan tempo yang kuat dan cepat, membuat detak jantung setiap orang dapat meningkat hanya dengan mendengarnya.

Pria yang berada di atas panggung kembali bergerak, kali ini menari dengan pedang di sebelah tangannya.

Dengan lihainya ia memutar dan memainkan benda panjang yang tajam itu, seperti melawan musuh dalam medan perang. Ia berhenti lalu menatap sang raja yang tidak melepaskan pandangan tajamnya sedari awal.

 

"Pangeran Hongjoong!" Pria yang tadi membawanya pergi itu sekarang sedang melawan beberapa prajurit berbaju zirah yang mengepung mereka. "Anda harus lari! Jangan melihat ke belakang dan terus berlari! Apa Anda mengerti?!" Ucapnya kepada Hongjoong yang ia lindungi di belakang punggung lebarnya.

Hongjoong menggeleng. Ia muak dan menolak untuk kembali meninggalkan orang yang berharga baginya. Ia sudah menutup mata akan semuanya dan sekarang ia kembali disuruh untuk meninggalkan pria yang selalu menemaninya? Hongjoong tidak bisa dan tidak akan pernah melakukannya.

"Pergilah! Cepat!" Pria itu maju dan menghalau serangan dari para prajurit itu.

Hongjoong melihat sebuah pedang penuh darah yang tergeletak tidak jauh dari kakinya, ia mengambil lalu mengacungkannya ke arah musuh.

Napas pria yang melindunginya tadi tercekat. "Apa yang Anda lakukan? Lari!" Ia mengayunkan pedang ke depan, menusuk seorang prajurit yang langsung roboh.

Hongjoong melihat prajurit lain yang ingin menyerang sang pelindung, dengan cepat ia menghadangnya. "Tidak, Yunho! Aku tidak akan lari lagi!" Hongjoong mengarahkan pedang beratnya ke arah leher orang yang ditahannya tadi, membuat tubuh itu langsung jatuh tersungkur ke tanah hutan yang keras.

Pria itu–Yunho–berbalik dan menyatukan punggung keduanya yang tampak sangat kontras. Mereka membelakangi satu sama lain, berusaha bersama-sama untuk menjaga dan mendukung satu dengan yang lainnya agar nyawa keduanya dapat terselamatkan.

"Anda yakin?" Yunho mengatur pernapasannya.

"Tentu saja," Hongjoong semakin mendekatkan punggung sempitnya ke arah Yunho. Para musuh membentuk sebuah lingkaran acak sambil terus mengacungkan senjata, berusaha mengepung keduanya.

Hongjoong juga Yunho hanya bisa terus memasang kuda-kuda dan waspada akan pergerakan tiba-tiba dari beberapa orang yang mengelilingi keduanya saat ini.

Spontan, seorang dari pihak musuh maju, diikuti oleh sisanya. Sebuah medan pertempuran terjadi di tengah-tengah hutan yang berada tidak jauh dari posisi istana itu.

Hongjoong terus mengayunkan pedang, pikirannya berkonsentrasi untuk mengingat seluruh gerakan dari latihan bela diri yang sudah dipelajarinya sejak usia muda sedangkan Yunho berusaha menghabisi semuanya dengan tetap melindungi sang pangeran.

Ia selalu menoleh ke belakang, memeriksa keadaan pangeran muda yang tidak memiliki cukup pengalaman dalam bertempur itu dan mungkin karena ini juga ia kehilangan fokus sebab hal berikutnya yang Hongjoong dengar adalah erangan kesakitan dari Yunho yang terjatuh ke tanah.

Hongjoong dengan cepat menghampiri dan pemandangan yang dilihatnya akan selalu menjadi mimpi buruk untuknya.

Yunho terbaring dengan napas berat dan dahi yang dipenuhi peluh. Saat Hongjoong mengikuti kemana tangan besar Yunho berada, ia baru tersadar dengan apa yang terjadi.

Sebuah anak panah menancap dengan kokoh, tepat di dada kirinya, seolah-olah jantungnya sudah dirancang sebagai titik pusat tujuan sejak awal. Darah segar mengucur keluar dari sana, membuat genangan di bawah tubuh besar itu.

Hongjoong tahu hal pertama yang harus dilakukan ketika mendapatkan luka adalah menahan darahnya agar tidak terus keluar. Jadi, dengan tangan kecilnya yang bergetar hebat, ia berusaha menutupi bagian tubuh di sekitar anak panah itu menancap.

Memang sia-sia, tetapi Hongjoong dengan pikiran yang panik juga penuh ketakutan tidak bisa memikirkan hal lain.

Mulutnya terus meracau tidak karuan.

Tidak , hiduplah , Yunho , berhenti , jangan , kumohon , tolong .

Hanya kata-kata acak itu yang bisa dikeluarkan oleh bibir pucatnya. Ia tidak sanggup merangkai kalimat yang benar; hanya berharap siapapun yang mendengarnya dapat mengerti apa yang dimaksudnya.

Yunho hampir tidak sadarkan diri ketika Hongjoong menangis hebat.

Mulut pria yang lebih tua itu bergerak, berusaha mengatakan sesuatu dengan tenaga yang tersisa. Namun, Hongjoong tidak bisa mendengarkan apapun. Telinganya berdengung dan kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah tubuhnya menolak menerima kenyataan apapun yang terjadi di hadapannya saat ini.

Yunho susah payah menggapai wajah sang pangeran dengan sisa tenaganya. Tangan penuh darahnya berhasil menyentuh pipi basah Hongjoong dan tepat ketika itu terjadi, Hongjoong akhirnya dapat mendengar apa yang Yunho berusaha katakan.

"Aku ... mencintaimu."

 

Sang penari tersenyum pahit di bawah kain penutup mulutnya. Ia mengangkat sebelah tangannya. Pedang itu sebentar lagi akan teracung sempurna menuju sang raja.

Sebentar. Sebentar lagi, Yunho.

Seorang pria tiba-tiba naik ke atas panggung lalu menggenggam erat tangan si penari.

Sama seperti dirinya, pria asing itu memakai penutup di bagian bawah wajahnya untuk menutupi hidung hingga dagunya.

Pakaiannya adalah baju penari khusus pria yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan milik sang penari bertubuh kecil. Bedanya hanya terletak pada model, ukuran dan warnanya yang cenderung memudar.

Model yang dipakai oleh pria asing itu adalah model biasa yang sederhana, dengan ukuran pas yang memeluk tubuh cukup besarnya. Rambut pendek berwarna hitam miliknya terlihat sedikit berantakan, seakan-akan ia tidak memiliki waktu untuk merapikannya.

Kedatangan pria asing itu membuat semua orang terkejut, tidak terkecuali sang raja yang sedikit memajukan tubuhnya.

Beberapa penjaga sudah bersiap untuk bergerak dan para pelayan telah mempersiapkan diri untuk menerima hukuman jika sekiranya pria itu adalah pengganggu yang berhasil lolos dari penjagaan.

Namun, pria asing itu segera memeluk tubuh kecil sang penari lalu ikut bergerak bersamanya, lebih tepatnya menggerakkan tubuh si penari.

Mereka menari mengikuti irama musik. Gerakan keduanya seperti sepasang penari yang sudah lama menari bersama-sama: sangat hafal akan tubuh satu dengan yang lainnya.

Si pria yang lebih kecil awalnya tidak mengerti, ia masih berusaha mencerna semuanya dengan membiarkan tubuhnya digerakkan juga diambil alih oleh pria asing itu. Tetapi ketika mereka akhirnya memiliki waktu untuk bertatapan, ia akhirnya mengenali pria berambut hitam itu.

"Hongjoong, hentikan rencanamu." Pria asing yang masih memeluk sang penari itu berbisik dengan sangat pelan. Ia mendekatkan bibirnya yang tertutupi kain ke arah telinga Hongjoong. "Jangan bodoh. Orang tuamu tidak ingin kau berakhir seperti ini."

Bagi orang-orang yang melihat keduanya, mereka pasti terlihat seperti sepasang penari yang sedang memainkan sebuah peran tertentu di atas panggung; sebagai salah satu bagian dari permainan hiburan mereka. Namun, bagi sang penari, ini adalah ironi yang menggelitik hati.

Hongjoong tertawa kecil, ia yakin hanya pria ini yang dapat mendengarnya karena musik yang berbunyi terlalu kuat di belakang sana.

"Jangan bersikap seperti itu, Jongho." Hongjoong menarik tubuh pria itu lebih dekat. "Kau tidak tahu bagaimana rasanya ... dihancurkan begitu kuat dan dalam."

 

Hongjoong dipaksa untuk berjalan ke sebuah tenda besar yang sangat berbeda dari tenda-tenda lain di sekitarnya. Ia dilucuti dari pakaiannya dan diarak dengan ejekan, ludahan dan tawa dari prajurit yang berkumpul di sekitarnya.

Kaki kecilnya melangkah dengan penuh penolakan, kedua tangannya terikat di depan tubuhnya dan mulutnya disumpal dengan kuat oleh sebuah kain yang tebal.

Ia tidak berdaya.

Hongjoong berdiri dengan susah payah di depan pintu tenda tujuan ketika seorang penjaga menjambak rambutnya dan menyeretnya untuk masuk ke dalam, lalu mendorong tubuh penuh lukanya hingga tersungkur tepat di tengah-tengah tenda tersebut.

Hongjoong ingin menangis namun ia menahannya dengan sekuat tenaga. Dirinya tidak sudi untuk menunjukkan kelemahan, apalagi di depan musuh terbesarnya.

Raja tirani yang kejam.

Sang raja duduk di kasur empuk miliknya yang berada lebih tinggi dari lantai tenda, tempat Hongjoong berlutut sekarang.

Ia sudah mendengar semua rumor dan kabar tentang raja keji ini. Hongjoong pikir, negerinya akan tetap aman karena memilih untuk tidak berurusan dengan kerajaan yang dipimpin oleh sang raja tetapi tentu saja kenyataannya berbanding lurus.

Seorang raja yang tidak akan pernah puas setelah membunuh semua rakyatnya; ia akan mengejar dan menghabisi rakyat negeri lain sekaligus mengambil alih tanah serta harta kekayaannya.

Sang raja menganggap bahwa semua pembunuhan juga penyerangan yang dilakukannya adalah sebuah trofi sekaligus tanda kejayaan pribadi baginya–pencapaian besar yang akan terus dibanggakan untuk waktu yang lama.

Sang raja bangkit dan menghampiri Hongjoong yang menatapnya dengan nanar.

Ia bertumpu pada satu lutut, mengulurkan tangan untuk memegang dagu sang pangeran lalu mengangkat wajahnya sehingga ia dapat melihat pria yang lebih kecil itu dengan baik.

Hongjoong mengelak, berusaha melawan. Namun tidak ada efek apapun karena sang raja berhasil menahan rahangnya dengan cengkeraman yang sangat kuat. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan olehnya hanyalah membalas tatapan sang raja dengan penuh kebencian dan amarah.

Hongjoong memperhatikan wajah kaku nan dingin milik raja itu. Wajah yang sama dengan yang dilihatnya di balik pepohonan tinggi dan lebat di hutan. Wajah dari orang yang telah meluncurkan anak panah tanpa rasa belas kasihan. Wajah dari orang yang telah mengambil nyawa sang terkasih.

Sang raja tidak mengatakan apapun, ia malah menggerakkan kepala Hongjoong agar menoleh ke arah belakang.

Di sana, tepat di pojok belakang tenda, Hongjoong melihat dua orang yang paling dikasihinya.

Ayah dan ibunya, tanpa tubuh, hanya terdapat kepala yang terpotong di leher. Keduanya tertancap di tombak dengan darah yang mengalir di sepanjang kayunya itu dan dipajang di tenda; bagaikan dua buah piala yang sengaja dipamerkan.

Hongjoong menggeleng tidak percaya.

Kedua mata hitamnya dengan cepat mengabur karena terhalangi air mata yang sudah membendung. Seluruh indera di tubuhnya seperti dimatikan.

Ia tidak bisa mendengar atau merasakan apapun.

Dengan sangat pelan, ia menyeret tubuhnya yang bergetar hebat untuk menghampiri kedua orang tuanya.

Ketika akhirnya dapat melihat dengan jelas apa yang ada di hadapannya, kesadaran dan seluruh pancra indera Hongjoong seperti sudah dihidupkan kembali. Teriakan yang tertahan oleh kain memenuhi tenda itu.

Hongjoong memberontak, berusaha melepaskan ikatan pada tangannya dengan panik yang membuncah.

Satu-satunya hal yang diinginkannya sekarang adalah merangkul kedua orang tuanya, walau tanpa tubuh.

Air matanya tak hentinya jatuh, menemani teriakan dan perlawanan hebatnya yang terkesan sia-sia. Hongjoong tidak mempedulikan apapun sekarang. Ia tidak memedulikan betapa lemah dan tidak berdaya dirinya saat ini.

Hongjoong merasakan rasa sakit yang teramat sangat di kepala juga dadanya. Dunianya runtuh tak bersisa. Rasanya sebentar lagi ia akan hancur menjadi serpihan kecil yang tidak berharga.

Sang raja menghampiri dan menggenggam rambut hitam Hongjoong dengan kuat, lalu menariknya naik menuju tempat tidur miliknya.

Hongjoong terus meronta. Ia hanya ingin mati dan menemui orang tuanya sekarang.

Sang raja tidak menghiraukan teriakan dan perlawanan sia-sianya, ia terus menyeret tubuh yang jauh lebih kecil dan lemah darinya itu.

Pada satu titik, Hongjoong berhasil melepaskan diri dari jambakan yang sangat menyakitkan tersebut.

Dengan susah payah ia berdiri dan berusaha kabur; menjauh dari tempat iblis gila yang sayangnya hidup di alam manusia. Namun, sang raja lebih kuat dan tangkas darinya. Pria yang lebih tua itu berhasil meraih tubuh kecilnya, menyeretnya tanpa ampun, lalu membanting Hongjoong hingga ia tergeletak kesakitan.

Hal selanjutnya yang Hongjoong ingat adalah betapa menyedihkan dirinya.

Ia hanya bisa merasakan rasa sakit yang luar biasa pada seluruh bagian tubuh telanjangnya; seolah-olah ada orang yang merobeknya menjadi dua bagian, merekatkannya kembali, lalu mengoyaknya lagi dan lagi tanpa henti.

Ia tidak tahan.

Ia merasa kotor dan hina.

Hongjoong benar-benar diremukkan untuk kemudian hancur tak bersisa.

 

Hongjoong melepaskan diri dari Jongho lalu berbalik.

Ia menggerakkan pelan kedua tangannya ke atas, dengan pedang yang masih berada dalam genggaman kuatnya. Lengan pakaiannya yang indah ikut tersingkap. Ia kembali menjadi pusat perhatian semua orang di sana.

Jongho tidak ingin kalah. Ia menggerakkan kakinya perlahan menuju Hongjoong. Ia kembali menarik tangan Hongjoong, membuat pria bertubuh kecil itu kembali mendekat ke arahnya.

"Hentikan. Kau akan gagal," ia kembali berbisik ke telinga Hongjoong. Keduanya menggerakkan tubuh bersama-sama, menipu semua orang dengan berpura-pura menjadi pasangan penari.

"Bahkan jika aku gagal, setidaknya aku sudah mencoba," Hongjoong balas berbisik.

Ia berputar, berusaha untuk menjauhkan diri dari Jongho. Ia kembali menari dengan anggun. Tangannya yang bebas ia arahkan ke samping lalu berjalan pelan mengitari panggung; usahanya untuk menjauh dari Jongho.

Jongho ikut menari, tariannya terkesan gagah dan kuat, seakan-akan ia adalah seorang prajurit yang mengejar musuh di medan perang.

Ia kembali meraih Hongjoong dan berhasil mengambil alih pedang miliknya. Jongho lalu memainkan pedang berkilap itu, melempar ke atas dan menangkapnya kembali dengan sempurna, membuat setiap orang terkesan dan bertepuk tangan untuk menyemangatinya. Ia terus melakukan atraksi itu dengan baik dan tanpa kesalahan.

Hongjoong geram, ia tidak suka jika ada seseorang yang menghalangi jalannya.

Ia bergerak ke arah Jongho dan berusaha mengambil kembali pedangnya, yang mana Jongho jauhkan dari jangkauannya.

Mereka berdua seperti memainkan sebuah seni peran dengan jalan cerita yang memperebutkan hal penting. Setiap orang yang hadir di sana terus mengikuti kemana gerakan kedua tubuh di atas panggung itu, merasa tertarik dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jongho terus menghindari Hongjoong dengan berlari kecil di sekitar panggung. Ia berputar konyol, seperti menantang Hongjoong untuk melawannya.

Pria yang lebih muda itu tentu tidak suka dengan apa yang dilakukan Jongho, ia kembali berusaha meraih senjatanya. Mereka saling melawan dengan intens, tetapi menurut semua orang di sekitar sana keduanya sedang memainkan peran.

Jongho berhasil menghadang Hongjoong, ia kembali melakukan beberapa atraksi terakhirnya lalu segera membungkukkan tubuh besarnya; memberi hormat kepada hadirin sekaligus memberitahukan bahwa pertunjukkan darinya sudah berakhir.

Hongjoong yang melihat itu langsung mengikutinya, meletakkan tangan di sebelah dada dan membungkuk pelan. Semua orang berdiri dan bertepuk tangan meriah, beberapa orang bahkan memberikan pujian-pujian singkat dan teriakan kecil.

Hongjoong melirik ke arah Jongho yang diam-diam meringis penuh kemenangan. Ia menoleh kembali ke arah depan, ingin melihat apa yang dilakukan sang raja. Tidak disangka olehnya, sang raja tidak lagi berada di tahta kebesarannya.

Hongjoong panik, ia menoleh kesana kemari tetapi tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan dari pria itu. Sepertinya tidak ada yang menyadari sang raja telah meninggalkan tempat acara selain pelayan pribadinya, karena seluruh pejabat malah menikmati waktu mereka di sini tanpa beban.

Hongjoong menggigit bibir bawahnya dengan kuat.

"Dasar bodoh! Apa yang kau lakukan di sini? Lihatlah akibat dari apa yang kau lakukan!" Hongjoong berteriak frustasi kepada Jongho.

Keduanya sekarang berada di luar tembok istana, meninggalkan tempat acara dengan cepat setelah selesai menyelesaikan hiburan tadi.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Hongjoong!" Jongho membalas tidak kalah emosi. "Apa yang kau lakukan, memegang pedang di tengah-tengah istana musuh?! Mengarahkannya ke raja? Kau akan habis duluan sebelum bisa mencapainya!"

"Aku harus melakukannya!"

"Kau–"

Jongho menghembuskan napas. Membicarakan hal seperti ini di dekat wilayah musuh bukanlah hal yang bagus. Bangunan istana memiliki banyak mata dan telinga bahkan di luar temboknya sekali pun. Ia meraih tangan Hongjoong. "Ayo kembali. Aku tidak ingin melihat kau melakukan hal bodoh lagi."

Keduanya berjalan pergi dari sana. Dengan Jongho yang terus bersikap waspada dan Hongjoong yang merasa dongkol.

Hongjoong yakin ia mendengar suara langkah kaki manusia yang memasuki tenda tempat ia diikat seperti hewan ternak dan disiksa seakan-akan dirinya adalah orang paling berdosa di muka bumi.

Kedua mata dan mulutnya ditutupi dengan kain sehingga ia tidak bisa melihat ataupun bertanya kepada siapapun itu yang datang menghampirinya.

Tubuh lemah Hongjoong menegang. Ia merasa panik dan penuh ketakutan sekarang. Apa iblis bertubuh manusia itu datang kembali? Apa tidak cukup sudah membinasakannya hingga hancur berkeping-keping?

Hongjoong berpikir sang raja datang kembali untuk membawa lebih banyak penderitaan kepadanya seperti yang ia lakukan beberapa hari ini. Tunggu, sudah berapa hari yang terlewati? Hongjoong bahkan tidak tahu sudah berapa lama ia berada dalam cengkeraman iblis itu.

Suara langkah kaki yang berat kembali terdengar, kali ini semakin mendekatinya. Hongjoong menggeleng dan meronta kuat. Seluruh tubuhnya terasa sakit, terlebih bagian tubuh bawahnya namun ia menolak untuk tidak melawan.

Orang asing itu memegang pundaknya, membuat Hongjoong terperanjat. Ia sangat benci jika ada orang yang menyentuhnya. Ia kembali melawan dan berusaha menjauhkan diri dari tangan yang asing itu.

"Pangeran Hongjoong, tenanglah. Ini saya, Jongho." Orang asing itu berucap dengan sangat pelan.

Hongjoong menghentikan pergerakannya, ia mengenali suara dan nama itu.

Jongho, adik tiri dari Yunho yang juga bekerja sebagai penjaga khusus keluarga kerajaan, sama seperti saudara laki-laki yang sangat dikasihinya.

Tanpa disadari, Hongjoong merasa air matanya jatuh dan membasahi kain yang melingkar di depan matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi dirinya tidak bisa melawan perasaan berlebih yang dirasakannya ketika tahu bahwa ada orang yang datang untuknya.

Ia pikir dirinya akan mati mengenaskan di tangan musuh karena ketidakberdayaannya. Ia tidak pernah mengharapkan sebuah keajaiban besar bahwa seseorang akan menolong dirinya yang tidak berguna.

Namun, Jongho ada di hadapannya sekarang.

Pria itu melepaskan semua tali yang mengikat tubuh Hongjoong. Ia membantu sang pangeran yang terlalu lemah untuk berdiri. "Ayo, Pangeran. Kita harus pergi dari sini."

Hongjoong hanya bisa mengangguk pelan.

Walaupun terdengar egois, Hongjoong tidak bisa menahan keinginannya untuk merasakan kebebasan kembali; seperti dulu, saat dirinya tidak perlu memikirkan apapun selain rakyatnya yang ia cintai. Tetapi–seperti sebuah hukuman–hal tersebut tidak akan terwujud karena keluarnya ia dari cengkeraman iblis itu hanyalah permulaan.

Permulaan dari berbagai berbagai mimpi buruk yang terus menghantuinya.

Hongjoong terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin yang membasahi kerah baju tipis yang dikenakannya.

Keadaan masih gelap dan sunyi, tidak ada sumber cahaya selain dari sinar rembulan yang menyusup melalui tepi jendela ataupun pintu.

Ia bergerak, bangkit dari tidurnya di atas kasur tipis yang keras lalu membuka pintu. Tidak ada seorang pun di luar sana.

Hongjoong menghembuskan napas yang sejak tadi ditahannya kemudian berjalan keluar dari ruangan kecil yang ia sebut sebagai ruangan pribadinya.

Mata lelahnya melirik ke arah pintu kecil di ujung rumah sederhana mereka; Jongho sepertinya sudah masuk ke dalam dunia mimpi sebab tidak ada cahaya lilin yang berpendar dari pintu kecil tersebut.

Tubuhnya ia bawa ke tengah-tengah halaman kecil rumah mereka menuju ke sebuah meja dari kayu yang lebar nan rendah untuk kemudian mendudukkan diri di sana. Biasanya, ia dan Jongho akan duduk di sana untuk menikmati makanan bersama atau untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

Hongjoong melihat ke atas.

Pantas saja ia terbangun, malam ini bulan bersinar sangat terang. Cahayanya membuat hutan yang mengelilingi rumah mereka menjadi tampak lebih jelas. Sangat jelas hingga Hongjoong dapat melihat sebuah bayangan hitam dari sosok manusia yang bersembunyi di balik pohon besar.

"Siapa di sana?"

Tidak ada jawaban.

Hongjoong yakin bayangan itu berasal dari manusia yang masih hidup. Bayangan hitam yang tampak membesar ke samping itu bukanlah hantu penunggu hutan yang biasanya ditakuti orang-orang. Kalaupun itu adalah hantu atau siluman gunung yang berusaha menakutinya, Hongjoong tidak akan gentar ataupun lari terbirit-birit.

Jika ada orang yang bertanya apa yang Hongjoong takuti, ia akan dengan mantap menjawab bahwa ia takut kepada manusia. Manusia adalah makhluk yang memiliki budi pekerti dan akal sehat namun banyak dari mereka yang tidak memiliki rasa kemanusiaan; Hongjoong adalah saksi nyata dari hal tersebut.

"Keluar dan perlihatkan dirimu," Hongjoong kembali bersuara.

Ia tetap berusaha agar suaranya dapat didengar oleh 'bayangan' itu, namun tidak cukup keras untuk membangunkan Jongho.

Hongjoong sudah banyak menyusahkan pria itu dan ia tidak akan mengganggu waktu tidurnya hanya karena ada sebuah 'bayangan' tidak jelas yang berasal dari hutan.

Hongjoong berdiri, mengambil posisi tepat di depan pintu masuk halamannya, tetap berjaga jika 'bayangan' itu tiba-tiba membuat gerakan yang mencurigakan.

Tanpa menunggu waktu lama, 'bayangan' hitam itu bergerak. Menampilkan seorang pria tinggi yang memakai pakaian hitam dari atas hingga bawah, tidak lupa pedang panjang yang bertengger di samping pinggang kirinya.

Pria itu sedikit berjalan maju, menuju ke bagian hutan yang disinari cahaya bulan tanpa terhalangi rimbunnya pohon.

Hongjoong memperhatikannya. Wajah pria itu ditutupi dengan kain hitam, hanya menampakkan sepasang mata kecil nan tajam yang menatap dingin. Namun, Hongjoong bukanlah orang dengan ingatan yang lemah.

Tebakannya terbukti ketika pria itu merogoh sesuatu dari pakaiannya dan menunjukkan sebuah emblem perak yang berukirkan naga kecil dan dihiasi sebuah untaian tali berwarna senada: pengenal khusus untuk mereka yang bekerja langsung kepada raja.

"Maaf karena mengganggu waktu Anda pada tengah malam seperti ini. Saya datang untuk menyampaikan pesan langsung dari Raja."

Mendengar hal itu, Hongjoong segera berlutut lalu bersujud; tidak peduli dahi dan bajunya akan kotor karena menyentuh tanah. Sebuah sikap tubuh yang menunjukkan rasa hormat kepada orang yang pasti memiliki pangkat dan status sosial yang lebih tinggi dan juga menunjukkan rasa syukur atas pesan dari raja yang tidak bisa semua orang dapatkan.

"Tidak perlu seperti itu. Berdirilah."

Hongjoong mengikuti perintah tetapi kepalanya tetap ia tundukkan dan tangannya tetap ia lipat dengan sopan.

Ia tidaklah bodoh. Hongjoong tahu siapa pria di hadapannya ini dan ia yakin bahwa pria ini juga akan mengenalinya jika ia menunjukkan wajahnya.

Song Mingi, kepala pengawal pribadi raja sekaligus tangan kanan kepercayaannya. Seorang 'anjing liar' yang raja pungut dahulu dan akan mengikuti apapun perintah dari sang majikan, bahkan jika itu adalah perintah untuk mengambil nyawanya sendiri.

Hongjoong tidak akan pernah lupa wajah dingin tanpa ekspresi itu juga suara datar dan beratnya.

Hongjoong tidak pernah dan tidak akan melupakan Song Mingi, pria yang dahulu menyeretnya ke dalam lubang iblis dan ikut menyiksanya tanpa ampun.

"Anda adalah penari yang menari untuk pesta perjamuan istana tempo hari, bukan?"

Hongjoong mengangguk takut, berpura-pura menjadi seorang warga biasa yang selalu penuh ketakutan jika sudah dihadapkan dengan orang 'besar'. Andai saja Song Mingi tahu akan sandiwaranya, apa yang akan terjadi?

"Raja memintamu untuk datang ke istana secara diam-diam, besok, setelah jam malam diberlakukan. Datanglah ke gerbang masuk kota sebelah timur, di sana, seorang kasim akan menunggu untuk membawa Anda ke istana. Ingatlah bahwa ini adalah hal yang rahasia. Tidak ada seorang pun yang boleh tahu akan hal ini. Apa Anda mengerti?"

Hongjoong kembali mengangguk dengan takut, tetap mempertahankan sandiwara kecilnya. Sepertinya Song Mingi sudah puas akan jawaban darinya dan tanpa mengatakan apapun lagi ia langsung berbalik pergi dari sana. Melewati pepohonan hutan sebelum akhirnya menghilang ditelan kegelapan di kejauhan.

Hongjoong mengangkat kepalanya setelah memastikan bahwa tidak ada lagi kehadiran manusia lain di sana. Tanpa disadari, bibirnya menyunggingkan senyuman.

Yang Mulia telah memakan bait yang ia lempar.

"Selamat malam, Tuan Muda. Saya Jung Wooyoung, kasim dari istana." Seorang pria dengan tinggi badan yang tidak jauh berbeda darinya menyapanya dengan penuh hormat. "Silakan masuk ke dalam tandu ini, Tuan Muda."

Hongjoong masuk ke dalam tandu dengan lebar yang cukup untuk menampung dua orang dewasa itu, mengikuti arahan dari Kasim Jung yang membantunya memperbaiki pakaian panjangnya agar tidak kusut atau menyentuh tanah.

Hongjoong sengaja membeli pakaian sutra paling mahal yang bisa ia dapatkan (tentu dengan tabungan yang selama ini sudah ia simpan).

Sutra berkualitas tinggi yang berwarna putih cemerlang dengan bordiran bunga yang halus di setiap bagian tepinya itu membungkus tubuhnya dengan elok, dilengkapi dengan sabuk berbahan dan berwarna senada membuat lekuk tubuhnya yang semakin terlihat jelas.

Wajah cantiknya tetap terpancarkan meskipun hanya ia rias tipis dengan perias wajah yang dipinjamnya dari sang ibu pemilik toko pakaian. Tak lupa, rambut hitam panjangnya ia bentuk sanggul lalu ditusuk dengan tusuk konde tajam yang berhiaskan burung phoenix berwarna emas mengkilap di ujungnya; suatu hal yang mustahil untuk dimiliki oleh warga biasa.

Kasim Jung pastinya menyadari kehadiran tusuk konde yang berharga tersebut namun pria itu tidak mempertanyakan apapun. Ia menutup pintu tandu tersebut lalu memerintahkan keempat pria pembawa tandu untuk memulai perjalanan mereka.

Hongjoong dapat merasakan tandu yang dinaikinya mulai bergerak. Ia mengambil napas yang dalam.

Ini adalah kesempatan yang sudah lama ditunggu olehnya tetapi entah kenapa hati kecilnya terasa sakit. Bukan karena penyesalan–ia tidak akan pernah menyesali keputusannya–namun karena rasa bersalah.

Jongho.

Pikirannya terus membawanya kembali kepada Jongho. Apalagi dengan percakapan mereka pada pagi ini.

"Hongjoong, Yeosang memintaku untuk membantu menjagal beberapa ekor sapi di rumah jagalnya hari ini mengingat festival musim semi akan segera datang. Jadi sepertinya aku tidak akan pulang ke rumah untuk malam ini."

Hongjoong tidak mengatakan apapun, hanya mengangguk paham sembari mengaduk bubur yang menjadi sarapan mereka pagi ini.

Jongho yang sepertinya heran karena tidak mendapatkan jawaban dengan cepat meletakkan sendoknya. "Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Tidak ada."

"Aku sudah lama hidup bersamamu. Apa kau pikir aku tidak akan tahu akan perubahan air mukamu?"

Hongjoong mengerang pelan. "Aku hanya memikirkan tentang makan malam nanti. Apa yang harus kumasak?" Ia tahu berbohong bukanlah perbuatan yang terpuji tetapi ia tidak punya pilihan lain.

Jongho menatapnya dengan penuh curiga namun akhirnya menggeleng pelan. "Terserah, Hongjoong. Mungkin aku akan makan makanan yang disediakan oleh Yeosang."

Hongjoong menatap pria yang duduk di hadapannya.

Jongho selalu bekerja keras demi mereka berdua; ia tidak pernah melihat pria itu menolak apapun pekerjaan yang ditawarkan kepadanya.

Uang yang didapatkannya selalu Jongho sisihkan untuk Hongjoong simpan dan sisanya dipakai untuk keperluan sehari-hari mereka berdua. Jongho memang seusianya namun ia berperan seperti seorang ayah bagi Hongjoong.

Hongjoong tahu, jika Jongho mengetahui rencananya malam ini, pria itu pasti akan melarang dan memarahinya habis-habisan. Namun ia tidak punya pilihan lain. Jika Hongjoong bisa kembali hidup-hidup maka ia akan membayar semua yang telah Jongho berikan kepadanya.

"Jongho." Pria yang dipanggil menatapnya sembari tetap sibuk mengunyah. Kedua alisnya terangkat, mempertanyakan maksud dari panggilan itu.

Hongjoong tahu ia seharusnya tidak boleh mengatakan hal ini kepada sang sahabat tetapi hati kecilnya tidak bisa pergi begitu saja. "Selepas bekerja, pergilah ke kedai milik Choi San, lalu makan makanan dan minuman yang enak di sana." Hongjoong sangat tahu, maka dari itu ia memilih untuk tetap menutup mulutnya hingga akhir.

Jongho mengerutkan kening. "Aku tidak mungkin menghabiskan uang hanya untuk makan enak sekali, Hongjoong."

"Tetap saja. Kau tidak pernah menikmati uang yang kau hasilkan. Sekali-kali tidak apa-apa, bukan?" Hongjoong berusaha meyakinkan sang pria di hadapannya.

"Bukankah aku sudah bilang akan makan di kediaman Yeosang? Lagipula jika masih lapar, aku akan pulang dan makan makanan yang telah kau masak," Jongho berkata sambil kembali menyendok bubur.

"Sebenarnya– mungkin ... aku tidak akan memasak makan malam untuk hari ini."

Jongho meletakkan sendoknya di meja. Ia menatap Hongjoong dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat hal ini membuat Hongjoong merasa sangat gugup.

"Ada apa denganmu? Plin-plan sekali," ucapnya setelah keheningan yang datang sudah cukup mencekik.

Dilihatnya Jongho mengambil sendok dan kembali memakan sarapannya dengan lahap, sama sekali tidak menaruh curiga akan maksud dari perkataan Hongjoong.

Ya, Hongjoong memang orang yang plin-plan namun kali ini tidak akan begitu.

Jongho dengan cepat menghabiskan sarapannya lalu bersiap-siap pergi. "Jaga rumah dengan baik dan jangan pergi kemana-mana. Jangan melakukan hal yang bodoh," ia berucap sebelum akhirnya melangkahkan kaki menjauh dari rumah.

Hongjoong mengangguk. Ia mengiyakan perintah dari Jongho tetapi tidak pernah setuju untuk melakukannya karena Hongjoong tahu, ia memang tidak akan dapat memenuhinya.

Hongjoong menutup mata. Tandu yang dinaikinya masih bergerak menyusuri jalanan di ibukota yang sudah semakin sepi karena jam malam telah berlangsung.

Ia menggeser pintu jendela kecil yang ada di samping kanannya. Ternyata mereka sedang melewati jembatan besar yang berada tidak jauh dari pasar.

Hongjoong memperhatikan pasar rakyat itu. Masih terdapat beberapa orang di sana. Melihat dari baju dan pisau yang dibawa, sepertinya mereka adalah para tukang jagal yang sedang mempersiapkan daging-daging segar untuk hari esok.

Hongjoong masih setia melihat para tukang jagal tersebut sebelum akhirnya matanya menangkap seorang pria yang sedang menatapnya lekat.

Jongho–

Jongho melihatnya.

Ia berdiri di tengah-tengah gerbang pasar itu dan menatapnya. Tepat pada kedua matanya.

Jongho pasti sadar bahwa orang yang berada di dalam tandu itu adalah Hongjoong, tetapi sebelum Hongjoong dapat menutup jendela tandunya, matanya melihat Jongho yang mengangkat kedua tangannya.

Jongho mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke arah langit, meletakkan telapak kanan di atas tangan kirinya, lalu duduk berlutut dan bersujud sangat dalam hingga dahinya menyentuh tanah pasar yang kotor.

Waktu terasa berhenti di sana.

Hongjoong masih menatap keluar jendela saat–tanpa ia sadari–air matanya jatuh.

Jongho memberikan hormat terakhirnya.

Jongho tahu.

Hongjoong tidak dapat menahan tangisnya. Rasa sakitnya sangat nyata sama seperti dulu saat ia melihat Yunho menghembuskan napas terakhirnya. Ia menepuk-nepuk dada, rasa nyerinya masih ada dan tidak hilang.

Jongho tahu akan rencananya dan Hongjoong merasa bersalah. Hongjoong merasa sangat bersalah. "Ma- ... Ma- maaf- Maafkan aku..."

Tandu akhirnya berlalu dan saat Hongjoong kembali melihat keluar, Jongho masih berada dalam posisinya.

Hongjoong berjalan menyusuri istana yang hanya diterangi oleh lampu temaram di setiap pojok tergelapnya. Ia mengikuti Kasim Jung yang berjalan di depan dengan langkah kaki terarah nan tenang.

Lorong istana yang besar dan menjulang megah seakan-akan ingin menelan siapapun yang melewatinya. Dari hal ini juga, Hongjoong menyadari bahwa kerajaan yang 'tak tersentuh' ini memang indah. Sangat disayangkan ia tidak akan melihatnya lagi di lain waktu.

Kasim Jung berhenti, tepat di depan sebuah pintu besar yang tak kalah megah dari bagian istana yang lain. Melihat dari ukiran naga serta emas yang menutupinya, Hongjoong yakin ini adalah ruang tidur sang raja.

Kasim Jung sempat menoleh ke arah Hongjoong sebelum berkata, "Yang Mulia, orang yang Anda pinta telah hadir."

"Masuk."

Pintu besar itu dibuka oleh dua orang penjaga yang tidak Hongjoong sadari ada di sana (ternyata rumor yang mengatakan bahwa pasukan penjaga raja hadir seperti hantu itu benar).

Hongjoong menundukkan kepalanya dan melipat tangannya di depan dada, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan pelan; berusaha untuk tidak membuat suara yang mengganggu.

Sang raja–sama seperti perkiraannya–sedang berbaring di atas kasurnya, menghadap samping dengan postur tubuh yang senggang; ia sama sekali tidak terlihat seperti pria yang duduk di singgasana setiap harinya.

Raja itu menatap Hongjoong dengan senyuman samar, sebelah tangannya ia gunakan untuk menopang kepala dan tangan yang lainnya tampak memegang gelas kecil.

Di hadapannya, terdapat sebuah meja berukuran sedang yang dipenuhi makanan langka nan mahal.

"Kemarilah."

Hongjoong, yang tidak mengubah posisinya sedari tadi, dengan cepat berjalan ke arah raja lalu berhenti di hadapannya dengan jarak yang menurutnya aman–tidak terlalu dekat ataupun jauh.

Ia dapat merasakan pandangan sang raja yang menjelajahi tubuhnya: dari atas hingga bawah. Sama sekali tidak terasa nyaman namun Hongjoong tidak peduli.

"Kau yang menari dalam pestaku di lain hari, bukan?" Suara sang raja terdengar halus seperti madu yang menetes pelan. Memang cocok untuk keturunan yang lahir dan besar di dalam keluarga paling terhormat di seluruh negeri namun sangat disayangkan suara yang merdu itu diberikan kepada pria sepertinya.

Hongjoong mengangguk pelan, kain yang menutupi bagian bawah wajahnya sedikit melambai karenanya.

Sang raja tertawa (tawa yang kecil, seolah-olah suara tersebut tidak seharusnya ia keluarkan). Pria itu beranjak untuk duduk dan menggerakkan jari telunjuknya; perintah dalam diam agar Hongjoong lebih mendekat.

Sudah barang tentu Hongjoong patuh dan duduk di dekatnya. Cukup dekat hingga ia bisa merasakan kasur empuk milik sang raja di bawah tungkainya.

Pria yang ditutupi sutra tidur yang tipis itu menuangkan isi dari teko kecil berbahan keramik yang sedari tadi diam di atas meja menuju gelas kecil yang sejak awal digenggamnya. Tangannya tidak terarah dan sempat kehilangan fokus hingga ia menumpahkan sedikit banyak isi teko tersebut namun dirinya tidak menghiraukan hal tersebut. Ia lalu mengarahkan gelas itu ke arah Hongjoong yang tentu saja diterimanya dengan penuh hormat.

Dengan hati-hati, Hongjoong menoleh ke arah lain dan sedikit mengangkat kain yang menutupi bagian bawah wajahnya, membawa cangkir itu menuju mulutnya.

Setelah menghabiskan isinya (arak putih yang pahit dan mahal) Hongjoong mengembalikan gelas tersebut dan sang raja menerimanya. Jari keduanya sempat bertemu sebelum Hongjoong segera menarik tangannya, seakan-akan ia tidak menyadari sentuhan ringan tadi.

Ia dapat mendengar sang raja yang mendengus, bukan karena kesal, melainkan karena ia menganggap ini permainan yang menyenangkan. Hongjoong yakin sebab saat ia melirik wajah sang raja terpatri seringai tanda terhibur.

Pria tersebut kembali mengisi gelas (sekali lagi dengan gerakan tangan yang kacau) dan menawarkannya kembali.

Hongjoong yang masih menunduk segera menerimanya untuk yang kedua kalinya namun saat tangannya baru saja menyentuh gelas tersebut, sang raja dengan cepat menjatuhkannya lalu menarik lengannya.

Kejadiannya begitu cepat hingga saat Hongjoong menyadari apa yang terjadi, dirinya sudah berada di bawah kungkungan sang raja yang menatapnya dengan mata yang 'lapar'.

Hongjoong membalas tatapan tersebut, memperhatikan wajah sang raja dengan mata sayu agar dirinya tampak seperti berada pada 'halaman' yang sama dengan sang raja.

Pria yang berada di atasnya itu tidak membuang waktu. Ia membelai rambut Hongjoong dan terus menekan tubuh keduanya agar semakin menempel–tidak ingin ada jarak yang berada di antara keduanya. Wajahnya juga kian mendekat, membuat Hongjoong dapat mencium napas yang dipenuhi alkohol.

Tangan besarnya turun menuju sabuk yang memeluk pinggang Hongjoong. Ia lalu melepaskan kaitan sabuk tersebut dengan gerakan kasar.

Sang raja menegakkan tubuhnya untuk melihat Hongjoong lebih jelas–bagaimana pakaian bagian luarnya tak lagi terikat sehingga menampilkan sutra tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Hongjoong kira ia akan berhenti namun sang raja kembali membawa tangannya hingga berhenti pada tali yang mengikat kain penutup wajah bawahnya. Ia kembali melihat Hongjoong tepat di kedua matanya sebelum akhirnya menarik tali pengikat tersebut.

Kain itu jatuh, memperlihatkan wajah Hongjoong sepenuhnya namun sebelum sang raja dapat bereaksi, Hongjoong menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam sebelah lengan sang raja yang berada pada sisi kanan tubuhnya lalu membalikkan keadaan.

Sang raja jatuh ke sisi lain tempat tidur dan Hongjoong dengan cepat menaiki tubuhnya, memaksa pria yang lebih tua untuk tetap terbaring.

Pria yang ada di bawahnya itu sekarang menatapnya dengan mata yang membulat.

"Selamat malam, Yang Mulia."

Hongjoong menghalau tangan sang raja yang berusaha melawannya dengan gerakan yang sangat kacau– terima kasih kepada alkohol.

Ia menarik tusuk konde yang dipakainya dan menekannya ke arah leher sang raja. Sedikit gerakan maka semuanya akan berakhir.

"Anda ingat saya?" Hongjoong tersenyum lebar melihat sang raja yang masih berusaha mencerna apa yang terjadi.

Saat pria itu menolak untuk menjawabnya, Hongjoong mendekatkan wajah keduanya. Rambut hitam panjangnya jatuh dan menutupi keduanya seperti tirai.

"Hongjoong–" sang raja menatapnya dengan nanar, "panah di tengah hutan, ingat?"

Sang raja ingin mengatakan sesuatu namun Hongjoong sudah menarik diri terlebih dahulu. "Sudah tentu dirimu tidak mengingatnya..." Ia menahan tawanya. "Kau hanya sibuk memikirkan dirimu sendiri."

Hongjoong memandangi pria di bawahnya, matanya tajam dan dipenuhi kebencian. "Orang sepertimu tidak akan mengingat hal keji apa yang kalian lakukan–" Ia semakin menekan tusuk kondenya, membuat sang raja menahan pergerakannya dengan napas yang tak beraturan. "Tetapi aku tidak akan pernah melupakannya– sedetik pun tidak."

Hongjoong kira sang raja akan menyesal dan meminta pengampunan darinya namun ia salah besar, pria itu malah terkekeh dan berkata dengan mudah. "Tentu saja aku mengingatnya, Pangeran Hongjoong." Ia tersenyum lebar dan membalas tatapan mata Hongjoong.

Dengan nada bermain-main ia berkata, "Aku masih ingat nikmat tubuhmu. Kau hanyalah jalang yang bersembunyi di balik gelar pangeran, bukan?"

Hongjoong menggigit bibir bawahnya dengan keras dan semakin menekan tusuk kondenya. Entah kenapa ia menahan napasnya sekarang.

"Kerajaanmu hancur karena kau adalah pangeran yang tidak berguna, begitu pula dengan ayah dan ib-"

"Tutup mulutmu, dasar iblis!" Hongjoong meraih sutra yang raja kenakan dengan sebelah tangannya yang bergetar hebat. Cengkeramannya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Dan pria itu..." sang raja kembali tertawa renyah, "Aku sering memikirkannya. Bagaimana rasanya, dibunuh dan mati karena orang yang ia lindungi?"

Napas Hongjoong tercekat.

Beraninya bajingan ini–

Hongjoong merasa matanya memanas dan sebelum ia dapat menggerakkan tangannya, sang raja sudah bergerak dengan lebih cepat.

Pria itu mendorong Hongjoong hingga punggungnya kembali menyentuh tempat tidur. Tusuk kondenya terlempar dan ia tidak punya waktu untuk mengambilnya kembali sebab sang raja sudah mengunci pergerakannya.

"Dasar bodoh. Kau datang kemari karena ingin membunuhku?" Pria itu membawa dan mengeratkan kedua tangannya pada leher Hongjoong. "Seharusnya aku membunuhmu saat itu."

Hongjoong mencengkram tangan sang raja, berusaha melepaskan diri. Ia meraih-raih pria di atasnya dan menendang kakinya namun semuanya sia-sia.

Napasnya semakin lama semakin menghilang. Hongjoong merasa ia akan mati dan entah kenapa ada rasa takut yang menyusup masuk ke dalam pikirannya sekarang.

Ia ingin menertawakan dirinya sendiri. Hongjoong tidak pernah takut mati; ia akan dengan senang hati menyusul orang-orang terkasihnya. Namun sepertinya ia berbohong kepada dirinya sendiri, bukan?

Ayah dan ibunya akan kecewa. Jongho akan kecewa. Yunho akan sangat kecewa. Ia sangat kecewa pada dirinya sendiri.

Apa ia akan mati sebelum musuh di hadapannya?

Semua ingatannya melintas kembali, seperti cerita kehidupan yang sengaja ditampilkan sebelum kematiannya: masa berkabung yang lama saat kakeknya wafat, ayahnya yang naik tahta saat ia berumur enam tahun, upacara penobatannya sebagai putra mahkota ketika baru saja menginjak usia sepuluh tahun, pesta ulang tahun kedelapan belas, festival musim semi, perayaan hari jadi kerajaan, runtuhnya istana, kematian Yunho-

Hongjoong benar-benar sengsara ketika mengingatnya dan ia menolak untuk mati sebelum membalaskan dendam.

Di antara usahanya untuk bertahan hidup dan kehilangan kesadaran, Hongjoong masih berusaha untuk meraih tusuk konde yang semoga saja tidak jauh darinya.

Ia bukanlah orang yang taat menyembah namun dirinya diam-diam berdoa dalam hati kepada siapapun yang dapat mendengarnya agar ia setidaknya dapat membunuh orang di hadapannya sebelum ia mati dan sepertinya doanya terkabul.

Tangannya berhasil meraih sebuah gagang tipis nan dingin, dan tanpa menunggu lama, ia mengayunkannya tepat ke arah samping leher pria yang berada di atasnya.

Oksigen yang kembali memasuki paru-parunya membuat Hongjoong sedikit panik. Namun, ia cepat kembali fokus dan dengan tenaga yang tersisa, dirinya berusaha menyaksikan pemandangan yang menjadi keinginannya sejak lama. Walau begitu, Hongjoong tidak melihatnya dengan jelas.

Ia hanya sadar bahwa ada banyak darah dan darah, baik di wajah maupun pakaiannya. Hal selanjutnya yang terjadi adalah ia yang bergerak susah payah untuk menjauh dari tubuh lemas seorang pria yang tertelungkup bersimbah cairan merah.

Hongjoong duduk meringkuk di dekat meja kecil yang berada tidak jauh dari kasur sembari berusaha mengambil napas sebanyak-banyaknya.

Raja mati.

Dirinya berhasil membunuh sang raja.

Ia berhasil.

Sang iblis sudah mati dan ia berhasil.

Sekarang, hanya tersisa satu hal.

Benar. Satu hal lagi dan tugas Hongjoong sudah selesai.

Hongjoong merangkak dengan kaki dan tangan yang bergetar, kembali mendekati tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mencabut tusuk kondenya yang tertancap dalam. Ia tersenyum saat melihat bagaimana darah mengucur deras dari luka di leher sang raja.

"Selamat tinggal..." Hongjoong mengarahkan tusuk konde itu ke arah dada kirinya dan kembali menoleh ke tubuh sang raja. "Yang Mulia Raja Seonghwa."

Dirinya tentu merasa lega. Dendam dan amarah yang disimpannya bertahun-tahun akhirnya lepas dan melebur, bersamaan dengan tubuhnya yang tumbang.

Hongjoong hanya berharap, tidurnya kali ini tidak lagi diganggu oleh mimpi buruk.