Work Text:
sepanjang masa hidupnya, junsu selalu bertanya-tanya mengenai bagaimana cara hati jaejoong bekerja.
junsu tidak ingat hari dan tanggal tepatnya mereka bertemu, namun junsu tidak bisa membantah bahwa ada ribuan detik yang sudah terlewati, pun fakta bahwa jumlah jemarinya tidak akan bisa menghitung berapa kali ia berusaha mencari emosi di balik tatapan mata jaejoong.
sesuatu yang bukan kebaikan.
sembari merampas kembali waktu yang sudah direbut, junsu kini membayangkan masa lalu.
berlari mengejar waktu di mana jumlah mereka masih mendapat satu kepalan tangan, junsu selalu dipandang sebagai malaikat di antara semua. ia terkekeh, mengusak samping lehernya dengan sedikit geli, membayangkan betapa polosnya ia ketika umurnya belum menyentuh kepala dua.
di pantulan dua netra seorang kim junsu yang masih berumur 19 tahun di tahun 2005, tepat sebelum perayaan hari jadi mereka yang ke-2, gemerlapan laut merah yang kemudian masih menyambutnya di di bulan mendatang setelah tahun baru terasa lebih ajaib dari apapun yang pernah ia terima sebelumnya.
junsu mungkin pernah menjadi seseorang yang lembut, namun ia tidak ingat pernah menjadi seseorang yang bodoh. junsu cukup paham bahwa di dunia ini tidak ada yang bisa bertahan selamanya, namun ia terkadang masih berharap sesuatu seperti; ini tidak adil, tujuh tahun terlalu cepat, atau, jika saja mereka semua—
junsu mendengus, alternatif selain menertawai kebodohannya sendiri. empat belas tahun sudah berlalu, bahkan periode di mana di depan namanya disematkan gelar mantan sudah terhitung lebih panjang daripada ketika posisinya masih menjadi vokalis utama mereka.
ah, mereka, mereka, mereka. namun yang tersisa sekarang hanyalah ia dan jaejoong. jika ia boleh menjadi sedikit menyebalkan, lidahnya lebih suka mengucapkan kalimat: mungkin dari awal, memang hanya ada ia dan jaejoong. berpegangan tangan, melawan dunia.
junsu tidak membenci. dendam, mungkin pada satu orang saja. sisanya, tidak pernah sekalipun terlewat di pikirannya bahwa jika, ia bisa memutar balik waktu, untuk tidak mengulang langkah yang sama satu kali lagi. jutaan kesempatan untuk mengulang perjalanan dapat diberikan untuknya, dan junsu akan tetap memilih rute yang sama.
mengecup dengan lembut rasi bintang kasiopeia, lima titik bercahaya yang sama, sekali lagi.
namun ia selalu mengonsiderasi ulang, apakah ia sanggup melihat jaejoong kesakitan satu kali lagi juga?
baiklah, satu kali terdengar sangat meremahkan—hanya tuhan yang tahu berapa kali kim jaejoong meremas ujung bajunya sendiri setelah semua hal yang terjadi pada mereka. pada dirinya sendiri. namun mengingat bahwa kita berbicara mengenai jaejoong, sepertinya lelaki itu lebih tertarik untuk berpikir mengenai ‘mereka’ daripada sekadar ‘dirinya sendiri’.
yang selalu berakhir dengan kuluman senyum dan kalimat manis demi menenangkan junsu—bodoh, kim jaejoong bodoh, harusnya kau menenangkan dirimu sendiri. namun junsu tidak pernah mengatakan itu keras-keras.
karena ia tahu, jaejoong akan mengalihkan pembicaraan dengan sesuatu yang terlalu ringan (dengan nada yang terlalu lembut), semacam, “junsu-ya, aku ini masih hyung-mu!” diikuti dengan pukulan kecil pada bahu junsu.
junsu teramat senang bahwa ia akan selalu menjadi adik favorit jaejoong, meski ia tidak yakin bahwa ia masih bisa menaruh titel favorit ketika kontender dalam lomba ini hanya tinggal sisa ia seorang. namun ia tidak bisa bohong bahwa ia memiliki imajinasi liarnya sendiri.
seandainya junsu yang mengambil peran kakak pada hubungan ini, mungkin dunia tidak akan berani menginjak-injak hati rapuh jaejoong seperti itu. persetan dengan media, toh sudah hancur lebur pula semuanya sedari sana.
mengapa tidak sekalian bakar saja semuanya? mungkin ada lautan merah lain yang bisa menandingi cantiknya tribun pada saat itu, lahir dari amarah junsu.
namun, mungkin itu sebabnya, itulah alasan mengapa jaejoong dan junsu terlahir seperti ini. junsu menenggelamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya. mereka berdua, di tahun 2024, merebut kembali identitas mereka—semua hal yang hancur, meski seperti bayi yang baru merangkak, setelah melewati frustrasi yang lama, menunggu kelapa itu jatuh ke pasir, mereka berhasil.
dunia kembali merayakan junsu dan jaejoong. sesuatu yang tidak akan terjadi jika junsu menjadi sang kakak, sebab junsu tidak pernah merasakan urgensi untuk membuat dunia merayakan jaejoong. ia bisa merayakan jaejoong secara mandiri. ia bisa menyembunyikan jaejoong dari kejamnya dunia, karena menurut junsu, empat belas tahun tetaplah terlalu lama.
dan kim jaejoong, masihlah terlalu baik.
jaejoong memiliki banyak imej sedari dulu, mulai dari si kakak tertua paling menyebalkan, ibu empat enak yang jago memasak, hingga cinta pertama si tua bangka brengsek yang tidak ingin junsu sebutkan lagi namanya (jaejoong menegurnya, namun khusus yang satu ini, junsu tidak peduli).
namun satu hal yang tidak akan pernah usai adalah kepemilikan hati yang lebih luas dari samudera. jaejoong dan hatinya, terkadang lebih menghantui junsu lebih dari apapun.
junsu takut bahwa suatu saat nanti jaejoong akan tenggelam dalam ketenangan itu. bagaimana jika sesuatu mengguncang lagi hati jaejoong-hyung-nya untuk kedua kali, dan junsu tidak ada di sana?
maka dari itu, junsu tidak keberatan untuk menjadi orang jahatnya. meskipun beberapa orang melihat bahwa ada perubahan yang drastis dalam caranya menanggapi krisis, kebanyakan dari mereka justru mengerti dan mendukungnya—pun lagi, sepertinya orang lebih bertanya-tanya justru mengenai jaejoong yang bisa-bisanya masih berbicara dengan sopan mengenai, perkara itu—namun pastilah ada perbedaan distingtif antara kim junsu dan dulu dan sekarang.
kim junsu tidak lagi mudah—atau bahkan bisa—diruntuhkan seperti dulu. alasannya adalah karena perlu ada satu orang yang menjadi terumbu karan, cukup kuat ketika diterjang badai di sini. banyak yang menganggap bahwa junsu yang sekarang sangatlah kharismatik dan tegas, masih sempurna dalam semua kategori sebagaimana ia yang dulu, hanya saja bertambah dewasa. di sisi lain, mungkin ada juga yang tidak menyukai perubahan ini, beserta dengan opini sok tahu lainnya. tetek bengek nostalgia yang eksesif.
namun apapun itu, junsu sudah tidak peduli. sama seperti ketika industri ini menggusur eksistensi ia dan kakaknya, garis hitam membatasi mereka, diperlakukan layaknya pengkhianat sampah, mereka tidak peduli akan junsu dan jaejoong. lantas mengapa ia harus—
“junsu-ya,” junsu merasakan rambut coklatnya yang kini sudah pendek, tidak lagi melewati bawah daun telinganya, tidak lagi seperti dulu, diusak dengan pelan oleh seseorang yang sedari tadi mengokupasi pikirannya. “kamu sedang memikirkan hal-hal yang tidak perlu lagi, ya?”
junsu mengeluarkan wajahnya dari tangkupan tangannya sendiri, kemudian mendongak ke kanan dan menemukan sudah ada sosok lain yang menemaninya di sofa. junsu mendecak pelan, namun garis lengkung yang renyah kini tampil di wajahnya.
”hyung,” sahut junsu, “rambutku jadi berantakan, nih! ah, kamu…”
jaejoong sedikit memiringkan kepalanya, kemudian tersenyum lewat kilat matanya. gemas hidungnya. ranum bibirnya. junsu selalu menemukan jaejoong yang tersenyum menggunakan setiap inci tubuhnya.
“makanya, jangan pasang muka galak-galak seperti itu, dong!” seusai protes, jaejoong bangkit berdiri sambil berjalan menuju dapur, bersiul kecil sembari menarik apron yang tergantung di sisi dispenser. apapun yang jaejoong lakukan terasa sangat menyembuhkan untuk junsu.
suaranya masih terasa dekat karena penataan ruangan yang hangat, atau mungkin sesimpel karena junsu terlalu menyukai suara sewarna pelangi jaejoong. “junsu-ya, mau makan apa? biar kamu nggak kesal lagi, aku buatin, deh.”
sembari pura-pura berpikir pilihan santapan yang tepat—di mana junsu tahu bahwa apapun itu, akan tetap enak, karena jaejoong yang memasak malam ini, dan nyaris selalu—lelaki yang lebih muda menyembunyikan rona wajahnya dengan menimpakan cahaya layar ponsel ke wajahnya.
di dunia lain, hyung. di kehidupan selanjutnya, kita berdua akan melewati dua puluh satu tahun yang tidak memberatkan bahumu.
“jaejoong-hyung! kalau ayam goreng saja, bagaimana?” junsu tidak bisa menahan diri untuk segera mengejar si kakak ke ruangan seberang setelah mendengar jaejoong mendesah bosan tak lama setelah mendengar jawaban junsu
namun untuk sekarang, bersama kamu dengan masakanmu saja, sudah cukup.
