Actions

Work Header

Green Rose Casebook

Summary:

Sebagai Master of Death, Harry Potter telah melalui berbagai kehidupan dan kematian yang panjang. Hingga dia tiba pada garis waktu dimana dia memutuskan untuk mengakhiri peran The-Boy-Who-Lived.

Vexare's Antique Shop merupakan sebuah toko antik yang terletak di pinggiran Yorkshire, yang mana sudah menjadi rahasia umum bahwa toko itu tidak hanya menyajikan banyak barang antik tapi juga jasa detektif dan telah memecahkan bahkan untuk kasus yang paling tidak masuk akal.

Bersama pemilik toko, Regulus, dan manager mungilnya, Hadrian, ikutilah berbagai misteri yang mewarnai kehidupan kedua mereka.

Notes:

It's the first time for me posted on ao3😅sorry if it's not good enough

Chapter 1: Prolog

Chapter Text

“Vexare, apa kau tidak bosan?”

 

Gesekan pena bulu di atas perkamen terhenti, hanya untuk digerakkan kembali dalam hitungan detik. Bibir kecil terkatup rapat, tidak sedikit pun berniat memberi jawaban kepada si penanya.

 

“Ayolah, petualanganmu selalu menyenangkan. Aku ingin melihatnya lagi, ya?” ujarnya hampir merengek.

 

Menghela napas, pemuda berambut hitam yang disebut Vexare menatap sosok entah bergender apa dan berselubung kain hitam dengan malas. “Kau seperti pengangguran.”

 

Sosok itu tertawa. “Jangan sinis begitu. Hidup itu indah dan penuh warna, kenapa tidak menjelajah dunia daripada terkurung dalam gubuk ini?”

 

Vexare menggeleng pasrah. Hanya makhluk itu yang berani menyebut istana Hades sebagai sebuah tempat yang seakan tidak layak huni.

 

“Kau mengganggu, Nex.”

 

Dengan decakan kesal, Nex memutar mata pada satu lagi pemuda bernetra biru yang menatap datar dari ambang pintu dengan tangan bersidekap serta dagu yang terangkat angkuh.

 

“Kaulah yang mengganggu dan sama sekali tidak punya rasa hormat, Regulus.” Nex membalas.

 

Regulus menyeringai. “Sudah sepantasnya aku disini. Aku adalah pelindungnya, sedangkan kau hanyalah makhluk yang numpang lewat.”

 

“Beraninya! Kau pikir aku-”

 

“Diam! Kalian mengganggu.” Kalimat penuh peringatan itu akhirnya membungkam keduanya sebelum situasi menjadi lebih buruk.

 

Menghela napas pelan, dia kembali bersuara, kali ini ditujukan pada pemuda yang masih setia berdiri di ambang pintu. “Ada apa?”

 

Regulus memberi senyum kemenangan sekilas kepada Nex sebelum berkata dengan sopan, "Yang Mulia ingin bertemu dengan Anda."

 

_______

 

“Menurut kalender manusia, besok adalah tanggal 31 Juli.”

 

Hades, penguasa Underworld, bergumam dengan berbagai ekspresi. Terlihat lucu menurut komentar istrinya, Persephone, meski bagi penglihatan makhluk lain itu lebih seperti ekspresi yang menjanjikan penyiksaan tak berujung.

 

“Maaf?”

 

Bertanya dengan bingung, pemuda bernetra hijau mengambil tempat di samping ibunya, menunggu jawaban sembari menikmati camilan khas Underworld: permen rambutㅡterbuat dari rambut anak kecil, manis rasanya.

 

Menghela napas pelan, Hades menatap putra semata-wayangnya dengan dahi berkerut samar. “Aku ingin memberi hadiah di ulang tahunmu tapi aku bingung. Apa kuberikan takhta saja, Hadrian? Sepertinya kau sudah siap.”

 

Hadrian bersyukur dia tidak sedang minum atau dia akan menyemburkannya kemana-mana. Ayahnya tidak pernah bercanda dengan kata-katanya, dan dia belum siap untuk itu jadi lebih baik untuk memberitahu keinginannya daripada membiarkan ayahnya memberinya hal yang tidak terduga, lagi.

 

“A-ayah! Bisakah aku meminta sesuatu untuk hari ulang tahunku?”

 

Hades menoleh dengan tertarik. Binar yang tidak berusaha disembunyikan dari kedua matanya menunjukkan betapa sayangnya dia pada putranya. Setelah divonis tidak dapat memiliki anak, Hades dan Persephone terus menyampaikan doa yang sia-sia kepada pencipta. Tanpa diduga, keduanya ditarik oleh takdir untuk dipertemukan dengan jiwa yang telah menjadi teman bagi kematian.

 

Itulah awal dimana Harry Potter, pahlawan dunia sihir yang meninggal di usia 30 tahun dan kembali ke visual remajanya setelah kematian tiba-tiba diangkat pasangan Underworld sebagai anak mereka, dengan mendapat nama Hadrian. Harry yang dibesarkan dengan lebih banyak kekerasan daripada kebahagiaan dapat dengan mudah beradaptasi di Underworld.

 

Hades dan Persephone melimpahkan semua kasih sayang kepadanya, dengan cara mereka sendiri. Karena itu juga, meski waktu manusia tidak berlaku di Underworld, keduanya tetap merayakan ulang tahun sang putra setiap tahun sesuai kalender dari dunia manusia yang disampaikan para grim Hades.

 

“Ayah,” Hadrian memulai dengan gugup, “aku penasaran apakah aku boleh mengulang kehidupan pertamaku?”

 

Hades mengedip sekali. “Kau tidak suka disini?”

 

“Ti-tidak, bukan begitu!” Hadrian berujar panik. “Aku senang disini, ayah dan ibu juga menyayangiku dan aku pun juga menyayangi kalian.”

 

Persephone tersenyum sembari mengusap punggung putranya. “Jadi kenapa, baby? Apakah kau punya penyesalan?”

 

Menimbang sejenak, Harry menjawab, "sebenarnya, iya. Ada banyak. Juga, aku penasaran apa yang akan terjadi jika Voldemort memenangkan perang atau ramalan itu tidak terwujudkan. Atau bagaimana ... bagaimana rasanya ketika tidak menghadiri Hogwarts."

 

Hades mengangguk paham. “Yah, kurasa aku tahu jawabannya tapi jika kau ingin merasakannya melalui pengalamanmu sendiri maka akan kuturuti. Lagipula ini adalah permintaan putraku yang gila kerja setelah sekian lama.”

 

Pipi Hadrian yang bersemu membuat Persephone terkikik gemas. Pria yang telah menjadi anak remaja itu sangat tidak menyangka dengan jawaban ayahnya. Padahal dia sudah siap bila akan mendengar penolakan, mengingat betapa posesifnya Hades pada keluarga tercintanya. Tapi ternyata permintaannya di setujui, dia berpikir untuk meminta hadiah pada Nex nanti atas kerja keras membujuk ayahnya.

 

-

 

-

 

Hades menjadi lebih protektif pada 5 hari berikutnya, tapi tidak mengantar putranya di hari penyeberangan—Harry memaklumi hati ayahnya yang rapuh; Harry maupun ibunya tahu bahwa penguasa Underworld itu tengah menangisi kepergian (sementara) sang putra di kamarnya.

 

Tidak butuh waktu lama setelah ritual perpindahan dan mata Harry terbuka oleh perasaan panik dan gelisah yang familier, lalu disusul suara gebukan dari atasnya yang sudah bertahun-tahun tidak dia alami.

 

“Bangun dan buatkan sarapan, pemalas!” Suara bibinya yang dahulu terdengar bagai terompet kematian di pagi hari sekarang seperti tikus yang mencicit.

 

Menghela napas kesal, Harry keluar dengan membanting pintu gudang, membuatnya terlepas dan mengenai kaki bibinya yang kemudian menjerit dan menatapnya bak monster.

 

Vernon yang pertama kali melihat cucuran darah di kaki istrinya dengan cepatㅡsecepat yang dia bisaㅡmenerjang Harry untuk memukulnya seperti biasa, hanya untuk di dorong mundur oleh sesuatu yang tak kasat mata dari anak itu.

 

“Kau!” Gigi Petunia bergemeletuk oleh rasa sakit, amarah, dan ketakutan. Tapi dia bahkan tidak punya tenaga untuk memukul atau menjauh dari anak itu. Entah kenapa, emerald yang mirip dengan adiknya itu terlihat lebih hijau dan berbahaya, seolah mengundang Petunia untuk bersujud dan meminta kematian.

 

Harry menyeringai kecil, yang mana membuat sepupu gempalnya yang sejak tadi menyaksikan kedua orang tuanya disiksa anak yang lebih kecil darinya semakin menyusut di atas sofa kesayangannya.

 

“Aku akan keluar dan kalian tidak perlu repot-repot mencariku.” Harry menoleh ke bibinya yang tersentak dan menyunggingkan senyum manis yang terlihat polos. “Tapi aku masih kecil dan tidak akan ada yang mau menerima pekerja seperti ini bahkan di dunia sihir. Jadi, berikan aku uang.”

 

Mengabaikan fakta bahwa anak itu tahu tentang dunia sihir ketika dia tidak pernah membicarakannya sedikit pun, Petunia dengan cepat dan gemetar mengambil dompet di kamarnya, mengeluarkan dengan tergesa-gesa uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan dengan kasar melemparkannya pada keponakannya.

 

Harry menatap uang yang berserakan dan dengan sekali jentikan jari semua uang itu masuk dalam kantong celananya yang kebesaran.

 

Lalu dengan keberanian serta kebodohan Petunia mencibir, “kau sama saja dengan orang tuamu yang rendahan, mengambil uang yang dibuang dan diinjak-injak.”

 

Harry menatap tajam, membuat ketakutan Petunia yang sempat hilang kembali hingga wanita itu meringsut di pojok. “Kau tahu, kan?” Harry memulai, “rumah ini adalah warisan ibuku dan kau hanya tinggal untuk sementara. Dumbledore memberimu uang dalam jumlah banyak untuk membesarkanku. Tapi kau menggunakan kedua hal itu untuk dirimu sendiri, suamimu berperan sebagai pria pekerja yang sebenarnya dia seorang pengangguran, lalu memanjakan anakmu yang tidak berguna. Kau mengatakan bahwa keluargamu miskin, tapi membeli benda mewah yang tidak berguna setiap tahun. Sama tidak bergunanya dengan keluargamu.”

 

Sebagai orang dewasa, Petunia bisa saja membalas dan memaki lalu mengunci anak itu di kamarnya seperti yang biasa dia lakukan, tapi saat ini anak itu seolah telah menjadi penyihir terlatih yang dapat menekan orang yang lebih dewasa dengan kekuatan besar.

 

Menyeringai bak maniak, Harry berkata, “bagaimana jika Dudley juga merasakan bagaimana menjadi yatim piatu sepertiku? Aku ingin tahu orang tua seperti apa yang akan mengadopsinya.”

 

Petunia menggeleng dalam keputusasaan, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa cahaya hijau mengenainya dan dia tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Vernon menjadi korban yang kedua, meski Harry sempat memberi pria itu waktu untuk menangisi kepergian istrinya.

 

Ketika dia melihat ke sepupunya yang gemetar dan menangis, dia membersihkan jejak sihirnya serta mengendalikan ingatan Dudley, membuat seolah ada pelahap maut yang masuk dan membunuh seluruh anggota keluarga Dursley dan membawa Harry Potter pergi.

 

Sesuatu yang sangat tidak mungkin dilakukan bahkan oleh penyihir senior, jika tidak mengingat kenyataan bahwa Harry merupakan putra dewa.

 

Suatu hari dia akan mengetahui bahwa akibat peristiwa hari itu dia telah berhasil menarik perhatian para dewa-dewi olimpus, salah satu diantaranya ialah pemilik wilayah dunia sihir.

 

Chapter 2: Case 1: Sapphire Eyes

Notes:

Lebih bagus kalau ada yang koreksi bila ada kesalahan.

EDIT: Maaf aku telah menambahkan banyak kata setelah aku menyadari bahwa kasus pertama cukup pendek. Sedikit spoiler, kasus ini sebenarnya cukup kompleks tapi ada banyak paralel yang menghubungkan dengan kasus lain jadi bersabarlah pada setiap plot hole.

Oh iya, aku lupa memberitahu tentang TIME STAMP! Maaf aku mengubah judulnya, tapi aku lupa kalau fic ini tidak ada waktu yang pasti, hehe

Just enjoy

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Suara dentangan bel pintu yang dibunyikan dengan kecepatan tidak biasa mengalihkan perhatian Regulus dari sesi mencatatnya. Melihat kehadiran pelanggan, Regulus menyunggingkan senyum bisnis.

 

“Selamat datang di Green Rose Shop, tuan. Ada yang bisa kami bantu?”

 

Pakaian hitam pria itu basah oleh air yang turun deras di luar sana, juga agak kotor karena terciprat lumpur dan sedikit lusuh. Wajahnya terlihat cukup muda, tatapannya tajam dan waspada, sementara tangannya yang gemetar menggenggam sebuah payung hitam yang basah oleh air hujan.

 

“Ah, maaf aku datang tanpa membuat janji.” Pria itu merogoh saku dengan terburu-buru dan memberi Regulus selembar kertas, napasnya berat dan terkesan gugup. “Apakah kau punya benda ini? Atau apa saja yang sejenis ini.”

 

Itu adalah potret setengah badan seorang gadis berambut hitam dengan netra senada yang tersenyum anggun. Pria itu menunjuk kalung berliontin safir bagaikan mata sesosok makhluk yang tersemat pada leher jenjang gadis itu.

 

Kalung yang sangat familier di mata semua bangsawan pureblood, termasuk Regulus. Sapphire Eyes, yang juga disebut sebagai Dragon Eyes, adalah harta Keluarga Prince yang akan diberikan kepada pewarisnya. Sementara gadis muda yang mengenakan kalung itu merupakan ibu dari sahabatnya sebelum dia menikah dengan seorang muggle dan melahirkan master ramuan termuda abad ini.

 

Regulus menatap potret itu sedikit lama sebelum kemudian memberikannya pada remaja di belakangnya. Pria itu sedikit terkejut karena tidak menyadari kehadiran remaja itu, tapi dia tidak memedulikannya dan menatap Regulus, meminta jawaban.

 

Masih dengan senyuman yang tidak pudar Regulus bertanya dengan sopan. “Kalau saya boleh tahu, apakah kalung itu milik anda?”

 

“Tidak, er … maksudku, iya. Maksudku, itu warisan keluarga dan sebagai anak sulung kalung itu secara otomatis milikku, ‘kan?” Dia menjawab cepat. “Kalung itu hilang dan kakek ingin aku mencarinya, tapi dia tidak meninggalkan petunjuk apa pun.”

 

Mengangguk paham, Regulus berkata, “kami akan mencoba mencarinya, jadi anda bisa datang kembali besok untuk informasi lebih lanjut.”

 

“Ah iya baiklah, terima … terima kasih.” Pria itu berbalik pergi, dan Regulus segera menghilangkan senyumnya setelah pintu tertutup dan langkah pria itu menghilang di balik ward.

 

Harry yang melihat hal itu terbahak. “Biar kutebak, dia seorang Prince? Oh astaga, kau harus melihat wajahmu, Regie.”

 

Regulus merotasikan matanya. “Mereka sangat menjengkelkan. Tahun lalu si pak tua itu, sekarang cucunya. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

 

Harry mengedip polos. “Bagaimana jika pohonnya tumbuh di tepi jurang?” Regulus meringis dalam kekalahan, sementara Harry tertawa sekali lagi.

 

Tidak sampai semenit, suasana berubah serius di antara keduanya. “Tahun lalu si tua Prince meminta kita mencari kalung berliontin safir miliknya yang ternyata berada di kamarnya sendiri karena dia sudah pikun. Sekarang cucunya mencari benda yang sama, tapi untuk apa?”

 

“Kau tahu kalau kalung itu menandakan warisan Keluarga Prince, kan?” Regulus mengangguk. “Meski Keluarga Prince mengutamakan kemurnian darah, tapi menurut tradisi keluarga, kepala keluarga harus memilih penerusnya berdasarkan kemampuan utama keluarga mereka, ramuan.”

 

Menyesap susu madunya sekilas, Harry melanjutkan, “sebagai anak sulung, Eileen telah mengungkapkan keunggulannya di bidang ramuan, juga telah melahirkan dari suami mugglenya anak laki-laki dengan kemampuan yang tidak bisa diragukan, baik dalam medis maupun Potion. Sebaliknya adiknya, Harmonia, tidak seberbakat kakaknya tapi memiliki dua orang anak berdarah murni. Aku menduga pria tadi adalah si sulung, Laurence Fothergill.”

 

Regulus mengangguk paham. “Jadi, si tua Prince pasti akan mewarisi kalung penerus pada anaknya Eileen?”

 

Harry mencibir. “Kau berkata seolah Severus Snape bukan temanmu.”

 

Mengangkat bahu santai, Regulus menyeringai. “Dia itu kadang sangat menyebalkan seperti sahabat Gryffindor-nya. Mencibir para singa yang menyebut diri mereka Marauders dan menempatkanku dalam masalah mereka yang menjengkelkan.”

 

Harry menggeleng dengan prihatin, menyadari bahwa para orang dewasa kadang bisa menjadi lebih kekanak-kanakan. Dia menatap foto sekali lagi dan berkata dengan serius. “Laurence mungkin telah dibesarkan dengan anggapan bahwa dia akan mewarisi Prince, tapi dia malah menemukan potret bibinya mengenakan kalung pewaris secara tidak sengaja ketika berkunjung ke rumah utama.”

 

Tangan kecilnya merayap ke Daily Prophet, membuka hingga halaman ke 3, dimana seisi halaman itu hanya diisi dengan berita meninggalnya Harmonia Prince bersama suaminya karena kecelakaan. “Kau ingin mendengar teoriku?”

 

Mendapat anggukan lawan bicaranya, Harry menjelaskan, “dia pasti tidak tahu bahwa kalung itu telah Eileen kembalikan pada kepala keluarga ketika dia memutuskan untuk menikahi Tobias Snape. Tapi dia bahkan langsung mencari warisannya setelah menghadiri pemakaman orang tuanya, masih dengan pakaian berkabung. Dia tidak akan bergegas jika bukan dia penyebab kematian orang tuanya sendiri. Karena jika dia berhasil mendapatkan kalung itu dan menjadi kepala keluarga, fakta kecelakaan itu akan terkubur selamanya. Dia mungkin juga akan berusaha membunuh pewaris sebenarnya.”

 

Terlalu tajam dan seolah mengandung kebenaran yang menyakitkan. Tapi begitulah Harry dibesarkan sebagai Pangeran Underworld.

 

Regulus mengepalkan tangan, menyadari bahwa ucapan anak muda itu bukan hanya sekedar teori. “Lalu apa yang akan kita lakukan? Kalau memberitahu yang sebenarnya, dia akan langsung membunuh kakeknya. Jika tidak, dia akan menyeret kita dalam setiap masalah. Pembunuh seperti dia yang menjadi kepala keluarga hanya akan menggoyahkan kenetralan Keluarga Prince.”

 

Harry menoleh dengan tertarik. “Oh? Aku tidak tahu kalau kau sangat menyukai kenetralan keluarga itu.”

 

“Bukan suka,” Regulus mencibir, “kesombongan Keluarga Prince telah mendarah-daging seperti bangsawan pureblood pada umumnya—bahkan Severus, sekalipun dia tidak dibesarkan sebagai bangsawan. Karena itu aku tidak menyukai mereka. Tapi mereka adalah keturunan kedua dalam garis Gryffindor yang mewarisi bakat ramuan. Jika keluarga itu memilih pihak yang salah, semua ramuan mengerikan yang mereka simpan dalam daftar hitam mungkin akan tersebar dan membahayakan dunia sihir.”

 

Harry mengangguk paham. “Kau benar. Kalau begitu kita harus menemukan solusi dalam 24 jam ke depan, bukan?”

 

Regulus mengerang. “Seharusnya aku tidak mengatakan besok.”

 

Terkekeh pelan, Harry melangkah ke pantry kecil di belakang sana dan mengambil sebungkus keripik kentang berbumbu pedas kesukaannya.

 

“Bukan itu masalahnya, kan? Ketika dia datang besok, kau bisa memodifikasi ingatannya,” ucap Harry dengan santai.

 

Menggeleng pelan tanpa menanggapi ucapan si remaja, Regulus memilih memikirkan solusi lain selain menghabiskan energi untuk sihir sesaat yang tidak berguna. Meski energinya telah meningkat setelah menjadi asisten pangeran kematian, sifat hematnya tetap tidak berubah.

 

Tapi, Harry benar. Yang menjadi masalah bukan ikon pewaris Keluarga Prince, melainkan sosok yang akan menduduki puncak takhta itu. Jika dunia sihir hancur hanya karena ulah satu orang itu, tuannya lah yang akan disalahkan karena tidak kompeten dalam pekerjaannya.

 

Regulus memperhatikan ketika Harry meninggalkan dapur dan beranjak ke pintu dengan kertas hitam kecil di genggamannya. “Tugas lagi?” Anggukan yang didapatnya, sebelum Harry menghilang dibalik pintu.

 

_______

 

Wanita itu menatap sosok di depannya dengan terbelalak. Dia yakin sudah mati, dengan tubuhnya yang tergeletak mengenaskan di sisinya.

 

Tapi bukan itu masalahnya. Di depannya kini berdiri seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran keponakannya, dengan pakaian serba hitam juga jubah hitam yang menutupi seperempat tubuhnya, menatap datar sambil membawa kartu hitam bertuliskan namanya.

 

Bukan itu saja, tapi juga netra hijau yang bersembunyi dibalik kaca mata bulan berrantai emas serta tanda petir di dahi mulus yang tidak tertutupi apa pun.

 

Lalu suaranya terdengar; lembut tapi tegas. “Sudah puas memandangiku?”

 

Wanita itu mengedip terkejut, pipinya memerah menyadari dia telah menatap dengan tidak sopan. “Maaf, Anda terlihat mirip dengan orang yang mungkin Saya kenal.”

 

Anak laki-laki itu mengangkat alis lalu berkata, “maksudmu Harry Potter? Iya, itu aku. Ada masalah?”

 

Terkejut, wanita itu tanpa sadar bergerak mundur dengan kilat takut dalan netra navy blue-nya. Tidak dia sangka bahwa Penyelamat Dunia Sihir merupakan orang yang mendatanginya setelah kematiannya.

 

“Seharusnya ini bukan tugas wajibku sekarang, tapi Nex sedang sibuk dengan banyaknya jiwa menyebalkan dan tidak sempat mengurusmu.” jelas Harry, mengungkapkan seberapa kesalnya dia. “Lupakan saja. Amelia Bones, meninggal pada tanggal 31 Oktober …. Penyebab kematian, dibunuh oleh seorang Death Eater yang bekerja di Kementerian Sihir.”

 

Harry terdiam sejenak dan menatap Amelia dengan rumit. “Sejujurnya aku tidak menyangka kau akan meninggal 2 tahun lebih awal.”

 

Amelia terduduk dengan tak percaya, mendengar fakta bahwa dia memang telah ditakdirkan untuk mati dan itu bahkan sebelum dia dapat melihat kelulusan keponakannya. Dia menatap Harry dengan asing; perasaan sedih, asing, dan putus asa memenuhi hatinya.

 

“Aku bisa menghipkanmu kembali,” Harry berbicara lambat, “itu jika kau bersedia memberi jiwamu padaku.”

 

Itu terdengar seperti Amelia akan memberi jiwanya kepada sesosok iblis. Tapi Harry Potter bukan iblis, setidaknya Amelia masih meyakini hal itu dalam benaknya, meski hati kecilnya terus berbisik menahannya.

 

“Bukankah kau ingin melihat keponakanmu lulus dan sukses? Aku bisa mewujudkan hal itu jika kau mau,” bujuk Harry, yang mana terdengar sangat menggelitik keinginan terbesar Amelia.

 

“Jika ... Jika aku memberikan jiwaku, sampai kapan aku hidup? Dan akan kau apakan jiwaku nanti setelah kau mendapatkannya?” Amelia bertanya, terlihat takut namun penuh harapan.

 

Harry menaikkan satu alisnya. “Tergantung seberapa besar keinginanmu. Tentang apa yang akan kulakukan dengan jiwamu, itu bukan urusanmu.”

 

Amelia menghela napas. “Aku peduli dengan dunia sihir. Aku peduli dengan keponakanku. Aku ... Aku ingin menciptakan dunia sihir yang aman dan damai untuk keponakanku.”

 

Menjentikkan jari, Harry berucap, “keinginan ku terima. Selamat menjalani kehidupan keduamu, Amelia Bones. Mulai saat ini, kau tidak akan bisa mati tanpa seizinku.”

 

Hal terakhir yang dilihat Amelia adalah seringai tipis anak 14 tahun itu, sebelum kabut hitam merenggut kesadarannya. Dia tidak tahu apakah menjalin kontrak dengan anak itu akan baik-baik saja atau malah lebih buruk. Dia hanya berharap bahwa ketakutan terbesarnya tidak akan terjadi.

 

Tepat ketika tubuh dan jiwa Amelia menghilang, sesosok bertubuh manusia entah berjenis kelamin apa muncul di belakang Harry. Kain hitam yang menyelubungi tubuhnya tetap tidak menyembunyikan seringai maniak yang dihasilkannya kini.

 

“Hoo~ Vexare, rupanya kau bisa membuat kehidupan kali ini menjadi lebih menarik.”

 

Harry mengabaikannya dan memilih beranjak pergi dari tempat itu, masih dengan keadaan dirinya di dalam sisi lain; sisi dimana hanya orang-orang istimewa yang bisa melihatnya.

 

“Amelia adalah salah satu dari sedikit orang kementerian yang ku hormati. Aku mungkin mengabaikan dunia sihir, tapi dia adalah orang yang cukup kompeten dan dibutuhkan untuk perubahan dunia sihir,” Harry menjawab, tahu maksud dibalik kalimat sosok berselubung itu.

 

Selubung hitamnya bergerak naik-turun ketika dia mengangguk. “Lalu bagaimana dengan Regulus? Dan teorimu ….”

 

Harry menghentikan langkah dan menyeringai. Nex memiringkan kepala, sangat tertarik. “Kau membohonginya?”

 

“Dia terlalu terpaku pada hubungan Tuan-Majikan. Terkadang dia harus belajar bagaimana berpikir sendiri.” Harry membiarkan Nex tertawa sesukanya dan kembali berjalan.

 

Nex yang melayang tanpa alas kaki mengikuti di belakangnya. Tatapannya terlihat penasaran. “Kau berjalan? Mau kemana?”

 

“Hogwarts.”

 

Setelah jawaban singkat dan dingin itu, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Nex tahu untuk tetap diam ketika pembahasan mengenai sekolah sihir terkenal itu muncul. Dia juga tahu bahwa Harry selalu mengunjungi Hogwarts setiap 2 bulan di tanggal yang sama.

 

Sebagai seorang anak yang hidup dalam kesendirian, bahkan meski dia telah memiliki dua orang tua yang rela memberikan seisi dunia kepadanya, Nex tahu Harry merindukan masa-masa sekolahnya dulu; belajar, berteman, bertarung, akhir pekan di Hogsmeade, sensasi di atas sapu saat latihan maupun pertandingan Quidditch, Harry merindukan semua itu. Tapi entah apa alasannya, anak itu tidak ingin mengulang saat-saat itu. Nex juga tidak ingin memaksanya.

 

Mereka melewati pintu penghubung dan langsung tiba di tengah-tengah Great Hall. Tidak seperti waktu biasa Harry datang, kali ini Aula terlihat ramai karena waktu makan malam akan segera dimulai.

 

Secara refleks Harry memegang perutnya, menyadari dia belum mengisinya sejak tadi siang. Tidak mungkin baginya untuk makan disini karena dia pasti akan langsung ketahuan.

 

Namun sebelum Harry sempat menghilang dari sana, dia dikejutkan dengan tongkat sihir yang teracung di depan wajahnya serta tatapan tajam sepasang netra kelabu dari pemilik tongkat itu.

 

Tidak. Tidak ada yang memberitahu Harry bahwa Malfoy seorang yang istimewa.

 

Dapat melihatnya itu berarti bahwa Malfoy juga dapat melihat Nex dan segala hal tersembunyi lainnya. Muggle menyebutnya indigo, sementara tidak ada istilah khusus di kalangan penyihir. Satu hal yang pasti ialah bahwa hanya mereka dengan darah creature yang dapat melihatnya.

 

Dia sudah biasa tertangkap basah oleh Hagrid dan penghuni hutan terlarang, bahkan telah beberapa kali berkomunikasi dengan mereka. Tapi untuk pertama kalinya seorang wizard dapat melihatnya, Harry yang panik refleks menghilang secepat kilat dari tempat itu.

 

Dia muncul bersama Nex di dalam toko dan Regulus yang tengah melakukan hal yang tidak pantas disebutkan menoleh dengan bingung.

 

“Kalian kenapa?”

 

“Wah! Ini sangat menyenangkan, Vexare! Aku mulai berpikir hidupmu akan sangat membosankan ketika kau membuka toko bodoh ini tapi ini rupanya lebih menegangkan.”

 

Harry mengabaikan Nex yang mengoceh di belakang sana dan beralih menatap datar pada Regulus yang baru saja menaruh ular karet dalam tas pribadinya.

 

“Aku berasumsi bahwa kau telah menemukan titik terang kasus karena kau terlihat begitu santai,” ucapnya.

 

Regulus meneguk dengan gugup. “Sebenarnya tidak.” Harry mengangkat satu alis atas hal itu.

 

“Saat kau pergi, Kepala Keluarga Prince menghubungiku dan mengatakan bahwa Sapphire Eyes hilang,” lanjutnya.

 

“Apa?”

 

Harry sedikit mengernyit, mengabaikan kehebohan Nex yang mengatakan tentang petualangan selanjutnya. Sejujurnya, menurut Harry, makhluk itu sangat mudah bersemangat bahkan pada hal kecil.

 

Regulus menatap tuan mudanya cukup lama sebelum berkomentar, “bukankah kau sudah tahu hal ini akan terjadi?”

 

“Aku tahu cepat atau lambat Fothergill akan mengetahui bahwa benda itu masih berada di tangan kepala keluarga,” Harry mengangguk, “tapi, bukankah ini terlalu cepat? Kesehatan pak tua itu masih sama seperti biasa bahkan setelah kehilangan anak kedua-nya. Dia bukan orang yang mengambil tindakan tergesa-gesa seperti ini. Juga, jika dia benar-benar telah mengumumkan penerusnya, benda itu tidak akan hilang begitu saja.”

 

“Kapan tepatnya pak tua itu menghubungimu?” Harry bertanya.

 

Regulus menunduk pada jam tangannya dan menjawab, “2 jam yang lalu. Dia meminta kehadiranku tapi aku menundanya karena kau tidak ada.”

 

“Kenapa harus menungguku?” Harry duduk santai di depan sebuah piano antik, membuka penutupnya dan mulai memainkan Fantasia in D Minor dengan penuh penghayatan, membuat bulu kuduk Regulus berdiri di setiap nadanya. Dia selalu senang dengan setiap permainan musik tuan mudanya, kecuali piano. Karena itu berarti ada 1 lagi jiwa yang bersedia menjilat bersih jalan yang dilewati Harry.

 

“Biasanya juga kau bisa menangani kasus ini sendirian,” lanjutnya.

 

Atensi Regulus masih terpaku pada permainan piano Harry. Mengobati rasa penasarannya, dia bertanya, “apa ada yang mati lagi?”

 

Gerakan tangan Harry terhenti sesaat, tolehan singkat dia berikan sebelum berkata, “itu bukan inti pembahasan kita saat ini, Regulus.”

 

Regulus meneguk dengan gugup, lalu menunduk sembari berkata, “maaf, pangeran. Sebenarnya Saya juga menerima surat dari Laurence Fothergill satu setengah jam kemudian.”

 

Kali ini Harry sepenuhnya berhenti bermain. Dia memutar tubuh dan menatap Regulus dengan serius. “Apa isi suratnya?”

 

“Dia memuji kecepatan bekerja kita dan tidak menyangka bahwa kita akan mengambil resiko untuk mencurinya dari kakeknya. Dia akan datang 1 jam lagi untuk mengambil permatanya,” kata Regulus.

 

Harry mengepalkan tangan. “Ditilik dari isi suratnya, sepertinya dia sudah tahu keberadaan dan informasi terbaru kalung itu. Kemungkinan pertama, jika kita tidak memberinya kalung itu dia akan menuduh kita dan membawanya ke jalur hukum. Kemungkinan kedua, jika kita memberinya kalung itu, entah asli atau palsu, dia tetap akan menuduh kita sebagai pencuri. Dia pasti akan melakukan hal paling kotor untuk membersihkan jejak kriminalnya.”

 

Regulus khawatir. Dia telah berjanji, pada dirinya sendiri dan pada kedua penguasa Underworld, bahwa dia tidak akan membiarkan nama putra mereka ternodai seperti kehidupan pertamanya. Baru kali ini dia merasa gagal sebagai orang dewasa. Harry telah menariknya dari Tartarus tapi dia bahkan tidak bisa menyelesaikan kasus sederhana seperti ini.

 

Dihubungkan melalui ikatan tuan dan pelayan, hati Harry menghangat oleh kekhawatiran Regulus. Dia terkekeh dan bertanya, “apa kemampuanmu sudah tumpul, Regie?”

 

Regulus mendengus kesal, tapi tidak menyangkal karena tahu bahwa kemampuannya menurun jauh sejak keluar dari Underworld. Ah, dia jadi merindukan pelatihan Hades.

 

“Apa sebaiknya Saya menutup toko dan bersembunyi?” tanyanya.

 

Harry menggeleng. “Itu sama saja seperti kemungkinan kedua. Satu-satunya yang bisa kita lakukan saat ini adalah mendatangi Tuan Besar Prince.”

 

_______

 

“Pencuri! Pasti ada pencuri! Beraninya seekor tikus kecil mencuri di rumahku!”

 

Roderick Prince terus berteriak, sementara Harry dan Regulus hanya duduk diam, menunggu kepala keluarga Prince selesai dengan amukannya.

 

Regulus rasanya ingin membungkam mulut pria tua itu jika bukan karena fakta bahwa mereka berada di rumah orang lain saat ini. Dia tahu, meski Harry terus bersikap tenang, hatinya tetap tidak nyaman mendengar setiap kata kasar yang keluar dari mulut kepala keluarga Prince. Kehidupan keras dan gelap di Underworld bahkan tidak menghentikan kedua penguasa untuk memanjakan putra mereka, termasuk dengan tidak membiarkan telinga Harry tercemar oleh kata-kata kasar para penghuni dunia orang mati.

 

Di sisi lain, sembari menyesap teh yang disajikan oleh pelayan kediaman Prince, Harry diam-diam mengamati setiap orang yang ada di ruangan itu lewat netra emeraldnya yang nampak bosan. Rugulus mungkin memercayai kata-kata dan teorinya dengan mudah, meski kenyataan belum terlihat oleh matanya. Bahkan meski dia telah melihat kebenaran, Regulus akan tetap menutup mata karena kepercayaannya lebih berfokus pada tuan yang dia layani. Harry tidak bisa hanya memercayai instingnya; dunia fana bisa lebih menakutkan jika mereka mau, tidak mengherankan bahwa Harry membutuhkan lebih dari abad untuk lepas dari zona nyamannya.

 

Sepenglihatannya, Roderick Prince yang murka tapi menyempatkan diri untuk meminta maaf kepada istrinya di sela-sela waktu masih sama seperti dirinya yang biasa; pria itu tidak ramah, penuh perhitungan, tapi kekuatannya di Dunia Sihir dan Wizengamot membuat banyak orang segan padanya. Meski Harry tidak termasuk salah satunya, tidak dipungkiri bahwa dia mengakui kekuatan pria itu bahkan saat dia telah cukup tua untuk memikirkan pewaris—salah satu alasan Harry mengambil kasusnya.

 

Disisi lain, istrinya, Muireann Prince, yang duduk dengan tenang sambil sesekali memberikan senyum sebagai penenang kepada suaminya bahkan tidak menatap mata para tamunya sejak mereka tiba. Harry melihat sekilas ekspresi jengkel di mata birunya dan memutuskan untuk tidak mengabaikannya. Apa yang Harry ketahui dari wanita itu adalah bahwa Muireann Prince terlalu muda ketika dia menikahi duda Prince beberapa tahun lalu. Itu terjadi sekitar dua bulan setelah kepergiannya dari rumah Dursley, dia pergi bersama Regulus yang telah mengambil peran sebagai walinya dan mendengar tanggapan beberapa keluarga darah murni tentang ‘mengambil tanggung jawab mulia untuk mengurus orang tua’ dan sejenisnya. Harry mencibir pada hal itu yang membuat Regulus secara aktif menutup mulutnya. Dia telah menandai wanita itu dalam daftar ketidaksukaannya dan tetap berjalan hingga hari ini.

 

Sejauh dia mengenal Muireann Prince, wanita itu tidak ramah pada orang lain, meski dia hanya mampu menunjukkannya lewat tatapannya. Tapi dia merawat Roderick dengan baik, jadi tidak ada alasan bagi Harry untuk mencurigainya. Namun, ada sesuatu dalam tatapan wanita itu 2 tahun belakangan dan Harry yang telah berjanji pada dirinya sendiri untuk melindungi pria tua itu sampai dia menentukan pewarisnya memutuskan untuk mengawasi kehidupan Keluarga Prince diam-diam. Hingga akhirnya dia mendapati fakta yang mencengangkan.

 

Dia mendengar Regulus berdecak kesal dan menoleh pada pria itu, yang rupanya tengah mengarahkan atensinya ke sisi lain ruangan. Harry menoleh tepat ketika Laurence Fothergill mengedip terkejut padanya seolah dia tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika melihat kehadiran seorang anak kecil dalam permasalahan keluarga. Harry mendengus pada pemikiran itu.

 

Regulus menyunggingkan senyum bisnis yang biasa selayaknya bangsawan pureblood Black. Seolah telah menunggu kedatangan Laurence, keturunan Black itu menyambut pria yang kebingungan dengan hangat.

 

Harry setengah melamun ketika walinya memulai interogasi antara para penghuni rumah. Dia memikirkan tentang banyak hal yang dia lewati selama 6 tahun di dunia fana dan banyak kekosongan atas apa yang telah ditinggalkannya. Menjadi manusia lagi benar-benar tantangan; tidak mudah baginya untuk melihat perasaan orang lain, terutama dengan sebagian kekuatan dewanya yang dia tinggalkan di rumah.

 

“... Saya tidak diperbolehkan masuk ke kamar Tuan dan Nyonya. Terlebih, yang Saya tahu ada cap untuk mengenal setiap orang yang masuk ke kamar Tuan dan Nyonya yang dapat mengeluarkan racun. Anda juga tahu hal itu ‘kan, Tuan Black? Setelah peristiwa 2 tahun lalu, keamanan lebih diperketat.”

 

Itu adalah orang terakhir yang diinterogasi, seorang gadis muda bernama Andrea yang Harry kenal sebagai anak dari salah satu keluarga pureblood dari Jerman yang bekerja sebagai satu-satunya pelayan manusia di Keluarga Prince setelah melarikan diri dari keluarganya yang hendak menjodohkannya kepada seorang pelaut pureblood kaya raya.

 

Peristiwa 2 tahun lalu yang disebutkan gadis itu adalah sebuah rencana pembunuhan yang pada akhirnya menewaskan kedua pelaku setelah mencoba masuk ke salah satu kamar dan terkena jebakan racun Prince. Itu adalah percobaan pembunuhan Keluarga Prince pertama sejak sekitar 10 tahun dan Roderick telah menambah keamanan pada setiap sudut rumah itu. Tentunya itu adalah apa yang disimpulkan oleh Regulus dalam penyelesaian kasus, meskipun fakta yang ditemukan Harry lebih rumit dari itu.

 

Andrea adalah anak tunggal dari putri sulung Keluarga Edelstein, bangsawan pureblood dari Jerman. Ibunya membawa identitas pria yang menjadi ayah Andrea ke liang kubur dan membuat keluarganya menyiksa gadis itu di rumahnya sendiri karena menganggap bahwa kelahirannya merupakan sebuah aib bagi keluarga. Namun, melalui penglihatan dewa Harry, dia tahu dari aura gadis itu bahwa ayahnya bukan orang sembarangan.

 

Bahkan bukan orang.

 

Harry menoleh pada walinya setelah jeda yang agak panjang dan terasa canggung. Pria 30-an itu masih dengan senyum bisnis yang sama, namun ada kilatan jengkel di matanya. Harry memiringkan kepala, sedikit terkejut mengetahui bahwa bungsu Black itu telah memecahkan kasus itu. Yah, itu lebih cepat dari biasanya.

 

“Lord Prince, kalung pewaris Anda tidak menghilang. Benda itu masih ada di rumah ini.”

 

Regulus mengabaikan kepala Prince yang bersorak dan beralih pada Lady Prince yang berwajah pucat namun masih mampu mempertahankan ketenangannya.

 

“Nyonya, Anda tidak bisa menentang takdir.” Harry mengernyit pada kalimat itu, dan seperti sudah membaca pikirannya, Regulus menoleh padanya sekilas dengan seringai kecil yang membuat Harry mendengus.

 

Regulus tahu kebohongan kecilnya.

 

Kesimpulan dari kasus dadakan hari itu adalah bahwa Roderick tidak sengaja menaruh Sapphire Eyes di bagian paling belakang brankas pribadinya dan bahkan melupakan kata sandi brankasnya sendiri.

 

Sangat konyol.

 

Laurence menyunggingkan senyum sumringah yang membuat Regulus memutuskan untuk tidak berkata apa pun pada pemuda itu. Namun, dia sempat menarik Regulus ketika perhatian orang-orang teralihkan dan memberinya ucapan terima kasih yang hanya semakin membingungkan Regulus.

 

Pada akhirnya, kasus itu ditutup oleh Regulus dan Harry memutuskan untuk menyampaikan maksud kehadirannya. Dia mengeluarkan sepucuk kertas dari sakunya dan memberikannya pada Andrea, yang diterima gadis itu dengan bingung.

 

“Nomor telepon kantor kami,” kata Harry, “seorang Disleksia masih bisa membaca angka, ‘kan?”

 

Andrea tersentak. Bagaimana dia tahu? Adalah apa yang tergambar di wajah gadis itu.

 

Harry mendengus. “Kau baru saja mengonfirmasi kecurigaanku. Aku tahu, itu memang turunan keluarga.”

 

Lady Prince berdeham, menarik perhatian mereka. “Maaf jika aku mengganggu pembicaraan kecil kalian, tapi jika kau ingin membicarakan tentang keluarga Andera, kau harus melibatkan kami sebagai orang yang saat ini bertanggung jawab atas dia.” Kata-katanya tajam, menantang.

 

Harry terkekeh. “Maaf, Lady Prince, Saya tidak bermaksud. Saya hanya ingin mengonfirmasi fakta tentang ayah Nona Andrea.”

 

Setiap orang di ruangan itu menampilkan raut terkejut, bahkan Regulus. “Bukan pencarian yang mudah, tapi itu sepadan dengan hasilnya. Kurasa kau bahkan bisa menamparnya ke wajah setiap anggota Keluarga Edelstein.”

 

“Apa!?” Roderick membentak.

 

“Jika kau meneruskan omong-kosong ini, tuan muda, aku harus memaksamu untuk pergi,” Kata Muireann, tangannya terkepal di atas pangkuannya. Dia menyembunyikan fakta tentang keluarga gadis itu dari suaminya selama 2 tahun, tapi seorang anak kecil dengan berani menghancurkan rencananya.

 

“Anda tidak bisa menyembunyikannya selamanya, Lady Prince- tidak, dengarkan Saya dulu,” Dia memotong wanita yang marah, “Anda hanya menambah penderitaan Keluarga Prince jika terus menyembunyikan Nona Andrea. Bahkan Nona Andrea sendiri akan makin tersiksa, baik fisik maupun mental.”

 

Keadaan menjadi menegangkan untuk beberapa saat, hingga Andrea memutuskan untuk berbicara. “Bisa- bisakah tuan muda memberitahu Saya fakta apa yang tuan muda maksudkan?”

 

Harry duduk dengan tenang di bawah tatapan tajam Muireann, juga mengabaikan sepenuhnya Roderick yang mengumpati Keluarga Edelstein. “aku akan mulai dari ibumu,” Harry memulai, “Nona Andrea, ibumu merupakan hasil hubungan satu malam antara Noira Edelstein dan Gellert Grindelwald.”

 

Andrea terlalu tercengang hingga hampir tidak mampu merangkai kata. “Tunggu- tidak- maksudmu nenekku-”

 

“Tidak,” Harry memotong, “Edelstein pada dasarnya adalah salah satu pengikut Grindelwald, jadi mereka telah memuja ibumu … setidaknya sampai kelahiranmu dan kematiannya.”

 

Gadis itu berwajah sedih, Harry memerhatikan, lalu kemudian dia menjadi merah karena marah. Tatapan tajamnya mengingatkan Harry pada ibunya setelah mengetahui tentang Maria di Angelo dan anak-anak demigodnya yang disembunyikan ayahnya. Harry tidak berani mendekati meja makan karena ketegangan di antara kedua orang tuanya.

 

Harry memutuskan untuk melanjutkan, “yang tidak kumengerti adalah bagaimana mereka tidak berusaha mencari tahu asal-usulmu, daripada membiarkannya terkubur bersama ibumu. Memang itu juga merupakan hubungan tersembunyi, tapi ayahmu akan tetang datang jika kau memanggil.”

 

“Tidakkah kau terlalu berputar-putar, nak?” Muireann mengeluh jengkel.

 

Harry mendesah frustasi. “Ini tidak sesederhana itu, nyonya. Bahkan untuk penyihir, tidak akan mudah untuk memercayainya.”

 

“Kalau begitu jelaskan!” Roderick membentak.

 

“Jika kau tahu tentang dewa-dewi Yunani, maka ini akan lebih mudah,” Kata Harry pada gadis itu.

 

“Andrea menyukainya dan aku sering membacakannya karena dia tidak bisa membaca karena disleksia,” Celetuk Muireann.

 

Harry menyihir selembar kertas dengan tangan kosong dan mengambil pena dari dalam sakunya, lalu menulis di atasnya. Dia kemudian memberikannya pada Andrea dan menyuruh gadis itu membacanya.

 

“Andrea Edelstein? Tunggu! Ini- bagaimana aku bisa membacanya?”

 

Harry mengangguk. “kau seorang demigod.” dia terdiam sejenak oleh suara terkesiap di sekitarnya, “melihat kau bisa membacanya dengan mudah, aku menduga bahwa ayah- orang tuamu yang lain adalah dewa penerjemah.”

 

Melihat tatapan penuh tanya yang diarahkan padanya, Harry berkata, “aku tidak tahu siapa pastinya sampai kau di klaim. Jika kau bertanya kenapa orang tuamu tidak pernah mencarimu, itu adalah karena kau telah bersembunyi di bawah perlindungan dewi sihir selama bertahun-tahun. Kau ingin di klaim dengan mudah? Pergilah ke tempat para half blood berkumpul atau jika kau punya cukup otak untuk berpikir-”

 

“Baiklah, Harry, cukup sampai disitu.” Regulus segera menghentikannya sebelum anak muda itu berceloteh lebih banyak, ada senyum geli di bibirnya. “Mohon maaf atas gangguan kecil ini, tapi kami harus segera pergi sebelum Harry menjadi lebih bersemangat. Bagaimana pun ini sudah larut.”

 

Mereka pergi setelah bincang-bincang ringan nan singkat.

 

Laurence tersenyum kecil pada kakek-neneknya. “Jadi, adakah yang bisa menjelaskan kepadaku?”

 

“Apa lagi yang harus dijelaskan?” Muireann bertanya dengan kelembutan yang menipu.

 

“Menurutmu aku anak kecil?” Senyumnya menghilang. “Tentang orang tuaku … satu minggu kesempatan dariku atau akan ku cari tahu sendiri, dan lihat apa yang akan kulakukan.”

 

Laurence meninggalkan rumah itu dengan kemarahan di setiap langkahnya.

 

Notes:

Jika ada kesalahan penulisan atau sejenisnya bisa di komen.