Work Text:
Obsidian menatap datar pada biru laut. Tidak bertukar kata sedikit pun dan memilih untuk saling pandang saja. Menulikan pendengaran dari sisa-sisa keramaian perpustakaan di jam belajar serta berusaha mengabaikan eksistensi kakak kelas paling top yang sedang menatap mereka penuh tanda tanya.
Jam belajar malam harusnya sudah berakhir beberapa menit yang lalu, tapi Riddle dan Azul masih tampak betah saling bertatapan di bangku mereka masing-masing. Agak langka sebenarnya, mengingat keduanya cukup disiplin—dan biasanya mereka bakal balik ke asrama tepat setelah lonceng jam belajar bredentang.
"Aku tidak tahu seorang Azul Ashengrotto percaya takhayul semacam ini," si merah mendengus geli. Seringai tipis terpasang apik mengukir bibirnya. Kelihatan senang bukan main merasa menemukan kelemahan—keanehan dari seseorang yang mengklaim sebagai saingannya. "Sekarang perihal jam 11.11, besok apa lagi? Zodiak?"
Azul tertawa palsu. Penuh kebohongan. Berlagak seolah tersipu padahal jantung juga mau meledak dikomentari begitu. Memang mudah salah tingkah, aslinya. "Loh, jujur, aku memang suka mengikuti kesukaan customer, Mas Riddle."
Sudah rahasia umum memang kalau si manusia gurita satu ini tahu banyak hal demi pembeli. Tren terkini di daratan pun rela dia ikuti meski bingung banget jujur. Gosip-gosip terkini juga dia tahu. Gosip sekolah, gosip artis, skandal, dan sebagainya semua tahu.
Lagi-lagi semua demi customer—dan uangnya, tentu saja.
Masalahnya, Riddle Rosehearts yang duduk di hadapannya ini bukan salah satu penikmat jasa abu-abunya itu. Bukan juga orang yang mau suka rela percaya hal-hal takhayul begitu. Aneh sekali kalau menyodorkan perihal begini pada Riddle yang lebih meyakini usaha keras ketimbang harap-harap palsu semata.
Maka, si merah memutuskan segera memberesi bukunya. Lidahnya mendecak sebal, sudah malas menanggapi tingkah Azul yang tampak sengaja membuatnya kesal. "Aku pulang dulu, Az—"
"Tunggu sebentar, Riddle. Satu menit lagi, oke?"
Riddle menatap datar. Azul jarang memohon apalagi memelas, tapi yang satu barusan juga tidak terdengar seperti memohon.
Obsidian melirik pada empat digit angka di layar ponsel ketua asrama Octavinelle tersebut. Fine, dia bisa bikin pengecualian untuk tinggal satu menit lebih lama lagi.
Sialnya, enam puluh detik terasa berdetak sangat lama. Acap kali Riddle melirik pada hitungan detik yang tertera, rasa-rasanya cuma bertambah satu sampai dua angka saja. Tidak lebih, tapi bisa kurang. Damn, dia juga sudah kehabisan topik pembicaraan, pun keduanya juga bukan orang yang sering membuka obrolan terlebih dulu.
Azul tampak tenang saja duduk santai di kursinya. Sedangkan untuk Riddle, tiap satu detik berderak, rasanya hangat di wajah makin tak karuan. Mau mengalihkan pandangan juga berasa sayang. Kapan lagi bisa duduk berhadapan dengan gebetan tanpa perlu beradu argumen bodoh? Hal yang langka sekali melihat seorang Azul tidak banyak bacot dan memilih untuk diam menghabiskan sisa satu menitnya.
Kecilnya pemikiran Riddle sampai terlintas, apa jangan-jangan Azul tidak 'melihat' Riddle sebagaimana Riddle 'melihat' dia?
Ah, yang benar saja.
Terakhir kali waktu si gurita itu sadar sudah tertidur di bahunya saja rupanya tak karuan mirip potongan gurita di takoyaki. Harusnya nih, normalnya nih, dia pasti juga mirip-mirip lah ya punya perasaan dengan Riddle?
Si merah mengusap wajahnya kasar. Menertawakan kekanak-kanakan pikirannya. Barangkali anak asramanya melihat Riddle yang tersipu begini, bisa habis dia diledek ramai-ramai entah sampai kapan.
"Lima detik lagi," Azul angkat bicara. Buku-buku miliknya yang tadi berserakan terlihat sudah hilang dari pandangan. Jelas pasti sudah berdesakan di dalam tas milik pedagang muda satu itu. "Baiknya kamu juga mulai menyiapkan harapan."
"Konyol," Riddle mendengus geli, menyandarkan wajahnya pada telapak tangan. Memperhatikan bagaimana raut muka Azul berdenyut kesal mendengar celetukannya tadi. "Kau serius percaya harapanmu akan tiba-tiba terkabul, cuma karena berdoa di jam 11.11? Tidak sekalian berdoa saat ada bintang jatuh?"
Kurang lebih itu omongan Riddle, sebelum lima detik setelahnya dia turut mengatupkan tangan dan mengikuti Azul yang tengah berharap.
Dua orang konyol sedang berdoa pada 11.11.
Azul menyeringai puas. Biru laut miliknya terlihat menantang obsidian yang sewot padanya. "Jadi, Riddle Rosehearts yang super rasional ini berharap apa pada 11.11?" Ujung bibir terangkat, Azul memang sengaja memancing kekesalan Riddle lebih lanjut.
"Tidak ada. Konyol."
"Waduh, padahal saya berharap hubungan kita bisa lebih dari ini, loh," pura-pura sedih, Azul mengusap ujung matanya yang bahkan masih kering. Cuma ada tangisan buaya—padahal dia gurita. "Jadi pacar, misal."
Riddle menoleh dengan cepat. Ia berani bersumpah kalau tadi lehernya terdengar berderak saking cepatnya ia menoleh. Matanya menatap sebal, satu tingkat lebih sebal dari sebelumnya. "Lah, memangnya kita apa?" Nada bicaranya meninggi sedikit, cukup ketar-ketir menunggu jawaban dari pemuda di hadapannya.
"Teman, 'kan?"
"Konyol," tanpa ba-bi-bu lagi, Riddle segera beranjak dari tempat duduknya. Tangannya sembarangan mengambil tas serta barang-barang miliknya, berniat meninggalkan Azul yang terbengong-bengong detik itu juga. "Tidak ada teman yang lanjut berciuman tiap berpapasan di koridor kosong, dasar konyol."
