Work Text:
Mingyu bertanya-tanya, apa cinta bertepuk sebelah tangan adalah rasa yang abadi atau hanya sekadar obsesi?
Bagian 1.
Mingyu hidup dalam ilusi. Dia buta akan afeksi, baginya renjana itu semu. Rasa egois yang dimiliki si optimis. Hidupnya gelap, berdua dengan sang Ayah tidak membuatnya menjadi lebih baik. Ibunya mati, Mingyu penyebabnya. Entah dosa apa, dari sekian banyaknya bayi, dia terlahir membawa sepi. Ayah bilang dia petaka, sumber kegagalan yang membuatnya tenggelam dalam kesuraman. Tidak jarang ikat pinggang menyapa kulitnya, meninggalkan jejak kemerahan atau goresan.
Wanita berbalut busana rapi di televisi bilang hari itu akan cerah berawan. Senyumnya terbit selagi bayangan dirinya berlari riang mengejar bola bersama teman sebaya di tanah lapang terputar. Delapan tahun Mingyu hampir keluar dari apa yang mereka sebut rumah sebelum lengannya ditarik paksa sang ayah yang setengah mabuk. Matahari masih tinggi, taktahu alasan jelas pria paruh baya itu tercium seperti tercelup dalam alkohol.
Senyuman sirna, bulatan jernih irisnya bergetar takut. Suaranya mencicit meski hatinya ingin menjerit. Mingyu tidak tahu sudah berapa belas kali gantungan baju itu bertemu betisnya. Hitungannya terlupa seiring kaki yang makin terluka.
“Kenapa harus kamu yang selamat?!” Bentak ayahnya terakhir kali sebelum mendorongnya keras dan beranjak pergi.
Mingyu mungkin belia, tapi dia tahu, dirinya penyebab cinta kedua orangtuanya rusak.
Mingyu takut. Kakinya itu sedikit bengkok, dengan tambahan luka yang ada, dia pikir dia akan lumpuh. Berakhir terduduk di kursi roda seperti Kakek Gong, pemillik toko permen di ujung jalan. Mingyu takut, jika ayahnya akan memukulnya lagi. Dia lelah, perutnya lapar belum diisi sejak kemarin sore. Air yang diminum tidak mampu menutup rengekan cacing-cacing di lambungnya. Jadi dia pergi, berlari meski sesekali jatuh tertatih. Tidak ada yang bisa dibawa kecuali selimut biru kepunyaannya.
Mingyu pikir dia hampir mati.
Wanita itu berbohong. Matahari seakan menghindar darinya, awan berbondong-bondong berkumpul di atas kepala. Dan di setiap langkahnya tetes hujan turun membasahi tubuhnya yang kian berkunang.
Jadi ini rasanya mandi hujan, adalah pikiran terakhirnya sebelum semuanya gelap.
Terbangun dalam suasana aman tidak pernah ada dalam bayangannya. Matanya menyelidik di mana gerangan tubuhnya terbaring. Ruangan itu biru, penuh barang, dan hangat. Susunan buku-buku menarik perhatiannya. Mingyu jarang melihat benda itu di rumah. Disusurinya rak penuh minat, dia tidak bisa baca. Ayahnya terlalu sering pergi, pulang hanya untuk memberi tahu betapa kejamnya dunia tanpa sempat memerhatikannya. Mingyu sebenarnya ingin sekolah, seperti Yugyeom yang sudah kelas 3 dan pandai membaca atau seperti Junhoe yang mahir berpuisi atau mungkin seperti Jungkook yang bisa berbahasa asing. Mingyu iri.
Dia hendak mengambil buku berwarna hijau yang menampilkan kura-kura sebagai tokoh utamanya sebelum pintu kamar itu terbuka. Mingyu terhenyak, matanya mengerjap panik.
“Ma-maaf,” lirihnya amat pelan hampir tidak terdengar. Tubuhnya membeku, jemarinya diremas kuat-kuat.
“Oh udah bangun, udah kuat jalan? Kalo iya diajak Bunda makan di bawah,” ujar anak laki-laki di depannya.
Mingyu menatap anak itu bingung.
“Kok diem? Masih sakit ya? Kalo gitu tidur aja lagi, gapapa kok. Nanti aku bilang Bunda kamu masih sakit,” lanjutnya. Anak itu berjalan mendekat meski Mingyu perlahan menjauh.
“Kamu engga bisa ngomong ya?” tanyanya sendu. Mingyu menggeleng, dia bisa bicara.
Tanpa aba-aba anak itu menangis, Mingyu panik. Langkah kaki terburu-buru terdengar, membuatnya takut.
“Adek kenapa nang-Loh kamu udah bangun?” Wanita itu cantik, helai rambutnya terlihat lembut. Wajahnya tersenyum manis didampingi lesung pipi di kedua sisi.
“Bunda ... kasian ... dia engga bisa ngomong,” adu sang anak sambil terisak.
Bola mata Mingyu melebar, apa katanya?
“Aku bisa ngomong,” ucap Mingyu. Suaranya sedikit serak, mungkin karena dia haus. Ajaibnya, tangisan itu berhenti. Anak laki-laki itu menatapnya girang.
“Kamu bisa ngomong!” Serunya senang sambil menghambur memeluk Mingyu.
Delapan tahun Mingyu akhirnya mendapatkan pelukan pertamanya.
Bagian 2.
Mingyu menemukan keluarga baru. Hidupnya menjadi sedikit lebih baik, sepertinya. Terhitung lima tahun dia tinggal bersama keluarga ini, Keluarga Lee. Bunda masih terlihat cantik, wanita itu lembut penuh sayang. Anak laki-laki yang menyebutnya bisu itu Seokmin, putra semata wayang sebelum Mingyu berakhir di angkat menjadi bagian dari mereka. Dan terakhir Papa, rautnya yang hampir selalu datar membuat Mingyu sesekali merasa ngeri. Mingyu bahagia, meski terkadang dia masih suka bermimpi buruk ketika sakit, dia bahagia.
Mingyu kira hidupnya sudah sempurna, sebelum dirinya bertemu apa yang mereka sebut sebagai cinta pertama.
Usianya tiga belas tahun ketika matanya terpaku menatap pria yang asik memantulkan bola oranye di tengah terik mentari. Seokmin menariknya paksa untuk ke kantin meski kakinya seperti terpaku. Mata mereka beradu, hanya butuh sepuluh detik sebelum Mingyu tenggelam dalam pesona Yoon Jeonghan.
“Seokmin, aku kayanya suka sama Jeonghan,” ujar Mingyu. Malam Jumat kali itu hanya mereka berdua di rumah. Seperti biasa, Seokmin dan Mingyu menonton serial horor di televisi sambil menyendok es krim ke mulut mereka.
“Jeonghan yang anak basket? Yang pernah menang lomba futsal?” tanya Seokmin sambil menjilat sendok berlumur es krim vanila. Mingyu mengangguk semangat, matanya berbinar.
“Kok bisa? Dia, ‘kan cowok.” Seokmin kini menatap Mingyu penasaran. Mingyu balik menatap Seokmin bingung.
“Emangnya kalo sama cowok gabisa ya?” Mingyu menggaruk pelipisnya pelan. Seokmin hanya mengangkat bahu tidak tahu.
“Nanti tanya bunda aja,” putusnya yang disetujui Mingyu.
Bunda itu serba tahu, dia selalu tahu bagaimana cara buat makanan yang enak, bunda tahu di mana letak setiap barang di rumah, bunda tahu es krim favorit Mingyu meski dia tidak bilang, bunda tahu gimana cara mengerjakan pr matematika yang susah, bunda tahu kalo semut itu punya ratu dan berkaki enam, pokoknya bunda tahu. Dan semuanya benar. Jadi, ketika bunda bilang kalau Mingyu suka Jeonghan itu salah, dia bingung.
Kata bunda, laki-laki hanya bisa berpasangan dengan perempuan. Sama seperti Bunda dan Papa, sama juga seperti Tante Na dan Om Gio, selalu begitu sejak Adam dan Hawa. Bunda bilang, Mingyu hanya kagum. Rasa itu akan hilang seiring waktu, katanya. Tapi ini sudah setengah tahun dan jantungnya makin berdebar tiap dia berpapasan dengan Jeonghan.
Seokmin bilang dia harus tunggu sampai masuk SMA, karena itu tandanya kita sudah dewasa. Bisa tahu mana benar dan salah. Jadi Mingyu menunggu. Dia selalu kalut ketika dadanya bertalu setiap berpapasan dengan Jeonghan, dia selalu takut tiap kepalanya menampilkan bayangan senyum Jeonghan di setiap mimpinya, dan dia resah setiap relungnya menjerit rindu ketika tidak bertemu Jeonghan.
Mingyu takut, apa dia akan dipukul Papa dan Bunda jika tetap suka Jeonghan meski sudah masuk SMA?
Nyatanya putih abu membawa Mingyu terjerat makin erat pada pesona Jeonghan. Hatinya seakan takluk tanpa mau beradu argumen. Pria itu tumbuh semakin tampan, senyumnya yang manis juga bintik kecil di bawah matanya membuat Jeonghan sangat mempesona.
“Halo, Nama gue Jeonghan. Lo anak lulusan SMP 2 juga, ‘kan?”
Mingyu panik, wajahnya memanas malu tanpa tahu waktu. Jeonghan menatapnya bingung sebelum terkekeh.
Ya Tuhan, lucu, pikir Mingyu.
“Kok ngelamun? Lo gamau duduk bareng gue ya?”
“Mau!” jerit Mingyu tanpa sadar. Jeonghan kini tertawa, wajah Mingyu mungkin sudah semerah mawar sekarang.
“Panik banget, hehehe. Lucu deh, lo,” ucap Jeonghan.
Mingyu tidak tahu ini benar atau salah, tapi yang pasti jantungnya berdegup kian kencang tanda dia semakin jatuh.
Mingyu gila. Entah hanya prasangkanya atau Jeonghan memang mulai menyukainya juga. Awalnya mereka tentu canggung, hanya bertegur sapa seadanya dan bicara ketika ada pr. Seiring waktu, mereka dekat. Obrolan mereka kian panjang, Mingyu taklagi ragu menunjukkan sayang meski perlahan. Kalau kata Seungcheol, mereka seperti kembar.
Mingyu tahu, mestinya dia bersyukur masih bisa berjalan dengan baik. Masih bisa menyelesaikan praktik lari lima putaran tiap olahraga meski di urutan tiga terbelakang. Kakinya memang berbeda, namun cinta tetaplah cinta. Mingyu bersikeras belajar memantulkan bola basket, harapannya tentu satu, untuk semakin dekat dengan Jeonghan. Seokmin sudah pasrah, dia tidak bisa melarang Mingyu. Karena cinta adalah hak setiap manusia yang punya hati, ujar Seokmin kala Mingyu menahan tangis mengeluhkan rasa sepihaknya itu.
Bukan hal baru untuk patah hati jika hanya mencinta tanpa aksi. Mingyu juga pernah merasa. Kelabu , katanya. Dia memakai pakaian terbaik, mematut diri di depan cermin berlama-lama sebelum dipaksa Seokmin untuk bergegas ke rumah Jeonghan, pesta ulang tahun ke-17. Siapa yang tahu, puji yang diharap membawa caci tertahan? Di hadapan seluruh hadirin, Jeonghan berucap dengan lantang,
“Hari ini di hadapan kalian, aku ingin mengumumkan. Satu-satunya orang yang kucinta mulai sekarang, hanya Kim Euna.” Ulasan senyum menutup kicauannya. Riuh tepuk dan sorak membuat kepala Mingyu pening. Kakinya hampir berubah jadi jeli, pandangannya berkabut. Seokmin dengan sigap merangkulnya.
“It’ll be a long ride, and i know you’re strong enough. Jangan nangis dulu, kita pulang yuk, mampir beli ayam dulu,” tawarnya tanpa balas. Mingyu tidak bisa lebih bersyukur lagi malam itu. Mereka mungkin tidak tahu, gerak-geriknya disaksikan tiga pasang mata malam itu.
“Percaya kalian sekarang? He’s gay!” bisiknya.
Bagian 3.
Seokmin kira Mingyu akan menyerah. Hatinya sudah patah, entah sudah hitungan ke berapa. Tetapi Mingyu tetaplah Mingyu. Menyerah bukan kata yang tepat disandingkan untuknya. Seokmin ingat, betapa gigihnya Mingyu belajar membaca hingga bisa lancar dalam waktu satu bulan. Bagaimana rajinnya dia belajar menulis tanpa kenal lelah. Tangannya hampir melepuh karena terlalu sering menggenggam pensil dengan keras, suaranya hampir serak karena selalu membaca dengan suara cukup lantang. Tujuan Mingyu hanya agar bisa segera sekolah bersamanya.
Seokmin ingat, bagaimana Mingyu berlatih berlari untuk menggantikan dirinya yang terserang cacar untuk perlombaan festival sekolah mereka. Lutut kakinya biru, entah berapa puluh kali dia jatuh. Seokmin sudah pasrah, namun siapa sangka, di penghujung hari Mingyu memberikannya trofi juara harapan 1 untuknya.
“Maaf hanya juara empat,” katanya. Sebagian orang mungkin tidak merasa istimewa, tapi menjadi juara meski harapan di perlombaan lari dengan langkahnya yang tidak sepenuhnya seimbang merupakan hadiah besar.
Seokmin tahu, betapa takutnya Mingyu ketika Bunda bilang rasa sukanya itu terlarang. Seokmin mungkin tidak sepenuhnya mengerti bagaimana cinta bisa terjadi di antara sesama lelaki, tapi dia hanya bisa berspekulasi, Mingyu hanya punya dia untuk pulang sekarang. Bunda mungkin tidak sepeka dulu, tapi Seokmin tahu, bagaimana Mingyu mulai menarik diri. Dengan Mingyu yang izin tidak ikut ke rumah nenek—dan tidak pernah ikut lagi, Mingyu yang memilih keluar entah ke mana setiap ada acara di rumah, dan Mingyu yang sering menatap kedua orangtuanya sendu. Bunda mungkin tidak tahu, tapi Seokmin mengerti, Mingyu sedikit demi sedikit berubah.
Senyumnya tidak secerah dulu, matanya mulai terlihat layu, dan kiranya berapa banyak rahasia yang disimpan sendiri? Seokmin takut, jika suatu saat Mingyu menyerah. Karena mungkin tidak ada seorangpun yang tahu, coretan-coretan asal di tangan Mingyu bukanlah karena dia ingin punya tato seperti jawabannya tiap kali dicerca tanya. Seokmin tahu, Mingyu mulai goyah dan mempertanyakan jati diri.
Sembilan puluh hari, Mingyu mulai terbiasa dengan Jeonghan yang taklagi selalu di sampingnya. Mingyu tidak tahu sejak kapan, tapi beberapa orang menatapnya miring. Tidak ada yang bisa melarang otaknya untuk panik.
Apa mereka tahu? Sejak kapan? Kenapa mereka begitu? Apa yang terjadi? Bagaimana bisa? Aku harus bagaimana? Pertanyaan bertubi-tubi menghantam logikanya, diperalat oleh hati, dia kalah. Tidak jarang air matanya bergulir, dalam gelap dia menyesal. Kenapa dia harus lari hari itu? Kenapa dia tidak diam dan dipukuli sampai mati? Mungkin takdir Tuhan atau intuisinya yang terlalu kuat, Seokmin datang. Memeluknya dan membisikan kata-kata semangat.
“Jangan nangis. Nanti jelek, Jeonghan gasuka.”
“Gue denger katanya Jeonghan udah putus sama Euna.”
“Tapi lagi deket sama Minji.”
“Lu masih lama nangisnya? Pegel tangan gue.”
Biasanya Mingyu akan diam, berakhir dengan dia yang memukul kepala Seokmin kesal. Tapi hari itu berbeda, kalimat penenang Seokmin tidak berguna. Hatinya melunjak butuh afeksi, otaknya muak dan ingin mencicip candunya filantropi.
“Gue cinta Jeonghan, Seok. Gue mau Jeonghan,” pintanya. Siapa Seokmin bisa melarang jika Bunda saja bisa dibantah Mingyu?
Bagian 4.
Yoon Jeonghan itu epitome dari sempurna. Wajahnya indah, sebagian bilang sangat cantik, di antaranya memujinya tampan. Jeonghan memiliki wajah yang tidak bisa diukir dengan kata. Bakatnya tidak perlu ditanya, mulai dari bola sepak, basket, hingga biliar bisa dimenangi tanpa terkecuali. Keluarganya memang tidak sekaya bangsawan, tapi cukup terpandang. Dan Mingyu tahu dia tidak punya harapan. Seperti tidak tahu diri memang hatinya jatuh cinta pada sosok Jeonghan. Salahkan Eros yang melesatkan panah, atau mungkin Anteros yang sengaja menembaknya.
Mingyu mungkin gila jika menganggap Jeonghan akan bertekuk lutut padanya suatu waktu. Seokmin bilang dia tidak boleh terlalu berharap. Lalu bagaimana bisa dia menjelaskan sikap Jeonghan yang melembut padanya? Bagaimana Mingyu harus menjabarkan hubungannya dengan Jeonghan ketika si Cantik dengan sukarela memilih menemaninya serta membatalkan janji pada ‘satu-satunya kesayangannya’? Bagaimana Mingyu tidak terlena, jika Jeonghan makin mendekat dan menyatakan bersedia untuk menemaninya?
Mingyu tidak mengerti.
Jeonghan mulai menunjukan afeksi, entah mengelus kepalanya atau hanya sekedar mengacak rambutnya sembarang. Jeonghan mulai memberikan perhatian untuknya, makan siang bersama menjadi agenda wajib, pulang-pergi berdua menjadi rutinitas, berkabar dilakukan setiap waktu. Jika bukan tertarik, Mingyu tidak tahu apa istilahnya.
“Gue suka liat lo senyum,” ucap Jeonghan suatu kali. Memerah malu selalu menjadi reaksi pertamanya, diiringi kekehan canggung dan garuk tanda ragu bertingkah. Mingyu bahagia. Apa pelangi di hidupnya mulai menampakkan diri?
Genggaman tangan malu-malu pertama kali terjadi kala mentari memudar tenggelam termakan gelap. Mingyu tidak tahu siapa yang mulai, tahu-tahu jarinya tertaut, tahu-tahu senyum keduanya terbentuk. Terkadang cinta disebut sebagai obsesi, kehadirannya meningkatkan keegoisan yang tertanam dalam diri. Mungkin Mingyu akan setuju. Genggaman mereka kian erat, rangkulan, rengkuhan, dekapan, pelukan atau apapun sebutannya sudah bisa Mingyu rasa. Tidak sehangat pelukan pertamanya yang diberikan Seokmin, tetapi terasa lebih istimewa.
Bagian 5.
Kata orang jangan terlalu percaya diri, jangan bermimpi setinggi langit jika kamu takut jatuh. Mingyu mungkin memang tidak tahu diri, dan kini mimpinya harus buyar. Terik mentari mengantarkannya ke gerbang rumahnya, ralat, rumah Seokmin. Pikirannya berkecamuk. Bajunya setengah basah. Dari rambutnya masih tercium amis telur. Dia bolos, beruntung rumah kosong sehingga dia tidak perlu memutar otak mencari alasan. Kakinya terdiam ketika sampai di depan pintu.
Apa dia layak untuk masuk? Apa dia masih pantas untuk tetap tinggal?
Persetan dengan ponselnya yang terus bergetar. Mingyu balik badan. Mereka benar, dia hina.
Dibiarkannya kaki mengarang langkah. Entah sejauh mana, entah berapa lama, dia tetap bergerak.
“Kotor katanya,” kekeh Mingyu.
“Galiat baju gue bersih gini apa ya? Bunda nyuci pake Downy item ini,” lanjutnya.
Dia terus meracau, membalas semua yang cercaan di kepalanya. Gelap mulai terasa, langit berubah setengah ungu. Mingyu di sana, bangunan setengah jadi tanpa penghuni. Larangan masuk di depan pintu yang terbuat dari seng dan diikat rantai asal tidak menggentarkannya. Tempat ini pernah menjadi singgahannya dulu, sewaktu masih harus menanggung pilu. Mungkin umur tujuh? Entah. Dia menatap ke bawah tanpa ragu, membayangkan tubuhnya melayang jatuh dari lantai sepuluh.
“Bego,” serunya diiringi tawa. Mingyu menghisap lintingan tembakau di tangannya, “ini aja udah sakit,” tambahnya melirik noda darah hasil sayatan di lengan atas yang tertutup. Bajunya kini sudah kering meski masih berbau. Ponselnya kembali bergetar, giliran Bunda yang memanggil namun dia masih enggan. Satu jam lagi, pikirnya.
Kemudian dia sampai hampir tengah malam. Langkahnya yang tak jarang tersilang penyebabnya. Bunda pasti sudah tidur, jadi dia masuk perlahan. Mencoba menyamarkan suara kedatangannya.
“Kamu punya hp,’kan?”
Mingyu berjengit.
“Kalo Bunda telepon tolong diangkat. Jangan buat dia khawatir karena kamu,” ujar Papa berlalu masuk ke dalam kamar sebelum Mingyu sempat menjawab.
Tidak tahu diri, batinnya.
Mingyu menguatkan diri masuk ke dalam kamar, Seokmin pasti belu-
“Bajingan! Dari mana aja lo, hah?!”
Bantal bersarung biru itu tepat mendarat di dadanya. Dia meringis, perih. Seokmin mengernyit menatapnya,
“Kenapa?” Tanyanya menyelidik. Wajah (pura-pura) sangarnya berganti khawatir secepat cahaya. Mingyu nyengir, menyamarkan luka.
“Hehehe, abis nongkrong sama Jihoon terus hp gue mati,” jawabnya.
“Gue nanya lo kenapa ya? Ga penting lo mau ke mana—eh penting! Tapi lo kenapa dulu!” Seokmin mendekat ke arahnya, Mingyu baru membuka mulutnya sebelum erangan tidak terima dilontarkan.
“Buka baju lo, bau! Abis ngapain, sih?” Mingyu segera bergegas berjalan ke kamar mandi sebelum di tahan Seokmin.
“Buka di sini.” Tatapan Seokmin berbeda. Mingyu menatap Seokmin ragu, “Gue ganti di kamar mandi aja.” Mingyu tersenyum kikuk.
“Mingyu,” pinta Seokmin. Mingyu kalah. Tidak ada yang menyayanginya melebihi Seokmin sayang kepadanya. Tidak ada selain Seokmin, bahkan bukan Bunda. Jadi dia terpaksa melepaskan kemeja sekolahnya.
Seokmin terhenyak. Jika Mingyu pikir dia kalah, maka Seokmin merasa dia bersalah. Seokmin bersalah karena Mingyu perlahan mulai menyerah. Aroma menyesakkan rokok dan amis telur diciumnya saat Mingyu masuk ke kamar mungkin sedikit menyentaknya. Tapi tidak ada yang lebih membuatnya resah dari goresan tipis di lengan atas Mingyu yang bisa tertutup kemeja. Kali ini bukan lagi warna-warni spidol seperti biasa. Luka itu nyata, bahkan masih ada darah yang belum mengering.
“Maaf,” ucap Mingyu. Seokmin menggigit pipi dalamnya sedikit lebih kencang. Kenapa? Apa lagi yang harus ditanggung Mingyu kali ini.
“Lo di-bully ?” tanya Seokmin. Mingyu menatap cengkraman Seokmin di lengannya. Bibirnya kelu.
“Jeonghan ke mana?”
Tangis itu turun. Layaknya kumulonimbus yang sengaja mengumpulkan uap air sebelum menjatuhkan hujan dengan deras, air mata Mingyu meluap. Dari sekian banyak topik, Yoon Jeonghan ada di peringkat pertama yang ingin dia hindari. Kepalanya hanya sanggup menggeleng tanpa bisa berkata. Isakannya ditahan, begitu pula sesak di dadanya yang mulai menyiksa napasnya. Seokmin tidak bertanya lagi, genggaman tangan berubah menjadi pelukan erat dengan usapan.
“Apa sih yang gue harapin? Tujuan hidup gue tuh apa?“ Isakannya terdengar mengeras. “Gue harusnya curiga, cowok sesempurna dia jadi baik banget sama gue," Mingyu tertawa, "mana mau dia sama cowok kaya gue? Dia geli. Jijik. Katanya—“ Mingyu menarik napas panjang. Seokmin masih mengusap punggungnya pelan.
“Katanya, dia cuma kasian sama gue. Katanya gue itu mirip anak anjing yang dibuang. Kalo bukan karena taruhan, mana mau.” Mingyu melepaskan pelukan Seokmin.
“Apa sih hadiah taruhannya? Sampe orang kaya dia mau deketin gue, si Anak Terlantar,” Mingyu terkekeh.
“Kayanya emang muka gue cocok banget buat jadi anak pungut. Buktinya Bunda sama Lo mungu—"
“Udah!” potong Seokmin. “Udah, Gyu! Lo bukan anak pungut. Mingyu itu sodaranya Seokmin, kesayangannya Bunda. Jadi jangan pernah ngomong gitu lagi! Mingyu itu anak Bunda!”
Malam itu mereka berakhir dengan tetap bergenggam tangan. Kata Seokmin biar Mingyu tahu kalo dia engga sendirian. Seokmin terlelap, meninggalkan Mingyu yang masih terjaga dengan pikiran yang terus bercabang.
Bagian 6.
Mingyu kira dia bisa bertahan, demi Bunda. Demi Seokmin. Sekolah kini tidak semenyenangkan bayangannya dulu. Yoon Jeonghan bukan lagi sumber air di tengah gurun. Topeng malaikatnya kini berganti, mungkin menjadi sejenis mutan. Konyol rasanya, Mingyu melihat Jeonghan masih bersikap sama padanya. Kursinya masih di sana, tepat di sampingnya. Basa-basi busuk menjadi makanan Mingyu tanpa pernah dibalas. Lontaran kenapa dan mengapa membuat perutnya seakan bergejolak muak. Dia pikir, dengan mengabaikan Jeonghan akan sedikit mengurangi bebannya. Tapi sepertinya hanya ilusi. Hari itu langit sedikit mendung, awan berkumpul mencari kawan. Seokmin bilang hari ini mereka akan makan es krim pulang sekolah, mau makan pentol di sekolah sebelah, mau minta Bunda untuk buat puding mangga. Seokmin bilang, dia mau tunggu di depan kelas Mingyu nanti. Seokmin bilang, dia mau ajak Mingyu main ke Dufan pas libur musim panas. Mingyu cuma bisa senyum sambil menganggukkan kepala. Tentu dia mau, tapi tidak ada yang tahu apa yang terjadi nanti.
Yoon Jeonghan harusnya tahu ada yang salah ketika Mingyu bungkam ketika dia melontar sapa, berjengit gugup ketika dia sentuh, dan binar matanya redup. Jeonghan harusnya tahu ada yang salah ketika Mingyu tidak lagi membalas pesannya. Jeonghan harusnya tahu ada yang salah, ketika hari itu, Jaewoo dan sekawanannya menghadang Mingyu yang berjalan di belakangnya. Urusan pribadi katanya, tapi harusnya dia curiga. Sejak kapan Mingyu berhubungan dengan komplotan berandal macam mereka. Langkah kakinya yang sudah hampir sampai gerbang mendadak mengambil langkah kembali. Bagaimana jika mereka mengatakan taruhan yang sudah dia batalkan kepada Mingyu? Dia hendak mempercepat langkah sebelum seseorang memanggilnya.
“Jeonghan! Mingyu mana?” Itu Seokmin.
“Masih di ke—“ Ucapannya terhenti ketika Mingyu tiba-tiba berlari ke arah gerbang. Jeonghan tidak melihat jelas, yang pasti wajahnya memerah. Seokmin langsung mengejar Mingyu, disusul Jeonghan.
“Mingyu, mau ke mana? Hei!” Teriak Seokmin.
Mingyu menghentikan langkahnya.
“Engga berhasil, Seok. Semuanya percuma,” isak Mingyu. Seokmin mendekat dengan langkah pelan,
“Yaudah, sini. Jangan berdiri di tengah jalan,” ajaknya.
Jeonghan menatap wajah Mingyu yang penuh luka. Bibir yang biasanya memberikan senyuman untuknya kini melengkung sendu. Mingyu menggeleng pelan sebelum sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
“Mingyu!” Teriaknya. Dan semuanya Gelap.
Bagian Akhir.
Jeonghan tersentak kaget. Matanya terbelalak menatap langit-langit kamarnya.
Tunggu, kamar ...?
Dengan tergesa dia menoleh ke samping kanannya, kosong. Dentuman jantungnya mengeras, aliran darahnya berpacu. Yang ada di kepalanya sekarang hanya, Mingyu. Tenggorokannya terlampau tercekat untuk melantangkan suara.
“Mingyu,” lirihnya. Kakinya melangkah tertatih ke penjuru kamar. Dadanya terasa sesak, seakan ada batuan yang menghantamnya.
“Mingyu!” Panggilnya. Langkahnya terburu, geraknya acak, air matanya mulai menggenang. Kini giliran ruang tengah dan seisinya yang disapa, suaranya sedari tadi tidak berhenti melafalkan nama Mingyu. Dapur menjadi harapannya terakhir, kakinya melemas ketika tidak ada bayangan apapun soal Mingyu. Dia menangis. Rasa sesak di dadanya kian sakit. Napasnya tersengal, isakan sesekali terdengar seiring turunnya air mata yang tidak dapat dibendung. Tubuhnya terduduk meyembunyikan wajah maish dengan merapal Mingyu.
Dia tidak tahu, ada pijitan kunci dan dering tanda sandi pintu berhasil dimasukkan. Dia tidak dengar decitan pintu dan langkah kaki yang mendekat.
“Jeonghan?”
Suara itu. Wajahnya mendongak, matanya terbelalak. Tangannya bergerak impulsif menggapai si yang lebih muda. Panik, Mingyu menerima uluran dan merengkuh pria di hadapannya erat.
“Kenapa, Sayang?” Tidak ada jawab yang terdengar, ruangan itu hanya diisi tarikan napas terisak Jeonghan dan denting jam yang berbunyi memakan waktu. Mereka masih berada di dapur, dengan kantung belanja milik Mingyu tergeletak asal dan peralatan masak mereka yang menyaksikan pelukan keduanya mengerat. “Demammu sudah turun?” bisiknya. Jeonghan menggeleng dalam pelukannya. Mingyu sebenarnya agak pegal, namun dia hanya bisa terus mengusap punggung Jeonghan sayang dan membisikan kata-kata penenang.
