Actions

Work Header

Tanpa Sengaja, Berkali-kali

Summary:

This work belongs to Warung Bunda series. Perkembangan hubungan Suho dan Sieun akan terbungkus dalam chapter-chapter di cerita ini! Hanya ada Suho si tengil dan Sieun si penjaga warung di sini. It's their alay love against the world.

Chapter 1: Pasar Malam dan Pohon Mangga

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Suara lagu anak-anak dari odong-odong pelan menyusuri jalan kecil area gang rumah Sieun, mendekat dari kejauhan. Lampu warna-warni yang menggantung di sisi atap kendaraan itu berputar perlahan.

“Balonku ada lima... Rupa-rupa warnanya...”

Dari dalam warung, Sieun menoleh. Tatapannya mengikuti kerlap-kerlip cahaya itu tanpa banyak ekspresi. Tapi hatinya tahu—ini malam Minggu. Dan malam Minggu berarti: pasar malam.

Di hadapannya, sepiring nasi putih dan telur ceplok sudah setengah dingin. Diaduk-aduknya pelan pakai sendok. Bau kecap manis pun nggak cukup menggugah selera.

Dari luar, jalanan mulai ramai. Sepasang anak kecil berlarian sambil memegang balon lampu. Beberapa motor berlalu, membawa orang-orang menuju jalan besar. Suara riuh pelan mulai terasa, mengambang di udara malam. Dan Sieun mendesah penat.

Dia mau, sih, ke sana. Sekadar jalan-jalan. Beli cakwe, mungkin. Atau jagung bakar. Tapi apa daya—warung harus tetap dijaga. Itu sudah jadi rutinitas, selain sekolah. Padahal, Sieun juga punya seorang kakak yang, sebenarnya, bisa aja gantian jaga warung dengan dia. Tapi kakaknya itu banyak alasan. Ya, kuliah. Ya, kadang juga ngapelin pacarnya.. sama seperti malam ini. 

Sang ibu juga lebih sering stay di rumah—tepatnya di lantai atas warung mereka ini—makanya beliau jarang ambil alih. Hanya saja, ibunya itu lebih sering sibuk membuat kue kering untuk dagangan. 

Makanya, semuanya, dan urusan warung, selalu ditangani Sieun sendiri.

Tring!

Bel di pintu berbunyi pelan. Bel baru itu dipasang beberapa hari lalu, supaya dia nggak perlu lagi dengar pembeli teriak-teriak dari luar.

“Heh.”

Suara itu datang dari arah pintu. Suho berdiri di sana, hoodie hitamnya agak kebesaran. Rambut acak-acakan. Wajahnya? Ya seperti biasa—tengil.

“Apa?” tanya Sieun datar, matanya sebentar melirik.

Suho jalan masuk pelan. “Warung sepi banget, deh.” komentarnya, berdiri dekat kulkas es krim.

Sieun mengangkat bahu. “Mau beli apa?”

“Aku lagi nggak pengen beli, tuh.”

“Tumben?”

“Ya. Soalnya aku, mau ngajak kamu.” balas Suho dengan cengiran garing.

Sieun menatap anak lelaki itu curiga, “Ngajak?”

“Ke pasar malam, lah! Tuh, udah rame semua di luar.”

Kini, Suho cuma melipat tangannya di dada, terus bersandar ke etalase dengan santainya.

Piye ? Join, nggak?”

Sieun diam, melirik piring makan malamnya dengan malas. Sendoknya diputar-putar kebingungan. Kalau ikut kata hati, tentu dia pengen. Tapi… ya begitulah. Ada warung. Ada tanggung jawab. Ada… gengsi.

“Aku tadi nanya Mama,” lanjut Suho, “mau nitip sesuatu dari pasar malam nggak. Eh, malah dikasih duit. Disuruh sekalian jajan. Dia nitip bawang merah.”

Sieun cuma terdiam, tatapannya nggak berpindah banyak. Kadang natap Suho, kadang melirik ke luar jendela. Dia sungguh merasa dilemma.

“Ayo, ikut aku,” ulang Suho. “Cuma bentar. Sambil jalan, cari angin.”

“Terus warung?”

Suho mengerutkan dahi, “Ya, tinggalin? Tutup aja, toh bentar doang. Ada kakakmu juga, kan? Waktu itu sempet jaga warung, kulihat.”

Mungkin Sieun nggak sadar, tapi bibirnya mengerucut lucu saat ia mengingat sang kakak yang nyebelin mampus. Untungnya, Suho juga nggak begitu fokus memperhatikan ekspresi Sieun malam itu, dia cuma sibuk utak-atik toples Kopiko.

“Kakakku lagi pergi. Ngapelin pacarnya.” gumamnya lesu.

“Lah, terus? Gak apa. Sekarang giliran aku yang ngapelin kamu,” jawab Suho, langsung. Senyum tengil. “Ayo, aku beliin kamu gulali. Apa mau salad jeli? Sate telur puyuh?”

Sieun menoleh. Dadanya dagdigdug dengar Suho bilang mau ngapelin dia. Ketara banget di dalam hati kalau dia salting, tapi harga dirinya lebih besar malam ini. Jadi, ia tetap memaksakan ekspresi datar. 

“Ngapain juga kamu ngajak aku?”

“Biar rame,” kata Suho ringan. “Nggak seru kalo sendirian.”

Sieun nggak bilang iya. Tapi dia juga nggak menolak.

 

───

 

Setelah perang batin, akhirnya, lima menit kemudian, lampu warung dipadamkan setengah. Pintu ditutup, kunci dikencangkan. Biar kalau ada yang datang, bisa tahu kalau memang warung lagi tutup.

Sieun juga sudah mengirim WA ke sang ibu: aku ke pasar malam , katanya.

Malam itu, mereka jalan kaki beriringan, menyusuri jalan kecil yang mulai hidup. Suara pasar malam memanggil dari kejauhan—lampu-lampu warna-warni, musik dangdut, dan bau manis dari gerobak kue tradisional yang belum kelihatan tapi udah bisa dibayangkan.

Langkah mereka santai. Melewati deretan rumah-rumah tetangga yang lampunya mulai padam. Jalanan sudah agak gelap, namun di ujung sana, cahaya dari lampu tenda-tenda pasar malam memantul dan hidup. Kerumunan orang berdempetan, suara orang bercakap ria, teriakan para penjual yang mempromosikan barang dagangan mereka.

Ah, sudah lama Sieun nggak merasakan momen begini. Mungkin buat sebagian orang, pasar malam itu terlalu overwhelming untuk dijadikan destinasi. Tapi untuk Sieun yang beberapa bulan belakangan gak bisa pergi karena jaga warung? Ini surga!

Ketika mereka sudah sampai di pasar malam, Suho sedikit berteriak, berusaha melawan kencang suara dangdut yang mengisi seluruh jalan.

“Jadi, mau gulali, nggak?!”

Sieun nggak berpikir untuk menyakiti tenggorokannya, jadi dia hanya mengangguk.

“Gulali mana, nih?” tanya Suho, menoleh sambil maju sedikit di depan.

Sieun menunjuk ke kiri. “Di samping yang jual mainan baling-baling itu.”

Tanpa banyak mikir, Suho menggandeng tangan Sieun, menariknya pelan supaya nggak hilang di kerumunan. Sieun sempat kaget. Badannya kaku beberapa detik. Dia juga gak melepaskan, sih.

“Bilang dulu dong,” gumamnya.

“Kalau bilang dulu, kamu pasti nggak mau, gak sih?” jawab Suho santai, sambil cekikikan.

Mereka beli dua gulali kecil; satu warna pink, satu warna biru. Suho yang milih, katanya biar “matching sama vibe kita”. Sieun hanya mengernyit, tapi matanya nggak bisa nutupin tawa kecil yang hampir keluar. Macam warna gender reveal aja.

Dua gulali terbungkus rapi dalam tas kresek putih. Sieun memegangnya dan sekarang mereka berdua tak lagi bergandengan—jujur? Tangan Sieun jadi terasa sedikit hampa.

Suho masih berusaha berjalan sejajar dengan Sieun, melawan kerumunan. Sehabisnya, matanya menangkap gerobak jagung bakar. “Mau jagung, nggak?”

Sieun menatap Suho, lalu menatap gerobak itu. “Boleh, tapi aku yang bayar—”

“Nggak. Nggak usah! Aku aja, kan aku lagi ngapelin kamu.” potong Suho mendadak. Masih dengan gayanya yang sok ganteng. Semburat merah muda menggelitik pipi Sieun, dirinya meronta dalam hati, memaksa untuk menolak desiran dalam dada.

Akhirnya mereka singgah beli jagung bakar. Suho, yang sudah mengincar untuk meluluhkan hati Sieun, akhirnya memilih antre untuk mereka. Lakik, pikirnya. 

Sieun menunggu sambil berdiri di sebelah Suho, tangan masih memegang kresek berisi gulali yang nampaknya sudah mulai perlahan meleleh—mungkin sebentar lagi sudah tidak bisa dikonsumsi.

Sekarang sudah giliran Suho untuk membeli. Api dari panggangan berkobar kecil, dan aroma gosong manis langsung bikin perut mereka keroncongan.

“Nih.. Ini nih, baru malam Minggu yang bener,” kata Suho, setengah bersiul pelan sambil nungguin penjualnya membolak-balik jagung.

Sieun yang masih berdiri di sebelahnya, memasukkan tangannya ke dalam kantung jaket. “Kamu gampang seneng, ya.”

“Kalau sama kamu, iya,” jawab Suho tanpa mikir.

Sieun menatapnya tajam, tapi mukanya nahan malu. “Sinting.”

Suho ngikik. “Kamu yang bikin aku sinting sama kecantikan kamu, eh.”

Cowok gila. Dasar, Suho cowok gila.

Jagung pun matang, lalu mereka ambil satu-satu. Karena panas, jagung-jagung itu jadi dimakan sambil ditiup pelan. Suho terus nyeletuk soal ‘teknik tiupan jagung bakar ala Goku Dragon Ball’, dan Sieun cuma geleng-geleng menahan tawa—dia nggak yakin kalau di animasi Dragon Ball ada cara meniup jagung bakar.

Setelah jagung bakar mereka mulai habis, mereka lanjut berjalan lagi sembari membersihkan sisa makanan mereka. Setelah itu, mereka lanjut ke gerobak cakwe. Di situ, Suho rebut-rebutan tusuk sama anak kecil yang juga sedang beli.

“Gaya kamu. Sok dewasa, padahal aslinya bocah,” komentar Sieun.

“Walaupun kelakuan kayak bocah begini.. tapi bocah yang ini naksir kamu banget, tau.” balas Suho.

Sieun berusaha menahan keinginannya untuk mencubit perut Suho. Mulut tanpa filternya itu bisa aja jadi alasan Sieun mati muda. Siapa sih yang kuat kalau digombalin terus menerus? Apalagi malu-malu kucing itu bukan gaya Sieun banget. Dia jadi stress sendiri, berasa kayak gadis yang mengalami fase naksir untuk pertama kali.

Cakwe sudah di tangan, mereka jalan pelan, masih berbagi satu bungkus. Kadang Suho sengaja ngelambatin langkah biar kaki mereka sengaja bersenggolan. 

Semakin malam, pasar malah makin rame. Yang awalnya berasa kayak nge-date, sekarang rasanya mereka dihimpit sesak. Aroma pasar juga semakin bercampur, tak sekali dua kali Sieun batuk karena asap rokok yang mengepul di udara. Dan itu, membuat Suho khawatir.

“Mau udahan aja? Pulang?” tawar Suho pada Sieun, yang anehnya dibalas gelengan kuat dari Sieun.

“Kamu udah batuk-batuk kena asap rokok gitu—”

“Satu kali lagi. Aku mau jajan satu lagi.” ujar Sieun, badannya mendekat ke Suho untuk memperjelas suaranya di telinga sang lelaki yang sudah menemaninya semalaman ini.

“Aku pengen beli yang manis… pukis, tapi kali ini aku yang bayar, ya.” 

Semula, Suho ingin menolaknya, tapi Sieun sudah menatapnya, dengan tatapan yang Suho sendiri belum pernah lihat dari Sieun seumur-umur ia mengenalnya. Tatapan itu bikin Suho diam seketika. Mata Sieun—yang biasanya datar, menghindar, bahkan kosong—malam ini menatapnya penuh cahaya. Matanya membulat sedikit, basah oleh pantulan lampu pasar malam, seakan-akan tengah memohon, tapi tanpa suara. 

Dan yang paling bahaya, alisnya sedikit naik ke tengah, bikin matanya makin kelihatan lembut, kayak kucing kelaparan di depan pintu warung.

Suho hampir lupa caranya napas.

“Y-Yaa…” Dia garuk leher sendiri. “Jangan liat aku gitu dong. Tapi boleh deh kamu yang bayarin.”

Sieun memutar mata sekilas, lalu tersenyum kecil karena akhirnya Suho menerima tawarannya. Sebelum mereka beranjak, tangan Suho ada di tangan Sieun untuk menggandeng lagi, dan Sieun tidak menolak saat Suho menariknya ke arah penjual pukis.

Gerobaknya sederhana. Loyang panas di bagian tengah, adonan coklat dan pandan mengembang pelan. Aroma wangi mentega menyelinap lewat sela-sela asap yang tipis, menenangkan di antara bau ramai pasar malam yang mulai bikin pusing.

Sieun menunjuk dua jenis rasa. “Campur, pak. Yang coklat satu, pandan dua.”

Suho mencolek lengannya. “Tambah yang keju, biar kita bisa tukeran.”

Sieun mendengus. “Bilang aja kamu ngiler.”

“Lah, iya. Ngiler sama pukis, ngiler juga liat kamu.”

 

───

 

Setelah pukis dikemas dan dibayar, Suho menarik napas dalam. “Ayo. Kita makan di tempat lain aja, kalau di sini udah gak kondusif soalnya keramean. Aku tau tempat sepi yang aman.”

Sieun menatapnya dengan tatapan curiga. “Tempat sepi?”

Suho ngangkat alis. “He? Tenang aja. Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu... sebelum kamu ngapa-ngapain aku duluan.”

Alis Sieun bertaut tersinggung, mukanya merah. Suho ngakak tak tertahan.

Mereka berjalan berdua, menjauh dari keramaian pasar malam. Lampu-lampu mulai jarang, hanya tersisa suara musik samar dan langkah kaki mereka yang bergema di jalanan kecil. Udara jadi terasa jauh lebih ringan.

Dan di ujung jalan, berdirilah pohon mangga tua. Cabangnya menjuntai rendah, daunnya rimbun. Tanah di bawahnya kering dan bersih, seolah memang sudah biasa dijadikan tempat duduk diam-diam.

Suho tanpa aba-aba membuka hoodie miliknya, kini hanya ada kaus oblong bertuliskan “I LOVE SOLO” yang membalut tubuhnya. Lalu, digelarnya hoodie itu di tanah. “Silakan, bosku.”

Sieun duduk, masih memeluk kantong sisa cakwenya, serta kantong pukis hangat di tangannya. Mereka memutuskan untuk membuang gulali yang mereka beli tadi karena benar-benar sudah leleh.

Suho duduk di sampingnya, sedikit lebih dekat dari yang perlu. “Ayo. Makan sebelum dingin. Ini pukis legendaris yang kamu rayu pake mata tadi.”

“Aku nggak ngerayu.”

Suho melirik, lalu nyolek pipi Sieun pakai jari kelingking tanpa izin. Sieun mengelak, berlagak membuang muka. “Mata kamu bisa jadi senjata, tau nggak?”

Sieun pura-pura nggak denger, padahal senyumnya udah memaksa mau keluar.

Mereka makan dalam diam yang nyaman. Di sela-sela kunyahan, kadang tangan mereka bersentuhan saat saling mengambil kue. Malam terasa tenang. Nyaman. Nggak kayak biasa.

Dua remaja ini mungkin belum tahu, tapi yang melihat pasti tahu—ada yang berubah beda di antara mereka berdua.

 

───

 

Kantong plastik di pangkuan Sieun mulai ringan. Suho bersandar dengan satu tangan di belakang, kakinya selonjor, sesekali melirik ke samping.

“Aku suka malam kayak gini,” gumam Suho pelan.

Sieun menoleh sedikit. “Kenapa?”

“Kayak... semuanya lambat aja, gitu. Orang-orang berhenti sok sibuk. Udara nggak gerah. Lampu-lampu kayak bintang jatuh.”

Sieun tidak menjawab. Tapi ada yang berubah di raut wajahnya. Sorot matanya lebih tenang, dan untuk sesaat, ia terlihat benar-benar hadir di momen itu.

Suho melanjutkan, suaranya agak pelan. “Dan kamu... diem-diem ternyata nyenengin juga kalau nggak lagi jaga warung. Nggak sok jutek, gitu.”

Sieun melirik Suho sinis, lalu kembali matanya menatap ke depan. “Aku nggak pernah sok jutek.”

“Denial mulu? Nggak capek pura-pura jutek terus?”

Sieun mengabaikan lagi, tapi kali ini, sudut bibirnya tertarik sedikit. Dia membuka kantong di pangkuannya, menyodorkan satu potong pukis pandan terakhir ke arah Suho.

“Nih. Yang terakhir. Mau?”

Suho nyaris menjawab sesuatu, tapi mendadak terdiam. Mungkin karena dia baru sadar betapa dekat wajah mereka sekarang. Nafas mereka bisa terasa. Bahkan bulu mata Sieun tampak jelas dari jarak itu. Suho seperti terpaku—wajah remaja laki-laki itu kini begitu dekat dan... cantik .

“Sieun...” katanya pelan, suara nyaris seperti bisikan. “Aku suka kamu.”

Sieun menatap balik. Wajahnya tidak berubah ekspresi, tapi bahunya terlihat sedikit menegang. Ia mengedip pelan, sekali. Lalu kembali menatap Suho, seolah belum mendengar apa-apa barusan.

“Kamu mau pukis ini apa enggak?” tanyanya, datar.

Suho menelan ludah. Dadanya terasa berat. Sepertinya perasaannya tak berbalas?

 “Eh, y-yaudah… Iya deh. Mau.”

Tangan Sieun tak bergerak. Dia hanya menatap Suho selama beberapa detik—hening, lambat, kayak dunia lagi nahan napas. Lalu, tanpa aba-aba, tanpa senyum, tanpa canggung...

Sieun mendaratkan kecupan kecil, di sudut bibir Suho. Dia nyium Suho.

Cepat. Ringan. Cuma sekali. Tapi cukup bikin otak Suho ngeblank total.

Waktu mereka saling menjauh, cuma ada suara daun mangga bergesek pelan. Dan jantung Suho yang detaknya nggak bisa disembunyikan.

Sieun akhirnya bersuara. “Tuh. Satu pukis rasa... peluk and kiss .”

Suho masih bengong, memandangi dia dengan tatapan nggak percaya.

“Sieun?”

“Hm?”

“Bisa minta satu pukis lagi nggak?”

“Nggak.”

Suho merengek, mencengkeram jaket milik Sieun sampai kusut, tangannya narik-narik kain itu kayak anak kecil yang lagi ngambek. Wajahnya mendongak, matanya berbinar-binar penuh drama, bibirnya manyun seolah dunia baru runtuh di hadapannya.

“Eeeh, masa cuma satu?” rengeknya. “Aku juga pengen yang rasa stroberi. Sama bonus peluk-nya. Sama bonus nyium lagi-nya...”

Sieun langsung nyaris loncat mundur. Mukanya merah total, telinganya memanas sampai ke ujung. “Apasih, Suho?” bentaknya dengan suara lirih, lebih panik daripada marah. Ia mendecak, mencoba menggeliat dari pegangan Suho yang masih nempel kayak lem.

“Nggak bisa gitu dong, masa udah dikasih satu sampel terus gak boleh nambah?” Suho masih bertahan, cengiran tengilnya nggak hilang, meski wajahnya sendiri juga udah lumayan merah. “Aku pelanggan loyal lho, selalu mampir warung, selalu beli sabun, jajan, Kopiko juga… Ayo, dong? Aku mau pukis.”

Sieun makin salah tingkah. Tangan kirinya berusaha menarik jaket yang direnggut Suho, tangan kanannya mendorong bahu cowok itu, tapi setengah hati. “Ya udah sana beli pukis lagi di pasar! Bukan di aku!”

“Beda rasanya kalau dari kamu…” ucap Suho dramatis, menunduk dan bersandar ke bahu Sieun sebentar, sebelum dengan cepat dihadiahi cubitan kecil di lengan.

“Jangan kayak orang gila ya, Suho.”

“Aku nggak gila. Aku mabuk cinta. Mabuk Sieun.”

Sieun hanya mendengus.

“Sieun, satu lagi. Ya? Satu lagi, please ..”

“Sumpah, kamu kayak kucing birahi.”

“Kalau lawannya kamu, aku mah, memang jadi birahi terus.”

“SUHO. SINTING.”

 

───

 

Suasana gang di pemukiman mereka sudah jauh lebih tenang dibanding pasar malam tadi. Beberapa rumah sudah menutup jendela, menyisakan bayangan-bayangan samar dari tirai dalam.

Suho dan Sieun berjalan pelan berdampingan, masih menyisakan kehangatan dari momen sebelumnya. Tak banyak kata di antara mereka, hanya keheningan dan rasa nyaman yang perlahan menjalar. Kadang langkah mereka nyaris bersamaan. Kadang Suho menyenggol bahu Sieun dengan sengaja, hanya untuk mendengar anak itu menggerutu pelan.

“Padahal rumah kamu tinggal nyebrang...” gumam Sieun, akhirnya bicara juga. Suaranya rendah, agak serak karena udara malam.

Suho menoleh, senyumnya kembali muncul—lembut, kali ini. “Terus kenapa? Nganterin kamu kan bukan soal jarak.”

Sieun mendesah, tapi tidak membalas. Ia tahu, percuma membantah Suho dalam mode manis seperti itu. Cowok itu kalau udah naksir, bawel dan keras kepala.

“Besok kamu jaga warung lagi nggak?” tanya Suho kemudian, tangannya masuk ke saku hoodie.

“Hm... iya. Tapi gantian sama kakakku. Pagi dia, siang aku.”

Suho mengangguk. “Bagus. Biar besok siang aku bisa mampir. Nggak enak tadi cuma dapat satu pukis.”

Nada genitnya kembali muncul.

Sieun melirik, jengah. “Beli sendiri di pasar.”

“Aku maunya pukis yang itu, lho. Aku beli langsung dari sumbernya.” Suho menyenggol bahu Sieun lagi.

Sieun berhenti di depan warungnya yang lampunya sudah dimatikan total oleh sang ibu. Mereka berdiri di situ, hanya dipisahkan selangkah dan seberkas gengsi.

Suho menoleh menatap wajah Sieun, senyumnya mengendur jadi lebih tulus. “Makasih, ya. Malam ini seru banget!”

Sieun membalas tatapan itu, agak lama, tapi tetap nggak bisa bertahan terlalu lama. Matanya kabur ke arah jalan. “Kamu juga... makasih.”

Sunyi sebentar. Udara di antara mereka terasa tipis.

Suho mengangkat tangan, ragu-ragu. Akhirnya dia hanya merapikan kerah jaket Sieun yang sedikit miring. “Udah. Masuk sana, nanti masuk angin.”

“Ya kamu juga. Pulang.”

Sieun berbalik cepat, membuka kunci pintu warung dengan cepat pula. Tapi sebelum masuk, dia sempat menoleh sedikit—sangat sebentar—lalu bergumam pelan, “…Selamat malam. Jangan begadang.”

Suho yang masih berdiri di seberang tersenyum puas, melambaikan tangan. “Mimpiin aku ya.”

Sieun menutup pintu tanpa menjawab.

Tapi dari balik pintu warung, jantungnya berdegup terlalu kencang.

Dan Suho, yang saat itu sudah sampai di depan teras rumahnya, tiba-tiba teringat kalau sang ibu menitip bawang merah.

Notes:

Yah, intinya aku udah terlanjur sayang sama mereka. Jadi ini bakal lanjut terus sampai beneran jadi pacar lima langkah.

IDE CERITA INI PURE NGALIR DARI CINTAKU MICEL @PJHIOVEBOT ILYSM MAKASIH YA BEBIH. *CIUM BASAH* rasanya jerih payahku dari subuh disupport oleh energimu.

Chapter 2: Luka Suho

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Hari Minggu datang dengan terik yang tak berperasaan. Matahari menggantung tinggi di langit tanpa niat untuk berbaik hati kepada siapa pun yang berada di luar ruangan—alias, panas banget

Gang di sekitar warung Bunda Senang tampak lengang; hanya sesekali ada suara motor melintas, kayuhan sepeda yang terdengar dari kejauhan, atau cicitan burung yang entah sedang menyanyi atau ngeluh karena panas.

Di dalam warung, kipas kecil di atas lemari etalase berusaha keras mengusir gerah dengan embusan seadanya. Sieun duduk bersandar di kursinya, satu tangan sibuk menekan-nekan tombol ponsel, sementara radio kecil di pojokan mengulang lagu lawas yang sama sejak pagi sampai anak lelaki itu bosan parah. 

Lalu…
BRAK!

Terdengar suara keras dari luar, disusul pekikan nyaring yang nyakitin telinga, 

“GALON PECAH! GALON PECAH!”

Sieun spontan menoleh ke jendela, alisnya terangkat waspada. Suara motor jatuh?  

Refleks, ia bangkit dan mengintip dari balik pintu. Tapi yang terlihat cuma bocil pakai seragam SD yang berlari terbirit-biri dengan wajah panik, disusul seekor kucing oren dengan bulu mengembang dua kali lipat tanda terkejut. Tidak ada motor terkapar. Tidak ada galon. Tidak ada tanda-tanda tragedi besar.

“…Galon pecah?” gumamnya bingung. Sieun sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat bahu, gak mau tau lebih lanjut. Ia kembali ke kursi, mencari lagi kenyamanan yang sempat terganggu.

Waktu berlalu. Jam dinding menunjukkan pukul satu lewat tiga belas menit. Udara siang semakin kering membakar kulit. Warung kembali sepi, hanya sempat ramai sejenak ketika seorang ibu-ibu singgah membeli tepung dan susu kental manis. 

Sieun baru saja selesai menghitung kembalian dan menyimpan uangnya ke dalam laci, berharap dalam hati kalau ibu itu adalah pelanggan terakhir siang ini sebelum sore tiba. 

Tring!

Sampai akhirnya, bel pintu berbunyi lagi.

Hampir saja Sieun mengerang malas. Bukan karena dia menolak rezeki—hanya saja, cuacanya ini bener-bener membuatnya gak bisa berfungsi dengan normal. Rasanya, dia butuh mandi lagi sebelum balik stand-by jaga warung.

Tapi, erangannya itu tertahan saat ia melihat sosok yang familiar.

Ada Suho di ambang pintu. Rambutnya nggak tertata (seperti biasa) dan setengah lepek. Keringatnya banjir di pelipis, dan yang paling mencolok: dia mendesis pelan sambil memegangi sikunya. Saat Sieun menyipitkan mata sekilas untuk memastikan, ternyata ada pula sobekan yang terlihat di bagian bahu kaus distro milik remaja itu. 

“Sieun, jual Betadine, nggak?” lirih Suho.

Dia mendekat dramatis, menyeret kakinya seperti tokoh drama yang habis dihantam musuh sampai hampir koma. “Aduh... sumpah... aku butuh Betadine, kayaknya. Luka... luka dalam.”

Sieun menatap Suho datar, sudah hafal gayanya yang berlebihan. 

“Abis ngapain sampe luka?”

“Aduh, panjang deh ceritanya,” ujar Suho. “Tapi intinya... Aku hampir nabrak bocil. Anjir , lah. Rasanya kayak mau mati.”

“…Tadi kamu yang jatuh?”

Suho cuma diam, sesekali memejamkan matanya menahan sakit.

Mata Sieun melirik siku Suho lagi, dan memang jika diperhatikan, lukanya bukan luka kecil. Entah kenapa, itu malah membuat rasa khawatir tumbuh dengan bebasnya di dalam dada Sieun tanpa diminta.

“Nggak usah beli Betadine. Aku punya,” Sieun menawarkan, membalik badan menuju rak obat kecil di dekat etalase—tangannya meraba, mencari figur kecil familiar berwarna kuning yang mulut botolnya sudah lengket karena terlalu sering dipakai. 

Sambil memperhatikan, Suho bertanya dengan nada malu, “Eh, tadi kamu liat aku jatuh?”

Sieun menggeleng. “Aku nggak lihat siapa-siapa, sih. Cuma bocil teriak-teriak soal galon pecah.” lanjutnya, berusaha reassuring walau nada bicaranya tetap dingin seperti biasa. “Jadi, korbannya tadi itu kamu?”

Pertanyaan Sieun sukses membuat rasa malu Suho melayang jauh di udara. Rasa malunya mendadak tergantikan oleh emosi greget , mode mau nyubit bocil yang nyebelin.

“Ya itu aku, lho! Aku! ” Suho mengangkat tangan kirinya sambil menunjuk dirinya sendiri. “Aku korbannya! Bocilnya kabur duluan, ninggalin aku di depan gang kayak ikan asin dijemur. Aku baru masuk gang, tetiba bocilnya nyebrang gendong kucing nggak sambil lihat jalan. YAAAA, aku jatuh lah?! Mana habis itu aku kena omel Mama pula.. gara-gara mecahin galon depo air..”

Sieun mengernyit. “Kenapa malah jadi kamu yang bawa galon? Biasanya dianter?”

“Abang tukang nganternya lagi kena DBD, nggak bisa kerja.”

Sieun mengerjap, lalu dengan tenang menyodorkan kapas alkohol dan Betadine. “Oalah, yaudah mau gimana lagi. Duduk situ gih .” 

Suho menurut, meringis sambil memperlihatkan luka robekan yang terbuka di sikunya. “Semisal aku mati gara-gara infeksi, tolong sampein ke Mama kalau aku mati dengan keadaan jadi anak berbakti yang rela motoran panas-panas demi galon minum orang rumah.”

Bola mata Sieun memutar malas, wong galonnya pecah. 

Ia mencoba untuk mengusap luka Suho pelan dengan alkohol. 

“Aduh—adudududuh!” Suho langsung meringis lebay, mendongak seperti dia sedang disayat, bukan dilap lukanya. “Sumpah, sakit banget ini, Sieun. Aku… kayaknya mau meninggal..”

Sieun mendecak. “Halah, lebay. Baru juga alkohol.”

Suho mengerang makin dramatis, satu tangan mencengkeram pinggiran meja warung, satu lagi mengibas-ngibas kaosnya sendiri. “Enggak. Enggak bisa... aku nggak kuat, bentar lagi beneran meninggal!”

“Berisik.” Sieun menahan senyum, mencoba tetap tenang, walau bibirnya sudah mulai bergetar. “Kalo kamu gerak terus, ini lukanya malah tambah lebar.”

Suho meringis, menggeleng ketakutan. Lalu tiba-tiba—ilham dari mana—rengeknya berubah menjadi satu bisikan manja:

“Ini.. kayaknya bakal langsung sembuh deh... kalo dapet pukis.” 

Sieun mendongak pelan. “…Hah?”

“Pukis. Yang kamu kasih malam itu,” Suho mengangguk mantap, alisnya naik turun menggoda. “Yang... kamu tawarin sambil nyender ke aku. Yang—yang abis itu, kita... tau, lah .”

Sieun menyipit tidak setuju. “Aku nggak nyender ke kamu. Ngaco.”

“KAMU NYENDER!”

“Kamu yang nyender. Hampir ngerusak jaketku pula.” dengan sengaja, Sieun menekan kapas alkoholnya ke siku Suho karena muak. Remaja di depannya mengerang kesakitan, kesekian kalinya menjerit adudududuh seperti mantra.

Dengan sisa tenaga yang ada, Suho masih nekat dengan agenda gombalnya walaupun rasanya lengannya bakalan putus karena nyeri.

“Kita.. kita butuh pukis.”

Sieun berhenti mengusap luka Suho. Lalu dia tatap Suho lurus-lurus. “…Apaan sih.”

Suho mengangkat bahu dramatis, seperti seseorang yang terlalu tersiksa untuk jujur, tapi terlalu tulus untuk bohong. “Ya maksudku… kita butuh peluk dan kiss, lah.”

Sieun memalingkan muka cepat-cepat, wajahnya seketika memanas.

Suho senyum lebar melihat reaksi itu. “Tuh, mukamu merah. Berarti kamu inget.”

“Enggak.”

“Kamu suka.”

“Enggak, lah. Ngapain.”

“Dih? Padahal kamu yang nyium aku duluan.”

Suho menekuk lehernya, menatap ke langit-langit warung. Ekspresinya bertahan di antara menahan sakit dan juga tersenyum bodoh. “Ya Gusti, nano-nano sekali rasanya jatuh hati..”

Setelah beres dengan alkohol dan meratakan Betadine ke siku Suho, Sieun berdiri dengan cepat karena tak tahan. Ia memaksakan raut wajahnya yang tidak tertarik demi harga dirinya.

 “Mau plaster apa enggak?”

Suho, dengan wajah sumringah, mengangkat kedua tangan seperti menyerah. “Mau, tapi... yang rasa pandan.”

Sieun melempar kotak plaster ke dada Suho.

“Orang gila.”

Suho memeluk kotak plaster itu seperti baru diberi anugerah. “Terima kasih atas pukis-nya tempo hari, Tuhan. Semoga cinta ini segera dijawab dengan pelukan.. dan ciuman.. dan nasi telor ceplok siram kecap ala Sieun.”

 

───

 

Suho masih duduk di bangku kayu sebelah kasir, menempelkan plaster sambil bersenandung. Sementara itu, Sieun berdiri di balik etalase, berpura-pura sibuk membereskan barang. Pipi masih memerah. Matanya sesekali mencuri pandang.

“Plasternya lengket banget,” keluh Suho. “Tapi nggak papa. Luka fisik bisa sembuh... asal jangan luka batin. Soalnya kalau udah batin yang kena, perlunya cuma dapat perhatian.”

Sieun memilih diam. Sudah kelewat biasa dengan ceplas-ceplosnya Suho yang sudah mirip penyakit. Nggak sembuh-sembuh.

Suho mengangkat wajahnya, menatap Sieun dengan senyum lebar. “Kalau aku punya luka batin, aku perlu perhatian dari kamu lho, Sieun.”

Sieun menghembus nafas pasrah sambil berjalan ke kulkas warungnya. Ia mengambil dua botol teh dingin, lalu meletakkan salah satunya di depan Suho tanpa banyak kata. “Minum. Biar gak bacot.”

Suho, tanpa rasa bersalah sedikit pun, malah mengambil botol itu. Lumayan, kan? Gratis. 

“Wah... dingin banget. Kayak hatimu.”

Sieun menatapnya datar.

“Eh,” Suho buru-buru mengangkat jari telunjuknya, digerakkan ke kiri dan kanan, membuat gestur no no no . “Maksudku dingin yang seger, bukan dingin yang nyakitin. Walaupun dua-duanya kamu sih.”

Sieun mendesah pelan, kemudian duduk kembali di kursinya dengan ekspresi wajah kosong. Tatapannya tidak memedulikan Suho, tapi juga tidak benar-benar fokus ke tempat lain. Rasanya Sieun ingin sekali memanggil kekuatan semesta agar dia bisa lebih bersabar.

“Kenapa mukamu tegang banget sih, manis?” Suho bertanya, nyengir lebar, bibirnya masih nempel di mulut botol.

“Au.”

“Juteknyaaa. Aku lagi luka lho..” 

Sieun menoleh dengan lambat. Sangat lambat. Tatapan p̶a̶l̶s̶u̶ ‘ peduli apa gue? ’ terpampang jelas.

Suho tetap cengengesan. Dia bahkan menyender ke meja dengan santai, menatap Sieun seperti dia naksir barusan, padahal aslinya sudah jatuh hati dari lama. 

“Tapi serius deh, tiap kali kamu ngasih sesuatu ke aku... hatiku kayak... duuh.” Ia meletakkan tangan di dadanya. “Nyeri, gitu.”

“Mau aku tambahin paracetamol?”

“Nggak. Nggak usah, cukup kamu duduk di sebelahku aja, rasanya udah sembuh.”

Sieun tidak merespons. Ia hanya memalingkan wajah, menatap jalanan gang yang kosong. Dari luar, kelihatan seperti dia tidak tertarik. Tapi telinganya merah, dan tangan yang memegang botol teh sedikit menegang.

“Sieun.” panggil Suho.

“Hm.”

“Kamu sadar nggak sih, kalau kita tuh kayak pasangan warung di FTV?”

“Apanya?”

“Yang cowoknya pelanggan rutin tapi kayak modus gitu, terus baper sendiri tiap si love interest -nya galak. Terus ending-nya mereka nikah, dan warungnya rame. Di spanduknya ada tulisan: 'cinta berawal dari sabun cuci dan Kopiko.'

Sieun sempat menunduk, ingin menyembunyikan samar merah muda yang sudah terlanjur muncul di pipinya. Tapi nggak sampai dua detik, wajahnya balik lagi ke ekspresi ‘ capek banget hidup ’ sambil menatap Suho dengan tampang default setting- nya.

Suho cengengesan, jadi tambah semangat memancing remaja berponi yang ditaksirnya itu. “Sieun. Tiap hari kan aku jajan ke sini, ya. Boleh nggak sih aku dapat bonus apaaa, gitu? Kayak, royalty .. Eh, apa tuh, namanya. Loyalty card ?”

“Ini warung, bukan toko barang mahal.”

“Yaaa apa, kek ! Aku mau terdata jadi langganan super. Boleh, kan, dapat bonus?” tanya Suho dengan sok manja. Bulu matanya berkebas—berkedip-kedip genit ke arah Sieun.

“Enggak.”

“Ih, sumpah. Kalau gitu, aku nggak minta yang macem-macem, deh. Cukup kamu tatap aku lima menit aja tiap hari. Itu udah kayak... rezeki nomplok banget. Soalnya aku udah kebanyakan ujian hidup.”

Sieun mengangkat satu alis, mengizinkan Suho untuk lanjut bicara walau lagaknya tetap gak peduli. 

“.. Kamu, nolak aku mulu—itu ujian hidup terberatku.”

Sieun menghela napas panjang. Terlalu panjang, sampai Suho bisa merasakan betapa malasnya Sieun untuk merespons lebih jauh. Kemudian ia menyender ke kursi, wajahnya tak berekspresi, matanya menerawang ke arah kipas kecil yang berputar pelan.

Suho menatapnya dalam diam sejenak. Mungkin untuk pertama kalinya hari itu, dia tidak bercanda. Ia menyender juga, lalu meletakkan botol teh di atas meja.

“Kamu tuh,” katanya pelan. “Kayak... orang yang suka balik badan waktu ada yang mau ngasih bunga. Tapi diem-diem, bunganya disimpan di bawah bantal.”

Sieun menoleh, kali ini dengan ekspresi nyaris... menahan malu.

Nyaris.

“Suho.”

“Ya?”

“Mulut kamu tuh kayak gorengan—berminyak. Garing, bahaya, bikin kolesterol”

Suho ngakak, tapi tetap menatap Sieun dengan tatapan hangat. “Tapi enak, kan?”

Sieun diam. Tatapannya berpindah ke arah luar yang mulai menguning tertimpa sinar sore yang baru menyambut. Jari-jarinya bermain di leher botol teh, memutar-mutar tanpa sadar.

Dan itu cukup untuk Suho tahu—kalau sebenarnya, hatinya nggak ditolak-tolak amat juga.

Iya nggak, sih?

Notes:

Chapter yang ini sebenarnya nggak terlalu oke karena pendek, hanya saja ini diperlukan untuk alur chapter selanjutnya. This one is a bit underwhelming, but next chapter will be longer, I promise! <3

Chapter 3: Standar TikTok

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Kamu ini, bikin mama malu!”

Suho mengerang, mengusap wajahnya kuat-kuat dengan frustrasi. Ini sudah dua hari semenjak kejadian dia jatuh dari motor dan memecahkan galon depo air tanpa sengaja. Tampaknya sang ibu masih belum bisa legowo. Meskipun reaksi beliau itu cukup valid, tapi.. ini sudah dua hari, lho?

“Ya, terus mama maunya aku gimana? Kemarin sudah tak bayar ganti rugi galonnya. Pake uang tabungan celengan ayam lho, ma! Padahal itu rencananya mau tak pake beli sepatu futsal.”

Ibunya melotot, “ojo nyemawur!” menekankan kata ojo karena menurut beliau, anak yang berani menjawab amarah ibunya itu tanda anak yang tak tahu syukur.

“Ya maaf lha, maaaa. Aku yang salah, walaupun bocilnya yang nyebrang sembarangan, aku yang jatuh, aku yang luka—tapi, yawes , aku yang salah! Sak karepe ndoro ae.”

Ibunya melengos, meninggalkan Suho yang tengah rebahan di sofa kulit berwarna merah hati dengan sentuhan pola-pola emas di bagian sandarannya. Anak lelakinya itu menggaruk kepala, berusaha menahan emosinya. 

Sebelum sang ibu melangkah lebih jauh meninggalkan ruang tengah, ia berbalik dengan wajah prengat-prengut, menatap Suho dengan galak.

“Galon orang pecah, motor kita jadi lecet, BAWANG MERAH MAMA JUGA NGGAK KAMU BELIIN! NGGAK JADI NYAMBEL!”

“YA AMPUN MAAA, DIBAHAS LAGI.”

“Babah! Mama nggak mau tahu. Kamu nggak boleh kemana-mana sebelum rumah bersih, taneman disiram, rumput belakang rapih, dan motor kinclong. Mama mau santai-santai, males liat mukamu.” ibunya kemudian melanjutkan, “Awas kalau berani main hape!”

 

───

 

Suho dengan ogah-ogahan melangkah menuju halaman belakang. Sandal jepitnya berbunyi ceplak-ceplok di lantai yang mulai panas kena sinar matahari. Embusan angin dari sela-sela tembok pagar tidak cukup menenangkan hatinya yang mendidih karena disuruh bebersih rumah macam pembantu magang. Motor lecet, galon pecah, bawang merah lupa beli—yang bener aja, itu semua kan udah lewat?

Dengan enggan, ia menyiram pot bunga anggrek milik sang ibu, yang konon katanya warisan dari teman arisan. Lalu lanjut mencabuti rumput liar sambil sesekali mendecak kesal. Beberapa kali ponselnya bergetar dari dalam kamar, tapi ia hanya bisa melirik ke jendela dengan tatapan nelangsa, seperti pangeran buangan yang dirampas kebebasannya.

Setelah hampir tiga jam berkutat dengan sapu lidi, selang air, dan lap kanebo, Suho akhirnya boleh masuk ke rumah. Kakinya lemas. Bajunya basah. Dan yang paling menyakitkan: ponselnya belum ada disentuh sedari pagi.

“Sekali-kali berfaedah dikit, to,” celetuk ibu Suho sambil menyantap risoles, menonton sinetron TV dengan volume maksimal. “Kalau udah gede nanti, mama gak bisa ngurusin kamu terus. Kamu kalo sembrono selamanya, pikirmu, jodoh bakal dateng?”

Suho hanya menggumam pendek sebelum masuk kamar dan kemudian rebahan di kasur, menatap langit-langit kamar seperti baru pulang dari perang. Dalam hati, ia setuju juga sih—kalau begini terus, siapa yang mau sama dia?

Begitu device kesukaannya akhirnya ada di tangan, Suho otomatis buka WhatsApp.

Kosong.

Emoji hati besar berdegup yang dikirimkan ke Sieun tempo hari hanya dibaca, tak ada balasan apapun dari pujaan hatinya itu.

Suho menunggu beberapa menit, bolak-balik antara WhatsApp, Instagram, dan KaTalk, tapi hasilnya nihil. Ia menghela napas, lalu dengan kebiasaan autopilot, membuka TikTok. 

Awalnya hanya niat scroll sambil tiduran, tapi lalu konten yang muncul malah bikin dia makin gak tenang.

“Cowok gentle tuh nggak perlu banyak ngomong. Diam, tapi selalu hadir. Laki yang gentle itu inisiatif, bukan yang kayak badut minta validasi tiap lima menit.”

“Orang-orang tuh gak suka cowok yang childish, bre. Udah gede kok masih suka manja? Belum lagi yang suka ngeluh mulu.”

“Tunjukkan gentle-nya elu ke orang yang lu taksir.”

 “Inget, if he want to, he would!”

Suho menatap layar dengan mulut sedikit terbuka, lalu mengernyit. Sial. Ini semua ngomongin aku apa gimana? Tanpa sadar, ia duduk tegak di kasur, tangan masih menggenggam ponsel tapi pikiran berlarian ke kejadian beberapa hari belakangan.

Waktu itu... Sieun yang cium dia duluan, kan?

Tapi setelahnya, dia dingin lagi. Cuek. Seolah ciuman tersebut cuma.. apa, ya? Cuma angin lalu, mungkin.

Dan sekarang, dia nggak balas chat sama sekali.

Apa aku terlalu banyak tingkah ya? Apa dia ilfil karena aku terlalu blak-blakan? Terlalu tengil? Terlalu kayak... badut yang minta validasi?

Suho menggigit bibir bawah. Ia mendesah panjang, lalu dengan gerakan mantap, meletakkan ponselnya di meja dan menatap bayangan dirinya di cermin. Dia terbayang wajah Sieun yang malas saat mengurus lukanya kemarin lusa. 

Suho butuh senyum Sieun yang malu-malu kucing. Siapa yang tau, kan? Mungkin dengan adanya Suho versi gentle, Sieun akhirnya bisa ditaklukkan.

Suho jadi kangen Sieun.

Maka ia memutuskan,

“Mulai sekarang, aku.. kalem. Cool. Gentle. If I want to, I would.”

Suho menatap dirinya sendiri seperti baru membuat sumpah suci. Meski dalam hati kecilnya, ia masih ragu—ini benar gak sih? Tapi ya sudah, dicoba aja dulu.

 

───

 

Spanduk warung Bunda Senang berkibar-kibar disapu angin panas sore. Di dalam, ada Sieun tengah sibuk menyusun roti-rotian baru yang diantar distributor pagi tadi. Isi hatinya campur aduk—lebih banyak frustrasi daripada semangat. Banyak dari roti itu sudah berjamur padahal tanggal kadaluarsanya masih aman. Mubazir, dia pikir.

Setelah semua roti ditata ulang di rak—dengan beberapa dibuang ke keranjang stok rusak—tangannya lanjut bergerak otomatis, mengisi ulang toples-toples permen yang berjajar di meja kasir. Permen lima ratusan yang laris dibeli anak-anak sekolah, atau kadang jadi kembalian receh buat orang dewasa.

Permen Mints, sudah.
Relaxa, oke.
Kopiko…

Tangannya berhenti. Kopiko bikin pikirannya ngelayap. Suho.

Remaja jangkung yang rambutnya kayak gak pernah kena sisir itu belum kelihatan batang hidungnya sejak pagi. Padahal biasanya, kalau jam sudah menyentuh pukul tiga sore, itu tandanya Suho akan datang—kunjungan ketiga kalinya hari itu. Entah buat beli ciki, air dingin, atau sekadar numpang ngeluh soal hidup.

Tapi hari ini.. sepi.

Belum ada jajan. Belum ada suara isengnya. Belum ada dia .

Apa, sih. Harusnya aku senang kalau dia nggak datang buat gangguin, batin Sieun. Tapi tetap saja, warung terasa lebih kosong dari biasanya.

 

───

 

Serenteng terasi di rak perbumbuan sudah digantung rapi oleh Sieun. Ia mendesah lega, menatap warung yang akhirnya sedikit lebih teratur setelah seharian diserbu pembeli (lebih banyak bocilnya). Roti-roti sudah disortir, camilan sudah diisi ulang, dan air minum aneka rasa pun sudah diletakkan ke dalam kulkas yang sejuk.

Di luar, cahaya matahari mulai surut. Udara berubah agak lembap, dan langit memerah. Ini adalah jam-jam yang biasanya sepi, kecuali kadang ada anak-anak remaja yang suka begadang datang beli mi instan, atau ibu-ibu yang lupa beli rokok suami. Tapi kebanyakan, jam segini sepi.

Plak, plok.

Suara sandal dari kejauhan membuat Sieun reflek menoleh. Suara langkah itu terlalu familiar untuk diabaikan.

Suho?

Tring!

Angin sore menyusup masuk, membawa aroma aspal hangat dan... sabun wangi pria? Sieun mengernyit. Suho datang. Akhirnya. Tapi kok...

Dia nggak teriak "Sieun~" seperti biasa. Nggak ada si pecicilan yang suka tiba-tiba ngagetin. Nggak ada Suho yang langsung masuk dan nyelonong ke toples Kopiko, atau nyengir sambil nyender sokap ke etalase.

"Permisi," kata Suho, berdiri di ambang pintu.

Sieun sempat melongo. Permisi? Dari mana dia belajar ngomong gitu?

"Eh... ya?" jawabnya, nada suaranya naik setengah oktaf karena kaget.

Suho melangkah masuk dengan hati-hati. Nggak nyeret sandal. Nggak nyelonong. Bahkan tangannya disimpan di belakang punggung seperti anak pramuka. Matanya nggak liar keliling warung, tapi terarah, fokus.

"Ada saus sambal sachet nggak, Sieun? Yang pedas bawang merah? Beli lima, ya." tanyanya, sopan. Bahkan lengkap dengan detail produk seolah-olah dia kasir minimarket yang hafal kode barcode.

Sieun mengedip. Berkali-kali. Tanpa banyak omong, dia bergerak ke rak, menarik lima sachet saus sambal sekaligus, lalu memasukkannya ke plastik kecil.

"Nih," katanya, menyodorkan kresek.

"Terima kasih," balas Suho. Senyum tipis. Ramah. Tapi... datar. Hambar.

Suho membuka dompet—iya, dompet baru. Bukan narik uang receh dari dompet lusuh yang banyak stikernya dulu. Bukan bilang, “kurang seratus ya, ntar nyusul.” atau “kembaliannya buat manisku aja.” Tapi betulan buka dompet dan bayar pas. Rapi. 

Sieun masih berdiri di tempat, ekspresinya tetap datar, tapi dalam hati bingung bukan main.

Suho mengangguk sopan, lalu menatapnya sebentar.

"Kalau kamu butuh bantuan angkut-angkut dus atau apalah, tinggal bilang, ya. Aku biasanya di teras pas balik dari sekolah."

Lalu dia keluar. Gitu aja. Pelan. Nggak ngelucu, nggak nyengir, nggak pakai drama.

Sieun berdiri diam. Matanya menatap pintu yang kembali bergoyang terkena angin. Suho yang tadi bukan Suho yang biasa dia kenal. Itu bukan bocah tengil yang suka gangguin dia. Itu... siapa?

Dia mengerjap pelan, lalu menarik napas. Panas di dada terasa ganjil. Bukan marah. Bukan sebal. Tapi... gerah.

Dan dia benci banget kalau merasa gerah karena Suho.

 

───

 

Semuanya makin gak jelas. Jadi, di sini Sieun sudah menjabarkan beberapa keanehan Suho yang nggak masuk akal— spoiler, bagian terakhir jadi mendingan, kok:

I: Keesokan harinya.

Sieun kira, setelah kejadian kemarin, Suho bakal balik lagi jadi dirinya yang biasa—yang suka buka pintu warung tanpa permisi, yang kalau jalan ngesot sambil nyanyi jingle iklan kopi, yang suka bilang “warungnya masih populer, kan?” tiap mampir.

Tapi ternyata...

“Permisi,” katanya lagi.

Sieun yang sedang menata dus mie instan menoleh malas. Mendapati Suho berdiri di depan pintu, masih pakai senyum manis dan tangan di belakang punggung.

“...Ya?” sahut Sieun datar.

“Aku bantu angkat dus mie-nya ya?”

Belum sempat ditolak, Suho sudah masuk dan dengan niat banget menarik dus berisi entah berapa puluh bungkus mi instan dari tangan Sieun.

Tapi dari gerakan tangannya, dari otot lengannya yang sedikit tremor, dari napasnya yang mulai agak berat, jelas banget kalau itu dus lumayan berat buat dia. Tapi Suho tetap senyum. Tetap kalem. Tetap... gentle.

“Gapapa kok, aku kuat,” katanya, meski urat di lehernya keliatan.

Sieun berdiri di belakangnya, ngelus dada—muak campur stres.

“Kalau jatuh, awas aja,” gumamnya, pelan, lebih ke diri sendiri.

 

II: Lusa.

Suho datang hanya sekali seharian. Biasanya tiga kali. Bahkan kadang empat. Tapi ini sekali. Itupun cuma beli teh kotak.

Wangi parfum Kahf menyeruak dari badannya. Kali ini aroma varian Waterfall. Rambutnya rapi. Kausnya licin kayak habis disetrika, padahal biasanya kaus dia tuh... berlipat bekas jemuran, kalau bukan langsung dari bawah bantal.

“Sieun,” katanya lembut, “aku bisa bantu nyapu depan gak?”

Sieun tidak langsung jawab. Matanya memicing. Tatapan tajam dan lama.

“Kenapa?” tanya Suho.

“Enggak. Aneh aja,” balas Sieun pelan. Suho terkekeh, tapi masih mempertahankan sikap sopannya.

Sieun ngelus pelipis. Udah berapa hari, dan dia mulai bingung sendiri. Suho yang terlalu kalem bikin dia gak bisa... marah. Gak bisa ngata-ngatain. Gak bisa gigit balik kayak biasanya. Karena, anehnya, sekarang yang keluar dari Suho malah “makasih, ya,” atau “kamu capek gak?” 

Bahkan hari itu, saat Suho bantuin angkat dus lagi, dia sempat batuk-batuk habisnya.

Sieun refleks nyodorin air minum.

“Minum dulu. Gak usah sok kuat.”

Suho senyum. “Aku mau bantu kamu.”

Rasanya, Sieun mau garuk tanah. Bener-bener tai ni orang.

 

III. Malam harinya, sekitar pukul setengah sembilan.

Suho baru selesai mandi, rambutnya basah, mengenakan kaus putih dan celana pendek abu-abu, saat notifikasi WhatsApp masuk.

Sieun (calon pacar): Lagi di rumah?

Suho langsung duduk tegak. Tangan refleks mengusap sisa air di lehernya pakai handuk. Balasnya cepat:

Suho: Iya. Kenapa?

Butuh beberapa detik sebelum balasan datang.

Sieun (calon pacar): Bisa keluar bentar ga? Depan warung.

Suho: Sekarang?

Sieun (calon pacar): Emangnya aku nanya buat besok?

Suho cengengesan sendiri di tempat duduknya. Meski nadanya dingin, tapi itu… Sieun banget. Dia langsung keluar rumah pakai sandal jepit, nyebrang tanpa basa-basi. Di seberang, lampu warung sudah mati tapi lampu teras masih menyala. Sieun berdiri di dekat kursi kayu panjang depan warung. Wajahnya datar, tapi ada sisa-sisa jengkel di matanya.

Suho berdiri di depannya, sedikit menjaga jarak.

“Hm?” gumam Suho, mencoba membuka pembicaraan.

Sieun menatap lurus ke depan, ke arah jalanan kosong. Malam ini sepi, cuma suara jangkrik dan kipas angin dari dalam rumah yang kedengaran.

“Aku mau nanya,” kata Sieun akhirnya. Nadanya tenang. Terlalu tenang.

“Nanya apa?”

“Minggu ini kamu kenapa, sih?”

Suho menoleh, agak bingung. “Hah?”

“Kenapa kamu… jadi kayak gitu?” lanjut Sieun, tanpa menoleh. “Yang tiba-tiba sopan, rapi, sisiran, mandi—wangi. Kamu tuh.. kenapa?”

Suho mengerjap. “Aku kayak biasanya kok—”

“Mana ada. Kamu kayak kesurupan.” 

Glek, Suho menenggak liur gugup. “Aku cuma… ya, pengen aja jadi lebih baik.”

“Lebih baik atau lebih aneh?” potong Sieun cepat. “Maaf, ya, tapi kamu jadi kayak—aku gak tau—versi kartun dari cowok-cowok TikTok yang ngajarin cara jadi ‘lelaki idaman’.”

Suho terkekeh kecil, malu. “Aku kira kamu lebih suka yang kalem.”

Sieun akhirnya menoleh, pelan. Tatapannya lurus, dingin, tapi di ujungnya ada kelelahan.

“Kalau aku lebih suka yang kalem, dari awal aku gak akan nyium kamu waktu kamu rese di bawah pohon mangga.”

Suho terdiam.

“Kalau aku lebih suka yang manis-manis, aku gak akan ngurusin lukamu waktu kamu jatuh dari motor.”

Suho menarik napas.

Sieun melanjutkan, pelan, “Entah. Mungkin kamu mikir kalau aku ilfil atau dingin. Tapi… kamu yang kayak sekarang malah bikin aku gak nyaman. Bukan karena jelek, tapi karena kayak bukan kamu aja.”

“Aku… cuma takut kamu beneran bosen sama aku yang terlalu banyak tingkah,” gumam Suho.

Sieun menghela napas, menatap langit.

“Suho.”

Dalem?”

“Gak semua hal harus kamu perbaiki. Kadang kita seneng sama orang bukan karena mereka ideal. Tapi karena mereka cocok buat kita.”

Suho menoleh.

“Aku sudah biasa sama kamu yang nyebelin. Yang nyelonong masuk warung. Yang tengil dan terlalu banyak omong. Karena dari awal… ya itu kamu yang kukenal.”

Suho tersenyum kecil. Lega. Juga sedikit terharu.

“…Jadi kamu gak suka parfum Kahf aku?” tanyanya pelan.

Sieun melirik tajam. “ Tauk, ya…tapi lebih baik kalau kamu pake parfumnya pas mau sekolah atau mau jalan ke luar aja. Bukan pas beli teh botol doang.”

Mereka tertawa kecil. Sunyi di antara mereka perlahan mencair.

Jadi, perasaan Suho berbalas. Sepertinya.

“Sieun.”

“Ya?”

“Kalau giliran aku yang kasih kamu pukis sekarang, boleh gak?”

Sieun menatapnya cepat, ekspresinya langsung berubah dari santai jadi waspada. Matanya menyipit pelan, memastikan bahwa dia gak salah dengar barusan.

“Pukis?” ulangnya, nada suaranya berat sebelah antara kaget dan siap ngelempar sesuatu.
Suho mengangguk polos. “Iya. Yang… kamu definisiin sendiri, waktu itu.”

Tiba-tiba udara di luar warung terasa lebih panas. Bahkan angin malam yang biasanya sejuk, mendadak tidak membantu sama sekali. Sieun memutar badannya, pura-pura memperbaiki resleting jaketnya padahal cuma ingin menghindari tatapan Suho yang makin lama makin keterlaluan.

“Enggak lucu,” gumamnya.

“Lho? Aku serius,” jawab Suho, mendekat pelan ke arahnya, “aku kira... kita udah sepakat, itu artinya kita saling ngasih dukungan plus bonus manisnya.”

Sieun diam. Ia tidak menatap Suho, tapi wajahnya jelas-jelas memerah.

“Kalau kamu ngomong kayak gitu terus, aku bisa salah sangka.”

Suho berhenti satu langkah darinya.

Dia menatap Sieun dengan tenang—dan hati yang berdentam kayak genderang marching band. Bibirnya tetap tersenyum.

“Ya… salah sangka aja, gak apa-apa, kan? Daripada nggak nyangka sama sekali.”

Sieun mengatupkan mulutnya. Tangannya mencengkeram ujung jaketnya terlalu lama sampai kusut. Suho masih berdiri di belakangnya, jaraknya cukup dekat untuk bikin bulu kuduk Sieun naik.

“Jadi,” lanjut Suho pelan, nadanya sedikit lebih lembut. “Aku kasih, ya? Satu pukis buat kamu.”

Perlahan, Sieun menegakkan badan dan berbalik. Menatap Suho dengan setengah marah, setengah bingung, dan setengah... ngarep, dalam hati.

“Itu.. ngajak cium, ya?”

“Ya, kali? Soalnya kalau nawarin kue pukis yang beneran, pasar malam nggak buka.”

Sieun masih diam. Tapi kali ini, tidak memalingkan wajah.

“…Kamu emang gak kapok, ya.”

“Kapok.” Suho mengangguk mantap. “Tapi… tetep pengen.”

Beberapa detik keheningan mengisi suasana di depan warung itu. Suho menatapnya tanpa banyak bicara, menunggu—karena untuk pertama kalinya, dia nggak mau maksa. Mau lucu terus juga capek. Kadang... perasaan harus ditaruh di depan.

Sieun akhirnya menghela napas, pelan.

Lalu berkata nyaris tak terdengar, “Satu doang, ya. Jangan ngaco.”

Suho langsung berseri seperti anak kecil dikasih hadiah.

“Terserah kamu deh, mau pukis varian apa,” bisiknya, sebelum pelan-pelan mendekat, satu tangan terangkat, menyentuh ujung bahu Sieun dengan hati-hati—takut mimpi manis ini hilang kalau disentuh terlalu keras.

Dan detik berikutnya, ketika jarak mereka mengecil.. ketika tatapan mata mereka bertemu,

Ciuman itu—bukan di sudut bibir seperti yang Sieun pernah berikan pada Suho, tapi, bibir mereka sungguh bertemu dalam ciuman singkat; hanya bibir yang menempel, tanpa pergerakan lain.

Bukan dalam bentuk plastik putih dari tukang jajanan, tapi hangat, diam-diam manis, dan bikin dada sesak.

Setelah jarak wajah mereka terpisah, Suho hanya bisa berdiri sambil cengengesan, sementara Sieun, dengan wajah merah padam, berbalik cepat dan ngedumel, “Kacau banget sih... gila.”

Suho mengangguk pelan, memegangi dadanya sendiri.

“Iya,” bisiknya. “Gila... tapi enak. Banget.”

Urusan apa hubungan mereka saat ini—bisa diatur belakangan. Yang penting sekarang, dinikmati dulu saja.

 

Notes:

Semua bermula dari aku yang ngirimin VT lirik lagu Pacar Lima Langkah versi Inggris ke Pudding @SHSENATION dan akhirnya kami bercocot ria tentang bagaimana Suho, sebagai seorang remaja labil, yang masih bisa disetir sama konten picisan di TikTok. Jadi, ya.. lahirlah, chapter ini.

Chapter 4: Persetan Kill Streak, Aku Mau Kamu!

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Kalau ditanya apa Sieun masih jutek sama Suho, jawabannya sih, masih. Tapi tidak lagi seperti dulu. Ada sesuatu yang perlahan berubah sejak malam itu—sejak pukis yang datang di antara lengkung senyap dan cahaya lampu warung yang temaram. Setelahnya, Sieun jadi lebih sering bicara. Kadang, malah ia yang lebih dulu membuka percakapan. Tubuhnya telah hafal kebiasaan Suho, dan lidahnya mulai terbiasa menyambut.

Hari itu, misalnya. Suho sedang duduk santai di kursi kayu depan warung, ponsel digenggam dalam posisi horizontal. Ia datang seperti biasa. Mampir, membeli teh botolan—kali ini rasa blackcurrant, lalu bilang pada Sieun, “Aku main di depan ya. Pinjam kursi.” Yang dijawab dengan anggukan kecil dan gumaman pelan, semacam kebiasaan yang telah membentuk pola.

Mereka sudah nyaman dalam keteraturan itu. Seperti sahabat yang kelewat dekat untuk disebut cuma temen, tapi juga terlalu saling diam untuk disebut kekasih. Atau mungkin... ya sudah, biar Suho saja yang cari definisinya nanti.

Sieun keluar dari warung sambil menggendong beberapa kardus kosong. Tangannya sibuk, tapi matanya melirik ke arah Suho yang tampak menegang. Remaja itu menggigit bibir bawahnya cemas, sesekali komat-kamit dan bahkan mengumpat jancuk di tengah-tengah kegiatannya.

“Lagi mabar?” tanya Sieun pelan. Suho menengok ke arah Sieun sebentar, sebelum akhirnya memfokuskan dirinya untuk bermain lagi. “Iya nih, lagi main sama teman-teman.”

Tanpa banyak bicara, Sieun hanya mengangguk paham, berdiri di hadapan Suho dengan posisi sedikit merunduk untuk mengintip apa gim yang sedang dimainkannya.

“Kecil-kecil amat karakternya. Matamu nggak sakit?” 

“Enggak, aku sudah biasa mainnya.”

“Mobile Legends?”

“He’eh,” Suho menjawab dengan cengiran—masih dengan mata yang terpaku ke layar. “Kamu mau coba tah?”

Sieun menggeleng, kemudian mengambil posisi duduk yang agak berjarak di sebelah Suho.

“Ayo coba main habis ini! Bentar, bentar lagi aku menang nih.” ujar Suho sedikit meyakinkan.

“Bukan seleraku.” balas Sieun.

Sieun bukan pemain gim yang luar biasa. Terakhir kali ia bermain gim, itu hanya sejenis Tetris. Tidak ada kerjasama tim, cuma modal cekatan dan otak saja. Less drama, less stress. 

Sambil menonton Suho yang tenggelam dalam layar, Sieun memperhatikan dengan seksama pada wajah di sampingnya. Dalam diam itu, dia sadar—kalau saat serius begini, ternyata Suho nggak kelihatan jelek-jelek amat.

Dadanya sedikit berdebar. Namun ia coba mengalihkannya.

Suho masih menunduk, jempolnya gesit mengetuk-ngetuk layar. Di layar itu, segerombolan karakter kecil sedang saling serang dalam warna-warna menyilaukan.

“Yah elah, ada yang AFK, caper amat,” gerutunya. “Nih kalau kalah, salah dia semua—”

Sieun, yang kini duduk menyilangkan kaki di sisi bangku, menoleh pelan. “AFK tuh apaan?”

Suho berhenti sejenak, menoleh. “ Away From Keyboard. Istilah orang yang ngilang dari game pas lagi mabar. Kadang gara-gara sinyal jelek... atau bisa aja, drama.”

Benar, kan. Tetris memang bukan pilihan gim yang buruk.

Mereka duduk di depan warung dengan posisi yang sama selama kurang lebih dua puluh lima menit. Suho tak berkedip, Sieun tak henti-henti mengernyit. Permainan semakin intens, dan tak sekali dua kali mereka saling bertukar pandang. Entah karena saat itu Suho nyaris berhasil merusak turret lawan, atau ya, memang mereka mau saling melihat saja. 

Waktu berlalu semakin cepat, tegangan di antara mereka semakin mencekam,

Suho menghela napas berat. Beberapa detik hening. Dan akhirnya,

“FAK! MENANG!”

Sorakan itu cukup keras untuk mengusir dua burung gereja di atas atap warung. Ia memeluk ponselnya ke dada seperti pemain bola yang baru cetak gol di menit akhir, lalu menoleh ke arah Sieun dengan senyum kelewat lebar.

“Lihat tuh. MVP. Liat, liat!”

Sieun cuma melirik sekilas. “Norak.”

“Bukan norak, ini.. merayakan kemenangan dengan penuh syukur,” sanggah Suho, lalu tanpa aba-aba langsung menggeser posisi duduknya mendekati Sieun. “Sekarang kamu lagi, geh.”

“Ha?”

“Kamu main.”

“Nggak dulu, deh.”

Sieun merapatkan kakinya, berusaha menjaga zona aman.

“Tapi kamu tadi nonton dari awal sampai akhir.”

“Ya, karena gak ada tontonan lain.” Ucapannya datar, tapi tak secepat biasanya menolak.

“Yuk, install. Ayo! Aku ajarin. Bentar aja kok download-nya,” bujuk Suho sambil menyodorkan layar ponsel, menunjuk tombol unduh seperti seorang salesman yang sedang menunjukkan katalog promo.

Sieun masih menatapnya skeptis, tapi entah kenapa, jarinya bergerak juga. Beberapa menit kemudian, suara pembuka dari aplikasi menyembur dari speaker ponselnya sendiri.

“Beneran kamu download?” tanya Suho, nyengir.

Sieun memilih bungkam. Tapi wajahnya mungkin agak sedikit memerah.

 

───

 

Mereka masuk ke lobby game baru. Suho dengan sabar menjelaskan kontrol dasar, map, tujuan, jenis hero. Satu per satu. Sementara Sieun hanya mendengus, kadang mengangguk, kadang menatap layar dengan ekspresi “kenapa aku mau-mau aja, sih?”

Baru juga tiga menit masuk, tiba-tiba, ada request join lobby yang muncul. Seorang pengguna dengan nama “ buubi☆彡” masuk ke ruang permainan, disusul suara perempuan yang terdengar dari speaker ponsel Suho.

“Suhooo~ akhirnya kamu online lagi! Lama banget sih, ya ampun. Kangen, tau.”

Suho mendecak kecil, tapi ketawa juga. “Wah, iya. Sori, sori. Baru bisa main lagi nih hari ini.”

“Eh, siapa tuh, Si.. Sieun nol lima? Oh, kamu bawa temen baru, yaaa.”

Suara perempuan itu bening, sedikit cempreng, tapi jelas-jelas centil. Terlampau akrab dan cair.

Sieun diam. Matanya tetap menatap layar, walau perhatiannya pecah. Sieun belum pernah tahu kalau Suho juga punya teman dekat perempuan di Mobile Legends. Walaupun sebenarnya, Sieun juga merasa kalau dia tak punya hak untuk tahu. Tapi, Suho yang ceplas-ceplos kadang tanpa sengaja suka bercerita soal teman-temannya saat dia nongkrong di warung.

Ada yang namanya Baku (Sieun ingat betul setelah insiden lagu The Changcuters),

Ada yang namanya Youngyi, anak gang sebelah yang sedikit tomboi.

Ada juga Beomseok, anak orang kaya yang tinggal di perumahan elit.

Tapi nggak pernah tahu tentang si buubi simbol bintang jatuh.

Rasanya, ponsel Sieun jadi lebih panas daripada biasanya. 

“Iya. Ini temenku,” ujar Suho, nada suaranya tetap santai. “Namanya Sieun.”

“Oalaaah. Hai Sieun! Salam kenal ya, aku temannya Suho. Kami sudah lama main ML bareng, lhooo. Sudah.. Dari kita kelas satu nggak sih, Suho? ” Lalu suara tawa kecil terdengar dari speaker.

Suho sedikit tersenyum sembari menjawab, “iya kayaknya, sudah dari kapan.”

Sieun tidak mengatakan apapun. Tapi pandangannya mulai kosong. 

“Kenapa diem, Sieun?” tanya Suho pelan, lirih. Tapi tidak ada jawaban.

Mereka masuk ke match. Suho dan Sieun satu tim. Di beberapa menit awal mereka bermain, suara perempuan itu masih terdengar, memberi saran, mengomentari strategi, sesekali memuji Suho. Dan entah kenapa, semua itu terdengar makin keras di telinga Sieun.

“Sieun, kamu kelewat maju tuh!” buubi menegur.

Salah pencet. Tuhan, kenapa dia salah pencet sesaat ditegur perempuan itu?

“Eh, eh itu! Sieun, gimana deeeh..”

Salah lagi. Sieun berusaha memutar karakternya untuk berpindah, namun dikomentari lagi.

“Harusnya kamu nggak gitu, Sieun.”

YOUR TURRET IS UNDER ATTACK.

Ia mencoba menyeret karakter kecil di layarnya ke arah musuh, tapi salah pencet. Lagi-lagi, salah pencet.

Sial. Sieun bingung sekali dengan bagaimana cara kerja gim ini. Dia panik, bingung harus berbuat apa. Sekali, ia menoleh ke arah Suho, namun remaja berkaos merah itu terlalu fokus untuk menatapnya balik. 

Dia mati dua kali. Salah beli item. Dan saat karakternya jalan ke arah turret, dia malah bengong.

Klik.

Sieun letakkan ponselnya perlahan. Tidak berkata apa-apa. Matanya tertuju ke depan, ke jalan kosong di seberang warung. Di pipinya, setetes air mata jatuh pelan diam-diam. Cuma setetes. 

Suho yang sadar ketika Sieun tiba-tiba AFK, langsung menoleh cepat ke arahnya. Detik itu juga ia lihat kalau pipi Sieun sudah basah. Itu cukup untuk membuatnya segera panik.

“Sieun?” bisiknya cepat, menoleh ke arah remaja itu.

Sieun dengan terburu-buru dan kasar, mengusap air matanya dengan lengannya, menghirup udara yang banyak untuk menutupi embusan napas terputusnya yang hendak keluar.

Wajahnya datar seperti biasa, tetapi matanya kosong. Tak ada ledakan. Tak ada ledakan emosi atau umpatan. Justru itulah yang buat Suho makin gelagapan.

“Eh, aku.. keluar dulu dari game, ya. Sakit perut.”

“Lah! Suho, jangan do—”

Tanpa menunggu jawaban, Suho langsung mematikan voice chat dan juga layarnya.

“Hei. Kenapa..?”

Tangannya terulur, menyentuh pipi Sieun dengan ringan, jari-jarinya dingin karena botol teh yang tadi masih tersisa di sebelah kursi.

Sieun terdiam tak menepis. Ia menunduk lalu akhirnya berbisik, seperti seseorang yang sudah menahan lama:

“Aku dongkol. Kesel.”

Suho menelan ludah. “Sama aku?”

“Bukan.” 

Pipinya sedikit menggurat merah karena malu bercampur kesal.  “Aku... gak bisa main. Temen kamu juga kayaknya kesel soalnya aku gak paham. Bingung maininnya.”

Sieun tak pernah merasa marah seperti ini. Perasaannya begitu bercampur aduk dan kompleks untuk dijelaskan. Namun, ia menyadari satu hal dari segala perasaan tersebut: ia merasa dipermalukan.

Suho menarik napas panjang. Ia duduk lebih dekat. Tangannya tak bergeser dari pipi Sieun, malah bergerak ke belakang kepala remaja itu, mengusap pelan di dekat tengkuknya, tempat di mana rambutnya menipis karena keringat sore.

“Maaf, ya.” Nadanya pelan. Tanpa gombal. Hanya minta maaf.

Sieun mengangguk sekilas. Tangannya menghapus sendiri sisa air matanya, meski Suho ingin sekali membantu.

“Susah, ya, jadi temen kamu,” gumam Suho, pelan. “Salah dikit, langsung kayak gini.”

“Kalau gak kuat temenan, ya udah,” balas Sieun, tapi suaranya serak. Bukannya mengusir—nada bicaranya seakan mencoba melindungi dirinya duluan.

Suho tersenyum kecil. “Kalau gak kuat, aku pasti udah berhenti dari kemarin-kemarin.”

Dengan satu gerakan hati-hati, Suho meraih kepala Sieun dan menempelkannya ke bahunya.

Dan Sieun tidak menolak gestur lembutnya.

 

───

 

Langit sudah gelap sempurna. Gang depan warung sepi, hanya ada cahaya lampu teras dan suara serangga dari sela-sela tembok tua. Sieun duduk di dalam, memindahkan tisu-tisu ke etalase sambil sesekali melirik jam. Suho belum pulang sejak sore. Ia masih duduk di kursi kayu yang sama, tapi tidak main lagi. Hanya diam, menonton YouTube dengan suara kecil, kadang tertawa sendiri, lalu diam lagi.

Sudah jam delapan malam.

Sieun bergerak ke arah pintu, lalu dibukanya—muncul suara pintu kayu didorong pelan. Sieun menongolkan kepala.

“Kamu nggak pulang?” tanyanya pada Suho, Ia berdiri di sana dengan handuk yang berada di kepala. baru selesai mandi. 

“Ntar aja, si Mama lagi nggak di rumah juga. Nginep di tempat tante.”

“Nggak mandi kamunya?”

“Aku biasanya mandi malem sebelum tidur.”

Alis Sieun naik satu, ekspresinya nge-judge Suho parah. Tapi dia tak mengatakan apapun, hanya melihat anak lelaki itu yang sedari tadi enggan berpindah dari tempat duduk.

Tak lama, Suho menengok ke Sieun dengan raut serius. 

“Sieun.”

“Apaan.”

“Mau ikut makan nggak?”

“Sekarang?”

Suho mengangguk. “Naik motorku. Kita ke Warmindo gang yang di sana itu, yang ada kursi plastik warna hijau. Kamu belum makan malam, kan?”

“Kamu juga belum, ya?”

“Ya, iya sih,” Suho nyengir, lalu menggoyangkan kunci motor di tangannya. “Ayo. Aku traktir.”

Sieun sempat diam beberapa detik, menimbang. Tapi akhirnya ia mengambil jaketnya dan keluar juga. Tidak bilang “iya,” tapi juga tidak bilang “nggak.” Seperti biasa, bahasa tubuhnya sudah cukup.

Setelah mengambil jaketnya sendiri dari dalam rumahnya, Suho berjalan ke arah motor PCX-nya yang terparkir di halaman depan. Ia membuka jok, mengambil helm bogo warna hitam-merah dengan kaca bulat. Dipegangnya sebentar, sebelum dia melangkah ke arah Sieun.

“Bungkukin kepala,” katanya, pelan.

Sieun mengerutkan dahi. “Kenapa?”

“Aku pasangin helm.”

“…Aku bisa sendiri.”

“Tapi aku mau pasangin.”

Tanpa banyak perlawanan, Sieun menunduk juga. Suho meletakkan helm itu di atas kepala Sieun perlahan-lahan, memastikan tali helm tidak terlalu kencang. Jemarinya bergerak lambat, hati-hati. Suho bahkan sempat menepuk kaca helm, sebelum akhirnya mengaitkan penguncinya.

“Nah. Cakep,” gumam Suho.

Sieun hanya melirik sekilas, wajahnya tanpa ekspresi—tapi telinganya merah samar. Suho tahu. Tapi dia tidak menggoda. Sekarang, jangan dulu.

Mereka berdua naik motor. Suho duduk di depan, Sieun di belakang. Untuk beberapa detik, tangan Sieun hanya diam memegang ujung jaketnya sendiri. Tapi begitu motor mulai melaju, tangan itu bergerak. Perlahan meraih punggung jaket windbreaker Suho. Menggenggam dengan separuh hati.

Udara malam terasa ringan, dingin yang tidak menggigit. Jalanan gang yang sempit berubah jadi ruang kecil yang penuh privasi, seolah mereka adalah dua orang terakhir yang masih terjaga di daerah kecil itu.

Setelah lima menit, Suho sengaja menarik rem mendadak di tikungan kecil. Pergerakan mendadaknya itu membuat tubuh Sieun terdorong ke depan dan secara reflek memeluk punggung Suho lebih erat.

“Woi.” tegur Sieun di belakangnya.

“Maaf, maaf,” Suho tertawa pelan. “Jalanan licin. Gak sengaja.”

“Licin dari mana, kocak?”

“Cuma mau lihat kamu peluk aku lagi,” katanya ringan.

Sieun tidak menjawab. Tapi ia tidak melepaskan pelukannya juga. Tangannya masih menempel di pinggang Suho bahkan sampai motor kembali melaju.

Warmindo itu masih buka, lampunya kuning temaram, dengan dua meja yang tersisa belum dipakai. Mereka memilih duduk di pojok. Tak banyak kata yang keluar saat mereka memesan mie goreng (ditambah kornet dan telur) dua porsi dan teh manis panas.

 

───

 

Meja nomor empat di pojokan warmindo jadi saksi bisu dua remaja yang tampangnya nggak menunjukkan rasa lapar, tapi piring mereka habis bersih dalam waktu kurang dari delapan menit. Suho masih memegang sumpit di tangan kanan, sambil menyisir sisa kornet di piringnya, sementara Sieun menunduk—bukan karena malu, tapi karena sedang menyendok potongan telur ceplok yang sengaja ia sisakan terakhir.

“Enak, ya,” kata Suho, mengusap bibirnya dengan tisu.

“Biasa aja.”

“Tapi kamu ngabisin.”

“Kamu juga.”

Suho tersenyum. “Kita tuh banyak kesamaan nggak sih?”

Sieun mendongak pelan. Matanya lelah. “Banyak bedanya juga.”

“Bedanya apa?”

Sieun mengambil gelas tehnya, meniup pelan sebelum menyeruput. “Kamu ribut. Aku nggak.”

Suho tertawa pelan, senyumnya tipis tapi tulus. “Iya juga, ya. Tapi... walau kamu diam, aku tetap bisa denger kamu ngomong.”

Sieun mengernyit. “Maksudnya?”

“Ya, kayak sore tadi. Kamu nggak bilang kamu cemburu, tapi aku ngerti nek kamu ngerasa gitu.”

Sieun diam. Lama. Matanya menatap piring, jemarinya menggulung tisu tanpa arah.

Ora. Aku gak cemburu,” katanya akhirnya. “Aku cuma kesel. Gak ngerti apa-apa. Game-nya ribet. Aku nggak bisa ngapa-ngapain.”

Suho menyender ke kursi, pandangannya tidak mengejek. Justru lembut. “Tapi kamu tetap mau main tuh.”

“Gara-gara kamu paksa.”

“Kamunya manut. Artinya kamu peduli.”

Sieun menyipit, tidak suka cara Suho membolak-balik argumen. Tapi kali ini, dia tidak membantah. Karena emang ada benarnya sedikit.

“Satu game lagi, deh. Aku ajarin pelan-pelan.”

“Gak, ah. Males.”

“Lho, aku mau jadiin kamu pro player! Biar jago kayak aku, nanti kita kill streak,” Suho sedikit membujuk, tangannya mengepal dengan optimis seperti karakter animasi Jepang yang dibakar api semangat. “Gimana? Mau? Kita kumpulin sorakan legendary bareng.”

Sieun menggeleng, “Nggak perlu. Kalau aku main, ntar yang ada mengganggu kill streak yang kamu mau itu.”

“Heh, persetan kill streak. Wong aku maunya kamu, kok.”

Sieun menghela napas berat, pura-pura merutuki pilihannya ikut Suho malam ini. Tapi sebenarnya, pipinya sedikit panas.

Suho meneguk tehnya, lalu meletakkan gelas di atas meja dengan bunyi lembut. “Kamu tahu nggak, dari semua suara di warungmu, yang paling aku tunggu tuh—suaramu.”

Sieun langsung bangkit dari kursinya. “Udahan, yuk.”

“Lho? Kenapa kok buru-buru?”

“Males, ntar kamu makin banyak omong.”

Suho menahan tawa, lalu ikut berdiri dan merapikan jaketnya. Mereka berjalan keluar, kembali ke motor yang diparkir di bawah lampu jalan. Angin malam membuat dedaunan pohon di dekat sana bergoyang pelan. Langit gelap, tapi tidak kelam.

Sebelum memasang helmnya sendiri, Suho menoleh ke arah Sieun. “Kapan-kapan kita makan lagi, ya? Tapi jangan di warmindo.”

“Terus, di mana?”

“Di rumahmu. Kamu yang masakin.”

“Ngimpi.”

“Tapi aku boleh, kan, ngimpiin kamu?”

Sieun tidak menjawab. Dia mengambil helmnya, memakainya cepat-cepat.

Suho juga naik duluan, menyalakan mesin. Tapi sebelum menarik gas, ia menoleh sebentar ke belakang. “Kalau aku rem mendadak, kamu bakal peluk lagi gak?”

“Kalau kamu sengaja, tak tendang.”

“Tendang dulu, terus, peluk nanti?”

“Jalan. Suho.”

Suho tertawa lebar, tapi kali ini, tidak menggoda lagi. Hanya senang. Bahagia, dengan hal sekecil ini—jalan malam, mie hangat, dan seseorang yang dulunya dingin, kini mulai membuka diri sedikit demi sedikit. 

Dan kalau ditanya, mereka berdua itu sekarang apa?

Jawabannya masih abu-abu, sih. Tapi yang penting, malam ini, mereka pulang bersama.

 

Notes:

Terima kasih untuk pacarku yang mau aku recokin urusan ML sampai dia bela-belain buat video tutorial. Super love untuk kamu, sayang.
Dan terima kasih untuk Micel @pjhIovebot juga yang dengan detailnya menjelaskan apa itu ML dan segala tetek bengeknya. Loplop.
Tanpa mereka kayaknya aku bakal ngaco banget kalau disuruh jelasin permainan ini. Oh iya, ditekankan di sini kalau Sieun tuh nangis lebih ke dongkol ya daripada cemburu (walaupun sebenernya ya cemburu sikit) tapi dia memang kelewat dongkol aja makanya sampai nangis. Siapa di sini yang kalau dongkol malah nangis karena bingung mau ekspresiinnya gimanaaa? SAYAAAA.

Chapter 5: Isi Hati Tertelan Hujan

Notes:

Yeah, this took me like.. a month or more to continue. Termarinasi di draft sekitar sebulanan dan menurutku ini masih jelek banget, tapi aku sudah nggak tahan lagi. Fuck it we ball, or whatever they said.

(Be prepared for the end notes, I YAPPED)

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Udara di sekolah Suho siang itu sedikit pengap, tercampur aroma keringat dari para anak laki-laki yang baru saja kembali dari lapangan setelah bermain sepak bola. Cuacanya panas, namun mendung menggantung rendah di langit. Kapan saja, hujan bisa pecah membasahi bumi.

Suho melangkah masuk ke kelasnya dengan handuk kecil disampir di pundak. Kaus bagian lehernya sudah agak basah, dan kulit di tengkuknya masih terasa panas.

Beberapa temannya sudah mulai bersiap pulang—menyimpan buku ke dalam ransel, merapikan meja, dan saling melempar kalimat seadanya soal tugas atau janjian ketemu di luar. Hari ini, sekolah dipulangkan lebih awal karena ada rapat besar para guru.

Hanya saja, dua orang di pojok kelas kelihatannya masih belum tertarik untuk pulang. Yang jangkung tengah berdiri sembari memeluk sapu, sedangkan yang berfigur bongsor, sedang duduk di kursinya. Mereka Baku dan Gotak, sahabat karib Suho.

Suho mendekat sambil menyibakkan poni yang menempel di dahinya. “Gak mulih, ta? Anak-anak futsal udah tak bubarin.” 

Gotak, si tubuh jangkung, hanya menggeleng sekilas. Ia mengerucutkan bibirnya dan mengarahkan ke arah Baku, sahabat bongsor mereka yang sedang asyik sendiri. 

“Sek, sek. Masih bahas tong setan,” katanya, mata masih menatap layar ponselnya penuh semangat.

“Tong setan?” Suho mengulang.

“Iya, lho,” jawab Baku, kini menatap Suho dengan antusias. “Aku lihat tong setan kemarin malam.”

Gotak berdecak, beralih dari posisinya untuk menggantung sapu yang sedari tadi hanya ia pegang-pegang. “Aku lihat juga, kok. Tapi nggak se-excited kamu.”

“Ya.. kan kamu kurang apresiatif sama seni,” Baku nyolot.  

“Seni? Wong motor muter-muter tok kok dibilang seni.”

Belum sempat Suho menengahi kawan-kawannya, Baku tiba-tiba mengganti topik. Ada sedikit rasa penasaran tersirat juga di nada bicaranya.

“Eh, Suho. Sebenernya kamu udah pacaran apa belum sih sama Sieun?”

Suho tersedak air liurnya sendiri. “Hah? Ya belum! Kalau udah, pasti aku kasih tau kalian.”

“NAH, BAGUS KALAU GITU!” Baku langsung bangkit setengah berdiri, satu tangannya menunjuk dramatis ke udara. “Coba kamu ajak dia ke tong setan malam ini.. Terus kamu tembak. Romantis lho, nembak sambil diiringi suara motor muter-muter!”

Suho tertawa pendek. “Oposeh? First date-ku sama dia udah di pasar. Masa ke pasar lagi?”

“Tapi waktu itu gak ada tong setannya, toh? Pasar malamnya juga bukan yang nyerempet kota, toh?” sahut Baku cepat.

“Iyo seh..”

“Aku lihat kemarin ada yang nembak cewek di sana!” Baku makin semangat. “Kon mesti coba!”

Mereka bertiga akhirnya tertawa pelan, terbawa suasana yang mulai lengang. Meskipun angin dari jendela mengembus lembap yang tak nyaman, mereka tak ambil pusing dan memilih untuk terus berbincang.

Sampai akhirnya, dari arah pintu, muncul seorang pria paruh baya berseragam. Beliau berdiri dengan tangan bertolak pinggang.

“HEH! INI KOK NGGAK PULANG-PULANG MALAH NGERUMPI? TEMEN-TEMEN KALIAN UDAH PADA BALIK SEMUA!”

Ketiganya sontak tersentak, mata mereka membaca tiap sudut ruangan. 

Dan memang benar, semua orang sudah pulang. 

Kini hanya ada mereka, dan sang penjaga sekolah mereka yang sedang melotot dengan ekspresi galak. Sudut bibirnya tertarik ke bawah, memberikan kesan lucu pada kumis tebalnya yang seukuran ulat bulu.

“Nggih, Pak! Ini.. ini mau pulang!” sahut mereka bergantian, sambil buru-buru meraih tas masing-masing.

 

───

 

Seusai huru-hara di sekolah, Suho ngebut menyusuri jalanan menuju rumah dengan PCX-nya. Mendung masih bergelayut manja di atas gang sempit tempatnya tinggal. Langit terlihat kelabu, awan menumpuk rusuh.

Suho menatap ke langit sebentar saat ia berhenti untuk memarkirkan motor di teras. Dia khawatir mampus. Padahal, ia sudah merancang rencana untuk kencan bersama Sieun malam ini, sekalian mau nembak. Walaupun tak muluk-muluk, sih. Hanya jalan ke pasar malam dan menonton tong setan. Tetap saja, ia berharap semoga cuaca akan bersahabat nantinya.

Suho turun dari motor, kemudian menyeret tasnya ke teras. Ia berdiri sejenak di sana untuk memandang ke seberang jalan. 

Warung Bunda Senang tampak sepi. hanya ada suara kibaran dari spanduk di atasnya yang tergantung di bagian depan.

Namun keheningan itu segera dipecah oleh suara keras dari arah warung. Dua orang lelaki keluar sambil bicara sengit—yang satu mengenakan kaos tanpa lengan, satunya lagi memakai jaket kulit dan helm yang tampak sudah akrab dengan debu jalanan.

“Mas, gimana nih? Ini udah dua kali saya nerima telur, tapi banyak pelanggan warung yang bilang telurnya busuk.”

Suho menoleh. Minhyun—kakak Sieun—tengah berdiri di sisi warung, bersilang tangan di depan dada sambil bicara keras kepada pria berjaket kulit yang membawa seabrek telur di motornya.

“Lah, ya saya gatau, mas? Saya cuma nganter doang,” sahut pria itu enteng, mengangkat bahu.

“Tapi yang ini gak busuk lagi, kan?”

“Ya berdoa aja semoga enggak?”

Minhyun menghela napas dongkol, menatap keranjang telur seperti ia bisa mendeteksi kualitas isinya dengan tatapan saja. Namun si pengantar itu sudah terlalu cuek untuk meladeni. Bahkan, tanpa banyak bicara, ia langsung naik motor dan pergi tanpa pamit yang layak.

“Yawes, saya pergi,” katanya sambil menyalakan mesin.

Minhyun mendengus. “Heh!”

Motor jadul itu sudah keburu meninggalkan gang dengan kencang.

Suho yang sejak tadi berdiri diam, akhirnya menyebrang. Ia berniat membantu mengangkat keranjang-keranjang telur untuk dimasukkan ke dalam warung. “Mas! Mas bisa angkutnya gak?”

Minhyun mendongak—disambutnya Suho dengan senyum lelah. “Nggak bisa angkut sendiri nih kayaknya.”

Dengan refleks, Suho merunduk juga, ingin meraih keranjang telur yang lain. “Biar saya bantu, mas.” 

“Suho temannya Sieun kan, ya?” Tanya Minhyun memastikan, padahal dia sudah pernah bertemu Suho beberapa kali ketika jaga warung.

Suho mengangguk.

“Kalau mau main, nanti aja ya. Dia belum pulang.” Ucapannya terdengar basa-basi. 

“Nggak apa-apa, saya tungguin aja,” jawab Suho ringan. “Sambil bantuin dulu.”

Minhyun tersenyum kecil, mengangguk. “Tumben jam segini udah di rumah?”

“Pulang cepet, mas. Ada rapat guru,” jawab Suho sambil mengangkat keranjang ke dalam.

Setelah selesai memindahkan semua telur ke dalam, Minhyun bersandar sejenak ke etalase dan mengeluh soal kualitas telur dari pemasok tadi. Ia menggeleng sambil bergumam, lebih ke dirinya sendiri.

“Ribet banget telur yang dari sini. Lagak kayak telurnya paling bagus sedunia. Padahal ya, denger-denger ada tuh telur yang kualitasnya jauh lebih baik. Dari peternakan kang Juntae. Sayang banget kampungnya jauh. Lima jam lebih perjalanan.”

Suho hanya ikut mengangguk meski tak tahu siapa itu Juntae. “Lima jam lebih cuma buat ngambil telur tok ya mokad, mas.”

Minhyun tertawa lepas, kemudian berjalan ke arah kulkas warung untuk mengeluarkan satu botol air mineral dingin dan menyerahkannya pada Suho sebagai bentuk terima kasih karena sudah membantu.

“Iya, ya. Ntar telur-telurnya keburu jadi ayam.”

Cengiran Suho melebar karena humor Minhyun. Setelah itu, pandangannya melayang ke luar warung. Tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Sieun. 

Ia pikir, lebih baik jika menunggu sebentar sembari berbincang dengan Minhyun. Yah, anggap saja pendekatan dengan calon kakak ipar di masa depan.

Siapa sangka? Mereka cepat sekali nyambung setelah beberapa jam ngobrol. Keduanya ngalor ngidul tentang motor, perbedaan kuliah dan sekolah, sampai ke bahasan pacar Minhyun yang katanya sangat cantik melebihi artis luar negeri.

Tiba-tiba, ada suara sepatu terdengar dari arah jalan yang memutus obrolan mereka.

Sieun baru pulang. 

Rambutnya lepek. Ada jejak keringat di wajahnya. Ia mengenakan seragam yang sudah agak lecek karena seharian dipakai. Di tangannya, tergantung tas kain berisi partitur dan pianika berwarna biru muda.

Meski Sieun kucel dan bau matahari, Suho tetap terperangah melihat betapa mempesonanya dia. Nyaris saja ia menghamburkan diri ke pelukan si kecil—kalau saja nggak ada Minhyun.

“Latihan pianika?” tanya Suho cepat.

Sieun mendongak, sedikit kaget melihat Suho sudah ada di warungnya. Tapi ia hanya mengangguk kalem. “Iya.”

“Lama?”

“Nggak juga.”

“Udah makan?”

“Belum.”

Minhyun menatap interaksi mereka sebentar, lalu berdeham pelan. “Aku ke belakang bentar, ya. Mules, mau ee.”

Sang adik hanya mengangguk. Dan Suho menunggu hingga langkah Minhyun menjauh, lalu kembali  menoleh ke remaja yang ditaksirnya sejak lama itu.

“Kamu malam ini nganggur, nggak?”

Sieun mengerutkan dahi. “Emang kenapa?”

“Mau ke pasar malam di luar yang ada tong setannya, nggak? Tak bonceng. Aku mau ngajak kamu lihat orang muter-muter naik motor.”

Sieun diam sebentar. Walaupun dari matanya, Suho tahu jawabannya bukan tidak.

 

───

 

Pasar malam sudah ramai saat mereka tiba.

Sepeda motor dan mobil berderet acak-acakan di sepanjang bahu jalan, sebagian bahkan naik ke trotoar. Suho harus memarkir motornya cukup jauh dari gerbang utama, lalu mereka berjalan kaki ke dalam. Kedua remaja itu melewati barisan tenda dan lampu warna-warni yang menggantung miring dari kabel-kabel panjang di atas kepala. 

Udara terasa hangat, lembap, dan penuh dengan aroma: minyak goreng, asap jagung bakar, wangi plastik mainan baru, dan bau keringat padat manusia.

Suho menengok ke samping.

“Kamu mau jajan dulu?” tanyanya pelan, matanya ikut menelusuri pemandangan.

Sieun memandang sekeliling dengan ekspresi datarnya yang khas. “Nggak usah. Nanti aja, kalau udah selesai nonton tong setan.”

Suho mengerutkan kening. Nada itu terlalu praktis dan nggak seru. Nggak sesuai rencana yang sudah ia bayangkan siang tadi.

Tanpa banyak kata, ia berbelok mendekati penjual sosis goreng. Langkahnya cepat. Dari sudut matanya, Suho bisa lihat Sieun tidak langsung menyusul. Ia hanya berdiri tak jauh dari tempatnya, Terdiam dengan tangan di saku.

Suho mengangkat dua jari. Penjual itu mengangguk paham, dan segera mengemas dua tusuk sosis dengan saus melimpah.

Saat Suho membayar dan menoleh, tatapannya bertemu dengan mata Sieun. Suho tersenyum agak tengil.

“Opo, sengku?” godanya.

Sieun tampak sedikit kaget dengan panggilan sayang alay itu. Mimiknya langsung berubah. Wajahnya, yang dari tadi tenang, kini memerah dengan sangat nyata. Ia menyambar satu tusuk sosis dari tangan Suho bahkan sebelum Suho sempat menyerahkannya.

Suho nyaris ngakak. Sebelum ia sempat menggoda lebih jauh, Sieun sudah melangkah cepat meninggalkannya—kabur secara tak langsung.

Kurang dari sepuluh detik, langkah Sieun melambat, lalu berhenti sepenuhnya. Maniknya terarah ke satu titik.

“Tuh,” gumamnya. “Itu kan tong setannya.”

Suho mendekat, mengikuti arah pandangannya.

Di tengah area pasar, sebuah dinding silinder menjulang. Permukaannya terdiri dari bilah-bilah kayu dan lapisan plat besi yang terlihat usang. Huruf kapital besar di bagian atas bertuliskan: TONG SETAN, cat merahnya sudah pudar sebagian, beberapa lampu hias yang seharusnya menyala tampak mati. 

Dari kejauhan, terdengar suara motor dan sorak-sorai. Di depan tenda utama, beberapa orang berkumpul di loket tiket, antre sambil menengok-nengok ke arah tong yang tinggi. Lampu di dalam silinder itu berkedip-kedip, beradu dengan musik dangdut dari speaker yang terdengar setengah pecah.

“Ayo?” ajak Suho, kini berdiri di samping Sieun, bahu mereka hampir bersentuhan.

Sieun tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sambil menggigit ujung sosis yang tadi ia genggam.

Setelah membayar 40.000 untuk berdua dan menghabiskan sosis masing-masing, mereka naik ke tribun kayu di sekeliling tong setan. Kaki melangkah pelan menaiki tangga sempit yang berderit pelan tiap diinjak. Arena berbentuk silinder itu membubung di tengah, dengan dinding-dinding bergambar abstrak.

Penonton sudah cukup padat. Beberapa anak kecil duduk di bahu ayah mereka, remaja-remaja sebaya saling menantang untuk berdiri paling pinggir, sedangkan yang lain hanya asyik memotret dengan ponsel. Musik dangdut dari speaker di sudut bergema lebih keras, membuat jantung berdebar meski atraksi belum dimulai.

Sieun berdiri cukup dekat dengan pagar pembatas. Suho berdiri di sampingnya, menjulurkan tubuh sedikit untuk melihat ke bawah.

“Lihat tuh,” ujar Suho, menunjuk ke dalam tong. “Motornya udah siap. Itu.. kamu liat? Yang baju merah. Kata orang-orang, dia mainnya jago.”

Sieun tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, tampak fokus.

Begitu suara mesin menyala, dinding tong mulai bergetar. Dalam hitungan detik, motor itu naik ke sisi dinding, berputar melingkar dalam kecepatan konstan. Penonton bersorak keras, beberapa ikut teriak panik karena ngeri.

“Gila.. gila banget.” bisik Suho. Ia menoleh ke arah Sieun, yang masih diam tapi bibirnya sedikit terbuka. Ekspresinya sulit dibaca, antara takjub atau bingung. Manis sekali.

Suho cengengesan. “Takut, ya?”

Sieun melirik cepat. “Gak. Emang aku bayi?”

Suho terdiam sejenak, lalu tertawa gemas. 

Tepat saat itu, suara raungan motor makin keras. Yang menunggang berdiri di atas motor sambil dadah-dadah ke penonton. Sieun berdiri di tempatnya dengan mata terbelalak. Untuk sesaat, wajahnya terbuka—tanpa sikap cueknya. Suho menoleh, dan begitu melihat ekspresi itu, senyumnya perlahan mengembang.

Dia tahu. Ini saatnya ia merealisasikan saran Baku.

Suho menarik napas. Debar di dadanya sulit dikendalikan. Kalau harus menembak, bukankah ini momen paling epik? Saat motor berputar cepat di dalam tong setan, suara penonton bersatu dalam sorakan, bahkan beberapa ada yang lempar uang kertas seribu sampai lima ribu ke bawah, membuat suasana semakin mantap. 

Cahaya lampu juga ikut suportif menyinari wajah Sieun yang.. untuk pertama kalinya, terlihat benar-benar takjub. 

Dia membuka mulut, siap mengucapkan nama Sieun.

Di antara lembaran uang yang berterbangan, ada pula yang mendadak melempar es sirup dari jauh.

Hah? Es sirup?

Seseorang tak sengaja menjatuhkan plastik minuman dari atas.

Dan, tentu saja, isinya muncrat tepat ke arah mereka berdua.

Cairan lengket nyiprat ke jaket Suho dan Sieun. Suho kaget, refleks melindungi kepala dengan tangan. Sementara Sieun hanya bisa berdiri membeku, menatap noda besar di bajunya dengan ekspresi lebih banyak jijik daripada marah.

“Eh, weh.. Jancuk!” seru Suho dengan medok. 

Dengan khawatir ia melihat Sieun, matanya mengamati seluruh bagian atas tubuh yang kurus itu. “Kamu kena juga?”

Sieun tak menjawab. Ia mendongak ke arah sumber suara, tapi orang-orang terlalu banyak untuk dilacak siapa pelakunya.

“Eh! Sori! Itu es saya!” jerit suara dari belakang, kemungkinan si pemilik minuman yang bersalah tapi tak terlihat.

Suho menggigit bibir bawahnya. Ia menoleh ke Sieun. “Kita ke bawah, ya.. Kamu mau pulang aja?”

Sieun hanya mengangguk pelan, mukanya datar dengan telinga memerah. Ia berjalan turun duluan, dengan Suho mengekor dari belakang. 

Tertunda sudah rencananya.

 

───

 

Saat kaki mereka melangkah kembali ke tempat parkiran, mereka disambut oleh langit yang kelewat gelap melebihi siang hingga sore hari tadi. Angin dingin bertiup kencang, membawa aroma tanah basah yang baru disentuh gerimis. 

“Eh, hujan lho..” ujar Sieun pelan. 

Suho hanya melirik ke atas, sebelum meraih helm untuk Sieun dan helmnya sendiri untuk dikenakan. 

Namanya juga Suho. Ia tidak akan menyerah kalau belum membuat gebrakan. Dengan kepercayaan diri yang tidak jelas asalnya, ia tetap nekat menyalakan motor.

“Gak apa-apa. Ayo pulang,” katanya sambil memakaikan helm ke kepala Sieun.

Sieun diam tanpa banyak tanya, membiarkan Suho menguatkan kaitan helmnya demi keselamatan, meski alisnya mengernyit pelan.

“Kamu bawa mantel hujan nggak?” tanya Sieun singkat.

Suho hanya cengengesan sambil mengeratkan helmnya sendiri. “Nggak bawa. Tapi hujannya juga baru rintik-rintik gini. Aman, kok.”

Sieun tampak agak ragu, tapi akhirnya ia tetap naik ke boncengan. Dengan kuat ia mencengkram sisi kanan dan kiri jaket Suho yang bau sirup.

Mereka melaju keluar dari area pasar malam. Motor membelah gerimis kecil, melintasi gang-gang kecil dan jalan utama yang sudah mulai licin. Lampu-lampu jalan memantul samar di permukaan aspal.

Tapi hanya butuh lima menit sampai semuanya berubah.

Hujan turun tiba-tiba. Bukan lagi gerimis lembut, tapi deras—deras yang mengaburkan pandangan dan menusuk kulit wajah hingga ngilu. Sebuah hujan besar yang mampu menembus lewat jaket berbahan tipis.

“Aduuuh! Gede banget ini!” seru Suho di atas motor sambil berusaha tetap fokus ke depan.

Sieun refleks memeluk Suho dari belakang. Dekapnya kencang. Kepalanya menunduk karena wajahnya sudah basah total. Air hujan menembus lewat sisi helmnya dengan kejam.

“Berteduh dulu deh, Suho!” kata Sieun sedikit berteriak karena takut yang membonceng tak mendengarnya.

Dan seperti mendengar perintah itu sebagai perintah darurat, Suho menepi cepat ke sebuah kios tutup di pinggir jalan. Rolling door-nya setengah tertutup. Untungnya, cukup ada ruang untuk mereka berteduh di bawah atap seng yang menjorok ke luar.

Mereka buru-buru turun dari motor dalam keadaan basah kuyup dan dengan segera melepas helm mereka secara bersamaan.

“Duh, maaf ya..” kata Suho cepat, mengguncang rambutnya yang dibasahi air hujan.

Sieun tak menjawab. Ia sibuk mengibaskan lengan jaketnya yang sudah lepek, lalu bersandar ke dinding kios dengan napas pendek. Hanya beberapa detik mereka berdiri diam, mendengarkan bunyi hujan yang menghantam tanah.

“Harusnya tadi beli mantel hujan ya,” ucap Suho penuh sesal.

Sieun masih diam. Jaketnya benar-benar berat karena air, tak bisa lagi menghangatkan tubuhnya.

Suho menoleh ke arahnya. Cahaya dari lampu jalan membuat garis wajah Sieun terlihat sangat tenang.

Dan entah karena itulah, detik berikutnya, Suho memutuskan untuk bicara. 

Toh, memang dia sudah putuskan untuk tetap nembak Sieun pada akhirnya, ‘kan?

Sudah terlalu lama ia menahan, sudah terlalu lama ia dan Sieun terjebak dalam sesuatu yang abu-abu. Mereka tak hanya sekali mencium, tak sekali dua kali merasakan debar di dada karena satu sama lain. Untuk apa berdiam saja ketika ada hati yang ditaruh di dalam hubungan mereka ini?

Mereka terus berdiri bersebelahan. Jaket lembap, rambut berantakan, serta bibir yang sedikit bergetar akibat dingin. 

“Sieun,” 

Meski suara Suho tertelan suara hujan, tapi Sieun masih bisa mendengarnya.

Ia menoleh.

Mata mereka bertemu.

Suho menarik napas, lalu membuangnya cepat. “Aku mau ngomong sesuatu.”

Sieun terus enggan mengangkat suara. Hanya mendengarkan saja apa yang akan dikatakan Suho selanjutnya dengan pipi yang menampakkan semburat merah.

“Aku tau aku sudah pernah bilang ini sebelumnya, toh? Kalau.. aku suka sama kamu. Waktu kita di bawah pohon mangga,”

Salah. Aduh, Suho malah ngelantur ketimbang bicara langsung ke intinya. 

“Maksudku, anu.. Kita, udah banyak ngelakuin kegiatan orang pacaran, tapi kita—”

Bodoh. Kenapa malah bahas ke sana? Pasti Suho cuma membuat Sieun tambah bingung dengan sesi yapping-nya. Yang sepatutnya jadi momen mendebarkan, Suho malah terdengar seperti orang linglung yang nggak tahu ingin membicarakan apa.

Dan benar saja, alis Sieun bergerak naik. “Iya, terus…?” tanyanya. 

Mampus.

Air liur ditenggak, Suho buru-buru menatap ke depan lagi, seolah berusaha menyusun ulang kata-katanya dalam waktu yang sangat sempit, dengan tekanan yang sangat tidak ideal. 

Dia sudah sejauh ini. Dia sudah berdiri di sini, bersebelahan dengan orang yang diam-diam ia pikirkan setiap malam. Dengan hujan, bulir air yang jatuh menetes dari dagu mereka, dan sisa sirup yang masih sedikit menempel di jaket.

Maka Suho menghela napas dalam-dalam. 

“Aku bener-bener suka kamu.” 

Kali ini dengan suara yang lebih jelas.

“Aku pengen kita jadi pacar beneran. Kamu mau gak kalau kita resmiin aja?”

Sunyi selama dua detik. Suara hujan semakin deras menjadi saksi pengakuan cinta Suho.

Dan dalam keheningan itu, Sieun masih belum membalas apapun.

Wajahnya sulit ditebak. Tatapannya tetap mengarah ke Suho, tanpa ada senyum, gelengan atau bahkan anggukan. Sieun hanya berdiri. Bola matanya bergerak seperti menyusun ulang sesuatu di dalam kepala.

Suho menunggu. Rasanya, jantungnya seperti menempel di tenggorokan.

Sieun membuka mulutnya pelan, seolah hendak mengatakan sesuatu. “Suho, aku..”

DUAR!

Petir menyambar dengan nyaring, memantul dari atap seng kios tutup tempat mereka berteduh. Suho sampai memejam karena kaget. Sieun langsung menutup mulutnya lagi, refleks menunduk sedikit.

Suho menoleh ke arah suara, lalu balik menatap Sieun. “Tadi, kamu mau ngomong?”

Sieun membuang pandangan. Wajahnya semakin memerah. Beberapa detik kemudian, ia mencoba lagi. “Aku, sebenernya..”

CTARRRR!

Petir kedua terdengar lebih sadis. “HAH? Kamu tadi bilang apa?!”

Sieun mengerjapkan mata, lalu menatap Suho dengan ekspresi frustrasi. Benar-benar frustrasi.

Tangannya terangkat. Ia mencengkram bagian leher jaket Suho—lalu menariknya ke depan. Tak ada ancang-ancang.

Dengan satu gerakan itu,

Bibir Suho sukses diraup oleh Sieun.

Suho yang sempat syok tidak langsung bereaksi, hanya membeku, merasakan bibir dingin Sieun yang menekan bibirnya.

Ciuman itu agak miring. Gigi mereka sempat saling bertabrakan. Suho hampir menahan tawa karena hidungnya nyaris mencium mata Sieun. Ia makin menempel, membiarkan rasa asing itu meresap sampai ke dada.

Pelan-pelan, Suho membalas.

Jemarinya turun pelan menyentuh pinggang Sieun, mencengkramnya untuk bertahan di tempat. Cengkraman itu menuntun, meski sebenarnya mereka berdua sama-sama bingung dan baru dalam hal ini.

Suara ciuman yang basah, ditambah gesekan kecil dengan napas yang tidak sinkron. 

Sieun mengikuti. Lebih pelan, agak kikuk dan sedikit terlalu keras di awal. Tapi setelah beberapa saat, gerakan mereka membaik. Menyesuaikan ritme yang lebih lembut, melumat—dengan embusan napas yang keluar dari Sieun.

Saat akhirnya bibir mereka berpisah, Suho tak bisa menahan senyumnya.

Sieun masih menunduk, menggigit bibir bawahnya. Remaja di dekatnya menggumam, dengan suara yang hanya bisa didengar Sieun karena jarak mereka yang sangat dekat.

“Maaf, tadi giginya—”

“Iya, kerasa,” potong Sieun. “Nggak apa.”

“Aku suka deh,” gumam Suho. Tangannya masih bertengger di pinggang Sieun, mengusapkan lingkaran-lingkaran kecil.

“Suka kena gigi?”

“Enggak lah, edan. Aku suka ciuman kamu.”

Sieun mendengus. Tapi dia juga tidak menolak saat Suho sekali lagi mengecup bibirnya singkat. Sorot mata Suho menempel lekat pada Sieun, seperti ia menunggu sesuatu. “Aku diterima apa nggak?”

Sieun memutar matanya malas, “Aku juga suka kamu.”

 

───

 

Kedua remaja yang tadi berciuman, kini berdiri dalam diam. Mereka setengah bingung mau bagaimana. Suho menggeser posisi berdirinya sedikit. Ia menengok ke arah Sieun yang kembali berdiri di sebelahnya dengan tangan menyilang di dada, menatap ke depan, ke arah hujan yang belum menunjukkan tanda-tanda akan reda.

Bahu mereka bersentuhan. Napas masih belum teratur. Mereka tak lagi tegang seperti beberapa menit lalu. Walau tetap, pipi masih memanas dan jantung masih semrawut. 

“Jadi kita beneran pacaran nih, Sieun?”

“He’eh. Jangan tanya lagi.”

"Hehehehe."

"Diem."

Notes:

DID SOMEBODY SAID TELOR KANG JUNTAE????? Anw, aku sudah minta izin uri Maomao Belati @koreanjohnwick untuk meng-include karakter Juntae dari universe-nya sebagai cameo kecil-kecilan di universe milikku ini. I got the permission. Thank you!

A bit TMI.. seharusnya chapter ini aku post kemarin sekalian sama hari jadiku dengan sang kekasih (AYO BERI SELAMAT) (gadeng, bercanda) (tapi kalau mau selamatin, kami bakal seneng) sayangnya, karena aku mendadak ngedrop habis banyak kegiatan dan makan sembarangan, akhirnya update-an jadi postpone sehari :DD

Terus, umm. Aku pengen cerita sedikit nih soal series Warung Bunda. Kalau mau baca, silakan. Enggak juga gak apa-apa, kalian boleh langsung click off.

Mungkin bagi sebagian orang, series ini tuh sangat kekanakan, poorly-written, grasak-grusuk, kelewat cringy atau bahkan mudah ditebak alurnya. Percayalah, INTENSIKU MEMANG ITU. Sedikit informasi saja bahwasannya cerita ini hadir berkat impulsivitas, dan aku.. seneng bgt mengembangkannya. Meskipun aku sendiri juga sadar, seiring waktu, kualitas dan produktivitasku dalam menulis (khususnya dalam Bahasa Indonesia) kunjung menurun, tapi aku gak bisa terus-terusan menggantung hubungan anak-anakku yang abu-abu. The guilt is real, guys. Trust me.

BUT IN THE END, akhirnya mereka jadian juga! Fucking finally.

Tentu saja "Tanpa Sengaja, Berkali-kali" ini bukan akhir dari series Warung Bunda. Kedepannya, aku akan up cerita mereka dalam bentuk oneshots setelah resmi jadian. Dan temanya tetap akan terus kekanakan, cringy, serta mudah ditebak. Also for those who are wondering, "kok bisa Minhyun baru dimunculin?" Minhyun memang sengaja aku taruh di chapter akhir karena kemungkinan besar, dia bakalan memunculkan diri lebih banyak di oneshots yang akan datang.

Kapan akan aku post oneshot-oneshot tersebut? Entahlah! Semoga segera ya.

Terakhir, aku mau ucapin terima kasih buat teman-teman yang sudah baca dan kuat menahan cringe-nya demi si Billabong dan penjaga warung yang hobinya pukis ini. Makasih jugaaaa buat Micel @pjhIovebot dan Pudding @SHSENATION yang pernah bantu memberi ide dan selalu helpful. Last but not least, terima kasih buat pacarku yang sudah selalu jadi inspirasi dari lahirnya setiap AU-AUku di internet. Pokok'e makasih, makasih, kamsahamnida, gracias, tengkyu. Kawan-kawan, nanti kite jumpe lagi, ye! <3

Yang sedang ongkang kaki,

Risha Risi.

Series this work belongs to: