Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Collections:
Wishful Thoughts Fest
Stats:
Published:
2025-10-26
Completed:
2025-10-29
Words:
3,739
Chapters:
3/3
Comments:
4
Kudos:
41
Bookmarks:
3
Hits:
426

Why Would I Let You In? (With You There's No Pretending)

Summary:

Lima tahun dalam ritme yang pasti; Sion bekerja, bekerja, dan bekerja saja tanpa pernah memikirkan urusan hati. Tembok yang ia dirikan itu kokoh dan tinggi, gerbangnya rapat terkunci.

Sion sudah mendekati kepala tiga, Daeyoung baru masuk dunia kerja; ada banyak batasan yang harus dijaga, apa jadinya jika salah satu dari mereka jatuh suka?

Notes:

Title taken from Juna by Clairo.

Chapter Text

Set in a fictional energy consulting firm where Sion is the Project Manager and Daeyoung is a fresh-graduate intern.

.


Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk bertahan dalam naungan sebuah korporasi.

Sejak usianya masih dua puluh dua dan baru saja menggenggam gelar sarjana, Oh Sion banyak bertumbuh melalui berbagai versi dirinya dari tahun ke tahun. Sekarang ia punya titel sebagai Project Manager di sebuah firma konsultasi ternama, sudah bersahabat dengan semerbak aroma kopi yang diseduh di pantry setiap pagi, pun nama-nama para paman dan bibi cleaning service yang menyapa setiap hari. Kantor yang berlokasi di lantai 21 salah menara pencakar langit itu rasanya sudah seperti rumah kedua Sion di ibukota.

Sion rasa dirinya masih belum cukup untuk masuk dalam kategori ambisius, tapi dia cukup mencintai pekerjaannya, seperti seseorang yang selalu kembali ke tempat yang sama karena tahu ia dibutuhkan di sana. Ada banyak hal dari rutinitas itu yang membuatnya tetap bertahan; mulai dari stabilitas finansial yang ia terima sampai rasa puas setiap kali presentasinya mendapat apresiasi dari klien, pun dari helaan napas lega anggota timnya setelah laporan diselesaikan tepat waktu. Lima tahun bukan waktu sebentar, tapi juga tidak terasa monumental. Hanya berjalan begitu saja bagi Sion dan para rekan yang mengisi hari-harinya.

Ada Wonbin, si Carbon Analyst muda yang kerap membuat orang-orang lupa betapa tajam otaknya di balik wajah mungil dan mata bundar yang selalu tampak bersinar seperti porselen hidup. Ia tak banyak bicara, namun satu kalimatnya saja bisa meruntuhkan argumen siapa pun, seakurat ia mengolah data dan menata angka-angka emisi dalam laporan. Ketika Wonbin berbicara, biasanya itu berarti ia sudah memikirkan tiga langkah ke depan. Lalu ada Ningning si Policy Analyst yang selalu tampil seolah jalanan dari stasiun menuju kantor adalah runway fashion week. Bahkan saat sedang dikejar deadline di kuartal tersibuk sekalipun dimana tim mereka baru bisa tidur pukul 2 pagi sebelum berangkat ke kantor lagi 5 jam kemudian, Ningning tidak sedikitpun kehilangan aura yang membuatnya lebih mirip model sedang off duty ketimbang seseorang yang berkutat mengkaji regulasi setiap hari.

Sion pernah berpikir bahwa kedua orang itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya tetap stabil di tengah dinamisnya hiruk pikuk korporasi. Sion tidak butuh perubahan besar, pun orang baru yang masuk tiba-tiba dan mengguncang hidupnya.

Namun perubahan punya caranya sendiri untuk menyelinap masuk. Dalam hidup Sion, ia muncul dalam wujud seorang lelaki tinggi dengan senyum cerah dan nama baru di daftar kehadiran: Kim Daeyoung.

 


 

Sion tahu tim kecilnya akan berubah—bertumbuh, menyusut, berganti wajah. Orang datang dan pergi; ia sudah terlalu paham ritme itu. Karena itu, saat Kim Daeyoung muncul pada suatu Senin pagi yang terasa biasa saja, Sion tidak mengharapkan apa pun.

Pukul delapan lewat sedikit, dan Daeyoung sudah duduk di meja yang disiapkan untuknya. Sion masih ingat kemeja linen berwarna hijau muda dan rambut yang disisir rapi. Ada aroma segar seperti campuran buah yang melintas setiap kali ia lewat.

Seperti kebanyakan anak baru, Daeyoung awalnya terlihat canggung. Tapi kecanggungan itu menguap terlalu cepat. Dalam hitungan hari, ia sudah menyatu dengan ritme kerja mereka. Sion melihatnya ikut lembur di meeting room sambil menyiapkan slide untuk pitch yang baru disepakati jam sembilan malam; mendampingi Wonbin melakukan finalisasi laporan di menit-menit terakhir sebelum deadline; lalu tetap datang paling awal keesokan paginya.

Suatu hari, Daeyoung datang dengan sebuah paper bag besar dan senyum jenaka. Terlalu cerah.

“Ini, Kak Sion. Biar nggak ngantuk,” katanya sambil meletakkan satu gelas es kopi di meja Sion. Bahkan si empunya pun baru saja membuka aplikasi di ponsel untuk menentukan franchise kopi mana yang beruntung hari ini mendapat tambahan sales dari pesanan tim Sion.

Sion suka kopi. Suka sekali. Dan ini bukan pertama kalinya ia menerima kopi dari rekan kerja tanpa diminta. Namun tetap saja ia menerima gelas berembun itu dengan sedikit ragu untuk formalitas. “Eh, Daeyoung nggak usah repot-repot—”

“Gak apa-apa kok, Kak,” potong Daeyoung lembut. “Americano with peach syrup. Kesukaan Kakak, kan?”

Ia menambahkan sedotan kertas dan selembar tisu, sebelum melenggang ke meja Ningning untuk melakukan hal serupa.

Sion ingin menyederhanakan gestur tersebut. Mungkin Kim Daeyoung hanyalah satu dari sekian pekerja muda yang sedang cari muka. Sion sering sekali menemui karakter seperti itu, dan Sion tidak menyalahkan mereka. Bertahan hidup di dunia kerja tidak mudah.

Namun alangkah lebih baiknya jika Sion tidak menyadari sorot mata Daeyoung.

Sion tahu bahwa di manik bundar yang menjadi dua pasang bulan sabit ketika Daeyoung tersenyum itu tidak ada sedikitpun ambisi seseorang yang sedang mengincar nilai tambah di penilaian kinerja, tidak ada kalkulasi untung rugi dari kebaikan kecilnya.

Daeyoung baik hati, dan peduli. Terlalu wangi, dan tampan. Sion menancapkan sedotan sekaligus menepis pemikiran bahwa ia sedikit berharap kopi yang dibelikan Daeyoung untuk Wonbin dan Ningning bukanlah favorit mereka.

 


 

“Si Daeyoung semangat banget, ya. Kinda remind you of someone, huh?” celetuk Wonbin suatu pagi. Jemari lentiknya menunjuk ke Daeyoung yang sedang di ruang rapat. Di balik pintu kaca transparan, Sion dan Wonbin bisa melihat Daeyoung sedang menyalin rumus-rumus dari papan tulis penuh diagram dan garis panah. Kedua alisnya bertaut, sesekali kedua matanya mengerjap seperti berusaha memahami logika-logika rumit yang menari di depan matanya. Sion hanya tersenyum kecil sambil mengangkat bahu. “Mungkin.”

Wonbin tidak salah. Daeyoung mengingatkan Sion pada dirinya sendiri lima tahun lalu: punya rasa ingin tahu yang besar, yakin bahwa kerja keras akan selalu dihargai, bahwa dunia kerja adalah ajang untuk pembuktian diri. Sekarang, Sion sudah tahu bahwa kenyataannya tidak sesederhana itu.

Sion sendiri tidak tahu kapan ia dan Daeyoung mulai terlibat lebih banyak. Awalnya hanya sekadar membimbing, membantu menyusun laporan, menjelaskan hal-hal teknis. Tapi lambat laun, percakapan mereka mulai bergeser dari pekerjaan ke hal-hal kecil: kenapa lampu kantor terlalu terang, atau siapa yang sebenarnya selalu mencuri susu di kulkas pantry.
Hari-hari berlalu, dan perhatian kecil itu makin sering muncul. Kadang dia mengganti spidol putih yang sudah kering tanpa diminta. Kadang dia bahkan diam-diam merapikan tumpukan dokumen di meja Sion. Hal kecil yang biasanya membuat Sion jengkel kalau dilakukan orang lain, tapi entah kenapa tidak saat dilakukan Daeyoung.

Ningning sempat menggoda Sion, “Kamu punya asisten pribadi sekarang?”

Sion pura-pura sibuk mengetik. “He’s probably just sucking up to me. Semua anak magang biasanya begitu.”

Ningning cuma menggeleng, tapi Sion tidak melihatnya.

 


 

Bulan kedua di kuartal empat dan Sion terbaring di kasur dengan selimut tebal menyelimuti seluruh tubuhnya. Kepala Sion terasa pusing, tenggorokannya perih. Tiga minggu berturut-turut perjalanan dinas, ditambah rapat maraton hingga larut malam, akhirnya menuntut balas.

Wonbin dan Ningning sudah berangkat untuk site visit klien di luar negeri. Kantor mereka sepi, dan Sion kini harus mengalah pada rasa sakit yang menggerogotinya. Ia menatap langit-langit apartemen yang ia tinggali seorang diri. Apartemen itu disewanya sejak tahun ketiga bekerja, ketika penghasilannya sudah sedikit lebih cukup untuk tempat yang nyaman.

Di tengah renungannya, bel apartemen Sion berbunyi. Sion tidak ingat apakah ia memesan sesuatu. Biasanya ia meminta untuk dititipkan ke resepsionis di lobi saja. Keluarganya di luar kota dan yang tahu ia sakit cuma Wonbin, Ningning, serta Yoo Jimin dari Human Resource. Dan Kim Daeyoung. Tentu saja.

Sion memaksa tubuhnya untuk bangkit, ia singkirkan selimut dan berjalan menuju pintu dan.. Astaga.

Kim Daeyoung berdiri di luar apartemennya. Seperti anak anjing yang meminta dibukakan pintu.

“Hai Kak Sion,” sapanya ketika Sion membuka pintu. “Dengar-dengar Kak Sion sakit.”

Sion mengerjap. “Oke. Pertama, kamu tahu alamatku dari mana? Kedua. Kamu mau apa?”

Entah karena tubuh Sion yang lemah, atau karena Daeyoung memang jauh lebih tinggi dan besar, Sion tidak bergeming ketika Daeyoung melangkah masuk apartemen.

“Kakak tinggal sendiri, kan? Aku khawatir, lho. Sudah ke dokter? Sudah makan?”

Sion menarik napas panjang. “Udah ya, Kim Daeyoung. Kamu gak perlu repot-repot tau–” Sion berhenti sebentar karena batuk. “They don’t pay you enough to babysit your sick manager.”

Daeyoung hanya membalasnya dengan kekehan ringan sambil mengeluarkan dua wadah Tupperware berwarna hijau dari tas jinjing. Saat salah satu tutup wadah itu dibuka, Sion dapat merasakan aroma kaldu yang kaya akan rempah mengudara dan membangkitkan selera makannya seketika.

“Aku coba masak sup iga yang biasa dibuat sama Ibu. Ini comfort food andalan keluargaku, by the way. Resepnya turun-temurun dari zaman nenek buyut. Jujur aja sih kak, aku gak yakin punyaku seenak buatan Ibu… tapi aku usahakan masakanku masih edible buat Kak Sion! Yang penting kamu makan supaya bisa minum obat, oke?”

Mulut Daeyoung mencerocos tanpa henti sementara kedua tangannya dengan cekatan memanaskan sup dan nasi di dalam microwave, mengambil mangkuk dari rak di atas wastafel, dan menatanya semuanya di atas meja.

Momen itu, Sion tahu, ia dalam bahaya.

Chapter Text

Apartemen Sion tidak besar, namun cukup untuk segala hal yang ia butuhkan. Hanya dapur yang menyatu dengan ruang tengah, sebuah kamar mandi, dan satu kamar tidur. Ruang hidup yang sederhana untuk ditempati Sion seorang diri. Terkadang Ningning dan Wonbin mampir sehabis kerja untuk makan malam dan menonton film rom-com murahan yang selalu mereka protes tapi tonton sampai akhir untuk melepas penat pikiran. Dalam momen-momen seperti itu, Sion selalu merasa ruang kecilnya menjadi hangat dan penuh.

Hari ini presensi Daeyoung membuat apartemen itu terasa mengecil. Seakan-akan dindingnya merapat atas presensi seseorang yang membawa terlalu banyak cahaya dan rasanya seperti ada sesuatu asing yang memenuhi udara. 

Sesuatu yang sudah tidak pernah lagi Sion izinkan masuk terlalu dekat.

“Tadi pagi aku tanya alamat Kak Sion ke Kak Ning,” ujar Daeyoung sambil menata mangkuk hangat di depan Sion yang duduk di bangku makan. Tatapan Sion bergerak ragu antara semangkuk sup yang mengepul dan pemuda tinggi yang enam tahun lebih muda darinya itu.

“Ningning atau Wonbin yang nyuruh kamu ke sini?” Sion bertanya pelan. Ada sesuatu yang berperang di dadanya: harapan agar jawaban itu bukan karena perintah Wonbin atau Ningning, dan ketakutan karena sebaliknya, jauh lebih berbahaya jika Daeyoung datang kemari karena pilihan hatinya sendiri.

Daeyoung terkekeh pelan. “Aku bilang mau jenguk Kak Sion. Soalnya setahu aku, kakak tinggal sendirian.” Ia menghela napas tipis, ekspresinya lembut. “Kak Ning dan Kak Wonbin ‘kan lagi keluar kota, jadi… mungkin aku bisa gantikan mereka buat merawat Kak Sion.”

Kata-kata itu meluncur ringan dari mulut Daeyoung, tapi terasa berat ketika mendarat di dada Sion. Rasanya seolah sangat mudah bagi Daeyoung untuk mengatakannya, pun teramat sulit bagi Sion untuk menerimanya.

“Dicoba dulu, Kak,” ujar Daeyoung lembut, seperti sedang membujuk seorang anak kecil yang keras kepala. Kini ia sudah duduk di bangku makan seberang Sion.

Sion menatap mangkuk sup di hadapannya cukup lama untuk membuat uapnya memudar sampai akhirnya ia menyerah dan mengangkat sendok perlahan. Sup itu berisi potongan iga yang sudah lunak hingga hampir terlepas dari tulangnya, irisan kentang, wortel, daun bawang—hangat dan sederhana. Begitu masuk ke dalam mulut, rasa gurih kaldu itu menyentuh tenggorokan yang masih getir oleh sakit. Bagi Sion rasanya seperti ada kenyamanan yang menjalar pelan, menurunkan beban yang selama ini ia pikul tanpa banyak suara.

Seperti pulang ke sebuah rumah yang belum pernah ia tinggali sebelumnya.

“…Enak,” gumam Sion, parau. Sion tidak bohong. Ia tahu Daeyoung memang suka memasak karena saat makan siang di kantor, laki-laki itu lebih sering memilih untuk makan bekalnya di pantry ketimbang ikut makan siang di luar.

Senyuman Daeyoung merekah mendengar pujian Sion, seperti anak anjing yang mendapat validasi tuannya ia tidak mampu menyembunyikan rasa bangga sedikit pun. “Aku tahu Kak Sion bakal bilang begitu.” Daeyoung menyandarkan siku di tepi meja, tubuhnya condong sedikit ke arah Sion. “Kakak tuh overworked, tapi tetap lembur dan hampir nggak pernah minta tolong buat back up sama kita. Akhirnya tumbang juga, kan?”

Sion ingin protes. Ingin bilang bahwa Daeyoung terlalu percaya diri menganalisanya. 

Bahwa ia seharusnya tidak bisa membaca Sion secepat ini, seberani ini.

“Daeyoung…”

Sion hanya bisa menelan ludah setelah memanggil Daeyoung dengan lirih.

“Hm?” Daeyoung menatap dalam Sion dengan matanya yang besar dan jernih, siap mendengar apa pun yang ingin Sion katakan.

Sion menggeleng pelan, sebelum kembali menyendok sup. “Terima kasih, ya.”

Daeyoung tersenyum lagi; tarikan kedua bibirnya itu membuat ribuan hal yang Sion coba kubur mulai bangkit satu-persatu.

Selama ini, hidup Sion selalu tentang menanggung. Menanggung tanggung jawab, menanggung ekspektasi, menanggung semua orang di sekitarnya. Tidak ada ruang untuk lemah untuk laki-laki dewasa bertitel PM. Tidak ada ruang untuk dimanja bagi si sulung.

Sion pikir, untuk merasa aman, ia butuh sosok yang lebih tua.

Yang bisa mengalahkan egonya untuk terus mendominasi, lalu menuntunnya sehingga kepala Sion bisa istirahat sejenak. Perasaan aman itu sering Sion cari dari seseorang yang punya pengalaman hidup dan posisi lebih tinggi, dari yang lebih tua. 

Nyatanya ketika Daeyoung datang tanpa kontrol atau dominasi, untuk pertama kalinya, Sion merasa aman.

Daeyoung, yang lebih muda enam tahun, baru dua puluh dua, dan seharusnya Sion-lah yang harus mengatur, mengarahkan, menjaga jarak. Daeyoung, yang memasak untuknya dan menyelimutinya sambil menyenandungkan melodi merdu hingga lelap menjemput.

 


 

Sion tahu dirinya tertarik.

Terlalu tertarik, mungkin. Pada Kim Daeyoung yang tinggi, seperti pohon yang kokoh namun bergerak dengan lembut, yang kebaikannya seakan tidak meminta imbalan apa pun. Seperti ia menepis asap dari puntung rokok di tengah udara malam, Sion mencoba menepis segala pemikirannya mengenai Daeyoung.

Daeyoung masih muda dan memiliki seluruh dunia di depan matanya; Sion tidak bisa membiarkan dirinya mengikatkan hati pada seseorang yang mungkin hanya akan mampir sebentar. Kendati setiap kali Daeyoung menggeser kursi di ruang rapat untuk mendekat tanpa diminta, Sion merasa seperti ingin bersandar.

Sion nyaris gila kalau ia terus-terusan memendam, maka malam itu Sion memutuskan untuk berbagi kisah dan isi hatinya ke Wonbin.

“Itu namanya suka,” tandas Wonbin sebelum menyesap batang nikotin di antara jemarinya. Wajah Wonbin datar, tapi mata bundarnya menatap Sion tajam. “Dia tuh suka sama kamu, kurang jelas apa lagi coba? And now you have fallen as well.”

Sion menghela napas, mencoba menutupi rasa malu yang menyeruak. “I can’t do this—”

“Bisa,” potong Wonbin. “You can. You just have to let yourself.”

Sion menatap kerlap-kerlip kota dari rooftop, mencoba memusatkan fokusnya pada jalanan di bawah sana dengan arus kendaraan yang nyaris tidak pernah mati. Tapi pikirannya tetap melayang ke Daeyoung, ke mata yang selalu menatapnya seperti ada rahasia yang hanya ia yang tahu. Ia menelan ludah, sadar bahwa setiap interaksi sederhana—satu tatapan, satu senyum, satu gestur kecil yang penuh perhatian—telah merusak tembok yang sudah ia bangun selama ini.

Wonbin menepuk bahu Sion seraya berkata, “Hei, you deserve to be held gently too, you know? Jusr rake it slowly.

Sion menarik napas panjang, menatap asap rokok yang membumbung di udara perlahan.

Chapter Text

Waktu clock out sudah lewat lima jam dari seharusnya.

Kantor mulai sunyi, hanya suara pendingin ruangan dan bunyi klik dari mouse Daeyoung yang masih mengerjakan revisi analisis emisi. Wonbin sudah lebih dulu pulang karena besok pagi harus ke bandara dan Ningning sudah dijemput oleh pacarnya. Tinggallah Sion dan Daeyoung berdua di lantai 21; sama-sama melanjutkan pekerjaan meskipun sama-sama dihantam oleh gelombang perasaan.

Ketika akhirnya Sion menutup laptop, ia menyadari Daeyoung tengah berjalan ke arahnya.

“Kak Sion mau turun bareng?” tanya Daeyoung, sambil memakai jaket dengan gerakan yang terlalu kasual untuk seorang junior yang dulu sedikit kikuk di hadapan Sion.

Sion mengangguk pelan. “Kamu naik kereta juga?”

“Iya. Kita cuma beda 2 stasiun.”

Mereka berjalan melalui lorong panjang gedung perkantoran yang dingin dan lift yang membawa mereka turun ke lantai dasar terasa seperti kotak kecil berisi udara rapuh yang siap dipecahkan kapan saja. Sion menatap angka digital turun semakin kecil, dan pada refleksi pintu logam di depannya, Sion melihat sosok mereka berdiri tak terlalu jauh satu sama lain.

Jarak itu membuat Sion sedikit takut Daeyoung dapat mendengar isi hatinya.


Lampu-lampu kota memantul di kaca jendela gerbong, membentuk garis-garis kuning yang bergoyang pelan seiring roda kereta melaju di rel. Malam hampir menyentuh pukul sebelas; hanya ada beberapa penumpang yang setia bertahan di perjalanan terakhir, dan kebanyakan sudah berkawan kantuk sehingga hanya bisa menunduk.

Sion membiarkan kepalanya bersandar ke dinding kereta, memejamkan mata sebentar. Bunyi roda kereta di rel menyerupai detak jantung yang terlalu keras. Di hadapannya, Daeyoung berdiri sambil memegang tiang besi untuk menjaga keseimbangan. Meski ada kursi kosong tepat di sebelah Sionm ia sengaja memilih berdiri. Katanya barusan, “Aku sudah kelamaan duduk di kantor tadi.”

Mungkin Daeyoung tidak bohong. Tapi Sion bukan lelaki yang naif, dia tahu Daeyoung ingin tetap memandangnya.

Gerbong bergetar pelan. Sion mendongak, memperhatikan bagaimana cahaya remang kereta jatuh di garis rahang Daeyoung, bagaimana tatapan laki-laki itu menyapu dirinya seolah mencari kepastian bahwa ia baik-baik saja.

“Kakak masih pusing?” suara Daeyoung muncul pelan, hati-hati, seolah jika nadanya terlalu keras akan membuat Sion runtuh.

“Sedikit,” jawab Sion. “Biasalah. Q4.”

“Harusnya Kak Sion pulang duluan. Jangan maksa kerja sampai jam segini terus.”

Daeyoung benar-benar persis anak anjing kecil yang sedang menjaga tuannya, raut wajahnya khawatir dan penuh siaga. Sion menurunkan pandangannya kembali pada lantai gerbong, tidak sanggup menatap dua mata sendu Daeyoung terlalu lama.

I’m good.” Ia bergumam. “Tadi ada urusan urgent yang harus aku selesaikan. Kalau bukan aku, siapa lagi coba?”

“Kakak ;kan punya tim,” jawab Daeyoung cepat. “Kak Sion punya kita. You’re not alone in this.”

Seperti ada bara api yang memercik di dalam dada Sion dan rasanya tidak nyaman. Hangat, namun asing. Tidak juga menyakitkan. Yang pasti Sion tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya. Ia punya Wonbin dan Ningning yang sudah menyatu dengan hari-harinya, yang sudah menyaksikan berbagai bab kegagalan dan keberhasilan Sion dari tahun ke tahun; bersama mereka, dunia terasa aman karena semuanya sudah tertebak. Ada ritme yang familiar di antara mereka bertiga untuk saling mengerti tanpa banyak kata.

Rasanya berbeda saat Daeyoung yang mengatakan bahwa Sion tidak sendirian.

Daeyoung datang terlambat ke hidupnya. Terlambat, namun barangkali di saat yang tepat. Jika Wonbin dan Ningning adalah kepastian, maka Daeyoung adalah kemungkinan; kemungkinan yang membuat jantungnya bekerja lebih keras, membuat pikirannya berdebat sendiri, membuatnya ingin mengulur waktu hanya agar bisa bersama sedikit lebih lama.

Barangkali itulah sebabnya kata-kata Daeyoung bisa menyentuh bagian dirinya yang paling ia coba sembunyikan.

Nama itu memecah keheningan yang sempat tercipta di antara mereka. “Kak…”

“Hm?”

“Apa yang bikin Kak Sion kerja di bidang ini?”

Pertanyaan itu meluncur seperti hal kecil yang sederhana, padahal tidak. Sama sekali tidak. Sion mendongak dan mengerjapkan mata, menimbang kata-kata mana yang paling tidak menyayat dirinya sendiri.

“Aku tumbuh dekat sama alam,” ia berujar, memberanikan diri untuk menatap manik mata Daeyoung lebih lama.  “Karena itu ayahku bilang kita punya kewajiban buat memberi balik ke bumi.”

Suara Sion terdengar pelan, nyaris seperti ia hanya mengulang sesuatu yang dulu pernah ia percaya.

“Dulu aku pikir sederhana. Menjadi orang yang membantu dunia bernapas lebih baik. Tapi semakin aku dewasa… semakin aku sadar dunia nggak bekerja sesuci itu. Ada politik, ada budget, ada interest yang nggak selalu sejalan sama kepentingan bersama. Terus aku jadi sadar kalau perubahan itu… kadang rasanya nyaris mustahil. Dan mungkin aku cuma bisa bikin kontribusi kecil, sekecil memastikan satu pabrik nurunin konsumsi listriknya aja. Tapi ya itu yang bisa aku lakukan. For now.”

Daeyoung mengangguk pelan menyetujui, bahkan di usianya yang belum di titik yang sama dengan Sion pun Daeyoung sudah paham maksud lelaki yang enam tahun lebih tua itu. Sion mengembuskan napas keras-keras, seperti ingin membuang semua keresahannya lewat udara. Detik berikutnya Sion baru sadar bahwa ia sudah membuka terlalu banyak, di saat sepasang mata dan tubuh kokoh sedang mengamati setiap retakannya.

“Tau nggak, Kak?” kata Daeyoung akhirnya. “Aku makin kagum sama Kak Sion.”

Sion menelan ludah. “Explain ‘kagum’?” tanyanya pelan, memantulkan kembali rasa ingin tahu yang menyesakkan dada selama ini. “Karena itu kah kamu selama ini selalu bergerak… like you’re taking care of me without being asked, and going extra miles to get my attention?

Daeyoung mengangguk.

“Aku pikir awalnya aku sekadar kagum saja sama Kak Sion. I see the way you work and handle things,  Kak Sion selalu yakin dengan pilihan dan prinsip sendiri. Kakak tegas, tapi nggak pernah menginjak orang.” Ia menggaruk tengkuknya, sedikit malu-malu. “I want to be that kind of person.”

Kemudian Sion melihat jakun Daeyoung naik dan turun, sebelum si anak intern yang sudah mengguncang hari-hari Sion itu tertawa gugup berusaha menutupi kecanggungan dari pengakuan tanpa terencana ini.

“Tapi makin lama aku sadar… aku nggak cuma ingin jadi seperti Kak Sion.” Pandangan Daeyoung rasanya seperti mengunci segala kemungkinan bagi Sion untuk mengelak. “I want to be there for you, Kak. Aku mau jadi bagian dari hari-hari Kak Sion. I want to wake up every morning knowing that I’m gonna get to see you… entah cuma pas di pantry, atau bahkan meeting seharian, atau dengar Kak Sion ngomel soal deadline dan klien yang banyak mau saja sudah cukup buat aku”

Sion ingin bicara, tapi suaranya menolak keluar. Kereta melambat mendekati stasiun terdekat; mereka sebentar lagi akan tiba di stasiun tempat Daeyoung turun dan rasanya Sion ingin menghentikan waktu.

“Aku harap Kak Sion bisa mengerti kenapa aku selalu bergerak ke arah kamu.” Daeyoung menahan napas. “Jangan dorong aku menjauh, ya?”

Kereta berhenti dan pintu otomatis terbuka. Angin malam menyelinap masuk, sementara penumpang lain bergerak keluar ketika Sion dan Daeyoung ingin tetap bertahan di tempat. Namun kereta pulang tak mau menunggu perasaan, biarlah ia mengakar dulu di sepanjang sisa perjalanan.

“Aku turun di sini, Kak Sion. Hati-hati sampai rumah, ya. See you tomorrow.”

Daeyoung melangkah keluar dari gerbong dan menghilang di balik barisan pilar yang berjejer di peron. 

Setelah pintu tertutup, kereta kembali berguncang ringan dan melaju, semakin menjauh dari stasiun tempat Daeyoung turun meninggalkan Sion. Lelaki yang lahir di bawah gugus bintang Taurus itu sudah terlalu sering menatap punggung orang-orang berjalan menjauh dari belakang; sudah terlalu sering berdiam di sisa-sisa hubungan yang bahkan belum sempat ia genggam.

Dalam lima tahunnya, Sion melihat bagaimana para intern berganti setiap beberapa semester, rekan kerja pindah divisi, pun atasannya sendiri pergi ke tempat lain untuk kehidupan yang lebih stabil. Karier bergerak, kesempatan berubah arah, dan ambisi menuntun orang-orang untuk selalu dinamis. Dan Sion sudah terbiasa untuk tidak terlalu cepat terikat.

Karena kalau Sion tidak menaruh hati, ia tidak akan kehilangan apa pun. Bukan begitu seharusnya?

Perhatiannya terpaut pada ruang kosong di, tempat Daeyoung tadi berdiri sambil tertawa kecil, memegangi pegangan kereta yang miring. Kehangatan dari percakapan dengan Daeyoung tadi masih menggantung tipis di udara, sekalipun aroma tubuh Daeyoung sudah menghilang perlahan ditelan waktu.

Sion mengembuskan napas pelan. Daeyoung akan kembali besok.

Daeyoung akan datang lagi besok dengan sejuta celotehannya dan senyum cerahnya yang terlalu jujur dan admirasi yang mengikis tembok Sion perlahan.

Sebab dengan semua yang pernah datang dan pergi selama ini, Sion selalu menghitung mundur ke arah hilangnya. Tapi dengan Daeyoung, entah mengapa, untuk pertama kalinya, Sion ingin menghitung maju. Untuk pertama kalinya, Sion rasa ia bisa membuka pintu dan menunggu sesuatu datang, bukan berakhir. Ia tidak tahu apakah anak itu akan bertahan, apakah masa depan akan sehangat malam ini atau apakah suatu hari nanti ia akan kembali menjadi satu-satunya yang menetap dengan pacunya sendiri.

Namun mungkin tidak apa-apa kalau kali ini Sion berpikir, bahwa saat pintu itu terbuka lagi di stasiun yang sama, Daeyoung masih akan berdiri di sana dan melangkah bersamanya.

 

end.