Actions

Work Header

happy ending does exist

Summary:

Siapa yang menyangka ‘akhir bahagia’ yang didambakan Gun dikabulkan sedikit terlalu harfiah oleh Semesta. Mereka berbahagia, kemudian tamat. Yang tersisa di halaman kosong pada penghujung buku adalah dirinya yang mengambang di antara garis hidup dan mati, serta Off yang tersesat dan kebingungan.

Notes:

rencananya aku bakal update ini setiap hari sampai tanggal 11 untuk 10th anniversary, because what's better than some angst for anniversary?

Chapter 1

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Sudah lewat masanya Gun marah melihat kedatangan Off, sama seperti kesedihan yang perlahan-lahan pudar dari mata Off manakala dia membuka pintu. 

Bagi Gun, rongga tempat kemarahan itu sempat berkobar kini tak lebih dari relung perapian kopong yang pekat oleh jelaga. Sudah tidak ada bara yang berkeredep, hanya saja Gun masih bisa merasakan angin berembus samar di dalamnya, terutama saat Off masuk ke kamar. Terkadang angin itu menggulung abu yang tersisa, seolah-olah punya kekuatan untuk turut memercikkan bara api dari puntung-puntung arang, tapi pada akhirnya tidak ada yang terjadi.

Sedangkan mangkuk kesedihan Off yang isinya makin menyurut itu ... Gun tidak tahu telah menjadi apa.

Seperti hari-hari sebelumnya, Off muncul di saat jam dinding menunjukkan angka satu. Matahari sedang terik-teriknya di luar sana, tidak heran kulit Off yang putih pucat itu semerah kepiting rebus. Kendati demikian, lelaki itu tidak meraih remote AC dan menurunkan suhu ruangan yang cukup hangat. Dia hanya meletakkan tas di meja samping tempat tidur, kemudian mengempaskan pantat di satu-satunya kursi di sana. 

Lalu membisu selama memandangi Gun.

Kalau sudah begini, Gun mau tidak mau teringat masa-masa ketika penerimaan kenyataan berada di urutan paling buntut dari daftar yang rela dia lakukan demi mengembalikan situasi mereka menjadi seperti semula. Dia berteriak kepada langit, lalu memohon, sampai hanya bisa meratap. Dia mengamuk, dia menangis, dia mencoba berdialog. Pada akhirnya, suaranya tetap tidak pernah menembus partikel udara, sebagaimana air matanya tidak pernah berhasil menyelinap dari katupan kelopak mata.

Itulah awal mula api berkobar dalam dada Gun, dan dia pernah mencoba membakar Off di dalamnya. Rasanya sudah lama sekali.

“Sayang,” panggil Off, menyebabkan Gun mendongak. Mata Off yang dulu penuh binar kehidupan dan kecerdasan kini hanya tampak seperti dua bongkah batu tanpa nama yang melesak di puncak kantung matanya. Tetapi kedua ujung bibirnya terangkat menjadi sesuatu yang menyerupai senyum. “Kau tidak akan percaya siapa yang kutemui tadi malam. Bisakah kau menebak siapa mereka?”

Gun bersedekap sembari memiringkan kepala, berusaha menggali kembali siapa saja teman-teman Off yang juga dikenalnya. ‘Aku tidak tahu,’ jawab Gun sejujurnya. ‘Siapa mereka?’

“Ayolah, beri aku jawaban. Salah juga tidak apa-apa.” Off meraih sebelah tangan Gun yang tergeletak di atas ranjang, menggenggamnya erat-erat. “Aku tidak akan menertawakanmu kalau kau salah tebak. Ah, kau mau kuberi petunjuk? Satu saja, tapinya.”

Di masa ketika segalanya masih begitu sulit dicerna, Gun pernah membentak Off yang berusaha keras mengajaknya bicara. Dia menyerapah setiap kali Off memberikan pertanyaan dan menyumpah kala Off memutuskan menjawab pertanyaan itu sendiri. Dia berusaha menonjok Off, menjatuhkannya, membakarnya dalam api kemarahan. Tetapi, Off tetap bergeming dalam mangkuk kesedihannya yang meluap-luap. 

Sekarang perapian yang hampa bertemu dengan mangkuk yang kosong. Hanya dua benda mati yang saling berhadapan.

‘Aku menyerah,’ kata Gun. ‘Siapa orang-orang yang kautemui?’

Off memainkan jari-jemari Gun sedikit lebih lama, sebelum merunduk dan mengecup punggung tangannya. “Apakah ini juga belum membuatmu ingin menjawab?” tanya Off, sekali lagi meniru ekspresi orang tersenyum. “Kalau di dunia dongeng, Putri Tidur akan bangun jika pangerannya memberikan ciuman tulus, bukan begitu?”

‘Tapi kita hidup di dunia nyata, dan itu jauh lebih mengerikan daripada cerita paling horor sekalipun.’ Gun tersenyum. ‘Yah, setidaknya kau hidup di dunia nyata dan aku tidur.’

“Apakah cintaku kurang tulus untukmu, Sayang?” Tangan Off yang bebas menjangkau rambut Gun, mengusap-usapnya lembut. “Mungkin selama ini aku tidak bisa menunjukkan cinta sejati, jadi kau tidak kunjung membuka mata?”

Ada semburan angin dari pucuk cerobong asap, hanya mampu mengulik sedikit tumpukan debu di dasar perapian. Gun menjatuhkan kepala ke depan dan menggaruk-garuk kulit kepala. Dia tidak pernah bisa membalas ucapan Off manakala lelaki itu mengungkit cinta. Tidak pernah ada yang terjadi ketika mereka membicarakannya.

“Tidak masalah, aku akan selalu menunggumu, jadi kau juga bersabarlah sampai aku menemukan makna cinta sejati yang sesungguhnya. Oke?” Off menarik kembali tangannya dan berganti menumpukan siku di tepi ranjang. “Oh ya, aku tadi cerita tentang orang yang kutemui, bukan? Mereka Tay dan Punpun. Ingat tidak?”

Dua wajah yang familier seketika berkelebat dalam ingatan Gun, membawa serta rangkaian tawa serta aroma pewangi mobil. Dengan cepat Gun mengangkat kepala dan menatap Off tidak percaya. Bagaimana bisa dia melupakan Tay dan Punpun? Mereka berempat pernah menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan di kampus dulu dan menghabiskan hampir setiap akhir pekan untuk berkendara ke luar kota. 

Tarikan otot pipi Off mengendur, tetapi senyumnya justru menjadi terlihat semakin tulus. “Kita dulu sering jalan-jalan bersama jika ada waktu luang. Punpun menyebutnya double date. Ingat betapa dulu kita membenci sebutan itu? Lihatlah kita sekarang; dia pasti cenayang. Untung saja dia tidak ada di sini sewaktu kita mulai pacaran sungguhan.”

Gun ikut tersenyum. Hubungan mereka sudah cukup membingungkan tanpa adanya pihak ketiga yang mencoba memberikan label, tapi pada akhirnya ledekan itu menjadi kenyataan. 

“Mereka masih awet bersama, dua anak itu,” kekeh Off seraya memundurkan badan hingga punggungnya bersandar di kursi. Pandangannya menerawang, entah mengenang masa lalu yang sudah jauh atau justru masa depan yang tak lebih dari angan-angan. “Masih mesra seperti dulu, ketika kita muak melihat mereka berpelukan sambil cekikikan di bangku belakang mobil. Ingat, kan, Sayang? Kalau Tay atau Punpun sudah lelah menyetir, aku akan menggantikan mereka, dan karena mereka harus terus bersebelahan, kau juga ikut pindah ke depan bersamaku.”

Acap kali, di malam-malam yang membawa hening berkepanjangan, Gun duduk di tepi jendela kamar sambil memandangi keriuhan lalu lintas sepuluh lantai di bawahnya, benaknya berkelana lebih jauh dari kendaraan mana pun. Paling sering dia menyasar ke kondominium mereka, mengingat-ingat kehangatan kulit Off di atas miliknya, napas serta denyut jantung mereka bergerak selaras seolah-olah mereka telah melebur menjadi satu entitas. Di waktu lain, dia mendarat di lobi kantornya yang remang dan lengang, dengan Off yang sudah duduk di salah satu bangku panjang, menungguinya selesai lembur sambil menggenggam sepasang tiket nonton tengah malam. Di malam-malam tertentu ketika keheningan mendenging tanpa ampun, Gun akan mendapati dirinya terjebak di dalam mobil, sendirian.

Tetapi dia nyaris tidak pernah memutar memorinya jauh-jauh sampai ke masa kuliah. Lembar kebersamaannya dengan Off masih banyak yang belum ditelusurinya ulang. Kini, dengan Off mengenang perjalanan-perjalanan mereka yang terasa begitu bebas dan tanpa beban, Gun mulai berpikir mungkin mereka tidak akan berakhir dalam situasi ini jika hubungan mereka tetap bertahan di lapisan superfisial.

Gun menatap Off, yang kian lama semakin menyerupai boneka tanpa jiwa. Di linimasa yang hampir sama dengan ketika dia meratap dan melolong, dia juga mencoba membuat negoisasi dengan siapa pun yang bertanggung jawab terhadap takdir mereka. Dia rela menukarkan apa saja dalam hidupnya selama dia bisa dibangunkan lagi untuk berkata bahwa dia sangat mencintai Off. Dia ingin Off tahu bahwa semua ini bukan kesalahan lelaki itu, bahwa dia tetap mencintai Off terlepas dari segala yang sudah terjadi.

Kini, jika Semesta tiba-tiba memutuskan menerima kesepakatan itu, satu hal yang akan dikatakan Gun pada Off adalah agar Off melepaskannya. Semua janji manis tentang menjalin hidup bersama yang dibuat ketika mereka sedang dimabuk cinta itu hanya omong kosong: hidup Off tetaplah milik Off seorang, tidak semestinya dia merasa dibebani kewajiban untuk mengucurkan sebagian untuk Gun.

“Punpun ternyata rekan kerja kedua mempelai sejak lama. Aneh rasanya melihat teman-temanku berfoto bersama klienku. Itu pemandangan yang cukup menggelikan buatku.” Off sedikit mendengus. Akhir-akhir ini begitulah caranya tertawa; puing-puing denting renyah yang pernah menjadi ciri khas tawanya. “Aku tahu mereka gatal sekali ingin meledekku, sayang sekali aku sedang bekerja. Kami hanya mengobrol sedikit, di sela-sela waktu yang ada. Mereka juga menanyakan tentangmu, Sayang.”

Justru aneh jika teman sepermainanmu tidak mempertanyakan kabarmu sama sekali, tetapi Gun juga separuh berharap Tay dan Punpun entah bagaimana melupakan keberadaannya. Toh dia juga sudah berada di ambang ketiadaan.

“Jadi, kukatakan yang sejujurnya.” Gun mengerjap kaget, tatapannya menajam pada Off yang kembali mencondongkan badan ke depan untuk meraih sebelah lengannya lagi, seolah-olah berniat minta maaf. “Aku tidak mungkin bisa berbohong pada mereka. Kau memahaminya, kan, Sayang? Siapa tahu kalau kau mendengar suara berisik teman-teman kita, tidurmu bisa menjadi tidak nyenyak dan tidak ada pilihan selain bangun. Ya, kan, Sayang?”

Gun hanya memandangi Off sekali lagi mengecup punggung tangannya. Sensasi kecupan itu sama samarnya dengan rasa terkhianati sebab Off memilih mengumbar kondisinya yang menyedihkan pada orang lain.

Akan tetapi, dia sadar dia tidak punya hak melarang Off, tidak ketika Off-lah yang menggenggam erat-erat utas hidupnya yang terakhir. 

 


 

Menjadi nyawa yang berkeliaran tanpa tahu caranya kembali raga selama dua tahun terakhir, Gun hampir lupa bagaimana sensasi serabut sarafnya dikecup oleh stimulus. Kosen jendela, permukaan pintu, hamparan lantai, bahkan kucuran air, menjadi layaknya hologram bagi ujung-ujung jari Gun. Siang yang pengap ketika Off menghabiskan waktu mengipasi wajahnya tanpa suara, juga malam berhujan yang membuat para pedestrian berjarak sepuluh lantai di bawahnya segera merapatkan jaket dan mempercepat langkah, telah menjadi sama tidak berartinya dengan pemandangan yang datang dan pergi di balik jendela mobil. Satu-satunya yang bisa dilakukan Gun adalah menggali lipatan otaknya dan berusaha melatih kembali indera-inderanya dengan reremahan yang mampu dibangkitkannya berdasarkan memori semata.

Sinar matahari itu menyengat kulit, sama seperti ketika mereka berlarian di salah satu pantai di Phuket. Angin malam itu dingin menggelitik, sama halnya dengan cuaca di Chiang Mai saat mereka baru saja membuka pintu mobil sesudah perjalanan sepanjang sembilan jam. Sembari menanti kunjungan rutin Off hari ini—hari yang dijanjikan Off membawa Tay dan Punpun membesuknya—Gun menebak-nebak bagaimana cara Off merangkai cerita untuk diperdengarkan pada orang-orang yang pernah sedekat nadi dengan mereka.

Kalau Off sudah bisa membuka luka lama, baguslah. Yang dikhawatirkan Gun adalah lelaki itu mendesakkan narasi bahwa Gun masih sepenuhnya baik-baik saja pada Tay dan Punpun, membuat kedua teman mereka hanya akan jatuh dalam kebungkaman yang kental oleh iba bercampur resah kala mendapati kisah Off rupanya hanya dilandasi delusi.

Gun berhenti menggigiti tepi kuku ibu jarinya saat mendengar handel pintu diturunkan. Secara refleks dia memalingkan muka dari jendela ke arah pintu, lalu membeku sejenak. Lelaki muda yang muncul di ambang itu tampak sama terkejutnya dengan Gun.

“Oh?” dia berujar linglung sembari mengedarkan pandangan. “Ah, mampus. Salah kamar.”

Dua tahun menjadi penunggu ruangan, bukan pertama kali ada orang yang tiba-tiba menghambur masuk, hanya untuk merayap keluar lagi dengan sungkan. Gun membalikkan badan dan memandangi lelaki itu tersenyum malu sambil menarik daun pintu kembali mendekati kosen.

“Maaf sudah mengganggu.” Lelaki itu menatap Gun, melihat matanya. “Selamat siang.”

Gun terpaku, lalu tersentak saat terdengar debam lembut dari pintu yang ditutup. Bergegas dia berlari menyeberangi ruangan. ‘Tunggu, tunggu. Kau tadi—‘

Pintu terbuka lagi, serta-merta menghentikan langkah Gun. Itu Off. Dari jarak yang hanya sejengkal, Gun bisa melihat guratan yang tampak begitu nyata di wajah Off, semua jejak tangisan yang berusaha keras tidak disuarakan di depan raga Gun, semua dampak tidur tak nyenyak dan pikiran berlebihan. Gun menggerakkan mata, mempertemukannya dengan milik Off, tetapi lelaki itu menoleh ke belakang.

“Masuklah.”

Gun merasakan desiran di hatinya saat melihat kedua teman lamanya menyusul Off ke dalam ruangan. Sekarang semua memori lama itu kembali padanya, disemburkan nyaris tanpa ampun ke wajahnya, bersama dengan aroma angan yang sudah kedaluwarsa tentang reuni kembali di hari paling bahagia baginya dan Off.

Lucu rasanya. Satu-satunya yang menyambut kedatangan mereka bukan pelukan hangat dan gelak tawa, melainkan keheningan serta keputusasaan yang telah mengendap terlalu tebal di dalam ruangan selama dua tahun. Gun tersenyum melihat Punpun yang memeluk sebelah lengan Tay—masih tidak terpisahkan seperti dulu. 

“Biar aku carikan kursi untuk kalian,” Off memecah kebekuan di antara mereka berempat. Senyumnya terbit agak terlambat, seperti tidak menyangka Tay dan Punpun akan segera menoleh menatapnya. “Tunggu sebentar. Kalian boleh mengajak Gun mengobrol. Kudengar itu bisa menstimulasi otaknya untuk terus bekerja.”

Dengan itu, Off bergegas keluar. Tay dan Punpun saling berpandangan.

‘Katakan apa saja yang kalian inginkan,’ kata Gun sambil menyandarkan pantatnya di kosen jendela. ‘Tidak akan memengaruhi fisikku. Aku sedang tidak berada di dalamnya.’

“Tay,” bisik Punpun. Cukup sepintas pandang bagi orang yang sudah bersamanya hampir sepuluh tahun untuk bisa memahami kata-kata yang tidak disuarakannya—Tay hanya menggeleng.

Tidak seorang pun dari mereka mengajaknya bicara, dan itu membuat Gun kecewa dan senang dalam waktu bersamaan. Dia ingin mendengar kabar terkini dari mereka, rincian perjalanan hidup mereka sesudah lulus kuliah, bukan lagi cuplikan-cuplikan yang didapatnya dari Instagram sampai dua tahun yang lalu. Dia yakin banyak anekdot menggelikan yang mereka simpan, terutama datang dari Tay Tawan yang kocak. 

Tetapi Gun juga senang. Mereka tidak menganggapnya sebagai makhluk yang bisa melahirkan keajaiban bilamana diperlakukan istimewa. Tay dan Punpun lebih daripada sadar mengenai kondisinya dan kemungkinan nasibnya di masa depan, dan belasungkawa yang merembes dari kebungkaman mereka tidak terasa terlalu dini.

Punpun yang pertama kali melangkah maju, dengan hati-hati menyentuh punggung tangan Gun, lalu duduk di kursi. Sorot matanya dipenuhi oleh berbagai emosi, tapi bibirnya saling menekan menjadi satu garis tipis, menahan semuanya untuk dirinya sendiri. Wanita itu menggenggam tangan Gun, menjalinkan jari-jemari mereka.

“Kecelakaan itu pasti menakutkan buatmu,” komentar Punpun. Satu-satunya kalimat yang ditawarkan pada Gun sebelum dia terdiam lagi dalam satu periode yang panjang. 

‘Tidak, aku sudah baik-baik saja sekarang,’ kata Gun, meskipun dia tahu benar suaranya tidak akan bisa menembus tabir yang memisahkan dunia mereka.

“Kau benar-benar berpikir dia bisa dengar?” tanya Tay.

Punpun mengambil jeda selama beberapa detik. “Aku tidak tahu.”

Lagi-lagi tidak ada yang bicara di antara mereka. Gun berpindah posisi ke sisi ranjang yang berseberangan dengan Punpun, mengamati wajah kedua temannya lebih lekat. Mereka tampak terbius, seperti memandangi sesuatu yang tidak semestinya berada di sana. Dan Gun amat memahaminya: manusia hanya punya dua fase, hidup dan mati. Bukannya mengambang di antara ada dan tiada seperti kondisinya sekarang.

Lalu Tay tersenyum kecil. “Kau ingat tidak? Kita berempat pernah hampir mati ketika berkendara ke Ayutthaya.”

Gun segera mengingatnya. Beruntung ketika itu Off berhasil banting setir menghindari truk yang memelesat tanpa kendali dari arah berlawanan, walaupun selanjutnya mobil mereka harus berguling-guling sampai bahu jalan akibat hilang keseimbangan. 

“Aku ingat,” gumam Punpun, dia juga tersenyum. Terlepas dari serpihan kaca, asap pekat, serta darah yang lengket di sekujur tubuh, sekarang semua itu menjadi kenangan yang manis. “Gun yang pertama kali tertawa setelah kita berhasil keluar dari mobil. Aku ingat marah-marah, tapi pada akhirnya ikut tertawa juga. Kita semua tertawa seperti orang gila.”

“Mungkin kita memang gila ketika itu,” Tay menyepakati, lalu membungkuk ke depan untuk menepuk punggung tangan Gun. “Kau juga. Kalau ingin kembali, segeralah kembali. Kita sudah tidak semuda dulu, tapi aku yakin kita masih bisa menemukan momen kegilaan lainnya.”

“Jangan lama-lama,” sambung Punpun sambil tersenyum, kemudian tertawa sedikit. “Sebelum pinggang Tay semakin sering encok.”

“Apa berbicara begitu membuatmu merasa lebih baik?” balas Tay seraya mencubit pipi Punpun gemas, menyebabkan Punpun tertawa sedikit lebih keras. Senyum dan tawa mereka tampak kontras dengan kesunyian yang tidak bisa meninggalkan ruangan.

Tumpukan abu di dasar perapian tersapu bersih oleh embusan angin yang paling kencang semenjak bara api terakhir meredup kemudian tewas. Gun menurunkan pandangan pada raganya sendiri, yang dengan keras kepala tetap bergeming meski kedua temannya sudah berada di sini. Dia merasa akan muncul bara api kemarahan baru di salah satu arang yang tergolek dingin. Pada dirinya sendiri, tapi terutama pada Off.

Pintu didorong terbuka oleh pundak Off, yang tampak kesulitan menggeret sebuah kursi berlengan, menyebabkan Tay segera beranjak untuk membantunya. “Mentang-mentang kedatangan teman lama, kau membawakan kami kursi seberat ini?” sindir Tay.

“Tidak ada kursi lain, aku harus memohon perawat di nurse station agar mereka memberikan kursi tambahan,” gerutu Off lalu memalingkan muka ke pintu. Ekspresinya berubah sopan. “Terima kasih banyak, kau sudah menyelamatkanku.”

Gun mengerjap saat mendapati lelaki berpostur mungil yang tak lagi asing menyusul Off masuk dengan kursi kedua. “Santai saja. Kebetulan aku punya waktu.” Dia menegakkan badan dan mengedarkan pandangan ke dalam kamar. “Oh, kurang satu? Biar kucarikan lagi.”

“Sudah cukup, hanya ada kami bertiga di sini,” kata Tay. 

Lelaki kurus itu mengerutkan kening, telunjuknya diacungkan ke masing-masing orang, menghitung ulang. “Tetapi kalian berempat, kan?”

Gun membelalakkan mata saat telunjuk itu terarah padanya.

Notes:

sebenarnya aku agak nervous balik ke AO3 setelah sekian lama vakum. i hope i don't disappoint somehow

Chapter Text

“Itu tidak lucu,” kata Punpun, memecah keheningan yang berkerak dalam ruangan mengikuti arah telunjuk lelaki itu. Dia berdiri, lantas membalikkan badan ke arah pintu dan bersedekap. “Terima kasih sudah membantu, tapi kami tidak sedang dalam suasana hati ingin melucu sekarang, sungguh.”

“Punpun,” Tay mengingatkan.

“Aku berterima kasih kau mau membantu kami, tapi itu tidak membuatmu serta-merta punya hak untuk bercanda.”

“Aku tidak bercanda?” sahut si pemuda bingung, matanya berpindah antara Punpun dan Gun bergantian. “Aku hanya mencoba membantu ...”

“Berarti bantuamu tidak diperlukan lagi. Keluarlah.”

“Punpun, apa-apaan denganmu,” tegur Tay sambil merenggut sebelah pundak Punpun, meremasnya sedikit. “Kau justru memperparah semuanya.”

“Tidak, Punpun benar,” kata Off datar. “Bisakah kami mendapat privasi sekarang? Terima kasih.”

Dilihat dari air muka Punpun yang keras, tampaknya dia masih berniat melampiaskan kekesalannya sedikit lebih lama. Akan tetapi, untuk kali ini Gun tidak berniat mendengarkannya karena dia sudah berada di koridor paviliun, cepat-cepat menyusul pemuda itu keluar sebelum Off menutup pintu dan memenjaranya dalam ruangan.

Berada di luar raganya tidak lantas membuat Gun adikuasa membelokkan hukum fisika. Cenderung sebaliknya malah. Dia tidak bisa menggerakkan apa pun, sama seperti benda tidak bisa memberikan dampak apa pun padanya. Seolah-olah dia sengaja disisihkan dari semua peraturan yang sudah ditetapkan Semesta. 

“Oh, kau kakak yang tadi.” Pemuda itu tersenyum sopan padanya. “Aku baik-baik saja, kok. Semua orang bisa menjadi sensitif di rumah sakit, walaupun aku tidak mengerti temanmu tersinggung di bagian mana, sih.”

Gun perlu waktu sekitar dua detik untuk mencerna keberadaan lelaki itu secara utuh. Mengenakan celana jin selutut serta sweter lengan panjang, pemuda itu terlihat seperti semua orang berusia awal dua puluh yang bisa ditemukan di setiap ruas jalan. Tidak ada tanda spesial.

‘Kau,’ kata Gun, lalu harus berhenti lagi. Ini akan menjadi pertama kali dia mengobrol dengan manusia, bukan sekadar mengomentari percakapan satu arah Off. Rasanya sungguh ganjil; lidahnya sulit digerakkan. ‘Kau ... bisa melihatku?’

“Maaf?” tanya pemuda itu, tetapi sebenarnya sudah memberikan jawaban yang lebih dari cukup buat Gun. “Ah, maksudmu ketika aku salah ruangan tadi? Ya, aku melihatmu, makanya aku segera sadar aku sudah salah masuk. Maaf juga soal yang tadi. Aku tidak ingat benar nomor kamar temanku.”

Terlepas dari hukum yang tidak berlaku baginya, Gun tetap harus membasahi bibirnya yang mendadak kering. Seseorang sudah mengobrol dengannya. Seseorang sedang bertanya padanya, menatap matanya, menganggapnya ada. Gun menyurukkan kedua tangan ke kulit kepala, meremas pangkal rambutnya, memastikan dirinya tidak sedang bermimpi.

“Um, ada yang salah?”

‘Tidak, tunggu. Beri aku waktu,’ kata Gun, berusaha menata pikirannya yang serasa baru saja diamuk angin puting beliung. Dia duduk di salah satu bangku logam yang berjajar di koridor, berkontemplasi sebentar, kemudian mendongak menatap lelaki yang masih berdiri di dekatnya. ‘Kau benar-benar bicara padaku, kan? Kau mendengar perkataanku?’

Perlahan pemuda itu mengangguk. Keningnya mulai berkerut. “Apakah ... aku tidak seharusnya bicara padamu?”

Dia masih punya kesempatan. Pintu yang selama ini dia pikir telah tertutup mungkin masih bisa dibuka, meski sedikit. Gun kembali berdiri, tidak yakin mana yang harus diutarakan lebih dulu di antara jutaan kata yang selama ini sekadar memantul di dinding tak kasat mata yang membungkusnya.

‘Kau ... siapa namamu?’

“Chimon.” Pemuda itu tersenyum. “Kau?”

Gun tertegun memandangi tangan yang diulurkan padanya. Pelan-pelan dia balik mengulurkan tangan; ujung jarinya hampir menyentuh milik Chimon, tapi dia berubah pikiran dan segera menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung.

Chimon melihatnya pula, tetapi tidak berkomentar.

‘Bagaimana kau bisa melihatku dan berbicara padaku? Apa kau cenayang?’

“Cenayang?” Chimon tetap tertawa terlepas dari sebercak kebingungan yang muncul di matanya. “Tidak. Apa penampilanku hari ini membuatku terlihat seperti cenayang?”

‘Berarti kau punya kekuatan supernatural, bukan begitu? Tidak ada yang bisa melihatku selain kau, tidak seorang pun selama dua tahun aku berada di sini. Aku—kau—‘

Terlalu banyak yang ingin diucapkan Gun detik itu juga, rasa-rasanya kepalanya hampir meledak. Dengan frustrasi dia mencoba mencari ujung utas dari kata-kata yang berserakan dalam rongga kepalanya agar bisa menyusun kalimat koheren, tetapi Chimon hanya tersenyum dan meletakkan satu tangan di pundaknya.

Gun mengerjap. Tubuhnya, yang substansi penyusunnya patut dipertanyakan, dapat disentuh dengan sedemikian mudah.

“Santai saja. Ayo kita duduk dulu,” kata Chimon ramah sembari memberi gestur pada bangku logam, sama sekali tidak mengetahui empasan kejut yang membuat Gun mematung sebentar sebelum ingat caranya menggerakkan tungkai. “Jadi, ada apa dengan kekuatan supernatural ini?”

Gun baru membuka mulut untuk memberikan jawaban ketika satu pintu di dekat mereka terbuka dan sekelompok pemuda berbondong-bondong keluar. “Oi, Chimon,” panggil salah satunya. “Kupikir kau sudah kabur sesudah melihat luka Nanon dibersihkan. Apa yang kau lakukan di situ?”

“Karena tasku masih di mobilmu, dasar sial!” seru Chimon, menyebabkan teman-temannya tertawa. Dia kembali menatap Gun. “Maaf. Aku duluan.”

‘Tidak, tunggu. Aku masih perlu bicara padamu!’

“Aku akan datang lagi besok. Setiap hari aku harus mampir untuk memastikan temanku tidak kabur dari rumah sakit.” Chimon menepuk lutut Gun, kemudian beranjak berdiri menyusul teman-temannya yang sudah berjalan lebih dulu ke lift. Salah seorang di antaranya segera merangkulnya—mereka semua terlihat seperti sudah berkawan akrab.

Dan itu mengingatkan Gun pada teman-temannya sendiri yang masih berada di dalam ruangan. Dia bangkit dan memutar langkahnya menghadap pintu yang tertutup rapat. Terbayang kembali bagaimana Chimon bisa menyentuhnya dengan mudah, dan Gun mencoba menyalurkan kepercayaan diri itu pada telapak tangannya yang kemudian dilekatkan di permukaan pintu. 

Tidak ada yang terjadi. Jangankan menembus pintu, menggerakkannya saja tidak bisa. Gun membuang napas keras lalu menyandarkan dahi ke permukaan pintu kamar inapnya dan memejamkan mata. 

Kesendirian sudah menjadi sahabat karibnya sejak kecelakaan itu, tapi dia tidak pernah terbiasa dengan kedatangannya yang selalu tiba-tiba.

Pintu di samping kepalanya terbuka tiga puluh menit kemudian. Gun menoleh dan melihat kedua temannya berjalan keluar.

“Tidak usah bersikap seperti kita baru kenal kemarin sore begitu,” kata Tay, sementara Off tertawa kecil. “Kami oke-oke saja memanggil taksi dari sini.”

“Tapi hotel kalian cukup jauh, aku jadi tidak enak.”

Pintu di belakang Off masih terbuka lebar dan Gun punya semua kesempatan untuk menyelinap masuk. Akan tetapi, siapa yang mau cepat-cepat kembali ke tempat menyedihkan itu? Gun memutuskan tetap duduk sambil mengamati percakapan terakhir teman-temannya di lorong. Selalu ada perawat yang datang di pagi dan sore untuk mengurus fisiknya—dia bisa masuk kapan saja dia mau.

“Kami akan datang lagi besok,” kata Punpun, lalu mengacungkan telunjuknya sebelum Off buka mulut. “Jangan protes. Kami memang terbang ke sini untuk bertemu teman-teman dan keluarga.”

“Baiklah, aku tidak pernah menang melawan kalian,” sahut Off sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.”

Mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya sebelum pamit pergi, dan lagi-lagi Gun merasa dadanya berdesir. Cara Off merengkuh Punpun erat-erat menggunakan kedua lengannya, maupun ketika memasrahkan sebagian bobotnya di pelukan Tay, menyadarkan Gun bahwa bisa saja lelaki itu sudah lama sekali tidak mendapat sentuhan manusia. Bisa saja, seperti Gun, kehangatan kulit orang lain telah menjadi sesuatu yang berada di luar jangkauan Off. 

Off bisa memeluk siapa pun yang dia inginkan, tetapi dia memilih untuk tidak melakukannya.

Pria bodoh.

Off berdiri sampai pasangan itu masuk ke lift, dan senyumnya serta-merta mengendur begitu pintu lift tertutup. Desahan yang lantas dikeluarkannya itu melesakkan kedua pundak ke bawah. Dia berjalan gontai ke pintu, meraih handelnya, tetapi kemudian sekadar menutupnya dari luar sebelum dia menggelongsor di kursi sebelah Gun.

Gun mematung memperhatikan Off menyandarkan bagian belakang kepala ke dinding sambil memijat pangkal hidung menggunakan ibu jari serta telunjuk.

“Maaf ya, Gun. Sebentar saja. Beri aku waktu sebentar untuk sendirian.”

Lantas Off menjatuhkan kedua tangan ke pangkuan, matanya masih memejam. Lingkaran hitam di bawah matanya tidak main-main, seolah-olah separuh kehidupannya telah tergusur oleh akumulasi keletihan yang memenuhi separuh bagian lainnya. 

Gun mulai berpikir mungkin Off tidak langsung kembali ke kantor sesudah meninggalkan ruangannya. Mungkin lelaki itu selalu menghabiskan sebagian waktu di sini, tidak melakukan apa-apa demi memulihkan mentalnya yang tergerus manakala memandangi Gun yang terus bergeming, terutama karena pekerjaannya sebagai perencana pernikahan mengandalkan raut berseri-seri dan pembawaan riang.

Sudah lama Gun berhenti marah pada kegigihan Off, dan lebih lama lagi sejak terakhir kali dia menangisi nasib mereka berdua, tapi dia tidak pernah berhenti bertanya-tanya mengapa Off rela menunggu sejauh ini untuknya.

 


 

Masa ketika Gun ingin membakar Off dalam kobaran amarahnya adalah masa yang sama ketika dia mendapati bahwa cinta saja tidak cukup untuk menjamin kebahagiaan yang kekal. Rasanya sungguh tidak adil. Mereka sudah melewati segalanya bersama, satu-satunya yang tersisa hanyalah mematenkan keberadaan mereka berdua agar seluruh dunia tahu. Itu merupakan akhir yang sempurna untuk sebuah cerita jatuh-bangun yang telah mereka tulis selama bertahun-tahun.

Siapa yang menyangka ‘akhir bahagia’ yang didambakan Gun dikabulkan sedikit terlalu harfiah oleh Semesta. Mereka berbahagia, kemudian tamat. Yang tersisa di halaman kosong pada penghujung buku adalah dirinya yang mengambang di antara garis hidup dan mati, serta Off yang tersesat dan kebingungan.

Gun bersandar di kosen jendela, menggigiti ujung kuku ibu jari sambil memperhatikan Off yang tertidur dengan posisi membungkuk di tepi tempat tidurnya. Seharian ini Off tinggal bersamanya, tidak seperti biasa. Mungkin lelaki itu menghadiahi diri dengan hari libur yang langka, mungkin juga kedatangan teman-teman lama mereka memberikan empasan emosi tersendiri baginya. Gun menghela napas, lalu membuang tatapan ke pemandangan malam di luar jendela.

Jika cerita Gun berakhir, itu oke-oke saja. Tetapi Off belum. Dia masih punya jalan panjang yang menghampar di depannya.

Setitik air mendarat di permukaan luar jendela, membuat Gun mengerjap kaget. Lalu satu lagi, lalu satu lagi. Tak lama hingga hujan mengguyur malam dengan senyap. 

Perlahan Gun menoleh ke belakang, pada Off yang masih tidur lelap. Dia berjalan mendekat kemudian berjongkok di sampingnya.

‘Off,’ panggilnya. ‘Malam ini hujan. Kau yakin tidak sedang menjemur sesuatu yang aneh di luar, kan?’

Jika ini adalah mereka yang dulu, Off pasti akan segera terlonjak duduk tegak kemudian menyerukan sesuatu yang sama sekali berada di luar dugaan. Gun hanya akan tertawa sambil membuntutinya ke luar, bersiap membereskan kekacauannya, tetapi terlebih dulu menonton tingkah polahnya yang selalu mengundang tawa. 

Tetapi ‘mereka yang dulu’ sudah lama tiada, sama seperti mereka di masa depan. Gun menyusurkan ujung-ujung jarinya di pelipis Off, membelai cuping telinga serta lubang tindik yang sudah mulai menutup. Sentuhannya tidak akan meninggalkan jejak bagi Off, sama seperti kehangatan kulit Off tak lagi mampu menembus alam yang memisahkan mereka.

‘Off,’ panggil Gun lagi. ‘Seandainya aku pergi, kau akan baik-baik saja. Aku yakin itu. Dua tahun belakangan ini kita sudah berlatih untuk menjalani hari tanpa keberadaan satu sama lain. Kau hampir menguasainya, Off.’

Jemari Gun menyusuri tengkuk Off, di sepanjang pangkal rambutnya yang dipotong pendek. Dulu dia suka melakukan ini. Ketika sedang menyetir, ketika menunggu makanan pesanan mereka tiba, ketika mereka sekadar duduk menonton televisi. Awalnya Off selalu berjengit kaget dan memberikan tatapan curiga, tetapi lama-kelamaan dia sekadar kembali melanjutkan kegiatannya, mengizinkan Gun melakukan apa yang dia mau. Di waktu-waktu tertentu, dia malah memiringkan kepala agar bisa bersandar di pundak Gun dan lebih menikmati sentuhannya.

“Kau jadi lemah di depan Gun, Off,” cemooh Tay suatu kali. “Biasanya kau bakal membanting siapa pun yang dekat-dekat dengan lehermu.”

Gun tersenyum mengingatnya. Mengeratkan pegangan di tengkuk Off, dia lantas menjulurkan leher dan mengecup pipi Off lembut. ‘Mulai sekarang jangan jadi lemah, ya.’

Off menghela napas tajam, membuat Gun segera menarik dirinya menjauh. Dia mengamati lelaki itu pelan-pelan mengangkat kepala lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Sudah lewat masanya Gun berharap Off bisa menyadari keberadaannya, tetapi dia tetap menahan napas selama Off mulai mengumpulkan kesadarannya.

“Berapa lama aku tertidur?” gumam Off, lalu menguap dan meregangkan kedua tangan ke depan. Dia masih terlihat dapat jatuh tertidur lagi kapan saja, tapi senyum kecilnya diarahkan ke wajah Gun. “Percaya atau tidak, aku baru saja bermimpi tentang kita. Kau ingat waktu aku menjemur lookbook yang ketumpahan air minum di balkon? Tiba-tiba hujan turun dan semakin memperparah semuanya. Untung saja kau pulang tepat waktu dan berhasil mengeringkannya dengan hairdryer.”  

Off meraih tangan Gun, menggenggamnya lembut.

“Mereka bilang mimpi adalah pertanda. Aku optimistis sesuatu yang baik akan terjadi pada kita.” Off mengecup buku-buku jari Gun. “Dan jika saat itu tiba, aku yang akan pertama kali berkata ‘selamat datang di rumah’. Aku tidak akan mengomelimu kenapa baru pulang jam segini lagi, jadi jangan ragu untuk segera kembali. Oke, Sayang?”

Gun memeluk pundak Off dari belakang dan memejamkan mata. Satu-satunya yang bisa dikatakan Off adalah selamat tinggal, dan Gun harap lelaki itu dapat mengatakannya tanpa keraguan.

Chapter Text

Pernah suatu kali, ketika Gun berusia tujuh belas tahun dan sedang mengamati ibunya menjahit seragamnya yang robek akibat perkelahian, dia bertanya, “Apa Ayah dan Ibu mencintai satu sama lain?”

Ibunya terkejut. “Apa kami tidak terlihat mencintai satu sama lain?”

Bagi Gun saat itu, cinta beserta tetek-bengeknya hanyalah omong kosong. Hubungannya dengan orang yang selalu dia pikir merupakan belahan jiwanya baru saja berakhir dengan tidak mengenakkan. Di sepanjang perjalanan pulang, babak belur dan berusaha keras menahan tangis, dia berpikir bahwa cinta tidak lebih dari semburan emosi sesaat yang tidak bisa diisi ulang lagi. Jika terlalu keras kepala mempertahankannya, malah bisa merusak diri sendiri.

“Aku tidak tahu, makanya aku tanya,” sahut Gun, melanjutkan kegiatannya membersihkan luka di pipi dengan bantuan cermin yang diletakkan di samping mesin jahit ibunya. “Semua orang bosan padaku ... dan aku bosan pada mereka, tentunya. Aku tidak mengerti bagaimana Ayah dan Ibu bisa bertahan bersama sampai belasan tahun.”

Ibunya berpikir-pikir sebentar sambil meluruskan kain seragam. “Kalau yang kau sebut sebagai cinta adalah euforia hanya karena bisa melihat wajahnya, mungkin Ibu sudah berhenti mencintai ayahmu lama sekali.”

Gun mengernyit, dan bukan hanya karena antiseptik menyengat luka baretnya. “Aku serius.”

Ibunya tertawa. “Definisi cinta untuk setiap orang itu berbeda. Cinta adalah apa pun yang kau rasakan dan siap kau tunjukkan padanya. Ibu tidak perlu bertanya pada Ayah apakah dia masih mencintaiku atau tidak, karena Ibu percaya padanya dan bisa melihat cinta dari setiap tindakannya.”

“Aku tidak mengerti.”

Ibunya berhenti memutar mesin jahit dan mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala Gun. “Cinta tidak melulu soal rasa, Gun. Cinta adalah ketika kau mempercayai seseorang dan menunjukkan kepercayaan itu padanya.”

Sentuhan telapak tangan ibunya yang hangat seperti masih tertinggal di balik tumpukan rambut Gun saat dia menoleh ke arah pintu yang dibuka pelan-pelan. Pukul sebelas, waktunya kunjungan rutin perawat yang memeriksa tanda vitalnya serta mengubah posisi tidurnya. Seseorang punya kecenderungan untuk bersikap transparan setiap kali mereka pikir tidak ada yang melihat, tetapi bahkan perawat ini sudah tidak menunjukkan emosi spesifik saat mengurus fisik Gun.

Dua tahun. Jika diibaratkan manusia, bayi merah yang tidak berdaya itu sudah menjelma menjadi balita dengan setelan lucu yang mulai berjalan ke sana-kemari sambil mencerocos menggemaskan. Seorang anak magang yang sudah berubah status menjadi pegawai tetap dan diberi kepercayaan mengerjakan proyek. Seorang penyanyi kafe yang suaranya tidak keluar akibat demam panggung hingga akhirnya bisa berinteraksi nyaman dengan penonton.

Dua tahun. Jika Off berusaha membuktikan cintanya dengan setia menunggu, Gun sudah cukup melihat semuanya. Sekarang waktunya semua dihentikan.

Gun turun dari kosen jendela dan berjalan ke pintu yang dibiarkan terbuka sedikit oleh si perawat. Koridor lengang kecuali untuk seorang dokter yang sedang mengecek riwayat seorang pasien di nurse station. Gun juga mengenal dokter itu, atau setidaknya sering melihatnya mondar-mandir. Sembari mendudukkan diri di bangku logam, Gun membayangkan seandainya dia dirawat dalam kondisi sadar di sini selama dua tahun, dia pasti bisa bertukar canda dengan si perawat atau menyapa si dokter, atau mungkin malah berkenalan dengan semua pasien yang ada di lantai ini. 

Lift berdenting, sebelum pintunya menggeretak terbuka. Gun ikut menoleh, lalu mengerjapkan mata menemukan Chimon berdiri di dalamnya.

“Oh, kau kakak yang yang kemarin,” cericip Chimon ceria sambil berjalan keluar. “Apa kabar?”

Dokter dan perawat menatapnya heran, tetapi karena pilar nurse station menutupi sebagian sisa koridor, mereka memutuskan tidak mempertanyakan identitas lawan bicara Chimon dan memilih sekadar mengangguk sambil tersenyum ketika Chimon menyapa mereka satu per satu. Perlahan-lahan Gun bangkit sementara Chimon berlari-lari kecil menghampirinya.

“Kau benar-benar menunggu di sini rupanya,” kata Chimon, menepuk pundak Gun pelan sebagai isyarat dia bisa kembali duduk. Dia menyusul duduk di sebelah Gun. 

Sentuhannya masih tidak bisa dicerna Gun dengan mudah—terlalu nyata sekaligus tidak nyata, seperti bagian dari memori yang terlalu kuat, sebagaimana percakapan Gun bersama ibunya dua belas tahun lalu. Sarafnya tidak terbiasa menerima stimuli setelah sekian lama mengambang dalam kenangan.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”

Gun memandangi mata Chimon lekat-lekat, menyadari betul pemuda ini memang tidak bisa membedakan wujud manusia sungguhan dan jadi-jadian seperti Gun. ‘Er, kupikir sebelum kita mulai bicara, kau harus tahu satu hal.’

“Tentu.”

Hanya saja, kemudian Gun termenung ragu. Sebenarnya, apakah dia bahkan harus memberi tahu Chimon? Bagaimana kalau dia justru mengacaukan segalanya dengan membuat Chimon takut akan keberadaannya?

“Halo? Kau baik-baik saja?”

Gun mengerjap saat tangan Chimon dilambaikan di depannya. Persetanlah. Kalau Chimon lantas berlari kabur, dia akan menghantui Chimon sampai lelaki itu bersedia membantunya. ‘Um, kau punya ponsel?’

Secara refleks Chimon meraba kantong celana jinnya. “Ya, tentu saja,” ujarnya seraya bersusah-payah mengeluarkan ponsel dari sana. Dia membuka flip-nya, lalu mengulurkannya pada Gun. “Ada apa dengan benda ini?”

Tangan Gun terulur, tapi mustahil dia bisa menyentuh benda padat, jadi dia sekadar menggeleng. ‘Coba buka aplikasi kameranya.’

Meski menurutinya tanpa protes, kening Chimon mulai berkerut heran. Dia baru menggeser layar hingga mengingat sesuatu. “Kita tidak boleh mengambil gambar di rumah sakit. Itu melanggar—”

‘Arahkan padaku saja,’ kata Gun, mendadak merasa gugup. ‘Kumohon. Apa yang kau lihat?’

Chimon mengangkat ponselnya dengan kamera mengarah pada Gun. Setiap detiknya, mulai dari Chimon mengerutkan kening, menyipitkan mata, hingga akhirnya terkesiap sambil melompat mundur, semua terekam dengan begitu baik di benak Gun. 

Gun membungkuk untuk mengambil ponsel Chimon yang terlontar dari tangannya, tapi jari-jemarinya tergelincir dari benda itu. Dia tersenyum pahit. Hukum fisika, sekali lagi, tidak bekerja padanya.

‘Sekarang kau tahu kenapa aku sulit percaya kau bisa melihatku, kan?’ tanya Gun seraya menegakkan badan. ‘Karena aku bukan manusia.’

Chimon melonjak berdiri dan berlari meninggalkan Gun.

 


 

Apa tadi katanya? Menghantui Chimon?

Kenyataannya, Gun hanya bisa duduk melesak di bangku, memandangi tabung lampu halogen yang menyinari sepetak koridor dengan sinar pucatnya yang dingin. Dia merasa bodoh sekali. Ketika akhirnya seseorang yang bisa membantu didatangkan padanya, dia justru mengusirnya. Dia tidak tahu berapa persisnya kemungkinan seseorang dengan indera keenam bisa muncul di kamarnya seperti Chimon, yang jelas angkanya kecil sekali. Hampir mustahil.

Gun menutupi wajah menggunakan dua tangan, menghela napas panjang kemudian mengembuskannya keras-keras. Memang benar kata orang-orang. Penyesalan selalu berada di akhir.

Ketika Gun menurunkan tangan, dia melihat lelaki muda itu telah kembali di ujung koridor.

Terakhir kali Gun merasa seperti ini—kaku, waspada, siap melompat kapan saja—adalah ketika dia menemukan kucing liar di pelataran kondominiumnya. Dia hanya ingin Chimon tahu bahwa dirinya sama tidak berbahaya dengan manusia yang berlalu-lalang di sekitar tempat kucing liar itu biasa duduk. Gun membiarkan Chimon mengawasinya selama beberapa detik lalu mengendap-endap mendekat. 

Gun berpikir Chimon akan lari tunggang-langgang setelah cukup dekat dengannya. Tetapi tidak. Tali sepatu Chimon yang terikat longgar itu sedikit melompat ketika si empunya mengambil satu langkah penuh tekad tepat ke samping Gun.

‘Kau tidak takut padaku?’ tanya Gun, sesudah mereka sekadar berpandangan selama sekitar lima atau sepuluh detik. Chimon menghela napas panjang, kemudian menggeleng.

“Kau tidak terlihat seperti ingin berbuat jahat.”

‘Memang tidak. Aku terlalu letih untuk itu.’

Chimon memerlukan segulung waktu lagi untuk memutuskan makna di balik jawaban Gun. Pada akhirnya, dia mengeluarkan napas yang sempat ditahannya di dada dan duduk di sebelah Gun. 

“Aku tidak mengerti,” kata pemuda itu, mata besarnya tidak pernah meninggalkan wajah Gun, seolah-olah dia sedang mencari ciri-ciri yang bisa diasosiasikan sebagai hantu dari sana. “Kenapa kau masih di sini? Apa yang membuatmu terjebak di dunia?”

‘Mungkin kau bisa menemukan jawabannya di situ.’ Gun mengedikkan dagu ke pintu kamar di sebelah kanan. Chimon mengikuti arah tunjuknya. ‘Kemarin kau juga melihatnya, kan? Badanku masih terbaring di sana.’

Chimon memutar kepala dengan begitu cepat kembali ke wajah Gun, matanya membelalak. “Itu kau?”

‘Aku sudah koma selama dua tahun.’

Selama beberapa saat Chimon tampak berusaha memproses kata-kata Gun, kemudian mendadak bangkit dan tanpa suara berjalan ke ruangan Gun. Kalaupun ingin mencegahnya membuka pintu, Gun tahu dia tidak akan mungkin melakukannya, jadi dia sekadar membuntuti pemuda itu melangkah lebar-lebar menuju ranjangnya tempat berbaring.

“Ini benar-benar kau,” bisik Chimon tercekat, langkahnya agak terhuyung ke belakang. Satu tangannya terangkat menutupi mulut. “Sialan, bagaimana ini bisa terjadi? Maksudku, aku tidak percaya ini …”

‘Tidak apa-apa, aku paham.’

“Lalu, apa yang kau lakukan sekarang?”

Gun mengalihkan tatapan ke raganya sendiri. Rambutnya lebih panjang daripada yang disukainya, menjurai menutupi matanya yang memejam, tetapi Off hanya jarang-jarang memotongnya.

‘Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu. Kupikir. Segala cara sudah kucoba untuk mengajak dia bicara, tapi tetap saja tidak ada yang berhasil.’ Gun mengangkat pundak, berusaha tampak kasual, tetapi kemudian menyadari tidak ada yang perlu dibohongi dalam situasi ini. ‘Aku berusaha berteriak di wajahnya. Aku berusaha mengguncang pundaknya. Dia tidak bisa mendengarku.’

Mulut Chimon terbuka, tetapi tidak ada suara. Pemuda itu berakhir sekadar termangu-mangu.

Dia masih sangat muda, pikir Gun. Mungkin masih kuliah, atau baru saja lulus. Pada usia itu, Gun sedang sibuk mengejar keseruan bersama teman-temannya.

Kunjungan Tay dan Punpun di hari sebelumnya kembali berkelebat dalam benaknya. Keheningan yang pekat oleh kata-kata tak terucap di dalam ruangan. Pelukan mereka yang penuh arti di punggung Off. Gun menarik napas dan memalingkan muka kepada Chimon.

‘Aku butuh bantuanmu.’

Pelan-pelan Chimon menurunkan tangan, sorot matanya yang membalas tatapan Gun dipenuhi ketidakyakinan.

“Dan itu adalah …?”

“Siapa kau?”

Mereka berdua serempak menoleh kepada pintu yang dibiarkan terbuka lebar oleh Chimon beberapa menit lalu. Off Jumpol berdiri di ambang pintu dengan mata menyipit.

“Ah.” Chimon sedikit gelagapan, jelas-jelas tidak menyangka akan tertangkap basah di siang bolong. “Maaf karena masuk tanpa izin. Aku …”

‘Kenalan Gun Atthaphan,’ sela Gun.

“Aku kenalan Gun Atthaphan,” lanjut Chimon, meski nadanya masih sedikit kebingungan. “Aku, ah, aku baru dengar kabar tentangnya dan memutuskan datang berkunjung.”

Mata Off tak lagi menyipit, tetapi keningnya masih berkerut. “Kenalan dari mana? Aku sudah bersama Gun selama hampir sepuluh tahun dan tidak pernah melihatmu sebelum ini.”

“Mm, dia seniorku semasa SMA,” Chimon mengusap-usap tengkuk. “Di kampung halaman dulu.”

Off berjalan mendekat dan meletakkan tasnya di atas nakas seperti biasa, tetapi alih-alih menyapa Gun, matanya tidak pernah meninggalkan Chimon.

“Kampung halaman?” Off memastikan perlahan-lahan. Nadanya rendah saja, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya.

Gun menggigit bibir. ‘Aku lahir dan besar di Bangkok.’

Chimon menggumamkan umpatan di bawah napas.

“Aku sudah sering memikirkan keamanan tempat ini yang patut dipertanyakan,” kata Off, mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mulai menekan-nekan papan tombol, terlihat hendak menghubungi seseorang. “Memang sudah waktunya aku mencari rumah sakit yang lebih baik.”

“Tidak, tunggu. Aku bersumpah bukan orang jahat,” sergah Chimon panik. “Aku hanya … mendengar suara Gun. Apa yang selama ini dia sampaikan … aku bisa mendengarnya.”

Gerakan ibu jari Off terhenti. Dengan kaku dia menatap Chimon. “Apa yang kau katakan?”

Chimon melambaikan tangan ke tempat Gun berdiri di ujung tempat tidur. “Gun. Arwahnya ada di sini. Dan dia punya sesuatu yang ingin disampaikan padamu.” Chimon menoleh cepat, memohon kepada Gun. “Ya, kan? Kau ingin aku menyampaikan sesuatu pada temanmu? Itu bantuan yang kau butuhkan dariku?”

Gun tergagap-gagap. ‘Tidak, jangan lakukan itu. Off tidak akan menyukai—’

Kepalan tangan Off menghantam tembok keras-keras. Jantung Gun seakan-akan jatuh menemukan sorot bengis dalam mata kekasihnya yang biasa dipenuhi kesedihan itu.

“Keluar. Sekarang.”

Chimon membuka mulut, tetapi hanya perlu satu sapuan mata dari Off untuk membuatnya segera mengatupkan mulut dan melengos. Langkahnya gegas meninggalkan ruangan, tidak mengizinkan Gun untuk mengejarnya.

Di belakangnya, Off perlahan-lahan runtuh ke kursi. Lelaki itu mengeluarkan suara tercekik yang samar, wajahnya dibenamkan di balik kedua telapak tangan.

Gun menyeret langkah dan duduk bersimpuh di lantai dekat dengan lutut Off. Satu bagian dari hatinya yang semula dia kira telah kebas terasa diremas menyaksikan tangan Off gemetaran dan napasnya berantakan. Bercak-bercak kemerahan mulai menyebar di buku-buku jarinya yang baru saja menonjok dinding.

“Sialan, sialan,” Off kesusahan bernapas. “Arwah? Berengsek. Apa yang sudah dia katakan …”

‘Maafkan aku,” bisik Gun. ‘Aku benar-benar minta maaf.’

Seakan-akan sudah muak mendengar permintaan maaf , Off lekas melompat berdiri dan mulai mondar-mandir dengan resah. Tersesat dalam emosinya sendiri. Tercekik oleh ketakutan yang tidak pernah disuarakan. Gun menyusulnya berdiri.

‘Dia tidak sedang mencoba meledek kondisiku,’ katanya pelan, meski dia tahu betul Off tidak akan dapat mendengarnya. ‘Dia sungguh-sungguh mencoba membantuku. Membantu kita berdua.’

“Pertama-tama Tay, kemudian anak ingusan itu.” Off menggigit ujung kuku telunjuk, seluruh tubuhnya masih gemetaran oleh emosi. Dia terlihat hanya sejengkal dari serangan panik. “Mereka tidak mengerti. Mereka sama sekali tidak mengerti.”

Gun mengerjapkan mata. ‘Apa yang sudah dikatakan Tay?’

Tetapi Off telah kembali ke kursi, duduk membungkuk ke depan dan menggenggam sebelah tangan Gun.

“Aku tahu kau akan segera bangun, Gun,” kata Off, mengecup punggung tangannya kemudian mengusap-usapnya dengan sayang. “Terlepas dari yang sudah mereka katakan, aku percaya kau masih di sini. Kau hanya tertidur sedikit terlalu lama. Kau tidak … kau bukan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Semua orang pernah melewatkan alarm mereka—itu wajar, sama sekali bukan hal yang aneh.”

Kendati samar, Gun tidak melewatkan bagaimana jemari Off meraba nadi di pergelangan tangannya.

“Aku mempercayaimu, Sayang,” bisik Off, tersenyum samar sembari mengusap rambut Gun dari wajahnya. “Aku percaya kau bisa mendengarku, dan kau sedang mencari jalan untuk kembali. Aku selalu di sini … jadi, jangan menyerah. Aku percaya kau akan menemukanku di sini.”

Setetes air mata Off jatuh ke ujung senyumnya.

“Kumohon kembalilah, Gun.”

Gun memalingkan muka, tak kuasa melihat Off menangis.

Chapter Text

Pintu lift terbuka dan, dari dalam, Off melangkah dengan tenang. Hari ini dia tampak memesona dalam balutan kemeja biru tua; rambutnya yang dipotong pendek menjadikan tulang pipi serta garis rahangnya semakin tegas. Kesenduan abadi di sorot matanya memberikan daya pikat yang misterius, seperti keindahan senja. Tidak mengherankan para perawat sejenak menjeda diskusi mereka sekadar untuk mengagumi kedatangan Off.

Tanpa suara Gun memandangi lelaki itu berjalan melewatinya dan berbelok ke kamar rawat inapnya. Lalu dia meluruskan tatapan ke depan. Bukan Off yang sedang ditunggunya hari ini.

Pintu lift terbuka lagi. Dengan cepat Gun menoleh, tetapi harapannya mengempis sama cepatnya kala mendapati seorang ibu menggandeng anaknya yang masih kecil berjalan keluar dari lift dan berbelok ke koridor lain.

Gun menundukkan kepala dan mengembuskan napas keras-keras. Chimon tak muncul juga. Meskipun sebenarnya dia amat memahami sentimen pemuda itu setelah dihadapkan dengan kemarahan Off, dia tetap kecewa. Hanya satu orang yang dapat menjembatani antara dia dan Off sekarang. Jika orang ini menghilang, Gun tidak tahu apa lagi yang harus dia lakukan, terutama dengan situasi mereka kini.

Off bersikap aneh belakangan. Pembicaraannya mengandung histeria samar, kepanikan yang hanya ditemukan pada orang-orang yang hampir putus asa. Gun khawatir lelaki itu akan hancur dalam waktu dekat. Dia tidak pernah tahu apa yang telah dikatakan Tay kepada Off, tetapi, menilai bagaimana teman lama mereka tidak juga kembali ke rumah sakit meski sudah berjanji akan membesuk satu kali lagi, Gun curiga Tay telah mencoba mengajak Off berdiskusi tentang betapa tanpa harapan situasi mereka sekarang.

Kedua telapak tangan Gun dibuka di atas pangkuan, dipandanginya lekat-lekat. Andaikan dia punya kuasa untuk melakukan sesuatu. Satu hal kecil saja.

“Oh …”

Gun mendongak, kemudian terbelalak. Lekas-lekas dia menghampiri pemuda yang berhenti melangkah di tengah-tengah koridor.

‘Chimon, akhirnya kau datang. Maafkan aku soal tempo hari.’

Sang pemilik nama memalingkan muka dan mulai berjalan tanpa menghiraukan Gun.

‘Tunggu,’ kata Gun. Dia ikut mempercepat langkah menyusul Chimon yang mengarah ke toilet. ‘Chimon, dengar. Aku benar-benar minta maaf tentang reaksi Off. Seharusnya aku memberitahumu terlebih dulu bahwa dia membenci segala tentang takhayul, tapi bukan berarti kau tidak bisa meyakinkannya. Jika kita bisa mengajaknya bicara baik-baik …’

Chimon mendorong pintu kamar mandi dengan kasar dan membungkuk di depan wastafel.

‘Chimon—’

Jemari Gun mencoba meraih pergelangan tangan Chimon, tetapi alih-alih menyentuhnya, ujung-ujung jarinya melesap ke dalam kulit pemuda itu. Gaya tak kasat mata menariknya ke arah Chimon, apa yang tersisa dari substansi tubuhnya terisap masuk—hingga akal sehat menendang dan Gun melompat mundur.

Chimon menatapnya dengan mata membulat. Wajah pucatnya membuatnya tampak ketakutan. “A-apa itu tadi?”

‘Aku tidak tahu,’ engah Gun, menggenggam tangannya sendiri yang kesemutan. ‘Kau baik-baik saja? Kau merasa sakit?’

“Tidak, tidak sakit. Tapi …” Chimon menggantungkan ujung kalimatnya. “Kau sengaja melakukannya?”

‘Tidak. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi.’

Terlepas dari ketakutan yang tersisa di wajah pucatnya, Chimon menarik napas panjang dan berusaha menatap Gun dengan mantap. “Dengar. Aku tidak ingin terlibat dalam situasi kalian lagi.”

Gun terdiam.

“Maafkan aku, semakin aku memikirkannya, semakin ini tidak masuk akal. Aku pun tidak percaya pada takhayul, tapi di sinilah kau berada, mengikutiku... menghantuiku. Kata ayahku, hanya kesialan yang menimpa jika aku terus dekat-dekat dengan makhluk sepertimu.”

Penjelasan Chimon masuk akal, tapi Gun tidak bisa mencegah datangnya frustrasi. Dia hanya satu langkah untuk bisa mengakhiri penderitaan mereka berdua. ‘Satu kali lagi,’ katanya. ‘Kumohon, satu kali saja. Aku sudah terjebak dalam situasi ini selama dua tahun. Aku hanya butuh sebuah jalan keluar.’

“Rencanamu hanya mengajak temanmu berbicara, bukan begitu? Bagaimana kau tahu itu akan menjadi jalan keluar?”

‘Karena’—Gun menarik napas, mengingat senyum lembut Off, genggaman tangan hangat lelaki itu, bisikan suaranya yang membuai—’Karena penantian akan selalu berakhir. Dan bisa jadi kaulah yang selama ini kunantikan.’

Mata besar Chimon diarahkan kepada milik Gun. Baru sekarang dia menyadari kemiripan di antara mereka.

‘Aku dan dia membutuhkan bab penutup,’ lanjut Gun sungguh-sungguh. ‘Apa pun itu. Dan kami berdua tidak bisa membuka halaman yang sama tanpa bantuanmu.’

Gun dapat melihat ketakutan melintasi wajah Chimon—tetapi kemudian pemuda itu kembali menggeleng. “Tidak, aku tetap tidak bisa membantu kalian. Maafkan aku.”

Chimon memutar tumit, tepat ketika pintu kamar mandi dibuka oleh sepasang pria yang berjalan masuk. Dia sedikit menyingkir memberi jalan kepada kedua orang itu di selasar yang sempit.

“Seperti di film-film,” salah satu pria itu sekonyong-konyong berbicara saat melewati Chimon.

“Ya, ini pertama kali aku melihat henti jantung sungguhan,” sahut yang lain. “Maksudku, berapa kemungkinan laki-laki itu masih hidup? Dan kulihat dia masih lumayan muda.”

Darah Gun membeku. Dia menyentakkan kepala kepada Chimon yang sedang membuka pintu. ‘Chimon—itu aku.’

Pemuda itu menoleh dengan kening berkerut. “Apa?”

Langkah Gun, pertama-tama, goyah. Akan tetapi, wajah Off kemudian melintas di benaknya dan seluruh tubuhnya seakan-akan dipicu; dia setengah mendorong Chimon yang masih berdiri membuka pintu dan mulai berlari sekencang-kencangnya. Jantungnya yang seharusnya tidak lagi berdetak terasa berdentam-dentam di dalam dada sementara dia berderap melewati pintu-pintu ruang rawat.

Nurse station sudah terlihat—dan tak jauh di sampingnya, pintu kamarnya terbuka lebar. Beberapa perawat berlalu lalang bagai bayangan merah muda dan hijau, membawa kantong obat dan jarum suntik, menyerukan petunjuk dan informasi. Gun dapat melihat punggung seorang dokter membungkuk di atas ranjang, tegang dan dikejar waktu.

Tubuhnya, yang lemah dan tak berdaya, melonjak setiap kali defribilator ditekan ke dadanya. Jatuh kembali seperti boneka kain. Seperti mayat.

Gun menelan ludah dan menyapukan pandangan ke samping. Salah satu arus kejut itu pasti mencapai jantungnya, meremas dadanya menemukan Off berjongkok di tepi koridor. Memeluk kedua lengan erat-erat seperti anak kecil yang tersesat. Gemetaran dan tertinggalkan.

Lelaki itu tidak pernah menunjukkan ketakutan di depan orang lain. Bahkan tidak di depan Gun yang sedang terlelap. Dan kini dia meringkuk di hadapan begitu banyak orang, menyembunyikan keberadaannya dari mimpi buruk yang sedang membayang.

“Gun, apa yang—” Chimon akhirnya menyusul, terengah-engah dan kebingungan. Akan tetapi, dia segera mendapatkan jawaban yang dicarinya ketika menoleh ke arah pintu yang terbuka. Kedua tangannya terangkat menutupi mulut. “Astaga …”

Keriuhan itu menjadi sayup-sayup saja bagi Gun. Perlahan-lahan dia bersimpuh di samping Off, kemudian menyandarkan kepala di pundak kekasihnya yang berguncang. Andai saja dia dapat memberi satu sentuhan terakhir. Satu kalimat terakhir.

Dia memejam. Semua ini terlalu kejam buat mereka berdua.

Elektrokardiogram yang dipasang di samping ranjang Gun berangsur-angsur berhenti memekik. Dokter terhuyung mundur, semua orang di ruangan menahan napas, hingga akhirnya terdengar ritme jantung yang stabil.

Chimon menoleh dengan penuh sukacita kepada Gun, tetapi Gun bahkan tidak bisa berpura-pura ikut tersenyum. Dia kembali lagi dalam kotak pertama di siklus tak terhentikan ini.

“Pak Jumpol?” Dokter itu menghampiri mereka. “Kondisi Pak Atthaphan sudah stabil. Sudah tidak apa-apa. Tapi ada beberapa yang perlu saya sampaikan …”

Off masih menunduk. Bergeming seakan-akan seisi dunia belum selesai mengimpitnya.

Gun bahkan belum mengatakan apa-apa saat Chimon membungkuk di sebelahnya, dengan lembut menepuk-nepuk pundak Off. “Gun sudah tidak apa-apa,” katanya, lalu membimbing Off berdiri dengan memegangi lengannya. “Lihat? Dia baik-baik saja. Dan, sekarang Pak Dokter perlu bicara padamu.”

Sorot mata Off linglung diarahkan kepada Chimon. Lalu dia membeku. “Gun, kau …?”

“Ya, dia baik-baik saja.” Chimon tersenyum kebingungan.

“Ah, maaf.” Off memejam rapat, menekan pangkal kelopak matanya dengan ibu jari dan telunjuk. Satu tarikan napas kemudian, dia menegakkan badan dan mengalihkan perhatiannya kepada dokter yang masih menunggu. “Jadi, bagaimana?”

Gun, sedari tadi berdiri di belakang Chimon, hanya bisa menggigit bibir.

Dokter itu menjelaskan mereka perlu melakukan sejumlah pemeriksaan lanjutan pada Gun untuk memastikan kondisinya baik-baik saja, dan Off mendengarkan sambil mengangguk sesekali. Pembicaraan teknis dilakukannya dengan tenang dan berkepala dingin, seakan-akan bukan dia yang baru saja mengalami disosiasi. Dia telah kembali menjadi Off Jumpol yang dikenal semua orang.

Mereka telah memasang beberapa alat untuk memonitor kondisi Gun. Wajahnya tertutup masker oksigen, dadanya dipenuhi kabel, dan obat-obatan dimasukkan lewat selang infus yang menancap di bagian dalam lengannya. Pemandangan itu mengingatkan Gun kepada hari-hari pertamanya setelah kecelakaan.

Dan Off juga pasti memikirkan hal yang sama.

Tanpa mengatakan apa pun Off melesak di kursi. Air matanya telah kering, meninggalkan sepasang jejak kelabu di pipinya. Jika pun sempat tersisa sinar-sinar harapan di sepasang iris matanya, kini hanya ada kegelapan muram. Dia tidak meraih tangan Gun; kedua miliknya terkepal di atas pangkuan, terlalu takut untuk mengusik lapisan es tipis tempat mereka berdua terombang-ambing.

Dua tahun lalu, Off tidak pernah meninggalkan ICU. Kerah kemejanya sampai menghitam oleh keringat dan wajahnya gelap akibat janggut yang tidak dipangkas. Matanya merah dan nyalang, nyaris tidak berkedip menatap Gun yang tertutup oleh perban dan masker oksigen. Seorang perawat secara harfiah harus menyeretnya keluar, wanita itu dengan lembut namun tegas memintanya pulang dan memperhatikan kesehatannya sendiri.

Ketika itu Gun marah kepada Off yang bersikap lemah. Off tidak semestinya terus-menerus membisikkan maaf, seakan-akan kecelakaan itu adalah kesalahannya. Tidak, lelaki itu bahkan tidak berada di lokasi saat sebuah truk kontainer menghantam sisi mobil Gun dan membuatnya terlontar ke aspal. Mereka tidak sedang bertengkar, mereka tidak terlibat dalam selisih paham. Tidak ada yang perlu disesalkan hingga dimintakan ampun; semuanya berlangsung sempurna bagi mereka ketika itu.

Begitu sempurna, faktanya, hanya di malam sebelumnya Off berlutut di atas satu kaki dan menyematkan cincin di jari manis Gun.

Kini Gun sekadar memandang Off yang menunduk lemah. Dia tidak bisa merasa marah. Sama seperti Off yang telah menunjukkan kalah.

Tidak, mungkin Gun yang telah merasa kalah dengan situasi mereka.

“Kau tidak ikut?”

Gun menemukan Chimon masih duduk di kursi tunggu koridor ketika sejumlah perawat datang untuk memindah Gun ke brankar dan mendorongnya ke tempat pemeriksaan, Off tidak pernah berjalan terlalu jauh dari raganya. Dia tersenyum tipis dan duduk di sebelah Chimon.

‘Aku perlu ruang menjauh darinya setelah kejadian tadi.’

Chimon memainkan tali parka yang dikenakannya. “Apakah … yang barusan sering terjadi? Maksudku, kau tiba-tiba henti jantung.”

‘Tidak, ini pertama kalinya.’ Gun mengusap wajah dengan dua tangan, menghela napas panjang di dalam kegelapan. ‘Kau tahu ….’

“Ya?”

Selama beberapa saat Gun mempertimbangkan kembali kata-kata yang sudah ada di ujung lidahnya. Pada akhirnya, dia menjatuhkan tangan dan menatap Chimon.

‘Aku sempat berharap mereka tidak menyelamatkanku.’ Getir dia tersenyum. ‘Meski singkat, aku benar-benar berdoa agar mereka gagal. Agar aku bisa mati dan memberikan jalan keluar yang amat kami butuhkan.’

Pupil mata Chimon berguncang. “Apa yang kau bicarakan?” Dia tergagap-gagap. “Seharusnya kau bersyukur masih diberi kesempatan kedua! Bagaimana mungkin kematian menjadi jalan keluar?”

‘Kesempatan apa yang kumiliki, Chimon? Untuk kembali berbaring dan membuat orang yang kucintai menunggu tanpa kepastian?’

Pertanyaannya tidak dibalas oleh Chimon, jadi Gun beranjak dari kursi dan melangkah ke depan pintu kamarnya, memandangi seisi ruangan yang telah menjadi rumahnya selama dua tahun terakhir. Aneh rasanya untuk melihat dia tidak berbaring di atas ranjang, pusat dari kehidupan mereka berdua di dalam sini, meski kehidupan yang ditawarkannya tak lebih dari kedip lemah.

‘Aku bisa membiasakan diri dengan pemandangan ini. Tanpa aku di dalamnya,’ kata Gun, tersenyum tipis. ‘Aku selalu merasa bersalah sudah menempati satu kamar dan menerima perawatan di rumah sakit, ketika ada banyak sekali orang yang lebih membutuhkannya. Toh tidak ada yang bisa mereka lakukan padaku.’

Chimon menyusul Gun untuk berdiri di sampingnya. Jika pun tidak mengerti apa yang dinikmati Gun dari pemandangan tersebut, dia tetap merenung selama beberapa detik, sebelum menoleh.

“Apakah memang itu yang kau inginkan?”

‘Apa?’

“Aku percaya tidak satu pun terjadi di dunia ini tanpa alasan,” kata Chimon, keseriusan telah memenuhi matanya yang jernih. “Kalau kau masih bisa bernapas selama dua tahun, aku yakin ada alasan di balik itu. Kau pasti bertahan karena suatu alasan.”

Kedua ujung bibir Gun terangkat dengan sendirinya. Terberkatilah hati Chimon yang naif dan polos.

‘Satu-satunya alasan yang bisa kupikirkan adalah Semesta ingin menghukum kami. Mungkin inilah apa yang orang tua kami sebut sebagai kesalahan.’

“Aku tidak mengerti,” kata Chimon lamat-lamat.

‘Kau pasti sudah mengetahuinya,’ kata Gun. ‘Aku dan Off berpacaran. Teman-teman kami memang bisa menerima, tapi ada lebih banyak orang yang mengutuk hubungan kami. Kadang aku berpikir mungkin inilah hasil dari kutukan itu.’

Chimon mengerutkan kening. “Kau benar-benar berpikir begitu?”

Tentu saja tidak, tetapi lebih mudah mengarahkan kesalahan kepada gajah dalam ruangan ketimbang apa-apa yang masih menjadi tanya. Dua tahun berkelana di luar raga tidak lantas membuat Gun tahu segala.

‘Atau mungkin aku hanya pantas mendapatkan ini,’ gumam Gun. ‘Bagaimanapun juga, aku telah melalui kehidupan yang amat bahagia bersama Off. Aku bahkan dengan jemawa berpikir aku telah menemukan akhir bahagia buat kami. Tapi Takdir selalu senang bermain-main dengan manusia, bukan begitu? Untuk membiarkan kau mencicipi kebahagiaan dan mendadak mencabutnya kembali. Untuk mempertemukanmu dengan orang yang kau cintai, kemudian memaksa kalian saling berpaling ...’

Tenggorokan Gun tercekat, tak kuasa melanjutkan. Dia memalingkan muka ke arah koridor. Ini bukan sesuatu yang sekali-dua kali dia pikirkan dalam keheningan; tidak semestinya dia dilanda emosi hanya karena membiarkan orang lain mendengar isi hatinya.

‘Tapi, kau benar. Mungkin saja berbicara dengan Off untuk melepaskanku bukanlah jalan keluar,’ pada akhirnya dia berucap, memaksakan diri tertawa. ‘Tidak apa-apa jika kau keberatan membantu. Bagaimanapun, itu bukan tugas yang mudah.’

Chimon masih bergeming sementara Gun melangkah masuk ke kamarnya dan duduk di ranjang yang kosong. Dia tersenyum tipis menemukan gundah mewarnai wajah pemuda itu.

‘Bagaimana kabar temanmu yang dirawat di sini? Kuharap dia tidak marah karena kau menghabiskan lebih banyak waktu bersama orang yang koma di kamar sebelah.’

Mata Chimon berkilat-kilat kala akhirnya dipertemukan dengan milik Gun. Dia mengayunkan kakinya dan berjalan mantap menghampirinya.

“Bisakah kau menyentuhku lagi?”

Gun mengerjap, senyumnya lenyap. ‘Untuk apa?’

“Seperti yang kau lakukan di toilet tadi. Sentuh aku.”

Sensasi itu berkelebat kembali di ujung-ujung jari Gun. Dia harus mengepalkan tangannya di tepi ranjang untuk mengenyahkan sisa ketidaknyamanan. ‘Untuk apa? Kau juga merasakan—’

Chimon menyambar sebelah tangan Gun dan meletakkannya di pundaknya sendiri.

Apa yang terjadi selanjutnya begitu cepat, Gun hampir tidak dapat menangkap perubahan di sekelilingnya. Detik berikutnya yang dia ketahui, dia telah membungkuk, mencoba menarik napas untuk dadanya yang sesak, mengerjap-ngerjapkan kegelapan yang sejenak melingkupi.

Lalu dia dapat merasakannya. Selusur dari tepi ranjang yang sedang dicengkeramnya. Dingin dan solid di bawah telapak tangan.

‘Ah.’ Suara Chimon bergema dalam kepalanya. ‘Jadi, memang benar ini yang terjadi.’

“Tunggu, apa?” Gun cepat-cepat membekap mulutnya sendiri; itu, pula, adalah suara Chimon. Meluncur goyah dalam kamar yang kosong ini.

‘Aku merasakan hal yang persis sama di kamar mandi tadi. Kau mengambil alih tubuhku.’

“Tidak, tunggu. Aku tidak ingin melakukan ini padamu.” Gun meraba dada dan lehernya, mencoba mencari cara agar berpisah dari tubuh Chimon.

‘Tapi kita sudah di sini! Kenapa kau tidak berbicara kepada Off?’

Gun tertegun. “Bukankah kau tidak mau membantuku?”

‘Itu …’ Chimon terdiam, menimbang-nimbang. ‘Aku akan memberitahumu setelah kita berhasil mengajak Off berbicara.’

Chimon memaksanya agar melangkah keluar, maka itulah yang dilakukan Gun. Kedua kakinya terasa goyah di atas ubin, tangannya terkatung canggung. Sudah lama sekali sejak dia sungguh-sungguh menggerakkan raga; beban yang harus dia kendalikan, napas yang harus dia ambil. Gun berusaha menyingkirkan gigitan rindu yang menghampirinya.

Tubuh ini bukan miliknya.

Mereka berbelok di depan nurse station untuk mengarah ke lift.

“Pasien kamar 9.” Suara sayup-sayup seorang perawat menarik perhatian Gun. “Kudengar kondisinya tiba-tiba drop dan harus dimasukkan ICU.”

“Sungguh? Setelah yang terjadi tadi?”

“Ya, baru saja aku mendapat telepon.” Wanita itu menghela napas pelan. “Ini tidak akan bagus untuknya. Anak malang.”

Mata Gun mengarah cepat ke pintu logam lift, dan dia segera menemukan milik Chimon yang juga menatapnya ngeri.

Chapter Text

Tidak ada yang bisa berlama-lama menunggu di dalam ruang ICU, maka Gun menemukan Off sekali lagi terduduk di kursi tunggu koridor. Mengatupkan kedua tangan di depan wajah yang ditundukkan seperti sedang berdoa.

Chimon berdiri dengan ragu di ujung koridor, terlihat ingin balik badan, tetapi Gun mengangguk memberinya semangat dan akhirnya pemuda itu menyeret langkahnya menghampiri Off.

“Um,” kata Chimon seraya menyodorkan secangkir teh panas. “Anda pasti belum makan apa-apa sejak siang.”

Selama beberapa saat Off tampak tersesat dan disorientasi. Hanya setelah mengerjapkan mata dia menerima teh itu dari sebelah tangan Chimon. “Bagaimana kau tahu aku di sini?”

Nyaris seperti meminta Gun untuk menjawab, Chimon segera melemparkan tatapan padanya. Akan tetapi, akhirnya dia pula yang menjelaskan, “Aku dengar dari perawat kondisi Gun memburuk dan harus dipindah ke ICU.” Dia meringis kecil. “Aku ikut menyesal.”

Off memanjangkan jari-jemarinya ke seputar cangkir tanpa keinginan minum. Bibirnya pecah-pecah, sebagian karena dia luput menuntaskan dahaga, tapi sebagian besar karena terlalu sering digigit.

Gun membenci betapa kacau Off terlihat saat ini. Mengingatkannya pada hari-hari pertama setelah takdir mereka dijungkirbalikkan. Selama dua tahun, Off telah berhasil mengumpulkan puing-puing untuk menjadi setidak-tidaknya cangkang dari dirinya yang dulu, tapi sekarang semua ini runtuh tak bersisa.

Dia tidak berharap Off akan menari gembira di atas makamnya, tetapi memperpanjang derita lelaki itu karena dia semakin tersudut ke ambang kematian terasa benar-benar memfrustrasikan.

“Ini tidak pernah terjadi sebelumnya,” gumam Off getir. “Meski belum pernah sadarkan diri, kondisinya amat baik-baik saja tanpa membutuhkan alat penunjang hidup … dan sekarang mereka berkata ada kemungkinan organ-organnya mulai berhenti bekerja.”

Chimon membekap mulut dengan kedua tangan. Off meliriknya sejenak, kemudian, seakan-akan baru sadar dengan siapa dia telah berbicara, segera menegakkan badan.

“Terima kasih untuk teh ini,” katanya datar, menyeruput teh sebagai penegasan, sekaligus sebagai penandas bahwa pembicaraan mereka telah selesai.

‘Ini pasti karena aku masuk ke tubuhmu,’ Gun mengisi keheningan yang menjelang di antara mereka bertiga. ‘Aku tidak tahu bagaimana, tetapi itu pasti telah mengusik keseimbangan yang sudah ada. Mungkin sebaiknya kita tidak melakukan itu lagi. Aku tidak ingin membuat Off semakin khawatir. Sudah cukup kita—’

“Lalu kau akan membiarkan situasi ini berlangsung terus?”

Gun berjengit mendengar suara keras Chimon. Off juga menoleh dengan kening berkerut, tetapi Chimon hanya menatap Gun lurus-lurus. Wajahnya memerah oleh emosi.

“Kau sendiri yang bilang bahwa semua penantian akan menemukan akhir, dan aku adalah akhir yang kau tunggu. Kenapa kau tidak menggunakanku saja?”

‘Chimon, sst,’ kata Gun gelisah. Off tidak bisa melihat kepada siapa Chimon berbicara. Kalaupun Off tidak mengenali Chimon dari kejadian tempo hari—yang mana, nyaris mustahil jika mengingat betapa marah dia dibuatnya—sekarang lelaki itu akan menganggap Chimon gila.

“Kau ingin hidup, Gun,” Chimon masih berteriak. “Aku tahu itu. Kau tidak mau mengakuinya, tapi kau bertahan sejauh ini karena kau ingin hidup.”

Gun terbelalak. ‘Hidup? Dalam kondisi seperti ini? Aku lebih familier terhadap kematian daripada kehidupan!’

“Apa,” suara bariton Off menyela mereka berdua, “yang sedang kau lakukan?”

Chimon melompat berdiri dan menudingkan telunjuk kepada Off. “Dan kau, kenapa kau selalu bersedih? Kenapa kau tidak pernah membuat pacarmu merasa lebih baik?”

‘Chimon!’ bentak Gun. ‘Hentikan, kau hanya membuat dirimu terlihat buruk di depan Off.’ Chimon masih menatapnya nyalang, jadi Gun lebih tahu untuk berusaha menurunkan suaranya. ‘Aku minta maaf sudah membuatmu terlibat dalam situasi kami. Jika kau memang lelah, tidak apa-apa, beristirahatlah. Kau pasti terguncang karena telah menyaksikan kejadian traumatis.’

Mulut Chimon terbuka cepat, hendak menanggapi, tetapi Off telah terlebih dulu beranjak berdiri dengan mata menyipit. “Kau anak yang tempo hari, kan?”

Chimon mematung.

“Kesalahan apa yang sudah kuperbuat padamu?” tanya Off, kemarahan dalam suaranya justru terdengar seperti getir kekalahan. “Kenapa kau selalu, selalu, muncul ketika aku berada di titik paling bawah dan menertawaiku?”

Seketika Chimon mendongak. “Menertawaimu?”

“Kau tahu aku sedang menunggui tunanganku yang koma.” Mata Off gelap, sebuah jurang tanpa dasar. “Aku tahu kau tahu soal ini karena, jika tidak, mustahil kau menyebut-nyebut soal arwah. Apakah aku pernah melukai perasaanmu sebelum ini, hingga kau merasa itu pantas dijadikan lelucon?”

“Aku tidak pernah berpikir begitu!” seru Chimon. “Aku bersumpah hanya mencoba membantu kalian. Gun memanggilku karena dia ingin tetap hidup—itulah yang kudengar saat dia merasuki tubuhku.”

Gun terperangah, tetapi Chimon tidak lagi menatapnya. Dadanya naik-turun oleh emosi yang tumpah ruah ke seluruh koridor, kecuali kepada Off yang masih berdiri kaku. Raut wajahnya sekeras batu sementara Chimon terus berbicara.

“Gun—dia—aku mendengar suaranya, keras dan jelas. Dialah orang yang paling ingin membuka matanya di antara kita bertiga. Dia ingin mendapatkan kembali suaranya untuk berbicara padamu karena cerita kalian belum selesai.”

“Omong kosong.”

Darah Gun membeku mendengar nada dingin itu dihunus dari bibir Off. Lelaki itu berdiri menjulang di hadapan Chimon, kegelapan di matanya terlihat hampir menelan lelaki yang lebih muda di dalamnya.

“Jika kau memang bisa berkomunikasi dengan Gun, tanyakan padanya. Apakah perhatian yang selama ini kuberikan tidak cukup, sampai-sampai dia harus melakukan semua ini? Seberapa jauh lagi dia harus merepotkanku dengan kondisinya?”

Gun mundur selangkah, tetapi bagian belakang lututnya membentur tepi bangku dan dia berakhir jatuh terduduk. Ini bukan Off yang dia kenal. Tidak pernah satu kali pun Off berbicara dengan penuh kebencian kepadanya. Tidak seperti ini. Lelaki itu selalu menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata lembut, menatapnya penuh cinta.

“Kau benar-benar jahat, kau tahu,” desis Chimon gemetaran. “Itu kekasihmu dan—”

“Jahat? Aku jahat karena menungguinya tanpa kepastian selama dua tahun? Setiap hari, setiap malam, aku dibuat ketakutan kapan napasnya benar-benar berhenti. Dia berada di sampingku, tapi dia bisa meninggalkanku kapan saja, tanpa alasan dan tanpa kalimat perpisahan. Setiap detik aku menantikan keajaiban, setiap detik pula aku dihantam kekecewaan.”

Setetes air mata jatuh di pipi Off. Napasnya berguncang samar.

“Dan kau tahu apa yang terburuk? Aku tidak bisa membawa diriku menyerah, sekalipun aku sudah luar biasa lelah. Karena satu kali lagi saja menatap wajahnya dan aku tahu.” Off menarik napas panjang dan memejamkan mata. “Aku tahu aku terlalu mencintainya untuk berpisah darinya.”

Gun semakin membungkuk sambil menutup kedua telinga rapat-rapat. Inilah ketakutan terbesarnya. Off yang sengaja menyembunyikan perasaannya sendirian, tidak peduli meski semua perasaan itu akan berakhir mengunyahnya dari dalam. Off yang tahu bahwa ada pilihan untuk menyerah, tetapi tidak pernah melakukannya.

Semua ini adalah kesalahannya.

 


 

‘Awalnya Off tidak menyukai laki-laki, kau tahu.’

Chimon menoleh dari pemandangan lalu lintas dua belas lantai di bawah mereka, untaian merah dan putih yang cemerlang disepuh senja. Meski menyadari tatapan penuh tanya di pelipisnya, Gun tetap menunduk memandang kedua tangannya yang dikepalkan di pagar pengaman.

‘Atau mungkin dia selalu biseksual, tapi tidak menyadari itu sampai bertemu denganku,’ lanjut Gun lirih. ‘Apa pun itu, akulah yang pertama kali mencoba mendekatinya, berpura-pura itu hanya lelucon antar teman. Aku sengaja mengaburkan batas yang seharusnya memisahkan kami agar dapat sedikit saja lebih dekat dengannya.’

Perlahan Gun mengusap pangkal jari manis kirinya. Suatu waktu dulu, sebuah cincin melingkar cantik di sana. Akhir bahagia yang dia idamkan, meski hanya dia dapatkan selama kurang dari dua puluh empat jam.

“Menurutmu dia sungguh-sungguh mencintaimu?”

Gun membalas tatapan Chimon, kemudian tersenyum. ‘Tentu saja. Jika tidak, mustahil dia dengan sabar mengunjungiku setiap hari.’

“Lalu kenapa kau menyebut ini sebagai kesalahan?” tanya Chimon serius. Dia terlihat seperti sudah melewati beberapa tahun hanya dalam beberapa jam terakhir. Matanya yang biasa cerah kini redup sebagaimana langit di atas mereka dan Gun tidak bisa mencegah dirinya dari berpikir bahwa ini pun merupakan kesalahannya.

‘Aku punya pilihan untuk tidak melakukan apa yang sudah kulakukan. Andai saja aku tidak memaksakan diriku padanya, dia tidak akan ada di sini. Mungkin dia sudah menikahi seorang wanita dan punya anak. Hidup bahagia dengan cara paling sederhana.’ Gun mengulurkan tangan, tetapi tahu lebih baik daripada mencoba menepuk puncak kepala Chimon. ‘Kau pun sama. Jika tidak bertemu denganku, kau tidak mungkin terjebak bersamaku di sini. Memang benar semestinya kau tidak bisa membantuku.’

Chimon tidak mungkin melewatkan tangan Gun yang kembali terkepal itu; dia menghela napas dan menyandarkan kepalanya di pundak lelaki yang lebih tua. “Melihat orang-orang yang seharusnya sudah dewasa tidak bisa berkomunikasi dengan baik membuatku kesal. Mustahil aku berhenti begitu saja.” Pemuda itu mengerling ke atas, merasai tegangnya pundak Gun. “Tidak apa-apa jika aku yang menyentuhmu, bukan begitu? Kau tidak akan secara tidak sengaja merasukiku.”

‘Kupikir demikian,’ kata Gun, tidak bisa mencegah lolosnya tawa pahit. ‘Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi lagi.’

“Kau benar-benar takut mati?”

‘Tidak. Aku takut membuat Off lebih terguncang daripada ini.’

“Kau berutang satu atau dua tamparan di pipi kepadanya.” Chimon menggeliat, menyamankan posisinya. “Ketika kau bangun nanti, aku akan dengan senang hati mengingatkanmu. Laki-laki pecundang, mengucapkan hal-hal yang dia tahu tidak dia maknai. Dia kira aku bakal ketakutan jika mendengarnya.”

‘Dia memaknainya.’

Chimon cemberut. “Mustahil. Aku tahu dia bohong.”

Bukan Chimon yang telah bersama-sama Off selama sepuluh tahun; bukan dia yang mengenal nada getir yang berusaha disembunyikan itu sebagai kejujuran. Akan tetapi, Gun tidak akan menyeret Chimon dalam keputusasaan yang telah menjadi bagian dari eksistensinya. Tidak setelah semua upaya yang telah dilakukan pemuda itu untuk membuat perasaannya lebih baik.

‘‘Ketika’ aku bangun,’ gumam Gun, mengalihkan pandangan ke jalan raya di bawah. ‘Dan bukan ‘jika’, huh?’

“Ya. Kau ingin hidup.”

Gun tersenyum. ‘Kau amat yakin soal itu.’

“Tentu saja aku yakin,” kata Chimon seraya kembali menegakkan badan dan menatap Gun lekat-lekat. “Aku tidak tahu apa yang kau rasakan saat berada di tubuhku, tetapi ketika kau masuk, aku bisa mendengar isi pikiranmu.”

‘Kukira kau hanya membual soal itu di depan Off,’ kata Gun, menyebabkan Chimon membelalakkan mata.

“Tidak! Meski tidak mendengar suaramu secara spesifik, aku tahu pikiran-pikiran itu bukan milikku.”

‘Apa yang kupikirkan, kalau begitu?’

Seberkas ragu melewati mata Chimon. Dia lekas menutupinya dengan kedikan bahu. “Segala tentang ingin bertahan hidup. Karena kau tahu kau punya pacar pecundang yang tidak bisa hidup tanpamu.”

Gun tertawa. ‘Kau yakin itu bukan pikiranmu sendiri? Off adalah banyak hal, tapi jelas-jelas bukan pecundang bagiku.’

“Tentu saja kau bicara begitu,” cibir Chimon, lalu tersenyum ketika Gun tertawa lebih keras. Dia kembali menyandarkan kepalanya di pundak Gun. “Pokoknya ketika kau bangun nanti, aku akan meminta kompensasi untuk semua kerepotan yang sudah kau berikan padaku. Kuperingatkan mulai sekarang, itu tidak sedikit.”

‘Sebesar apa?’

Sekali lagi Chimon mengangkat bahu. “Ducati? Aku selalu ingin punya sepeda motor keren.”

‘Tampaknya kau punya miskonsepsi soal penghasilan pegawai kantoran.’ Gun terkekeh, kemudian menghela napas. ‘Terima kasih, Chimon.’

Chimon mengerutkan kening. “Untuk apa?”

‘Hanya … mendengarkanku. Selama dua tahun terakhir, aku memaksa diriku terbiasa untuk tidak didengarkan. Tidak peduli apa yang kurasakan, aku harus menanganinya sendirian. Dan itu berat ketika kau bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi dalam hidupmu—apakah kau masih hidup.’ Gun menanti hingga Chimon menegakkan kepala untuk mempertemukan mata mereka. ‘Apa yang dikatakan Off tadi amat menyakitiku, tapi aku merasa lebih baik karena ada kau menemaniku di sini.’

Sebuah helikopter terbang di atas mereka, terdengar samar-samar saja seperti degup jantung. Gun menengadah ke langit yang makin pekat oleh turunnya malam. Matanya memanas mengingat sepasang mata gelap Off, luka dan mimpi buruk di baliknya.

‘Kuharap seseorang juga bisa menemani Off. Dia punya kecenderungan untuk mendorong orang-orang di sekitarnya manakala merasa sedih. Karena itulah dia selalu sendirian. Sikapnya yang dingin itu hanya caranya untuk melindungi diri.’

“Kau pun amat mencintainya, huh?”

Gun tersenyum. ‘Lebih dari yang ingin kuakui.’

Helikopter itu menghilang di balik awan tipis. Keheningan yang ditinggalkannya memberikan ruang bagi Chimon untuk berbisik, “Andai saja kakakku punya seseorang seperti salah satu di antara kalian.”

Gun menoleh, tetapi Chimon telah membalikkan badan dan berganti menyandarkan punggungnya di pagar. Malam menyentuh matanya dalam kemuraman yang telah familier bagi Gun.

“Kakakku mengakhiri hidupnya sendiri setahun lalu,” kata Chimon, keras-keras, dengan cara seorang anak kecil berusaha mengusir ketakutan akan gelap. “Dia melakukannya setelah dikhianati oleh pacarnya. Aku tidak tahu detail hubungan mereka—dia selalu tersenyum pada kami dan berkata semua baik-baik saja—tapi aku tahu kakakku tidak mungkin melakukan itu tanpa luka yang diam-diam dia tanggung sendirian.

“Dan perasaan itu amat mengerikan, kau tahu? Waktu yang kuhabiskan untuk bersikap tidak peduli ketika seharusnya aku bisa memeluknya dan berkata dia tak tergantikan …” Chimon mendengus kecil sambil mengusap wajahnya. “Kalau aku bukan idiot terbesar, mungkin dia masih ada di sini sekarang.”

‘Chimon, aku benar-benar menyesal—’

“Jangan,” potong Chimon kasar, tetapi kemudian tertawa kecil. “Maaf. Aku hanya tidak pantas mendapatkan kata-kata baik. Bukan aku yang terluka dan harus menanggungnya sendirian selama entah berapa lama.”

‘Tapi kau tetap pantas mendapatkan sebuah pelukan, kan?’ Gun tersenyum seraya membuka kedua lengannya. ‘Semua orang pantas mendapatkan satu atau dua pelukan setiap hari terlepas dari apa yang sudah mereka lakukan.’

Chimon tampak berkonflik selama beberapa saat, sampai akhirnya sisi dirinya yang dikenal Gun menang. Dengan bibir terkatup rapat menahan emosi dan mata berkaca-kaca, tanpa suara Chimon menghampiri Gun kemudian memeluknya erat-erat.

‘Kau anak yang baik, Chimon.’

“Itu tidak benar,” gumam Chimon.

‘Percayalah. Kau anak yang begitu baik, sampai-sampai aku berharap punya seorang adik sepertimu.’ Gun tersenyum merasakan Chimon semakin membenamkan wajah di pundaknya. ‘Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku yakin alasan kakakmu tidak pernah menunjukkan luka bukan karena kau tidak peduli padanya, melainkan karena kau adiknya yang tak tergantikan, dan dia tidak ingin membuatmu khawatir.’

“… itu tidak benar.”

‘Kau bayi besar, bukan begitu?’ kekeh Gun, sementara Chimon memundurkan badan sambil menggosok-gosok matanya. ‘Kau tahu, aku tidak akan kecewa jika kau meminta berhenti di sini, Chimon. Apabila memang tidak ada jalan keluar bagiku melalui bantuanmu, aku tidak menyesal. Setidaknya aku sudah diberi kesempatan untuk mengobrol denganmu.’

Chimon lekas menggeleng, matanya kembali berkilat-kilat. “Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Tidak peduli berapa kali aku harus mencoba, aku akan membantumu kembali bangun.”

Sukar untuk menyangkal bahwa keberadaan Chimon merupakan satu hal terbaik yang didapatkan Gun dari semua kekacauan ini. Pemuda itu, dengan kebaikan hati dan kepolosannya, terasa seperti embusan angin segar bagi Gun yang terlalu lama dikungkung keputusasaan.

Dan untuk pertama kalinya setelah dua tahun, Gun merasakan harapan untuk masa depan.

 


 

Seorang dokter berjalan keluar dari ICU, sekilas saja melirik Off yang masih duduk di kursi tunggu. Tatapannya yang nyaris mengasihani membuat Off meraih ponsel dari saku celana, sekadar untuk mencari tahu telah berapa lama dia duduk di tempat yang sama, tetapi ponselnya tidak bisa menyala. Pasti kehabisan baterai setelah hari yang panjang ini.

Off mengembuskan napas pelan dan hendak mengembalikan ponsel ke saku. Punggung tangannya, bagaimanapun, tak sengaja menyinggung gelas kertas yang terabaikan di kursi sebelah. Teh di dalamnya masih penuh, tidak tersentuh; dingin dan mustahil bisa dinikmati lagi. Off menghela napas dan mengambil gelas itu untuk dibuang.

Wajah pemuda itu kembali berkelebat dalam benak Off kala dia menuangkan teh ke wastafel kamar mandi. Perlahan-lahan dia mengangkat pandangan, berserobok mata dengan pria yang tak lagi mengenal waktu di seberang cermin.

Ada ribuan jenis orang gila di luar sana, tapi pemuda itu adalah kasus khusus. Kesungguhan yang mengisi kedua matanya nyaris meyakinkan, seolah-olah dia memang bisa mendengar Gun dan mencoba menyampaikan pesan itu kepada Off.

“Kau ingin hidup, Gun. Aku tahu itu. Kau tidak mau mengakuinya, tapi kau bertahan sejauh ini karena kau ingin hidup.”

Hunjaman pasak kecemasan di dadanya membuat Off sedikit terhuyung, memaksa dia menyandarkan kedua tangan di masing-masing sisi wastafel untuk mengatur napas. Dia memejamkan mata dan mengernyit. Hatinya yang telah lama pecah berkeping-keping rupanya masih bisa menemukan cara untuk menyakitinya lagi dan lagi.

Gun ingin hidup.

Gun, yang selama dua tahun memejamkan mata terlepas dari betapa lama Off berlutut dan berdoa. Gun yang tidak kunjung tiba dari perjalanannya dari antah berantah sekalipun Off telah melucuti segala dari dirinya sendiri untuk menanti.

Apakah Gun benar-benar ingin hidup …

“Syukurlah Anda masih di sini.” Seorang perawat menyapa Off setelah dia keluar dari toilet. “Orang yang Anda tunggu sudah datang.”

Seorang pria berpakaian rapi tersenyum maklum dan menjabat tangan Off. “Maaf sudah membuat Anda menunggu sampai selarut ini. Ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan terlebih dulu di kantor. Ah, mari kita duduk dulu.”

“Tidak apa-apa, saya yang harus meminta maaf karena menelepon Anda untuk datang secara mendadak,” kata Off setelah mereka duduk. “Jadi, bagaimana? Apa yang harus saya lakukan?”

Pria itu menyodorkan buklet dan selembar formulir kepada Off.

“Pertama-tama,” katanya rendah, dengan khidmat. “Saya amat menghormati keputusan Anda untuk mendonorkan organ kekasih Anda. Pasti bukan hal yang mudah untuk mencapai titik ini.”

Off membuka-buka buklet, kata-kata di dalamnya nyaris tidak masuk akal dalam benaknya yang telah kebas oleh satu pertanyaan terbesar yang mengunyahnya dari dalam.

Apakah Gun benar-benar ingin hidup, ataukah selama ini Off yang mencegahnya pergi?

Chapter 6: End

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Sudah pagi, waktunya bangun.”

Kecupan itu menggelitik Gun, membangunkannya dari tidur tanpa mimpi. Dia mencoba menggeliat menjauh, tapi Off terkekeh di atas telinganya, mengejar pipi serta pelipisnya dengan sejumlah kecupan ringan yang diam-diam teramat dia sukai.

“Lima menit lagi,” kata Gun tanpa membuka mata.

“Kau sudah mengatakan hal yang sama lima menit yang lalu,” tukas Off seraya berbaring di belakangnya dan memeluk perut Gun erat-erat. “Ayolah, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu.”

Kali ini mau tak mau Gun membuka mata, lantas menoleh melalui bahu dengan alis terangkat. “Oh, coba lihat ini. Sejak kapan kau menjadi koki di rumah kita?”

“Sejak kau menjadi pemalas yang suka mematikan alarm di pagi hari.” Gun tertawa kegelian ketika Off menanamkan kecupan di pipinya. “Aku bangun terlalu pagi dan kebosanan menunggu kau bangun. Setelah dicoba, ternyata memasak tidak seburuk itu. Aku tidak akan berkata masakanku enak, sih.”

Gun menggulingkan badan menghadap Off dan tersenyum lebar. “Mungkin benar kata orang-orang, kau akan berubah menyerupai belahan jiwamu. Kau sadar baru saja terdengar seperti aku?”

Off membelai rambut Gun lembut, senyumnya lebih cerah daripada matahari yang baru saja terbit di luar jendela. “Aku tidak akan terkejut jika suatu hari menjadi dirimu. Bagaimanapun juga, kita masih punya seumur hidup di depan kita.”

Hanya disaksikan oleh sinar mentari, ciuman mereka membisikkan janji serta harapan yang tak disuarakan.

 


 

Gun tidak dapat menemukan Off di ICU sampai keesokan sorenya, lelaki itu datang dengan ketenangan yang lebih mirip bunga layu di balik kedua matanya. Tanpa berbicara Off berdiri di depan pintu kaca ICU, menatap tanpa benar-benar melihat Gun yang terbaring di salah satu ranjang, sebelum membalikkan badan dan mengarah ke salah satu kursi tunggu.

Off menyandarkan kepala ke dinding, lalu menghela napas pelan dan memejamkan mata. Guratan di wajahnya makin dalam, tergerus oleh penantian yang tak berujung dan kekhawatiran tanpa kepastian. Gun duduk bersimpuh di samping Off, pelan-pelan menyandarkan kepala di pangkuannya.

Kini, dengan jarak tak terbantahkan yang memisahkan mereka, Off tidak bisa lagi menyapa dan mengajaknya bicara, dan betapa Gun merindukan suara lelaki itu. Dia tidak yakin kepada siapa Off berbicara sehari-harinya, selain tentang pekerjaan. Dia tidak tahu apakah Off bahkan berbicara sama sekali. Kondominium mereka dulu selalu hangat oleh suara-suara: tawa, canda, atau sekadar bertukar cerita.

Sekarang, apa yang dilakukan Off apabila dia bangun terlalu pagi?

Sebelum ini Gun mencoba mengelabui dirinya sendiri, bahwa keinginannya untuk kembali merupakan tak lebih dari kekhawatiran atas kondisi Off dan satu-satunya cara menyelesaikan kekhawatiran itu adalah dengan berpisah. Sebesar bahwa itu benar, dia lebih ingin memeluk Off, menatap matanya lurus-lurus dan berkata dia mencintainya. Bukan perkara pesan terakhir, melainkan ungkapan perasaannya yang tidak pernah berubah.

Dia merindukan Off. Sentuhannya, kecupannya, tawanya.

Sekali lagi Gun mendongak untuk memperhatikan kekasihnya. ‘Jika aku menemukan cara untuk kembali, maukah kau menerimaku …?’

“Pak Jumpol?”

Off membuka mata, lalu segera beranjak berdiri menemukan seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari area ICU. Itu dokter yang sejak awal merawat Gun; wajahnya yang ramah sudah familier bagi mereka berdua, tapi untuk beberapa alasan arus dingin menuruni tulang belakang Gun kala menatapnya.

“Kita bisa bicara di ruang konsultasi,” kata sang dokter, kemudian mempersilakan Off mengikutinya. Dia mencoba berbasa-basi di sepanjang perjalanan, tapi segera tahu lebih baik untuk membiarkan keheningan mengambil alih. Off jelas-jelas terlalu terdistraksi untuk merangkai percakapan.

Di ruangan kecil yang hanya memuat sebuah meja dan empat kursi itu, mereka duduk. Sang dokter menjalinkan kesepuluh jemari di atas meja dan menatap Off teduh.

“Bagaimana kabar Anda, Pak Jumpol? Anda bisa tidur belakangan ini?”

“Ya,” jawab Off pendek, sebuah kebohongan.

“Saya paham ini bukan keputusan yang mudah bagi Anda,” kata sang dokter setelah membiarkan beberapa detik berlalu di pihaknya. “Wajar apabila Anda merasa tertekan dan marah terhadap seluruh situasi ini. Tapi, yang terpenting, ini bukan salah Anda.”

Kedua tangan Off mengepal. “Langsung ke intinya saja. Apa yang harus saya lakukan?”

“Pak Jumpol,” kata dokter itu dengan tenang, “kita tidak bisa menentukan kematian orang yang kita sayangi. Meski kita melepas alat penunjang kehidupan Pak Atthaphan, kepergiannya tidak akan menjadi kesalahan Anda.”

Gun terperanjat. Dengan mata terbelalak dia mengalihkan tatapan kepada Off, tetapi lelaki itu masih bergeming. Ekspresi kosongnya nyaris seperti topeng baja yang dipasang rekat sebelum datang ke rumah sakit.

“Saya yang menentukan apakah ini akan menjadi kesalahan saya atau bukan,” kata Off datar. Sang dokter termenung sebentar, kemudian menghela napas dan mengambil sesuatu dari laci meja.

“Saya sudah merawat Pak Atthaphan sejak dia keluar dari ruang operasi. Sebesar situasi ini memang tidak terelakkan, saya pun mengakui perubahan kondisinya amat mengejutkan.” Pria itu meletakkan selembar selebaran di atas meja. “Ambil sebanyak waktu yang Anda butuhkan untuk berpikir ulang—kami punya grup konseling yang akan dengan senang hati membantu Anda. Sebagai dokter, saya punya kewajiban mengatakan itu kepada Anda.”

Off berdiri dengan tatapan hampa di koridor setelah pertemuan berakhir. Lalu dia menoleh ke arah ICU dan menyeret langkahnya ke kursi tunggu. Raga dengan jiwa yang sedang terjebak entah di dimensi mana.

Sedangkan Gun, jiwa dengan raga yang terjebak di balik alat penunjang kehidupan, hanya mampu berjongkok di tepi koridor. Tangannya gemetaran menyugar rambut ke belakang tanpa dapat merasakan satu helai pun di antara jemarinya. Dia memeluk kedua lengannya sendiri dan menghela napas, hanya untuk mendapati dadanya semakin sesak.

Jadi Off sudah memutuskan.

“Gun! Aku mencarimu ke mana-mana.”

Suara ceria Chimon berasal dari ujung koridor. Pemuda itu melangkah ringan menghampirinya, tersenyum lebar. Beberapa orang menoleh keheranan dengan sikapnya, tetapi Chimon sepertinya sudah lama berhenti peduli terhadap komentar orang lain.

“Kenapa kau berjongkok di situ? Off belum datang?”

‘Chimon,’ bisik Gun. ‘Sudah terlambat.’

Senyum Chimon perlahan-lahan jatuh ketika akhirnya dia memahami makna perkataan Gun. Ekspresinya berubah keras; tanpa berbicara dia meninggalkan Gun dan melangkah lebar-lebar menuju tempat duduk Off.

“Apa yang kau lakukan?”

Off hanya memberi satu sapuan pandang. “Kau lagi.”

“Aku bertanya, apa yang sudah kau lakukan?” geram Chimon. “Bermain dewa dan seenaknya memutuskan bahwa hidup Gun mendadak tidak penting lagi—begitukah?”

“Lagi-lagi kau tahu sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia,” Off mendengus pendek. “Jangan bilang kau punya kenalan di sini.”

Chimon menyambar kerah kemeja Off. “Kau menganggap ini sebagai lelucon?”

‘Chimon,’ panggil Gun cemas. ‘Hentikan. Kumohon.’

Sambil mengumpat, Chimon mengempaskan Off kembali ke kursinya. Tidak satu pun benar-benar mengusik Off; lelaki itu sekadar memperbaiki kerah kemejanya dan memalingkan muka.

“Aku perlu bicara denganmu di luar,” kata Chimon susah payah di antara kemarahannya. “Sepuluh menit saja. Toh kau tahu Gun tidak akan bangun.”

Off menyipitkan mata, tetapi tetap beranjak mengikuti Chimon.

Tidak banyak yang duduk-duduk di taman rumah sakit, mungkin karena sebentar lagi malam menjelang. Chimon berhenti berjalan di bawah salah satu lampu taman yang baru saja menyala, kemudian membalikkan badan menghadap Off.

“Kau tidak bisa melakukan itu,” katanya. “Gun masih punya keinginan untuk hidup. Dia berada di sini, sangat dekat dengan kita. Bagaimana menurutmu perasaan Gun saat kau membuat keputusan itu?”

“Tidak soal ini lagi,” decak Off sambil mengusap-usap pelipis. Dia lantas bersedekap dan menatap Chimon dingin. “Aku tidak ingin mengatakan ini karena kita secara harfiah adalah sepasang orang asing, tapi kau benar-benar harus berhenti mengemis perhatian dengan ocehan sinting itu.”

Chimon menggertakkan rahang. “Aku bisa membuktikannya padamu,” desisnya. “Pertanyaan apa pun yang selama ini kau simpan tentang Gun—aku akan menyampaikan jawabannya padamu.”

“Dan kenapa aku harus mendapat pembuktian darimu?”

“Karena kau tidak mau percaya, dasar sial!” teriak Chimon. “Kau tidak percaya kepada orang-orang yang mencoba membantumu, karena itulah kau tidak mendapatkan apa pun!”

Off memutar bola mata samar dan mulai berjalan pergi.

‘Off,’ panggil Gun goyah. ‘Apa yang kau lakukan dengan cincinku?’

Chimon menyampaikan pertanyaannya dan Off serta merta berhenti melangkah. Pelan-pelan dia memutar badannya kembali. Wajahnya memucat.

“Apa?”

“Cincin pertunangan yang kau berikan di malam sebelum kecelakaan,” kata Chimon, terdiam sejenak untuk mendengarkan. “Gun tidak pernah melihatnya lagi setelah terbangun di luar tubuhnya. Dia hanya tahu cincinnya telah tiada. Apa kau membuangnya?”

“Omong kosong apa yang—”

“Apabila kau masih menyimpannya, dia ingin mengenakan cincin itu lagi. Dia ingin …” Chimon menghela napas, mengangkat kedua tangan ke wajah. “Oh Tuhan, jangan katakan itu, Gun.”

Gun tersenyum getir. ‘Jika keputusannya sudah bulat, hanya sebatas itu yang bisa kuminta darinya.’

Off berjalan kaku menghampiri Chimon. “Dia ingin apa?”

“Dia ingin mengenakannya lagi ketika sudah waktunya meninggalkan dunia ini. Karena itu akan menjadi akhir bahagia untuknya,” bisik Chimon sambil menjatuhkan kedua tangan ke sisi tubuh, lalu menatap Off tajam. “Kau tidak akan melakukan itu, kan?”

Pertanyaan itu diabaikan oleh Off, dadanya naik dan turun dengan berantakan. “Siapa kau sebenarnya?”

“Ini bukan tentang aku.”

Off menyambar kedua pundak Chimon. “Bukan tentangmu?” desisnya, bergantian menatap sepasang mata Chimon. Saat tak mendapat tanggapan, dia mengguncang pundak Chimon keras-keras. “Lalu kenapa harus kau dan bukan aku?” teriaknya. “Jawab aku! Kenapa bukan aku yang bisa mendengar suara Gun? Permainan kejam macam apa ini? Tidakkah dia tahu aku yang paling merindukannya? Berengsek!”

Chimon membiarkan Off merunduk sambil terengah-terengah di hadapannya, masih dengan mencengkeram pundaknya.

“Sekarang kau mempercayaiku?” tanya Chimon datar.

Seluruh tubuh Off gemetaran; goyah dia melangkah mundur dan terduduk lesu di kursi taman. Keheningan yang terulur di antara mereka kian mengkhawatirkan, sampai Off menjangkau ke leher dan mengeluarkan sebuah kalung dari balik kerah kemeja. Rantainya yang amat halus berkilau di bawah sinar lampu yang pucat dan, menggantung di bawahnya, adalah sebuah cincin platina.

Gun terkesiap pelan.

“Membuangnya?” Off mendengus, upaya tawa yang terlalu lemah. Dia melepas kaitan kalung dan dengan hati-hati meloloskan cincin dari untaian kalung. “Mustahil aku melakukan itu. Gun terlihat amat bahagia saat aku menyematkan cincin ini di jari manisnya.”

Off memutar-mutar cincin itu, membiarkan sinar lampu menyepuh permukaan putihnya. Kilau yang dipantulkan di matanya tampak seperti cercah air mata yang terlalu lama disembunyikan.

“Aku hampir melupakan suara tawa Gun,” bisik Off parau. “Aku hampir tidak ingat caranya tersenyum, caranya melangkah dan memberikan warna di rumah kami … dan terutama suaranya.” Dia menunduk. “Aku tidak ingat lagi suaranya. Puluhan suara yang senantiasa menghantui kepalaku setiap malam, aku tidak bisa menentukan suara mana yang merupakan miliknya, ataukah dia bahkan berada di dalam situ.”

Kemarahan Chimon hanya tersisa sebagai mulut yang terkatup rapat. Tanpa suara dia duduk di samping Off, mengamatinya dengan cara yang sama seperti ketika dia pertama kali mengamati Gun di koridor.

“Lucunya, setiap kali melihat cincin ini, aku bisa mengingat malam itu dengan sedemikian baik. Ekspresi wajahnya, tawanya, pelukannya. Aku masih bisa mendengar dia berceloteh sepanjang malam soal pernikahan seperti apa yang sebaiknya kami lakukan.” Off berhenti memutar-mutar cincin; dia kembali terlihat tersesat. “‘Akhir bahagia’, huh? Aku bahkan tidak diperkenankan untuk mendengar suaranya setelah hari itu.”

Gun merasa dilemparkan ke pagi di hari terakhir mereka bertemu. Cangkir-cangkir kopi yang isinya telah ditandaskan di atas meja. Cincin yang masih terasa mengganjal namun nyaman di pangkal jari manisnya. Off yang tersenyum di ambang pintu. Kecupan terakhir. Ucapan ‘sampai jumpa nanti malam’ yang terkesan amat sepele, tetapi menjadi janji yang tak pernah dapat mereka penuhi.

Seakan memikirkan hal yang sama, Off lantas menggenggam cincin itu erat-erat dalam kepalan tangannya, kemudian separuh memutar badan menghadap Chimon. “Katakan padaku. Apa saja yang kau ketahui?”

“Dia tidak pernah berhenti membicarakanmu. Selalu Off ini dan Off itu. Kau pria yang amat menyebalkan, tapi dia tidak pernah marah padamu.” Chimon mendengarkan Gun, kemudian mendengus pelan. “Katanya, sudah lewat masanya dia marah padamu …. Yah, senang mengetahui ternyata dia pun pernah menganggap kau menyebalkan.”

Ujung bibir Off terangkat dalam senyum letih. “Itu terdengar seperti Gun yang kukenal.”

“Memang hanya ada satu Gun yang sedang kita bicarakan,” kata Chimon sedikit enggan.

“Bagaimana suaranya? Deskripsikan padaku.”

“Itu …” Chimon mencoba mencari petunjuk dari Gun, tetapi lelaki yang lebih tua hanya bisa menggeleng. Mustahil dia dapat menjawabnya ketika tidak seorang pun dapat mendengarnya selama dua tahun terakhir. Pada akhirnya, Chimon menunduk menatap telapak tangannya sendiri.

“Dia … terdengar seperti orang baik,” jawabnya dengan suara kecil. “Orang baik yang terlalu keras pada dirinya sendiri dan menganggap semua kesalahan di dunia ini adalah miliknya. Orang baik yang memilih dirinya sendiri terluka daripada melihat orang yang dicintainya tersiksa. Tetapi, ketika dia tertawa, kau hanya tahu segalanya akan menjadi baik-baik saja.”

“Ya?” Senyum Off semakin lebar, matanya berkabut. “Kupikir aku mengingatnya sekarang …. Ya, aku bisa mendengar suaranya.”

‘Chimon,’ panggil Gun tercekat. ‘Tanyakan padanya, apakah dia ingin mendengarku secara langsung.’

Chimon melebarkan mata dan menyentakkan kepala ke arah Gun. “Apa yang kau katakan? Kondisimu akan semakin buruk apabila kita melakukan itu!”

Sesak di dalam dada Gun meluruh dalam isak pelan. Dia menunduk. ‘Keputusan Off sudah benar. Aku terlalu egois untuk meminta tetap hidup ketika aku bahkan tidak tahu kapan bisa bangun.’

“Gun, kau tahu bukan itu yang kau inginkan.”

‘Apa pentingnya yang kuinginkan?’ Gun terisak semakin keras. Air matanya lekas melesap dari tangannya yang tidak pernah dapat merasakan apa pun. ‘A-aku hanya tidak bisa melihatnya seperti ini lagi.’

“Ada apa?” tanya Off cemas. Chimon menghela napas kasar.

“Kau tahu alasan kondisi Gun semakin buruk adalah karena dia memasuki tubuhku. Itulah yang terjadi tepat sebelum dia harus dirawat di ICU.” Secara nyata Off menegang; Chimon tidak melepaskan pandangan dari Gun. “Dan sekarang dia menginginkan hal yang sama.”

‘Chimon, kau tidak mengerti. Ini bukan lagi tentangku. Jika dengan begini dia bisa mengiringi kepergianku, aku tidak membutuhkan apa pun lagi.’

“Kau hanya terlalu takut untuk berharap, Gun. Kau tidak sendirian. Off—sial, tidak, aku juga—akan menunggumu. Karena itu …” Chimon segera berhenti berbicara dan menoleh pada Off yang mendadak meraih sebelah lengannya.

“Di mana Gun sekarang?”

Meski jelas-jelas keberatan, Chimon tetap menuding Gun yang masih berdiri di bawah lampu jalan. Off mengarahkan tatapan ke titik yang sama; matanya mencoba mencari-cari dengan penuh harap, sebelum akhirnya tersenyum pahit karena tak berhasil menemukan pria yang dicintainya.

“Gun, kau berada di sana?” Suara Off melembut, sapaan yang telah amat familier hingga menyakiti hati Gun. “Aku minta maaf untuk semua hal bodoh yang hampir kulakukan. Seperti katanya, aku pun terlalu takut untuk berharap … tidak, apa pun alasannya, seharusnya aku tidak pernah mengkhianati kepercayaanmu.”

Gun tersedu sambil mengusap air mata. ‘Tidak. Tidak, Off. Ini bukan lagi soal kepercayaan. Kaulah yang harus terus hidup dengan menanggung perasaan ini. Aku tidak mungkin membiarkan kau terus menanti.’

Chimon menggumamkan jawaban Gun. Off menggeleng-geleng keras.

“Seberapa lama pun aku harus menunggu, aku tidak keberatan.”

Apabila cinta memang soal percaya, Off telah lebih dari cukup membuktikannya. Bahkan jika dua tahun terakhir dipangkas dan sepuluh tahun kebersamaan mereka dileburkan, Gun tahu Off mencintainya dengan segenap hati. Tatapan matanya yang lembut, sentuhannya yang hangat, kata-katanya yang dipenuhi kasih. Gun telah menerima begitu banyak dari Off sebelum dia tahu membutuhkan itu semua.

Gun mengalihkan pandangan. ‘Chimon …’

“Kau tidak bisa melakukan ini, Gun,” kata Chimon serak. Gun tersenyum dan menggeleng.

‘Aku hanya ingin berbicara padanya.’ Gun berlutut di depan Chimon. ‘Tapi jika ini menjadi terakhir kali kita bertemu, kau harus tahu bahwa kau pun pantas mendapatkan segala yang baik. Aku berdoa agar dunia semakin lembut padamu, Chimon, karena kau pun selalu memperlakukan dunia dengan penuh kebaikan.’

Chimon menggigit bibir, setetes air matanya jatuh ke pipi. “Kau tidak bisa melakukan ini …”

Gun memejamkan mata dan meraihnya dalam pelukan.

Tubuh pemuda itu tersentak keras, kemudian pelan-pelan memerosot ke depan, membuat Off secara refleks menangkap kedua pundaknya sebelum dia jatuh ke tanah. Namun, kepala itu hanya berakhir terkulai di lengan Off, matanya terpejam.

“Hei—kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?”

Perlahan kedua mata itu menggeletar terbuka dan Off seketika mematung ketika tatapan mereka berserobok.

Kemudian pemuda itu memeluknya erat-erat.

Off meloloskan napas tak percaya, telapak tangannya dengan hati-hati ditekankan ke punggung itu. Mustahil. Ini bukanlah seseorang yang dikenalnya—tonjol tulang belakang di bawah telapak tangannya terasa asing dan canggung—tetapi di waktu bersamaan dia dapat merasakan Gun darinya.

“Aku merindukanmu, Off,” desah pemuda itu, menggosokkan wajah ke ceruk lehernya. “Aku amat merindukanmu.”

Oh, pikir Off tercekat. Dia merengkuh punggung itu erat-erat, menyatukan tubuh mereka hingga tidak ada jarak yang tersisa. Kehangatannya, caranya menggayuti Off. Ini benar-benar Gun.

Gun memundurkan badan dan tersenyum lebar di antara air mata yang berjatuhan ke pipi. “Aku tidak percaya kita akhirnya bisa bertemu!” Dia merengkuh sisi wajah Off, mengusap pipinya pelan, merasai kulitnya di atas miliknya. “Aku merindukanmu.”

“Aku juga,” Off mencoba berbicara dengan tangis sudah mengganjal di pangkal tenggorokannya. “Kau tidak punya bayangan seberapa besar aku merindukanmu.”

Tangis Gun pecah menjadi tawa. “Oh, aku punya bayangan. Jangan khawatir.”

Ketika dia tertawa, kau hanya tahu segalanya akan menjadi baik-baik saja. Off ikut tertawa dan kembali memeluk Gun. Ya, kini dia mengingatnya. Dia mengingat denting tawa yang menerangi setiap sudut rumah mereka. Dia mengingat alasan mengapa setiap hari dia datang dan duduk di hadapan Gun yang membisu.

Dia berharap waktu dapat dihentikan. Sebentar saja. Sebesar yang dibutuhkan hatinya untuk memenuhi dahaga.

Namun, dia dapat merasakan Gun sedikit menggeliat gelisah di dalam rengkuhnya. Sekali lagi dia membiarkan pelukan mereka melonggar.

“Off, aku …” Gun menunduk, menghela napas pelan. “Ada banyak sekali yang ingin kukatakan padamu, tapi aku tahu waktuku tidak banyak.”

Sebutir air mata menggelayut di bulu mata Gun dan Off mengusapnya dengan lembut. Dia tahu apa yang ingin dikatakan Gun. Tentu saja dia tahu.

Tatapan mata Gun kembali diarahkan kepada Off, rapuh oleh kesedihan. “Aku selalu ingin berkata padamu untuk melanjutkan hidupmu, Off. Kau tidak pantas menghabiskan waktu secara sia-sia di sampingku, ketika kau masih bisa melangkah keluar dan mendapatkan kebebasan.”

“Bagian mana yang sia-sia dari menghabiskan waktu di sampingmu, Sayang?” bisik Off. “Kita sudah berjanji untuk bersama-sama selamanya, bukan begitu?”

Gun kembali menangis. “Tapi—tapi aku tidak bisa melakukan apa pun ...”

“Tidak apa-apa jika kau membutuhkan waktu lebih lama untuk bangun. Aku tidak akan melepaskanmu.” Off meraih kedua sisi wajah Gun dan menyandarkan dahi mereka dengan lembut. “Sebelum ini aku tidak pernah mengatakannya karena rasanya sungguh menakutkan harus melakukannya seorang diri, tapi mengetahui kau selalu berada di sini sudah cukup membuatku menjadi kuat.”

Air mata Gun menyatu dengan miliknya. Isak pelan Gun merupakan napas yang ditarik Off dengan berguncang. Dia memejamkan mata, meresapi kebersamaan mereka yang telah mendekati batas akhir.

“Kembalilah, Gun. Kembalilah. Ini belum akhir. Ini bukan akhir bahagia yang kita inginkan. Kita akan mencarinya bersama-sama, oke? Akhir bahagia untuk kita berdua. Karena itu, kembalilah. Kumohon.”

“Off,” Gun tersedu. “Off, aku ingin hidup bersamamu.”

“Ya.” Off tercekat, meremas helaian rambut Gun. “Kita akan hidup bersama. Kau dan aku.”

Lalu tangis Gun mendadak berhenti. Off membuka mata dan menemukan Gun menatap kosong ke arah langit.

“Gun …?”

Mata itu mengerjap; ketakutan memenuhi iris cokelat terangnya yang diarahkan kepada Off.

“Dia menghilang,” bisiknya panik. “Gun menghilang. Dia … tidak di sini lagi. Aku tidak tahu ke mana dia pergi.”

Off telah berdiri sebelum pemuda itu menyelesaikan ucapannya. Pandangannya mengerucut, dikelilingi oleh kegelapan, tetapi kakinya tidak berhenti memotong jarak antara dirinya dan Gun. Tidak peduli siapa yang ditabraknya, tidak peduli meski dia harus terjatuh kemudian berdiri lagi.

Tidak mungkin. Tidak mungkin.

Cerita mereka belum selesai. Masih banyak sekali lembaran yang perlu mereka isi. Jalan yang dapat mereka titi. Gun tidak boleh meninggalkannya, tidak setelah mereka saling membisikkan janji.

Pintu ICU tertutup rapat sebagaimana biasa; ketenangan yang ditawarkannya nyaris ganjil, persis seperti mata dari badai yang mengamuk hebat. Off hampir mencapai pegangan pintu, tetapi seseorang telah terlebih dulu melakukannya dari arah berlawanan.

Off terengah, kakinya goyah diempas bau antiseptik dan bising alat penunjang kehidupan dari dalam ICU. Itu adalah dokter yang merawat Gun; ekspresi pria itu datar, sama sekali tidak terkejut menemukan Off berdiri di depannya.

Jantung Off berdegup kencang, kompensasi bagi milik Gun, jika bisa. Terlintas dalam benaknya bahwa dia sungguh-sungguh bersedia memotong kaki dan lengannya andaikan itu bisa menyelamatkan kekasihnya. Separuh napasnya, seluruh hatinya.

“Dokter … apa yang terjadi padanya?”

“Pak Jumpol,” kata sang dokter, kemudian menghela napas dan tersenyum kecil. “Rupanya keajaiban itu memang ada, huh?”

Bagian dalam ICU terasa tak lebih dari genangan cahsaya putih yang tidak bisa diarungi Off lebih cepat. Waktu melambat, tungkai-tungkainya melembek. Off dapat mendengar napasnya sendiri, bergemuruh; denyut jantungnya, menderu-deru.

Off tiba di samping ranjang Gun, perlahan-lahan matanya bergerak dari tangan yang tergolek dibebani oleh selang obat dan infus, pada kancing-kancing piama biru pucat yang dikenakannya, lalu mendarat di atas wajahnya.

Tersembunyi di balik masker oksigen serta rambut yang berjatuhan ke dahi, kelopak mata Gun mengedip pelan sebelum pupilnya berfokus lambat pada Off.

Semua penantian pasti akan menemui akhir.

Lutut Off melemah, dia jatuh berlutut di samping tempat tidur kekasihnya. Air matanya berjatuhan ke lantai bersama dengan ketakutan yang selama ini dia simpan rapat di dalam dada. Doa-doa yang bahkan tak berani dia panjatkan. Harapan yang sengaja dikuburkan sebelum menjadi beban. Meluruh begitu saja di antara kedua kakinya yang tak lagi kuat menopang.

“Selamat datang di rumah, Sayang,” Off terisak, gemetaran meraih tangan kiri Gun dan menyelipkan cincin di jari manisnya. “Jangan pergi lagi, ya? Masih ada banyak hal yang dapat kita lakukan berdua.”

Tangan Off terasa begitu hangat menggenggam miliknya. Gun memejamkan matanya yang basah. Perjalanan ini luar biasa melelahkan, tetapi akhirnya dia bisa pulang.

 

[][][]

Notes:

cerita ini secara resmi selesai di chapter 6. terima kasih sudah membaca! sudah lama aku nggak serius nulis jadi semoga cukup seru dan nggak mengecewakan ;;u;;

(real talk, though. my plan was to publish a chapter every day until nov 11th but my dumb ass apparently can't even count properly so i will try to add another chapter for tomorrow.)

Chapter 7: +1

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Bagaimana kau bisa terluka di tempat seperti ini?”

Gun menoleh melalui pundak, pada tangan Off yang dengan hati-hati mengusap lebam samar di belikatnya. “Aku jatuh,” jawabnya ringkas seraya kembali menatap ke pangkuan, pada cincinnya di jari manis. “Aku merasa terapisku memberi terlalu banyak waktu istirahat, jadi aku mencoba berjalan sendiri ketika dia tidak ada.”

“Apa-apaan dengan itu,” gerutu Off di bawah napasnya sambil merapikan kerah piama Gun. “Ini bukan pertama kali kau terluka karena terlalu memaksakan diri. Progresmu sudah baik sekali; kau pasti bisa berjalan dalam waktu dekat.”

“Dan kapan ‘waktu dekat’ itu?” erang Gun, sengaja menjatuhkan badan ke belakang mengetahui sang kekasih akan dengan sigap menangkapnya. Dia cemberut setelah nyaman berada di dekapan kedua lengan Off. “Aku tidak sabar untuk pergi ke banyak tempat. Kau bilang ada banyak kafe baru yang dibuka di sekitar kantorku yang dulu. Aku ingin segera mengunjunginya satu per satu.”

“Tidak perlu menunggu kau bisa berjalan untuk mengunjungi kafe-kafe itu. Kita bisa berangkat nanti sore, kalau kau mau.” Off mendorong punggung Gun agar duduk tegak. “Dan, demi Tuhan, berhentilah bergerak-gerak selama aku menyisir rambutmu.”

“Lebih baik kau memotongnya lagi,” kata Gun sementara Off menyisir rambutnya di belakang kepala. “Aku tahu kau beberapa kali memotong rambutku ketika aku tidur.”

“Tidak mau. Kau kelihatan manis seperti ini.”

Gun memutar bola mata, tetapi bisa merasakan pipinya bersemu. Dia sempat lupa betapa mudah Off melontarkan pujian-pujian kecil padanya. Beberapa bulan sudah berlalu setelah dia bangun dari koma, dan pemulihan sama sekali bukan pemandangan yang menyenangkan untuk dilihat (melaluinya adalah cerita yang sama sekali berbeda). Akan tetapi, Off selalu menatap Gun dengan penuh kebanggaan seakan-akan dia menyelesaikan koreografi rumit alih-alih hal sepele. Lelaki itu bahkan menangis ketika pertama kali melihat Gun berhasil menggunakan alat makan sendiri.

Sekarang yang tersisa adalah berjalan. Dokter dan fisioterapisnya sudah memperingatkan dia mungkin butuh sampai setahun atau lebih untuk bisa berjalan sebagaimana normal. Mereka bicara seolah-olah setahun hanya berjarak sekedipan mata dari sekarang.

“Nah,” kata Off setelah menyematkan jepit berbentuk Hello Kitty di atas dahi Gun. “Sudah selesai. Oh, lihat anak siapa ini.”

Dengan kesal Gun menonjok Off yang berjalan melewatinya, menyebabkan lelaki itu tertawa.

“Ada klien penting yang harus kutemani food test hari ini,” lanjut Off sambil menyimpan sikat rambut di meja rias, melirik cermin sekilas untuk memastikan penampilannya sendiri cukup baik. “Aku akan mencoba untuk pulang tepat waktu, tapi kemungkinan besar terlambat. Aku sudah memberitahu Bibi untuk tetap tinggal di sini sampai aku pulang.”

“Tidak apa-apa, aku tidak sendirian hari ini. Chimon bilang dia akan mampir saat jam makan siang.” Off sudah berada di sampingnya untuk mengambilkan kruk ketika Gun baru saja mengulurkan tangan. Ekspresi keruh lelaki itu membuat Gun tergelak. “Yang benar saja, sampai kapan kau akan membenci Chimon?”

“Aku tidak membencinya,” gerutu Off sambil membantu Gun berdiri. “Aku hanya tidak ingat sudah mengadopsi balita besar.”

“Kau tidak diperbolehkan bicara buruk tentang adikku,” sahut Gun ringkas, meski diam-diam dia setuju. Chimon memang bisa menjadi balita besar sewaktu-waktu.

“Yah, kalau begitu sebaiknya aku juga segera berangkat. Agar kau dapat bersenang-senang lebih lama dengan adikmu itu.”

Gun tertawa lebih keras. “Ya sudah, berangkat sana. Apa yang kau tunggu?”

Off justru menatapnya aneh. “Kau.”

Tawa Gun membentur kegamangan, lubang besar yang ditimbulkan dari hunjaman cemas di dadanya. “Mm,” katanya, berusaha kembali tersenyum. “Aku cuma akan pergi ke ruang tengah. Berangkatlah, aku bisa sendiri.”

“Jangan khawatir, tidak ada yang berani menuding bos mereka datang terlambat.” Off tersenyum dan membimbing Gun berjalan.

Selangkah demi selangkah, di atas kakinya yang belum menemukan kekuatan, dan perlu lebih banyak berhenti daripada menempuh jarak. Sulit dipercaya suatu waktu dulu dia dapat mondar-mandir dengan cepat di seputar apartemen mereka, unit dua kamar yang sekarang mustahil dijangkau Gun tanpa bercucur keringat dan—terkadang—air mata.

Dengan cekatan Off membantu Gun duduk di sofa, kemudian meletakkan barang-barang yang mungkin dia perlukan dalam jangkauan tangan. Gerakannya luwes, nyaris tanpa dipikir, dan dalam hati Gun bertanya-tanya sejak kapan Off terbiasa menjadi seorang pengasuh. Lelaki itu pernah punya kepala sekeras batu dan ego setinggi langit; dia tidak akan menundukkan kepala kepada siapa pun.

Kini Off berlutut di depan Gun, membantunya melepas selop rumah, mengerjakan tugas remeh-temeh. Padahal dia sudah terlihat amat tampan pagi ini, dengan rambut yang ditata tanpa cela dan kemeja biru tuanya. Gun menurunkan kembali tangannya yang hampir mengusap pipi Off ketika kekasihnya mendongak.

“Aku berangkat sekarang. Telepon aku kapan pun,” kata Off. Gun mengerutkan kening.

“Kapan pun apa?”

Off mengangkat bahu. “Aku merasa senang setiap kali kau menelepon, jadi kapan pun.”

“Dan kau berani menyebut Chimon sebagai balita besar,” kekeh Gun sambil menarik kerah kemeja Off agar mencondongkan badan ke arahnya. Dengan senang hati Off memotong jarak di antara mereka dan mencium bibirnya.

“Aku mencintaimu,” bisik Off, matanya berbinar lembut. “Sampai jumpa nanti sore.”

Hati Gun menggeletar. Dia mengusap-usap kerah kemeja Off yang telah ditariknya. “Aku menunggu,” gumamnya tercekat. “Dan, aku juga mencintaimu.”

Off menanamkan kecupan di kening Gun untuk terakhir kalinya, kemudian keluar dari apartemen.

Keheningan yang lantas menyerobot masuk terasa nyaris sama menyiksa dengan malam-malam yang harus dilalui Gun sendirian di kamar rumah sakitnya. Dengan cepat dia mengusir perasaan mengerikan itu dan mengambil novel tipis yang sudah disiapkan Off di sebelahnya. Membaca telah menjadi agenda hariannya sebagai bagian dari terapi. Off tidak mengetahuinya karena Gun tidak ingin lelaki itu semakin khawatir, tetapi, sejak bangun dari koma, dia mendapati konsentrasi serta memori jarak pendeknya menurun drastis.

Terdengar pintu dibuka. Gun menoleh dari bacaannya, kemudian mengangguk sopan kepada pramuwisma yang baru saja datang.

Wanita itu tertawa kecil melihat Gun dan menuding dahinya sendiri. “Jepit rambut yang lucu hari ini.”

“Kerjaan Off,” tukas Gun malu-malu. “Dia membelikanku sekeranjang jepit rambut karena aku tidak diperbolehkan memotong rambut.”

“Kau kelihatan manis, jadi itu bukan masalah besar.”

“Off juga bicara begitu.”

“Yah, sejak awal kau memang laki-laki yang manis.”

“Kusarankan Bibi berhenti bergaul dengan Off. Kau terdengar persis sepertinya,” erang Gun.

Sepeninggal sang pramuwisma ke dapur, Gun mengambil kembali novel yang ditelungkupkan di pangkuannya, tetapi lantas berhenti. Huruf-huruf mengabur dari matanya menjadi barisan hitam yang tak bisa dibaca. Dia memejamkan mata rapat-rapat dan mencoba lagi. Berangsur-angsur lekuk dan garis kembali membentuk aksara yang dikenalnya.

Gun menghela napas dan menyandarkan kepala ke punggung sofa, menatap langit-langit. Siapa yang menyangka bangun dari koma bukan berarti semua masalah terselesaikan. Gun justru berpikir beban yang harus ditanggung Off bertambah berat, sekalipun lelaki itu tidak pernah menunjukkannya.

Chimon datang menjelang siang hari, berisik dengan keluhan tentang tugas kuliah dan cuaca di luar yang panas luar biasa. Dia masuk menggunakan kartu kuncinya sendiri, digandakan dengan enggan oleh Off setelah Gun memintanya. Bukan saja karena Gun masih merasa berutang kepada pemuda itu, tetapi keberadaannya telah membentuk ceruk tersendiri dalam hati Gun.

Setelah puas mengganggu pramuwisma yang sedang menyiapkan makan siang, Chimon menghenyakkan tubuhnya di sebelah Gun. Dia memberi satu tatapan, lalu menyemburkan tawa.

“Jepit rambutmu—”

“Chimon,” potong Gun tajam.

“Dia pasti bersenang-senang mendandanimu, huh?” Chimon mengambil remote televisi dan menyalakannya. “Hei, sampai episode berapa kita kemarin?”

“Ini masih siang dan kau berniat maraton serial komedi romantis?”

“Bukan maraton. Aku hanya ingin nonton sedikit sebelum kembali ke kampus karena ada kelas pukul satu,” kata Chimon acuh tak acuh sambil menyamankan duduknya di sebelah Gun.

“Mahasiswa memang seharusnya sering-sering di kampus.”

Chimon memeletkan lidah. “Kau terdengar seperti ibuku.”

“Makan siang sudah siap,” panggil sang pramuwisma. “Gun, kau mau makan di sini atau meja makan?”

“Di meja makan saja.” Gun menggapai kruk, tetapi masalah terbesarnya masih akan datang: dia mencoba berdiri, hanya untuk mendapati kedua kakinya goyah dan dia kembali jatuh terduduk.

Dua pasang tangan segera mencoba membantunya, meski sang pramuwisma lebih tahu untuk membiarkan Chimon melakukannya.

“Pelan-pelan saja,” kata Chimon sabar, tidak salah lagi berasal dari niat yang baik, tetapi Gun mendapati seberkas kesal menggigit dadanya. Dia tidak punya pilihan selain pelan-pelan.

Ini bukan sesuatu yang sehat, dia tahu. Sementara setiap gejala dan progres terapi fisiknya dicatat dengan baik, Gun masih jengah mengakui apa-apa yang senantiasa bergemuruh di dalam dada. Dia takut, jika seseorang mendengarnya, semua perasaan itu akan bercokol makin erat dan mengunyah hatinya tanpa ampun: ketakutannya, kekhawatirannya, kemarahannya.

Dering sayup-sayup memotong lamunan Gun. Dia menoleh ke arah ruang tengah, tempat ponselnya menyala di atas sofa. Sebelum dia sempat membuka mulut, Chimon telah terlebih dulu bangkit untuk mengambilkan ponselnya. Dia sedikit merasa bersalah sudah kesal kepada pemuda itu.

“Trims,” kata Gun, lalu menerima panggilan. “Halo, Off.”

“Hai, Sayang. Kau sudah makan?”

“Aku sedang melakukannya sekarang,” kata Gun, tetapi sebelah sumpit lantas tergelincir dari tangannya, seolah-olah menertawakan. “Kau?”

“Sebentar lagi. Aku masih melihat-lihat taman raya tempat resepsi pernikahan ini akan dilaksanakan. Omong-omong, apakah Chimon masih di situ?”

Sebentar saja Gun melirik Chimon di sebelahnya. “Ya, dia juga sedang makan.”

“Boleh aku bicara dengannya?”

Meski heran, Gun tetap mengangsurkan ponsel kepada lelaki yang lebih muda. Dia mencoba mendengarkan percakapan mereka, tetapi Chimon beberapa kali sekadar bergumam mengiakan, dan satu kali bertanya, “Jadi, folder itu saja, kan?”

Gun menerima kembali ponselnya, sedikit terkejut karena Chimon tiba-tiba beranjak dari meja makan dan melangkah pergi. “Apa itu tadi?” tanyanya pada Off.

“Bukan hal besar.” Off tertawa, terdengar agak malu. “Aku lupa memindahkan folder penting ke komputer kantor. Aku meminta Chimon memasukkan folder itu ke stik USB; pegawaiku akan datang sore nanti untuk mengambilnya.”

“Ah.” Gun tak kunjung menemukan cara menggenggam sumpit dengan benar. “Tidak biasanya kau ceroboh. Kau pasti kelelahan, huh?”

“Mungkin. Ini memang proyek pernikahan yang besar.”

Seberapa sulit untuk mengakui bahwa Gun adalah alasan utama dia lelah? Gun sering terbangun di tengah malam, menangis kesakitan lantaran otot-ototnya mendadak kram. Bisa saja Off berpura-pura tidak dengar—Gun bersumpah dia selalu berusaha tidak berisik—tetapi lelaki itu tanpa suara menyalakan lampu tidur dan membantunya memijat kaki sampai dia kembali tertidur.

Itu baru satu hal kecil di antara sejuta yang lain.

“Stik USB-nya kuletakkan di sini jika nanti pegawai Off datang, Bibi,” kata Chimon keras-keras sambil meletakkan benda hitam kecil itu di meja televisi. “Gun, aku pergi dulu.”

“Secepat ini?” tanya Gun terkejut.

“Yah, aku memang hanya mampir untuk makan siang.” Chimon mencangklong tasnya. “Lagi pula, kau kelihatan agak pucat. Lebih baik kau istirahat.”

Gun menghela napas. “Maafkan aku.”

“Untuk apa?”

“Entahlah … hanya ingin mengatakannya. Kupikir.”

Chimon mengerutkan kening, kemudian melangkah lebar-lebar menghampiri Gun. Tanpa peringatan dia mengimpit pipi Gun dengan telapak tangannya.

“Sesekali pikirkan keinginanmu sendiri. Kau sudah punya suara dan kedua tanganmu, Gun. Jika kau menginginkan sesuatu, kau bisa mendapatkannya.”

Gun mencoba tersenyum di antara kedua pipinya yang dimampatkan. “Aku tahu.”

Tentu saja dia tahu. Dia bahkan tidak perlu membuka mulut untuk membuat orang-orang di sekitarnya segera melompat dan dengan sigap membantu. Atas dasar perhatian, kasihan, atau prihatin, tak lagi menjadi soal. Dia cacat dan tak sempurna, harus diselamatkan sebelum dianggap jahat.

Pramuwisma datang untuk membereskan meja setelah makan siang. Gun mencoba membantunya mengumpulkan peralatan makan, tetapi tangannya mendadak kesemutan dan dia justru berakhir menjatuhkan gelas ke lantai.

“Maafkan aku.”

Wanita itu tersenyum maklum. “Tidak apa-apa. Memang sudah waktunya istirahat. Aku akan mengantarmu ke kamar setelah membereskan ini.”

“Terima kasih,” gumam Gun. Dan, maaf, lanjutnya dalam hati.

Gun berbaring di ranjang, sekali lagi menatap langit-langit. Kepalanya terasa berat, badannya lelah luar biasa seolah-olah yang dilakukannya sesiangan ini lebih dari duduk membaca dan makan siang.

“Tidak perlu menunggu kau bisa berjalan untuk mengunjungi kafe-kafe itu. Kita bisa berangkat nanti sore, kalau kau mau.”

Bagaimana mungkin Off masih dapat berbicara begitu, ketika lelaki itu yang paling tahu seberapa lemah kondisinya sekarang? Jika mereka pergi, hanya Off yang akan dibuat kerepotan untuk mengurusinya.

Bersikap terpuruk tidak akan membantu situasinya menjadi lebih baik. Gun telah menghabiskan dua tahun yang seperti neraka untuk memahami betul hal tersebut. Akan tetapi, perasaan bukanlah konsep yang mudah dibentuk dalam cetakan. Tidak peduli berapa kali Gun mencoba mengendalikannya, pada akhirnya dia kembali pada kawah gelap yang menganga lebar.

Gun mengangkat ponsel ke depan wajah, tetapi kemudian berubah pikiran dan membiarkan benda itu memerosot ke ranjang. Perlahan dia memejamkan mata.

Kapan pun, kata Off. Satu-satunya ‘kapan pun’ yang ditawarkan Gun adalah kesukaran.

~~

“Ah, dia masih istirahat?”

Gun tidak tahu berapa lama dia tertidur; selama beberapa saat, dia berpikir masih berada di alam mimpi saat mendengar suara yang tidak dikenalnya hanya berjarak sepelempar batu darinya. Dia membuka mata dengan hati-hati, kemudian menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup.

“Kalau begitu, saya titip salam saja. Terima kasih untuk stik USB ini.”

Itu pasti pegawai Off. Gun menjangkau kruk di samping tempat tidurnya, tepat ketika kesemutan di tangannya kembali. Sebelah dari benda itu jatuh terserak dengan dentang keras ke lantai.

Gun mengumpat di bawah napas dan, sambil berpegangan pada nakas sebagai tumpuan, membungkukkan badan untuk mengambil kruk. Dia tidak membutuhkan kecelakaan bodoh seperti ini sekarang. Dia hanya perlu …

Tangannya tergelincir dari tepi nakas dan seluruh tubuhnya ambruk ke lantai.

Dasar bodoh. Gun menggigit bibir kuat-kuat sambil mengepalkan tangan mendengar langkah yang saling menyusul gegas ke arah kamar. Dia tidak bisa melakukan apa-apa ketika sang pramuwisma mengayunkan pintu terbuka dan memekik kaget menemukan situasinya.

“Astaga, Gun! Apa yang terjadi?”

Sepasang tangan lain segera membopong Gun dari lantai ke tempat tidur. “Anda tidak apa-apa? Ada yang terluka?”

“Aku tidak apa-apa, hanya terpeleset dan—” Gun menaikkan pandangan kepada pegawai Off yang baru saja membantunya, kemudian merasa jantungnya mencelus.

Tampan dan tegap, dengan mata yang bersinar-sinar awas dan kompleksi wajah cerah. Pakaiannya sedikit kusut di penghujung hari, tetapi tetap tampak amat bergaya. Dan di belakang lelaki itu—refleksi Gun di cermin. Pucat, lemah, tak berdaya.

Gun mencoba menarik napas untuk dadanya yang sesak, dan justru diganjar dengan setetes air mata yang jatuh ke pipi.

Lelaki muda itu membelalakkan mata panik, begitu pula dengan sang pramuwisma, yang sontak menyerbu ke depan dan secara cermat meraba-raba lengan serta tempurung kepala Gun untuk memastikan dia memang tidak terluka.

“A-aku baik-baik saja,” kata Gun terbata sambil menyeka air mata dengan ujung lengan piama. Bodoh sekali. Ini adalah waktu terburuk untuk menangis. “Maaf, bisakah kalian keluar dari kamar?”

“Apa kau sungguh-sungguh baik-baik saja, Gun?” tanya sang pramuwisma cemas. “Aku akan menelepon Off—”

“Tinggalkan aku sendiri.”

Gun meringkuk di ranjang setelah pintu tertutup, berusaha menangis tanpa suara meski dia tahu dua orang itu tetap dapat mendengarnya.

~~

Aku lelah. Aku takut melihat orang asing. Aku linglung setelah bangun tidur.

Gun menghela napas dan menjatuhkan kepala di antara kedua bahu. Dia dapat mendengar ketibaan Off sejak sepuluh menit lalu; lelaki itu mondar-mandir antara dapur dan ruang tengah, meletakkan barang-barang di sofa, berbicara dengan suara pelan kepada sang pramuwisma. Sebentar lagi kekasihnya itu akan mengendap-endap masuk ke kamar, berdiri di tengah kegelapan, berusaha meredakan kekhawatirannya sendiri dengan mengira-ngira kondisi Gun karena dia tidak berani menyalakan lampu dan membangunkannya.

Dan di sinilah Gun berada, tidak mampu menciptakan alasan mengapa dia sempat menangis sore tadi.

Pintu dibuka lambat-lambat. Gun menoleh, menanti Off menyadari bahwa dia sedang duduk menyandar di kepala ranjang alih-alih tidur lelap.

“Oh,” kata Off, lengkung senyumnya menampung empasan sinar dari ruang tengah. “Kukira kau tidur, Sayang. Kenapa kau duduk di kegelapan?”

“Tidak apa-apa. Aku baru saja bangun.”

“Kau belum makan malam, bukan begitu?” Off menaikkan satu lutut ke ranjang dan mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Gun. “Kau berkeringat. Mari berganti baju, kemudian makan sesuatu, oke? Bibi sudah membuat makan malam sebelum pulang.”

Gun bergeming. “Bibi sudah pulang?”

“Ya. Aku menelepon taksi untuknya.”

“Aku harus meminta maaf padanya besok.”

“Mm, kita bisa melakukannya besok.” Dengan lembut Off membantu Gun bergeser ke tepi tempat tidur. Dia memperhatikan Gun menurunkan kaki satu per satu ke lantai. “Apa kau terluka?”

Satu kebohongan saja. Gun tahu arah pembicaraan ini, jadi satu kebohongan akan dapat meringankan hati Off. Tidak salah lagi lelaki itu lelah setelah bekerja seharian; Gun bisa membantunya dengan berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja.

Akan tetapi, lidahnya enggan diajak bekerja sama. Kata-kata yang tak sanggup disuarakannya menggumpal dalam bentuk jari-jemari yang meremas lengan kemeja Off.

Off mengarahkan matanya kepada milik Gun, senyumnya tersembunyi dalam bayang-bayang.

“Aku merasa hampir terkena serangan jantung saat Bibi menelepon. Ada apa, Sayang?”

“Aku …” Gun menunduk. “Aku jatuh dari tempat tidur karena berusaha mengambil kruk. Kupikir aku perlu setidak-tidaknya menyapa pegawaimu yang datang.”

Buku-buku jari Off mengusap helaian rambut Gun dari dahi. “Semestinya kau tidak perlu memaksakan diri, Sayang.”

“Ya, aku terlambat menyadarinya,” jawab Gun setengah berbisik, tertawa pahit. “Seharusnya aku tidak muncul dalam kondisi ini di depan orang lain, terutama kepada orang-orang yang menghormatimu.”

Off sudah duduk di sampingnya sebelum Gun menyadari bahwa dia amat membutuhkan pundak untuk bersandar. Sebagian bobot tubuhnya dia topangkan kepada kehangatan kekasihnya.

“Maaf,” gumam Gun. “Ini hanyalah salah satu hari itu. Aku merasa frustrasi karena masih tidak bisa melakukan apa pun dengan benar.”

“Dan kau pasti sudah memendam ini sepanjang hari.” Off mengusap-usap rambut Gun. “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Kita akan berusaha bersama-sama.”

“Sampaikan maafku pada pegawaimu besok. Mungkin aku sudah membuatnya ketakutan.”

Off tertawa di pelipis Gun. “Tidak, aku akan memecatnya besok pagi karena sudah membuat tunanganku menangis.”

Gun menegakkan badan dengan mata terbelalak. “Jangan! Apa yang kau pikirkan?”

Sekali lagi Off tertawa. Dia membimbing Gun untuk merebah bersisian. “Aku hanya bercanda,” katanya. “Jika apa pun, ini adalah salahku karena membiarkanmu sendirian sehari penuh.”

Hati Gun menggeletar. Dia menggulingkan badan ke samping, membenamkan wajahnya di dada Off.

“Maaf, aku bohong,” gumamnya dengan suara kecil. “Alasanku menangis siang tadi, maksudku. Aku bohong.”

“Hmm?” Kedua tangan Off memeluk pinggangnya, aman dan hangat.

“Memang benar seharian ini perasaanku kacau sekali. Aku merasa kurang, aku merasa tersesat, tapi aku tidak punya daya untuk berdiri dan melangkah mencari jalan keluar.” Gun memejamkan mata, mengingat kejadian sore tadi yang mulai samar-samar dalam benaknya. “Lalu, pegawaimu datang. Luar biasa tampan, muda, dan dapat diandalkan. Seratus delapan puluh derajat berbeda dariku.”

“Gun.”

“Tidak, aku tidak pernah mempertanyakan perasaanmu,” potong Gun. “Aku hanya … kupikir aku sedikit menyesal. Suatu waktu dulu aku pernah menjadi seperti dia. Berpakaian bagus, pergi ke kantor setiap hari … tidak pernah cemas sudah merepotkan orang-orang di sekitarku.”

Off mengusap-usap kepala Gun, membimbingnya kembali mendongak agar mata mereka saling bertemu. “Dan sekarang kau berpikir sudah merepotkanku?”

“Bukankah sudah jelas? Kau sudah melakukan begitu banyak untukku. Memangnya kau tidak lelah?”

Air muka Off berubah. Lelaki itu mendesah dan mengarahkan tatapan menerawang ke langit-langit

“Lelah?” gumamnya penuh pemikiran. “Tentu saja aku lelah. Karena itulah aku memperkerjakan Bibi—aku tahu aku akan gila jika harus mencari titik keseimbangan antara mengurus rumah tangga dan pekerjaanku yang juga tidak pernah selesai.”

Gun menggigit bibir. Tentu saja.

“Tapi, kau tidak berada dalam alasan lelahku, Gun,” lanjut Off, menunduk sambil tersenyum. “Setiap pagi aku membuka mata, aku merasa diberikan satu lagi anugerah untuk diperkenankan melihatmu berada di sampingku. Rasanya masih sulit dipercaya, kau tahu? Kau ada di pelukanku seperti ini, tertawa dan mengobrol … dan kadang-kadang menangis.”

Ibu jari Off mengusap kelopak mata bawah Gun yang masih bengkak.

“Kuharap kau berhenti menaruh beban yang begitu besar pada dirimu, Gun.”

Tenggorokan Gun tercekat; pandangannya kembali mengabur oleh air mata. “Jika aku tidak menaruh beban pada diriku sendiri,” dia terisak. “Jika tidak demikian, kau yang harus menanggung semuanya.”

“Dasar anak bodoh,” desah Off seraya membungkus Gun dalam pelukan. “Ini pertempuranmu sendiri. Proses pemulihan ini tidak mungkin mudah, tapi kau melaluinya dengan sedemikian baik. Aku hanya berdiri di samping, menungguimu.” Off mengecup pelipis Gun lembut. “Aku percaya padamu, dengan kepercayaan yang sama besarnya ketika menungguimu membuka mata.”

“Sesekali pikirkan keinginanmu sendiri.” Kata-kata Chimon kembali berdering dalam kepala Gun. “Kau sudah punya suara dan kedua tanganmu, Gun. Jika kau menginginkan sesuatu, kau bisa mendapatkannya.”

Tangan Gun pelan-pelan menjangkau ke belikat Off dan berpegangan erat. “Aku ingin seperti ini,” dia tersedu. “Aku tidak mau makan, atau berganti baju. Aku ingin seperti ini bersamamu malam ini.”

Off tertawa. “Dengan senang hati, Sayang.”

Gun semakin merapatkan tubuh mereka, seolah-olah masih ada jarak yang harus ditumpas.

Besok perjalanan mereka akan dimulai dari awal lagi. Mungkin Gun akan menangis lagi, kebingungan dengan tubuhnya sendiri, marah oleh ketidakmampuannya sendiri. Tetapi setidaknya ada Off di sebelahnya.

Dan dia ingin pelan-pelan memberitahu Off soal segala yang dia rasakan.

 

Notes:

terima kasih sudah membaca!