Actions

Work Header

Within A Nonexistent Meadow, The Carnations Bloom and So Do You

Summary:

Based on Dead Poets Society (1989) & Iris - The Goo Goo Dolls

Notes:

KINDLY READ CAREFULLY BEFORE PROCEEDING

Triger Warnings: major character death, graphic depiction of suicide, substance abuse, domestic violence, grief. Highly advised to not continue reading if you're sensitive with said topics.

This is a fictional work and does not reflect any realities of the face claims. Please be a wise reader.

Selamat membaca :-)

(See the end of the work for more notes.)

Work Text:

 

 

 

 

 

 

Inside the scape of my mind,

there lies a plethora of thoughts.

Of what could’ve been.

Of you, of us.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Selasa, 10 September 2025

Hari itu tidak ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya.

Mario melangkah masuk ke dalam ruang musik sekolah yang berada di ujung koridor lantai satu. Ia duduk di kursi yang selalu ia tempati, mengambil gitar, dan memetiknya dengan pelan. Seperti biasa, ia menghabiskan waktu sepulang sekolah di sana—berdua dengan gitar akustik coklat tua yang merupakan properti milik sekolah. Entah ia memainkan lagu karya musisi favoritnya ataupun rangkaian nada-nada ciptaannya sendiri, yang masih jauh dari kata sempurna.

Tiba-tiba, indra pendengarannya menangkap langkah kaki seseorang melintas di luar ruangan. Awalnya ia tidak menghiraukannya, karena memang beberapa siswa memilih untuk pulang melalui koridor itu, yang merupakan jalan menuju gerbang samping sekolah.

Namun, kali ini, langkah itu berhenti.

Mario mulanya tidak menyadari kehadiran sosok tersebut. Ia baru mengangkat kepala dan menghentikan permainannya ketika ia melihat bayangan jatuh tepat di ambang pintu. Ia menengok dan mendapati seseorang berdiri di sana, tidak masuk, tidak juga pergi. Hanya diam, seolah ragu apakah kehadirannya akan mengganggu.

Anak itu terlihat asing.

Walaupun tidak asing sepenuhnya—Mario merasa pernah melihatnya sekilas. Rambut hitam yang halus, wajah yang selalu tampak tenang, seragam sekolah yang dipakai dengan sangat rapi. Anak baru, kalau tidak salah. Sudah sekitar dua bulan pindah ke sekolahnya.

Sosok lelaki itu tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Mario, lalu beralih pada gitar di tangannya, sebelum kembali menatap wajah Mario, seperti memastikan sesuatu.

“Oh—” Ia berdiri sedikit kaku. “Maaf. Ruangannya mau dipakai ya?”

Yang ditanya menggeleng cepat. “Enggak. Aku cuma… lewat.”

Nada suaranya terdengar datar dan hangat secara bersamaan.

Ada jeda canggung. Angin sore masuk lewat jendela yang terbuka, menggerakkan tirai tipis di sudut ruangan.

“Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu risih. Aku pergi dulu—” Lelaki itu mundur satu langkah, hendak menutup pintu dan meninggalkan Mario kembali sendiri.

“Eh, enggak. Aku nggak risih, kok. Masuk aja, emm…” kalimat Mario menggantung, seperti ingin menyebut nama lelaki itu, tetapi ia tidak tahu. Gesturnya memberi isyarat agar dia memperkenalkan dirinya sendiri.

“Julian. Namaku Julian,” katanya akhirnya. “Aku… Beneran boleh masuk?” lanjutnya dengan ragu.

“Oke, Julian. Beneran, masuk aja,” jawab Mario sambil tersenyum tipis, “Aku Mario. Tapi temen-temen biasa manggil Iyo.”

“Iyo,” Julian mengangguk pelan, seolah menyimpan nama itu baik-baik, “Aku juga biasa dipanggil Ian aja,” Julian melangkah satu langkah masuk, tetapi tetap menjaga jarak.

“Aku… sering lewat sini, karena lebih deket pulangnya,” lanjut Julian, seakan menjelaskan sesuatu yang tak diminta. “Aku suka berhenti sebentar buat dengerin suara gitar kamu. I hope that’s okay?”

Mario berkedip–seakan tidak menyangka bahwa selama ini, ia dan gitarnya tidak hanya disaksikan oleh hal-hal bisu dalam ruang musik.

“Makasih udah dengerin… And of course it’s okay. I feel honored malahan,” kata Mario akhirnya, sedikit canggung. “Aku cuma… main iseng aja.”

Julian tersenyum tipis. Ia tidak duduk. Tidak juga meminta Mario melanjutkan permainannya. Ia hanya berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia melangkah mundur.

Nice to know you, Mario–eh, Iyo. Thanks for letting me hear you play,” katanya sebelum pergi, dan ruang musik pun tertutup perlahan.

Mario duduk kembali, gitar masih di tangannya, tetapi jarinya tak langsung bergerak. Untuk pertama kalinya, ruang musik yang biasanya sunyi terasa berbeda. Seolah ada sesuatu yang baru saja dimulai, meski belum ada apa-apa yang terjadi.

Ia tidak tahu bahwa, sejak hari itu, setiap sore akan terdengar langkah yang sama di koridor itu. Dan Julian akan selalu berhenti sejenak—hanya untuk mendengarkannya.

 

 

Kamis, 12 September 2025

Sore itu berjalan seperti biasanya. Mario sudah lebih dulu berada di ruang musik, duduk di kursi dekat jendela dengan gitar akustik yang bertengger di pangkuannya. Jemarinya bergerak pelan, memetik senar tanpa tujuan jelas—nada-nada lepas yang mengalir begitu saja, tidak dibentuk untuk menjadi lagu, hanya dibiarkan hidup di udara yang sepi.

Ia mengenali suara langkah itu bahkan sebelum langkah tersebut berhenti. Ritmenya khas, tidak tergesa, berhenti tepat di titik yang sama. Mario menghentikan petikannya dan mengangkat kepala.

“Kamu bisa langsung masuk aja, Ian,” katanya santai. “Nggak harus berdiri di depan pintu sampai aku nyuruh masuk terus.”

Julian tidak menjawab. Ia mendorong pintu, masuk ke dalam, lalu menutupnya kembali dengan gerakan hati-hati. Ia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Mario, tas masih di bahunya, seolah belum sepenuhnya memutuskan untuk menetap.

“Kemarin kamu nggak ke sini,” ujar Julian akhirnya.

Mario mengangkat alis tipis. “Kamu nyariin aku?”

Julian tidak langsung menjawab. “Aku lewat,” katanya, setelah jeda singkat.

Mario tersenyum kecil. “Kemarin hari Rabu. Ada ekskul musik. Aku bukan anggota.”

“Kenapa?” Julian menatapnya lurus. “Main kamu bagus.”

Mario menunduk sedikit, jari-jarinya menggenggam leher gitar. “Orang tuaku nggak bakal bolehin.”

Julian terdiam. Ia tidak bertanya lebih jauh, tidak juga mencoba menyanggah. Hanya mengangguk pelan, seolah memahami tanpa perlu penjelasan tambahan.

Mario kembali memainkan gitar. Kali ini lebih pelan, memetik senar sesuka hati, membiarkan nada-nada itu bertemu dan berpisah tanpa rencana. Julian mendengarkan dalam diam.

Di ruangan itu, tidak ada yang berkata bahwa bakat seperti itu sayang untuk disembunyikan. Tidak ada yang mengucapkannya, tapi keduanya tahu—beberapa hal memang harus disimpan, bukan karena tidak berharga, melainkan karena terlalu mudah diambil paksa jika terlihat.

 

 

 

Selasa, 16 September 2025

Sore itu, tak ada yang berbeda—Julian melewati ruang musik dengan niat pulang. Namun langkahnya selalu melambat ketika suara gitar terdengar dari ujung koridor. Tanpa benar-benar ia sadari, kakinya berbelok ke arah ruangan itu—kebiasaan yang sudah terbentuk dengan sendirinya.

Kali ini, Mario tidak sendirian.

Dari ambang pintu, Julian melihat Mario duduk di lantai bersama tiga orang lain. Tas-tas berserakan di sekitar mereka, gitar disandarkan ke dinding, suasananya santai dan akrab, seperti sore yang sudah berlangsung cukup lama. Julian berhenti. Ia merasa datang di saat yang salah. Ruangan itu tampak penuh, dan ia tidak ingin menjadi tambahan yang mengganggu.

Ia menarik napas kecil dan bersiap melangkah pergi.

“Julian! Sini.”

Suara Mario memanggilnya begitu saja, tanpa basa-basi. Ketiga anak yang duduk di lantai ikut menoleh, mengikuti arah pandang Mario.

“Siapa, Yo?” tanya salah satu dari mereka—anak dengan alis tebal yang duduk bersandar ke dinding.

“Yang kemarin gue ceritain,” jawab Mario sambil tetap duduk, gitar masih di pangkuannya. “Yang sering dengerin gue main.”

Julian tersenyum tipis, sedikit canggung, lalu melangkah masuk. Ia berdiri sejenak, tidak yakin harus duduk di mana.

“Kenalin,” lanjut Mario, menunjuk dengan dagu ke arah temannya. “Itu Kalindra.” Anak beralis tebal itu mengangguk singkat.

“Yang sebelahnya Samudra. Dia temanku dari SD.” Anak itu melirik Julian sambil tersenyum kecil, tulang pipinya menonjol ketika ia melakukannya.

“Kalau yang itu…” Mario menoleh ke anak berhidung mancung yang duduk bersila sambil memainkan pick di jarinya, “Kamu pasti udah tau. Jeremy. Panggil aja Jemy. Dia sekelas sama kamu.”

“Julian,” ucap Julian pelan, memperkenalkan diri.

“Oh,” kata Jeremy, menoleh. “Pantesan, kayak kenal.”

Mario menepuk lantai kosong di antara Jemy dan Sam. “Duduk, Ian.”

Julian menurut. Ia duduk bersila di lantai, menaruh tas di sampingnya. Tidak ada yang berhenti bicara hanya karena ia datang. Obrolan kembali mengalir, gitar kembali dipetik. Julian mendengarkan, sesekali tersenyum ketika Kal melontarkan komentar konyol atau Sam mengoreksi nada.

Mario melirik Julian sekilas—hanya untuk memastikan ia baik-baik saja—lalu kembali ke gitarnya. Dan Julian menyadari, tanpa ada yang mengatakannya, bahwa ia tidak lagi sekadar tamu di ambang pintu. Ia sudah duduk di dalam lingkaran itu, ikut mengisi sore yang biasanya hanya ia dengarkan dari luar.

 

 

 

Kamis, 18 September 2025

Julian kembali mendatangi Mario di ruang musik. Mario tidak sadar, tetapi ada perasaan di dalam hatinya yang memang menunggu kehadiran Julian di sana. Suasana kembali sunyi. Tidak ada Kal, Sam, atau Jeremy. Hanya mereka berdua dan suara alunan senar yang Mario mainkan dengan lembut.

“Kamu nggak bosen dengerin aku main terus?” tanya Mario, memetik nada pelan sebagai pengiring.

“Enggak,” jawab Julian singkat, matanya menatap jari jemari Mario yang dengan lihai mengendalikan senar-senar tersebut.

Mario tersenyum tipis, “Kamu bisa main gitar? Atau… alat musik lain, mungkin?”

“Aku pernah belajar piano, sedikit,” jawab Julian, menunduk malu.

Mario menoleh ke arah keyboard di sudut ruangan. Debu tipis menutupi tutsnya, tapi tetap terlihat siap dimainkan. “Coba, aku mau dengar, dong.”

Julian mengangkat bahu, senyum tipisnya tetap malu-malu. “Aku lupa caranya.”

Mario menaruh gitarnya ke sisi kursi. Ia lalu menempelkan kedua tangannya di lengan Julian, menariknya pelan. “Ayo, lah. Pasti inget sedikit-sedikit. Aku juga mau denger kamu main.”

Julian pasrah ditarik oleh Mario, tak menolak. Ia tersenyum tipis, jantungnya sedikit berdebar. Mereka berjalan pelan menuju keyboard, dan Julian menyalakannya. Lampu indikator menyala, suara tuts memantul lembut di ruangan.

Mario menunggu, menahan napas, setengah penasaran, setengah tegang. Julian menekan beberapa tuts, diawali dengan jari-jarinya yang meragu. Namun, perlahan nada-nada mulai mengalir, mengisi ruang musik dengan melodi yang terdengar bersih dan manis.

Mario terdiam.

“Julian…” gumam Mario, suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Matanya menatap wajah Julian, masih sulit mempercayai apa yang baru saja didengarnya. “Kamu mainnya… bagus banget. Serius.”

Julian menunduk, tersenyum malu, sambil menatap tuts yang ada di depannya.

Mario menggeleng, matanya bersinar, sulit menyembunyikan rasa kagum. “Nggak pantas dibilang ‘sedikit’. Kamu… keren, Julian. You’re a natural. Aku nggak nyangka.”

Julian menatap Mario sebentar, senyumnya melebar dari kuping ke kuping. Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan ini di hatinya. “Makasih, Iyo.”

Mario tersenyum dengan perasaannya yang tercampur—kagum, penasaran, dan sedikit heran. Ia baru menyadari, Julian bukan hanya bisa bermain alat musik; tiap tuts yang ditekan Julian mempunyai nyawa sendiri, seakan tiap nada membawa cerita yang berbeda.

Sore itu, mereka duduk berdampingan. Julian di depan keyboard, Mario di lantai dekat gitar, dan ruangan yang biasanya hanya diisi senar kini terasa hangat. Bukan karena cahaya matahari yang menembus jendela, tapi karena kehadiran seseorang yang mampu membuat setiap nada terdengar lebih hidup—lebih berarti.

 

 

 

Senin, 22 September 2025

Siang itu, bel sekolah berbunyi, menandai waktu istirahat. Mario berdiri di depan kelas yang berada di tengah koridor, ditemani Kal dan Sam, menunggu Jeremy yang masih di dalam.

Begitu Jeremy keluar, ketiganya bersiap bergegas ke kantin, namun langkah mereka terhenti ketika melihat Mario masih berdiri di sana, matanya mengintip ke dalam kelas.

“Iyo! Nunggu apa?” tanya Sam.

“Ian,” jawab Mario. Ia menatap jauh ke pojok belakang kelas, mencari-cari sosok yang ia kenal. Matanya bertemu dengan Julian yang sedang duduk menyendiri di bangku pojok belakang.

“Ian!” panggil Mario. Julian menoleh, mata mereka bertemu, dan sebuah senyum tipis muncul di wajah Julian. Ia berdiri perlahan, ragu tapi tak bisa menahan diri untuk mendekat.

“Kenapa, Iyo?” Julian menanyakan dengan nada hati-hati, masih setengah bingung.

Mario tersenyum, merangkul pundaknya dengan ringan. “Ayo ke kantin bareng.”

Julian menoleh ke arah tiga orang teman Mario, seperti meminta persetujuan. Mereka tersenyum kepadanya.

“Ayo, Ian.” Ujar Jeremy dengan gestur tangan mengajak.

Julian tersenyum tipis. Ia pun mengikuti Mario serta teman-temannya.

Mario berjalan di sampingnya, merangkul bahu Julian ringan, cukup untuk memberi rasa nyaman. Julian menoleh sebentar, dan Mario membalas dengan senyum kecil.

Kal, Sam, dan Jeremy berjalan di depan, mengobrol santai seperti biasa, tapi Julian tidak merasa terasing. Langkah mereka tenang, ritme percakapan normal, dan Julian tahu ia diterima—tidak lagi sebagai anak baru yang asing, tapi sebagai bagian dari kelompok.

 

 

 

Jumat, 26 September 2025

Jam menunjukkan pukul lima, Mario sedang bersiap pulang. Ia meletakkan gitar akustik sekolah kembali ke tempatnya dan mematikan lampu dan seluruh arus listrik lainnya di ruang musik.

Seperti biasa, Julian juga ada di sana. Ia sudah menunggu di depan pintu ruang musik, menunggu Mario. Mereka biasanya keluar dari gedung bersama, lalu berpisah dekat gerbang samping karena Mario berbelok ke parkiran sepeda untuk mengambil sepedanya. Tapi kali ini, Mario merencanakan sesuatu yang berbeda.

“Kamu selalu pulang jalan kaki?” tanya Mario, saat mereka bertemu di luar.

“Iya. Rumah aku dekat. Cuma beberapa gang aja dari gerbang samping sekolah,” jawab Julian singkat.

“Mau aku anter?” Mario mencondongkan badan sedikit, senyumnya ringan. “Tapi aku ambil sepeda dulu.”

Julian menunduk sebentar, ragu. “Nggak usah. Nanti malah ngerepotin kamu.”

Mario sedikit membungkuk untuk menyamakan matanya dengan mata Julian. “Kan aku yang nawarin, Ian.”

Julian tersenyum tipis, sedikit gugup. “Oke…”

Mereka berjalan bersama ke parkiran sepeda. Mario mengambil sepedanya—hanya satu jok, cukup untuk dirinya sendiri—lalu menuntunnya keluar gerbang samping, sambil berdampingan dengan Julian.

“Kamu bakal nuntun sepedamu sampai rumah aku?” tanya Julian, nada bercampur penasaran dan malu.

“Iya. Biar kamu ada teman jalan,” jawab Mario, suara ringan tapi hangat. “Kalau aku naik sepeda, kamu ketinggalan jauh, dong.”

“Terima kasih, Mario.” Jawab Julian dengan senyuman tipis.

“Kamu sendirian di rumah?” Mario bertanya. Tangannya menuntun sepeda, tetapi matanya menatap Julian.

“Nggak. Ada Bunda. Ayah belum pulang.” Jawab Julian. “Kamu mau mampir dulu? Makan sore di rumahku. Bunda selalu masak banyak.”

“Nggak bisa,” jawab Mario singkat, wajahnya menegang sedikit, nada suara turun. “Orang tuaku bakal marah kalau tau aku pulang terlambat.”

Julian diam, tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menunduk menatap kakinya yang berjalan seirama dengan milik Mario.

“Mereka biasanya pulang antara jam enam sampai tujuh malam,” lanjut Mario, matanya sedikit menunduk. “Mereka taunya aku langsung pergi ke rumah pas bel pulang bunyi. Makanya aku selalu pastikan udah sampai rumah sebelum jam enam.”

Julian hanya mengangguk, menanggapi ucapan Mario.

“Kamu nggak punya gitar di rumah?” tanya Julian polos, matanya menatap Mario dengan rasa ingin tahu.

“Pernah punya. Aku beli pakai uang tabunganku,” jawab Mario, nada suaranya ringan tapi ada bayangan kesedihan di wajahnya.

“Lalu?” Julian menunduk sedikit, menahan rasa penasaran.

Mario terdiam. Perkataannya seperti tertahan di leher. Ia ingin mengungkapkannya, namun tidak bisa. Hanya satu kata saja yang berhasil keluar, “Rusak.”

Suara sepeda dan langkah kaki mereka pun mengisi keheningan jalan tersebut untuk beberapa saat sebelum akhirnya Julian berhenti di depan sebuah rumah. Rumah tingkat sederhana dengan warna yang tenang, seperti menggambarkan pemiliknya.

“Sudah sampai,’ ujar Julian singkat dan tersenyum, “Makasih ya, Iyo, udah anterin aku.”

“Sama-sama,” jawab Mario, nada suaranya tenang. “Titip salam ke bunda kamu aja, ya. Maaf aku nggak bisa mampir.”

Julian tersenyum, sedikit menunduk. “Santai aja, Iyo. Nanti aku salamin.”

Mario menaiki sepedanya, tangan menggenggam stang dengan nyaman. “Kalau gitu, aku pulang dulu, ya.”

“Iya, hati-hati, Iyo,” balas Julian tersenyum, matanya masih menempel pada Mario.

Mario membalas pandangan manis itu dengan senyuman yang sulit disembunyikan. Tanpa sadar, tangannya bergerak, mengelus kepala Julian sebentar—sentuhan singkat, ringan, tapi cukup untuk membuat Julian tersipu.

“Dadah!” seru Mario, tersenyum lebar sebelum mengayuh sepedanya menjauh.

Julian menatap sosok Mario yang perlahan menjauh, senyumnya bertahan lama. Ada rasa aneh yang tak bisa dijelaskan—seperti sesuatu yang tersisa di udara, membuat langkahnya lebih ringan, dan sore itu terasa sedikit berbeda dari biasanya.

 

 

 

Senin, 6 Oktober 2025

Julian duduk di lantai, persis di depan Mario yang juga duduk bersila, matanya menatap jemari Mario yang menari di atas senar gitar. Ia membawa snack kecil, sudah memakan sebagian untuk dirinya sendiri, sementara satu bungkus lain tetap utuh di sampingnya—Mario terlalu asyik dengan gitarnya untuk memperhatikan.

“Kamu mainin lagu apa? Dari kemarin selalu nada-nada itu terus,” tanya Julian sambil mengunyah keripik, sedikit bingung tapi penasaran.

“Bukan lagu apa-apa. Aku cuma nyoba mainin nada yang aku bikin sendiri,” jawab Mario tanpa mengalihkan pandang dari gitarnya.

Julian menunduk sebentar, lalu menatap snack di tangannya. “Kamu belum makan snack-nya.”

“Nanti aja. Tangan aku masih kotor pegang senar,” jawab Mario, nada santai tapi tetap fokus.

Julian menatap jari-jari Mario yang bergerak begitu alami, kemudian menoleh ke mata Mario yang tetap menatap catatan nada di bukunya. Tanpa berkata apa-apa, Julian mengambil sebuah keripik dan mendekatkannya ke arah mulut Mario.

Mario mendongak, permainan gitarnya berhenti sejenak, matanya menatap Julian dengan bingung.

“Dimakan. Katanya tangan kamu kotor? Aku suapin aja. Tanganku bersih,” ujar Julian, suaranya pelan tapi mantap.

Mario tersenyum tipis, sedikit kaget tetapi senang. Ia membuka mulut dan menerima keripik dari tangan Julian, lalu kembali memainkan gitarnya.

Julian menatap jemari Mario yang berada di bagian fret gitar. Bekas-bekas senar tampak jelas di ujung jari, sedikit memerah.

“Itu… sakit nggak?” tanya Julian, matanya tetap terpaku pada jari-jari Mario.

Mario menoleh sebentar, menyadari arah tatapan Julian. Ia mengangkat tangannya, memamerkan ujung jarinya. “Ini? Nggak sakit. Aku udah biasa.”

Dia lalu menyodorkan tangannya, telapak menghadap Julian. “Raba aja. Keras rasanya.”

Julian sejenak ragu, tetapi kemudian ia menyentuh ujung jari Mario perlahan. “Iya… keras.”

“Kalau udah sering main gitar, jari-jari yang menekan senar bakal mengeras sendiri, kayak kapalan gitu deh. Itu malah bagus buat gitaris. Jadi nggak sakit lagi kalo pencet senar,” jelas Mario, suaranya tenang tapi bersemangat.

“Ooo…” Julian membentuk huruf O dengan bibirnya, matanya berbinar ringan. Ia mengambil satu keripik lagi dari bungkusnya, lalu menyodorkannya ke mulut Mario.

Mario terkekeh, sedikit gemas dengan sikap Julian, lalu membuka mulut menerima keripik itu. Tanpa menunggu lama, ia kembali menempelkan jemarinya ke senar gitar. Nada-nada yang selalu didengar Julian kembali mengalun.

 

 

 

Rabu, 8 Oktober 2025

Layaknya Rabu-Rabu sebelumnya, Mario tidak bisa menggunakan ruang musik pada hari itu karena digunakan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Namun, ide lain muncul di kepalanya untuk menghabiskan sore harinya, selain langsung pulang ke rumah.

Mario berjalan ke arah tengah-tengah koridor tepat saat bel sekolah berbunyi. Ia biasanya menunggu Jeremy di depan kelas itu, tetapi sekarang ia menunggu Julian.

Jeremy terlihat mengobrol sebentar dengan Julian, lalu tersenyum tipis seolah menyerahkan Julian kepada Mario. Tanpa menunggu lama, Jeremy berpamitan kepada mereka berdua lalu melangkah pergi, menyusul Kal dan Sam yang sudah berada di ruang musik.

“Aku kira kamu nungguin Jemy,” ucap Julian, menatap Mario dengan alis sedikit terangkat.

“Nggak. Nungguin kamu,” jawab Mario.

“Kenapa?” Tanya Julian.

“Mau jalan-jalan, nggak? Ke mana gitu. Aku belum mau pulang.” Mario melihat Julian dengan tatapan berharap, “Jalan kaki aja, kayak kemarin,”

Julian berpikir sebentar, lalu mengangguk, “Oke.”

Mario mengambil sepedanya, dan mereka berdua keluar dari gerbang sekolah. Seperti biasa, Mario menuntun sepedanya, langkah kaki mereka seakan sendiri yang menuntun arah. Mereka berjalan tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti alur sore yang tenang.

“Kamu nggak keberatan, kan, aku ajak jalan-jalan?” tanya Mario, menoleh sebentar. “Kamu boleh nolak, kok. Aku nggak maksa.”

Julian tersenyum tipis. “Aku mau, kok, Iyo. Aku suka ngobrol sama kamu.”

Mario terkekeh ringan. “Aku juga suka ngobrol sama kamu.”

Suara daun kering yang terinjak kaki mereka pecah perlahan di antara heningnya sore.

“Kamu sejak kapan suka bermusik?” tanya Julian, matanya mengikuti gerakan tangan Mario saat menuntun sepeda.

Mario terdiam sebentar, seolah mengingat-ingat. “Sejak SMP, kayaknya. Sam yang ngenalin aku ke alat musik. Dia punya drum-set dan gitar di rumahnya. Dari kecil dia udah jadi drummer hebat, menurutku.”

Julian hanya diam, memberi Mario ruang untuk bercerita.

“Aku langsung minta gitar ke Papa, tapi dimarahin. Katanya, jadi pemusik gak bakal berguna buat masa depanku,” Mario menghela napas panjang, menatap ke jalan di depan mereka. “Karena Papa nggak mau beliin, aku nabung sendiri. Waktu itu aku beli gitar diam-diam, nyimpen di bawah tempat tidur biar nggak ketahuan. Tapi entah dari mana, Papa tahu. Gitarku… dibanting, di depan mataku. Leher fret sama badan gitarnya pecah.”

Julian menatap Mario, wajahnya menahan iba. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengikuti langkah Mario, dekat tapi tetap memberi ruang.

“Aku nangis waktu itu,” lanjut Mario, suaranya lirih tapi tegas. “Masih inget banget sampai sekarang… masih sakit hati. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Dia Papaku.”

Julian menoleh sebentar, menatap Mario dengan tatapan lembut. Tanpa bicara, ia menepuk bahu Mario dengan ringan—hanya cukup untuk menunjukkan bahwa ia ada di sana, mendengar, dan peduli.

“Dulu cita-cita Papa jadi dokter,” entah angin dari mana, Mario seakan terdorong untuk bercerita lebih lanjut. “Udah lulus sarjana. Tapi karena satu dan lain hal, Papa gak bisa lanjutin mimpinya. Makanya, Papa jadi bener-bener berharap sama aku. Dari kecil Papa udah dorong aku buat jadi murid pinter. Nilaiku dipantau terus. Jadi, mungkin, pas aku nunjukkin ketertarikan aku ke hal lain, Papa takut usahanya bakalan sia-sia.”

Mario menatap ke depan lagi. Walaupun ia baru saja menceritakan bagian hidupnya yang pahit, ia tersenyum, meski samar. Ada rasa lega yang tak bisa ia jelaskan, karena ada Julian di sampingnya, berjalan bersama di sore yang mulai memerah.

“Kalau kamu? Kenapa kamu bisa main piano?” Tanya Mario, menoleh ke Julian yang matanya masih menatap jalanan.

Julian terdiam sejenak, matanya menatap ke depan sambil mengingat-ingat. “Waktu aku kecil… sebelum eyang meninggal, aku selalu diajarin main piano sama eyang. Terus, waktu ulang tahunku yang ke-11, eyang beliin aku piano. Aku senang banget waktu itu. Aku jadi belajar piano terus.”

Mario tersenyum tipis, memperhatikan Julian yang tersenyum manis ketika mengenang masa kecilnya.

“Tapi…” Julian menunduk sebentar, suaranya pelan. “Waktu aku kelas delapan, keluargaku sempat mengalami masalah ekonomi. Ayah di-PHK karena perusahaannya bangkrut, dan Bunda nggak kerja. Aku hampir nggak bisa sekolah lagi. Kami cuma mengandalkan sisa tabungan Ayah sama Bunda dan terpaksa harus jual beberapa barang di rumah, termasuk pianoku.”

Mario menunduk, mendengarkan dengan serius, tangannya menggenggam stang sepedanya sedikit lebih erat.

“Sejak saat itu… aku nggak pernah main piano lagi. Jadi kupikir, aku udah nggak bisa,” lanjut Julian, menoleh ke arah Mario, matanya sedikit menatap langsung. “Tapi sekarang ekonomi keluargaku perlahan membaik, kok. Yaa, walau belum bisa kebeli piano yang sama lagi.”

Hampir satu jam mereka habiskan untuk berjalan dan berbincang. Tidak terus berjalan—kadang mereka berhenti, duduk di trotoar jalan yang sepi, membiarkan sore lewat perlahan sambil berbagi cerita yang tak terasa berat.

Saat matahari mulai condong, Mario mengantar Julian sampai ke depan rumahnya.

“Makasih ya, Ian,” ucap Mario sambil tersenyum kecil. “Udah nemenin aku.”

Julian membalas tatapannya. Cahaya sore memantul di matanya. “Aku juga makasih… karena udah percaya cerita sama aku. Dan makasih udah dengerin ceritaku juga.”

Mario mengangguk. “Aku suka dengerin kamu.”

Julian tersenyum—tidak lebar, tapi cukup untuk membuat Mario memperhatikannya lebih lama dari seharusnya.

Mario naik ke atas jok sepedanya.

“Hati-hati di jalan, Iyo,” kata Julian.

Mario berhenti sebentar. “Ian.”

“Iya?”

“Aku suka kalau kamu senyum,” ujar Mario, suaranya lembut.

Julian terdiam sejenak, lalu menunduk sedikit. “Oh…” katanya singkat. “Makasih, Iyo.”

Mario tersenyum, lalu melambaikan tangan. “Dadah.”

Ia hendak mengayuh sepedanya, tetapi,

“Iyo.” Panggil Julian dengan suara lembut, tetapi cukup untuk membuat Mario menghentikan aksinya, “Iya, Ian?” jawab Mario sama lembutnya.

“Kamu lebih dari apa yang Papa kamu pikir tentang kamu,” Ujar Julian dengan nada serius, tapi tetap tenang. Bibirnya tersenyum tipis.

Mario tersenyum manis, “Makasih, Ian.”

Ia pun mengayuh sepedanya pergi, sementara Julian masih berdiri di depan rumah, menatap punggung Mario yang perlahan menjauh—dengan senyum yang masih belum hilang dari wajahnya.

 

 

 

Rabu, 15 Oktober 2025

Di dalam kamarnya, Mario duduk di depan meja belajar dengan buku paket yang terbuka rapi, seolah benar-benar sedang membaca. Di sampingnya, sebuah buku catatan tergeletak—penuh coretan, tanda hapus, dan baris-baris yang ditulis ulang.

Mario tidak sedang belajar.

Ia menulis lirik lagu.

Kata demi kata ia susun pelan, diselingi simbol chord gitar yang ia tulis di atas baris lirik. Beberapa ia coret, beberapa ia ganti. Lagu itu belum jadi apa-apa—hanya potongan perasaan yang belum ia tahu akan dibawa ke mana.

Klik.

Mario mengenali suara itu tanpa perlu menoleh. Pintu kamarnya. Papanya tidak pernah mengetuk. Refleks, Mario membalik halaman buku catatan ke halaman lain—materi pelajaran—dan meletakkan pena seolah baru saja berhenti mencatat.

Papanya masuk, berdiri cukup dekat hingga bayangannya jatuh di atas meja.

“Belajar apa?” tanyanya singkat, suaranya datar.

“Biologi, Pa,” jawab Mario tanpa menatap.

“Bagus.”

Tidak ada pujian, hanya pernyataan. Papanya berbalik. “Makan. Mama udah selesai masak.”

“Iya,” jawab Mario pelan.

Setelah pintu tertutup, Mario menatap buku catatannya sejenak. Ia menutupnya, memasukkannya ke dalam tas sekolah—seperti menyimpan sesuatu yang tidak boleh terlihat—lalu berdiri dan melangkah ke dapur untuk makan malam.

Di meja makan nanti, ia tahu, tidak akan ada yang menanyakan apa yang ia tulis. Dan ia pun tidak akan menceritakannya.

 

 

 

Kamis, 23 Oktober 2025

Sepulang sekolah, Mario berjalan ke arah ruang musik bersama Julian. Sekarang, Mario memang berniat menjemput Julian—bukan karena ada janji resmi, tapi karena rasanya aneh kalau datang sendiri-sendiri dengan tujuan yang sama. Lebih masuk akal jika berjalan berdampingan.

Baru setengah jalan menuju ruang musik, suara-suara dari belakang memanggil namanya bertubi-tubi.

“Iyo! Yo! Mario! Woy!” Semua nama panggilannya disebut.

Mario belum sempat menoleh ketika sebuah lengan tiba-tiba melingkar di lehernya dari samping. Ia tersentak.

“Apaan sih—kaget gue,” gerutunya.

Sam tertawa, masih merangkul Mario, sementara Kal dan Jeremy menyusul dengan langkah cepat.

“Liat ini,” kata Sam antusias, menyodorkan sebuah poster kecil ke depan wajah Mario.

Mario membacanya cepat di dalam hati; Lomba Musik, bla bla bla untuk pelajar SMA, bla bla bla format band 3-6 orang, bla bla wajib membawakan lagu ciptaan sendiri, bla bla bla dalam waktu satu bulan.

Ia membacanya lagi lebih pelan, seolah memastikan ia tidak salah lihat.

“Hah…” Matanya membesar, senyum spontan muncul di wajahnya.

Ia menatap Sam, nyaris tidak bisa menyembunyikan semangatnya. “Sam,” katanya cepat, “ayo ikut, Sam.”

Sam sama bersemangatnya dengan Mario. “Makanya gue tunjukin ke lo, Yo!”

Kal ikut menimpali, “Syaratnya harus lagu karya sendiri. Lo banget, Yo!”

“Lumayan hadiahnya. Juara satu, tiga juta. PLUS mereka bakal bantu ngerilis lagunya, Yo!” Ujar Jeremy.

Mario tidak langsung menjawab. Matanya kembali ke selebaran poster itu, berhenti di kalimat lagu ciptaan sendiri.

Tanpa sadar, ia menoleh ke arah Julian. Julian berdiri sedikit di belakang mereka, memperhatikan dari tadi. Tatapan mereka bertemu sebentar.

Julian tidak berkata apa-apa. Tapi ada senyum kecil di wajahnya—senyum yang seolah menyemangatinya.

Dan untuk pertama kalinya, Mario tidak hanya membayangkan lagunya dimainkan di ruang musik yang sunyi, tapi di hadapan orang-orang. Dengan suara yang tidak perlu disembunyikan.

 

 

 

Senin, 27 Oktober 2025

Sejak Sam menunjukkan poster lomba band itu, ada sesuatu yang berubah pada cara Mario memegang gitar. Lagu yang sebelumnya mengalir pelan kini terasa seperti sesuatu yang harus dikejar. Ia memberi dirinya sendiri tenggat satu minggu—untuk merampungkan lagu, sebelum sisanya dipakai latihan. Julian menyadari itu dari hal-hal kecil: Mario yang lebih sering menatap senar tanpa memetik, jeda napas yang lebih panjang sebelum satu chord dibunyikan.

“Lagu kamu udah sampai mana, Iyo?” tanya Julian suatu sore.

“Udah jadi,” jawab Mario, pelan. “Tapi aku masih ragu sama nadanya.” Ia melirik sebentar. “Kamu mau jadi pendengar pertama?”

Julian mengangkat bahu kecil. “Aku, kan, hampir tiap hari dengerin kamu main.”

“Iya,” kata Mario. “Tapi belum pernah yang lengkap. Sama liriknya.”

Julian mengangguk. “Soalnya kamu selalu nyanyiin liriknya dalam hati.”

“Hehe.” Mario menyengir. “Aku masih malu.”

Mario akhirnya memainkan lagu itu secara utuh di depan Julian. Chord-chord yang selama ini hanya terdengar terpisah kini dirangkai rapi, mengiringi suaranya yang semula ragu, lalu perlahan menemukan pijakan. Di bagian reff, nadanya melebar—tidak meledak, tapi cukup untuk membuat lagu itu hidup dan bernapas.

Julian mendengarkan tanpa menyela. Tatapannya tidak lepas dari Mario, dari jari-jarinya yang berpindah senar sampai suara yang keluar pelan tapi jujur. Ketika nada terakhir berhenti, ia masih diam beberapa detik, seolah menahan sesuatu.

“Aku mau nambahin intro, solo, sama coda,” kata Mario akhirnya, menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Tapi aku stuck.”

Julian menggeleng pelan. “Yang tadi itu udah bagus,” ujarnya.

Mario menurunkan tangannya. Bahunya terasa sedikit lebih ringan.

“Terus liriknya,” lanjut Julian, nadanya tetap santai, seolah tidak sedang mengatakan hal besar. “Aku suka. Sederhana, tapi kena. Nggak lebay, tapi rasanya nyampe.”

Mario terdiam sesaat. “Serius?”

“Iya,” jawab Julian singkat. “Kalimatnya kayak orang yang ngomong langsung, bukan nyanyi.”

Ia lalu menambahkan, “Soal solo, intro, sama coda juga kamu pasti bisa. Kamu sering metik senar asal aja tetap kedengaran enak, kok. Gak semua orang bisa ngelakuin itu.”

Mario mengangguk kecil, menyembunyikan senyum yang hampir muncul.

Sejak hari itu, lagu itu tidak lagi terasa seperti beban—lebih seperti sesuatu yang ia rawat diam-diam, tanpa Julian tahu bahwa setiap kata di dalamnya ditulis dengan satu nama yang sama di kepalanya.

 

 

 

Jumat, 31 Oktober 2025

Di ruangan musik, Mario dan Julian tidak hanya berdua. Sam, Kal, dan Jeremy duduk bersila di lantai, membentuk setengah lingkaran. Julian berada paling dekat dengan Mario, bersandar ke dinding, lutut ditekuk. Mario sengaja mengumpulkan semua temannya di sana untuk menjadi juri atas lagu karyanya. Lagu yang nanti akan mereka semua mainkan di atas panggung.

Mario menarik napas sebelum memulai. Intro mengalun pelan dari gitarnya—sederhana, berulang, tapi langsung menarik perhatian. Sam yang tadinya bersandar santai langsung duduk lebih tegak. Kal berhenti mengetuk lantai. Jeremy mencondongkan badan sedikit ke depan.

Mario mulai bernyanyi.

Suaranya tenang, tidak memaksa. Chord berpindah rapi dari verse ke verse, mengalir tanpa jeda yang canggung. Saat masuk ke reff, petikannya terbuka, cukup luas untuk membuat ruangan terasa penuh. Sam melirik Kal sekilas, alisnya terangkat. Kal membalas dengan anggukan kecil. Jeremy menahan senyum, seperti sedang menghitung struktur lagunya di kepala.

Julian diam saja. Matanya mengikuti jari Mario, lalu naik ke wajahnya setiap kali Mario mengangkat kepala. Ia tahu lagu ini—nada-nadanya, potongan-potongannya—tapi baru kali ini lagu itu terdengar utuh.

Bagian solo datang tanpa banyak pamer. Nada-nadanya bersih, pas, dan tidak berlebihan. Sam menghembuskan napas pelan. Kal berdecak lirih. Jeremy memejamkan mata sebentar.

Coda menutup lagu dengan pelan. Satu nada terakhir dibiarkan menggantung sebelum akhirnya menghilang.

Hening.

“Anjir…” Sam akhirnya buka suara, sambil menggaruk tengkuk. “Gue merinding, serius.”

Alis tebal Kal masih ia tahan ke atas, matanya masih menatap gitar Mario. “Ini lagu lo beneran? Bukan hasil nyontek band mana gitu?”

Mario mendengus pelan. “Nggak lah.”

Jeremy langsung menyahut, nadanya lebih teknis. “Strukturnya enak. Verse-reff-nya kebaca jelas. Solo-nya juga nggak maksa.” Ia menoleh ke Sam. “Ini bisa kita rapihin bareng.”

“Bisa banget,” kata Sam cepat.

Mario menurunkan gitarnya perlahan. Dadanya masih terasa penuh. Ia melirik Julian tanpa sadar.

Julian tersenyum kecil. “Aku bilang juga apa,” katanya pelan.

Sam menangkap arah pandang itu dan menyeringai. “Pendengar setia lo setuju, Yo.”

Mario tertawa pelan. Untuk pertama kalinya sejak lomba itu muncul, lagunya terasa punya tempat—dan ia tahu, ada satu orang yang sudah percaya bahkan sebelum lagu itu selesai.

 

 

 

Senin, 10 November 2025

Latihan masuk pertemuan keempat. Sejak awal, mereka sepakat menyewa studio—ruang sempit dengan lampu redup dan dinding peredam suara, tempat gema gitar dan dentuman drum terasa lebih jujur. Mereka menyewa hampir setiap pulang sekolah, selama dua jam sehari. Mario berdiri di tengah, gitar menggantung di bahunya, mikrofon tepat di depan mulutnya. Kal di sisi kiri untuk mengiringi gitar keduanya, Jeremy duduk di dekat ampli bass, dan Sam di belakang, dikelilingi set drum.

Julian duduk di sudut ruangan, seperti biasa. Diam. Mengamati. Terkadang menjadi juri.

Mereka memainkan lagu itu dari awal sampai akhir. Mario bernyanyi dengan suara yang semakin mantap tiap latihan, gitar akustiknya berpadu dengan elektrik Kal. Drum Sam stabil, bass Jeremy mengikat semuanya. Secara teknis, lagu itu sudah rapi.

Coda berakhir. Senyap.

Sam meletakkan stik drum ke atas paha. “Udah enak,” katanya. “Tapi kok rasanya…”

“Kayak ada yang kurang,” sambung Kal.

Jeremy tidak langsung bicara. Ia melirik ke arah keyboard di sudut ruangan, lalu menekan satu tuts pelan—sekadar contoh. “Di beberapa bagian, kalau ada lapisan piano tipis, lagunya bakal lebih halus.”

Mario ikut menoleh ke keyboard tersebut.

Dan tanpa berpikir panjang, matanya menuju ke seseorang.

Ke Julian.

Julian tersentak. “Eh—nggak, Yo.”

Mario menurunkan gitarnya. “Kenapa nggak?”

Julian berdiri setengah, gelisah. “Aku udah lama banget nggak main. Takut salah. Takut malah ngerusak.”

“Ini latihan,” kata Sam santai. “Rusak juga nggak apa-apa.”

Julian tetap menggeleng, “Nggak.”

Mario mendekat. Bukan berdiri di depan Julian, tapi sedikit menyamping—memberi ruang. Suaranya turun, nyaris tenggelam oleh dengung ampli.

“Julian,” katanya, pelan tapi tegas. “Kamu nggak lagi dinilai. Nggak ada juri. Nggak ada siapa-siapa di sini selain kita.”

Julian menelan ludah. “Aku takut lupa.”

“Kalau lupa,” kata Mario, “aku yang nyanyi. Aku yang tanggung.”

Julian terdiam.

Mario melangkah satu langkah lagi, kini benar-benar sejajar. “Kamu dengerin lagu ini dari awal aku belum berani nyanyiin liriknya. Tapi kamu tetap duduk. Tetap dengerin.”

Ia menghela napas. “Sekarang giliranku dengerin kamu.”

Ruangan terasa lebih sempit.

“Aku nggak minta kamu jago,” tambah Mario, lebih pelan. “Aku cuma minta kamu coba.”

Julian memejamkan mata sejenak. Lalu, nyaris tak terdengar, ia berkata, “Kalau salah?”

“Ini masih latihan, Julian. Kesalahan masih bisa diperbaiki.” Jawab Mario.

Ada hening singkat. Lalu Julian melangkah ke keyboard.

Ia duduk. Punggungnya kaku. Jari-jarinya menggantung di atas tuts.

Mario kembali ke posisinya. Ia memetik chord awal—perlahan. Memberi waktu.

Piano masuk ragu-ragu. Satu nada. Lalu satu lagi.

Mario mulai bernyanyi. Suaranya sengaja ditahan, memberi ruang. Di reff, Julian menemukan pola—tidak ramai, tidak mencolok. Tepat.

Kal menoleh. Sam mengangkat alis. Jeremy tersenyum kecil.

Dan Mario—di tengah lagu—melirik ke samping. Tatapannya bertemu Julian.

Ia mengangguk kecil. Sekali.

Nada piano itu bertahan sampai akhir lagu.

Coda selesai. Senyap kembali.

Julian berdiri cepat. “Maaf kalau—”

“Anjir. Ian, lo keren banget…” Kal memotong perkataan Julian.

“Kita masukin Julian,” ujar Jeremy mantap. Ia menghampiri Julian lalu menepuk pundaknya. “Lo ikut.”

“Aku…? Ikut manggung beneran?” Tanya Julian ragu. Matanya menunduk menatap keyboard di depannya.

“Lo natural, Ian. Padahal cuma ngikutin nada kita, tapi kedengeran hampir mulus. Tuts yang salah pencet masih bisa diperbaiki,” lanjut Jeremy meyakinkan.

“Lo ikut,” Sam berkata sekali lagi.

Mario tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berdiri di tempatnya, membiarkan reaksi teman-temannya berbicara lebih dulu—cara Sam mengangguk puas, Kal yang langsung nyengir, dan Jeremy yang tanpa sadar memukul senar bassnya pelan, seolah membenarkan bahwa bagian itu memang akhirnya menemukan tempatnya.

Julian tersenyum. Senyumnya kecil, tapi sampai ke matanya. Ia menoleh ke arah Mario dan menahannya agak lama, seakan memastikan satu hal.

Mario membalas tatapan itu dengan mengacungkan jempol. Bibirnya bergerak tanpa suara.

Keren.

Julian menarik napas lega, lalu tertawa pelan.

 

 

 

Rabu, 19 November 2025

Hari ini, mereka tidak punya jadwal latihan. Sam, Kal, dan Jeremy harus mengikuti ekstrakurikuler, sehingga sore ini tidak bisa dihabiskan dengan latihan di studio. Namun, Mario dan Julian juga tidak pulang ke rumah masing-masing. Seperti biasa, Mario menuntun sepedanya, dan mereka memilih jalur yang lebih panjang menuju rumah Julian—jalur yang memang sengaja diambil untuk mengobrol lebih lama.

“Makasih ya, Iyo,” ucap Julian tiba-tiba, memecah keheningan.

“Hah? Kenapa?” Mario terkekeh sambil menoleh. “Kok tiba-tiba banget.”

Julian menunduk sebentar, lalu berkata pelan, “Aku cerita ke Ayah sama Bunda soal lomba itu.”

Julian mendongak sedikit untuk menatap Mario. “Mereka kelihatan senang… karena aku main piano lagi.” Suaranya merendah. “Itu gara-gara kamu kemarin nyuruh aku coba.”

Mario tersenyum lebar. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tangannya dan mengusap ujung kepala Julian pelan. “Itu mah karena bakatmu sendiri, Ian.”

Julian ikut tersenyum, lebih lebar dari sebelumnya. Sentuhan itu membuat langkahnya jadi lebih ringan. “Tapi kalau kamu nggak maksa dikit,” katanya sambil berjalan lagi, “aku mungkin masih mikir terlalu lama.”

Mario mengangkat bahu. “Kadang emang harus dicoba dulu. Takutnya belakangan.”

Julian mengangguk. Ia melirik sepeda yang dituntun Mario, lalu kembali menatap wajahnya. “Kalau nanti lombanya selesai…”

“Hm?” Mario menoleh, menunggu Julian menyelesaikan kalimatnya.

“Kita masih main bareng, kan?”

Mario tersenyum kecil. “Ya iyalah.” Ia menoleh sebentar. “Selama kamu mau dengerin.”

Julian tertawa pelan. “Aku selalu mau.”

Langkah mereka kembali seirama, sore berjalan pelan, dan jarak rumah Julian terasa tidak sejauh biasanya.

Mario tiba-tiba menunduk, langkahnya melambat.

“Aku belum bilang ke orang tuaku soal ini,” ucapnya pelan. “Aku takut.”

Julian tidak menjawab. Ia masih memberi ruang untuk Mario bercerita.

“Aku nggak pernah berani ngomongin soal musik ke mereka. Rasanya… selalu salah.” Mata Mario masih memandangi kedua kakinya yang melangkah.

Julian diam sebentar, memikirkan kata-katanya. “Kamu nggak mau coba bilang?”

Mario menggeleng pelan. “Belum kepikiran caranya.”

Julian menghembuskan napas, lalu berkata hati-hati, “Kamu bisa coba bilang dulu aja.” Ia melirik Mario. “Siapa tahu mereka malah bisa ngeliat kalau kamu emang punya bakat. Dan… ya, mungkin mereka bakal dukung kamu ke depannya.”

Mario tidak langsung menjawab. Tapi langkahnya kembali seirama, dan sorot matanya sedikit berubah—masih ragu, tapi tidak sesempit tadi.

Mario terdiam cukup lama setelah itu. Suara langkah mereka di trotoar yang sepi terdengar lebih jelas dari biasanya.

“Kalau mereka bilang nggak? Atau bilang aku buang-buang waktu?” tanya Mario akhirnya. Nadanya rendah. “Aku kasihan sama kamu dan yang lain kalau malah nggak dibolehin nantinya. Kita semua udah kerja keras buat nyempurnain lagu ini.”

Julian tidak menjawab. Kali ini bukan karena ingin memberi Mario ruang untuk bicara, namun karena perkataan Mario ada benarnya.

“Andai aku gak harus harus diam-diam, ya,” lanjut Mario seketika.

Julian berhenti berjalan, dan Mario pun ikut berhenti.

“Mario, kamu bikin lagu,” kata Julian sambil menatap Mario lurus. “Kamu bikin melodi sendiri. Kamu main di band. Kamu nyanyi. Itu bukan diam-diam. Itu kamu. Mereka cuma belum liat.”

Mario menelan ludah.

“Aku gak bakal maksa kamu buat bilang ke orang tua kamu. Tapi, apa salahnya mencoba, kan? Hidup cuma sekali, Iyo.” Julian lanjut berjalan pelan, diikuti Mario di sampingnya. “Kalau mereka bilang nggak, kamu bisa… kabur lewat jendela.”

“Hahaha!” Mario terkekeh. “Ternyata kamu bisa bandel juga, ya?”

Julian terkekeh bersama Mario. Senyumannya membuat Mario lupa akan ketakutannya soal pendapat orang tuanya.

 

 

 

Jumat, 21 November 2025

Sore itu adalah hari terakhir Colors—nama band yang baru saja mereka sepakati beberapa jam lalu—berlatih sebelum lusa akhirnya mereka menampilkan bakat mereka. Mereka tidak berlatih di hari Sabtu, karena akan sulit bagi Mario untuk izin keluar rumah.

Latihan hari itu terasa paling rapi dibanding hari-hari sebelumnya. Lagu yang mereka buat kini mengalir tanpa tersendat. Tidak ada lagi bagian yang terasa kosong atau dipaksakan. Intro masuk dengan halus, reff terdengar mantap, solo gitar dan keyboard saling mengisi, dan coda menutup lagu dengan tenang. Bukan berarti lagu itu sempurna, tetapi sudah cukup utuh untuk dibawa ke panggung besok.

Mereka akhirnya berhenti sejenak, duduk di tempat masing-masing, mengatur napas. Sam, yang masih duduk di balik drum, memutar-mutar stiknya dengan jari sebelum angkat bicara.

“Gimana, Yo? Soal Papa lo.”

Mario mengangkat bahu. “Hari Minggu, Papa sama Mama gue pergi sampai malem. Aman, lah. Gue bisa balik sebelum mereka pulang, kayaknya.”

“Kamu nggak jadi izin?” tanya Julian pelan.

Mario menggeleng. “Nggak. Maaf. Aku takut.”

Julian mengangguk pelan. Tidak ada paksaan di matanya, tidak juga pertanyaan lanjutan. “Nggak apa-apa,” katanya singkat.

“Besok fokus tampil aja. Nggak perlu mikirin gue, ya. Santai aja,” ujar Mario, berusaha terdengar ringan. Ia tahu teman-temannya paham—paham betul bahwa jika ketahuan, reaksi Papanya bisa jauh dari kata biasa.

Wajah khawatir Sam tidak bisa ditutupi. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu paling mengerti soal Mario. Sam hanya menjawab pelan, “Oke.”

Sempat hening beberapa saat, memberi mereka waktu untuk menarik napas dan mencerna semuanya. Jeremy lalu bangkit berdiri, bass sudah tergantung di bahunya. “Main satu kali lagi,” katanya santai, “habis itu kita pulang.”

Sam langsung duduk tegak di belakang drum, memutar stik di jarinya. Kal menyesuaikan strap gitar, lalu melirik Mario. “Gas, Yo.”

Mario mengangguk. Ia menatap Julian sekilas, seolah minta izin. Julian membalasnya dengan anggukan kecil, senyumnya tipis tapi yakin.

Mereka memainkan lagu itu sekali lagi. Kali ini tanpa banyak berpikir—lebih lepas, lebih mengalir. Tidak ada yang dihitung berlebihan. Setiap orang sudah tahu bagiannya masing-masing. Saat coda mengalun pelan dan nada terakhir dibiarkan menggantung, ruangan itu kembali hening, tapi kali ini rasanya berbeda. Bukan canggung, melainkan puas.

 

 

 

Minggu, 23 November 2025

Hari lomba pun tiba, Minggu malam. Kelimanya sudah berada di lokasi, menunggu giliran tampil terakhir, pukul delapan malam.

Orang tua masing-masing sudah duduk di barisan depan, kecuali orang tua Mario. Sedikit terasa sedih, tapi ia telan perasaan itu. Hari ini adalah salah satu momen terbesarnya—lagu ciptaannya akan dimainkan di depan publik.

Satu band lain masih tampil sebelum mereka. Di belakang panggung, mereka–Colors–bersiap-siap, mengecek alat musik dan menenangkan diri.

“Kamu udah siap?” tanya Mario, menoleh ke Julian yang berdiri di sampingnya.

“Deg-degan sih,” jawab Julian jujur, menggenggam ujung bajunya sendiri.

“Wajar. Aku juga,” sahut Mario, tersenyum tipis. Seketika ketegangan sedikit mencair, tapi dadanya tetap berdebar.

Band yang tampil sebelum mereka akhirnya selesai. MC menyelingi sebagai pengisi waktu saat Colors diminta panitia untuk menyiapkan semua alat musik di atas panggung. Mario memeriksa gitar akustik dan Kal memeriksa gitar elektrik mereka, Jeremy memastikan bass-nya pas, Sam menyesuaikan posisi drum, sementara Julian menata keyboard.

Mario kemudian berkeliling, memberi senyum dan anggukan pada teman-temannya, sekadar menyemangati. Saat ia tiba di sisi Julian, ia menatapnya sebentar lalu berkata tanpa konteks, “Terima kasih, Ian.”

Julian menatap Mario, sedikit bingung. Ia hendak bertanya, tapi MC sudah menyuruh mereka mulai.

(a/n: highly recommended to read this part while listening to Iris - the Goo Goo Dolls for a full experience)

“Selamat malam semua. Kami Colors, dan lagu ini berjudul; Iris.”

Mario menarik napas pelan sebelum menekan senar pertama. Suara Bm terdengar hangat, lembut, mengalir ke Bsus2, G, lalu Gmaj7. Perpindahan chord terasa natural, seolah setiap nada menuntun ruangan ke dalam suasana yang tenang, tapi sarat perasaan.

And I’d give up forever to touch you

‘Cause I know that you feel me somehow

Ketika ia mulai menyanyikan baris pertama verse, chord D terdengar sebagai pembuka, kemudian Em dan G mengiringi suara Mario yang sedikit serak tapi penuh perhatian. Chord berpindah ke Bm, A, lalu kembali ke G, menutup verse pertama.

You’re the closest to heaven that I’ll ever be

And I don’t wanna go home right now

Mario menoleh sebentar ke belakang. Julian, dengan tangan di atas tuts keyboard, menatapnya. Matanya bersinar, dada berdebar.

Mario tidak tersenyum atau memberi gestur berlebihan, hanya menahan pandangannya cukup lama—cukup untuk memberi isyarat, cukup singkat untuk tetap aman.

Julian menangkapnya. Jemarinya sedikit bergetar saat menekan tuts berikutnya. Lagu itu, lirik itu, tatapan tadi—tidak kebetulan. Mario menyanyi seakan untuknya, walau tetap menatap ke depan.

And all I can taste is this moment

And all I can breathe is your life

And sooner or later, it's over

I just don't wanna miss you tonight

Mario menurunkan sedikit kepala, menarik napas panjang. Suara gitar mengalun pelan, menyiapkan ruang bagi nada reff yang akan ia nyanyikan. Tangannya di fret tetap tenang, jari-jari siap berpindah mengikuti alur chord Bm, A, G yang telah mereka latih berulang kali.

Mario menghela napas, memberi sinyal—ini bagian yang harus mereka beri jiwa. Reff akan mulai.

And I don't want the world to see me

'Cause I don't think that they'd understand

When everything's made to be broken

I just want you to know who I am

Mario menahan sebentar petikan gitarnya, memberi jeda tepat sekitar enam belas detik. Di momen ini, Kal mulai memetik gitar ritme dengan lembut, bass Jeremy ikut menyusul perlahan, dan Sam menambahkan pukulan drum yang ringan tapi teratur. Julian memainkan beberapa tuts keyboard, menambahkan lapisan melodi halus yang mengisi ruang di antara chord gitar.

And you can't fight the tears that ain't coming

Or the moment of truth in your lies

When everything feels like the movies

Yeah, you bleed just to know you're alive

And I don't want the world to see me

'Cause I don't think that they'd understand

When everything's made to be broken

I just want you to know who I am

Jeda itu terasa sangat panjang, seolah waktu melambat saat mereka memasuki bagian solo. Julian membuka dengan piano, menekan tuts dengan lembut tapi pasti, membentuk melodi pembuka yang hangat. Sam dan Jeremy ikut menyusul, drum dan bass terdengar halus, menjaga ritme tanpa mengganggu.

Mario menatap Julian sejenak, bangga sekaligus terpesona. Ia menambahkan genjrengan gitar akustik, menyatu dengan alunan piano, membentuk dasar yang lembut untuk solo berikutnya.

Kal mengatur efek gitar dengan kaki, napasnya tertahan sebentar sebelum ia mulai solo elektriknya. Nada-nada itu keluar satu per satu, cepat namun presisi, menambah intensitas tanpa merusak keseimbangan lagu.

And I don't want the world to see me

'Cause I don't think that they'd understand

When everything's made to be broken

I just want you to know who I am

Setelah solo Kal selesai, Mario memulai reff lagi. Bm, A, G mengalun, keyboard Julian menambah warna, Sam dan Jeremy menjaga ritme, Kal menurunkan efek.

Reff diulang dua kali lagi, Mario menyanyi dengan lebih percaya diri, gitar akustik mengiringi keyboard. Semua selaras, klimaks lagu terasa utuh, Julian tersenyum tipis menatap Mario.

I just want you to know who I am.

Mario mengulang baris itu perlahan, sebanyak lima kali, setiap pengulangan terdengar lebih lembut dan penuh perasaan. Piano Julian menyertai dengan nada-nada halus, bass Jeremy dan drum Sam menahan ritme tanpa memaksa. Gitar Kal meredup, memberi ruang bagi vokal Mario bersinar.

Akhirnya, Mario menutup lagu dengan coda yang halus—satu nada terakhir bergantung sebelum perlahan menghilang, meninggalkan keheningan hangat di auditorium.

Tepuk tangan penonton menggema di seluruh auditorium. Lampu panggung menyorot Mario dan teman-temannya, sorot itu seakan menegaskan keberhasilan Colors malam itu. Senyum Mario melebar, seakan semua lelah dan latihan berat selama ini terbayar. Ia menatap ke arah depan, orang orang berdiri memberi aplaus dan menyoraki mereka.

Untuk beberapa detik, Mario merasa hidup—seolah setiap nada yang ia mainkan, setiap kata yang ia nyanyikan, adalah miliknya sendiri sepenuhnya. Dunia terasa ringan, dan semua ketakutan, semua ragu, hilang begitu saja.

Namun, di tengah euforia itu, udara seakan mendadak berubah berat. Sorot lampu yang hangat dan tepuk tangan yang menggema tiba-tiba terasa hampa saat matanya menangkap sosok yang familiar di kerumunan penonton, di sisi paling belakang dekat pintu masuk. Papanya.

Jantung Mario seakan tersedak. Wajah papanya kaku, tatapannya menusuk, langkahnya mantap menuju panggung, marah yang jelas terpancar dari setiap geraknya. Sebentar lagi, ia akan berdiri tepat di tempat Mario berada.

Panik menyelimuti. Panitia yang sudah mulai mengarahkan Colors turun dari panggung terasa seperti penyelamat terakhir. Mario menelan ludah, keringat dingin menetes di pelipisnya, dan dengan cepat ia mundur ke belakang panggung, bersembunyi di balik tirai dan peralatan. Suasana meriah tadi berubah drastis—dari kemenangan yang manis menjadi ketegangan yang menusuk tulang.

Di belakang panggung, teman-temannya segera mengerumuni Mario, memberi tepukan di punggungnya dan senyum bangga. “Gila, Yo, tadi keren banget!” ujar Kal. Sam dan Jeremy menepuk bahu Mario sambil tersenyum.

Mario tersenyum tipis, mencoba menutupi ketegangan yang masih terasa dari tatapan Papa-nya tadi. Ia ingin menikmati momen ini dulu, bersama teman-temannya. Pengumuman pemenang memang belum dimulai, tapi untuk Mario, ia sudah merasa menang.

Tiba-tiba, salah satu panitia menghampiri. “Permisi, ada yang namanya Mario? Kamu dicari. Katanya ayahmu. Dia ada di depan pintu belakang sekarang.”

“Oke… Terima kasih,” ujar Mario pelan. Matanya menatap wajah teman-temannya yang tampak panik. Ia menunduk sebentar sebelum melangkah cepat menuju pintu belakang auditorium.

Teman-temannya bergerak mengikuti dari belakang, namun menjaga jarak. Begitu Mario keluar, sosok tinggi Papanya sudah berdiri di sana, menunggu dengan ekspresi tegang dan mata yang menusuk.

“Papa…” panggil Mario pelan, nada suaranya mengandung ketakutan yang jelas.

Tanpa aba-aba, lengan Mario dicengkram dengan erat. Cengkraman itu begitu kuat hingga Mario yakin akan meninggalkan bekas biru di kulitnya. Ia mencoba menahan rasa sakit, namun tubuhnya tetap terpaksa bergerak mengikuti ayahnya.

Papanya menoleh ke arah teman-teman Mario, matanya menyorot tajam terutama ke Sam. Dari dulu, Sam selalu dianggap sebagai pengaruh buruk bagi Mario, dan tatapan itu tidak menyembunyikan kemarahan.

“Mario!” teriak Julian, suaranya penuh kepanikan. Ia ingin berlari menghampiri Mario, tapi Jeremy menahannya dengan tangan di bahunya. “Mario!” Julian tetap memanggil, berharap Mario mendengar.

Mario menoleh sesaat ke belakang. Senyum manis tersungging di wajahnya, seolah ingin menenangkan Julian dan teman-temannya.

Papanya tidak menghiraukan teriakan mereka. Dengan langkah tegas, ia menyeret Mario ke arah parkiran mobil, meninggalkan teman-temannya di belakang, tak berdaya, sambil membawa Mario pulang.

 

 

 

[TRIGGER WARNING: domestic violence]

 

 

 

Mario masuk ke rumah dengan langkah berat. Pintu ditutup di belakangnya dengan keras. Papanya berdiri di ruang tamu, menatap tajam, sementara ibunya duduk di sofa dengan ekspresi cemas tapi tidak bisa menahan ketegangan situasi.

“Kamu udah berani bohong sama orang tua kamu?!” bentak Papanya begitu masuk, suaranya tajam memecah kesunyian kamar. “Papa pulang ke rumah, kamu nggak ada di kamar!”

Mario menelan ludah, dadanya berdegup kencang. Tangannya gemetar, seolah ingin meraih sesuatu untuk menenangkan diri, tapi tak ada yang bisa dilakukan.

Papanya menatap tajam, lalu mengangkat selebaran poster lomba yang tertinggal di meja—sedikit tertutupi buku. “Papa nemu ini di kamar kamu, Mario.”

Hati Mario seperti tercekat. Mata Papanya menusuk-nusuknya, membuat setiap inci dirinya terasa rapuh. Ia tahu, saat ini, semua rahasianya terbuka di depan mata yang paling menakutkan baginya.

“Pa… Aku cuma mau melakukan apa yang aku suka.” Suara Mario terdengar pelan, bergetar, hampir pecah di tengah keheningan ruang tamu yang terasa menekan. Setiap kata terasa seperti tarikan napas terakhirnya, menahan seluruh rasa takut dan sakit hati yang tertumpuk.

“Papa udah berkali-kali bilang sama kamu! Musik nggak akan bikin kamu sukses, Mario!” Papanya membentak, tajam, menembus setiap sudut ruangan. “Musik itu nggak berguna! Kamu harus fokus ke yang jelas—masuk kedokteran! Itu yang bakal bikin hidupmu aman, dihargai! Bukan main gitar atau nyanyi di panggung!”

Mario menunduk sebentar, menelan ludah yang tercekat. Jantungnya berdegup kencang, dada sesak, matanya berkilat menahan air mata.

“Musik itu cuma hiburan bodoh!” Papanya melanjutkan, menepuk meja keras hingga bunyinya bergema. “Kalau Papa nggak larang, kamu bakal buang-buang waktu dan masa depanmu! Papa udah gagal, kamu mau gagal juga?”

Mario menatap Papanya, matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tak bisa berhenti bergetar. “Papa gak peduli sebagus apa penampilanmu tadi di mata orang-orang di sana. Di mata Papa, itu semua sampah, Mario,” lanjut Papanya, suaranya semakin tajam, setiap kata seakan menekan dada Mario.

Mario mengepalkan kedua tangannya, kuku-kukunya menancap ke telapak, rasa panas menjalar ke tenggorokan. Tubuhnya bergetar, tapi ia menahan air mata. Setiap kata Papanya seperti palu yang memukul setiap harapannya.

“Mulai hari ini, gak ada musik lagi. Kalau perlu, Papa pindahin sekolah kamu biar kamu nggak terpengaruh sama temen-temenmu itu! Mereka nggak tau apa yang terbaik buat kamu, Mario. Papa yang tau!”

Mario menelan ludah, jantungnya seperti mau meledak. Suara Papanya menekan perasaannya sampai nyeri. Tapi ia menahan diri. Suaranya naik, lebih keras dari sebelumnya, bahkan lebih keras dari bentakan Papanya, “Aku tau apa yang terbaik buat diriku sendiri, Pa!”

Tiba-tiba, ‘Bug!’

Sebuah tonjokan mendarat di dekat hidung Mario. Darah hangat yang keluar dari hidungnya mulai menetes pelan, basah di bibirnya. Mamanya terkejut, tangan gemetar, tapi tak berani menegur.

“Apa!? Apa, Mario!?” Papanya membentak, wajah merah padam, matanya menyalak. “Apa yang terbaik buat kamu?!”

Mario terdiam, menahan rasa sakit yang menjalar ke wajahnya, napas tersengal, tubuh sedikit goyah. Ruangan terasa sesak, hening, hanya terdengar detak jantung dan darah yang berdenyut di telinganya. Matanya menatap Papanya yang marah, dada berdebar, tangan masih mengepal. Darah menetes, tapi ia tetap tegak, berusaha menahan diri.

Akhirnya, suaranya keluar pelan, hampir berbisik, namun berat:

“Aku… gak tau.”

Diam. Sunyi. Ruang tamu terasa seperti menahan napas bersama Mario, setiap detik membentur hati.

Papanya menggeleng kecewa sambil mengacak-acak rambutnya sendiri, sebelum akhirnya ia pergi ke kamar sambil mengatakan sesuatu, “Anak gak guna.”

Sedikit berbisik, namun Mario masih bisa mendengarnya dengan jelas. Kalimat itu seperti pedang yang menusuk hatinya, sangat dalam sampai menembus ke belakang.

Papanya meninggalkan Mario hanya bersama Mamanya di ruang tamu.

Mario menjatuhkan tubuhnya di sofa. Mamanya mendekat perlahan. Ia mengambil beberapa helai tisu dari meja dan mulai membersihkan darah yang menetes di wajah Mario, juga di bajunya. Tangan Mamanya lembut, tapi gerakannya jelas menunjukkan kesedihan dan keprihatinan. Mario diam, menatap Mamanya, napasnya masih tersengal.

“Semua orang di sana tepuk tangan, Ma. Semua orang di sana suka karyaku,” suara Mario terdengar pelan, hampir berbisik. Ada rasa kecewa, tapi juga bangga terselip di sana.

“Maaf, Nak,” jawab Mamanya lembut, menahan emosinya. “Bersih-bersih dulu. Terus tidur. Besok kamu harus sekolah.”

Ia menatap Mario sebentar, lalu mencondongkan tubuh untuk mencium keningnya. Setelah itu, Mamanya bangkit, menundukkan kepala sebentar, dan pergi menyusul Papanya, meninggalkan Mario sendiri di ruang tamu yang kini terasa sunyi dan berat.

 

 

 

[TRIGGER WARNING: suicide, substance abuse]

 

 

 

Senin, 24 November 2025

02.08

Waktu menunjuk pukul dua pagi. Kota sepi. Lampu jalan berkelip samar, menyisakan bayangan panjang di trotoar yang kosong. Hembusan angin malam berdesir di sela jendela, tapi sunyi tetap terasa menekan. Di dalam rumah, seluruh kamar gelap, orang tua Mario tertidur lelap, dan hanya desah napas mereka yang terdengar, halus dan tak terganggu.

Mario belum tidur. Tubuhnya terbaring di ranjang, namun matanya menatap langit-langit kamar. Hitam. Kosong. Diam. Tapi pikirannya bising, berputar liar tanpa henti, menempel pada kata-kata Papanya, menempel seperti tinta yang tak bisa dihapus. Kata-kata itu berulang, menekuk dadanya, menekan paru-parunya, membuat setiap napas terasa berat.

Ia berguling sebentar di ranjang, menempelkan tangan ke wajahnya. Malam terlalu hening untuk menangis, tapi matanya berair, jantungnya berdetak cepat, rasa sakit itu menumpuk di dada. Setiap nada lagu yang ia mainkan kemarin, setiap tepuk tangan yang dirasakannya, kini menjadi bayangan yang pahit—kegembiraan yang dicampakkan oleh ketakutan akan suara ayahnya.

Dengan langkah perlahan, Mario bangkit dari ranjang. Kaki telanjangnya menapak di lantai, menyentuh dingin yang menusuk. Tangannya gemetar saat ia berjalan menuju dapur, melewati lorong yang gelap dan sunyi. Setiap detik berderak di lantai terasa keras di telinganya sendiri. Pandangannya kosong, menatap lemari obat yang selalu teratur rapi, berbaris dengan nama-nama asing yang tak pernah ia pahami.

Ia membuka lemari. Lampu malam di dapur menyinari botol-botol itu, memantulkan cahaya temaram di wajahnya. Mata Mario menatap satu per satu, tanpa memahami satupun fungsi mereka. Rasa sakit yang menyesakkan dadanya seolah memaksa ia bertindak. Perlahan, tangan Mario meraih, menumpuk, mengambil semuanya. Satu demi satu botol obat butiran itu berpindah ke tangannya. Tanpa suara, tanpa keberanian untuk berpikir lebih jauh. Hingga lemari itu kosong, hanya menyisakan kaca yang memantulkan bayangan tubuhnya sendiri, kurus dan goyah.

Ia berdiri di sana beberapa saat, memandang hasil tangannya sendiri. Sunyi malam menelan semuanya, dan hanya desah napasnya yang terdengar, berat, serak, dan panjang. Hujan malam di luar belum turun, tapi hujan itu terasa di dalam dadanya. Kepedihan, kesepian, ketakutan—semua berkumpul menjadi satu, menekan, mengguncang, menjeratnya di tempat yang gelap dan dingin itu.

Mario menundukkan kepala, rambut hitamnya menutupi mata yang merah. Tidak ada tangisan, hanya sunyi, hanya malam, hanya dirinya sendiri menghadapi dunia yang terlalu keras. Dunia yang tidak mengerti musiknya, yang tidak melihat keberanian yang sudah ia tunjukkan, dan yang tidak peduli pada air mata yang ia tahan sendiri.

Mario meletakkan tumpukan botol-botol obat itu di lantai, lalu menatapnya. Tangannya gemetar, namun ia tetap mengambil botol minum besar dari lemari dan menuang isinya dengan air putih sampai penuh.

Ia duduk di samping botol-botol obat yang berserakan, punggungnya menempel pada tembok. Kepala menunduk, lalu mendongak menatap langit-langit, menatap kosong tanpa tujuan. Matanya tak berkedip, namun pikirannya berputar liar, melayang pada kata-kata Papanya, pada tepuk tangan orang-orang yang menyemangatinya, pada semua yang ia rasa tak adil.

Satu per satu botol dibuka, butiran-butiran obat berserakan di lantai. Mereka berkilau samar di bawah lampu, menumpuk di sekelilingnya. Diam. Sunyi. Berat. Malam itu terasa lebih gelap, lebih dingin, seolah menelan semua kebahagiaan yang pernah ia rasakan.

Mario mengambil segenggam butiran-butiran obat yang telah tercampur di lantai itu. Warnanya beragam, bentuknya asing, semuanya terasa dingin di telapak tangannya. Tangannya sempat berhenti di udara—ada jeda singkat, rapuh, seolah bagian kecil dari dirinya masih bertanya apakah ini benar. Dadanya terasa sesak. Pikirannya berisik. Lalu ia meyakinkan dirinya pelan-pelan: mungkin ini jalan yang paling sunyi, paling cepat, paling tidak menyakitkan untuk berhenti mendengar semua suara.

Ia memasukkan butiran-butiran obat itu ke dalam mulutnya. Rasanya pahit, membuat tenggorokannya menolak. Namun dibantu dengan air putih, ia memaksa menelan, seakan sedang menutup pintu yang terlalu lama dibiarkan terbuka.

Satu genggaman ternyata belum cukup. Kesadarannya masih bertahan, pikirannya masih berloncatan, bayangan-bayangan masih datang tanpa izin.

Maka ia meraih lagi. Dan lagi.

Gerakannya menjadi otomatis dan berulang—bukan karena yakin, tapi karena lelah. Terlalu lelah untuk berpikir ulang.

Ia melakukannya berkali-kali. Cukup banyak.

Cukup banyak untuk membuat suara-suara itu meredup.

Cukup banyak untuk membuat kenangan berhenti mengetuk.

Cukup banyak untuk akhirnya dunia terasa menjauh, perlahan, seperti lampu yang diredupkan satu per satu.

Tubuhnya melemah. Kepalanya terasa ringan, lalu berat. Lantai terasa dingin di punggungnya. Langit-langit yang sejak tadi ia tatap mulai kabur, seolah malam menariknya masuk ke pelukannya.

Dan di antara detik-detik yang memanjang itu, Mario akhirnya terlepas — bukan ke mana-mana, hanya ke dalam gelap yang sunyi, tempat ia tidak perlu menjadi apa-apa lagi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

06.30

Julian menatap ponselnya sepanjang perjalanan ke sekolah, berkali-kali membuka ruang chat yang sama. Satu nama terus berada di sana, tak berubah.

Mario.

Pesan semalam masih menggantung tanpa balasan.

21.15 Iyo

21.15 Gimana?

21.16 Kamu nggak papa?

Di tangannya, lima pick gitar dengan ukuran berbeda tergenggam erat. Ia sudah lama membelinya — disimpan rapi, menunggu waktu yang tepat. Julian ingin memberikannya setelah mereka tampil, sesuatu yang sederhana sebagai tanda terima kasihnya. Untuk Mario.

Pagi ini, ia mencoba lagi.

06.10 Selamat pagi iyo

06.10 Kamu ke mana…

06.10 Kamu kecapean ya?

06.11 Pagi ini bisa ke ruang musik sebelum masuk? Aku bawain sesuatu buat kamuuuu.

06.11 Sebagai tanda terima kasih dari aku!!

Julian kini sudah berada di ruang musik. Bahkan sejak tadi. Jam di ponselnya menunjukkan pukul 06.30 pagi, dan layar itu masih sama — tidak ada balasan, tidak ada tanda Mario akan datang.

Namun Julian tidak pergi. Ia tetap duduk di sana, menunggu, seolah dengan bertahan sedikit lebih lama, seseorang yang ia tunggu pasti akan muncul.

Brak!

Pintu ruang musik terbuka dengan suara yang terlalu keras untuk pagi yang seharusnya biasa.

Julian refleks mengangkat kepala. Senyum kecil sudah hampir terbentuk — kebiasaan yang lahir dari harapan. Ia mengira itu Mario. Selalu Mario. Sosok yang biasanya datang tanpa banyak suara, langkahnya ringan, kehadirannya terasa.

Namun yang masuk bukan dia.

Sam berlari kecil ke arahnya, langkahnya goyah, nyaris tersandung. Wajahnya basah, napasnya tidak rapi, dan sebelum Julian sempat berdiri atau bertanya, kedua lengan Julian sudah dicengkeram erat — terlalu erat untuk sekadar menyapa.

“Mario…” Suara Sam pecah. Ia tertunduk, tangisnya jatuh begitu saja, seolah tubuhnya sudah tidak sanggup menahan apa pun lagi.

“Mario, Ian.”

Nama itu diulang. Sekali lagi. Dan sesuatu yang tidak bernama merayap naik di dada Julian — rasa tidak enak yang datang tanpa alasan jelas, seperti firasat yang terlambat ditolak.

“Mario kenapa, Sam?!” Julian panik. Suaranya meninggi, napasnya tercekat. Tangannya refleks mencengkeram balik, seolah dengan berpegangan ia bisa menjaga dunia tetap di tempatnya.

“Sam — kenapa kamu nangis? Mario kenapa?!”

Sam mengangkat wajahnya perlahan. Matanya merah, kosong, seperti seseorang yang baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.

“Mario udah nggak ada,” jawab Sam, dan kalimat itu jatuh pelan — terlalu pelan — namun cukup untuk membuat udara di ruangan itu terasa berhenti.

Bukan hening yang tenang, melainkan hening yang menggantung terlalu lama, seolah ruangan itu lupa cara bernapas.

Julian tidak bergerak. Tidak berekspresi. Wajahnya kosong — bukan karena kuat, tapi karena pikirannya belum menyusul kenyataan.

“Maksudnya?” Julian memecahkan keheningan tersebut dengan suaranya yang parau. Ia melepaskan tangan Sam yang tengah mencengkram tubuhnya, mengulang pertanyaan tersebut sekali lagi, “Maksud kamu Mario udah nggak ada, apa, Sam?”

Julian menoleh perlahan.

Kal menatapnya — tatapan yang tidak berani terlalu lama bertahan. Matanya merah, basah, penuh oleh sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Tangis itu tidak jatuh, tapi menggantung, membuat wajah Kal terlihat lebih hancur daripada jika ia benar-benar menangis.

Julian lalu menoleh ke sisi lain.

Jeremy membuang wajahnya ke arah dinding, rahangnya mengeras, napasnya tersendat. Ia mengusap matanya cepat-cepat, seperti berharap gerakan itu bisa menghentikan air mata sebelum tumpah seluruhnya. Tapi bahunya tetap bergetar — pengkhianatan kecil dari tubuh yang sudah terlalu lelah berpura-pura kuat.

Tidak ada satu pun dari mereka yang menjawab pertanyaannya.

“Enggak,” suara Julian akhirnya keluar lagi — pelan, rapuh, seperti baru ditemukan di dasar tenggorokan. Ia menggeleng cepat, satu kali, lalu berkali-kali. “Kamu bohong, kan, Sam?”

Matanya bergerak liar, menatap satu wajah ke wajah lain, mencari celah. “Kalian semua bohong, kan?” Tanpa disadari, Julian terkekeh kecil, tawa tipis yang bahkan terdengar salah di telinganya sendiri.

Ia terus menggelengkan kepalanya, seolah kalimat yang tadi keluar dari mulut Sam bisa dibatalkan. Seolah dunia akan mengangguk dan berkata, iya, maaf, cuma bohong.

Namun tidak ada yang ikut tertawa.

Tidak ada yang membalas senyumnya.

“Ian…” Sam mendekat setengah langkah, suaranya diturunkan, penuh kehati-hatian, seperti sedang menghadapi sesuatu yang bisa pecah kapan saja. Tangannya terangkat sedikit, ragu apakah menyentuh Julian akan menenangkan atau justru menghancurkannya.

“Gak mungkin,” Julian memotong, napasnya mulai pendek. “Enggak. Enggak.”

Kata itu diulang, bukan untuk mereka — melainkan untuk dirinya sendiri. Seperti mantra yang dipaksakan agar kenyataan tidak jadi nyata.

“Ian,” Sam memanggil lagi, lebih lembut, lebih putus asa.

“Dia pasti dateng.” Julian bicara cepat sekarang, kata-katanya saling bertabrakan. “Dia cuma telat.”

Tangannya gemetar ketika ia menunjuk ponselnya sendiri. “Aku udah chat dia. Aku suruh dia ke sini. Dia pasti dateng, Sam. Dia nggak mungkin nggak dateng.”

Kebohongan itu keluar terlalu rapi, terlalu terlatih — seperti sesuatu yang sudah ia siapkan tanpa sadar sejak tadi pagi.

“Ian,” Sam mencoba lagi, tapi suaranya kini terdengar hampir patah.

“Dia cuma — “

“Mario meninggal, Julian!” Suara Jeremy akhirnya meledak, memutus kalimat Julian. Nada itu bukan marah — melainkan lelah. Lelah melihat Julian merobek dirinya sendiri dengan harapan palsu. Lelah menunggu Julian berhenti berbohong.

Julian terdiam.

Ia tidak bergerak, tidak bereaksi, seolah tubuhnya tertinggal beberapa detik di belakang kenyataan. Napasnya berhenti sejenak — bukan karena ia menahannya, tapi karena tubuhnya lupa bagaimana caranya bernapas.

Ia belum menangis.

Pertanyaan mulai memenuhi kepalanya, datang satu per satu, tanpa urutan, tanpa jawaban.

Kenapa Mario pergi?

Kenapa dia tidak pamit?

Mario yang ia kenal akan selalu pamit.

“Ini bukan Mario, kan?”

Julian akhirnya mengangkat wajahnya. Tatapannya kosong, seperti sedang melihat melewati mereka semua.

“Kenapa dia nggak bilang apa-apa?” Suaranya mulai bergetar, tapi air mata tetap tidak jatuh. “Dia selalu pamit sebelum pergi. Dia selalu bilang kalau dia mau pergi.”

Matanya berpindah dari Sam, ke Jeremy, lalu ke Kal — mencari seseorang yang bisa menyangkalnya. Siapa pun.

“Dia bakal bilang,” ulang Julian pelan, seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Dia pasti bilang.”

Jeremy menelan ludah. Kata-kata berikutnya jelas bukan sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi juga tidak bisa ia tahan lagi.

“Iyo tergeletak di dapurnya, tadi pagi,” lanjut Jeremy lagi. Suaranya lebih rendah sekarang, seperti ditarik ke dalam dadanya sendiri. Setelah itu, ia diam — terlalu lama untuk sekadar mencari kata. Diam yang membuat ruangan terasa semakin sempit.

Jeremy menunduk. Rahangnya mengeras. Napasnya bergetar. Tangisannya masih mengalir.

“Di sekitarnya…” Jeremy berhenti.

Kalimat itu menggantung, seperti sesuatu yang tidak ingin dilepaskan ke udara. Jeremy mendongak ke atas sambil memegang kepalanya layaknya itu bisa meletus kapan saja. Ia mengacak-acak rambutnya, seolah bisa menghapus kesedihan di pikirannya sendiri. Namun ia tetap memaksa dirinya bicara, meski suaranya nyaris runtuh.

“Di sekitarnya banyak obat.” Ujar Jeremy dengan suaranya yang rapuh. Matanya menatap Julian, pandangannya menusuk tepat di tengah jantung Julian.

Tidak ada kata lain setelah itu.

Ruangan terasa menyempit. Suara apa pun seakan menjauh. Julian berdiri kaku, seperti tubuhnya masih di sana tapi pikirannya tertinggal beberapa langkah di belakang.

Ia tidak bertanya lagi.

Ia tidak meminta penjelasan.

Karena ia tahu.

Ia tahu apa arti kalimat itu.

Ia tahu apa yang terjadi pada Mario.

Ia tahu, dan pengetahuan itu jatuh ke dadanya seperti beban yang tidak bisa diangkat dengan tangan mana pun.

Julian akhirnya runtuh.

Tangisnya pecah begitu saja — deras, tak tertahan, seperti sesuatu yang selama ini ditahan tubuhnya tiba-tiba dilepaskan sekaligus.

Matanya basah sampai ia tidak bisa lagi membedakan bentuk apa pun; dunia di depannya hanya buram dan bergetar.

Wajahnya memerah, panas, napasnya tersengal-sengal seolah dadanya terlalu sempit untuk menampung semua yang ia rasakan.

Dinding kebohongan yang ia bangun untuk menyelamatkan dirinya sendiri roboh seketika. Satu per satu alasan yang tadi ia ucapkan hancur, menyisakan kenyataan telanjang yang terlalu sakit untuk ditolak.

Dan di tengah isak yang mengguncang dadanya, Julian tidak lagi mencoba menyangkal. Ia hanya menangis — karena Mario tidak akan datang, dan karena semua harapan itu kini tinggal reruntuhan.

Tangannya bergerak perlahan ke saku celananya, gerakan yang terlalu hati-hati untuk situasi seberat ini. Dari sana, ia mengeluarkan pick-pick gitar yang sejak pagi ia simpan rapat. Lima buah. Berwarna. Ringan. Terlalu kecil untuk sesuatu yang terasa sebesar ini.

Julian menatapnya lama.

Seakan dengan menatap lebih lama, waktu bisa diputar sedikit ke belakang.

“Aku belum sempat ngasih dia ini…” Suaranya datar, kosong, seperti tidak sepenuhnya miliknya sendiri. Matanya masih tertuju pada pick-pick itu — benda sederhana yang sekarang terasa seperti bukti paling kejam. “Aku belum bilang terima kasih.”

Julian jatuh ke dalam pelukan orang yang posisinya paling dekat dengannya; Sam. Satu per satu pick gitar di tangannya itu jatuh, meninggalkan bunyi kecil yang terasa jauh lebih keras di dadanya.

“Iyo pergi sendirian, Sam…” Suara Julian pecah di tengah kalimat, napasnya tersangkut, seperti setiap kata harus ditarik paksa dari dadanya. Tangannya mencengkeram baju Sam kuat-kuat, seperti takut kalau ia melepas, sesuatu yang lain juga akan hilang.

“Kenapa dia pergi sendirian…?” Tangisnya membesar, bahunya berguncang hebat.

“Dia sendirian, Sam.” Suaranya turun jadi nyaris berbisik, seperti pengakuan yang terlalu kejam untuk diucapkan keras-keras.

“Dia pasti takut. Dia pasti ngerasa nggak punya siapa-siapa.” Julian menggeleng di bahu Sam, air matanya membasahi kain baju itu.

“Aku di mana waktu itu, Sam?” Kalimat itu keluar lirih, penuh rasa bersalah.

“Kenapa aku nggak ada… kenapa aku nggak jagain dia…” Tangisnya berubah sesenggukan yang menyakitkan.

“Dia selalu pamit,” lanjut Julian, suaranya patah-patah.

“Dia selalu bilang ‘dadah’… dia selalu elus kepala aku dulu sebelum pergi…” Julian terisak keras.

“Tapi kali ini nggak ada siapa-siapa, Sam.” Dadanya naik turun tak beraturan. “Nggak ada yang tolongin. Nggak ada yang bilang jangan.”

Dan di pelukan Sam, Julian menangis bukan sekadar karena Mario pergi — tetapi karena Mario pergi tanpa ditemani siapa pun, dan itu adalah luka yang tidak bisa diperbaiki oleh waktu.

Kepalanya terasa berat. Penuh — terlalu penuh — oleh kenangan.

Mario.

Mario yang tetap memetik gitar walau mimpinya tidak diterima.

Mario yang selalu membuatnya tersenyum karena hal-hal kecil yang tidak pernah diminta.

Mario yang percaya padanya sebelum ia percaya pada dirinya sendiri.

Mario yang berjanji akan selalu bermain bersama dengannya, bermusik dengannya.

Mario yang — 

Pikirannya tersendat.

Mario yang kini tidak akan kembali lagi.

Kesadaran itu tidak datang sebagai benturan keras, melainkan merayap perlahan — seperti ombak sunyi yang tampak jinak, namun menyeret siapa pun yang terlalu dekat hingga ke dasar.

Tangis Julian pecah semakin dalam. Setiap tarikan napas terasa seperti kehilangan lain: satu kenangan luruh, satu tawa memudar, satu janji yang tak pernah sempat menemukan bentuknya sendiri.

Mario tidak akan kembali.

Dan pagi itu, dunia tetap berjalan — matahari terbit, jam berdetak — namun terasa kehilangan satu hal yang membuatnya hidup, meninggalkan sunyi yang terlalu besar untuk dijelaskan.

 

 

 

 

 

19 Desember 2025

Sekolah hari itu lebih riuh dari biasanya. Parkiran dipenuhi dengan lebih banyak kendaraan, gerbang terbuka lebar sepanjang hari, dan koridor diisi oleh suara-suara dari percakapan antara siswa dan orang tua. Hari pengambilan rapor akhirnya tiba, satu hari terakhir di sekolah sebelum para siswa menikmati libur dua sampai tiga minggu dan masuk kembali dengan semester baru.

Di dalam kelas, Julian duduk bersama Ayah dan Bunda, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas yang sekarang tengah berbincang dengan orang tua murid lain.

“Julian Gabriel?”

Tak lama kemudian, nama Julian akhirnya dipanggil. Dengan itu, ia dan kedua orang tuanya beranjak dari tempat duduk dan menempati ketiga kursi paling depan yang langsung berhadapan dengan wali kelas.

“Selamat pagi, Pak, Bu,” sapa sang guru dengan tersenyum, “Selamat pagi, Julian.”

Setelah membalas sapaannya, mereka mulai berbincang soal performa akademik Julian selama satu semester. Sang guru memuji bagaimana Julian dapat mempertahankan nilai yang baik dengan stabil. Selain itu, ia juga menyinggung perubahan sikap Julian yang kini terlihat lebih percaya diri di kelas. Julian hanya mengangguk pelan dan menunduk, menerima pujian itu dengan perasaan yang asing.

“Kalau dari Julian sendiri gimana, nak? Ada kendala?” tanya wali kelasnya dengan lembut, “Ada kesulitan adaptasi ke lingkungan baru, mungkin?”

Julian menjawab dengan gelengan pelan dan senyum tipis, “Gak ada, Bu.”

Setelah beberapa menit berbincang dengan wali kelas, Julian dan orang tuanya menyelesaikan pengambilan rapor semester itu. Mereka berpamitan, lalu keluar dari ruang kelas dan mulai menyusuri koridor kelas Julian dengan niat langsung pulang.

Namun langkah Julian tiba-tiba terhenti, membuat orang tuanya ikut berhenti dan menoleh ke arahnya.

“Yah, bun, pulang duluan aja. Aku masih mau ketemu temen-temen,”

“Gak mau kita tungguin aja, nak?” Tanya bundanya.

“Gak usah, bun, kayaknya lama. Nanti aku pulang sendiri,”

“Yasudah,” ujar sang bunda pelan, dengan senyuman yang sangat mirip dengan senyum milik Julian. “Bunda sama Ayah pulang duluan, ya.”

Julian mengangguk kecil sebagai jawaban. Ayahnya mengelus kepalanya dengan lembut sebelum akhirnya mereka berdua berbalik dan melangkah pergi.

Setelah berpisah dengan kedua orang tuanya, Julian membawa langkahnya menuju koridor yang terhubung dengan gerbang samping sekolah. Koridor itu. Koridor yang tadinya selalu ia lewati untuk pulang, yang diam-diam menyaksikan segalanya, yang kini terasa seperti pengkhianatan.

Terakhir kali ia melewati lorong itu adalah di hari ketika rasanya setengah dari dirinya menghilang. Sejak hari itu, ia tidak berani melangkah ke sana lagi. Ia memilih gerbang depan — lebih jauh, lebih melelahkan — asal tidak perlu melewati lorong itu lagi.

Ia takut. Bukan karena gelap atau kisah horor. Ia takut pada dirinya sendiri — takut kalau di sana, di sudut yang sama, ada bayangan yang masih menunggunya, seolah tak pernah pergi.

Namun, untuk kali ini, Julian ingin berani. Satu hal yang diajarkan olehnya untuk Julian — untuk menjadi berani. 

Dengan langkah yang berat, ia membawa dirinya ke ruangan yang berada di paling ujung. Ruangan yang sengaja ia hindari selama tiga minggu ke belakang. Ruangan yang sudah tidak pernah ia masuki lagi semenjak hari itu.

Diputarnya kenop pintu dengan perlahan. Gelap. Julian pun masuk, menutup pintu, dan menyalakan saklar lampu yang kemudian menyinari seisi ruangan. Namun bagi Julian, ruangan itu tetap gelap.

Matanya memindai setiap elemen yang ada di dalam sana. Dari jendela dan tirai yang dibiarkan terbuka, lemari tempat buku dan alat, stand-stand partitur kosong maupun terisi, keyboard, drum, dan… gitar. Pandangannya berhenti pada gitar akustik coklat tua, yang terdapat kursi tepat di sampingnya.

Julian menarik napas dalam, sebelum memberanikan diri untuk melangkah maju menghampiri gitar tersebut. Ia duduk di kursi yang selalu dia tempati. Dirabanya gitar yang ada di hadapannya, mulai dari bagian leher, badan, hingga tiap senar-senarnya.

“Itu… sakit nggak?” tanya Julian, matanya tetap terpaku pada jari-jari Mario.

Mario menoleh sebentar, menyadari arah tatapan Julian. Ia mengangkat tangannya, memamerkan ujung jarinya. “Ini? Nggak sakit. Aku udah biasa.”

Dia lalu menyodorkan tangannya, telapak menghadap Julian. “Raba aja. Keras rasanya.”

Julian sejenak ragu, tetapi kemudian ia menyentuh ujung jari Mario perlahan. “Iya… keras.”

“Kalau udah sering main gitar, jari-jari yang menekan senar bakal mengeras sendiri, kayak kapalan gitu deh. Itu malah bagus buat gitaris. Jadi nggak sakit lagi kalo pencet senar,” jelas Mario, suaranya tenang tapi bersemangat.

“Iyo,” Julian memecah lamunannya sendiri dengan memanggil nama tersebut. “Mario,” ucapnya sekali lagi pada senyapnya ruang. “Kamu lagi ngapain sekarang?”

“Kita juara satu, Iyo,” suaranya nyaris datar, napasnya tidak stabil. Ia menelan ludah, berusaha keras menahan sesuatu yang terus naik ke tenggorokannya. “Kamu tau nggak? Pengumumannya keluar seminggu setelah lomba.”

Ia tertawa kecil — tawa yang singkat dan kosong.

“Waktu itu… kami berempat…” lanjutnya pelan, “harusnya seneng, kan?”

Julian menunduk, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.

“Tapi rasanya salah,” bisiknya. “Soalnya apa artinya menang kalau kamu nggak ada, Iyo?”

Ia mengangkat wajahnya sedikit, seolah menatap seseorang yang berdiri di depannya.

“Waktu itu, video performance kita sempet diputar di sekolah.” Julian tersenyum tipis ketika mengingat-ingat saat itu, “Banyak yang suka lagu kamu, tau.”

Julian kemudian berdiri. Langkahnya menuju keyboard terasa berat, seperti tiap pijakan membawa ingatan. Ia mengelus pinggir keyboard itu pelan.

“Aku pernah belajar piano, sedikit,” jawab Julian, menunduk malu.

Mario menoleh ke arah keyboard di sudut ruangan. Debu tipis menutupi tutsnya, tapi tetap terlihat siap dimainkan. “Coba, aku mau dengar, dong.”

Julian mengangkat bahu, senyum tipisnya tetap malu-malu. “Aku lupa caranya.”

Mario menaruh gitarnya ke sisi kursi. Ia lalu menempelkan kedua tangannya di lengan Julian, menariknya pelan. “Ayo, lah. Pasti inget sedikit-sedikit. Aku juga mau denger kamu main.”

Julian pasrah ditarik oleh Mario, tak menolak. Ia tersenyum tipis, jantungnya sedikit berdebar. Mereka berjalan pelan menuju keyboard, dan Julian menyalakannya. Lampu indikator menyala, suara tuts memantul lembut di ruangan.

“Kalau suatu hari nanti aku udah bisa beli piano lagi, Yo,” suara Ian pelan, nyaris seperti janji yang takut didengar siapa pun. Ia menelan ludah, matanya jatuh ke tuts yang dingin. “Aku bakal main lagi.”

Ia tersenyum kecil — senyum yang rapuh. “Siapa tahu… aku bisa bikin lagu juga kayak kamu.”

Jeda singkat.

“Pakai pianoku.”

Julian melangkah pelan ke arah meja yang terletak di dekat jendela. Cahaya siang jatuh miring di atas permukaannya, memperjelas sebuah ukiran kasar yang dibuat dengan pulpen — huruf-huruf yang ditekan terlalu kuat, seolah ditulis dengan keyakinan yang berlebihan.

Iyo Hendrix.

Julian berhenti. Menatapnya lama. Dadanya terasa menghangat sekaligus perih. Ia tertawa kecil, tawa pendek yang terdengar lebih seperti napas yang bocor.

“Hahaha…” suaranya nyaris berbisik. “Kamu pengen banget jadi kayak Jimi Hendrix, ya, Iyo?”

Julian menangkap sesuatu di bawah meja itu. Sebuah titik gelap yang nyaris luput dari pandangan. Ia menyipitkan mata, lalu perlahan membungkuk, tangannya meraba ke bawah dengan gerakan hati-hati.

Ujung jarinya menyentuh benda kecil itu.

Pick gitar.

Napas Julian tersangkut sesaat. Ia menatapnya di telapak tangan — hitam, sedikit tergores, terlalu familiar.

“Ih, Iyo…” Suara itu keluar refleks, ringan seperti dulu, sebelum ia sempat mengingat bahwa tidak ada yang akan menimpali.

“Ini pick gitar kamu yang waktu itu ilang,” lanjutnya pelan, “Ternyata di sini.”

Julian mengangkat pick itu sedikit, seperti sedang menunjukkannya pada seseorang yang berdiri di sampingnya.

Lalu tangannya turun kembali, perlahan, karena tidak ada yang benar-benar menjawabnya.

Julian melangkah ke lemari kecil di sudut ruangan. Lemari yang selalu ada di sana, tapi jarang ia perhatikan. Ia membukanya pelan, dengan harapan samar — barangkali masih ada sesuatu yang tertinggal. Sesuatu dari Mario.

Di dalamnya, debu menempel tipis. Waktu terasa diam di sana. Beberapa tumpukan buku tersusun tidak rapi, kebanyakan buku paket. Julian mengernyit sedikit, lalu mengambilnya satu per satu, membolak-balik halaman sekilas sebelum meletakkannya kembali.

Ia tersenyum kecil, nyaris geli.

Aneh, pikirnya. Kenapa banyak buku pelajaran di ruang musik?

Namun kemudian, tangannya berhenti.

Di antara buku-buku itu, terselip satu yang berbeda. Bukan buku paket — namun sebuah buku catatan bersampul krem.

Julian terdiam. Dadanya terasa mengencang tanpa aba-aba. Ia menarik buku itu keluar perlahan, seperti takut bunyi gesekan kertas akan merusak momen. Di sampul depannya, tertulis nama dengan ukuran cukup besar, tulisan tangan yang sangat ia kenal — 

Iyo’s.

Dan seketika, semua senyum kecil itu menghilang.

Julian membukanya. Lembar demi lembar. Halaman demi halaman.

Pada awalnya, buku itu tampak biasa saja. Buku catatan Biologi — materi kelas sepuluh. Judul-judul bab, rangkuman, soal-soal. Tulisan tangan Mario memenuhi halaman-halaman depan: tidak terlalu rapi, sedikit miring, beberapa huruf ditekan terlalu kuat, tapi semuanya masih terbaca jelas.

Namun semakin Julian membuka ke belakang, isinya mulai berubah.

Catatan pelajaran perlahan menghilang, digantikan oleh coretan-coretan chord. Potongan lirik. Baris yang dicoret, ditulis ulang, lalu dicoret lagi. Nama nada berulang di sudut-sudut halaman, bertumpuk dengan kata-kata yang belum selesai.

Dari halaman ke halaman, Julian bisa melihatnya dengan jelas — Mario mencoba menulis lagu. Berkali-kali. Dengan sungguh-sungguh.

Dan hampir di setiap percobaan, ia berhenti di tengah jalan.

Lirik-lirik itu terputus. Chord-nya menggantung. Tidak ada penutup, tidak ada akhir — hanya usaha yang ditinggalkan, seperti Mario sendiri yang tak pernah diberi cukup ruang untuk menyelesaikannya.

Julian berhenti di satu halaman.

Tangannya membeku di sana — bukan karena lelah, tapi karena sesuatu di bagian atas halaman itu mencengkeram perhatiannya lebih dulu. Tulisan tangan Mario sendiri, yang cara menulis huruf J-nya ditarik lebih panjang dari yang lain.

For Julian.

Julian tidak langsung membaca apa pun setelahnya. Ia hanya menatap tulisan itu lama, terlalu lama, seolah jika ia mengalihkan pandangan, kata-kata itu akan menghilang. Dadanya terasa sesak. Napasnya dangkal. Ia belum siap menerima apa pun yang ada di bawah nama itu.

Nama dirinya.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia menggerakkan matanya turun, sedikit demi sedikit, seperti seseorang yang tahu bahwa apa pun yang akan ia baca selanjutnya tidak bisa ditarik kembali.

Di bawahnya, ada baris-baris lirik. Dan di sela-selanya, chord-chord yang ditulis hati-hati.

Julian mengenalnya.

Lirik itu terlalu familiar untuk disangkal. Lagu itu — lagu yang kemarin mereka mainkan di panggung. Lagu yang mereka menangkan.

Di bagian paling akhir dari catatan lirik dan chord, ada satu baris tulisan yang membuat segala pertahanannya runtuh.

Tulisan kecil, sedikit miring.

i don’t know if it’s possible to like someone you’ve only known for two months this much, but i guess i do???

thank you for making this song possible, Ian :)

Di situlah tangis Julian akhirnya pecah.

Bukan isak yang tertahan rapi, melainkan tangis yang keluar begitu saja, kasar dan patah, seperti sesuatu yang selama ini ia paksa diam akhirnya menemukan jalan keluar. Pipinya memerah, dadanya naik turun tidak beraturan. Napasnya tersendat, seolah paru-parunya lupa bagaimana cara bekerja dengan benar.

Ia terduduk di kursi terdekat, lututnya melemas lebih dulu sebelum pikirannya sempat menyusul. Matanya tidak lepas dari kalimat itu.

Tulisan itu.

Nama dirinya.

Beberapa tetes air mata jatuh, membasahi kertas. Tinta tidak luntur, tetapi huruf-huruf itu kini tampak bergetar di balik pandangannya yang buram.

Semuanya masuk akal sekarang–sikap Mario yang terasa berbeda, bagaimana Mario selalu menatapnya sedikit lebih lama dari yang diperlukan, senyum kecil yang selalu muncul saat ia bicara, cara tangannya mengelus kepalanya, cara suaranya melunak setiap berbicara padanya.

Semua kedekatan yang tumbuh terlalu cepat tapi tidak pernah terasa salah, semua itu bukan kebetulan. Bukan imajinasi Julian saja.

Dan sakit yang telah Julian rasakan selama tiga minggu ini seakan baru saja bertambah, berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Andai Julian tahu lebih cepat.

Andai ia berani menangkap makna di balik semua perhatian itu.

Andai ia sempat mengatakan bahwa ia merasakan hal yang sama.

Andai ia sempat membalas — bukan dengan diam, bukan dengan senyum malu, tapi dengan kejujuran.

Kalimat seandainya berputar-putar di kepalanya, saling bertabrakan, tidak ada satu pun yang bisa diperbaiki.

Dan di antara semuanya, satu andai terakhir menghantam paling keras:

Andai ia sempat bilang bahwa ia juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya.

Sekarang semuanya terlambat.

Julian menangis dengan buku itu masih terbuka di pangkuannya — menangis dengan rasa hangat dan nyeri bercampur jadi satu. Ada kebahagiaan kecil karena pernah dicintai sedalam itu, dan ada penyesalan yang menyesakkan karena cinta itu baru benar-benar ia pahami setelah kehilangannya.

Tangannya gemetar saat ia menutup buku itu perlahan, lalu memeluknya ke dada, seperti memeluk sesuatu yang sudah tidak bisa kembali.

Dan di ruang musik yang sunyi itu, Julian menangis bukan hanya karena Mario telah pergi — melainkan karena cinta mereka akhirnya saling bertemu, tepat di saat yang paling mustahil.

“Mario…” Julian berkata pelan.

“Maaf.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Inside the scape of my mind,

there lies a plethora of thoughts.

Of what could’ve been.

Of you, of us.

They scatter. They run around.

They scream their barbaric sound.

Wanting to get out, wanting to be true.

Wanting to be freed, just as much as you did.

(One of them pictures us within a vast meadow, where we watch the carnations bloom, 

and in that nowhere we know, the carnation and I watch you finally bloom)

– Taken from 27-year-old Julian’s diary; 24 November 2035.

 

 

Notes:

Suicide Hotline Indonesia: 119 ext. 8 (SEJIWA/Healing119)
or visit www.healing119.id

If you’re struggling, please remember: You are not alone.

Your pain is valid, and help is not a weakness.
There are people who care, who want to listen, and who want you to stay.
You matter.

Terima kasih sudah membaca kisah Mario & Julian! :-) <3
Hit me up on twitter