Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 11 of Gyuhan Series
Stats:
Published:
2025-08-18
Completed:
2025-08-20
Words:
12,998
Chapters:
2/2
Comments:
4
Kudos:
16
Bookmarks:
3
Hits:
246

Memoar

Chapter 2: Lembar Akhir

Summary:

Dua minggu, Jeonghan kembali disibukkan dengan jadwal yang memburu. Ketika dia bergegas kembali ke apartemen di pinggir kota, banyak hal baru yang membuatnya tercengang.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Kembali ke rumah tidak senyaman yang dibayangkan Jeonghan. Jadwal yang sudah diatur padat, memangkas jam istirahat. Dari jepretan kamera satu ke kamera lain, dari pantulan lampu kilat yang menyambar tiap detik. Kepalanya pening, menenggak sebutir aspirin di malam hari hampir menjadi rutinitas. Terkadang dia heran, kenapa mengambil langkah menjadi model peragaan busana yang harus berlenggak-lenggok sepanjang waktu? Kakinya sudah mau putus terjerat kencangnya tali sepatu. Satu busana lagi, dan dia selesai. Sudah dua minggu Jeonghan kembali dari masa rehatnya yang singkat. Tiga hari pertama dihabiskan hanya untuk membuat klarifikasi dan putus kontrak dengan agensi lama dan bergabung dengan agensi baru yang memang sudah menanti dirinya. Beruntung, Seungkwan berminat juga untuk cabut dan terus menempel bersamanya sebagai manajer. Jika tidak, Jeonghan akan pensiun dini. Hidup santai selama tiga puluh hari mengubah tatanan hidupnya yang semula serba cepat, mempesona dan glamor menjadi super santai dan menikmati waktu secara perlahan. 

Jeonghan akhirnya bisa duduk dengan nyaman di sofa yang dia rindukan. Sudah ditinggali sofa lembutnya itu selama tiga puluh hari, setelah pulang pun dia tidak bisa bermanja di sana, memilih langsung masuk ke kamar dan memaku diri pada kasur. Jeonghan memejamkan matanya perlahan sebelum terusik. Sudah dua minggu, empat belas hari, tiga ratus tiga puluh enam jam jika ingin mendramatisir, tapi belum ada satu pun notifikasi dari Mingyu. Jeonghan awalnya masih tetap menjaga pikiran positif, mungkin Mingyu sibuk, atau pria itu terlalu malu jadi menghubungi Seungkwan terlebih dulu.

Namun, nihil. Tidak ada kabar apapun. Jangankan telepon, pesan masuk, email, atau surat tulisan tangan pun tidak ada. Jeonghan pernah menuliskan alamat email dan alamat apartemennya ini di buku catatan Mingyu, omong-omong. Harusnya pria itu sadar dan paham kenapa. Jeonghan mendengus, ponsel yang sempat mengusik heningnya karena bergetar cukup keras sedikit dilempar ke meja. Mingyu seperti menghilang. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Jeonghan tentu sudah mencoba menghubunginya, tiga panggilan pada hari pertama, empat di hari kelima, dan enam di hari kesepuluh. Setelahnya, Jeonghan menyerah, mungkin memang Mingyu yang tidak mau bertemu lagi dengannya. Sesudah semua yang terjadi. Jeonghan menatap pesan yang sempat dikirimkannya dulu. Jangankan balasan, tanda terbaca pun belum muncul. Jeonghan menghapus riwayat kolom obrolannya. Terlihat menyedihkan jika terus disimpan. 

 

Seungkwan masuk ketika Jeonghan setengah pulas, dia membuka mata malas melihat manajernya yang tergopoh membawa setumpuk kantung buah. Jeonghan mulai suka makan buah, padahal dulu dia malas. Lebih sering minta dibuatkan jus dibanding buah potong. Tapi kemarin ada Mingyu yang memotong buahnya. Lagi, Jeonghan menelusupkan kepalanya masuk ke lengan sofa, menyembunyikan desahan putus asa. Kenapa dia terlihat seperti orang putus cinta? Persetan ciuman di atas kasur, Jeonghan tidak seharusnya jatuh hati pada orang yang terlihat baik dan suka memasak seperti Mingyu. 

“Hey, kamu mendengarku?” Jeonghan inginnya terus berpura-pura tidak mendengar suara Seungkwan. “Kita harus pergi ke pemotretan sampul depan Étoile tiga puluh menit lagi.”

“Masih ada tiga puluh menit, biarkan aku tidur dua puluh menit,” suara Jeonghan teredam karena dirinya yang tidak menampakkan wajah. 

“Baik, lima belas menit lagi aku bangunkan. Dirimu tidak akan punya cukup waktu untuk bersiap jika hanya sepuluh menit!” Seungkwan mengoceh. Setelahnya, Jeonghan tidak mendengar lagi suara cempreng milik Seungkwan, mungkin dirinya memang dibiarkan tertidur karena dua hari ke belakang hanya bisa tidur kurang dari empat jam, Jeonghan meringis sendiri membayangkannya. Dia mulai berpikir, untuk apa bekerja sekeras ini? Lalu kembali terbayang bagaimana susahnya dia harus berusaha masuk ke dalam jajaran top model. Berpuasa sekian hari tanpa makanan berat, ditempa berkali-kali dengan jalan bolak-balik di panggung, hingga harus berpuas diri tampil di majalah dengan foto ukuran dua kali dua senti. Dia kadang tidak pernah menyangka bisa berdiri di tahap ini jika melihat betapa menyedihkan kehidupannya dulu. 

Jeonghan tidak bisa kembali tidur, dia segera bersiap daripada kembali terkena omelan beruntun Seungkwan. Sepuluh menit dan dirinya sudah siap, menunggu mobilnya melaju ke gedung Étoile. Majalah itu salah satu majalah paling top di Korea. Jeonghan sudah kali kedua menghiasi sampul depan untuk beberapa musim terakhir. Kali ini dimaksudkan sebagai pengumuman kembalinya dari masa isitirahatnya dan bergabung ke agensi baru. Kebetulan momentumnya sesuai dengan tema majalah itu tahun ini, Luminescence of Tomorrow

Meskipun sudah sering masuk ke jajaran model papan atas, Jeonghan masih cukup gugup jika harus melakukan pemotretan tunggal, hanya akan ada dirinya dan juru foto di dalam. Laju mobil terhenti, Jeonghan menarik napasnya pelan.

“Fotografer hari ini Jeon Wonwoo!” Seungkwan berseru sambil membukakan pintu mobilnya.

Jeonghan menatapnya malas, “terima kasih menambah kegugupanku.” Seungkwan tertawa canggung setelahnya, mengatakan itu bukan masalah besar dan dirinya akan melakukan yang terbaik. Tentu saja Jeonghan akan melakukan hal terbaik, dia tidak pernah setengah-setengah jika bekerja. Tapi Jeon Wonwoo, fotografer terkenal yang jarang orang bisa temui, objek fotonya kebanyakan tentang alam. Beberapa kali mendapatkan penghargaan fotografi tertinggi tapi tidak pernah hadir dalam perayaan, untuk pertama kalinya Jeonghan akan bertemu. Gugup adalah lumrah. 

Pria itu terlihat kaku, ada senyum lembut di wajahnya ketika pria dengan rambut biru di sebelahnya berceloteh. Jeonghan tidak tahu jelas, yang dia sempat curi dengar sebelum memasuki area pemotretan adalah pria dengan wajah yang lebih mungil ingin meninggalkan set tapi ditahan. “Tetap di sini,” katanya. 

Jeonghan bisa melihat Wonwoo menahan pria yang duduk di kursi roda. Pria itu tersenyum, lucu sekali, matanya sisa segaris. Jeonghan berdeham singkat memasuki set. Wonwoo memalingkan wajahnya. Jeonghan menghampiri mereka dan berkenalan. 

“Salam kenal, Jeonghan.” Jeonghan menjabat tangan Wonwoo sambil melirik pria yang memegang buku gambar di sampingnya. Wonwoo memberikan aba-aba untuk segera memulai tanpa mengenalkannya pada pria yang membalas tatapannya lembut. Jeonghan seperti familiar dengan wajahnya. Tapi dia tidak bisa memaksa, Jeonghan tidak boleh meninggalkan kesan buruk di pertemuan pertama dengan orang hebat ini. Pemotretan pun dimulai. 

Semuanya berjalan lancar, Jeonghan makin luwes setelah lima menit kamera memotretnya. Gayanya tanpa perlu diarahkan pun mendapat pujian dari Wonwoo. Ada rasa bangga dalam dirinya sendiri melihat decak puas dari fotografer yang terkenal sukar memuji. Pemotretan utama selesai, setelah kurang lebih empat jam, dengan empat busana berbeda dan satu kali berganti riasan. Ada sedikit rasa mengganjal di hatinya ketika Wonwoo tidak ada niatan mengenalkan pada pria berambut biru yang tenang menggambar di sela-sela pemotretannya tadi. Jeonghan sangat penasaran tapi Seungkwan sudah lebih dulu menghampirinya. Jeonghan menganggap mereka pasangan setelah Wonwoo menjawil pipi pria itu dibalas cubitan kecil namun malah tertawa. Mana gambaran dingin dan irit bicara yang digemborkan orang-orang?

“Siapa itu?” Jeonghan berbisik pada Seungkwan sambil berjalan ke ruang tunggu untuk menghapus riasan dan berganti baju. 

“Kwon Hoshi, tunangan Jeon Wonwoo. Aku baru pertama kali melihatnya, katanya memang sengaja disembunyikan dan jarang terlihat.” 

Jeonghan mengernyit, namanya begitu asing. Jeonghan belum pernah mendengar nama mereka sebelumnya, tapi mengapa ada sesuatu yang membuatnya ragu. “Apa kamu yakin namanya Hoshi?” 

“Tentu! Aku dapat dari orang wardrobe, katanya mereka sempat mendengar Wonwoo memanggilnya begitu. Tidak ada yang berani berkenalan karena Wonwoo selalu menampilkan aura tidak enak jika ada yang memandang tunangannya itu lama-lama.” 

“Oh, kamu tahu? Gosip tiga tahun lalu, ketika Wonwoo tiba-tiba hiatus panjang.” Jeonghan menatap Seungkwan penasaran, tangannya sudah di gagang pintu hendak masuk tapi ditahan. 

“Katanya, itu karena kekasihnya kecelakaan parah hingga harus berakhir di kursi roda. Rumornya dulu dia adalah trainee agensi ternama. Sungguh disayangkan.” 

Jeonghan mengangguk paham, meskipun berita yang disampaikan terdengar mengada-ngada, Seungkwan selalu mendapatkannya dari sumber yang bisa dipercaya. Mendengar kata trainee, Jeonghan teringat lagi dengan Mingyu yang selalu berceloteh tentang temannya yang sibuk karena menjadi trainee di agensi ternama. Jeonghan masuk dengan lunglai. Seungkwan membantunya menghapus riasan perlahan. Hanya tersisa mereka berdua, Jeonghan tidak suka jika ada orang yang masuk ke ruangannya setelah selesai pemotretan, energinya sudah habis dan tidak bisa meladeni orang-orang. 

“Mingyu masih belum menghubungimu?” Tangan Seungkwan berhenti di udara ketika Jeonghan mulai bertanya soal Mingyu. Dia mulai curiga Jeonghan dan Mingyu terlibat sesuatu sebulan kemarin. 

“Tidak ada, kamu sudah bertanya soal itu berulang-ulang.” Jeonghan  mendengus. 

“Apa yang terjadi sebenarnya?” Jeonghan bungkam, Seungkwan berdecak. 

“Haruskah kuhubungi pemilik apartemen?” Jeonghan mendesah malas, “tidak usah, tidak sepenting itu.” 

“Tidak penting tapi kamu sudah bertanya seratus kali. Memangnya ada apa di antara kalian, sih? Bikin penasaran aja.” Jeonghan tidak mau menjawab, ketukan di pintu menyelamatkannya. 

Seungkwan bergegas membukanya, ada Wonwoo yang mendorong kursi roda Kwon Hoshi yang tersenyum. “Tunanganku ingin bertemu dengan Jeonghan apa boleh?” 

Seungkwan melirik Jeonghan yang baru menghapus riasan pada mata kanan dan sedikit di mata kiri. Modelnya menganggukkan kepala, mengenakan jaket yang tersampir di kursi untuk menutupi kaus singlet yang dikenakannya. Dia membuka pintu mempersilakan masuk. Wonwoo mendorong Hoshi yang tersenyum lebar ke hadapan Jeonghan. “Jeonghan, maaf mengganggu, tunanganku ingin meminta foto padamu.” 

Jeonghan tersenyum lebar, “boleh-boleh. Ayo, Seungkwan tolong ambil foto kami.” Jeonghan sedikit berjongkok di samping Hoshi. Setelah dua kali berganti gaya, Hoshi membuka suaranya yang dari tadi hanya tersenyum menatap Jeonghan kagum. “Aku suka sekali dengan penampilanmu tadi, seperti peri.  Kamu sangat indah, cantik, dan tampan dalam satu waktu,” lalu dia menyenggol Wonwoo, “jangan cemburu, Sayang.” 

Jeonghan tertawa canggung mengucapkan terima kasih karena bersinggung tatap dengan Wonwoo. “Kamu sangat menginspirasi untuk mengisi bukuku,” dia menggoyangkan buku gambarnya. Jeonghan tersenyum, “Ohiya, hampir lupa. Tadi kita belum sempat berkenalan, aku Soonyoung, orang-orang biasa mengenalku sebagai Hoshi!” serunya. 

Jeonghan mengerjapkan matanya terkejut, “Soonyoung?” pekiknya. Mengabaikan wajah bingung tiga orang dalam ruangannya Jeonghan menatap Soonyoung dalam, “apa kamu mengenal Kim Mingyu barangkali?”

Bagaimana bisa Jeonghan bisa lupa tentang Soonyoung, teman Mingyu yang selalu muncul di sela-sela percakapan mereka setiap hari. Soonyoung yang suka makan kimchi, soonyoung yang seorang trainee, Jeonghan sedikit sumringah bisa bertemu sosok Soonyoung yang dicap sibuk oleh Mingyu. 

Stop dengan Kim Mingyu agenda, Jeonghan Hyung.” Seungkwan memecahkan suasana senyap sambil tertawa karir melihat Soonyoung dan Wonwoo yang terkejut sambil saling menatap. “Maafkan Jeonghan, dia baru saja pat-

“Dari mana kamu mengenal Kim Mingyu?” Wonwoo memotong ucapan Seungkwan.

Sementara Jeonghan berseru girang, “jadi ini benar kamu! Soonyoung sahabat Mingyu,” Jeonghan menjabat tangan Soonyoung, “dan kamu pasti kekasih Soonyoung yang super manja itu? Benar, ’kan?” alih-alih menjawab Jeonghan memberikan pertanyaan untuk mereka. Soonyoung meremat tangan Jeonghan yang hampir melepaskan genggamannya. 

“Kamu kenal Mingyu? Di mana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja?” Soonyoung bertanya beruntun, dengan suara yang pecah karena menahan tangis. Jeonghan bisa lihat Wonwoo ikut berjongkok memeluk Soonyoung untuk menenangkan diri. 

Jeonghan mengernyit, “apa maksudnya? Aku baru saja akan bertanya kabarnya denganmu. Bukankah kalian suka menelepon satu sama lain setiap malam?” 

“Apa?” Wonwoo dan Soonyoung memekik bersamaan. Seungkwan yang melihat ketiga orang itu berjongkok menyamakan diri dengan Soonyoung ikut menurunkan posisinya, “kurasa kita perlu mengobrol di tempat lain,” usulnya yang disetujui bersama. 

Lalu mereka berakhir duduk di kafe yang ada di lobi gedung, Jeonghan sudah selesai menghapus riasannya, wajah naturalnya memancar aura tidak tersentuh jika tidak dihiasi senyum. Seungkwan duduk di samping kanannya, sementara pasangan yang dijumpainya hari ini duduk bersandingan di hadapannya. Empat cangkir minuman sudah tersaji. Jeonghan yang pertama kali membuka suara soal Mingyu, bersama kenangan tiga puluh harinya, tidak termasuk detail perkembangan rasa yang menggebu di antara keduanya atau momen yang bisa membuat ketiganya mengernyit lebih dalam setelah Jeonghan menyebutkan Mingyu selalu akan menerima telepon Soonyoung malam hari, kadang pukul delapan atau sembilan, Jeonghan sudah biasa melihatnya. Juga satu bingkai kecil di sudut ruangan yang diingatnya, foto mereka bertiga. Pantas Jeonghan terasa familiar, bedanya di foto itu Wonwoo tidak mengenakan kaca mata dan wajahnya tertutup kerah jaket musim dingin sementara Soonyoung rambutnya panjang menyentuh bahu. 

“Aku … kami kehilangan kontak dengan Mingyu sejak tiga tahun lalu.” Baris pertama yang diucapkan Soonyoung membuat Jeonghan hampir menyemburkan sesapan teh kamomil madu miliknya. “Bagaimana?” 

Jeonghan melihat Wonwoo menggenggam erat tangan Soonyoung yang mulai gemetar. “Kami memang teman Mingyu, kamu benar. Tapi sejak kecelakaan tiga tahun lalu, Mingyu seakan hilang. Kontak lamanya mati, tidak ada yang tinggal di rumahnya, kami sudah mencoba mencarinya tapi nihil.” 

“Kecelakaan apa? Lalu bagaimana bisa dia meneleponmu?”

Soonyoung menggigit bibirnya pelan, matanya sudah berair. Wonwoo menatapnya seakan meminta izin untuk menceritakan kembali kisah mereka. Anggukan sebagai tanda konfirmasi, dan Jeonghan terhenyak, pada setiap kalimat yang Wonwoo mulai ceritakan. Soal mereka yang sudah berteman sejak sekolah menengah atas, Soonyoung menjembatani persahabatan mereka. Soonyoung yang kemudian masuk menjadi trainee agensi, Wonwoo yang mulai memasarkan diri sebagai fotografer anonim, dan Mingyu.

Mingyu yang bercita-cita sebagai pemain band dan bisa tetap berkumpul dengan mereka. Semua berjalan cukup baik, Soonyoung yang sudah dijadwalkan debut setelah tujuh tahun berlatih, Wonwoo yang mulai diakui, dan Mingyu yang mulai mengisi penampilan di kafe-kafe. Tapi semua sirna setelah kecelakaan beruntun yang terjadi. Wonwoo yang sudah sampai tempat temu lebih dulu harus menyimpan rasa bersalah tidak ikut bergabung bersama Soonyoung dan Wonwoo. Hujan membuat padangan Soonyoung yang mengemudikan mobil sedikit terganggu, tidak begitu awas ketika ada truk oleng yang melaju di depan mereka. 

“Harusnya kami merayakan ulang tahun Mingyu hari itu,” suaranya makin lirih.

Kecelakaan tragis menimpa mereka. Yang merenggut tujuan hidup Soonyoung, menarik Wonwoo kembali ke dalam zonanya, dan menghilangkan Mingyu dari hidup keduanya. Mendengar penjelasan itu, tanpa menunda Jeonghan langsung menarik Seungkwan untuk segera menyetir menuju apartemen Mingyu. Kalimat Wonwoo terus terngiang, Mingyu koma. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi setelah Soonyoung cukup pulih untuk bisa menjenguknya. Wonwoo mengira ayahnya yang membawa Mingyu pergi, lelaki paruh baya itu membenci Mingyu sejak dulu. Kabar terakhir yang Wonwoo dengar ayahnya meringkuk di penjara karena kasus penggelapan dana. Dan tidak ada Mingyu di mana-mana. Jeonghan semakin gelisah, akankah Mingyu hilang lagi kali ini?

 

Wonwoo dan Soonyoung bilang mereka akan segera menyusul, membiarkan Jeonghan dan Seungkwan mencapai apartemen yang pernah ditinggalinya lebih dulu. Setelah hampir dua jam perjalanan, mereka sampai, Seungkwan segera mengirimkan lokasi kepada Wonwoo sementara Jeonghan sudah berlari masuk ke dalam gerbang. Tidak ada yang berubah, masih sama seperti dua minggu lalu. Suasana sepi yang nyaman. Jeonghan sudah di dalam lift menanti Seungkwan yang tergopoh masuk. Mereka sampai ke lantai empat dan langsung mengetuk pintu unit Mingyu, meski ada bel di depan. Tapi nihil, Jeonghan hampir putus asa hingga Chanyoung dan satu orang yang lebih pendek menghampiri mereka. Wajah mereka mirip, apa ini saudaranya? Batin Jeonghan. 

“Chanyoung! Di mana Mingyu?” Jeonghan langsung berlari mendekat. Pria di samping Chanyoung menatapnya heran, “kamu mengenalku?” 

Jeonghan bingung, alisnya berkerut, “maksudnya?” 

Chanyoung mengambil satu langkah mundur. “Eung … Jeonghan Hyung, kenalkan ini Kakakku, Chanyoung yang asli. Namaku sebenarnya Junyoung, tapi karena Mingyu Hyung tidak pernah ingat, jadi mau tidak mau aku menjadi Chanyoung.” Penjelasan Chanyoung yang ternyata adalah Junyoung membuat kepalanya pening. Dia melihat dua saudara itu heran. 

“Seungkwan, kurasa aku butuh air.” Adalah permintaan Jeonghan sebelum diajak masuk ke dalam apartemen Junyoung. Chanyoung memperkenalkan diri mereka sebagai sepupu Mingyu. Jeonghan mengonfirmasi kebenaran cerita dari Wonwoo soal Ayah Mingyu yang diberikan validitas oleh mereka. “Meskipun aku masih kecil dulu tapi aku ingat bagian itu, sebelum akhirnya keluarga kami pindah ke Amerika.” Jeonghan mengangguk paham. Chanyoung dan Junyoung juga membenarkan kabar kecelakaan Mingyu, memberi konklusi keberadaan Mingyu yang dikira menghilang. 

“Sengaja, kata ibu. Paman Jahat ingin membunuh Mingyu Hyung, jadi ibu membawanya pindah ke rumah sakit ke sekitar sini diam-diam. Mingyu Hyung koma selama enam bulan, sebelum bangun dan terjebak dalam ingatannya sendiri.” Jeonghan makin mengernyit mendengar penjelasannya. Tubuhnya yang lelah sehabis pemotretan rasanya meronta mencerna kisah yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Akan sangat baik jika Mingyu hanyalah pria brengsek yang meninggalkannya semata-mata karena kehadirannya yang singkat, bukan sekelumit rahasia kehidupan yang penuh lika-liku.

“Lalu di mana Mingyu sekarang?” Seungkwan bertanya, menggantikan Jeonghan yang mendadak kelu setelah mendengar semuanya. Terlebih ketika Junyoung yang harus berpura-pura menjadi Chanyoung hampir enam bulan ke belakang karena konfabulasi yang diderita Mingyu. “Hampir mirip dengan skizofrenia bisa dibilang,” kalimat yang membuat getir terasa di tenggorokan Jeonghan ketika bertanya penjelasan umum terkait konfabulasi.

Kedua kakak beradik itu saling pandang, seakan takut membeberkan fakta yang mungkin lebih menyedihkan. 

“Mingyu Hyung … sudah pergi,” lirih Junyoung. Jeonghan mendongak menatap keduanya cepat, raut terkejut sangat amat jelas di wajahnya, Seungkwan yang memekik diabaikan.

“Tidak mungkin!” Ada gelombang air mata yang hendak dilepaskan kelenjar matanya. Seungkwan segera memeluknya yang melemas. 

“Mungkin,” Chanyoung menambahkan. “Mereka akan kembali sekitar sepuluh menit lagi.” 

“Di rumah sakit mana?” Seungkwan masih mendekap Jeonghan yang mulai menangis di bahunya. 

“Rumah sakit? Mingyu Hyung dan Dokter Younghoon pergi membeli makan siang,” Chanyoung berkata ringan. Jeonghan yang tersedu mengangkat kepalanya, Seungkwan membelalakkan matanya menatap Junyoung yang cengengesan. Selagi menunggu Mingyu kembali, Junyoung habis dicubiti oleh Jeonghan dan Seungkwan. Air mata sia-sia, hidungnya sekarang sudah merah seperti tomat. Jeonghan mendengus menarik cermin dari tasnya, wajahnya masih terlihat cukup baik. 

 

Sepuluh menit, Mingyu kembali. Jeonghan berdiri di taman bawah tempat biasa mereka bermain pingpong. Memanggilnya semangat yang dihadiahi kernyitan dalam. 

“Apa aku mengenalmu?” satu kalimat yang lagi-lagi membuatnya menghela napas panjang. Berapa banyak lagi kejutan yang harus dia hadapi hari ini. Dokter Younghoon yang berjalan belakangan menghampiri mereka. “Oh, Jeonghan. Senang bertemu denganmu lagi.” 

Well, cukup mengejutkan tahu dirimu seorang dokter dan bukan video editor.” Younghoon tertawa mendengar ucapannya sementara Jeonghan masih menatap Mingyu yang memandangnya bingung. 

“Baik, aku akan meninggalkan kalian berdua untuk berbincang. Mingyu, silakan menjelaskan kondisimu, kurasa dia perlu tahu.” Younghoon menepuk bahu Mingyu dua kali sebelum naik ke lantai atas. Kini tersisa mereka, Jeonghan mengajak Mingyu yang malu-malu duduk di kursi taman, tempat mereka melihat sarang burung. 

“Bayi burungnya sudah mulai belajar terbang,” Jeonghan membuka pembicaraan. Mingyu menoleh, mengalihkan pandangan dari ujung sepatunya. Ikut memperhatikan sarang burung di atas pohon. Seperti dejavu, rasanya dia pernah duduk di sini melakukan hal yang sama. “Iya, burung merpati baru bisa belajar terbang di usia enam mingguan,” imbuh Mingyu.

Jeonghan memandang Mingyu, mempertemukan tatapan mereka. “Kamu benar-benar tidak mengenalku?” Jeonghan bisa lihat Mingyu tersenyum sendu, matanya memancarkan kesedihan yang tertahan. 

“Maaf,” lirihnya. “Younghoon bilang ada masalah dalam ingatanku. Setelah semua delusi yang kubuat hilang, beberapa memori ikut hilang. Mungkin kamu termasuk di dalamnya,” Mingyu menambahkan. 

Hatinya berat. Jeonghan memalingkan wajah, dia rasanya tidak akan sanggup jika harus menatap Mingyu lama. Lagipula, mereka hanya berbagi ciuman. Jeonghan bisa cari pria lain yang lebih baik, yang tidak akan melupakannya tiba-tiba. Dia hanya butuh waktu. Dua Minggu tentu belum cukup, dia harus meminta Seungkwan memadatkan jadwalnya untuk membuatnya tidak lagi teringat kenangan singkat mereka. 

“Aku bertemu Soonyoung dan Wonwoo” kalimat Jeonghan yang membuat Mingyu menatapnya tidak percaya. Jeonghan bisa lihat dari sudut matanya Mingyu terkejut dan melembutkan urat wajahnya, matanya masih terpaku menunduk. Jeonghan mulai khawatir dengan kondisi leher Mingyu. “Mereka baik-baik saja?” 

“Tentu.” 

Ada perasaan pedih Mingyu melupakan eksistensinya, seakan tiga puluh hari mereka hanya ada di kepalanya. Seakan hanya Jeonghan yang hadir dalam kenangan itu. Matahari kian turun, Jeonghan dan Mingyu terus terdiam menikmati keheningan. Jeonghan tidak tahu harus membahas apa lagi, sementara Mingyu mungkin bingung harus melakukan apa. Baginya, Jeonghan hanya orang asing yang kebetulan mengenalnya. Tidak ada ingatan sama sekali dalam kepalanya. 

“Apa sekarang kamu sudah baik-baik saja?” 

Mingyu menatap Jeonghan sekilas, lalu melirik jarak posisi mereka, lalu terkunci pada meja pingpong yang tidak jauh dari tempat mereka duduk. “Kurasa sudah baik-baik saja. Aku bisa mengingat hal-hal yang biasa kulakukan dua minggu ke belakang, tidak ada skenario palsu tambahan yang sengaja kubuat, info dari Junyoung.” Mingyu tertawa, Jeonghan rindu kekehan yang memperlihatkan taring di deretan giginya.

“Lucu sekali jika ingat aku memanggilnya Chanyoung selama lebih dari satu tahun sejak Chanyoung yang asli lulus kuliah.” Jeonghan ikut tersenyum mendengarnya. “Tapi, Younghoon bilang ada gejala amnesia retrograde, jadi harus tetap dipantau selama beberapa waktu ke belakang.” 

Jeonghan ikut mengangguk. Dia hampir ingat bertanya soal ponsel dan panggilannya yang tidak pernah diangkat sebelum Junyoung memanggil mereka untuk ikut makan. Keduanya berjalan bersisian, membiarkan Junyoung menuntun jalan. Rasanya sangat tidak asing, berjalan bersama ke dalam lift. Biasanya mereka akan berkumpul di unit Mingyu, bermain kartu, lalu bercerita kisah horor. Sekarang, bukan hanya mereka bertiga yang hadir. Ada Seungkwan, Chanyoung, dan Younghoon ikut melingkar di meja makan yang jarang digunakan. Jeonghan bisa melihat tatanan yang sama, masih ada origami burung yang pernah mereka buat bersanding dengan bingkai foto di nakas samping televisi. Masih ada foto dengan wajahnya di sana, mungkin jika Mingyu lebih teliti dia akan bisa melihat Jeonghan di sana. Bunyi denting sumpit dan piring menemani kunyahan mereka. Junyoung yang pertama kali mencairkan suasana dengan bertanya soal kesibukan Jeonghan, dilanjut Seungkwan yang memberi atensi berlebih pada Younghoon. Jeonghan bisa lihat rasa tertarik manajernya itu pada dokter yang terus tersenyum di tiap katanya. 

“Yujin menitip salam omong-omong.” 

Jeonghan mengangguk sambil tersenyum sementara Mingyu menoleh, “Yujin yang suka kalah itu, ‘kan?” Dia tertawa, yang lain terdiam. 

“Kamu ingat Yujin?” Junyoung berkata heboh,  Mingyu mengerjap bingung, “apa seharusnya tidak?” 

Malam itu Jeonghan pulang tidak terlalu larut menimbang dua jam perjalanan yang harus ditempuh untuk balik ke kota. Soonyoung dan Wonwoo berhalangan menyusul. Jeonghan tidak tahu pasti alasannya, yang jelas tidak ada kabar lanjutan selain Soonyoung yang harus dilarikan ke rumah sakit. Mereka menghabiskan waktu menguji ingatan Mingyu yang perlahan pulih. Jeonghan terharu ketika Mingyu ingat dengan mereka yang bermain pingpong bersama Yujin, meski Jeonghan tetap harus meyakinkan Mingyu dirinya yang juga ikut bermain di sana. Mingyu yang menyisihkan bawang bombay di makananya karena seingatnya dia tidak suka itu, padahal Jeonghan yang akan memberikannya irisan bawang tambahan ke mangkuk Mingyu. 

Mobil mereka melaju menjauh, Seungkwan belum bisa berbicara. Jeonghan memandang ke luar, obrolan terakhir mereka membuatnya dilema. Soal Chanyoung sekeluarga yang akan kembali ke Amerika, dan Mingyu yang memungkinkan untuk ikut dan melanjutkan pengobatan di sana. Jeonghan tidak sepatutnya berpikir terlalu keras. Hanya satu ciuman di pagi hari, anggap saja cinta satu malam. Bahkan mereka tidak berbuat lebih. Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lebih dalam. Tapi hatinya menolak, perasaan nyaman dan hangat menyelimuti tiap melihat Mingyu tersenyum di sampingnya. Ada keinginan untuk terus bisa menatap wajah sama rupawannya itu setiap hari. 

“Sudah, kamu masih bisa menghubunginya lewat Junyoung,” Seungkwan berbicara, meliriknya singkat sambil memutar kemudi. Jeonghan berdecak malas, Mingyu lupa menyimpan ponselnya, atau bisa dibilang hilang sekarang. Siapa yang tahu letak ponsel dengan mode senyap itu berada. Pantas tidak ada kabar atau panggilannya yang berbalas.

“Bukan itu,” Jeonghan menjawab. Dia memundurkan kursinya hingga hampir membuatnya terbaring. “Bagaimana jika Mingyu pindah ke Amerika?”

Seungkwan tidak berani menjawab pertanyaan Jeonghan. Ada lipatan dalam di dahi Jeonghan, matanya terpejam seakan mencari jawaban yang sukar ditemukan. Setelah terdiam cukup lama, Jeonghan membetulkan posisi kursinya dan menatap antusias pada Seungkwan. “Lebih memungkinkan mana? Aku ikut pindah ke Amerika atau Mingyu tinggal bersamaku di sini?” 

Seungkwan menginjak rem mendadak. Seakan tidak percaya mendengar pertanyaan Jeonghan barusan. “Ulangi?” Jeonghan mengulanginya sekali lagi dengan senyum lebar seakan menemukan ide cemerlang. Dia tidak habis pikir, Seungkwan menggeleng takjub. 

“Kamu gila? Seberapa penting kehadiran Mingyu untukmu?” Seungkwan mulai menjalankan kembali mobil yang sempat terhenti, beruntung jalanan sepi. “Kalian hanya bertemu satu bulan. Jika tidak ada yang spesial harusnya kamu bisa mudah melupakannya, Hyung. Kalian hanya orang asing, kecuali jika ada ikatan di antara kalian. Apa dia pacarmu? Atau kamu hamil anaknya, huh? Apa laki-laki bisa hamil sekarang?” Seungkwan terus mengoceh berharap celotehannya kali ini bisa memberikan sedikit pencerahan pada otak Jeonghan yang teramat cemerlang. Yang diceramahi hanya melirik malas lalu kembali merebahkan kursinya. Seperti alunan dongeng, Jeonghan tertidur diiringi omelan Seungkwan. 

 

Yang mereka tidak tahu, dua minggu kemudian Jeonghan menyambut Mingyu tinggal di apartemennya. Seungkwan sudah angkat tangan menghadapi tingkah Jeonghan yang terlampau sesuka hati. Lagipula itu tandanya dia bisa lebih sering bertemu Dokter Younghoon, Jeonghan pernah menggodanya sekali yang diprotes mentah-mentah. “Denial Phase”, ejek Jeonghan yang ditimpuki Seungkwan dengan bantal sofa.  

Jeonghan mengajukan diri merawat Mingyu, memberikan pemaparan yang meyakinkan bagi keluarga Bibi Mingyu untuk percaya padanya. Terlebih, Junyoung yang mendukung keputusan Jeonghan dan membujuk ibunya.

“Apa kamu kekasihnya?” Pertanyaan yang sempat membuatnya kaku, tapi Jeonghan percaya diri menjawab, “sekarang belum, mungkin nanti.” 

Tidak ada ragu yang dirasa Jeonghan setelah memilih tinggal bersama orang yang ditemuinya secara singkat, tanpa takut adanya niat jahat terselubung. Amnesia yang dikira akan semakin memburuk perlahan membaik. Mingyu mulai mengingat sedikit demi sedikit. Jeonghan membeli meja pingpong dan mengajak Mingyu bermain setiap sore seperti dulu, menyuruhnya membuat burung origami ketika menantinya pulang bekerja. Dan yang membuat Jeonghan menangis haru di pagi hari, Mingyu menghidangkan galbitang untuk sarapannya.

Ponsel Mingyu ditemukan terselip di antara bantal dan pojok kasur setelah tiga minggu dia pindah, ada yang ingin menyewa unit lamanya. Satu bulan tinggal bersama, Jeonghan terbiasa melihat Mingyu duduk di sofa menantinya pulang. Lalu, menuntunnya untuk duduk sambil menyerahkan segelas air. Dua bulan tinggal bersama, Mingyu akan menghampirinya lalu memeluk tubuhnya erat. Jeonghan akan mengecup bahu Mingyu diteruskan ke pipi. Empat bulan tinggal bersama, Seungkwan dilarang masuk sembarangan ke dalam kamar Jeonghan jika tidak ingin melihat adegan tidak senonoh atau dua orang telanjang di atas kasur. 

Omong-omong, Soonyoung, Wonwoo, dan Mingyu kini kembali berkumpul bersama. Sempat ada adegan penuh air mata ketika Mingyu sekali lagi merasa bersalah melihat Soonyoung harus duduk di kursi roda selamanya. Dan Soonyoung yang menangis tersedu-sedu mendengar kondisi Mingyu sebelumnya. Sekarang, keduanya sering pergi bersama jika Jeonghan dan Wonwoo sibuk. Jeonghan tidak cemburu, tidak ada yang perlu dicemburui dari mereka. Dia yang biasanya akan bergidik melihat Wonwoo dan Soonyoung menebarkan kemanisan hubungan jika sedang kumpul bersama. Meski sempat curiga karena Mingyu selalu menyebut Soonyoung dulu, dia bisa mengerti sekarang. Pria itu terlalu baik, keceriaan yang dibawanya membuat hari semakin cerah. Jeonghan paham, tentu tidak mudah melupakan sahabat seperti Soonyoung. 

Kini mereka duduk saling menyender satu sama lain, Mingyu mendekap Jeonghan yang menimpa separuh badannya. Tayangan film di layar kaca membawa atensi mereka hingga adegan saling melumat bibir membuat keduanya canggung. Jeonghan yang pertama kali menyambar bilah bibir Mingyu. Pria itu kemudian balas mendorong Jeonghan pelan, membawa posisi mereka saling tindih. “Aku cinta kamu,” Mingyu berucap kemudian kembali menghujani Jeonghan dengan kecupan dan sesapan di leher. 

“Pastikan untuk tidak melupakanku lagi,” balas Jeonghan. Mingyu menatapnya dalam, membawa bibir mereka kembali saling bersentuhan, lidah saling membelit dengan tangan yang mulai meraba masuk menelusup ke dalam pakaian. 

 

-selesai-

 

 

 

 

Apendiks:

kon·fa·bu·la·si /konfabúlasi/ 

  1. gangguan memori yang ditandai dengan pembuatan cerita atau detail palsu tanpa disadari untuk menutupi kekosongan ingatan;

  2. gejala psikologis yang sering muncul pada penderita amnesia, demensia, atau cedera otak.

am·ne·sia ret·ro·gra·de /amnesia retrógrade/ 

  1. gangguan ingatan yang ditandai dengan ketidakmampuan mengingat peristiwa yang terjadi sebelum suatu trauma atau cedera otak;

  2. kondisi hilangnya memori lama, sedangkan kemampuan membentuk memori baru tetap ada.

Notes:

Welp, here’s the end. Hope you guys like it 🫶

Notes:

Well, Happy August! Don't worry, i'll post last chapter tomorrow ^^

Series this work belongs to: