Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 12 of Gyuhan Series
Stats:
Published:
2025-10-03
Words:
7,965
Chapters:
1/1
Comments:
4
Kudos:
18
Bookmarks:
2
Hits:
176

Run To You

Summary:

“Well, you just need to find someone who needs love, and can handle it better, Puppy.” 

Jeonghan bilang Mingyu terlalu punya banyak cinta, dan Mingyu harap Jeonghan adalah orang yang tepat.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Work Text:

Cermin, sprei kusut, bunyi metronom yang dipasang, jas putih yang melekat di tubuhnya. Mingyu masih tidak menyangka melihat bayangan yang terpantul dari kaca. Bunga boutoniere yang tersemat di saku dipilin, memastikan petala bunga benar ada. Sepuluh menit lagi, Mingyu akan turun. Menyambut tatapan haru orang-orang, menerima ucapan selamat karena akan menempuh jalur hidup yang baru. Tapi sekarang dia sendiri, di dalam ruangan yang ac nya sangat dingin membuat perutnya melilit, jantungnya berdegup kencang, tangannya basah berkeringat. 

How do you imagine your dream wedding?” Pertanyaan Jeonghan di depan kafe pastri favorit mereka terputar di kepalanya. Kebun anggur, botol-botol anggur yang berjejer, para tamu undangan yang sudah memegang gelas masing-masing, jawabnya. “They’ll cheer when the bride and I kiss.” Jeonghan mengangguk paham, “okay, sommelier wannabe,” ejeknya. Lalu mereka tertawa. 

Ketukan pintu membuyarkan bayangannya. Mingyu dan hatinya yang masih ragu. Ada Jisoo di sana, memintanya untuk bergegas, sebentar lagi upacara pemberkatan akan dimulai. Dia harus sudah siap berdiri dalam altar. Mingyu tersenyum sendu, menghirup napas panjang sebelum ikut berjalan di samping Jisoo. “You know you can still run, right? Bisikan Jisoo di telinganya kembali mengantar ingatan yang ingin dilupakan. 

Waktu itu, setelah semua kue berhasil dimakan, gelas yang tidak lagi ada isinya, Jeonghan yang bersandar di bahunya, Mingyu berbisik pelan, “I want to walk down the aisle,” gumamnya. Mingyu sudah siap jika Jeonghan tertawa keras, siap harus diledek sepanjang minggu. Tapi senyum lembut menghiasi wajah yang pernah disebut Mingyu cantik itu, Jeonghan memiting lehernya sepuluh menit setelahnya. “With the metallic outfit and black glasses? Shake it Off playing in the background, walking like it’s a runway show?” Mingyu mengantukkan kepala mereka, Jeonghan mengaduh lalu memukulnya keras tepat di dada. 

Are you ready?” Mingyu menatap Jisoo yang menyenggol lengannya. Pintu gereja terbuka, semua mata tertuju padanya. Mingyu rasa dia butuh dua tablet aspirin sekarang. 

 

 

Mingyu mengenal Jeonghan jauh sebelum pria itu bahkan bisa menyebut namanya dengan benar. Jeonghan akan memanggilnya Minggu, melupakan selipan huruf y di akhir kata. Mingyu selalu kesal, mengomel tiada henti. Dan Jeonghan mungkin suka melihatnya mengerungkan alis, jidatnya terlipat dua baris, dan bibir yang manyun. Tidak pernah ada persahabatan dalam kamus Mingyu, baginya Jeonghan adalah musuh sejak dini. Masa kecil mereka dihiasi banyak pertengkaran, dari mobil mainan Mingyu dipinjam paksa, lalu dikembalikan dalam keadaan rusak; rodanya hilang satu atau pesawat mainan yang baling-balingnya tidak lagi berputar karena lilitan tali rafia. Bekalnya yang suka dicomot sembarang, membuat perutnya belum kenyang. Jeonghan lebih tinggi darinya sewaktu SD, kemahirannya dalam bermain sepak bola dan basket membuatnya digemari banyak orang. Mingyu harus rela selalu jadi anak bawang. Mana berani dia  membantah Jeonghan. Kakinya yang suka tersandung membuatnya jarang dipilih sebagai tim. Dia akan menunggu, dan di sepuluh menit terakhir Jeonghan akan memintanya masuk lapangan, meski sebagian temannya mengeluh. 

Jeonghan juga jago dalam pelajaran, nilai matematikanya selalu di atas delapan dan bahasa inggris mendapat nilai penuh. Mingyu pun sama, menjadi juara kelas mungkin satu-satunya cara untuk mengalahkan Jeonghan, tapi pria itu pintar bukan main. Meski selalu berlari ke luar tiap ibunya memanggil mengerjakan pr, Jeonghan akan dapat nilai sempurna di tiap ulangan, sementara Mingyu harus menghafal rumus sebelum tidur. 

Puppy! You’re my Puppy!” Ultimatumnya suatu hari ketika Mingyu duduk di kursi sambil mengunyah cemilan. Mereka dipaksa belajar bersama karena rumah yang berseberangan, Jeonghan yang memaksa tentu saja. 

“Enggak mau! Itu, ‘kan artinya anak anjing, tetep aja ada anjingnya. Masa aku disamain sama anjing.” 

“Tapi, ‘kan anaknya, yang lucu. Puppy, ‘kan lucu.” 

“Engga mau!” Jeonghan tetap tersenyum, mengabaikan Mingyu yang protes. Lagipula, siapa yang bisa menghentikan Jeonghan? Meski Mingyu selalu menolak, dia tetap akan menoleh dan menjawab setiap Jeonghan memanggilnya begitu. Pernah sekali dia pura-pura tidak dengar, alhasil air minumnya diganti dengan teh hijau yang pahit. Entah dari mana dia mendapat minuman itu. Mau tidak mau Mingyu terima. Toh, tidak ada yang memanggilnya begitu selain Jeonghan. Pernah ada sekali yang mencoba meledeknya, anak itu berakhir kena lemparan bola kertas yang dibentuk bulat dan padat dengan ketapel oleh Jeonghan. “Enggak boleh ada yang ngatain Mingyu kecuali gue!”

Oh, ada satu lagi kebiasaan Jeonghan yang Mingyu benci, yaitu mengusap kepalanya seperti bayi. Badannya yang lebih pendek sering kali membuatnya tidak bisa berkutik. Mingyu bertekad untuk tumbuh lebih besar, mungkin Jeonghan akan berhenti melakukannya. Upayanya berhasil, giatnya minum susu setiap pagi, setelah makan siang, dan sebelum tidur membuatnya tumbuh lebih tinggi dari Jeonghan. Badannya juga cukup berisi, Mingyu percaya diri bisa melawan dari tindakan Jeonghan yang semena-mena. 

Tapi, ketika dia sudah siap untuk balas dendam, sudah punya rencana mengerjai Jeonghan sedemikian rupa, doa lamanya terkabul. Badan yang tinggi dan dilepas dari jeratan Jeonghan. Keluarganya diharuskan pindah segera ke luar kota. Mingyu tidak akan lagi bertemu dengan Jeonghan, tidak dalam waktu dekat. Ada rasa kesal di hatinya karena belum sempat membalas semua perilaku tetangga resenya itu. Mingyu ingin lihat Jeonghan mengomel, ingin gantian memanggilnya kancil karena licik dan suka curang. Dia hanya bisa menunduk begitu mengucapkan salam perpisahan pada Jeonghan, mendengus kesal ketika lagi-lagi kepalanya diusap sembarang.

“Jangan kangen gue ya, Minggu,” katanya. Mingyu bersumpah tidak akan pernah kangen, mengingat tingkahnya saja segan. Mingyu berharap mereka tidak akan pernah bertemu lagi. 

 

——

 

Setelah pindah ke kota, Mingyu tumbuh menjadi anak yang paling bersinar. Murah senyum, otak cemerlang, dan tubuh tinggi menjulang. Jangan lupakan wajahnya yang makin tampan. Nama Jeonghan sudah dilupakan Mingyu sejak lama. Bagi Mingyu, Jeonghan hanya bagian kenangan kecil yang menyebalkan, yang bisa disimpulkan sebagai penindasan masa sekolah dasar. 

Satu windu terlewati, Mingyu tidak pernah terbayang akan bertemu lagi dengan pria yang terlihat sangat berbeda. Di tempat seperti ini, dengan kondisi yang begini. Demi Tuhan, Mingyu tadinya malas keluar kalau bukan karena Yugyeom yang merengek dan memaksanya untuk turut hadir dalam agenda kencan buta. Mingyu pasti memilih untuk rebahan di indekosnya dan menikmati puding yang disimpannya semalam. Memang sih, terakhir kalinya dia punya pacar itu setahun lalu, tapi bukan berarti dia ingin segera punya penggantinya sekarang. Firasat mengganjal yang dirasanya ternyata benar, Mingyu tersedak es teh manis yang disedotnya perlahan ketika ada orang yang duduk di depannya dan memanggilnya Minggu. Pria itu dengan rambut yang berantakan, kaus putih lengan panjang, disertai kalung perak di lehernya. “Long time no see, Minggu.” 

Tanpa perlu memperkenalkan diri, Mingyu sudah bisa menebak. Pria dengan tahi lalat yang letaknya masih sama persis di dekat mata dan memanggilnya dengan nada yang mengejek itu pasti Yoon Jeonghan. Mingyu yang masih terkejut, menepuk dadanya pelan menghentikan lehernya yang tersedak. Yugyeom yang duduk di sampingnya menoleh, “cakep, ‘kan? Enggak rugi, ‘kan lo ikut gue.” Mingyu mendecih kemudian. Dia ingin mengutuk Yugyeom tujuh hari tujuh malam. 

Mingyu memperhatikan Jeonghan yang tersenyum, sesekali melempar lelucon yang membuat semuanya tertawa. Kencan buta yang dihadiri mereka hanya terdiri dari empat pasangan. Naas, Jeonghan yang harus menjadi teman kencannya. Setelah seluruh kue di piring habis, yang lain ingin pergi masing-masing. Tujuan agenda ini memang mencari pasangan, jelas mereka memilih melipir berdua dibanding pergi berkelompok. Tersisa Mingyu dan Jeonghan yang belum beranjak. Mingyu masih mengaduk gelasnya yang tersisa es batu tanpa ada lagi teh manis di sana. Jeonghan menertawakannya, “kenapa sih? Kaya gugup banget.” 

Dibanding gugup, Mingyu malah bingung. Ini pertemuan pertama mereka setelah delapan tahun hilang komunikasi. Bayangan Mingyu soal Jeonghan masih tertanam anak nakal yang suka menitahnya ini itu. Tapi di hadapannya Jeonghan tampak lebih lembut, tuturnya lebih halus tidak semerta-merta berserapah. Mingyu rasa ini awal mula yang bagus. Meski belum ada gambaran soal romansa antara mereka, tidak ada salahnya mencoba berteman lagi. 

 

Mingyu dan motor hitamnya, serta Jeonghan yang duduk di kursi belakang. Mereka mengitari jalanan, mencari tempat teduh untuk makan (lagi) sambil berbincang lebih dalam. Mengejar putusnya informasi atas hilangnya presensi. Jeonghan ternyata satu kampus dengan Mingyu, fakta baru yang mengejutkan lainnya. Dua tahun menjadi penghuni kampus, tak jarang menginap karena ada acara kepanitiaan tidak serta merta membuat mereka bertemu. Memang sih fakultas mereka jauh, tapi bukan berarti tidak mungkin untuk tidak pernah berpapasan.

“Kalo ketemu juga paling enggak ngenalin,” seloroh Jeonghan sambil menyeruput es cincau yang mereka beli di pinggir jalan. Jujur, Mingyu setuju. Jika tadi Jeonghan tidak memanggilnya Minggu, mungkin dia hanya akan terpesona pada pria yang cukup menawan di depannya. Bayangan wajah tengil Jeonghan dengan satu gigi bawah yang goyang karena masa pertumbuhan benar-benar hilang terganti pahatan halus wajah berseri dan manik mata yang bisa memerangkap siapa saja dalam genggamannya. Motor Mingyu kembali melaju setelah dua gelas es cincau habis, usai basa-basi singkat dengan pedagang yang mendoakannya agar tetap langgeng.

“Cuma temen, Pak,” jawaban Mingyu. Jeonghan tertawa melihatnya, “aminin aja sih.” 

 

Jeonghan berganti pasangan semudah ganti baju. Fakta mengejutkan nomor dua yang menghentikan sejenak kegiatan Mingyu mengunyah tahu goreng miliknya. Dia menatap Jeonghan dengan sorot tidak percaya. Wajah seanggun itu? Pikirnya. Yang ditilik tersenyum miring, ujung bibirnya naik satu, memberi kedipan canda, “engga keliatan, ‘kan? That make it better.” Mingyu hanya mengangguk mencoba paham. Tidak masalah, Mingyu harusnya tidak perlu kaget segitunya. Toh, waktu sekolah dasar dulu, Jeonghan memang digemari banyak anak gadis atau laki-laki. Apalagi dengan penampilannya yang sekarang. 

“Kalo lo gimana?" Mingyu menenggak es jeruk yang dipesannya, makanan di piringnya tersisa setengah. Jeonghan menyuap nasinya pelan menunggu pria di depannya bercerita. Sedikitnya Mingyu agak malu, dia yang digadang-gadang atau barangkali beberapa orang menganggapnya pemain hanya pernah pacaran satu kali. Itu pun saat baru masuk kuliah, dan sudah putus setahun lalu. Meski bertekad sudah move on, Mingyu terkadang bisa tiba-tiba sedih jika alunan lagu yang pernah didengarkan berdua dengan mantan kekasih melewati macetnya jalan terputar. 

Jeonghan tidak tertawa, dia tetap mengunyah makanannya lamat-lamat. “Tipikal,” katanya. Mingyu mengernyit meminta penjelasan. Jeonghan mengacungkan sendok di tangannya ke arah Mingyu. “You have so much love, and sometimes people feel overwhelmed by the way you pour it out, Minggu.” 

“Aneh.” 

Well, you just need to find someone who needs love, and can handle it better, Puppy.” 

Malam itu berakhir dengan Mingyu yang mengantar Jeonghan kembali ke indekos setelah bertukar nomor telepon. Berjanji mereka akan sering pergi bersama jika ada kesempatan lain. Jeonghan menepuk bahunya sekali dan mengucapkan selamat malam. Semua berjalan baik, kencan buta tidak seburuk yang dia kira. Apalagi jika bisa bertemu dengan teman lama. Bisa dibilang begitu, ‘kan? 

 

Tapi … garis bawahi kata jika ada kesempatan lain. Menurut Mingyu, Jeonghan tidak mengerti dengan benar basa-basi yang dia verbalkan kemarin malam saat mereka berpisah karena pria itu mulai menempel pada Mingyu di setiap kesempatan. Hell yeah. Setiap waktu luang adalah kesempatan bagi Jeonghan. Akan selalu ada alasan pria itu mengajak Mingyu pergi keluar atau sekadar membutuhkan bantuannya. Seperti restoran ayam baru yang ada diskon besar-besaran kalau datang berpasangan, dua tiket hibah pergi ke pameran dari temannya yang batal kencan dan terlalu sayang untuk dibuang, yang paling ekstrem (dan sering) melindunginya dari teman kencan semalam Jeonghan yang terus-terusan mengejar dirinya. Mingyu hanya bisa menghela napas panjang setelah menonjok wajah pria ketiga dalam tujuh hari terakhir.  Demi melindungi wajah rupawannya, Mingyu harus rela mengeluarkan tinju atau dirinya yang babak belur. Jeonghan? Pria itu akan berdiri di belakang menyemangatinya, “that’s My Puppy! Beat him up, Minggu!” contoh sorakan yang Mingyu dengar beberapa kali. 

Biasanya Jeonghan akan mentraktirnya seharian atau membelikannya kopi untuk seminggu sebagai balasan. Dia juga akan merawat memar di beberapa bagian tubuh Mingyu, biasanya lengan. Ada perasaan menyesal tiap kali harus kembali berurusan dengan Yoon Jeonghan. Orang-orang di fakultasnya sudah awam melihat Jeonghan berseliweran di sana, beberapa melabeli Jeonghan sebagai cowoknya Mingyu.  Bahkan tak jarang teman-teman Jeonghan mencari keberadaan manusia serba kejutan itu pada Mingyu. Dia ingin bilang keberatan, tapi Jeonghan akan memandangnya dengan bola mata yang berbinar indah, ada ketidaktegaan hati Mingyu yang menahannya mengamuk. 

Yugyeom, yang notabene awal mula dari ketidakstabilan tingkat kenyamanan hidup Mingyu merasa di atas angin karena beranggapan dirinya berjasa mempertemukan lagi Mingyu dan Jeonghan. “Kalo bukan karena gue, lo enggak akan ketemu Jeonghan, Gyu,” ucapnya yang mendapat riuh tepukan tangan kala mereka berpesta menyambut tahun baru. Mingyu memejamkan mata malas, menenggak lagi gelas alkoholnya yang kesekian. Jeonghan di sebelahnya mengangkat gelas dan bersulang gembira dengan beberapa teman Mingyu yang lain. Ya, Jeonghan sudah menjadi bagian dari perkumpulan itu sekarang. Tidak ada yang bisa mencegah pria itu melakukan apa pun yang dia inginkan, termasuk Mingyu. 

Jika ditanya, apa Mingyu tidak pernah jatuh terperosok dalam perangkap iris cokelat Jeonghan yang berkilauan ketika matahari menyorot wajahnya? Jawaban kalian salah. Mingyu pernah hampir percaya, mungkin memang ini jalannya, kisah cinta menyedihkan ditinggalkan kekasihnya dulu itu bisa berubah menjadi alur yang lebih baik. Teman menjadi pacar, layaknya tayangan sinema layar lebar. Jeonghan mungkin memang jawaban dari segala tangisnya di malam-malam yang sepi. Nyatanya tidak. Meski Mingyu seringkali merasa Jeonghan menatapnya dengan penuh damba, rasanya itu hanya ilusi. Atau delusi yang kian bertambah seiring degup jantungnya yang menggebu melihat Jeonghan dengan rambut yang mulai panjang dikuncir memperlihatkan leher jenjang berkeringat setelah selesai bertanding basket. Mingyu rasa dia butuh segelas whisky sekarang. 

Tapi, bagaimana bisa dia melanjutkan niatannya untuk mencoba membuka alur romansa bagi mereka berdua jika Jeonghan masih suka bermalam dengan yang lain? Mingyu rasa Jeonghan harusnya mengerti, terkadang ada batas yang mereka langgar sebagai sepasang sahabat. Tidak seberlebihan berbagi lumatan bibir, jelas belum. Mingyu saja masih kikuk kalau Jeonghan menyandarkan kepala ke dadanya ketika mereka bersantai di atas kasur tunggal Mingyu. Atau Mingyu yang membeku tiap Jeonghan memeluknya kala berboncengan. Meski Mingyu suka mengikat rambut Jeonghan tanpa diminta sebelum makan, karena helaiannya yang sering mengganggu pria yang lebih tua enam bulan darinya itu. Mingyu sering membiarkan Jeonghan mengacak lemari untuk mengambil baju ternyaman yang entah kapan dikembalikan, katanya sih kalau wangi Mingyu sudah hilang dari kainnya.  Mingyu cuma bisa menyalak galak menutupi rona merah di wajah. Semuanya berbanding lurus dengan Jeonghan yang selalu memberinya pujian. Mingyu suka dipuji, dan Jeonghan seperti kaset kumpulan kata-kata mutiara yang bisa didengarnya setiap hari. Jeonghan suka mengusap kepalanya singkat sambil bergumam, “goodjob, Minggu,” atau “that’s My Good Puppy,” tiap Mingyu berhasil melewati pekan ujian yang melelahkan. Atau sekadar mengajaknya belanja untuk mengisi kulkasnya tiap bulan. 

“Masakan lo, ‘kan enak, sayang kalo engga sering diasah. Gue siap jadi pelanggan lo tiap hari.” Pujian yang sering terlontar yang semakin dipikirkan, sepertinya Jeonghan hanya ingin makan gratis di tempatnya. 

 

 

Ada satu pemantik yang terus menyala acapkali Mingyu ingin memadamkan api kasmaran dalam hatinya. Ketika keduanya kehujanan sepulang agenda kencan yang biasa mereka lakukan. Malam hampir larut memang, jas hujan yang selalu ada di jok motor, hilang. Mingyu yang lupa menyimpannya lagi setelah mereka sempat kehujanan juga beberapa hari lalu. Jeonghan sudah cukup lelah sepertinya, memilih tidak bersuara. Kepalanya dia sandarkan pada bahu Mingyu. Badannya sudah terbungkus hoodie dongker Mingyu, Jeonghan tidak tahan dingin. Mingyu sendiri untungnya mengenakan kaus hitam pendek sebagai dalaman. Mereka berdiri di teras toko, menunggu curahan air berhenti. Sepuluh menit, tapi tidak ada tanda-tanda akan reda. Suara awan beradu malah semakin keras. Kaki keduanya sudah mulai pegal. Jeonghan yang tadinya diam mulai menghela napas. 

“Capek ya?” Mingyu bertanya. Tidak ada jawaban. “Mau nerobos aja enggak?” 

Jeonghan menatapnya seperti mendengar ide paling absurd. Melirik lagi derasnya hujan yang tidak akan berhenti dalam waktu dekat, dia pun mengangguk malas. Tidak ada cara lain. Mingyu membawa motor melaju cepat, mencoba sebisa mungkin melindungi Jeonghan dari tetes-tetes tajam air di depan. Dinginnya angin tidak lagi dirasa, bajunya lepek. Mingyu bisa merasakan rematan Jeonghan di atas perutnya, embusan napas di punggungnya. Sebentar lagi, batinnya. Sebelum peri keberuntungan memang melupakannya hari itu. Motor hitam kesayangannya mogok, di tengah derasnya hujan yang membabi buta membasahi mereka. Ada sepuluh detik mereka membeku di atas motor sebelum Jeonghan turun. Mingyu menatap Jeonghan bersalah, ada perasaan tidak enak hati. 

“Maaf,” Mingyu mengusap wajahnya yang basah. “Harusnya lo pesen taksi aja tadi.” 

Jeonghan berdecak, “nanti aja dramanya, ayo dorong motor lo aja sekarang.” Motornya didorong, Mingyu rasanya ingin menangis. Jeonghan tidak sedikitpun menyalahkan Mingyu setelahnya. Setelah mereka berdua sampai di indekos Mingyu dalam keadaan basah kuyup, setelah melihat dengan jelas jas hujan yang mereka kenakan sebelumnya terlipat rapi di meja depan kamar Mingyu, setelah Jeonghan yang terkena flu keesokan harinya. 

Tapi bukan itu yang membuat Mingyu menyimpan harapan. Adanya kecupan bibir dalam nyenyak tidurnya. Saat itu, mereka sudah berganti pakaian bersih dan kering, sudah menghangatkan tubuh dengan secangkir teh hangat masing-masing. Jeonghan menginap untuk kesekian kali. Mingyu yang kelelahan memejamkan matanya lebih dulu, mencoba untuk tidur. Jeonghan di sisi lain masih memandang langit-langit kamar, melirik pria yang tidur di kasur lipat satu jengkal di samping kasurnya. Selalu begitu. Jeonghan perlahan bangkit, melihat Mingyu yang mungkin sudah berada dalam mimpi. Tangannya mengusap pelan pipi Mingyu, sebelum mendaratkan kecupan singkat di bibirnya. Yang Jeonghan tidak tahu, Mingyu membuka matanya sekian menit kemudian. Jantungnya bertalu, matanya penuh dengan tuntutan pertanyaan. Apakah ini tandanya perasaannya berbalas?

 

 

Kebingungan terus menghantui Mingyu. Sampai mereka berhasil lulus dari perguruan tinggi. Sampai mereka tenggelam dalam kesibukan karier masing-masing. Sampai Mingyu pindah ke unit apartemen sederhana dan Jeonghan yang memilih unit lebih mewah di tengah kota. Meski begitu, ada garis tipis yang masih belum berani mereka lewati. Yang pasti, tangan mereka akan selalu menggenggam, mencari tautan jemari satu sama lain. Sejak kejadian kehujanan itu, Jeonghan tidak lagi punya agenda kencan mingguan, hanya tersisa Mingyu yang diganggu setiap waktu. Jeonghan lebih sering memeluk Mingyu, dan yang dipeluk pun kerap merebahkan kepala di pangkuannya. Menikmati elusan lembut yang menyusuri rambutnya. Biasanya Mingyu lakukan jika pekerjaan kantor menuntutnya lembur berhari-hari. 

Jisoo, rekan kerjanya, menjadi orang pertama yang menyidak Mingyu ketika mereka curi-curi waktu makan mi kuah di tengah gempuran berkas kantor. Suara ketukan papan ketik dan dengung mesin fotokopi masih samar terdengar dari dalam ruangan. Uap hangat dari mangkuk mi mengepul di antara mereka.

“Cowok lo enggak marah ditinggal lembur terus bulan ini? Seungcheol aja lagi rewel banget,” celetuk Jisoo sambil menyorongkan kursinya lebih dekat.

Mingyu memutar garpunya pelan, menatap kuah berwarna merah pucat itu seolah bisa bersembunyi di dalamnya. “Mana ada cowok.”

“Jeonghan?” Jisoo menaikkan alis, tatapannya bingung.

Mingyu tersenyum kecil, cepat sekali, seperti refleks yang tak bisa ia tahan. “Cuma temen.”

Jisoo masih menatapnya. Kali ini bukan sekadar lirikan, tapi benar-benar memutar badan, tangan bersedekap, mengunci pandangan.

Merasa terintimidasi, Mingyu menghela napas. “Yaudah, sahabat.”

Kening Jisoo berkerut makin dalam. Mingyu buru-buru menunduk lagi, mengangkat garpu, menggulung mi terlalu banyak sampai hampir tumpah.

Well … maybe more than that. But we’re just … best friends, tho.” Suaranya mengecil di akhir kalimat, seakan berharap uap panas bisa menyamarkan.

Hening sejenak. Jisoo tidak bergeming, mencondongkan tubuh sedikit. Lalu satu kata meluncur, pelan.

“Kenapa?”

Kata itu menggema di kepala Mingyu lebih lama dari yang ia sangka. Kenapa memangnya? Kenapa ia rela nyaman di zona abu-abu? Menahan diri agar dinamika mereka tidak berubah. Atau … sebenarnya ia hanya takut dampak yang akan terjadi kalau garis itu benar-benar dilewati?

Mingyu pulang masih dengan kepala yang penuh perdebatan. Wejangan Jisoo soal Jeonghan yang bisa kapan saja pergi tanpa alasan, dan Mingyu tidak bisa mencegahnya atas dasar apapun memenuhi bayangannya. Mingyu menatap lurus pada titik hitam di samping lampu kamarnya. Bagaimana jika dia akhirnya harus kehilangan Jeonghan? Apakah Mingyu sanggup? 

Kantuk menelannya, membiarkan pikiran negatif menimbun mimpinya, mengacak alur bunga tidur menjadi sesuatu yang mengerikan. Jantungnya berdegup keras, keringat turun membasahi kening saat bangun dengan bayangan Jeonghan menunjukkan punggung dan berlari dengan pria lain selain dirinya. Mingyu sudah yakin ada cinta yang bersemayam dan menunggunya berani untuk menyerahkan diri pada Jeonghan. Pertanyaan selanjutnya yang harus dia hadapi adalah kapan dia berani mengentaskan semua pertanyaan kenapa dan bagaimana yang berjalan membayangi hubungan mereka setiap harinya? 

Mungkin minggu depan, Mingyu membutuhkan persiapan diri. Kesibukan kantor membuatnya terus menunda hingga satu bulan lebih lama. Jeonghan masih selalu ada di sana tanpa tahu kekalutan Mingyu, menyemangatinya dengan pesan teks panjang diakhiri satu swafoto yang tampak manis di layar. Setidaknya asupan cinta Mingyu terus bertambah. Makan malam masih dihabiskan bersama, Jeonghan akan menyingkirkan makanan yang dia tidak suka dan menaruhnya di piring Mingyu. Arena permainan di dalam mal masih menjadi tempat seru menghabiskan Sabtu malam keduanya usai mengisi perut. Mingyu yang berusaha mendapatkan boneka hasil capit, Jeonghan yang berhasil memasukkan bola ke dalam ring lebih banyak. Diakhiri sepotong kue yang dimakan berdua sebagai penutup hari. 

Yang Mingyu tidak sadari, waktu terus berjalan dan dunia terus berputar. Pernyataan yang niatnya dilontarkan berbulan lalu seperti bersarang terkunci dalam laci, terlupakan begitu saja. Mingyu yakin Jeonghan akan tetap berada di sisinya. Tapi, sekali lagi keberuntungan memunggunginya. Sabtu malam Mingyu harus membatalkan janjinya karena telepon darurat dari rumah. Ibunya jatuh dari tangga, katanya. Dia bergegas pulang hanya untuk melihat keluarganya menyambut tamu dengan tawa lebar. Ibunya menatapnya teduh sambil berjalan menghampiri, menuntunnya untuk ikut duduk. 

“Nah, ini Mingyu nya pulang.” Neneknya berkata sambil memberinya dekapan singkat. Mata Mingyu menelisik situasi. Meja makan yang tertata, sorot malu gadis yang diapit kedua orang tua. Ibunya yang senantiasa tertunduk dan ayah yang memaksakan senyum. 

Mingyu duduk dengan pikiran yang berkecamuk. Tidak mungkin, dia terus rapalkan dalam hati. Neneknya yang membuka lagi percakapan panjang, betapa sempurnanya Mingyu sebagai anak. Tamu mereka nampak antusias, turut menjabarkan prestasi si gadis. Mingyu hanya menanggapi sesekali ketika ditanya. Hingga jamuan dihidangkan. Denting sendok, cangkir yang saling beradu, tawa palsu yang terus disumbangkan. Ibunya menggenggam tangan Mingyu di bawah meja ketika Neneknya membawa topik perjodohan ke tengah sajian. 

Tenggorokannya seperti tersumbat, suapan kecil potongan tomat tersangkut di lehernya. Mingyu menyorot nyalang kedua orang tuanya. Menuntut penjelasan mereka yang mungkin tidak akan pernah diberikan. Sepanjang obrolan hanya ada Jeonghan dalam pikirannya. Apa yang harus dia lakukan? Rencana pengakuannya hancur. Bibirnya tergigit keras mendengar tenggat waktu pernikahan tanpa persetujuannya akan digelar. Dia menghela napas setelah perjamuan selesai. 

Mingyu tidak mau dengar penjelasan standar neneknya, soal ikatan keluarga yang harus terjalin, tentang pertumbuhan perusahaan yang butuh dukungan. Rasanya hidup Mingyu tidak pernah cukup untuk memenuhi seluruh tuntutan keluarga. Empat puluh lima menit kemudian Mingyu sudah hadir mengetuk pintu di depan unit Jeonghan. Memeluk erat pria yang mengernyit kebingungan. 

 

Dengung difuser yang menyala berpadu dengan samar bunyi film yang ditayangkan di tv. Jeonghan duduk menatap Mingyu yang terdiam, seakan ada benang kusut yang coba diurai di kepalanya. 

“Kenapa?” Jeonghan bertanya sambil menyesap minumannya.  Mingyu menggeleng, menghela napasnya, mengusap wajahnya kasar. “It’s messed up.” 

What?” 

My life.” Mingyu terkekeh di akhir, “after giving up on my dream, now they want me to sacrifice my entire life for the company.” 

“Minggu,” Jeonghan mendekat, memangkas jarak di antara mereka. Mengusap lengan atas Mingyu pelan, yang disentuh menoleh. Matanya berkaca-kaca, ada ragu yang ditahan sebelum dia menggenggam tangan Jeonghan. Membawanya untuk ditangkup, berharap bisa menenangkan dirinya sejenak. “They’re forcing me to get married” 

Ada jeda yang cukup panjang. Tidak ada yang berani bersuara. Seperti Mingyu butuh waktu untuk menenangkan dirinya, Jeonghan pun berusaha menjaga hatinya tetap utuh. “I don’t want to marry her, Han.” Suara Mingyu seperti bisikan yang menggetarkan hati. Dia menumpukkan dahinya ke bahu Jeonghan. Berharap pria di depannya bisa mengerti. 

Mingyu dibiarkan menangis di bahu Jeonghan. Menumpahkan semua keresahan yang dipunya. Jeonghan mengusap punggungnya perlahan. “Don’t be afraid, I’m here, Minggu.” Lirihan yang didengar Mingyu sampai terlelap. 

 

Jeonghan tidak ada di kasur ketika Mingyu bangun. Dia merenggangkan badan malas, mencoba kembali memejamkan mata. Dirinya bisa saja kembali tertidur jika tarikan selimut dan tepukan pelan Jeonghan di pipi tidak membuat kulitnya panas. “Bangun, Minggu! Nanti telat ke kantor.” 

“Mau cuti.” 

“Ya ajuin dulu! Emang bisa seenaknya langsung bolos gitu aja?” 

Mingyu membenamkan wajahnya ke dalam selimut, menolak bangkit dan menatap Jeonghan. “Cepetan!” Lengannya ditarik, dia bergerak perlahan. Mingyu menghela napasnya lagi sebelum ikut bangun membuat Jeonghan limbung hampir jatuh, beruntung Mingyu bisa menangkapnya tepat waktu.

Kali ini kakinya diinjak, “yang bener dong! Untung gue enggak jatoh,” protes Jeonghan. Mingyu hanya bisa mengaduh meminta maaf. 

Ucapannya untuk mengambil cuti bukan hanya lelucon. Dia benar meminta libur selama tiga hari. Jeonghan ikut kena getah, Mingyu memaksanya ikut pergi menemani. Meski diikuti ocehan panjang lebar soal tugasnya yang masih menumpuk, Jeonghan tetap ada di kursi penumpang sebelah Mingyu. Mendengkus kesal, memakai kacamata hitam milik Mingyu yang dia colong kini bertengger di atas hidung. “Kalo sampe enggak seru, gue tinggal pulang.” 

Mingyu mengangguk sambil mengatur posisi duduknya. Membiarkan Jeonghan berbuat sesukanya seperti bersandar di bahu menatap tayangan film di depan. Sementara dirinya mencoba mengisi perut. Penerbangan yang diambil cukup pagi, sepotong roti tidak cukup untuk mengenyangkan perutnya. Jeonghan yang diseret paksa sudah menenggak segelas kafein dan seporsi salad. Mingyu melirik pria di sebelahnya, kembali mengutuk nasib yang tidak berpihak padanya. 

Sebelum agenda perjodohannya muncul dan mengacaukan semua rencananya, Mingyu memang berniat mengajak Jeonghan terbang ke Bali. Ada festival anggur di sana. Niatnya untuk mengungkapkan perasaan setelah mencicipi lebih dari 30 anggur ternama, memilih yang terbaik. Lalu dengan segelas anggur berumur lebih dari sepuluh tahun, setelah Jeonghan setuju menjadi kekasihnya (setidaknya dalam bayangan Mingyu) mereka bersulang untuk merayakan hari jadi yang pertama. Seharusnya. Tapi realita menampar Mingyu bolak-balik. Perjodohan sepihak oleh Neneknya memusnahkan semua angannya. 

Lebih baik pikirkan itu nanti. Sekarang, setelah kurang lebih dua jam mengudara, pijakan di Pulau Dewata membuat keduanya tersenyum. Untuk tiga hari ke depan, Mingyu tidak akan memikirkan apapun kecuali dirinya dan Jeonghan. Omong-omong, seluruh rencana Mingyu sudah termasuk dengan akomodasi untuk pasangan. Dan Mingyu lupa untuk mengajukan pemesanan ulang. 

What’s this honeymoon room supposed to mean?” Jeonghan melirik Mingyu yang masih melongo melihat kasur yang dipenuhi kelopak mawar tersusun rapi sesampainya mereka di hotel.

“Lagi diskon aja,” bohongnya. Jeonghan mengerang, mencoba untuk menelepon resepsionis untuk memesan kamar lain sebelum Mingyu menarik tangannya. “It’s fine. Emangnya kalo sekamar sama gue bakal seburuk apa sih?” 

Tidak buruk memang, hari pertama mereka habiskan bersenang-senang bermain air laut. Mingyu dan Jeonghan menaiki balon pisang raksasa, dibiarkan terjatuh mengambang di batas laut dangkal. Mereka tertawa, Mingyu segera menggenggam tangan Jeonghan yang sedikit panik. “Take it easy.” 

Jeonghan menyibak air, “I won’t fall if you don’t pull me!” 

Sorry!” Mingyu tertawa lepas. Mingyu tidak tahu, meski Jeonghan terus menyipratkan air main-main, ada rasa lega di hatinya melihat Mingyu bisa melepas penat yang dirasa. 

Keduanya menikmati olahan hidangan laut sebagai penutup hari. Jeonghan dijejali banyak makanan. Mulutnya masih penuh ketika Mingyu ingin menyuapinya lagi potongan udang yang sudah dikupas. “Pwelan-pwelan!” Jeonghan protes dengan mulut penuh. Bibirnya yang mengerucut mengkilap karena minyak. Ada noda kecap di sudut kiri ujung bibirnya, Mingyu tersenyum, dia memakan sendiri udang yang dikupas. Mengusap pelan wajah Jeonghan, menjaganya tetap cantik tanpa belepotan. 

Tidak ada rasa canggung, Jeonghan seakan terbiasa dengan tingkah Mingyu yang kadang-kadang memacu jantungnya berpacu cepat. Kali ini, Mingyu yang disuapi daging kepiting yang sudah dikorek, capitnya masih dipegang Jeonghan. Mingyu menggigitnya pelan, matanya membesar melirik Jeonghan, terkejut dengan rasa yang lezat. Jeonghan terkekeh. 

Mungkin karena suasana yang temaram atau jarak yang singkat, jarak keduanya menipis. Kepala Mingyu sedikitnya sudah menempel dengan punggung pipi Jeonghan, mata mereka saling menatap bibir satu sama lain. Sebelum jarak mereka makin terpangkas, Mingyu memalingkan wajahnya terlebih dulu. Berpura-pura tersedak, menenggak minumannya tergesa. Jeonghan pun menaruh atensi pada kulit kerang yang belum terbuka sempurna, meletakkan sembarang capit kosong yang isinya sudah dilahap Mingyu. 

Mereka tetap lanjut makan, dengan jari jemari yang kian penuh bumbu. Menghiraukan perasaan yang tumbuh di antara mereka. Meski ciuman yang diharapkan tidak terjadi, yang Mingyu tahu Jeonghan menggeser duduknya lebih rapat, dan dua ujung kaki mereka saling bersentuhan. 

 

Nuansa romantis di restoran tadi tidak selaras dengan kondisi mereka sebelum tidur. Jeonghan di ujung kasur menatap Mingyu nyalang, pria itu berdiri meremas selimut miliknya. “Jangan dinyalain!” 

“Tapi gelap.” 

“Kalo merem juga gelap!” 

“Yaudah setel lagu ya, satu aja satu.”

“Mingyu!” 

Kecaman Jeonghan membuat bibirnya makin maju. Mingyu melihat Jeonghan memejamkan matanya pelan, mungkin kepalanya sedang berdenyut, entah karena kebanyakan makan lobster atau menahan kesal karena tingkahnya yang seperti anak kecil. Biasanya Mingyu akan mengalah, menyisipkan penyumbat suara di telinga, memasang lagu sendiri untuknya. Biasanya Mingyu akan setuju mematikan lampu, asal Jeonghan menggenggam tangannya, seperti biasa kalau Mingyu menginap di apartemennya. Biasanya begitu. Tapi kali ini Mingyu ingin Jeonghan memperhatikannya lebih, ingin Jeonghan menunjukkan bahwa Mingyu berhak untuk mendapatkan cinta yang pantas. 

“Yaudah satu lagu.” Mingyu berseri-seri, masuk ke dalam selimut yang digelar, membawa Jeonghan dalam pelukannya setelah menyetel satu lagi dari ponselnya. “Satu lagu tapi on repeat, ya,” Mingyu berkata licik. Bisa dirasakan protesan Jeonghan yang sudah terbenam dalam pelukan Mingyu, sengaja dia dekap semakin erat. 

Tembang dari Jeremy Zucker mengantarkan Mingyu terlelap, melupakan Jeonghan yang masih terjaga di sampingnya. Dahinya masih menempel di dada Mingyu, hidungnya bisa menghidu raksi yang pernah dirindunya. Jeonghan tidak bisa nyenyak, tidak dengan lagu yang terus bersenandung dengan lirik yang seakan mengejek mereka berdua. 

You are the reason I never think twice.

You’ll be my best friend until we grow old.

Mingyu mungkin tidak tahu, bukan hanya dia yang butuh jeda dari dunia. Mingyu tidak tahu, Jeonghan pun butuh validasi atas perasaannya yang sukar diakui, butuh jawaban atas segala kelimpungan yang dipendam hatinya. Mingyu tidak perlu tahu, Jeonghan sekali lagi mengecup bibirnya, berharap bisa menghantar rasa dalam tidurnya. 

Yang Mingyu tahu Jeonghan belum terbangun hingga pukul sembilan, padahal agenda mereka hari ini akan dimulai tiga puluh menit lagi. Mereka seharusnya pergi trip paralayang. Kalau terlalu siang cuaca akan terlampau terik, Mingyu yakin Jeonghan akan tambah mengomel. Membayangkannya saja telinganya panas. Mingyu mencoba menggoyangkan Jeonghan yang masih tertidur. Pria itu terbangun hanya untuk menepuk pipi Mingyu karena sudah mengganggu tidurnya. “Lo pura-pura ya? Sakit tau!” 

“Siapa suruh nyalain lagu semaleman.” 

“Maaf,” Mingyu duduk di samping Jeonghan yang masih terlelap. “Yaudah gue sendiri deh, nanti nyusul pas lunch aja,” dengan begitu Mingyu pergi meninggalkan Jeonghan yang bergelung dengan selimut. Lokasinya sekitar tiga puluh menit dari penginapan. Mingyu sampai jam sepuluh lewat, masih terlalu pagi katanya. Dia diminta untuk menunggu terlebih dulu, bisa sambil memesan camilan menikmati pemandangan atas bukit di pagi hari. 

Sebenarnya Mingyu masih takut, ketinggian selalu membuat hatinya bergetar. Kepayahan dalam mengatur detak jantung. Mingyu berani ikut kegiatan ini karena yakin akan ada Jeonghan yang menenangkan, tapi pria itu malah menempel pada kasur. Pikirannya kembali berputar, masalahnya yang sempat dikunci dalam lemari imajiner keluar. Perjodohan, kata itu sekali terngiang di kepalanya. Mingyu seperti hidup di zaman yang salah. Dirinya sudah protes, Neneknya tidak mau dengar, ayahnya memihak nenek dan setuju. Ibunya meminta maaf, menggenggam jemarinya sambil meremas keras. “Ibu akan bantu,” katanya. “Mingyu boleh tolak, Ibu yang tanggung jawab.” 

Tapi apa kuasa ibunya di antara dua orang yang memegang peran kunci di keluarga. Persiapan pernikahannya tetap berjalan, Mingyu hanya bisa pasrah dan percaya ucapan ibunya. Dirinya hanya diberi waktu dua bulan, bukan untuk berpikir, bukan untuk saling mengenal. Melainkan untuk mengukur porsi tubuh agar busana pengantinnya terlihat apik, untuk memesan gedung megah agar tamu berdecak mewah. Dan yang paling penting dan tujuan utamanya tentu dokumen pembagian aset dan suntikan dana ke perusahaan keluarganya. Perusahaan yang dia bahkan tidak diizinkan untuk mengambil peran. 

Mingyu masih menggigit bibirnya, pandangannya melayang mengikuti pucuk pohon yang digoyangkan angin. Sebelum bahunya ditepuk asal, membuatnya berjengit. “Jangan ngelamun, nanti kesambet. Repot.” Jeonghan, mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya, menyomot pisang goreng miliknya. 

Mingyu tersenyum, “udah mandi belom, sih? Kok masih ada belek,” candanya. Tangan Mingyu terulur menyolek ujung matanya. Jeonghan langsung menepis dan mengusap matanya cepat, “udahlah.” 

Mingyu bercanda, tidak ada kotoran di ujung mata Jeonghan, dia hanya ingin menyentuh wajah yang begitu mempesona pagi itu. Jantungnya tidak lagi berdebar keras, mungkin karena perutnya yang kenyang atau presensi Jeonghan di sebelahnya. Mingyu melirik temannya yang sibuk mengunyah dalam diam, matanya sesekali masih menutup, raut kantuk masih terlihat jelas. Dia tersenyum, membawa kepala Jeonghan bersandar di bahunya. “Kenapa mau paralayang? Kaya berani aja.” 

“Pengen ngerasain jadi burung, bisa bebas terbang.” 

“Mana ada burung takut tinggi.” 

“Ada, yang kelamaan dikurung dalam sangkar. Jadi enggak pernah tau rasanya terbang.” 

Jeonghan meremas lengannya pelan, “I’ll let you fly, Puppy,” bisiknya sebelum kembali menyantap camilan yang baru mereka pesan untuk menunggu giliran. Terhitung setelah tandasnya dua piring pisang goreng dan dua gelas teh manis hangat, yang mereka tunggu akhirnya tiba. Tangan Mingyu kembali berkeringat, jantungnya kembali berdegup cepat. Pengaman sudah terlilit di badannya, helm sudah apik bertengger. Dia menoleh ke belakang, Jeonghan yang masih dipasangkan alat keselamatan. “Should I go now?” 

Ya, I'll always be right behind you, Minggu.” Jeonghan mengacungkan dua jempol ke udara. 

Mingyu menggigit bibirnya pelan, “ini beneran aman, ‘kan, Mas?” tanyanya ketika sudah duduk di depan petugas pendamping. “Aman, tenang aja, Mas.” 

Meski disahuti afirmasi, kepalanya tetap memutar tragedi yang terjadi di atas udara. “Han, I’m going.” Mingyu menoleh melirik Jeonghan yang sudah siap dengan helmnya. 

“Ya, have fun! I’m on my way.” 

Ketika kakinya tidak lagi memiliki pijakan, tangannya mencengkram tali pegangan erat. Matanya menutup, napasnya memburu. Suara orang di belakangnya tidak terdengar, telinganya hanya menangkap deru angin yang menambah adrenalin memuncak. 

“Mingyu! Open your eyes! I’m here.” Samar-samar suara familiar mampir ke telinganya. Kelopak matanya terbuka cepat, menoleh ke kiri dan kanan mencari sumber suara untuk menemukan Jeonghan yang berteriak kegirangan. Degupan dadanya tidak lagi sekeras tadi, napasnya mulai teratur walau telapak tangannya tetap basah. “Jeonghan’s here,” rapalnya. Mingyu bisa lihat ujung sepatunya, pucuk pohon yang bergerombol hijau layaknya brokoli. Ada hamparan laut biru yang sangat luas. Perasaan tenang mulai dirasa seiring terpaan angin membelainya. Seperti inilah burung-burung terbang tanpa perlu takut jatuh, bebas bergerak semaunya. 

Lima belas menit melayang di atas angin, Mingyu berhasil mendarat sempurna di sisi pantai. Selagi dibantu melepaskan sabuk dia melihat Jeonghan melandas. Senyuman tidak pernah hilang dari wajahnya. Mingyu mengayunkan tangannya melihat pria itu celingak-celinguk mencarinya. Setelah pandangannya bertemu, Jeonghan berlari menghampiri. Mereka berdua menyempatkan diri untuk meninggalkan jejak kaki yang akan tersapu ombak di pinggir pantai. Membiarkan ujung jemari basah, tangan saling bersisian. Jeonghan bercerita soal kenangan mereka waktu ke pantai dulu sekali, saat Mingyu masih belum terbiasa dengan tekstur pasir basah yang melekat ke telapak kaki. Mingyu yang menangis takut hanyut ketika ombak datang. Yang diejek menyenggol Jeonghan hingga separuh celananya basah tersapu ombak. Mingyu terkikik mendengar seruan kesal pria yang langsung menyeretnya jatuh ke dalam air, giliran dirinya yang kuyup. Mereka berlari, saling berkejaran. Mingyu dengan ambisinya membalas Jeonghan untuk ikut basah, dan Jeonghan yang fokus meniti langkah dihiasi gelak tawa. Terik menyengat tengah hari tidak melenyapkan keseruan mereka bermain air. 

Ketika mereka berdua sudah basah; Mingyu yang rambutnya tidak lagi berbentuk setelah dicengkram Jeonghan untuk dibenamkan dalam sapuan gelombang. Jeonghan dengan butiran pasir di pipi kiri, dekat leher, dan beberapa tersebar di kulit kepala karena dilempar segenggam pasir berulang oleh Mingyu. Perut yang keroncongan dan kulit yang mulai gatal mengantar mereka untuk segera pulang. Berganti baju ala kadarnya, tulisan I Love Bali besar dan celana pendek hasil pembelian impulsif setelah negosiasi harga dikenakan. Mingyu menggenggam tangan Jeonghan yang tampak gemetar, mengusapnya pelan mencoba menyalurkan kehangatan. “Makan mi kaya enak,” Jeonghan memberi kode yang dibalas dengkusan oleh Mingyu. 

“Iya nanti pesen.”

“Bikin aja, beli Pop Mie di minimarket depan.” 

Protes enggan dilakukan karena dirinya pun setuju. Mingyu melirik Jeonghan yang kini santai menyandarkan kepala di bahunya. Hatinya berdesir, suasananya terlalu nyaman. Jika bisa memilih pasangan hidupnya, Jeonghan adalah pilihan yang tepat di kepalanya saat ini. “I wish it was you,” lirihnya yang tentu tidak ditangkap pendengaran Jeonghan. 

 

 

Malam hari, agenda utama yang sudah ditunggu oleh Mingyu akhirnya tiba. Pandangannya terpaku pada sosok pria di depannya. Kemeja biru tidak pernah tampak semenarik itu bagi Mingyu. Tapi Jeonghan membuatnya terpikat, dua kancing teratas dibiarkan terbuka, tulang selangkanya sedikit mengintip. Mingyu tidak bisa memalingkan pandangannya. Bulu matanya yang cukup panjang terlihat jelas ketika Jeonghan sedikit menunduk. Bibirnya yang terlihat mengkilap, mungkin karena efek pelembab yang dia kenakan. Dan pahatan wajah yang selalu membuat Mingyu terpesona, serta iris cokelat yang memerangkapnya. 

Jeonghan melemparnya dengan sisir agar kesadarannya kembali. “Dikuncir apa engga usah?” Jeonghan bertanya lagi, alisnya mengerut kesal. Mingyu perlahan mendekat, membelai singkat rambut Jeonghan yang memang sedikit lebih panjang dari biasanya. “Engga usah.” 

Jeonghan sedikit tersenyum miring melihat kancing kemeja Mingyu yang sama banyak dengan miliknya tidak terkatup. Mingyu memburunya segera bergegas, menutup gugup kancingnya setelah kulitnya yang terbuka ditelusuri asal oleh jemari Jeonghan. Punggung tangan mereka saling bersentuhan, masih enggan untuk saling menggamit jari satu sama lain. Sesampainya di aula acara, sudah ramai orang yang datang. Mingyu berjalan lebih dulu mengonfirmasi data diri mereka sebelum masuk ke dalam dengan Jeonghan yang setia di sampingnya. Gelas anggur sudah di tangan. Mingyu menghampiri beberapa stan, mencicipi tegukan anggur beragam aroma. Yang berwarna putih, yang berasa manis, yang meninggalkan rasa asam, yang aromanya menembus ujung olfaktori. Dia memanjakan lidahnya. Tidak jarang, orang mengajaknya berbincang, soal varietas anggur yang sedang digandrungi pecinta minuman, atau anggur terbaik yang sempat memenangkan kontes. Senyumnya kian lebar ketika diberi kesempatan untuk ikut kuis menilai kualitas anggur. “Warnanya cantik, ruby. Ada aroma blackcurrant, some plum and a bit of vanilla?” jawabnya ragu, “soft firm tannin, Aftertaste mostly berries. It would be better if it could age more."

Penilaiannya yang ragu-ragu menghasilkan potongan harga dua puluh persen untuk sebotol anggur dengan kualitas baik. Tentu langsung diterimanya senang hati. Niatnya tidak perlu sampai terlalu mabuk, mencicipi sebisanya. Jeonghan yang awalnya turut serta, menyerah dan berkeliaran sendiri. Tapi bukan hal yang sulit mencari orang paling mempesona di acara itu, Jeonghan berada tiga stan di depannya. Menatap cairan dalam gelasnya yang diputar perlahan, Mingyu tahu pria itu tidak mendengar satu pun penjelasan penjual yang ketika dia coba mendekat dan curi dengar menerangkan sejarah kebun anggur milik keluarganya. 

Mingyu merangkul bahunya, Jeonghan sedikit limbung. “Minggu,” panggilnya. Wajahnya tersenyum, matanya mulai tidak fokus, Mingyu menggelengkan kepala sebelum menariknya menjauh. Pria itu sudah hampir mabuk. Seberapa banyak anggur yang dia minum? Mingyu memang melihat pria itu setidaknya mampir untuk minum anggur di beberapa stan, sebelum akhirnya kehilangan pandangan dan menemukannya lagi. 

Setelah berhasil menukarkan hadiahnya, Mingyu menyeret Jeonghan yang mulai kehilangan ketepatan melangkah, sesekali menabraknya, dua kali menginjak kakinya. Mingyu memindahkan posisi bawaannya ke tangan sebelah kiri dan merangkul pinggang Jeonghan agar tetap berada di dekatnya. Mingyu biarkan pria itu menyender pasrah, tangannya ikut memeluk tubuhnya kencang. “Minggu,” panggilnya sekali lagi. 

Keduanya berhasil masuk ke dalam lift dengan selamat, Mingyu melihat pantulan mereka di dinding, tampak seperti pasangan, ungkapan yang tertahan di ujung lidah. Dia tatap lekat dari bayangan di depannya wajah Jeonghan yang matanya sudah menutup, sedikit rona merah di pucuk pipi menjalar ke dekat telinga. Sepengetahuan Mingyu, Jeonghan mampu menahan kadar alkohol yang cukup tinggi, itulah mengapa dia mengajaknya ke sini. 

Mingyu tidak pernah mengira akan jadi seperti ini. Dia tidak pernah menyangka, ketika keduanya sampai di lantai kamar mereka, Jeonghan akan menariknya sambil berlari menuju pintu kamar. Meraba kantungnya untuk segera membuka kunci, Mingyu mencekal tangannya untuk tetap diam. Bibirnya mengerucut sebal, matanya memandang layaknya Mingyu bertingkah sangat jahat. Dirinya tidak sanggup untuk tidak bisa tersenyum. Mingyu tidak pernah mengira, begitu pintu tertutup, Jeonghan yang lebih dulu menghampiri kasur tanpa melepaskan alas kaki langsung menarik kerah kemejanya, membawa bibir mereka bertemu. Mingyu membeku, membiarkan Jeonghan menjilat bibirnya yang kelu. Kepalanya tidak bisa lagi berpikir setelah diguyur banyak anggur. Terkejut adalah hal wajar. Tangan Jeonghan tergelung di lehernya, mata keduanya bertemu begitu Jeonghan menyudahi ciumannya

“Jeonghan,” lirihnya. Yang dipanggil tersenyum manis, “Minggu,” balasnya. 

Yang Mingyu tahu kemudian, bibirnya mengejar lembut bibir Jeonghan tanpa menunggu. Seperti ada desiran yang naik memompa jantungnya lebih keras. Mingyu mengabaikan seluruh kicauan dalam kepalanya yang berisik, memilih untuk melumat pelan bibir Jeonghan. Pelukan mereka makin erat, lumatannya makin cepat. Napas saling memburu menghantam wajah masing-masing. Mingyu mendorong Jeonghan untuk berbaring di atas kasur. Jeonghan sangat indah,  tawa kecilnya membuai Mingyu makin terlena. Jeonghan memandangnya sayu, tawanya langsung berganti lenguhan begitu Mingyu merangkak di atasnya dan menyesap leher yang sedari awal menggoda. 

Mungkin karena anggur sudah menguasai akalnya, tangan Mingyu bergerak meraba tubuh Jeonghan perlahan. Dibalik kemeja yang sudah tidak lagi terkancing, menarik lepas ikat pinggang milik keduanya. Jeonghan sudah berpeluh di bawahnya. Butir keringat yang terkena pantulan cahaya makin menenggelamkan Mingyu dalam jerat keelokan Jeonghan. Hatinya makin membuncah, Mingyu melepaskan kemeja asal lalu kembali mengungkung Jeonghan. Lidahnya menjalar mengikuti garis leher hingga ke selangka, seakan menandai bagian favoritnya. Tangan Mingyu bergerak meraba dada, meremasnya hingga suara desahan terdengar. 

Mingyu tidak pernah mengira, keduanya akan menghabiskan malam dengan bersahutan erangan dan desahan. Ketika dia bangun di pagi hari, Jeonghan masih ada di sampingnya. Mereka saling memeluk erat, rambut Jeonghan menggelitik hidungnya. Membuatnya bersin sekali sebelum kembali membenamkan wajahnya ke atas kepala Jeonghan. Mingyu mencoba kembali terlelap, masih ada sisa pengar yang membuatnya enggan bangkit. Jeonghan mulai bergerak beberapa menit kemudian, Mingyu menariknya semakin erat sementara yang lain mencoba melepaskan pelukan keduanya. 

“Lepas dulu,” pintanya dengan suara yang sedikit serak. Mungkin karena belum minum atau lelah mengeluarkan lenguhan semalam. Mingyu melonggarkan pelukannya masih dengan mata terpejam. “Did we do it?” Jeonghan meraba dadanya yang penuh tanda sesapan.

No,” Mingyu menjawab, mata keduanya bertemu, “I don’t want it without consent. Last night, you were way too wasted” 

Jeonghan menatapnya menggoda, “okay, Mr. Gentleman,” ejeknya. Mingyu melepaskan dekapannya sambil mendengkus, mencoba menyamankan diri untuk tidur lagi. 

How about now?” Jeonghan berbisik di telinganya. Mingyu seketika langsung menatap pria yang berbaring menyamping, tangan menumpu kepalanya sambil mengedipkan satu matanya singkat. “Yoon Jeonghan,” Mingyu mencoba mengingatkan tapi malah dibalas kecupan. "I will marry someone in two months,” lanjutnya. Jeonghan sepertinya tidak peduli, pria itu mengelus pipi Mingyu pelan sebelum menepuknya, “do you?” 

Tawa kecil Jeonghan terdengar ketika Mingyu kembali menindih tubuhnya, disusul suara-suara manja yang bersahutan. Waktu seakan berhenti, mereka menghabiskan sisa liburan hari itu dengan bergelung dalam kasur. Memesan makan pun lewat layanan kamar, Mingyu dan Jeonghan terus saling mendekap hingga harus kembali pada realita, tapi kini tangan mereka tidak lagi malu-malu untuk bertaut. Hari terakhir mereka habiskan bersama dengan baik, Mingyu tidak pernah mengira dia dan Jeonghan akan berbagi kehangatan bersama. Waktu tiga hari terasa sangat singkat. Bagaimanapun, mereka harus kembali pada realita yang ada. 

 

Mingyu tidak pernah tahu apa susunan rencana yang Jeonghan punya, yang pasti setelah pulang ke Jakarta sahabatnya itu menjadi terlampau sibuk. Manisnya agenda liburan sebelumnya menguap begitu saja. Keduanya makin sukar bertemu, terbersit dibenaknya Jeonghan sengaja menghindar. Mungkin menyesal, pikirnya. Mingyu tenggelam dalam rasa bersalah, sementara pernikahannya kian dekat. Perlawanan yang dibuatnya terasa sia-sia. Hatinya gundah, menekan logikanya untuk segera bergerak. Dua hari sepulang dari Bali, seluruh akses keuangan dari keluarganya dicabut, dengan gaji yang tidak mencukupi gaya hidupnya Mingyu terpaksa kembali ke rumah setelah dijemput paksa. Padahal dia hampir berhasil tinggal serumah dengan Jeonghan yang menerimanya sukarela. 

Mingyu sudah mencoba melawan tentu saja, datang langsung bertemu orang tua mempelai wanita untuk membatalkan perjodohan hanya untuk diantarkan pulang, diberi pujian sebagai calon pilihan menantu yang baik. Pertama kalinya dia menyesal menjadi orang baik. Berseteru dengan nenek dan ayahnya hanya berakhir dikurung setelah dipukuli. Jika bisa dia ingin menghilang, tapi mustahil. Dia tidak bisa menghilang begitu saja, pekerjaannya tidak bisa ditinggal kalau tidak mau jadi gelandangan. Mingyu masih sangat ingin hidup bergelimang harta, tapi bukan dengan desakan perjodohan. 

Dinding kamarnya sudah dipandangi beribu menit, ketukan di pintu tidak membuatnya antusias. Dia kembali memikirkan lagi rencana untuk pergi dari rumah sesegera mungkin. Menetap dengan Jeonghan bukan lagi pilihan strategis karena keluarganya pasti akan menemukannya dengan cepat, Jisoo bisa dijadikan pertimbangan jika kekasihnya, Seungcheol, mengizinkan dirinya bermalam. Atau dia harus kabur keluar kota? Mengajukan pengunduran diri dari kantor dengan sisa tabungan yang ada dan mulai kehidupan yang baru? Mingyu menelungkupkan badan, membiarkan wajahnya terbenam dalam kasur. Semua rencananya hanya bisa berputar tanpa ada jawaban yang dia butuhkan. Pening kembali menghampiri membuatnya abai akan bunyi kunci pintu yang terbuka. Dirinya tidak sadar, langkah kaki yang mendekat kemudian mengelus rambutnya. Tubuhnya tersentak, dengan cepat menghalau sapuan di kepalanya untuk dibuat terbelalak. Jeonghan berdiri tersenyum menatapnya. 

Surprise?” serunya. 

Pria yang tiba-tiba memiliki jadwal super padat, menolak bertemu meski Mingyu rela menjemputnya melewati kemacetan itu berdiri hadir dalam kamarnya satu minggu sebelum pernikahannya terjadi. Mingyu langsung memeluknya erat, berharap dengan menghidu wangi tubuh Jeonghan dapat menghapuskan rindu, berharap bisa mengikis beban yang menimpa benaknya. “I miss you,” gumamnya. 

Jeonghan pun membalas dekapan sama eratnya. Membalas ucapan Mingyu dengan kecupan di pipi kiri. Setelah pelukan terlepas, jemari Jeonghan digenggam tanpa mau dilepas, Mingyu membawanya duduk di samping kasur saling menyandar satu sama lain. Mingyu ingin bertanya soal jarak di antara mereka, kalau pun karena Bali, Mingyu akan memohon ampun asal Jeonghan tetap berada di dekatnya. Tapi, Mingyu harus dikejutkan dengan Jeonghan dan rencana yang sudah apik. Butuh satu bulan penuh Jeonghan menyibukkan diri, menghindarinya untuk menyusun dan menyiapkan semua rencananya agar bisa berjalan sesuai yang dia mau, yang mungkin memang mereka butuhkan. 

Run away with me, Minggu.” Jeonghan menatapnya, bibirnya kelu. “You’ll be fine with me.

Hari itu, Mingyu tidak mengeluarkan satu suara apapun setelah Jeonghan menjabarkan seluruh rencananya hingga pamit pulang. Pikirannya berputar, kalau dalam film animasi dua telinganya bisa mengeluarkan asap hitam. Mingyu mengembuskan napas keras-keras. Semua kalimat Jeonghan bergaung di telinganya, pantulan dinding kamar seperti pengeras suara yang membuatnya makin pusing. Apa ini yang terbaik? Bagaimana bisa Jeonghan datang dengan rencana sebegitu matang? Ribuan pertanyaan datang silih berganti, sesekali berhasil dijawab untuk makin meyakinkan diri. Jeonghan dan Mingyu tidak lagi saling bertukar pesan, satu-satunya pesan terakhir Jeonghan datang satu hari sebelum waktu pemberkatannya tiba. Berisi pengakuan panjang perasaannya, jabaran ulang rencana yang sudah dia siapkan, tidak ada kata memaksa, tapi selipan ancaman tetap ada. Jeonghan dan kata-katanya. 

Mingyu melempar ponselnya setelah meninggalkan tanda terbaca di ruang obrolannya dengan Jeonghan. Kepalanya kian berdenyut. Langkahnya untuk bisa menghentikan pernikahan dadakan ini dan hidup bahagia bersama orang dicintainya sudah di depan mata. Pertanyaan hanya satu, apakah Mingyu cukup berani untuk mengambil risiko yang akan dihadapi? Keluarganya memang tidak seberpengaruh konglomerat golongan atas, tapi untuk menempatkannya dalam daftar boikot di beberapa perusahaan ternama masih cukup sanggup dilakukan. Mingyu pun sungkan jika harus menjadi beban untuk Jeonghan. 

Hatinya tetap bimbang, dalam satu minggu terakhir tidak ada jawaban memuaskan yang dia temui untuk meneguhkan pilihan segera pergi. Seharusnya dia tidak perlu ragu, kehadiran Jeonghan harusnya cukup. Tapi Mingyu tetaplah Mingyu, dia masih bingung, hingga hari pernikahannya tiba. Hingga jas putih sudah apik terpasang, hingga Jisoo yang menggantikan Jeonghan sebagai Bestman mengantarnya ke depan gereja pemberkatan. Bisikan Jisoo di kamar sedikitnya mendorong keyakinan Mingyu untuk pergi, tapi sanggupkah dirinya membuat adegan drama itu sekarang? 

Lima menit berlalu, dirinya kini sudah berdiri di depan altar. Dia mengembuskan napas gugup, bukan karena sebentar lagi pengantin wanita dengan gaunnya yang cantik memasuki ruangan. Dia melirik deretan kursi di depan, Ibunya duduk sambil menahan tangis dengan Jisoo di sisinya. Jika Mingyu tidak salah lihat, ibunya mengisyaratkan agar dia pergi, alisnya mengernyit mencoba membaca tuturan tanpa suara ibunya sampai pintu gereja terbuka. Gadis yang baru dia temui tiga kali itu berjalan pelan dengan menggandeng lengan ayahnya. Seharusnya pada momen ini, Mingyu terpesona, suasana cukup khidmat, beberapa tamu undangan berdecak kagum akan keindahan yang terpancar. Gaun putih terbentang, wajahnya yang cantik tertutup tudung putih tipis, sisi karpet merah sebagai jalur menuju altar dihiasi rangkaian tulip putih yang tertata anggun. Alunan biola terdengar mengiringi langkahnya yang pelan. 

Begitu pengantin wanita berdiri di hadapannya, suara biola berhenti, seperti ada jentikan jari yang menyadarkan Mingyu. Pendeta baru mulai membacakan penegasan janji sebelum Mingyu mengangkat tangannya meminta jeda. Jemarinya yang sebelumnya digenggam oleh wanita di depannya dilepaskan, “I don’t think I can go on like this. I’m really sorry,” ucap Mingyu. 

Kejut kolektif memenuhi ruangan, neneknya menjerit tidak percaya. Mingyu menoleh ke ibunya yang tersenyum meski bulir air mata tetap menetes dalam pelukan Jisoo. Jisoo sendiri tersenyum lebar menyuruhnya segera keluar. “Seungcheol udah nunggu di luar!” 

Hanya itu yang Mingyu dengar sebelum tancap gas berlari meninggalkan semua hadirin yang masih terkesiap, neneknya yang lemas, mungkin pingsan, pengantin wanita yang jatuh terduduk, dan ayahnya yang mencoba mengejar sambil memakinya keras. Mingyu tidak peduli. 

Langkah lebarnya membawanya segera menemukan Seungcheol yang siap di kursi pengemudi, Mingyu langsung masuk begitu melihat mobil hitam di sana. Seungcheol tertawa melihatnya, “took you long enough,” pungkasnya. Mingyu tersenyum tipis, “he’s still waiting isn’t he?” 

Of course.” Seungcheol menginjak pedal melajukan mobilnya kencang. Mingyu harap tidak akan ada penyesalan di kemudian hari. Mingyu harap, Jeonghan menjadi pilihan hidup yang tepat untuknya. Diiringi lagu Sunday Morning yang menjadi lantunan wajib Jisoo tiap pagi, Mingyu teringat jawaban Jeonghan saat mereka membahas pernikahan impiannya. 

How about you, Han. What's your dream wedding like?” 

Be with you.” Mingyu mengernyit bingung, Jeonghan tertawa, “I want to marry you, Minggu,” ledek Jeonghan kala itu sambil tertawa. Mingyu pikir itu hanya candaan, dia mendorong bahu Jeonghan cukup keras waktu itu yang dibalas cubitan di perut. Siapa sangka, kini dengan jas pengantin putih, Mingyu benar-benar berlari meninggalkan pernikahannya untuk bisa berada di samping Jeonghan. Seperti yang pernah dikatakan Jeonghan, Mingyu harus mencari orang yang bisa menampung seluruh rasa cintanya, dan dia harap Jeonghanlah orangnya. 




Notes:

Happy Birthday, Mr. Yoon ^^ Am I one step ahead of Mr. Kim, today?

Series this work belongs to: