Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Characters:
Additional Tags:
Language:
Bahasa Indonesia
Series:
Part 11 of Gyuhan Series
Stats:
Published:
2025-08-18
Completed:
2025-08-20
Words:
12,998
Chapters:
2/2
Comments:
4
Kudos:
16
Bookmarks:
3
Hits:
246

Memoar

Summary:

Mingyu tinggal di apartemen yang sunyi, tidak ada orang yang sudi bertamu sukarela ke tempat tinggalnya karena akses yang minim. Soonyoung saja menyumpahinya berulang karena tidak kunjung pindah. Mingyu abai, dia masih merasa nyaman tinggal di sana. Hingga suatu malam, ada bunyi berisik dari sebelah kamarnya. Seingat Mingyu, unit sebelah masih kosong sedari awal dia tinggal di sana. Haruskah Mingyu pindah sekarang?

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Chapter 1: Lembar Awal

Chapter Text

Lift berdenting tanda berhenti tepat di lantai yang dituju. Gedung tujuh lantai itu sunyi. Satu di antara banyak hal lain yang dia suka. Tidak perlu banyak berinteraksi, karena beberapa lantai bahkan tidak berpenghuni. Seperti di lantai empat ini, tiga dari enam unit kosong. Tetangganya pindah dua bulan yang lalu, menikah dan memutuskan untuk pindah ke tempat lebih baik. Kini tersisa dirinya, Miss Han Si Guru Olahraga di ujung lorong, dan Chanyoung, mahasiswa semester akhir yang sibuk menyelesaikan skripsi di seberang unitnya. Secara harfiah dia sebenarnya tidak memiliki tetangga. Soonyoung sudah berulang kali membujuknya untuk pindah. Menurut sahabatnya itu, gedung apartemen Mingyu sudah cukup tua. Tapi ia tahu, itu alibi yang dibuat Soonyoung. Pria berpipi gembil itu hanya takut, karena saat menjelang malam, apartemen yang tadinya sudah sepi semakin senyap. Beruntung ada banyak penerangan di tiap lorong. Jika tidak, mungkin beberapa orang benar mengira ini gedung berhantu. Sebenarnya tidak ada yang salah dari area tempat tinggalnya. Aksesnya yang sulit dijangkau dan model gedung yang kuno membuatnya sepi peminat. Bagi Mingyu, akses bukanlah masalah, lagipula dia jarang bepergian. Dirinya pun sudah sangat nyaman, akan sangat sulit mencari tempat tinggal baru dengan suasana setentram ini, pikirnya. Mungkin dia tidak akan pindah, hingga punya alasan cukup kuat. Dan bujukan Soonyoung yang parno akan hantu tidak masuk dalam pertimbangannya. 

Mingyu menatap penggorengan, menaburkan penyedap pada kuning telurnya. Dirinya sudah makan malam sekitar tiga jam yang lalu. Seporsi jjamppong, sepotong tempura, dan sebuah segitiga kimbab nyatanya tidak membuat kenyang bertahan lama. Atau ini berkat olahraga yang dilakukannya siang tadi? Tidak tahu, yang pasti sekarang dia sedang menyantap nasi goreng kimchi beserta telur goreng. Bukan omelette , terlalu malas memiliki banyak cucian piring di malam hari. 

Itu suapan kelima, dengan Flipped yang terproyeksi di layar tvnya. Ada suara berisik di luar. Sesekali langkah kaki diikuti seretan barang. Bulu roma Mingyu berdiri. Matanya mengerjap menatap piringnya. Apa dia salah dengar? Tayangan di tvnya spontan terjeda ketika debuman keras terdengar. 

Persetan Soonyoung dan teori konyolnya soal gedung tua berhantu!

Persetan nasi goreng kimchinya yang sangat enak malam ini!

Persetan perutnya yang masih lapar dan belum sempat minum! 

Mingyu berlari masuk ke kamar. Meninggalkan semuanya di ruang depan. Mengunci kamarnya sebelum melemparkan diri masuk ke dalam selimut memeluk boneka anjing besar hadiah dari Soonyoung. Mingyu bersumpah akan segera memaki Soonyoung di pagi hari dan mencari ritual pengusiran hantu. Dia bukannya takut hantu, well, mungkin sedikit, tapi selama tiga tahunnya tinggal di sana, baru kali ini dia diganggu . Bibirnya melantunkan doa-doa yang diingatnya, hari minggu nanti dia harus ke gereja, tanamnya dalam otak. Sepertinya membeli patung salib untuk digantung di sudut ruang tamu bukanlah hal buruk. Mingyu memang bukan orang yang religius, tapi jika dihadapkan dengan hantu? Siapapun akan langsung teringat Tuhan. Mulutnya masih berkomat-kamit, matanya terpejam erat, dan tanpa sadar ketakutannya yang mulai berkurang membawanya terseret ke dalam mimpi. 

 

Mentari pagi tidak pernah membuat Mingyu sebahagia ini. Tepat alarmnya berbunyi, yang dia lakukan adalah menelepon Soonyoung yang ternyata masih mengulet malas dalam pelukan kekasihnya. Memang kurang ajar sahabatnya itu, rasanya tidak pernah meninggalkan Mingyu dalam bayang-bayang kesepian. Soonyoung selalu membanggakan kekasihnya, Wonwoo namanya. Pria berkacamata yang cukup ahli di bidang fotografi, sangat berbanding terbalik dengan Soonyoung. Mingyu juga cukup takjub melihat keduanya bisa bersama. Singkatnya, liburan musim panas, segelas lemonade, dan pizza. Mingyu masih ingat bagaimana histerisnya Soonyoung saat ciuman pertama mereka, dia harus mendengarkannya berkicau semalam suntuk. Matahari paginya yang berharga tidak akan disia-siakan dengan merutuki Soonyoung. Mingyu membawa kakinya keluar kamar, opsi lari pagi terlihat tidak buruk. Nasi goreng kimchinya masih tercium enak, mungkin dihangatkan sedikit membuatnya lebih layak untuk sarapan. Segelas kopi sebenarnya akan membantu, namun dia tidak punya waktu banyak. Ada rapat yang mengharuskannya datang jam 10 pagi di kantor hari ini. Dia punya tiga jam untuk itu. Semangat paginya membuat Mingyu sedikit lupa dengan tragedi hantu semalam. Lagipula tidak ada hantu di pagi hari, Mingyu tersenyum sambil membuka pintu unitnya, selamat pagi dunia. 

Tiga puluh tujuh menit kemudian mingyu kembali dengan tentengan berisi hotteok, walnut, dan bungeoppang. Dia suka jajan, semuanya tidak akan dimakan sekaligus kecuali dia masih lapar. Meski harusnya dia lebih makan sayur dan karbo jika ingin membentuk tubuh, saran dari Wonwoo, Mingyu memilih untuk memanjakan lidahnya. Itu lima langkah menuju pintunya, tepat di depan pintu unit sebelahnya, unit 404, Mingyu mendengar suara-suara aneh itu. Dia terdiam. Ini masih sangat pagi. Apakah hantu sudah tidak takut matahari? Mingyu mendekat, dia takut, jantungnya berdegup seperti akan meledak tetapi rasa penasarannya setinggi gunung fuji.

“Hyung?” 

Jesus Christ! Mohon ampun bukan salahku! Maafkan aku!” Mingyu memejamkan mata ketika ada tepukan di bahunya, cemilan paginya terjatuh begitu saja. 

“Mingyu Hyung?”

Itu suara Chanyoung. Mingyu membuka matanya, “Chanyoung! Kamu baru pulang?” Mingyu menatap remaja di hadapannya. 

“Iya, aku harus menyelesaikan laporan kelompok di rumah Yu-Sohee semalaman. Apakah kamu baru selesai lari pagi?”

Shit, sekalipun dia berpikiran positif jika semalam bukan suara dari sebelah kamarnya harusnya itu dari unit Chanyoung! Mingyu menelan ludahnya. Sudah dipastikan tidak mungkin suara semalam berasal dari kamar Chanyoung, sekalipun itu datang dari kamar Miss Han, terlalu jauh dari jangkauan telinganya. Mingyu tidak boleh membiarkan Chanyoung tahu soal ini atau dia akan pindah.

“Tepat sekali!” Mingyu memungut kembali jajanannya. “Jangan lupa berolahraga Chanyoung, kamu harus tetap sehat,” ujarnya disambung suara tawa palsu. 

Chanyoung tersenyum, mengangguk paham sebelum pamit untuk masuk ke unitnya. Mahasiswa itu butuh tidur, lingkaran bawah matanya lebih buruk dari Mingyu. Mencoba mengabaikan apa yang terjadi, Mingyu masuk ke unitnya dan sesegera mungkin bersiap menuju kantor. Tidak pernah dia sebahagia ini untuk datang ke kantor pagi hari.

 

Kantor Mingyu bukanlah kantor besar. Kantornya hanya memiliki setidaknya dua puluh lima orang termasuk bosnya, penjaga keamanan, dan petugas kebersihan. Oleh karena itu kantornya sangat fleksibel dan hangat. Divisi Mingyu hanya terdiri dari tiga orang, manajernya Minhyuk, dan rekan setimnya Younghoon. Sebagai video editor , Mingyu memiliki beberapa privilese, seperti jam kerja yang tidak mengenal batas terlambat, memiliki opsi hari untuk bekerja dari mana saja yang terpenting menyelesaikan pekerjaannya, dan perusahaannya menyediakan makan siang gratis. Tapi tentu saja ada hari-hari di mana dia harus datang ke kantor untuk membahas proyek baru atau merundingkan konsep video yang harus ia kerjakan. Seperti hari ini, ada proyek baru untuknya, video komersial untuk produk makanan yang cukup terkenal. Harinya akan sangat panjang. Dia butuh segelas kopi yang menemaninya hingga pukul delapan malam. 

Mingyu sudah harus pulang, jam kerjanya sudah habis sejak pukul tujuh tapi sengaja dia berlama-lama. Awalnya dia ingin menginap di apartemen Soonyoung dan Wonwoo, iya pasangan itu tinggal bersama, Mingyu masih ingat bagaimana Wonwoo tersipu malu ketika Soonyoung memperagakan ulang ajakannya. Namun sial ada di pihak Mingyu malam ini. Sejoli itu harus menjaga keponakan Soonyoung, dan Mingyu tidak cukup nyaman untuk tinggal di sana seorang diri. Dia lebih memilih untuk tidur di kamarnya dibanding harus ke unit Wonwoo dan tidur sendirian. Dia butuh teman untuk menghabiskan malamnya hingga hari minggu. Setidaknya hingga dia bisa meminta bantuan pendeta untuk mengusir hantu di sebelah apartemen, atau mungkin sampai pesanan patung salibnya tiba. 

Mingyu harap keretanya berjalan lambat, entah mungkin karena adanya gangguan yang mana tentu tidak mungkin. Mingyu sengaja memilih jalan memutar dari stasiun ke unitnya. Jalan kaki yang hanya membutuhkan sepuluh menit menjadi dua setengah kali lebih lama. Hitung sebagai olahraga tambahan pikirnya, hingga dia tersadar. Bukankah semakin lama di luar akan membuatnya semakin larut sampai rumah dan akan semakin menyeramkan? Mingyu menepuk keningnya. Hampir pukul sepuluh, dia akhirnya keluar dari lift. Pikiran buruk menghantuinya. Meskipun lorong apartemennya terang, dia tahu tiga unit yang kosong dan itu mengerikan. Mingyu berjalan cepat-cepat menuju depan pintunya. Tinggal membuka kunci dan dia setidaknya selamat. 

Seharusnya Mingyu bisa menekan angka tujuh dan denting sandi benar yang membuka kunci pintunya terdengar kemudian dia bisa langsung masuk. Seharusnya. Tapi sebelum itu terjadi, pintu unit sebelahnya terbuka. Mingyu tidak berani menoleh, tubuhnya kaku. Dari beberapa film yang pernah ia lihat, berubah menjadi patung membuatnya tidak terlihat oleh hantu. Hanya teori itu yang ia ingat. 

“Permisi, maaf mengganggu. Apakah kamu bisa membantuku memasang lampu?” 

Mingyu mengerjap, suara hantu ini sangat lembut. Matanya melirik. Apakah hantu memang cantik? Maksud Mingyu, apakah ini jebakan?! 

“Hai? Apakah kamu bisa mendengarku?” 

Mingyu ingin sekali memejamkan matanya kembali, berdoa agar hantu di depannya hilang. Tapi suaranya sangat lembut dan oh rambut sebahunya itu terlihat sangat halus. Apakah sudah ada sampo di dunia hantu? Wanita di sebelahnya sangat cantik. 

“Maaf, jika aku mengganggumu.” Sosok itu membalikkan tubuhnya, Mingyu dengan cepat terpejam, biasanya di film horor ini saat hantu untuk menunjukkan bagian tubuhnya yang hancur. Oh seram. Dia melirik, tunggu. Tidak ada. Punggung itu terlihat lesu.

“Hei!” Serunya. Sosok berbalut piyama satin putih itu berbalik. “A-aku bisa membantumu,” ujarnya setengah ragu. Berbuat baik kepada siapa saja, bukan? Siapa tahu dengan dia membantunya, hantu ini tidak akan mengganggunya lagi. 

Mingyu mengikuti sosok cantik di hadapannya dengan ragu. Bunyi pintu tertutup membuat jantungnya berdetak lebih keras. Jika aku mati di sini, semoga Soonyoung menemukan jasadku. 

“Sebelah sini,” ujar wanita dengan rambut sebahunya itu. Mingyu melantunkan doa dan pujian dalam hati. Setidaknya dia akan mati dalam keadaan memohon ampun. 

“Lampu kamar mandiku mati.” 

Mingyu mengangguk. Sosok itu memberikan bola lampu sambil tersenyum. Wow. Cantik. Apakah hantu memang secantik ini?  Mingyu menerima sodoran lampu kikuk. Tangannya basah berkat keringat dingin, dan kakinya agak lemas. Semoga dia tidak jatuh. 

Dua, tiga, dan berhasil. Lampu kamar mandi itu terpasang apik. “Terima kasih,” ujarnya. Mingyu mengangguk, lagi. Cantik sekali. Sosok di hadapannya terus tersenyum kepadanya, Mingyu tertegun. “Kamu bisa pergi sekarang,” sambungnya. Maaf, tapi mingyu masih asik terpaku dengan sorotan matanya, rambutnya yang seperti meminta untuk diusap, dan kedua pipi untuk dicubit. Mingyu rasa dia gila, dibanding hantu dia lebih mirip malaikat.

“Ya?”

Mingyu tersentak. “Maaf.” Mingyu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia Malu. Bagaimana bisa dia salah tingkah di depan hantu?! Mingyu beranjak dari tempatnya untuk segera keluar selagi bisa. Hoho hantunya sangat cantik hingga dia melupakan rasa takutnya, dan begitu tersadar dari tipuan hantu itu Mingyu kembali merinding. Dia harus cepat!

“Aku bukan hantu.” Langkah Mingyu terhenti. Oh jadi dia malaikat? Mingyu menoleh sambil mengerjap. “Aku juga bukan malaikat,” imbuhnya. 

“Eh?” Apa isi kepala Mingyu terlalu keras?

Sosok itu tertawa. Alunan suaranya merdu bagaikan nyanyian surga. Oh Mingyu rasa dia berbohong, Apa malaikat boleh berbohong? 

“Kamu lucu.” Matanya masih menatap Mingyu dengan senyum, “terima kasih sekali lagi,” sosok itu berjalan mendahuluinya dan membuka pintu depan, “dan selamat malam, Tetangga.” 

Mingyu berkedip cepat, “selamat malam.” Dan bergegas masuk ke dalam unitnya. Rasanya seperti mimpi. Suara tawa itu masih terngiang di telinganya, gurat senyum tipis itu membayangi tidurnya. Mungkin meskipun sosok tadi adalah hantu, Mingyu rela digentayangi. 

 

Mingyu terbangun dengan bel yang berdentang secara konstan. Matanya masih setengah tertutup ketika membuka pintu, diabaikannya layar interkom. Mulutnya belum selesai menguap ketika pria dengan rambut pirang berkicau panjang lebar. Mingyu masih belum sepenuhnya sadar, yang dia tangkap hanya kata, Jeonghan, model, semalam, minta maaf. Dia menepuk pipinya pelan, berharap dapat menyegarkannya dari kantuk. 

“Maaf, tapi bisakah kamu ulangi lagi? Aku baru saja bangun dan tidak ada yang masuk di kepalaku,” ujar Mingyu. 

Pria itu menatapnya malas, mendesah pelan. “Aku akan mengulanginya sekali lagi.” Pria itu melongok ke dalam unitnya, “tapi apakah aku boleh masuk? Kakiku rasanya ingin lepas jika harus berdiri! Ya Tuhan aku belum duduk sejak kemarin sore!” Sambungnya. 

Mingyu mengangguk dan mempersilakannya masuk. “Kamu ingin kopi? Atau teh?” Tawarnya. 

“Ya ampun, tidak usah repot-repot,” pria itu langsung menyamankan posisinya di atas sofa biru Mingyu. “Kamu bisa membuatkanku chamomile tea, less sugar, setengah sendok jika menggunakan sendok makan, airnya hangat ya biar aku bisa langsung minum. Terima kasih banyak, Tetangga!”

Mingyu menatap botol air mineral di tangannya kemudian mendesah. “Aku tidak punya chamomile tea, apa teh biasa tidak masalah?” 

“Tentu-tentu! Aku suka semua jenis teh.” 

Mingyu baru tersadar dia belum tau siapa pria pirang yang sekarang asik bersandar sembari menggulir layar ponselnya. Oh, kali ini dia mengeluarkan tablet dari tasnya. Mingyu bahkan tidak ingat dia membawa tas. “Omong-omong aku belum tau siapa dirimu.” Mingyu menuang air panas perlahan, melirik tamu tidak diundangnya terkejut. 

“Ya ampun!! Maaf-maaf, aku sungguh minta maaf. Apa aku lupa memperkenalkan diri?” Pria itu menutup ponsel dan tabletnya. Matanya lurus menatap Mingyu yang mengaduk teh keduanya perlahan. “Aku Seungkwan, Boo Seungkwan! Manajer Yoon Jeonghan, tetanggamu.” 

Mingyu menyerahkan tehnya, mendudukan diri di sebelah kiri Jun. “Oh, unit 404 sudah diisi?” Seungkwan menatapnya heran, “tentu saja! Bukankah kamu yang membantu Jeonghan Hyung mengganti lampu kamar mandi?” 

“Dia bukan hantu?! Dan dia laki-laki?” Mingyu terkejut. Amat sangat. Dia belum pernah melihat pria secantik tetangganya. Well, mungkin hanya Soonyoung pria cantik yang Mingyu kenal. 

Seungkwan menyesap teh buatan Mingyu, menikmati aroma melati dan uap panas di sekitar wajahnya. Mengabaikan Mingyu yang masih kaget akan informasi yang dia bawa. 

“Teh buatanmu enak,” cicitnya, “dan tentu saja dia nyata dan laki-laki! Kamu tidak kenal dia?!” Seungkwan menatapnya bingung, “well , itu bagus, tapi untuk berhati-hati aku hanya ingin bilang kamu harus merahasiakan bahwa tetanggamu itu Yoon Jeonghan, mengerti? Aku berterima kasih sekali atas bantuanmu semalam, maaf jika itu merepotkan. Aku akan memberi tahu Jeonghan Hyung untuk tidak mengganggumu.” Seungkwan menyesap tehnya lagi, “semalam merupakan malam yang panjang. Aku harus pergi ke perusahaan, memberi klarifikasi kepada awak media, mengatur ulang jadwal, membantu membuat pengumuman.” Seungkwan kembali menyesap tehnya, mengabaikan Mingyu yang menatapnya ragu. 

“Aku rasanya tidak ingin meninggalkan Jeonghan Hyung sendiri di sini,” kali ini Seungkwan menghela napas pelan, “aku tidak bisa membayangkan dirinya sendirian. Dia akan sangat sedih, dan kacau, dan berantakan, dan tidak terurus. Bos Gila itu benar-benar di luar nalar, memberikanku tanggungan model baru hanya karena Jeonghan Hyung rehat!” 

Mingyu bisa melihat perubahan mimik Seungkwan yang sendu menjadi kesal. “Kuharap dia segera pensiun! Tidakkah dia ingat? Jeonghan Hyung yang membuat nama perusahaan kita dikenal oleh kalangan majalah fashion ?” 

Mingyu terkesiap, mejanya dipukul hingga bergetar. Beruntung tehnya tidak tumpah. Seungkwan menatap Mingyu dengan senyum kikuk dan pandangan bersalah. “Maaf, aku hanya terlalu kesal. Maaf juga kamu harus mendengarkanku berbicara sepanjang ini.” Mingyu hanya menggeleng, pria di depannya ini mirip dengan Soonyoung yang suka berbicara. Dirinya terkadang takjub dengan Wonwoo yang senantiasa mendengarkan, menyimak, dan mengingat setiap omongan Soonyoung. 

Itu sesapan teh terakhir Mingyu rasa, dan dia bahkan belum menjawab pertanyaan apapun yang tadi diajukan oleh Seungkwan, “oke, aku rasa kamu bisa bekerja sama dengan baik. Kumohon bantu aku jaga Jeonghan Hyung ya. Meskipun aku tadi memang memintanya untuk tidak mengganggumu, tapi jika kamu bisa menolongnya untuk hal-hal kecil itu sangat membantuku!! Kamu tahu, ’kan aku sepertinya tidak bisa sering-sering ke sini.” 

Tidak, Mingyu tidak tahu itu, batinnya. “Ini kartu namaku, dan namamu adalah?” 

Oh benar, dia belum menyebutkan namanya, “aku Mingyu.” 

“Baik Mingyu, kamu bisa memasukkan nomormu di sini, karena aku harus segera pergi, begitu pun kamu yang harus pergi bekerja, bukan?

Mingyu mengangguk. Benar, dia harus mulai bekerja sekarang.

 

Kedatangan tamu seperti Seungkwan tidak pernah terbayangkan oleh Mingyu, atau pun memiliki tetangga seorang supermodel bernama Yoon jeonghan. Mingyu melonjak girang, itu berarti apartemennya tidak berhantu! Dan sosok cantik yang dilihatnya semalam nyata. Oh, betapa gembira hatinya. Mingyu menggosok giginya dengan tergesa, apakah dia harus mengajak tetangganya itu makan siang. Membayangkan makan berdua dengan pria secantik itu membuatnya gugup. 

Sambil menyiapkan sarapannya, dia menggulir ponselnya yang menampilkan berita mengenai Yoon Jeonghan. Wow. dia tidak menyangka jika pria cantik itu dalam keadaan yang menyedihkan. Mingyu tidak tahu bagaimana dunia model bekerja, tapi yang pasti tetangganya itu dalam masa yang sulit. Dan mungkin dia bisa menghiburnya sedikit.

Atau tidak. Ini sudah bel kelima yang Mingyu tekan, sebenarnya dia ingin melupakan aksinya sekarang. Tapi mengingat usaha yang dia lakukan untuk membuat kue ucapan selamat datang, dia mengurungkan niatnya. Dia memarut keju dan menyaring tepung selama enam puluh menit bukan untuk kembali ke rumah. Di saat dia merasa kram di kakinya, dan cukup berpikir tingkahnya mengganggu. Suara di interkom terdengar. 

“Maaf, tapi aku tidak memiliki jadwal menerima tamu hari ini.” 

Mingyu tergagap. “Ini aku, Mi-Mingyu! Tetangga yang membantu memasang lampu semalam.” 

“Maaf, Mingyu. Tapi aku tidak bisa keluar saat ini.” Lalu hening, jarinya tidak sanggup untuk menekan bel kembali. Apa tingkahnya akan keterlaluan jika terus memaksa? Mungkin memang seharusnya dia tidak harus repot-repot seperti ini. Atau dia bisa mencoba lagi besok. Mingyu kembali ke unitnya, memakan kue buatannya setengah potong dan bekerja. Beruntung dia tidak ke kantor hari ini. 

Mingyu nampaknya terlalu fokus, dari pukul sembilan pagi hingga hampir jam lima sore tidak sekali pun dia beranjak. Diregangkan lehernya yang kaku, punggungnya yang sedikit kram. Mingyu bangkit, niatnya mengambil minum air dingin yang mungkin bisa menyadarkannya. Perutnya mulai lapar, makan siangnya terlewati begitu saja. Beginilah jika dia kerja di rumah, terlampau asyik sendiri hingga lupa semuanya. Mingyu masih di depan kulkas, meneliti bahan sayur apa yang bisa dia hidangkan untuk makan malam atau lebih baik makan di luar? Mingyu sedang menimang wortel dan sepotong dada ayam ketika bel unitnya berbunyi. Sudah lama sejak ada yang berkunjung, oh atau Chanyoung? Dia meletakkan bahan mentah di tempat semula sebelum bergegas ke depan. “Chanyo-“ 

Jeonghan. Berdiri dengan indahnya di depan pintu unit Mingyu. Dia menatap Mingyu kesal, tidak ada senyum di wajahnya, Mingyu bisa teriris ditatap setajam itu. “A-ada yang bisa kubantu?” 

“Kenapa tidak bilang Seungkwan tidak datang hari ini? Aku hampir mati kelaparan di dalam. Tidak ada apa-apa di kulkas, bahkan air minum hanya ada dua botol yang dia tinggalkan kemarin. Apa mereka ingin aku mati sendiri di apartemen menyedihkan ini?!”  

Mingyu mengerjap, Jeonghan mendecak kesal melihatnya yang terpaku berujung menerobos masuk ke dalam unit Mingyu, duduk di sofa biru di ruang tengah. “Boleh aku minta air, Tetangga?”  Mingyu kaget tentu saja. Ini kedua kalinya orang mengomelinya di saat kepalanya belum berfungsi dengan baik, maksudnya dia juga kelaparan setengah mati didera pegal otot karena duduk lebih dari enam jam. 

“Oh iya baik.” Seperti pelayan, Mingyu bergegas kembali ke dapur mengambil sebotol air dingin dan sepiring kue buatannya tadi pagi yang tersisa sepotong. “Makan ini dulu sebagai pengganjal.” Mingyu ikut duduk. Jeonghan menenggak air rakus, pria itu sangat kehausan sepertinya. Mingyu bisa lihat rambut kuningnya yang sedikit berantakan, ingin lancang merapikannya, menyelipkan ke belakang telinga yang punya. 

“Aku juga ingin makan malam,” Mingyu membuka percakapan. Jeonghan meliriknya sekilas dan mengangkat garpunya mengiris kue perlahan. “Niatnya ingin memasak, mungkin japchae dan sundubu? Ada tahu di kulkas. Tapi kalau kamu terlalu lapar ada restoran galbitang di seberang sini, apa kamu mau?”

Jeonghan menggigit garpunya. “Oke,” lalu kembali menghabiskan kuenya. “Maaf soal tadi pagi,” dia meletakkan garpunya setelah isi pisinnya tandas. “Maaf juga sudah menerobos masuk,” dia menunduk. Mingyu bisa melihat bulu matanya yang panjang, sangat cantik. Mingyu seketika gugup lagi. Dia mengalihkan pandangannya. “Bukan masalah, aku senang ada yang berkunjung.” Dia mengangkat piring bekas kue ke dapur dan kembali secepat mungkin. Dia melihat Jeonghan yang menyelisik ruangan tengahnya. Mingyu cukup pede, dia selalu membersihkan unitnya saksama, tidak akan ada hal memalukan yang membuatnya tengsin

“Apa kita berangkat sekarang?” Mingyu menghentikan Jeonghan yang sekarang mengelus miniatur keluarga kucing di meja kecil sebelah sofa. Yang ditanya mengangguk. Mingyu mengambil jaketnya di gantungan dan mengenakan topi biru dongker, menutupi rambutnya. Dia menatap Jeonghan yang terlihat tertarik dengan topinya. “Mau topi,” pintanya. Mingyu sedikitnya terkejut, dia tidak pernah bertemu orang dengan karakter seperti ini sebelumnya. Terlalu blak-blakan, terlalu spontan, sangat berbeda dengan malaikat yang ditemuinya kemarin malam. 

Mingyu meminta Jeonghan menunggu sebentar dan mengambil topi lain miliknya yang berwarna hitam. Mingyu tidak tahu banyak soal fashion tapi jika dilihat sembarang, orang-orang akan tahu kalau Jeonghan memang seorang model. Aura supermodelnya terpancar, meski pakaiannya terkesan santai tapi tetap menguarkan keindahan. Mingyu tidak ingin melepas pandangannya kalau bisa. Jeonghan tentu tahu Mingyu terus mematri mata pada tiap gerak-geriknya. Jeonghan sudah terbiasa jadi pusat perhatian, dipandangi sedemikian rupa bukanlah hal besar. Tapi Mingyu menatapnya dengan mata yang bulat, binarnya menunjukkan kekaguman luar biasa. Jarang orang menatapnya seperti makhluk terindah di muka bumi, tapi Mingyu begitu. 

Mingyu menuntun jalan hingga ke ujung jalan. Wilayah tempat tinggalnya memang cukup sepi, mirip daerah pinggir kota yang ditinggalkan karena gagal dibangun. Mingyu suka, ketenangan yang didapat dan harga yang murah. Jeonghan sedikit meringis harus berjalan cukup jauh. Tapi bukan masalah, sepatunya cukup nyaman. Sepanjang jalan Mingyu tidak berhenti bercuap. Dia menceritakan sepasang keluarga burung yang tinggal di taman apartemen. “Mereka bertelur, ada tiga seharusnya. Tapi satunya jatuh terkena angin dan jatuh, tersisa dua lagi. Beberapa bulan lalu aku lihat sendiri dua anak itu sudah bisa terbang sendiri.” Jeonghan hanya mengangguk ria, kepalanya menengok ke sekeliling jalan. Beberapa rumah terlihat sepi, mungkin memang belum ada orang yang pulang. Mingyu kali ini bercerita soal sepatunya yang tertinggal di dalam kereta karena ramai, Jeonghan terbahak membayangkan Mingyu harus berjalan satu kaki dari stasiun hingga apartemen. “Jalan kaki sekitar sepuluh sampai lima belas menit, aku harus merendam kaki setelahnya.” 

“Oh, aku juga suka merendam kaki tapi karena lecet pakai sepatu.” Mingyu tersenyum simpul, langkah keduanya berhenti. “Sampai!” 

Jeonghan mengernyit sementara Mingyu masih tersenyum lebar lalu seperti tersadar dia menatap Jeonghan yang bersedekap. “Ini bukan galbitang,” serunya. Mingyu meringis, meminta maaf karena sudah salah ingat. Karena lapar, mau tidak mau keduanya masuk ke dalam restoran daging bakar. Meski hampir tutup, pemilik resto menyambut Mingyu dan Jeonghan antusias. Dia berbinar melihat Mingyu yang duduk tersenyum lebar di kursinya.

“Sudah lama aku tidak melihatmu ke sini,” katanya. Mingyu hanya menjawab kikuk bahwa pekerjaannya mulai menyita waktu. Sekitar lima menit kemudian makanan mereka tersaji. Jeonghan menatap Mingyu yang sibuk membolak-balik daging, dia memainkan sumpitnya. Ada sebotol soju di sana, Mingyu bilang dia tidak minum. Jeonghan mendesis, cupu, ejeknya. Mingyu tidak peduli, dia menjejalkan sepotong daging masak ke mulut Jeonghan. 

“Singkirkan bawang ini,” Jeonghan menunjuk bawang bombay yang Mingyu taruh hendak dicampur dengan menu penutup, nasi goreng. 

“Kamu tidak suka?” Jeonghan mengangguk, Mingyu menyingkirkan semua bawang bombay. “Kenapa?” Dia mengaduk seluruh bahan, mencampur daging yang tersisa beberapa potong dan telur yang dimintanya tadi. 

Jeonghan mengangkat bahu, dia hanya tidak suka. Menurutnya bawang bombay seperti jebakan dalam makanan, meski tidak ada rasa eksistensinya terlalu bertekstur dan renyah. Rasanya aneh di lidah. 

Satu botol alkohol, tiga porsi daging bakar, satu porsi nasi goreng. Keduanya menghabiskan makan malam dengan baik. Jeonghan setengah mabuk, karena makanannya yang enak dan perasaan yang nyaman dia terlena sempoyongan bersandar pada Mingyu yang tertawa. Mingyu tidak menyangka bisa melihat pria seanggun itu ternyata sangat lucu jika mabuk. Jeonghan mengerucutkan mulutnya, alisnya turun membuat wajah menyedihkan yang menyentuh hati. Dia mulai meracau, dari agensinya yang tidak profesional, rekan sejawat yang berkhianat hingga sepatu favoritnya yang robek di bagian sebelah kiri. Baru beberapa ratus meter, Jeonghan mogok jalan, Mingyu kebingungan. 

“Gendong!” Daripada meminta, Mingyu seperti dititah. Beruntung karena jalanan sepi, Mingyu mengangkat tubuh Jeonghan sukacita, membopongnya di atas punggung, merasakan hangat napas Jeonghan di ceruk leher, mendengar senandung abstrak merdu diselingi cekikikan. Mingyu menikmati semilir angin malam, dingin yang dibicarakan pewara yang didengarnya sekilas seperti bohong. Mingyu dengan jaket abu-abunya yang sudah berpindah kepemilikan, meski dengan kaus lengan pendek dirinya merasakan hangat. Mungkin karena memang angin yang tidak sekencang yang dikira. Atau karena ada Jeonghan yang memeluk tubuhnya erat di balik punggung. 

Pagi merupakan musuh terbesar bagi mereka yang mabuk. Mingyu tentu paham, dia menyiapkan galbitang buatannya sendiri. Dia bangun sedikit lebih pagi untuk merebus daging, memasak kaldu hingga aromanya membangunkan Jeonghan. Mingyu membiarkan Jeonghan tertidur di kasurnya semalam, pria itu terlalu teler hanya untuk menyebutkan sandi pintu. Mingyu tersenyum memperhatikan Jeonghan yang terduduk bengong di depan sofa, kesadarannya belum sepenuhnya pulih. Surai kuning itu berantakan, matanya masih setengah terbuka menahan kantuk, beberapa menit kemudian Jeonghan kembali menyamankan posisi untuk merebahkan diri di sofa Mingyu. Yang sibuk di dapur tersipu sendiri sambil mengaduk masakan yang hampir matang, sangat domestik, pikirnya.

Jeonghan duduk ketika Mingyu menghampiri dengan dua porsi sup di tangan. Keduanya makan dalam diam. Mingyu hanya bisa menyembunyikan malu mendengar interjeksi yang terus menerus Jeonghan keluarkan. Matanya membulat lucu ketika menyuap sarapannya pertama kali. Mingyu suka. 

Suapan terakhir Jeonghan ditutup dengan tegukan teh hijau yang Mingyu siapkan. Teh hijau hangat bagus untuk mengawali hari, serunya. Jeonghan tidak mau ambil pusing dan setuju. Hening menyambut. Mingyu beralih membawa piring kotor ke dapur, menyibukkan diri membilas bekas makan mereka. Jeonghan yang kenyang ditinggal terduduk di sofa sendirian. Mati gaya, di memainkan jemari di atas lutut, menggerayangi patung keluarga kucing di meja lampu. Sudut matanya menangkap beberapa pigura di pojok ruangan. Dia berjalan mendekat, sementara Mingyu di balik dapur mencoba sebisa mungkin memperlambat. Entah mengapa suasana pagi ini canggung. Mingyu bingung harus memulai percakapan, biasanya dia tidak seperti ini. Mingyu menaruh piring terakhir, lalu berjalan mendekati Jeonghan yang masih asyik memegang fotonya. “ Basist , huh?” Jeonghan menyodorkan piguranya. Mingyu melihat gambar dirinya dengan gitar tersampir di bahu, ada Soonyoung di sebelahnya. 

“Sudah lama sekali, dulu saat masih SMA,” terangnya. Jeonghan mengangguk. Matanya melirik jam yang ada di atas tv. “Apa kamu harus bekerja sekarang?” 

“Tidak. Maksudku, belum. Biasanya aku bekerja di rumah, minggu ini aku hanya harus ke kantor di hari Rabu.” 

“Hari ini Rabu.” 

Mingyu mengerjap terkejut seperti baru disadarkan, Jeonghan mengulum senyum. “Terima kasih atas semalam, Mingyu. Dan sarapannya.” 

Mingyu mengangguk kikuk, “ya, apa pun untuk tetangga.” Jeonghan lalu pamit, mengeluhkan sedikit soal bajunya yang tidak diganti. Mingyu salah tingkah, maksudnya bagaimana bisa dia membuka pakaian Jeonghan saat orangnya tidak sadar? Mingyu masih memiliki norma-norma bermasyarakat, serunya saat Jeonghan menyalahkan dirinya. 

“Memangnya apa yang salah dari mengganti pakaianku?” Mingyu tergagap, mulutnya terkatup. Apa yang salah katanya? Mingyu hampir tidak waras ingin mengelus helaian rambut kuningnya yang seperti bercahaya dalam gelap, atau pipinya yang terlihat lembut, atau bibirnya yang menggoda. 

“Tidak ada. Sampai jumpa nanti malam kalau begitu, Jeonghan.” Mingyu berjalan mendahului membukakan pintu. Yang diusir secara halus mendecih, “tuan rumah yang sangat ramah,” ejeknya. Mingyu hanya bisa tertawa. Selepas Jeonghan hilang dari pandangan, Mingyu menghela napasnya. Sekarang dia harus bersiap ke kantor. 

 

Mingyu berjibaku dengan pekerjaannya hingga telat mengisi perut meski Younghoon sudah mengajaknya berulang ke kantin. Dia hanya ingin pulang secepat mungkin dan bermain bersama Jeonghan. “Memangnya dia tidak ada yang perlu dilakukan selain menunggumu?” Younghoon bertanya ketika Mingyu bilang tetangganya pasti kesepian Karena ditinggal sendiri. Mingyu melepaskan jemarinya dari atas papan ketik. Kata-katanya mandek, benar juga, pikirnya. Jeonghan pasti punya kesibukan lain. Mungkin beres-beres isi unitnya, seingat Mingyu isi unitnya masih penuh dengan kotak kardus besar yang belum dibuka. Atau dia kembali ke kantor dijemput manajernya, atau bisa saja Jeonghan tidur seharian karena pengar yang dirasa. Mingyu akhirnya terbujuk untuk makan siang hampir pukul dua siang. Mingyu bisa lihat Younghoon bersorak girang melepas gigitan pada snack penunda laparnya. Temannya itu tidak suka makan sendirian, dan bukan salah Mingyu jika teman Younghoon hanya dirinya seorang. 

Satu suap doenjang jjigae masuk ke dalam mulutnya. Rasanya sangat enak, Mingyu terus menerus menambah nasi. Kimchi yang dihidangkan sangat segar, Mingyu tidak bisa berhenti mengunyah. Ada acar lobak kuning di sana, Mingyu menyuap sambil teringat tetangganya di rumah. Apa Jeonghan sudah makan siang? Mingyu sengaja membawakan satu mangkuk galbitang, dua telur goreng, satu piring japchae, dan sebungkus kimchi. Jeonghan yang sedang sikat gigi menyuruhnya masuk dan menata di meja makan. Meminta Mingyu untuk menemaninya belanja besok jika tidak sibuk. Tentu dengan senang hati, jawabnya. 

Selepas makan siang, Mingyu kembali berkutat dengan potongan video yang membuat matanya sakit. Dia menyeruput kopinya terakhir kali dan melirik jam yang menunjukkan pukul enam sore. Dia segera memastikan pekerjaannya tersimpan dan bersiap pulang. Leher dan bahunya butuh pijatan, beruntung tahun lalu Soonyoung memberinya mesin pijat,  Mingyu hanya lupa menaruh di mana benda yang berguna itu. Mingyu mengucap salam perpisahan dengan Younghoon yang masih menunduk di balik bilik, meledeknya yang harus lembur karena proyek sudah hampir tenggat waktu. 

Perjalanannya terbilang mulus, Mingyu sampai di apartemen mendekati jam tujuh malam. Dia melihat Jeonghan yang duduk di kursi taman apartemen, menatap serius ke pohon yang Mingyu bilang ada keluarga burung di sana. “Mereka punya telur baru.” Jeonghan berucap ketika Mingyu sudah berdiri di belakangnya. Mingyu yang sudah bersusah payah melangkah perlahan untuk mengejutkan Jeonghan harus kecewa karena niatnya gagal. Jeonghan menyunggingkan sebelah bibirnya, Mingyu sedikit sebal melihat wajahnya yang terlihat sombong. Dia mendudukkan diri di sebelah Jeonghan.

“Berapa jumlahnya?” 

Jeonghan mengangkat bahu, “aku tidak bisa lihat dengan jelas, sepertinya ada dua. Apa kamu mau mengangkatku agar bisa melihat lebih jelas?” 

Mingyu mendengus, ini pasti akal-akalannya saja. Meski begitu, Mingyu memegang pinggang Jeonghan erat ketika pria cantik itu berdiri di sampingnya. Mingyu mengangkatnya, mendekat ke pohon yang usianya mungkin lebih tua daripada mereka berdua. “Benar ada dua!” Jeonghan berseru. 

“Oke, kalo begitu sudah cukup ya,” Mingyu hendak menurunkan Jeonghan, tangannya mulai pegal omong-omong, dan kepalanya bersandar dekat bokong Jeonghan. Maksudnya, apakah ini wajar untuk orang yang baru kenal dua hari? 

Jeonghan memekik. Menahan Mingyu untuk menurunkannya. “Ada tiga!” Jeonghan memalingkan wajahnya bersitatap dengan Mingyu, “mereka akan punya tiga anak baru!” Mingyu bisa lihat mata Jeonghan yang berbinar dan senyumnya yang lebar. Tidak ada yang lebih indah dari pemandangannya sekarang. Tanpa sadar, Mingyu ikut tersenyum. Mungkin karena terlalu lama saling pandang atau hening yang kian canggung, Jeonghan berdeham menyadarkan Mingyu akan kram di lengannya. Jeonghan diturunkan terburu-buru, hampir terpeleset jika tidak tersandar tubuh Mingyu yang sigap. 

“Ayo masuk,” ajak Jeonghan. Mingyu setuju. Mereka jalan bersisian menuju lift. Keduanya masih diam hingga Chanyoung datang dan bergabung ketika pintu lift hampir ditutup. Mingyu mengenalkan Jeonghan kepada Chanyoung, keduanya mulai mengobrol. Terlebih Chanyoung ternyata kenal dengan Jeonghan. “Aku pernah lihat wajahmu sebagai cover majalah ternama.” Jeonghan memandang Mingyu sombong, seperti membuktikan dirinya benar-benar terkenal dan hanya dia yang tidak kenal dengan Jeonghan. Mingyu hanya bisa menggaruk kepala karenanya. 

Malam itu, ketiganya berkumpul di unit Mingyu memainkan kartu uno, yang kalah harus dicoret dengan bedak. Jeonghan berlari kecil mengambil bedak di unitnya, bersemangat mencoret wajah Mingyu ketika kalah di ronde pertama. Dua bungkus ayam goreng dan enam kaleng soda menemani mereka menghabiskan waktu. Chanyoung undur diri terlebih dulu, diikuti Jeonghan. Mingyu mengingatkan Jeonghan soal belanja besok hari yang tentu ditanggapi senang hati.

“Tapi kita harus naik bus, supermarket yang lengkap berjarak 15 menit dari sini.” 

Jeonghan menatap Mingyu tidak percaya dan bilang jangan bercanda padanya. Tapi keesokan pagi, Jeonghan hanya bisa mengeluh dan Mingyu yang tertawa melihat tingkahnya. 

Mingyu sudah puas tergelak melihat dandanan Jeonghan yang super rapi. Kacamata hitam dan jaket kulit, tidak lupa rambutnya yang ditata apik, ada kuncir hitam di pergelangan tangannya. Mingyu bisa lihat ketika Jeonghan mengusap peluh di pelipisnya setelah terpapar sinar mentari di halte bus selama dua belas menit. 

“Tiga menit lagi dan ac akan kudapatkan,” Jeonghan menyandarkan tubuhnya pada Mingyu, “harusnya aku bawa topi juga,” dia melirik Mingyu yang berlapis topi hitam yang pernah dipinjamnya. Jeonghan berdiri antusias melihat bus yang jalan menghampiri mereka. Seperti melihat mata air di gurun, dia bersyukur sekali. 

Jeonghan naik gembira menyapa supir bus dan duduk di dekat jendela, memanggil Mingyu untuk segera naik. Embusan udara dingin membuatnya terpejam, Mingyu menikmati pemandangan indah di sebelahnya. 

“Apakah kita harus menaiki bus ini juga untuk pulang?” Mingyu mengangguk, Jeonghan mengerang. “Kita naik taksi saja.” Mingyu lagi-lagi tertawa karenanya. 

Keduanya sampai, ada supermarket dengan papan nama berwarna hijau besar. Jeonghan bersemangat menugaskan Mingyu mendorong troli. Mereka memutari setiap lorong, mulai dari sayuran hingga alat kebersihan rumah. Mingyu mengambil beberapa sayur, Jeonghan menaruh setimbun makanan ringan, lalu minuman, dan makanan instan.  Mingyu menyelanya untuk memilih barang dengan tanda harga berwarna kuning, berkata ada potongan harga. Jeonghan bilang tidak perlu khawatir soal itu, lalu mereka berdebat. “Sama saja, Mingyu. Aku lebih suka pakai merek yang ini.” 

Berujung Mingyu yang membiarkan Jeonghan sesuka hati, lalu sedikit terkejut melihat total harga belanjaannya. Mereka menitipkan barang yang menumpuk hingga dua kantung besar untuk melipir makan siang. Keduanya pergi ke restoran tiongkok, memilih berbagai menu. Mingyu memilih jjajjangmyeon, lalu ada tangsuyuk. Jeonghan memilih samseon jampong dan beberapa porsi mandu. Kali ini Mingyu yang bayar, dia tersenyum melihat Jeonghan yang bergembira menggerakkan sumpit.

“Terakhir, mari berbagi nasi goreng kimchi,” Jeonghan menyenggol Mingyu memberi tanda sambil menyuap potongan mandu terakhir. Mingyu mengambil sendok dan mulai menyuap lagi. Keduanya hampir tidak bisa jalan karena kekenyangan. Mingyu menyukuri keputusan Jeonghan untuk naik taksi hingga apartemen, karena rasanya dia tidak sanggup untuk berjalan ke halte dan menunggu bus yang hanya muncul lima belas menit sekali. 

Keduanya berpisah setelah Mingyu membantu merapikan barang belanjaan Jeonghan. Tubuhnya sangat lelah, perut yang kenyang pun membuainya ke alam mimpi. Biar saja pekerjaan hari ini ditundanya untuk besok. Dia harus memulihkan tenaga agar nanti malam bisa bergabung makan malam bersama Jeonghan, ucapan terima kasih karena sudah ditemani belanja. Mingyu terbangun dengan ketukan keras di pintu kamarnya. Masih setengah sadar, dibukanya pintu menampilkan Chanyoung dengan raut khawatir dan Jeonghan yang cemas. 

“Mingyu Hyung!” Chanyoung menepuk pelan bahunya lalu lemas menghampiri sofa. 

“Kukira kamu pingsan,” adalah penjelasan Jeonghan. Mingyu menatap heran keduanya. Memang ada apa? Dia baru saja terlelap sebentar, baru ingin membuka mulut matanya melirik jam di di atas sofa. “Jam sepuluh?” 

“Kamu tidur seperti orang mati,” lanjut Jeonghan. Chanyoung tidak bisa berkata-kata dan hanya sibuk dengan ponselnya. 

“Mungkin aku kelelahan.” Mingyu mengusap tengkuknya. 

“Makan malamnya sudah dingin, tapi bisa dihangatkan. Ayo makan.” 

Malam itu mereka makan malam bertiga, kali ini berkumpul di unit si Model. Jeonghan bertanya bagaimana Chanyoung bisa tahu sandi pintu Mingyu yang dijawab sambil bercanda, “aku pernah terkunci di kamar mandi sendirian, waktu itu pintunya rusak. Soonyoung masih berada di luar kota, dan satu-satunya yang bisa menolongku secepat mungkin adalah Chanyoung.” 

“Kenapa tidak menelepon petugas keamanan atau penjaga?” 

“Apa kamu pernah melihatnya?” Jeonghan terdiam. Apartemen ini memang sangat sepi. Selain dua orang ini, Jeonghan belum pernah melihat siapa pun lagi. 

Chanyoung hanya mengangguk sambil menggigit dagingnya elegan. “Sejak itu Mingyu Hyung memberikan sandi pintunya.” 

Mingyu merangkul Chanyoung, mengacak rambutnya main-main. “Kamu lebih bisa diandalkan daripada Soonyoung.” 

“Siapa Soonyoung?” Jeonghan bertanya menatap Mingyu dengan penuh ingin tahu. 

Mingyu meletakkan sumpitnya, lalu bercerita panjanglah dia. Tentang masa sekolah yang menyenangkan, dirinya sebagai pemain bas band sekolah, Soonyoung, teman pertamanya sebagai vokalis. Tentang mimpinya menjadi band ternama, masuk dapur rekaman, tampil di atas panggung. Soonyoung yang suka menari, mungkin lebih cocok sebagai idol. Soonyoung yang suka harimau karena terlihat sangar dan keren, Soonyoung yang akan memilih bagian paha di setiap pesanan ayam mereka, Soonyoung yang membawakannya makan siang. Mingyu antusias menceritakannya, Jeonghan menatapnya sambil tersenyum sementara Chanyoung mendengar dalam  diam, mengusap bibir gelasnya berulang. 

“Lalu kenapa dia tidak jadi idol?” Jeonghan bertanya saat Mingyu bercerita tentang Soonyoung yang lolos audisi di salah satu agensi cukup besar. 

“Kenapa Soonyoung tidak jadi idol?” Mingyu mengulang pertanyaannya. Satu kali lagi, dengan seluruh kalimat yang sama. Lalu diulangnya lagi, beberapa kata dipenggal, hingga hening mengganggu kenyamanan. Chanyoung sigap menangani situasi, suara menguapnya terdengar alami, matanya yang sayu makin terlihat kuyu. “Sepertinya sudah larut, bukankah Jeonghan Hyung ingin istirahat?” 

Jeonghan menatap Chanyoung heran, alisnya naik satu. Mingyu mengerjap seperti tersadar akan waktu. “Oh benar, sudah malam. Kamu harus istirahat, Jeonghan.” Lalu keduanya pamit meninggalkan Jeonghan sendiri di balik pintu. 

 

Besok harinya, tidak ada lagi pembahasan tentang Soonyoung. Seakan pertanyaan Jeonghan semalam tidak pernah ada. Mingyu menghabiskan paginya bekerja, menuntaskan pekerjaan yang tertunda. Jeonghan mengetuk pintunya mengajak makan siang. Keduanya makan dengan lahap, lepas makan Jeonghan menetap. Mingyu dengan laptopnya, menyatukan potongan video satu dengan yang lain, mengedit gambar, warna, dan segala rupa tampilan. Jeonghan dan tabletnya yang berduel melawan babi-babi hijau dengan setumpuk batu. Jeonghan akan berseru girang, menggoyangkan kakinya yang diangkat ke atas dengan posisi tengkurap di atas sofa. Mingyu yang duduk di bawahnya menoleh, cukup terpesona dengan suasana. Mungkin, hidupnya bisa semenyenangkan ini. Dengan Jeonghan bersamanya. 

Mingyu disadarkan dengan Jeonghan yang tiba-tiba menyandarkan kepala di bahunya. Seketika tubuhnya kaku, lehernya bisa merasakan hangat napas Jeonghan. 

“Apa pekerjaanmu masih lama? Aku bosan.”

Ketika Seungkwan bilang akan menyuruh Jeonghan untuk tidak menganggu Mingyu sepertinya ada beberapa kalimat yang terlewat dari rangkaian kata-kata yang diluncurkan beberapa hari lalu. Sekarang, alih-alih menyelesaikan video yang beruntung masih panjang tenggat waktunya, Mingyu memegang layang-layang di ujung hamparan rumput tanah lapang. Jeonghan berseru untuknya segera melepaskan layangan tersebut, lalu berlarilah dia melawan angin, menitahkan semilir menerbangkan layangannya. 

Mereka menghabiskan sore bermandikan peluh, Jeonghan berlari ke sana ke mari. Rambut kuningnya berkilau tertimpa mentari sore, senyumnya lebar, tertawa hingga giginya nampak. Mingyu sekali lagi mengagumi ciptaan Tuhan paling indah di hadapannya sekarang. Semburat senja, kilauan keemasan rambut Jeonghan, tetes keringat yang melewati pipi yang memerah karena panas. Senyumnya masih terhias, Mingyu hampir lupa mengatupkan bibir tanpa sadar. “Menyenangkan, sudah lama aku tidak berlari sebebas ini.”  

“Aku juga, rasanya paru-paruku terbakar sekarang.” 

“Kita sudah tua.” Jeonghan menyenggol Mingyu dengan siku lalu merebahkan diri tanpa malu. Mingyu mengikuti, menatap luasnya langit oranye yang menggiring awan-awan bergerak searah angin. 

“I wish i have more times like this.”  

Mingyu menoleh menatap Jeonghan, ada beberapa helai yang tidak beraturan di wajahnya. Ingin Mingyu, jemarinya bergerak untuk menyampirkan di sela telinga Jeonghan. Tapi malu. Barangkali karena dipandang sebegitunya tanpa ada timpalan kata, Jeongan ikut menoleh menjadikan keduanya saling beradu pandang.

“Nikmatilah selagi kamu di sini,” Mingyu akhirnya berucap. “Masih ada 27 hari,” sambungnya lagi. 

Jeonghan tersenyum, “masih ada 27 hari.” 

 



Dua puluh tujuh hari, Mingyu membaginya menjadi tiga minggu dan enam hari. Di minggu pertama, Jeonghan datang dengan setumpuk kertas origami. Mengajak Mingyu berlomba membuat origami kertas, tidak tahu apa tujuannya yang pasti agar si Model itu bisa menghabiskan waktu yang membosankan ketika Mingyu harus berangkat ke kantor atau benar-benar harus menyelesaikan pekerjaannya.

“Siapa yang paling sedikit membuatnya dalam satu malam harus mentraktir makan siang besok!” 

Setelah pelajaran penuh selama dua hari berturut-turut, Mingyu dengan jari yang jarang berlatih membuat kerajinan mulai terampil. Sepanjang hari Kamis, diniatkan seluruh tugasnya untuk membuat burung warna warni. Keduanya memilih tidak bertemu seharian, Jeonghan bilang agar persaingan semakin terasa. Jumat pagi, dengan satu bungkus rerotian yang dibelinya, Mingyu mengetuk pintu Jeonghan. Seperti sudah kebiasaan, keduanya menghabiskan waktu makan bersama. Pagi itu belum ada yang membahas soal lipatan kertas yang mereka lombakan, keduanya makan pagi. Jeonghan bilang dia menemukan meja pingpong di gudang. Mingyu terheran, bagaimana bisa dia menjelajah apartemen ini seorang diri. 

“Apartemen ini sangat sepi. Jika aku tidak pernah bertemu beberapa orang yang naik lift saat berkeliaran, kukira hanya kita bertiga yang tinggal di sini.” Mingyu mengunyah dalam diam. Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Apartemennya memang sepi, mungkin tiap lantai hanya satu atau dua unit yang terisi, tapi sang Pemilik tidak pernah memasang iklan untuk menarik lebih banyak peminat. 

“Nah, sekarang mana kumpulan burungmu?” Mingyu meneguk susu kacang kedelai yang dibelinya hingga habis sebelum berlari pulang ke unitnya mengambil satu kotak berisi tumpukan burung warna warni. Lipatannya sangat rapi, tidak ada lekukan yang berulang. 

Jeonghan tersenyum melihat hasil lipatannya. “Hitung punyamu dulu, nanti kuambil milikku di kamar.” Menurut, Mingyu menghitungnya, ada 187 burung yang sudah dia buat seharian. Ada keterkejutan di mata Jeonghan, bisa Mingyu lihat rautnya yang sedikit berubah. Lalu dia masuk ke kamar dan mengeluarkan satu burung kertas besar berwarna putih. Mingyu melongo, “aku sudah membuat hampir dua ratus. Hitunganku terhenti di angka 197, tapi ketika membuat burung putih ini aku kelelahan dan tertidur. Pagi-pagi sekali aku lihat seluruh burungnya sudah hilang,” Jeonghan mencubit paruh burung putih itu main-main, “aku yakin dia rakus dan memakan semua burung yang aku buat.” 

Mingyu masih tidak habis pikir, dia menatap Jeonghan tidak percaya, “kamu pembohong.” 

“Aku tidak bohong. Kamu bisa mengecek CCTV! Oh, maaf aku lupa di kamar tidak ada CCTV. Tapi aku tidak mungkin berbohong.” Jeonghan berseru sambil mengangkat tangan kanannya, telunjuk dan jari tengahnya bersilang, makin membuat Mingyu jengkel. Diserangnya Jeonghan dengan gelitik di pinggang. Mereka berkejaran di ruang tamu yang tidak terlalu luas. Menyenggol lampu meja, hampir tersungkur karena kaki sofa, dan berujung bertumpuk di atas karpet bulu Jeonghan yang baru dibeli saat mereka belanja Minggu lalu. “Kamu harus traktir makan siang.” Ucapan terakhir Jeonghan sebelum Mingyu menimpuknya dengan bantal sofa yang terjangkau tangannya. 

Minggu kedua, Jeonghan seperti terserang demam olahraga. Setiap pagi dia membangunkan Mingyu untuk lari pagi, “jaga kesehatan!” Celotehnya. Padahal dia hanya berlari lima menit dan meninggalkan Mingyu untuk makan sup mandu setelahnya. Sore hari, Mingyu akan diseret untuk bermain bola pingpong hingga encok. Mingyu tidak tahu harus berterima kasih kepada Pak Jung, penghuni unit lantai dua, yang membantu Jeonghan mengangkat meja berwarna biru itu ke tengah halaman apartemen atau mengumpat karena Mingyu harus menemani Jeonghan setiap sore. Paling sedikit mereka bermain empat set dengan nilai penuh 11 poin. 

Sore itu, MIngyu sudah diambang kemenangan setelah menolak seluruh kecurangan Jeonghan yang terus berkata bolanya masuk dan tidak mengenai garis jaring pembatas. Perhatiannya teralihkan oleh Chanyoung yang melambai menyapa dengan teman di sampingnya.

“Hyung! Boleh kami bergabung?” Chanyoung mendekat, Jeonghan mencetak poin karenanya. Mingyu mendesah. “Ya, cepat gantikan aku!” lalu Mingyu melemparkan betnya yang ditangkap Chanyoung dengan mudah. 

“Cupu!” Jeonghan meledeknya, Mingyu menutup wajah Jeonghan dengan handuk kecil yang dibawanya, mengusap asal hingga dia mengerang kesal menginjak kakinya. 

“Siapa ini? Kukira temanmu hanya Sohee.” Chanyoung terkejut akan ucapan Mingyu, dia menatap temannya yang tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah Mingyu. 

“Aku Yujin! Senang bertemu denganmu, Mingyu Hyung. Ju–Chanyoung suka bercerita tentangmu.” 

MIngyu terkekeh, “berharap itu cerita baik.” 

Mereka menghabiskan sore itu bermain pingpong, lalu Jeonghan memesan pizza dan soda sebagai makan malam. Keempatnya melihat pengantar pizza mengeluh betapa jauhnya apartemen ini dari restoran. “Bagaimana kamu tahu ada restoran pizza itu?” Chanyoung bertanya. Jeonghan menunjukkan kartu nama dari kantongnya, “aku mengambilnya saat berbelanja.” 

Chanyoung mengangguk paham. Malam itu, Yujin menginap di unit Chanyoung. Mingyu mengajak Yujin untuk sering mampir untuk bermain pingpong bersama, Jeonghan pun setuju. 

 

Minggu ketiga, Seungkwan datang setelah lebih dari dua minggu tidak muncul. Wajahnya sangat kesal, lalu memeluk Jeonghan erat. Mingyu yang masih mengunyah makan siang di meja harus puas pergi membawa mangkuk ke dalam unitnya, memberikan waktu dan tempat privasi bagi keduanya menyelesaikan masalah yang seharusnya. Sorenya, Younghoon berkunjung ke unitnya. Teman kantornya itu jarang berkunjung, biasanya karena ada yang penting atau hal mendesak. Kali ini Younghoon duduk di atas sofa mengaduk pelan teh yang Mingyu sajikan. 

“Boleh kulihat vitaminmu?” Mingyu mengerutkan kening, sedikit heran temannya sangat perhatian. Sejak masuk rumahnya, dia seperti menyelidiki perubahan-perubahan yang terjadi. Mengomentari setumpuk kotak burung kertas yang dibuatnya, camilan manis dan pedas di toples kaca atas meja, dan sekarang menghitung jumlah butir vitaminnya. 

“Aku sudah tidak meminumnya sejak minggu lalu, tubuhku terasa baik akhir-akhir ini. Mungkin karena Jeonghan mengajakku lari pagi dan bermain pingpong setiap sore.” 

Younghoon mengangguk paham, “Mingyu, bisa ceritakan padaku siapa itu Jeonghan?” 

“Oh, aku belum pernah bilang? Ada model yang pindah ke unit sebelah,” Mingyu mengawali ceritanya. Runut mengalir rangkaian kilas balik kegiatannya tiga Minggu ke belakang. Dia yang salah kira Jeonghan sebagai hantu, belanja bersama dengan bus, makan siang hingga kekenyangan tidak bisa bergerak, bermain layangan di lapangan luas, bertarung membuat origami, hingga harus bertanding setiap sore. 

“Timku adalah Chanyoung, dan Jeonghan dengan Yujin.” 

“Yujin?” 

“Iya, Yujin. Chanyoung punya teman baru, sekarang tidak hanya ada Sohee, ada juga Yujin.” 

Younghoon mengangguk paham, menyodorkan selembar kertas origami berwarna biru. “Selain burung, apalagi yang bisa kamu buat?” Mingyu heran, apa? Mingyu cuma bisa buat burung. Dirinya belum pernah bisa buat origami sebelumnya hingga Jeonghan datang. “Entahlah, aku tidak pernah mencoba sebelumnya.” Mingyu melipat asal, memutarnya perlahan hingga terbentuklah bintang. “Oh, lihat, ini seperti bintang, bukan?” 

Younghoon tersenyum, “kurasa hidupmu menjadi semakin baik.” dia melihat Mingyu yang tertawa malu. “Apa Soonyoung menghubungimu akhir-akhir ini?” 

Raut wajah Mingyu seperti tersadar sesuatu. Dia menatap Younghoon lama, “tidak. Soonyoung tidak menghubungiku.” Digapainya ponsel di atas meja, mengecek kontak Soonyoung. Tidak ada pesan atau daftar panggilan akhir-akhir ini. “Mengapa Soonyoung tidak menghubungiku?” 

“Mingyu, apa kamu ingat kejadian ulang tahunmu tiga tahun lalu?” 

“Ulang tahunku … tiga tahun lalu,” Mingyu mengunci pandangannya dengan Younghoon , “aku dan Soonyoung akan bertemu Wonwoo di Penginapan yang sudah disewa. Soonyoung bilang, Wonwoo sudah menunggu. Lalu turun hujan. Aku … Soonyoung yang menyetir, aku belum–tidak, aku tidak bisa menyetir. Ada kemacetan, Wonwoo menelepon, katanya kita harus menghindari area banjir.” 

Younghoon menggenggam erat tangan Mingyu, “apa yang kamu lakukan untuk menghindari banjir?” 

“Soonyoung bilang akan putar balik–”

“Mingyu! Ayo main!” Jeonghan menerobos masuk unit Mingyu, mengayunkan bet pingpong, “ups, maaf, kukira tidak ada orang.” 

Raut Mingyu yang tadinya terlihat kosong kini kembali tersenyum. “Jeonghan, ini Younghoon! Teman kantorku.” 

 

Tidak ada yang membahas lebih lanjut soal ceritanya. Younghoon ikut bermain dua set dan pamit undur diri. Dia berbisik ke telinga Mingyu sebelum masuk ke dalam mobil, “aku bisa melihat cinta di binar matamu menatap Jeonghan,”  Mingyu tersipu, dia memukul Younghoon dan berkata harus tutup mulut. 

Mingyu kembali sambil melihat Jeonghan yang duduk meneguk air dari botol kemasan. Aliran keringat di pelipis, rambutnya yang dikuncir satu, semuanya memukau Mingyu. Degup jantungnya berdetak tidak beraturan, jika cinta akhirnya mampir di antara keduanya, Mingyu harap tidak akan ada yang terluka. Dia melemparkan handuk kecil ke bahu Jeonghan, dirinya ikut membuka satu botol isotonik. Jeonghan menatapnya, Mingyu melirik pria yang sepertinya sudah merencanakan hal licik lain. MIngyu tidak mau kecolongan, seperti dirinya yang harus empat kali memasak makan siang, dua kali mengalah di tiap pertandingan. Mingyu berpikir lagi, apa benar dia jatuh cinta atau masuk ke dalam permainan manipulasi Jeonghan. 

“Minggu depan aku harus kembali,” Jeonghan memalingkan wajahnya. Mingyu bisa lihat senyum lirih seakan tidak rela untuk pergi. “Aku akan memutus kontrak dengan agensiku. Pria tua itu tidak ada niatan untuk membantu dan malah memutar balikkan fakta.” 

Mingyu belum sempat membuka suara sebelum Jeonghan mengubah mimiknya, “ini masih rahasia, kamu harus tutup mulut!” Mingyu menangkap telunjuk Jeonghan yang mengancamnya. “Sekali pun aku bocorkan, hal pertama yang kubeberkan adalah dirimu yang suka mencuri daging dari piringku.” 

“Hei, bukan salahku kalau sumpitku lebih tertarik dengan daging di piringmu.” Mingyu mendengus tidak percaya, sementara Jeonghan menyandarkan tubuhnya di bahu Mingyu. “Kamu orang baik, Mingyu.” 

“Aku tahu,” jawab Mingyu yang menerima sikutan Jeonghan di bawah rusuk kanan.

 

Minggu terakhir, semenjak Younghoon bilang Mingyu jatuh cinta pada Jeonghan. Mingyu semakin kikuk dengan tingkahnya sendiri. Seperti tangannya yang selalu tanpa sengaja menyelipkan helai rambut ke telinga Jeonghan, atau mengusap noda di pinggir bibir Jeonghan, atau tersesat dalam pesona Jeonghan hingga memandanginya tanpa kedip. Mingyu rasa Jeonghan sadar. Pria itu membiarkan Mingyu sesukanya, tidak jarang dia memeluk lengan Mingyu ketika bersandar. Mingyu hanya bisa berharap nafsunya tidak memuncak, seandainya iya, Mingyu harap Jeonghan tidak tahu. Tidak banyak yang mereka lakukan di minggu terakhir, Jeonghan kembali dalam mode hemat energi, mungkin kabar yang dibawa Seungkwan tempo hari lalu membuat moodnya memburuk. Meja pingpong terlupakan, terlebih lari pagi. Jeonghan bangkit dari kasur setelah Mingyu masuk ke ruang tengahnya. 

“Besok aku pergi.” Jeonghan menghentikan Mingyu yang asyik mengunyah japchae. Mingyu berpura-pura tidak kaget, dia bisa melihat beberapa barang Jeonghan yang sudah hilang dari pandangan, mungkin sudah dikemas. Hari itu Jeonghan memotret semua yang dia temui dengan kamera yang baru dilihat Mingyu. Sarang dengan tiga anak burung yang sudah menetas awal minggu ini, Chanyoung yang terlihat seperti mayat hidup karena belum tertidur dua hari, Paman Jung yang menaiki tangga membawa kotak kardus, tumpukan burung origami milik MIngyu dan dirinya, terakhir yang diambil adalah potret Mingyu seorang diri, setelah berpuluh kali dipaksa mengambil foto bersama dengan banyak gaya. 

Malam itu Jeonghan menginap, berbaring bersama di samping Mingyu. Sebagai kenangan terakhir, katanya. Malam itu, Mingyu tidak bisa tertidur tenang. Bukan karena Jeonghan akan pergi besok pagi, tapi karena wangi Jeonghan yang mengacau pikirannya, bibir yang dioles pelembab sehingga mengkilap. Mingyu sudah tidak bisa berpikir dengan baik sejak mereka menonton film di ruang tengah dengan Jeonghan yang lebih menempel. Sekarang, kakinya ditimpa sebelah kaki Jeonghan. Mingyu tidak berani memiringkan badan karena Jeonghan sudah meringkuk di sampingnya. “Tidak usah terlalu kaku, kamu bisa memelukku malam ini.” Karenanya Mingyu ikut meringkuk, membiarkan wajah Jeonghan menelusup dalam dekap dadanya. Menghidu wangi yang akan dirindunya setelah ini. “Apa kita bisa bertemu setelah ini?” 

“Kuusahakan,” jawaban Jeonghan yang menyisakan senyum dalam tidur Mingyu. 

Bunyi alarm yang biasa membangunkan Mingyu kali ini dimatikan dua kali, Jeonghan mengutuknya yang memasang alarm lebih dari satu kali di waktu yang masih gelap. Tanpa canggung, Mingyu mengusap pipi Jeonghan lembut yang dihadiahi tatapan menggoda. “Selamat pagi,” sapaan pertama Mingyu dengan suaranya yang masih serak. Jeonghan mengecup bibirnya cepat lalu hendak kabur ke kamar mandi. “Aku harus bersiap pergi,” pamitnya. Mingyu menahan pergelangan tangannya, menjatuhkan lagi tubuh Jeonghan pada pelukannya. 

“Sarapan dulu.” 

Jeonghan merona, melihat seberapa dekat jarak antara keduanya. Hidung mereka saling menempel, Mingyu mengusapnya ke kiri dan kanan pelan, sebelum bibir keduanya kembali bertaut. Kali ini lebih lambat, dia sesap perlahan bibir bawah Jeonghan. Permainan lidah keduanya terus berlanjut, hingga erangan Jeonghan menghentikan semuanya. Mingyu melepas jemarinya dari wajah Jeonghan, sementara Jeonghan melepas remetan di rambut Mingyu yang makin berantakan. “Ayo sarapan.” Mingyu menempelkan pipi keduanya, Jeonghan tertawa sambil mengeratkan pelukannya. 

Sepiring nasi goreng kimchi menghilangkan rasa lapar keduanya. Mingyu menggenggam tangan Jeonghan, jempolnya mengelus lembut punggung tangannya. Seperti membiarkan waktu berjalan perlahan, memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk bersama. “Datanglah berkunjung,” Jeonghan menggoyangkan jemari mereka yang bersilang. Mingyu mengangguk, “jika bisa bertemu denganmu, aku akan datang.”

“Tentu bisa! Kamu tinggal menghubungiku.” 

“Aku akan merindukanmu.” Mingyu menyembunyikan kepalanya di bahu Jeonghan, yang disandari mengelusnya pelan. “Aku juga.” 

“Akan sangat sepi di sini tanpa ada yang menggedor pintu kamarku setiap pagi.” 

“Aku tau.”

“Aku rasa aku suka padamu.” 

Jeonghan tertawa karenanya. Mingyu mengangkat kepalanya dengan bibir yang cemberut, “kenapa tertawa?” 

“Kita sudah berciuman, dan kamu baru sadar?”

Matanya mengerjap cepat, pelukannya sedikit terlepas. Jeonghan bisa lihat telinganya yang memerah alih-alih pipinya yang tersipu. Beruntung, bunyi bel mengalihkan perhatian mereka. Mingyu berdiri, melangkah cepat menuju pintu. 

“Aku masuk ke unitmu dan kosong, ternyata di sini kamu berada.” Seungkwan dengan kipas elektrik di tangan kanannya, dan tangan kiri yang bertolak pinggang. Jeonghan tertawa menghampiri, mengajaknya untuk segera bergegas membantunya bersiap pergi. Seungkwan mendengus dan masuk ke dalam unitnya lebih dulu, menyisakan Mingyu dan Jeonghan di depan pintu. 

“I do like you too, so hit me up, okay?” Satu kecupan cepat kembali dicuri lalu Jeonghan masuk ke dalam unitnya sebelum Seungkwan keluar lagi dan mengoceh panjang. 

Satu jam kemudian, Mingyu mengantar Jeonghan pergi. Mereka melepaskan genggaman tangan yang di depan pintu mobil. Seungkwan sudah masuk duduk di kursi tengah setelah memuat semua koper di bagasi. Dibantu oleh Mingyu dan supir tentu saja. “ Keep in touch, okay?” 

“Tentu.” Lewat hitungan mundur dalam hatinya, Mingyu membiarkan Jeonghan masuk ke dalam mobil. Tangannya melambai, senyum masih terpatri, Jeonghan pun sama. Jendela mobil diturunkan, secepat roda melaju, seceoat itu juga dia melambai ke arah Mingyu. 

“Jangan lupakan aku!” 

Sayup-sayup teriakannya masuk ke dalam benak Mingyu. Dia tidak akan melupakan Jeonghan. Pernah ada malaikat yang singgah di unit sebelahnya, tidak akan ada yang percaya kecuali mereka yang melihatnya. 

Mingyu sekali lagi sendiri. Kesunyian menyapanya lagi. Mingyu duduk di ruang tengah, melirik kumpulan burung kertas yang dibuat, menoleh ke arah satu bingkai foto yang ditinggalkan Jeonghan. Mereka saling merangkul; Mingyu dengan tangan di pinggang Jeonghan, dan yang satu melingkupi lengannya. Tidak ada niatan untuk melakukan hal lain dibanding berbaring di atas kasur yang masih beraroma Jeonghan. Mingyu membiarkan tubuhnya di sana. Dia masih bisa mendengar kekehan Jeonghan atau seruan asal yang membuatnya tertawa. Mingyu tertidur, sebelum jam makan siang. Dan harapnya dia bisa terus tertidur hingga nanti dirinya bisa bertemu Jeonghan kembali. 

 

 

Mingyu tidak bermimpi. Tidak ada bayang-bayang nyata yang hadir dalam tidurnya. Saat dia membuka mata, wajah Younghoon yang dilihatnya pertama kali. Kamarnya sudah berganti dengan ruangan serba putih, ada mesin pendeteksi denyut jantung di sisi kanannya.

“Selamat pagi, Mingyu. Bagaimana perasaanmu hari ini?” 

Mingyu yang masih merayap menyesuaikan cahaya matanya mencoba menjawab, tapi tenggorokannya terlalu kering. “Minum dulu. Setelah tiga hari terlelap, kurasa tenggorokanmu butuh air.” Younghoon membantu Mingyu untuk minum perlahan. 

Mingyu kembali menatap Younghoon, kali ini suaranya bisa terdengar. “Dokter, bagaimana keadaan Soonyoung?” 

Yang ditanya tersenyum, sudah lama dia tidak dipanggil dokter oleh Mingyu. Younghoon menatapnya penuh arti. “Apa yang terakhir kali kamu ingat, Mingyu?”

“Aku dan Soonyoung mengalami kecelakan, bukan?” 

Senyum Younghoon semakin lebar, akhirnya. Mingyu menatap pria dengan jas putih dilengkapi stetoskop dan kacamata di depannya bingung. Kenapa dokter terlihat sangat gembira? “Apa aku salah?” 

Younghoon menggeleng, dia duduk di kursi sebelah kasur Mingyu. “Tidak, kamu benar. Tapi kecelakaan itu terjadi tiga tahun yang lalu,” mengabaikan raut Mingyu yang kebingungan, lalu dia melanjutkan, “kamu ingat namaku?” 

“Dokter Younghoon? Terakhir kali kamu bilang Soonyoung harus menjalani operasi, tapi aku tidak ingat kondisinya sekarang.”

Younghoon menganggukkan kepalanya masih dengan senyum antusias, “bagaimana dengan Chanyoung? Lee Chanyoung, kamu kenal?”

Ada jeda lama, alis Mingyu mengerut hingga hampir menyatu. Mungkin ada kilasan memori yang terlewat, pikirnya. Siapa Chanyoung? Otaknya dengan keras memaksa untuk mengigat, rambut cokelat, lesung pipi, dan telapak kaki yang rata. Mingyu bisa dengar suaranya yang komplain karena jarak kolam renang yang terlalu pendek. “Ya! Aku ingat, dia sepupuku. Keluarganya tinggal di Amerika sekarang.” 

Younghoon menyambung mencoba peruntungan. “Apa kamu mengingat Jeonghan? Yoon Jeonghan?” 

Kali ini tatapan Mingyu semakin bingung. Ada denyutan di kepala yang membuatnya hampir mengerang nyeri. Degup jantungnya terdengar tidak normal dalam asumsinya. Dia menatap Younghoon dengan ekspresi heran, tidak ada apa-apa di kepalanya. 

“Siapa Yoon Jeonghan?” 

Senyum yang sedari tadi tersampir seketika sirna dari wajah Younghoon membuatnya harus menghela napas. “I feel sorry for you, Mingyu.” lirihan yang tidak terdengar oleh pemilik nama.