Chapter Text
Karena terlalu asik dan bersemangat, Wenning tidak sengaja melempar Wuxian ke sungai yang dalam dan membuat Wuxian basah kuyub.
Sizhui memperingatkan Wuxian untuk melepas bajunya dan mengeringkannya sebelum pulang tapi Wuxian tersenyum sambil mengelus kepala Sizhui
"Hanya segini saja, tidak masalah."
Wu xian berjalan bersama yang lain kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Lan Zhan menatap dingin anak-anak didiknya. Tanpa suara dan tanpa bertindak dari Lan Zhan, anak-anak Lan dan Wenning bersujud di depan Lan Zhan. Mereka terlihat ketakutan dan saling menatap satu sama lain saat menundukkan kepala mereka.
Wu xian tersenyum riang kepada Lan Zhan. Tidak ada yang lebih indah dari senyum itu. Dan itu membuat Lan Zhan harus memaklumi kelakuan kekasihnya itu sambil menghela nafas.
Lan zhan membalikkan badannya dan berjalan ke arah perpustakaan, diikuti oleh Wu xian. Anak-anak Lan dan Wenning saling menatap satu sama lain dengan penuh kebingungan. Mereka tidak tahu apakah mereka harus berdiri atau tidak.
Tempat ini tidak pernah berubah dan Wu xian sudah sangat familiar dengan jalan ini, bangunan ini, taman di tengah-tengah masing-masing paviliun ini. Dia mengikuti ke mana pun Lanzhan berjalan.
Lanzhan duduk di samping meja, tempat kesukaan dia, melanjutkan kitab yang harus dia baca. Wu xian terlihat cemberut dan berusaha menarik perhatian Lan Zhan.
"Lan zhan~"
Suara itu memanggilnya tapi Lanzhan tidak bergeming, ia tetap membaca kitab di tangannya.
"Lan zhan~ marah ya?"
Harus berkonsentrasi. Ia harus menyelesaikan kitab ini hari ini. Tidak ada waktu untuk yang lain.
"Lan zhan~ jangan marah."
Wu xian mendekati Lan zhan dan duduk di sampingnya, ada jarak karena Lan zhan terlihat sebal. Ia menatap Lan zhan yang sedang berkonsentrasi penuh pada kitab di tangannya. Meski marah, Lan zhan tetap terlihat tampan dan itu membuat Wu xian sedikit sebal. Ia memayunkan bibirnya.
Lan zhan melirik ke arah Wu xian di sampingnya. Ia meletakkan kitabnya di atas meja kayu cendana.
"Katakan."
Wu xian sedikit terkejut melihat reaksi Lan zhan, biasanya dia akan selalu mengacuhkan keberadaannya.
"Curang."
Lan zhan tidak mengerti tetapi raut mukanya tidak berubah.
"Lan zhan curang!"
Lan zhan berusaha memahami arah pembicaraan ini tapi tetap saja dia tidak mengerti.
"Kenapa meski marah, kamu tetap terlihat ganteng?"
Wuxian pun terlihat manis saat marah seperti ini, pikir Lan Zhan. Ia tersenyum tipis sambil melihat betapa manis Wuxian mengungkapkan isi hatinya.
Lan Zhan hanya menatap Wu xian. Wu xian terdiam dan menatap Lan zhan, ada rasa sedikit khawatir.
"Lan zhan, jangan marah ya"
Wu xian mengernyitkan dahinya sambil tersenyum pahit. Ia tahu bahwa Lan zhan marah karena ia mengajak bermain anaka-nak Lan lainnya. Tapi bukankah bermain termasuk dalam belajar? Meski itu hanya alasan semata.
Lan zhan tidak berkata. Wu xian menundukkan kepala, menatap lantai kayu. Marah? Tidak, saat ini Lan zhan tidak marah. Mungkin bisa dibilang ini adalah rasa kecewa.
Kecewa karena anak-anaknya tidak teladan?
Bukan.
Kecewa karena ia tidak tegas?
Bukan.
Rasa ini...
Tidak bisa dideskripsikan oleh Lan zhan sendiri. Ia tidak mengerti tapi ia tahu ia tidak menyukai perasaan ini.
Dan satu hal yang pasti mengenai perasaan ini. Wu xian tidak bersalah dalam hal ini, ini ada di dalam hatinya, perasaannya. Tidak bijak jika membuat Wu xian merasa bersalah seperti ini.
Lan zhan menyentuh lembut rambut Wu xian. Ia terkejut. Lembab
Wu xian tahu apa yang ada di benak Lan zhan. Raut wajahnya berubah menjadi penuh tanya dan ada rasa sedikit khawatir.
"Aku terjatuh di sungai. Hehehe~"
Wu xian tersenyum lebar sambil menjulurkan lidahnya dan mengedipkan satu kelopak matanya.
"Wei ying."
Lan zhan hanya memanggil namanya namun penuh makna, ia menatap khawatir kekasihnya ini. Yang begitu sembrono dan terkadang tidak bisa diatur.
Wu xian menundukkan kepalanya lagi. Ia tidak ingin menatap Lan zhan yang, pasti akan menceramahi dia panjang lebar, sedang marah.
Wu xian tahu apa yang ada di benak Lan zhan. Raut wajahnya berubah menjadi penuh tanya dan ada rasa sedikit khawatir.
"Aku terjatuh di sungai. Hehehe~"
Wu xian tersenyum lebar sambil menjulurkan lidahnya dan mengedipkan satu kelopak matanya.
"Wei ying."
Lan zhan hanya memanggil namanya namun penuh makna, ia menatap khawatir kekasihnya ini. Yang begitu sembrono dan terkadang tidak bisa diatur.
Wu xian menundukkan kepalanya lagi. Ia tidak ingin menatap Lan zhan yang, pasti akan menceramahi dia panjang lebar, sedang marah.
Karma.
Kata ini mungkin yang cocok dengan situasi saat ini.
Terbaring lunglai tanpa tenaga. Nafas berat dan badan yang terasa sangat panas. Membuka kelopak mata pun membutuhkan banyak tenaga dan tubuh ini seperti terasa tertindih sesuatu yang berat.
"Tuan, apakah tuan baik-baik saja?"
Wenning bertanya. Ia menatap dari samping tempat tidur kayu. Hanya separuh wajah dan tangannya di atas tempa tidur yang terlihat tapi Wu xian bisa melihat betapa khawatir Wenning kepadanya.
Wu xian mengangguk kecil dan mengeluh kecil. Bahkan hanya mengangguk sedikit saja, badannya terasa begitu pilu.
"Tuan, jangan banyak bergerak."
Wenning segera berdiri dan panik. Melihat ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu untuk membuat baik Tuan-nya ini. Obat. Makanan. Minuman hangat. Selimut. Atau mungkin lap basah untuk menurunkan demamnya.
Tapi Wenning kebingungan. Yang mana yang harus diambil terlebih dahulu? Kalau obat, dia harus membeli di kota. Dia tidak ingin menakuti warga.
Makanan pun juga harus beli di kota.
Ah!
Wenning mendapatkan ide cemerlang. Selimut! Ya ada selimut di balik lemari. Wenning mengeluarkan semua dari lemari dan menumpuknya ke atas tubuh Wu xian.
Berat dan semakin panas.
Tapi wajah Wenning terlihat bahagia dan senyumnya menandakan ia telah melakukan hal yang hebat. Wu xian bahkan tidak bisa berkata apa-apa.
"Tuan, tunggu sebentar. Aku akan membawakan sesuatu untuk dimakan."
Wenning keluar dari kamar Wu xian dan berjalan ke arah dapur.
"Selamat pagi, Kak Wenning."
Sapa seseorang di depannya, Sizhui.
Wenning berlari bahagia hanya dengan melihatnya berjalan ke arahnya dan memeluk Sizhui.
"Sizhui~"
Sizhui terlihat bingung tapi ia tersenyum dan menepuk punggung Wenning lembut.
"Tidak biasanya Kak Wenning berjalan di dalam perguruan seperti ini, apakah ada masalah?"
Sizhui bertanya dan Wenning melepaskan pelukannya. Wajahnya terlihat sedih tapi juga terlihat lega saat Sizhui bertanya seperti itu.
"Tuan, Tuan, dia, dia..."
"Tuan? Tuan Wei Wu Xian?"
Wajah Sizhui berubah menjadi penuh kekhawatiran.
"Beliau... Beliau..."
Tapi kepanikan Wenning sungguh membuat situasi serius ini menjadi lebih ringan. Sizhui tersenyum melihat Wenning yang panik sendiri.
"Ada apa dengan Tuan Wei Wu Xian?"
Sizhui bertanya dengan lembut untuk membuat Wenning sedikit lebih tenang dan bisa menjelaskan masalahnya dengan baik.
"Tuan sakit!"
Wenning mendadak menangis setelah mengatakan masalahnya.
Sizhui memeriksa keadaan Wu xian dan ia tahu bahwa Wu xian demam tinggi. Sekujur tubuhnya basah karena keringat dan panas tinggi ini harus segera diturunkan atau berakibat buruk untuk tubuhnya.
"Panasnya tinggi, aku akan segera memberi tahu Hanguang Jun."
Sizhui menatap Wenning yang sekarang makin panik dan tidak tahu harus bagaimana.
"Tenang saja, Kak Wenning. Aku akan membantu sebisaku."
Tapi tangan Wu xian menarik pelan baju Sizhui. Ia memalingkan wajahnya ke arah Wu xian yang terbaring di atas ranjang. Ia menatap Sizhui.
"Jangan..."
Sizhui segera bersujud untuk bisa mendengarkan suara Wu xian lebih jelas.
"Jangan beritahu, Lan zhan..."
Tentu saja Sizhui terkejut dengan pernyataan itu. Tidak memberitahu keadaan Wu xian kepada Hanguang Jun akan membuat semuanya menjadi lebih susah. Apalagi melihat kondisi Wu xian yang sudah parah seperti ini.
"Tuan Wei Wu Xian, saya harus memberitahu Hanguang Jun, keadaan Tuan harus segera ditangani."
Wu xian tetap tidak melepaskan genggamannya, ia pun menggelengkan kepalanya pelan. Di saat seperti ini ia masih bisa tersenyum.
"Lan zhan, dia tidak harus tau."
Wu xian tahu ini konsekuensinya.
Meringankan perhatian Lan zhan dan ia terlalu cuek dengan semua ini. Jika dia mengindahkan kekhawatiran Lan zhan, ia tidak akan terbaring lemah seperti ini.
Juga, Lan zhan harus menyelesaikan tugasnya. Kitab di atas mejanya begitu banyak dan hal sekecil ini tidak boleh mengganggunya.
Sizhui tau. Percuma membuat Wei Wu xian mengerti keadaannya sendiri.
"Baiklah. Aku akan merahasiakan ini dari Hangguang Jun."
Wu xian tersenyum semakin lebar.
"Terima kasih, Sizhui."
---
Wenning berdiri menunggu Sizhui di depan pintu dapur.
Sizhui sedang sibuk membuatkan bubur dan obat untuk Wu xian yang sedang sakit. Wenning sebenarnya ingin membantu tapi setiap kali ia ingin membantu, ia selalu melalukan hal bodoh, seperti memecahkan mangkok, tidak sengaja menumpahkan garam dari tempatnya, mencampur obat ke dalam panci bubur, dan membuat persiapan semakin lama. Sizhui menghargai keinginannya untuk membantu tapi untuk sementara lebih baik Wenning menunggu di luar dapur.
Apalagi merawat Wu xian diam-diam seperti ini, Sizhui harus cepat dan untung saja Jingyi setuju untuk membantunya. Latihan tetap berjalan seperti biasanya dan Sizhui masih harus mempersiapkan makanan dan obat untuk Wu xian. Jingyi tentu saja tidak bisa melihat sahabatnya ini menderita sendirian. Dua lebih baik daripada satu.
Wenning mengintip ke dalam dapur dan merasa tidak berguna. Dia hanya bisa menunggu dan membawakan bubur dan obat untuk Tuannya. Ia pun menatap langit yang berwarna oranye bercampur dengan biru gelap. Sebentar lagi malam. Tapi Tuannya tidak kunjung sembuh.
Semoga Wei Wu xian bisa cepat sembuh.
Hanya itu saja mungkin saat ini permohonan Wenning kepada langit.
"Obat ini lebih pahit tapi lebih manjur dan harus dihabiskan."
Sizhui memberitahu Wenning. Sebuah nampan putih dengan satu mangkuk besar, satu mangkuk kecil dan beberapa peralatan makan. Wenning terlihat gelisah melihat nampan di tangannya dan Sizhui tahu alasan dibalik kegelisahannya. Wei Wu xian pasti akan berkomentar dan melempar tantrum untuk tidak meminum obatnya. Sizhui pun tersenyum.
"Aku sudah menyiapkan madu, setelah meminum obatnya."
Sizhui menunjuk mangkuk kecil berwarna putih dengan cairan kuning bening. Wenning melihat mangkuk kecil itu lalu tersenyum lebar ke arah Sizhui.
Betapa bersyukurnya Wenning bisa menggandalkan Sizhui. Sizhui terkekeh kecil.
"Terima kasih, Sizhui!"
Wenning segera membawa nampan itu ke kamar Tuannya. Sizhui tersenyum dan melambaikan tangannya. Di belakang Sizhui, Jingyi melipatkan tangannya ke arah dadanya dengan muka masam.
"Sungguh merepotkan."
Jingyi mengeluh sebal. Sizhui tersenyum dan memalingkan wajahnya ke arah Jingyi.
"Terima kasih, Jingyi."
Jingyi memalingkan wajahnya malu-malu dan berjalan melewati Sizhui. Sizhui pun mengikutinya. Meski mengerutu tapi Jingyi membantunya.
Mereka berjalan melewati taman untuk kembali ke asrama mereka.
"Aku berharap dia segera sembuh."
Jingyi mengomel lagi. Sizhui terkekeh kecil sambil menutup mulutnya.
"Hei! Aku tidak khawatir! Ini karena dia merepotkanmu, Sizhui."
Jingyi memperjelas lagi ucapannya.
"Iya, aku tahu. Tapi tetap saja kamu setuju untuk membantuku, Jingyi."
Sizhui tidak meminta lebih dari ini. Bantuan Jingyi meringankan Sizhui.
"Karena akan lebih merepotkan lagi jika kamu yang sakit! Aku tidak ingin kamu sakit!"
Jingyi melangkah maju dengan segera membalikkan badannya, melihat ke arah Sizhui dan menghentikan langkahnya. Sizhui terkejut karena sahabatnya berdiri di hadapannya mendadak. Matanya terbelalak menatap betapa khawatirnya Jingyi terhadapnya.
"Terima kasih, Jingyi."
Sizhui tersenyum begitu lebar dan terlihat manis. Muka Jingyi mendadak memerah dan segera ia membalikkan badannya. Ia harus segera menyembunyikan wajahnya ini dari hadapan Sizhui. Sebelum bisa melangkah lagi.
"Siapa yang sakit?"
Suara dari balik badan Sizhui terasa begitu familiar dan datar.
Jingyi terkaget dengan kehadirannya di balik Sizhui. Sizhui membalikkan badannya dan tersenyum ke arah panutannya.
"Selamat sore, Hanguang Jun."
Shizui dan Jingyi menundukkan badannya. Lan zhan mengganggukkan kepalanya pelan. Raut wajahnya tidak berubah.
"Siapa yang sakit?"
Ia bertanya lagi. Jingyi terlihat ingin melarikan diri. Sizhui tetap terlihat tenang.
"Tuan Wei Wu xian."
Sizhui menjawab dan Jingyi terlihat kaget. Sahabatnya tidak berusaha menutupi kenyataan ini. Lan zhan mengeratkan genggaman tangannya tapi ekspresi wajahnya tidak berubah.
Tanpa kata-kata lain, Lan zhan membalikkan badannya dan berjalan. Baik Jingyi dan Sizhui tahu, ke mana Hanguang Jun akan melangkah pergi.
Jingyi menatap Sizhui.
"Kamu tidak menyembunyikannya?"
Sizhui membalikkan badan dan berjalan lagi.
"Aku rasa tidak perlu."
Jingyi berjalan di samping Sizhui.
"Sudah cukup peranan kita untuk mereka."
Sizhui tersenyum dan berharap yang terbaik untuk mereka berdua.
---
"Tuan, ini obatnya."
Wenning menyodorkan cawan kecil berisi obat ke arah Wu xian. Wu xian yang terduduk di tempat tidurnya segera memalingkan mukanya.
"Ga mau!"
Wu xian melemparkan tantrumnya.
"Tuan... Kalau tidak diminum nanti tambah sakit."
Wenning kewalahan. Wu xian selalu menolak dan Wenning harus membujuknya terus sampai ia mau meminum obatnya.
"Ah! Kalau Tuan mau meminum obatnya, ini ada madu manis untuk melegakan rasa pahitnya."
Wenning mengangkat mangkuk kecil berisi madu sambil tersenyum canggung ke arah Wu xian. Tapi Wu xian tetap tidak bergeming. Ia tahu Tuannya tidak suka obat. Ingin memaksanya tapi ia sungguh tidak tahu harus bagiamana.
Wenning terlihat sangat kecewa dan menundukkan wajahnya melihat isi kedua mangkuk di tangannya. Satu berisi obat dan lainnya adalah madu.
"Padahal... Sizhui sudah membuatkannya dengan susah payah."
Wu xian melihat ke arah Wenning yang sedang pundung.
"Sizhui memasak ini untuk Tuan supaya Tuan cepat sembuh."
Entah Wenning sengaja atau tidak tapi Wu xian tidak enak hati.
"Ia menyempatkan membuat bubur dan obat ini untuk Tuan di sela-sela lathiannya."
Semakin berat hati Wu xian.
"Jika Tuan sembuh, kita bisa bermain lagi di sungai atau mencari buah di hutan atau memberi makan kelinci."
Wu xian semakin tidak bisa menahan rasa bersalah di hatinya.
"IYA! IYA! Aku minum!"
Wenning mengangkat kepalanya dan tersenyum begitu lebar. Silau. Wu xian melihat senyum itu begitu berseri. Ia pun mengambil obat yang ada di tangan kanan Wenning dan meminumnya sekali teguk.
Pahit!
Wu xian menjulurkan lidahnya dan mukanya terlihat tersiksa.
"Madu, madunya."
Wenning segera menyodorkan mangkuk kecil dan mengambil mangkuk obatnya dari tangan Wu xian.
"AH! Lega!"
Wu xian meneguk habis madu itu. Wenning tersenyum dan menepuk tangannya. Tuannya sudah memakan dan meminum habis obatnya. Sekarang ia hanya perlu istirahat.
Demamnya sudah turun dan dengan semangat seperti ini, Wu xian bisa sembuh dalam beberapa hari lagi.
"Wenning, bantu aku ganti baju."
Wenning mengangguk dan segera mengambi baju ganti untuk Wu xian. Wu xian menganggalkan bajunya satu persatu mulai dari ikat pinggangnya.
Butiran-butiran keringat masih menempel di atas kulit Wu xian. Wenning mengesampingkan rambut Wu xian ke depan dan menyeka keringat yang ada di punggung Wu xian. Badan Wu xian terasa panas sekali, berbeda dengan biasanya.
Pasti tidak nyaman, pikir Wenning.
"Wei Ying."
Suara di balik pintu dan seraya ia membuka pintu.
Wu xian dan Wenning menatap ke arah pintu yang terbuka.
Lan zhan melihat ke arah tempat tidur di mana Wu xian masi telanjang bulat dan Wenning menyentuh punggung Wu xian.
Tidak perlu kata-kata lagi. Lan zhan menarik pedangnya. Wenning berteriak kencang.
Lan zhan benar-benar serius ingin menebas Wenning. Ia mengayunkan pedangnya namun Wenning meloncat mundur.
"Tuan Hanguang jun, dengarkan aku du---"
Tidak perlu penjelasan dengan apa yang dilihat Lan zhan. Pedangnya menghunus tanpa ampun ke Wenning. Wenning tetap menghindar dan percuma saja berbicara.
"Lan zhan..."
Wu xian berusaha memanggil Lanzhan.
"Tuan Hanguang Jun, kumohon..."
Lanzhan melangkah maju dan kali ini ia tidak membuang langkahnya. Pedangnya ditujukan ke leher Wenning.
"Lan Wang Ji!"
Wu xian menahan tangan kanan Lanzhan. Lanzhan pun menghentikan serangannya dan menoleh ke belakang. Wu xuan tersungkur di lantai hanya dengan satu lembar jubah dalamnya.
"Wei Ying."
Lanzhan segera menangkap Wu zian ke pelukannya. Dia semakin cemas melihatnya lemah seperti ini.
Wenning segera melarikan diri keluar dan menutup pintu. Setidaknya sekarang ada Lanzhan yang menemani Wu xian.
Lanzhan merebahkan Wu xian ke atas ranjang, mengganti bajunya dan menarik selimut hingga ke dada Wu xian.
Wu xian menarik selimut hingga menutup mulut dan hidungnya. Ia melirik ke arah Lanzhan. Dia terlihat marah.
Tapi Lan zhan tidak berkata apapun. Dia hanya meletakkan tangannya di atas dahi Wu xian dan menyibakkan rambut di dahinya.
Lanzhan lalu membalikkan badannya. Ia hanya duduk di atas ranjang di sebelah Wu xian tanpa kata-kata.
Rasanya begitu sesak.
"Lan zhan..."
Lanzhan tidak membalas dan tidak bereaksi. Suara Wu xian masih lemah dan kecil dari balik selimut
"Lanzhan..."
Wu xian masih mencoba memanggilnya. Tapi tetap tanpa balasan.
"Lanzhan..."
Tetap tidak ada jawaban dan ini membuat Wu xian kesal. Wenning menyentuhnya karena membantunya menyeka keringat saja. Tidak lebih.
"Padahal Wenning hanya membantuku mengganti baju."
Lanzhan membalikkan tubuhnya, melihat Wu xian yang terbaring di atas ranjang. Begitu mudah baginya untuk mengintimidasi Wu xian saat ini.
"Hanya?"
Satu kata itu terasa begitu dingin dan Wu xian menarik selimutnya makin menutupi wajahnya. Ia ketakutan melihat ekspresi dingin Lan zhan.
"Kamu cemburu?"
Wu xian bertanya. Memastikan saja.
"Cemburu?"
Wu xian mengernyitkan dahinya. Ia sebal dengan jawaban dari Lanzhan yang hanya menanyakan satu kata untuknya.
"Wenning hanya menyeka keringatku, kami tidak melakukan hal lain."
Wu xian menambahkan.
"Hal lain?"
Wu xian membuka selimutnya dan terduduk di samping Lan zhan. Ia menjadi sebal karena reaksi Lanzhan.
"Jika kamu marah, marahlah!"
Wu xian memayunkan bibirnya dan menggembungkan pipinya. Menatap Lanzhan sebal dan alis di atas matanya berkerut.
Lanzhan menyentuh pipi Wu xian dengan jemarinya.
"Aku sedang marah."
Lan zhan menatap Wu xian dari dahinya yang berkeringat. Matanya yang sedikit berair. Pipinya yang merona merah karena demam. Hingga bibirnya yang berwarna merah bak bunga dahlia. Marah. Iya, marah. Wu xian sudah membuat marah Lan zhan.
"Kalau begitu, keraskan suaramu. Omelin aku. Marahi aku. Apapun yang bisa membuat perasaanmu menjadi lebih baik."
Wu xian sungguh tidak tahan jika Lanzhan hanya terdiam seperti ini. Marah tetapi diam. "Aku sedang membuat perasaanku menjadi lebih baik."
Dengan menatap Wu xian.
Wu xian tidak mengerti apa yang ada di dalam benak Lan zhan. Dia penuh misteri dan perilakunya pun tidak bisa ditebak.
Tapi mungkin itu juga yang membuat Wu xian jatuh cinta kepadanya.
Wu xian menarik tangan Lanzhan dan perlahan menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan Lanzhan. Merangkul tangan Lanzhan dan membaringkan pelipisnya ke pundak Lanzhan."Jika ingin marah, aku siap mendengarkan."
Wu xian menatap ke atas untuk melihat mata Lan zhan. Lanzhan tersenyum tipis dan mengelus kepala Wu xian.
Bagaimana bisa dia marah jika Wu xian terlihat manis seperti ini?
Hanya diam.
Baik Lanzhan maupun Wu xian hanya terduduk di atas ranjang tanpa suara. Wu xian be tidak melepas rangkulannya di lengan Lan zhan. Ia tertidur di atas pundak Lanzhan.
Suara nafas Wu xian terdengar berat dan Lanzhan tahu bahwa demamnya masih belum turun.
"Wei ying."
Wu xian bergumam pelan dan membuka matanya sedikit.
"Tidurlah."
Wu xian kembali memejamkan matanya. Ia tidak menghiraukan kata-kata Lanzhan.
"Wei Ying?"
Wu xian melingkarkan tangannya di lengan Lanzhan lebih erat lagi.
"Aku ingin bersama Lan zhan lebih lama."
Sekarang. Wu xian ingin bermanja lebih lama dengan Lanzhan. Boleh kan?
Lanzhan menatap Wu xian yang kembali tertidur di pundaknya. Jika seperti ini, proses penyembuhan akan berlangsung tidak sempurna.
Lanzhan menarik lembut lengan Wu xian. Perlahan membaringkan kepalanya ke dalam pelukannya. Kedua lengan Wu xian secara otomatis melingkar di badan Lanzhan tanpa harus membuka matanya.
Lanzhan tersenyum kecil. Wu xian bagai seorang anak kecil yang tidak ingin tidur sendiri.
Lanzhan membaringkan dirinya sambil memegang kepala Wu xian dengan lembut dalam pelukannya. Setidaknya sekarang Wu xian dapat beristirahat dengan benar. Lengannya menjadi alas kepala Wu xian. Wajah Wu xian nenghadap ke dada Lanzhan.
"Baunya Lanzhan..."
Wu xian bergumam lalu tersenyum. Lanzhan melihat Wu xian dalm pelukannya. Ia khawatir jika ini membuat Wu zian tidak nyaman.
Wu xian semakin mendekatkan dirinya ke tubuh Lanzhan. Ia ingin dimanja.
"Tidurlah."
Lanzhan mengelus lembut rambut Wu xian dan mencium keningnya.
"Un."
Wu xian bergumam.
---
"Sudah."
Wu xian berdiri di depan kamarnya. Kedua tangannya bertengger di pinggangnya. Ia berdiri dengan bangga sambil menatap taman di luar kamarnya dengan senyum lebar.
"Sembuh!"
Suaranya begitu riang dan wajahnya begitu sumringah. Wenning pun senang dengan hal ini di belakang Wu xian dan bertepuk tangan. Hal ini perlu dirayakan.
Wu xian memalingkan mukanya melihat Wenning di belakangnya.
"Wenning, hari ini kita bermain di sungai."
Wenning terkejut dengan pernyataan Tuannya ini. Sungai? Lagi? Bukan ide yang bagus.
"Tuan, bagaimana kalau nanti Tuan sakit lagi?"
Wu xian menyipitkan matanya dan berjalan mendekati Wenning. Wenning mundur sedikit karena takut.
"Jadi, kamu berpikir aku ini lemah?"
Wu xian tidak terima dengan kenyataan dia memang jatuh sakit karena bermain di sungai.
"Bukan seperti itu."
Wenning berusaha menjelaskan masalah utamanya.
"Kalau Tuan sampai sakit lagi, Hanguang Jun akan membunuhku."
Kalau sakit lagi, mungkin Wenning akan segera dikirimkan ke alam lain. Menakutkan.
"Tenang saja, aku akan melindungimu jika hal itu terjadi."
Wenning menolehkan kepalanya ke samping. Terkadang ia bersyukur, Tuannya ini mau melindungi dia, tapi jika sakit seperti kemarin, Wu xian tidak bisa apa-apa. Mengingat wajah ingin membunuh Lan zhan membuat Wenning semakin tidak ingin macam-macam dengannya.
"Ok! Seharusnya siang ini anak-anak lainnya tidak ada kegiatan."
Wu xian tidak mengindahkan saran Wenning. Ia berjalan keluar kamar, mencari anak-anak Lan untuk diajak bermain.Tuannya memang tidak pernah mendengarkan siapapun.
"Langit, tolong hamba."
Wenning berdoa. Apapun yang terjadi jangan sampai Wu xian sakit lagi.
Suara tawa riang bercampur dengan suara air mengalir di sungai. Wei wu xian, Wenning, dan anak-anak Lan yang dipimpin oleh Sizhui dan Jingyi. Mereka berjalan menelusuri tepi sungai sambil bercanda.
Wenning selalu riang untuk bermain dengan anak-anak Lan. Mereka manis dan polos. Wu xian sendiri pun menikmati suasana ini. Tidak ada beban. Tidak ada perasaan lain selain damai.
Langit pun seperti mendukung mereka untuk bermain. Langit biru dihiasi oleh awan putih. Matahari bersembunyi dibalik awan seperti ingin membuat suasana menjadi lebih teduh. Angin pun berhembus dengan santai.
Suara tawa dan canda semakin menjadi saat anak-anak Lan dan Wenning mulai melepaskan alas kaki mereka dan berjalan ke area dangkal di sungai. Airnya dingin dan bersih. Menyegarkan.
"Kak Wenning!"
Sizhui mencipratkan air ke arah Wenning sambil tertawa. Wenning tersiram air di mukanya. Baik Sizhui dan Wu xian tertawa bersama.
"Kalian sengaja ya?"
Wenning tidak terima dan mulai mengayunkan kedua tangannya dari bawah air. Sizhui dan Wu xian berlari menghindari cipratan air. Tidak hanya mereka, Jingyi dan beberapa anak-anak Lan lainnya pun menikmati hal sekecil ini. Dengan suasana sepert ini, memang lebih menyenangkan jika bermain di luar daripada harus belajar di dalam ruangan.
"Wenning, jangan terlalu bersemangat."
Wu xian memperingatkan sambil tertawa dan mundur untuk menghindari cipratan air. Punggungnya terbentur sesuatu. Ia pun menoleh ke belakang untuk melihat benda yang ia tabrak.
"Lan zhan."
Wu xian terkegut sedikit. Anak-anak Lan dan Wenning pun terdiam. Semua mata tertuju pada Lanzhan dan suara tawa berhenti. Tidak ada yang berani untuk berkata atau bahkan bergerak. Hanya aliran sungai dan awan putih yang tetap melakukan aktivitas mereka.
"Jangan memasang muka masam seperti itu."
Wu xian tersenyum lebar sambil menarik tangan Lan zhan. Mengajaknya untuk bermain air. Lan zhan menahan diri sambil melihat Wu xian dengan mengernyitkan dahinya. Wu xian membalikkan badannya lagi, melihat Lan zhan yang terlihat terganggu oleh sesuatu.
Tatapan itu. Rasanya Wu xian tau artinya. Ia khawatir.
"Wei ying, kamu baru saja sembuh."
Tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kali ini Wu xian tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
"Aku tahu."
Wu xian tersenyum dan pergi meninggalkan Lan zhan. Lan zhan segera meraih tangan Wu xian, berusaha mencegahnya pergi ke sungai. Ia pun menarik Wu xian untuk kembali ke tepi sungai.
Tarikan itu tidak terlalu keras tapi batu di sungai ini cukup licin. Wu xian kehilangan keseimbangannya dan terjatuh ke belakang. Lan zhan segera meraih Wu xian yang akan jatuh.
Byuuurrr!!
Tidak terasa sakit. Tentu saja. Karena Wu xian terjatuh di atas tubuh Lan zhan. Sekarang Lan zhan basah kuyub.
"Hmmmppphhh!!!"
Wu xian melihat Lan zhan dan menahan tawanya. Lan zhan mengernyitkan dahinya.
"Sekarang kamu sudah basah kuyub."
Wu xian mencipratkan air ke atas badan dan muka Lan zhan dengan lembut. Ia pun tertawa. Tawanya. Lan zhan lupa kalau ia selalu tertawa dengan manis seperti ini saat bermain. Seperti tidak ada beban dunia di pundaknya.
Lan zhan mencipratkan air ke arah Wu xian. Wu xian terkejut dan menatap Lan zhan dengan mulut terbuka.
Lan zhan tersenyum kecil dan memiringkan kepalanya sedikit.
"Lan zhan! Awas kamu!"
Wu xian berteriak senang dan tertawa.
Wenning dan Sizhui pun tersenyum melihat mereka begitu bahagia bersama. Jingyi dan anak-anak Lan lainnya pun kembali bermain dan tertawa.
Rasanya sudah lama tidak merasakan kebahagiaan ini. Melihat Wenning yang dengan gembira bermain dengan Sizhui, Jingyi dan anak-anak Lan lainnya. Tidak ada keresahan dan yang paling penting, Wu xian bersandar di pangkuan Lan zhan. Mereka berdua mengawasi anak-anak bermain di sungai dari atas batu besar.
"Wei Ying."
Lanzhan memanggil namanya lembut sambil menempelkan pipinya di pelipis Wu xian. Wu xian menengadahkan kepalanya. Sebuah kecupan mendarat di pipi Wu xian.
Wu xian tertawa kecil. Lan zhan selalu saja melakukan hal yang membuat Wu xian terkejut sekaligus senang seperti ini. Wu xian menyandarkan kepalanya di pundak Lan zhan. Tangan Lan zhan melingkar di pinggang Wu xian.
"Lan zhan, jangan terlalu dekat."
Lanzhan tidak peduli dengan protes yang dilemparkan Wu xian. Ia mencium belakang telinga Wu xian.
"Hei, kamu tidak malu?"
Wu xian protes lebih keras meski dia tidak beranjak dari tempat duduknya. Ia menikmati kemesraan ini. Hanya saja, anak-anak Lan bisa melihat mereka.
"Wei ying."
Wu xian menghela nafasnya sambil tersenyum dan menengadahkan kepalanya untuk melihat Lan zhan. Lan zhan mendekatkan bibirnya ke bibir Wu xian. Wu xian menyentuh lembut pipi kiri Lan zhan. Yang bisa Wu xian lakukan sekarang hanya memejamkan matanya. Kecupan ini terasa hangat dan Wu xian rindu akan rasanya.
Langit berwarna biru yang tertutup awan putih. Suara aliran air di sungai. Desiran angin yang menggoyangkan daun-daun di pohon. Suara canda dan tawa orang-orang terkasih. Bersama dengan yang tercinta seperti ini, dalam pelukannya.
Bahagia itu sangat sederhana, pikir Wu xian.
Chapter 2: Anugerah Yang Terindah
Summary:
Xue Yang.
Picik. Tidak berprikemanusiaan. Biadab.
Tapi bukan berarti dia tidak memiliki perasaan.
Notes:
Berdasarkan Chen Qing Ling episode 38 dan 39.
Mengandung SPOILER! Uda dikasi tau ya~ Ga mau lo nanti sakit ati~ Hahahaha
Selamat menikmati~
-------
Chapter Text
Aku ingin memilikinya.
Dia.
Ya, hanya dia.
Seorang yang ingin kumiliki. Aku tidak butuh yang lain. Di dunia ini, jika dia berada... Aku merasa memiliki segalanya.
Kutahu perasaan ini sejak pertama kali kita bertemu. Kau dan rasa keadilanmu yang tinggi.
Kamu yang begitu indah. Tubuhmu yang mungil. Terbalut dengan kain putih yang begitu serasi dengan senyummu. Dunia ini serasa bertekuk lutut di hadapanmu.
Dirimu.
Senyummu.
Itu hanya untuk Songlan. Aku tahu aku hanya kriminal yang melarikan diri. Songlan terlihat begitu serasi denganmu. Rasa keadilan yang tinggi dan seseorang yang memang ditakdirkan untukmu.
Kenapa takdir seperti mempermainkanku?
Takdir.
Aku sungguh benci dengan kata-kata itu. Takdir tidak seharusnya berada di tengah-tengah semua ini. Di antara kau dan aku.
Persetan dengan takdir.
Aku hanya ingin memilikimu
Kamu seorang sudah cukup untukku.
Aku tidak butuh yang lain. Orang lain. Atau bahkan dunia ini.
Darah sudah di mana-mana. Bau ini dan semua yang ada di tempat ini sudah tidak bergerak. Warna merah menghiasi lantai dan seluruh tempat ini. Seluruh orang di perguruan ini, sudah tidak tersisa dan seperti janjiku kepadamu dan Songlan.
Indah bukan? Warna merah ini. Aku rasa warna ini juga cocok untukmu.
---
Cukup.
Sepertinya ini akan menjadi akhir dari hidupku. Tapi aku tak menyangka bahwa aku akan tersenyum seperti ini. Terjatuh dalam semak-semak. Terbaring tak berdaya seperti ini, menunggu ajal menjemput.
Nafas pun semakin berat.
Aku ingin melihatmu sekali lagi.
Sebelum ajal menjemput.
"A Jing, bawakan air hangat. Segera."
Suara ini. Terdengar sangat familiar dan suara yang saat ini ingin kudengar. Mataku terbuka perlahan. Aku terkejut. Dia berada di depan mataku. Tapi penampilannya berbeda. Meski matanya tertutup kain putih, aku tahu di depan mataku adalah dia. Xiao Xing Chen.
---
Ia menyerahkan matanya untuk Songlan. Entah kenapa aku membencinya. Membenci Songlan atau pun membenci fakta bahwa Xiao Xing Chen sebegitunya untuk Songlan. Yang mana pun itu, satu hal yang pasti. Aku akan membunuh Songlan.
Dia yang merelakan dirinya sendiri untuk Songlan. Tapi yang dilakukan Songlan kepada Xiao Xing Chen tidak adil.
Dunia ini memang tidak adil. Jika begitu maka kali ini biarkan aku yang membawa keadilan itu kepada Songlan.
"Dia merelakan matanya untukmu, lalu kau mengusirnya!"
Songlan terusik dengan kenyataan bahwa selama ini ia melihat dunia ini lagi dengan mata Xiao Xing Chen.
Mudahnya untuk membuka celah untuk membunuhnya saat ini. Membuatnya teracuni dan membuatnya menjadi setengah boneka.
Songlan menyerang Xue Yang. Sebelum pedang itu menusuk ke leher Xue Yang, sebilah pedang menembus dada Songlan.
"Apakah sebuah boneka mengikutimu?"
Xiao Xing Chen bertanya. Songlan berlutut di hadapan Xiao Xing Chen. Menatapnya penuh kasih. Berharap seseorang yang telah lama dicarinya bisa melihatnya. Merasakan kehadirannya. Tapi percuma.
"Iya."
Aku tersenyum dan melihat Songlan yang berlutut, tidak bernyawa. Air mata membasahi pipinya.
Ya. Menangislah. Kau tidak tahu seberapa besar pengorbanan Xiao Xing Chen untukmu. Dan berterima kasihlah. Kuberikan kematian paling indah di dunia ini.
Yang membunuhmu adalah orang yang paling kau cintai di dunia ini. Sebelum ajal menjemputmu, hal terakhir yang kau lihat adalah orang paling ingin kau temui di dunia ini.
---
Tidak.
Kumohon tidak!
TIDAK!!!
Kumohon. Tidak seperti ini. Air mata mengalir dengan hebat di pipiku.
Darah yang mengalir dari lehermu. Baju putih indah di tubuhmu menjadi seperti baju pengantin. Warna ini tidak cocok untukmu. Tubuhnya yang semakin dingin di dalam pelukanku.
Aku hanya ingin memilikimu. Tapi tidak seperti ini.
Kau yang begitu indah saat tersenyum. Tidak terdiam seperti ini.
Kau yang tidak pernah bertanya kepadaku. Tidak pernah mencurigaiku.
Aku hanya ingin kamu bahagia. Melupakan semuanya. Dunia ini dan Songlan.
Tapi kenapa kau begitu mencintai Songlan? Kenapa, dia yang sudah mencampakkanmu, kau mencintainya lebih dari dirimu sendiri?
Air mata ini mengalir lebih deras lagi. Kusapu halus kepalanya dan memeluknya semakin erat.
Seperti inikah rasanya mencintai seseorang begitu dalam? Begitu dalam sehingga tidak bisa membedakan mana yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan?
Jika kau begitu mencintai Songlan, aku akan memberikannya kepadamu.
---
Lihat. Songlan bangkit lagi. Dia tidak akan melukaimu lagi. Dia akan mendengarkan setiap kata-katamu. Dia akan mencintaimu. Dia tidak akan meninggalkanmu.
Tapi asa ini hanya akan menjadi asa. Matanya tidak akan terbuka lagi. Xue Yang menatap tubuh kaku di dalam peti mati ini. Dia seperti tertidur. Tapi selamanya tidak akan membuka matanya.
Songlan yang kau cintai berada di hadapanmu. Kumohon. Bukalah matamu.
Xue Yang berlutut di samping peti mati ini. Berharap. Suatu saat nanti, Xiao Xing Chen akan membuka matanya.
Aku hanya ingin melihatnya tersenyum. Bercanda ceria.
Ini adalah hukuman dari langit. Berusaha untuk merubah takdir. Berusaha untuk membuat semuanya menjadi seperti keinginan Xue Yang. Bermain dengan langit tapi apa arti seorang Xue Yang.
Hanya manusia. Yang bermain dengan takdir.
---
Ah...
Kali ini, aku harus pergi ke dunia lain.
Tusukan Songlan di dadanya sangat fatal. Berakhir sudah semua. Rasa ingin memiliki ini dan semua tragedi ini.
Jika aku memejamkan mataku. Apakah kau akan berada di sana?
Xiao Xing Chen.
Aku ingin melihatmu. Tersenyum. Lagi.
Ah...
Mungkin ini yang dinamakan cinta. Kukira aku tidak akan pernah merasakannya.
Seandainya aku terlahir kembali, aku berharap kamu ada di dalam hidupku. Aku hanya ingin menjadi yang terbaik untukmu, Xiao Xing Chen.
Jika terlahir kembali apakah kita akan bertemu lagi? Dengan situasi yang berbeda. Dengan takdir yang berbeda
Dan kali ini, aku akan berdiri bersamamu. Menjadi seseorang yang lebih baik. Untukmu.
Dahulu kala, ada seorang anak laki-laki.
Dia begitu menyukai makanan manis
Tapi karena dia seorang yatim piatu dan miskin, dia tidak bisa membelinya.
Dia pun berpikir setiap hari: jikalau ada seseorang yang bisa memberikan dia permen setiap hari. Alangkah indahnya.
Xiao Xing Chen.
Aku cinta kamu.
Fin.
Chapter 3: Selamat Pagi
Summary:
Pagi ini tidaklah terlalu menyenangkan untuk Wu Xian.
Dan Lanzhan tidak membantunya sama sekali.
Chapter Text
"Wei Ying."
Suara itu.
"Wei Ying."
Terdengar berat tapi lembut. Dan Wei Wu Xian menyukai suara itu.
"Uhmm..."
Ia mengeluh sambil mengusap-usapkan matanya. Masih terlalu pagi untuk Wei Wu Xian untuk bangun. Cahaya mentari sayup-sayup memasuki kamar dari balik tirai putih ini.
"Bangun. Mandi."
Tidak perlu terlalu banyak bicara. Seperti biasa, Lanzhan selalu begitu. Tapi Wu Xian masih ingin bermalas-malasan di atas ranjang. Lanzhan duduk di samping ranjang dan menyibakkan rambut yang ada di wajah Wu Xian dengan lembut.
Pertama, ini masih pagi. Hari masih panjang. Wu Xian tidak membuka matanya dan melingkarkan tangannya di leher Lanzhan. Mengajaknya kembali untuk tidur seraya ia menyandarkan tubuhnya ke dada Lanzhan. Duduk di pangkuannya seperti pengantin baru di pagi hari tidaklah buruk.
Kedua, semalam Lanzhan terlalu hebat dalam memberikan sentuhannya kepada Wu Xian. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan lelah. Terutama di bagian pantat dan pinggangnya. Dan tenggorokan Wu Xian pun terasa kering dan sakit.
"Wei Ying."
"Ga~ mau~"
Wu Xian ingin bermanja-manja sebentar. Merasakan kehangatan tubuhnya. Mencium bau wangi tubuhnya. Merasakan betapa lembut nafasnya yang terhembus dari hidungnya. Dan yang pasti Wu xian masih tidak ingin membuka matanya. Ia menyandarkan pipinya di dada Lanzhan.
"Wei Ying, kita harus pergi ke kota."
Wu Xian tidak menjawab. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
"Bukankah kamu ingin membeli arak Senyum Kaisar?"
Tidak ada jawaban. Wu Xian meremas baju di dada Lanzhan. Ia menyembunyikan wajahnya dari pandangan Lanzhan. Menundukkan kepalanya dan menyenderkan dahinya ke dada Lanzhan.
"Wei Ying."
Wu xian menganggukkan kepalanya kecil.
Lanzhan tersenyum kecil melihat kekasihnya yang begitu manja di pagi hari seperti ini. Ia mengelus lembut kepala Wu Xian.
"Haruskah aku kembali ke tempat tidur bersamamu?"
Lanzhan berbisik di telinga Wu Xian. Wu Xian tertersentak kecil dan menengadahkan kepalanya perlahan melihat Lanzhan. Ia mengernyitkan alisnya dan memayunkan bibirnya.
"Harus dijawab?"
Wu xian kesal. Lanzhan selalu begini. Bertanya yang tidak perlu dijawab. Perkataan manis seperti ini, lebih baik dia tidak mengatakannya ke wanita atau pun orang lain selain dirinya.
"Aku tidak bisa membaca pikiranmu, Wei Ying."
Tuh. Lagi-lagi Lanzhan menggodanya. Dan terlihat ujung bibir Lanzhan yang terangkat sedikit. Wu Xian memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat Lanzhan. Sebal rasanya jika Lanzhan yang selalu saja mendapatkan cara untuk membuat Wu Xian menuruti kemauannya.
"Kalau begitu, kita harus segera mandi."
Lanzhan segera mengangkat Wu Xian. Tangan kirinya mengangkat kaki Wu Xian dan tangan kanannya menggenggam bawah ketiak Wu Xian. Bagai seorang pangeran yang menggendong seorang putri dalam kisah-kisah cinta.
"Lanzhan!"
Wu Xian terkejut dan guncangan kecil saat Lanzhan berdiri membuatnya takut jatuh. Segera dilingkarkan kedua tangannya ke leher Lanzhan. Mencari keseimbangan.
Kali ini Wu Xian tidak bisa berlari ke mana-mana. Hanya ke dalam dekapan Lanzhan saja.
"Ya?"
"Aku tidak memanggilmu!"
"Lalu mengapa kau sebut namaku?"
"Aku...."
Sudah cukup. Lanzhan memang tidak peka!
"Kamu pikir kenapa aku kesakitan dan butuh tidur lebih lama?"
Ia mulai mengeluarkan semua gerutuan, yang sebenarnya hanya sebuah pengalihan dari rasa malu, kepada Lanzhan. Lanzhan terus melangkah ke luar dari kamar.
"Badanku tidak sekuat kamu dan kamu tahu kan aku ini ringkih? Aku sudah memohon untuk tidak dilanjutkan tapi kamu selalu saja tidak mendengarkan perkataanku."
Langkah demi langkah dan gerutuan demi gerutuan dari pasangan ini terdengar begitu manis. Jika dilihat dari sudut pandang mereka. Tapi tidak untuk seseorang yang dengan menyamar di balik semak-semak dekat dengan pavilion ini. Kedua tanggannya memegang dahan pohon untuk membuatnya semakin tidak terlihat.
"Lanzhan, pikirkan ukuranmu... Kalau begini terus aku tidak bisa berjalan selamanya."
Wu Xian mengomel dan Lanzhan tersenyum. Tapi sesosok yang tadinya menyamar di balik semak-semak ini melompat ke arah balkon pavilion di mana Lanzhan berdiri. Tidak ada niat membunuh dan Lanzhan sudah bisa membaca serangan itu. Ia segera membalikkan badannya sambil melompat ke belakang.
Bayangan itu terus mengejar Lanzhan. Lanzhan terus menghindar dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh bayangan ini. Dan saat ini kedua tangannya sedang sibuk. Untuk mengangkat Wu Xian.
"Lanzhan."
Wu Xian menatap Lanzhan. Tanda untuk menurunkannya. Lanzhan mengangguk kecil dan melempar Wu Xian ke taman di samping. Membiarkannya tidak terlibat pertarungan ini.
Sebelum Lanzhan bisa mengeluarkan Bichen dari sarungnya. Bayangan itu segera menoleh ke arah Wu Xian yang tidak jauh dari situ dan melompat ke arahnya. Lanzhan terlihat panik sedikit. Yang jadi sasaran sesungguhnya dalam penyerangan ini adalah Wei Wu Xian bukan dirinya.
"Wei Ying!"
Wu Xian yang baru saja mendaratkan kedua kakinya segera bersiaga untuk semua serangan yang ada. Bayangan yang dari atas itu segera turun ke arah Wu Xian. Tidak akan sempat untuk menghindar dan Lanzhan pun tidak akan sempat untuk mencegahnya. Saat ini Wu Xian hanya bisa menahan, apapun serangannya, dengan menyilangkan kedua tangannya di depan wajahnya.
Wu Xian menutup kedua matanya seraya bayangan itu semakin mendekat ke arahnya dari atas.
"Tuan Muda Wei!!"
Bayangan itu bersujud di depan hadapan Wu Xian. Dan suara yang terdengar lirih ini, suara yang sangat familiar untuknya. Wu Xian menurunkan kedua tangannya dan melihat ke arah tempat di depan kakinya. Ia tidak salah dengar.
"Wenning!"
"Tuan Muda Wei!!!"
Wenning memanggil Tuannya lagi. Suaranya memohon dan kemudian dia mengangkat kepalanya. Ia tidak beranjak dari posisi bersujudnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Wenning menatap dengan penuh iba kepada Tuannya dan tiba-tiba air mata membanjiri pipinya.
"Wenning!!! Kamu kenapa?"
Wu Xian tidak tahu apa yang terjadi kepada Wenning tapi dia menangis keras sekali sambil bersujud di hadapannya seperti ini. Membuat Wu Xian semakin panik dan khawatir. Ia berjongkok untuk memeriksa Wenning.
"Ada apa, Wenning? Katakanlah."
Wu Xian bertanya lagi sambil tersenyum. Wenning mendengus ingusnya sambil menatap Tuannya. Air mata masih menggenang di mata dan pipinya. Segera ia mengenggam tangan Wu Xian.
"Tuan, aku tidak tau harus berkata apalagi melihat Tuan menderita seperti ini."
Wenning berkata dengan penuh iba. Ia kembali menangis. Dan membuat rahang Wu Xian terjatuh. Ia tidak paham dengan arti kata-kata Wenning kepadanya.
"Wenning, aku tidak mengerti apa arti kata-katamu."
Wu Xian mencoba memahami. Kedua tangan Wenning menggenggam kedua tangan Wu Xian. Ia menatap ke arah Tuannya dengan sungguh-sungguh.
"Lebam keunguan di leher dan pundak Tuan Muda Wei."
Wu Xian segera menutup leher dengan kedua tangannya.
"Serta lebam yang sama di paha Tuan Muda Wei."
Wu Xian segera menarik jubah yang longgar untuk menutup kembali kaki-kakinya. Wajah Wu Xian tidak bisa diangkat. Sudah pasti wajahnya saat ini memerah dan panas. Berusaha menutupi semua perbuatan Lanzhan tadi malam.
"Juga tadi malam, kami mendengarkan suara Tuan yang begitu tersiksa dari dalam kamar."
Wu Xian melebarkan kelopak matanya dan menatap Wenning yang bercerita dengan tangisannya. Mulutnya menganga lebar.
"Kami?"
Wenning mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kami. Aku, A Yuan, dan Tuan Jingyi."
Wajah Wu Xian memucat. Tidak kuat lagi untuk berdiri. Ketiga anak ini mendengar apa dan melihat apa tadi malam.
"Wei Ying."
Lanzhan meluncur ke samping Wu Xian dan menangkap pinggangnya. Wu Xian menatap Lanzhan. Mukanya tetap saja tidak berubah.
Kalau hal ini terdengar oleh Lan Qiren, sudah pasti ia dan Lanzhan akan diusir dari Gusu Lan Sect. Padahal semua ini salah Lanzhan tapi kenapa dia bisa setenang ini. Menyebalkan.
"Kau tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa?"
Wu Xian bertanya dengan mukanya yang sudah tidak tahu berekspresi seperti apa. Ia menarik jubah di dada Lanzhan.
"Apakah mukaku terlihat baik-baik saja?"
"Un, kamu terlihat kamu. Tidak ada yang berubah."
Wu xian semakin jengkel dengan pernyataan Lanzhan yang begitu datar. Seolah-olah ia tidak mendengar apa yang baru saja Wenning ucapkan.
"Ini semua gara-gara kamu!"
Wu Xian mencubit kedua pipi Lanzhan dengan sebal. Juga anak-anak Lan masih terlalu kecil untuk bisa memahami semua ini.
"Bukankah yang mendesah dengan hebat tadi malam itu kamu, Wei Ying?"
Wu Xian terdiam dengan pernyataan Lanzhan.
"Lanzhan bodoh!"
Wu Xian mendorong Lanzhan tapi tangannya tetap menyangga tubuh Wu Xian.
"Wei Ying, suaramu terlalu keras."
Lanzhan memperingatkan. Wenning yang melihat pertengkaran ini pun tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tuannya yang marah-marah di pelukan Hanguang Jun. Haruskah dia menghentikan mereka? Tapi mereka tampak serasi dan mesra.
"Hanguang Jun!"
"Hanguang Jun!"
Jingyi dan Sizhui berlari ke arah mereka dari balik pintu gerbang pavilion. Wu Xian segera bersembunyi di balik tubuh Lanzhan. Ia hanya mengenakan jubah dalamnya saja. Mereka berdua memberi salam hormat kepada gurunya.
"Hanguang Jun, kami mendengar suara yang keras dari sini jadi kami datang untuk memeriksa. Apakah semuanya baik-baik saja?"
Jingyi melaporkan keadaan. Sizhui segera menghampiri Wenning dan menyuruhnya berdiri. Mereka menghampiri Hanguang Jun dan Wenning menjelaskan permasalahannya kepada Jingyi. Kekhawatiran Wenning terhadap kesehatan Tuan Muda Wei serta suara yang mereka dengarkan tadi malam.
"Ah!"
Jingyi memukulkan kepalan tangannya ke telapak tangannya. Ia mengerti permasalahannya.
"Itu namanya berhubungan intim."
Jingyi menjelaskan seraya mengacungkan jari telunjuknya ke atas.
"Berhubungan intim?"
Wenning dan Sizhui tidak mengerti. Mereka memiringkan kepala mereka ke samping.
"Jadi jika sepasang kekasih yang cintanya membara itu biasanya mereka melakukan hubungan intim saat malam hari."
Jingyi melanjutkan penjelasannya. Lanzhan menatap muridnya dengan muka datar namun penuh kebanggan. Wenning dan Sizhui mendengarkan baik-baik. Wu Xian mukanya semakin putih dan pucat.
Perguruan ini yang begitu banyak peraturan serta ketatnnya hukuman, bisa melahirkan seorang yang buas seperti Lanzhan. Serta seorang murid muda yang sudah tahu apa arti dunia seperti Jingyi.
"Sebenarnya aku ingin menjelaskannya tadi malam tapi sudah lewat dari jam 9 malam. Jadi aku mengurungkan niatku."
Jingyi melipatkan tangannya di depan dadanya dengan bangga. Sizhui terlihat berpikir dalam.
"Lalu kenapa tubuh Tuan Muda Wei penuh lebam jika Hanguang Jun memberikan cinta membara saat berhubungan intim?"
Wenning bertanya dengan penuh rasa penasaran. Mereka semua menatap Wu Xian sekaligus. Wu Xian panik dengan semua tatapan orang-orang kepadanya.
"Itu..."
Jingyi menghentikan kalimatnya dan memejamkan matanya. Ia menundukkan kepalanya. Wenning dan Sizhui mendekatkan kepalanya kepada Jingyi.
"Itu?"
Wenning dan Sizhui menekankan perkataan Jingyi lagi. Suasana diam ini begitu mencekam sebelum ada jawaban Jingyi.
Jingyi melihat Wenning dan Sizhui dengan tajam.
"Itu bukan lebam tapi itu adalah bukti cinta membara yang diberikan Hanguang Jun kepada Tuan Muda Wei bernama cupang."
Wenning dan Sizhui tersontak kaget dan menatapa Wu Xian dengan penuh takjub kagum.
"Jingyi! Hentikan!"
Wu Xian berusaha untuk menghentikan pembicaraan ini. Dan Lanzhan tidak ada indikasi untuk menghentikan anak didiknya. Ia menikmati pembicaraan ini.
"Jadi warna ungu di leher dan paha Tuan Muda Wei itu cupang?"
Wenning tersenyum bahagia seraya meletakkan kedua tangannya di dadanya. Ternyata pikiran buruk tentang Hanguang Jun menyiksa Tuannya hanyalah salah paham dalam pikirannya. Sizhui pun tersenyum manis melihat kedua orang tuanya begitu mesra dan akrab.
"Tapi lalu mengapa tadi malam Tuan Muda Wei merintih kesakitan dan berteriak 'Hentikan, Lanzhan. Aku sudah tidak kuat lagi.'?"
Wenning menirukan suara Tuannya tadi malam. Masih ada yang mengganjal dalam pikiran Wenning. Sizhui juga masih penasaran.
"Itu bukan rintihan tapi desahan karena stamina dan kiprah Hanguang Jun terlalu cepat dan Tuan Muda Wei tidak bisa menyamakan gerakan---"
"Berhenti berkata, Lan Jingyi."
Jingyi berkeringat dingin dan berlahan menatap seseorang dengan aura membunuh di belakangnya. Wu Xian memposisikan Bichen di lehernya.
"Wei Ying, Jingyi hanya menjelaskan semuanya untuk Wenning dan Sizhui."
Lanzhan ingin menenangkan kekasihnya yang terlihat marah dan malu di saat yang bersamaan. Lanzhan mengambil Bichen dari tangan Wu Xian dan meraih pinggangnya lagi.
"Seharusnya kamu yang menghentikan semua ini tapi kenapa kamu selalu diam di saat seperti ini?"
Wu Xian memukuli dada Lanzhan bertubi-tubi. Kekasihnya sedang malu dan tidak tahu harus bagaimana di hadapan anak-anak yang seharusnya sudah memasuki umur untuk mengetahui semua ini.
"Jika diusir dari sini, kamu harus bertanggung jawab! Lanzhan bodoh! Bodoh! Bodoh! Bodoh!"
Pukulan dan semua omelan Wu Xian pun menjadi sebuah rengekan. Lanzhan mengelus lembut kepala Wu Xian. Tentu saja, Lanzhan akan bertanggung jawab. Cintanya ini hanya untuk Wei Wu Xian seorang.
"Aku rasa kekhawatiran kita kepada mereka hanya ada dalam pikiran kita saja."
Sizhui tersenyum lembut dan menatap pamannya, Wenning. Wenning pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mereka menatap Hanguang Jun dan Tuan Muda Wei dengan penuh rasa senang dan gembira. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Hanguang Jun mencintai Tuan Muda Wei sepenuh hatinya. Dan selalu memberikan cinta yang membara setiap malam untuk Tuannya.
Wenning pun menatap Jingyi kembali.
"Jingyi, apa itu berhubungan intim?"
Wu Xian menghentikan rengekannya. Semua mata kembali kepada Jingyi. Jingyi tersenyum penuh bangga.
"Jendral Arwah, aku akan menjelaskannya dengan jelas."
Jingyi mengusap-usapkan telunjuknya di bawah hidungnya. Bangga dengan pengetahuannya. Wenning dan Sizhui terlihat begitu penuh semangat untuk menambah wawasan mereka lebih lagi di bidang ini. Mereka mengepalkan kedua tangannya dengan mantab.
"Jingyi, hentikan!!!"
Wu xian berteriak untuk menghentikan kegilaan ini.
Jingyi, Sizhui dan Wenning dihukum dengan menulis kembali peraturan Gusu Lan Sect sebanyak 500x.
Dan Wu Xian melarang Lanzhan untuk berhubungan intim dengannya sampai jangka waktu yang tidak ditentukan.
TAMAT.
Chapter 4: Untukmu, Di Saat Bulan Purnama
Summary:
Ini cinta?
Itulah pertanyaan Jinling. Perasaan di dada yang begitu menggebu untuk Dia.
Dan setiap hari tidak ada hari tanpa ada Dia di benaknya.
Seandainya ini cinta, kenapa rasanya seperti ini?
Chapter Text
Cinta itu seperti apa?
Indah?
Tapi kenapa yang ini rasanya tidak begitu nyaman?
Membuat semua indra perasa menjadi tidak berfungsi lagi.
Makan terasa tidak enak.
Tidur tidak nyenyak.
Belajar menjadi tidak bisa berkonsentrasi.
Dan yang pasti. Semuanya menjadi dia.
Ya.
Dia.
Orang yang selalu saja berada di benak Jinling tapi tidak ada di depan matanya.
Jinling menarik nafasnya seraya ia menarik tali busur panahnya. Ujung anak panah sudah siap diluncurkan dari tangan kirinya. Ia hanya perlu mengatur waktu yang tepat untuk melesatkan anak panah ini. Menunggu. Dan bersabar.
Layangan itu akhirnya berhenti sebentar dan ini adalah saat yang tepat.
"Jinling."
Jinling terkejut. Konsentrasinya terpecah. Anak panah melesat dan tentu saja tidak mengenai layangan yang terbang di langit yang biru. Kenapa di saat seperti ini dia teringat dia yang memanggil namanya dengan seenaknya sendiri?
"Ck!"
Rasa jengkel Jinling tidak bisa dibendung lagi. Ia menghentakkan kaki kanannya keras ke tanah. Dan menggenggam busur panahnya semakin erat.
Percuma saja latihan jika tidak ada hasilnya seperti ini. Jinling memalingkan badannya dengan kesal dan memberikan panahnya kepada bawahannya.
"Latihan dihentikan!"
Jinling memberikan perintah. Semua anak buahnya segera membersihkan tempat latihan. Ia segera membawa pedangnya, Suihua.
Langkahnya berat tapi Jinling berjalan dengan cepat. Ia sedang tidak senang dengan dirinya sendiri untuk saat ini. Dan perasaan ini. Sejujurnya dia sendiri tidak tahu apa namanya.
Jinling berjalan ke dalam Lotus Cove melewati beberapa pavilion. Hari ini orang-orang terlihat begitu sibuk untuk menghiasi perguruan ini dengan lampion dan kain-kain berwarna ungu dan putih.
Festival panen biji teratai akan dimulai dalam beberapa minggu. Orang-orang sibuk menyiapkan segala keperluan festival dengan sebaik-baiknya. Berbeda dengan di Keluarga Besar Jin, di Lotus Cove tidak terlalu mewah hiasannya. Lampionnya pun biasa saja tidak serumit dan seindah di tempat asalnya. Tapi ini sudah mewah untuk perguruan kecil ini.
Jinling menghentikan langkahnya. Ia melihat kolam teratai yang mengelilingi setiap paviliun yang ada di Lotus Cove. Bunga teratai berwarna merah muda yang mekar dengan sempurna. Daun-daun lebar yang menutup beberapa bagian kolam.
"Jinling!"
Suara itu meluapkan lamunan singkatnya. Ia membalikkan badannya ke arah suara.
"Paman."
Jiang Cheng terlihat kesal menghampirinya bersama dengan beberapa pengawal di belakangnya. Jinling sedikit takut tapi dia sudah terlalu biasa dengan wajah kesal pamannya itu.
"Kau! Seharusnya kamu pergi latihan memanah, mengapa kau ada di sini?"
Jiang Cheng bertanya dengan nadanya yang tidak menyenangkan.
"Sudah selesai. Dan juga, paman seharusnya pergi ke kota, kenapa sudah kembali?"
Jinling menjawab dengan tidak kalah arogannya. Ia tahu bahwa Jiang Cheng seharusnya pergi menemui kepala desa untuk berdiskusi tentang acara festival panen biji bunga teratai ini. Apabila, pamannya pulang secepat ini pasti ada urusan yang lebih penting lagi di sini.
Juga karena wajah pamannya terlihat begitu kesal saat Jinling membalikkan pertanyaan.
"Kamu itu selalu saja membantah!"
Pamannya menyindir sambil membuang mukanya dengan jengkel. Ia mendecakkan lidahnya.
"Lalu kenapa paman sekesal ini?"
Jiang Cheng melihat keponakannya dengan acuh tak acuh.
"Festival panen biji bunga teratai kali ini, beberapa orang dari Gusu Lan Sect akan datang ke sini untuk menikmati festival ini."
Jinling terlihat sedikit terkejut tapi juga ada rasa kegembiraan yang tidak bisa gambarkan. Apalagi setelah pamannya menyebutkan kata Gusu Lan Sect.
"Bukankah ini hal yang bagus? Paman tidak berharap mereka datang?"
"Bukan seperti itu. Penginapan di kota sudah penuh dan mereka harus tinggal bersama di sini selama seminggu."
Jiang Cheng terlihat sedikit cemas sekarang.
"Juga pamanmu yang satu itu akan datang ke sini juga bersama Hanguang Jun."
Jinling makin terlihat senang.
"Paman Wei juga datang?"
Suara Jinling meninggi dan terlihat senyum yang cerah. Jiang Cheng tidak menyukai wajah sumringah keponakannya ini.
"Kenapa? Kamu senang paman kesayanganmu datang?"
Jiang Cheng bertanya dengan nada menyindir. Wajah Jinling berubah menjadi masam dan menatap pamannya dengan jengkel.
"Iya. Aku lebih suka paman Wei daripada paman yang selalu saja mengomel tidak jelas dan memarahiku!"
Jinling membalas dengan kesal dan membalikkan badannya dengan cepat. Ia berlari.
"Jinling!"
Percuma saja berbicara dengan paman Jiang Cheng. Dia hanya akan selalu memarahinya. Berlari ke arah mana pun tidak masalah. Yang penting tidak bertemu dengan pamannya. Rasa jengkel ini hanya akan menambah masalah.
Tanpa disadarinya. Kaki Jinling membawanya ke dermaga pintu masuk Yunmeng Jiang Sect. Dermaga ini sepi. Tidak ada yang berlabuh ke Yunmeng Jiang Sect. Kapal-kapal kayu yang berlabuh terikat di dermaga hanya bergoyang ringan saat angin menerpa.
Bunga-bunga teratai yang menghiasi sungai ini berkembang dengan sempurna. Warna merah mudanya memberikan warna yang manis di antara warna hijau dan coklat.
Tempat ini begitu menenangkan hati.
Tanpa disadari Jinling tersenyum kecil. Warna merah muda itu mengingatkannya kepada dia. Yang tersenyum manis saat menatap ke arahnya. Suaranya yang selalu memanggil namanya. Suara lembut itu dan senyumnya itu.
"Jinling."
Dia memanggil namanya.
"Kenapa kau memanggilku seperti itu?"
Jinling terlihat terganggu dengan panggilan itu dan memalingkan mukanya. Bukan terganggu karena tidak suka tapi ini karena Jinling tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Dia pun menundukkan wajahnya dengan senyum pahitnya. Dia terlihat menyesal telah memanggil nama 'Jinling' dengan begitu familiar.
Ya, langit. Kuharap dia tidak salah paham.
"Maafkan aku. Aku rasa aku yang terlalu akrab untuk memanggil Tuan Muda Jin dengan nama kecil Tuan."
Dia membungkukkan badannya. Meminta maaf. Dia tetap tersenyum menatap Jinling tapi senyum itu membuat hati Jinling terasa pedih. Dia terlihat begitu canggung dan memalingkan wajahnya. Tidak dapat menatap wajah Jinling lagi.
Bukan seperti ini. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu.
Tapi semua itu terlambat. Semenjak hari itu. Jinling sama sekali tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Mengingat kebodohannya. Ia menggenggam lebih erat Suihua. Seandainya Jinling bisa berkata jujur bahwa ia menyukai panggilan itu kepadanya. Senyum itu tidak akan pudar.
Dia.
Jinling berharap. Dia akan datang ke festival ini.
---
Semua persiapan sudah selesai. Semua lantera sudah dipasang. Kain-kain berwarna ungu dan putih sudah menghiasi setiap pilar dan sudut ruangan di Lotus Cove.
Jiang Cheng memastikan tidak ada yang kurang dari persiapan acara ini. Ia berbicara dengan salah seorang ajudannya. Acara ini tidak boleh ada yang kurang.
Ia mengecek setiap persiapan dan hiasan dari halaman utama paliviun. Para pelayan sibuk menyiapkan beberapa keranjang dan yang lainnya menyiapkan persiapan lainnya.
Hari ini, beberapa orang dari Gusu Lan Sect akan datang.
"Jiang Cheng!"
Suara panggilan manja yang sengaja dibuat untuk membuat Jiang Cheng marah ini. Warna hitam merah di antara warna putih biru muda. Terlihat jelas siapa yang begitu sumringah untuk datang ke sini. Tentu saja semuanya tahu siapa yang datang ke Lotus Cove siang ini.
Lima orang. Hanguang Jun, Wei Wu Xian, Lan Sizhui, Lan Jingyi, dan Wenning. Mereka berjalan memasuki halaman utama Lotus Cove dan menghampiri Jiang Cheng.
"Selamat datang di Lotus Cove, Hanguang Jun."
Jiang Cheng memberikan hormat kepada Hanguang Jun. Kedua murid di belakang Hanguang Jun memberikan hormat kepada Jiang Cheng. Wenning juga membungkukkan badannya. Hanguang Jun pun memberikan hormat kembali kepada Jiang Cheng.
Jiang Cheng melihat ke arah Wei Wu Xian di samping Hanguang Jun yang sedari tadi cengar-cengir. Ia terlihat begitu senang untuk dapat kembali lagi ke Lotus Cove dan ia tidak menyembunyikan hal itu. Jiang Cheng harus memaklumi hal itu.
"Sebegitu bahagianya dirimu untuk datang ke sini?"
Jiang Cheng bertanya dengan nada sinisnya.
"Tentu saja. Jiang Cheng, aku kangen."
Wei Wu Xian menjawab dengan riang dan senyumnya begitu lebar. Ia segera berdiri di samping Jiang Cheng dan memeluk pundaknya.
"Jangan dekat-dekat!"
Jiang Cheng menyikut Wei Wuxian tapi wajah senangnya itu membuatnya tidak berkutik.
"Jiang Cheng, jangan jahat-jahat. Aku kan sudah lama tidak pulang."
Jiang Cheng mendecakkan lidahnya. Ia membuang mukanya ke samping dan melipat tangannya di dadanya.
"Kamu tidak kangen denganku?"
Seperti biasa, Wuxian terlihat senang untuk menggoda Jiang Cheng. Dan Jiang Cheng seperti sudah terbiasa dengan kelakukan Wuxian yang seenaknya sendiri.
"Tidak. Buat apa kangen denganmu? Buang-buang waktu saja."
Jiang Cheng menjawab dengan sinis.
"Jiang Cheng~"
Wuxian memanggil manja Jiang Cheng. Yang pasti akan membuat Jiang Cheng semakin jengkel dengan Wuxian.
Wajah Hanguang Jun yang datar itu pun sebenarnya sudah menunjukkan perasaan cemburu. Keakraban yang begitu dekat.
"Paman Wei!"
Dari dalam paviliun utama Lotus Cove suara itu berasal. Penuh semangat dan keceriaan. Wuxian membalikkan badannya. Keponakannya terlihat begitu senang menyambut kedatangannya. Jinling segera berlari dan memeluk pamannya itu.
"Paman akhirnya datang!"
Jinling begitu senang. Wuxian tersenyum. Pelukan yang ini terasa seperti memeluk seorang pemuda. Jinling sudah tumbuh lebih tinggi lagi. Sekarang ia dan pamannya ini, sudah hampir sama tingginya.
"Kamu tumbuh cepat sekali."
Wuxian tersenyum seraya Jinling melepaskan pelukkannya.
"Atau paman yang tidak tumbuh-tumbuh."
Jinling membalas dengan nada santai dan tersenyum kepada Wuxian. Wuxian menyukai senyuman itu. Selayaknya senyum anak muda. Jinling melihat Hanguang Jun bersama kedua muridnya. Ia segera menghampiri dan memberi hormat kepadanya.
"Selamat datang di Lotus Cove, Hanguang Jun."
Hanguang Jun dan kedua muridnya membalas hormat itu. Jinling melihat ke arah Jingyi dan Sizhui. Mereka tersenyum. Tapi Sizhui tidak menatapnya.
"Jinling, temani mereka."
Jiang Cheng tahu, lebih baik Jinling bersama dengan anak-anak seumurannya. Mereka pasti lebih senang jika yang tua ini tidak bersama mereka.
"Baik, paman."
Jiang Cheng mempersilakan Hanguang Jun untuk memasuki paviliun utama Lotus Cove. Wuxian tersenyum lebar dan melambaikan tangannya dengan riang ke arah Jinling, Jingyi, Sizhui, dan Wenning.
Mereka membalas lambaian tangan itu dan tersenyum.
---
Kota ini pun semakin ramai. Banyak pengunjung dari luar kota datang untuk menikmati acara ini. Para pedagang pun sudah beramai-ramai menggelarkan barang jualan mereka.
Hiasan di kota ini pun tidak mewah tapi menarik dan indah. Lantera berbentuk teratai yang terpasang di atas jalan. Di setiap bangunan juga dipasang lantera teratai juga terhias kain dengan warna ungu dan putih. Sama seperti di Lotus Cove.
Jinling mengajak mereka untuk berkeliling kota ini. Tidak besar tapi kota ini menyenangkan. Berjalan menikmati kota yang penuh dengan kegembiraan sebuah festival. Baik pembeli dan penjual semua menikmati suasana ini. Jinling berjalan di paling depan. Menunjukkan setiap toko dan makanan yang dijual di kota ini.
Jingyi dan Wenning terlihat menikmati perjalanan mereka ini. Tapi Sizhui terlihat tidak terlalu menikmatinya. Ia hanya tersenyum dengan candaan Jingyi dan Jinling. Setelahnya ia hanya terdiam.
"Jinling."
Ia berjalan sejajar dengan Jinling.
"Apa?"
Jingling melirik Jingyi dengan tajam di sampingnya.
"Kudengar, kita akan menginap di Lotus Cove."
Jingyi bertanya. Mereka melalui jalan yang penuh dengan orang ini.
"Iya. Karena penginapan di kota sudah tidak ada, kalian akan menginap di dalam Lotus Cove."
Jinling menjelaskan.
"Berarti kita bisa pulang malam."
Jingyi mencengir gembira. Langkahnya menjadi ringan. Ia berjalan di depan Jinling. Sizhui tersenyum pasrah saja dengan ide sahabatnya ini.
"Tapi ingat, besok pagi kita harus segera ke danau untuk memetik pod bunga teratai."
Jinling memperingatkan. Memang peraturan di Lotus Cove tidak seketat peraturan di Gusu Lan Sect. Wajar saja jika Jingyi ingin melonggarkan dirinya dari ratusan peraturan itu.
"Sizhui, lebih baik kita kembali dan beristirahat."
Wenning terlihat khawatir. Sizhui tersenyum ke arah pamannya.
"Tidak apa-apa. Juga Tuan Jin pasti ingin memperlihatkan betapa indahnya kota ini kepada kita."
Sizhui menolak dengan halus.
"Hei! Kita di sini dulu. Bagaimana?"
Jingyi yang berada di depan mereka berteriak dengan gembira. Ia ingin melihat-lihat penjual di sekitar taman ini. Taman ini tidak terlalu ramai. Penjual berbagai macam pernak-pernik hingga makanan ada semua di sini.
Sementara Jingyi bersenang-senang melihat-lihat pernak-pernik bersama Wenning, Sizhui hanya terduduk di kursi kayu yang menghadap ke arah sungai. Teduh dan sebuah pohon menghalangi sinar matahari.
Meski ramai, di sini lebih terasa tenang. Sizhui menyukainya. Hembusan angin yang menggoyangkan daun. Suara gemercik air yang mengalir di sungai kecil ini pun terdengar begitu damai. Beberapa ikan koi berenang saling berkejar-kejaran.
Mungkin karena tidak terbiasa dengan suasana kota yang ramai. Sizhui sedikit kewalahan. Juga tidak bisa dipungkiri karena jika ke Lotus Cove, ia harus menaiki kapal. Sizhui menghela nafas panjang. Mungkin memang dia butuh istirahat dari rasa mabuk lautnya.
Tiba-tiba Jinling berdiri di hadapan Sizhui. Sizhui terkejut hingga membuatnya berdiri. Baru saja, ia menyadari. Jinling sekarang lebih tinggi dibanding dirinya. Tatapan matanya sejajar dengan tulang lehernya.
"Tangan."
Jinling berkata tanpa basa basi. Ia melihat ke arah Sizhui. Sizhui segera mengeluarkan kedua tangannya di hadapan Jinling. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Jinling. Tapi dia percaya.
"Eh?"
Bakpao hangat.
"Lalu minum ini untuk menyembuhkan mabuk lautmu."
Jinling memberikan sebuah botol berwarna putih yang tersegel oleh kertas. Sizhui menerimanya dengan senang hati. Siapa sangka, Tuan Jin yang begitu judes memberikannya obat dan makanan seperti ini?
"Terima kasih, Tuan Jin."
Sizhui tersenyum lebar ke arah Jinling di hadapannya.
"Duduk dan makan."
Jinling berkata lalu pergi untuk bergabung dengan Jingyi dan Wenning. Sizhui tersenyum. Kebaikan ini. Bisa saja membuatnya salah paham.
Sizhui melihat betapa gembiranya mereka. Jingyi yang bercanda dibalas dengan amukan Jinling. Wenning berusaha untuk melerai mereka. Tawa dan canda. Mereka begitu serasi.
Sizhui harus segera melupakan perasaan ini.
---
"HAH?!"
Jingyi dan Jinling sama-sama mengekspresikan rasa kagetnya.
Malam sudah tiba dan mereka harus beristirahat. Di dalam Lotus Cove, tidak terlalu banyak kamar. Hanya tersisa dua kamar kosong untuk dipakai. Satu kamar tamu dan satu lagi kamar Jinling.
"Aku tidak mau sekamar dengan dia!"
Jingyi menunjuk ke arah Jinling di sampingnya. Ia menolak keras ide Sizhui untuk pembagian kamar ini.
"Hei, kamu kira aku tidak keberatan dengan pembagian kamar ini? Kenapa aku harus sekamar dengan orang seperti dia?"
Jinling menolak ide Sizhui. Ia menunjuk ke arah Jingyi di sampingnya. Tentu saja mereka berargumen dengan lebih keras lagi. Jingyi yang merasa sama saja tidur dengan seorang perempuan. Serta Jinling yang merasa tidak akan tidur nyenyak karena Jingyi akan terus mengoceh bahkan hingga ayam berkokok.
Sizhui berusaha meredakan situasi yang rumit ini.
"Kalau begitu, kita undi saja."
Wenning memberikan ide yang cemerlang. Sizhui, Jingyi, dan Jinling setuju dengan cara ini. Empat batang sumpit. Dua pendek dan dua panjang. Siapapun yang mengambil batang sumpit yang pendek akan sekamar dengan siapapun yang mengambil batang pendek lainnya.
Dengan undian tidak ada yang boleh protes bagaimana pun hasilnya. Wenning menggenggam empat sumpit di tangan kanannya. Yang lainnya mulai mengambil.
Sizhui. Sumpit pendek.
Jingyi. Sumpit panjang.
Hanya tinggal dua orang lagi. Wenning dan Jinling. Mereka semua menatap ke arah sumpit yang masih tersisa di tangan Wenning. Jinling mengenggam satu batang kayu. Wenning juga menggenggam satunya lagi. Tangannya terbuka.
Wenning. Sumpit panjang.
Jinling. Sumpit pendek.
Jinling melihat ke arah Sizhui yang masih terlihat sedikit kurang nyaman dengan hasilnya. Jingyi bergembira karena tidak harus sekamar dengan Jinling. Jinling hanya menghela nafasnya pelan.
"Paman Wen dan Jingyi, kamar kalian ada di sini."
Jinling segera memperlihatkan kamar yang ada di belakangnya. Sudah tertata rapi dengan meja kayu dan empat buah kursi kayu dengan warna senada. Di ruang lain sebelah kanan, dua buah tempat tidur sudah siap. Lengkap dengan bantal dan selimut.
"Wah! Lumayan juga!"
Jingyi berteriak kesenangan. Ia segera melemparkan tas berisi bajunya ke tempat tidur. Wenning juga terpukau. Sederhana, rapi, juga bersih.
"Kalian bisa menggunakan tempat ini sesuka kalian. Tapi ingat jangan dibuat kotor!"
Jinling memperingatkan.
"Minum teh hangat lalu tidurlah."
Wenning terlihat khawatir melihat keponakannya. Sizhui tersenyum. Ia menggangguk pelan.
"Terima kasih, Paman Wen."
Jinling menatap Sizhui yang terlihat sedikit pucat dan lelah. Wenning mengelus kepala Sizhui dan tersenyum lembut. Terkadang. Rasa iri itu muncul. Wenning adalah paman yang baik. Dan hubungannya dengan Sizhui begitu baik. Paman Jiang Cheng tidak mungkin bisa berlaku lembut seperti ini kepadanya.
"Sudah. Aku juga mau istirahat."
Jinling membalikkan badannya. Sizhui mengikutinya.
"Selamat tidur, Paman Wen dan Jingyi."
Sizhui melambaikan tangannya dan tersenyum seraya berjalan mengikuti Jinling.
"Selamat tidur, Sizhui."
Wenning melambaikan tangannya juga dan tersenyum.
"Sampai besok, Sizhui!"
Jingyi dengan semangat melambaikan sambil tersenyum lebar melihat Sizhui dan Jinling berjalan keluar kamar. Sizhui menutup pintu itu.
Kamar tamu dan kamar Jinling tidak terlalu jauh. Hanya berjarak satu paviliun. Kamar Jinling lebih dalam lagi. Sebuah jembatan kayu kecil menyambungkan dari jalan utama rumah ini ke kamarnya. Di sekitar paviliun di Lotus Cove penuh dengan kolam mini penuh dengan teratai yang mekar dengan indah.
"Indahnya."
Tanpa sadar Sizhui bergumam. Jinling menghentikan langkahnya. Sizhui terkejut sedikit karena Jinling tiba-tiba menghentikan langkahnya.
"Jika kamu masih sakit, aku akan memberitahu tabib keluarga untuk memeriksamu."
Jinling membalikkan badannya. Menatap Sizhui khawatir.
"Terima kasih atas perhatian Tuan Jin."
Sizhui tersenyum. Jinling melangkah maju mendekati Sizhui. Pemuda di hadapannya ini. Begitu tegar namun juga rapuh. Wajah manis dibalut dengan kain putih ini. Matanya yang jenih menatap matanya. Bibirnya yang tidak mengatup sempurna terlihat begitu manja.
Dia.
Yang selalu ada di benaknya, kini di hadapannya.
Jika semua sudah seperti ini, haruskah ia mengatakannya? Bahwa sesungguhnya, ia jauh lebih indah dari semua yang ada di sini. Rembulan yang penuh di angkasa bahkan tidak bisa mengalahkan betapa indahnya paras wajahnya. Warna merah muda bunga teratai di kolam Lotus Cove ini juga tidak ada apa-apanya dibanding dengan merah bibirnya. Matanya bulat berwarna gelap itu. Jinling serasa masuk ke dalamnya.
Jinling menggapai untaian pita putih yang terurai di pundak Sizhui. Pita putih yang terikat di kepala Sizhui. Ia menatapnya dengan penuh arti. Pita putih ini di tangannya.
Tanpa disadari oleh Jinling. Ia membungkukkan kepalanya dan mencium pita itu di telapak tangannya.
"Tu-Tuan Jin?"
Jinling menatap Sizhui yang tertegun. Ia menatap Sizhui dengan tajam. Posisi matanya sejajar dengan mata Sizhui. Ia tidak merubah posisinya yang membungkuk sedikit dengan tangannya yang mencium pita kepala Sizhui. Ia hanya menggerakkan bola matanya ke atas untuk menatap Sizhui.
Ada sesuatu pada Jinling yang membuat Sizhui sedikit terintimidasi. Bukan intimidasi yang jelek. Tapi terasa aneh dan berbeda. Mungkin karena tinggi badannya sekarang lebih tinggi dibanding dirinya. Rahangnya dan bentuk mukanya yang semakin keras. Atau mungkin karena degupan di dadanya yang tidak bisa diatur karena Jinling melihatnya seperti ini.
Seperti seorang pria dewasa yang sedang menatapnya tajam dengan mata berwarna keemasan itu.
Angin berdesir ringan. Bunga teratai di kolam bergoyang pelan. Air di kolam pun beriak kecil mengikuti ke mana angin pergi. Bayangan mereka berdua pun akhirnya sirna dari permukaan air di kolam.
"Ah!"
Jinling terkaget dan segera melepaskan tangannya. Tersadar dari apa yang sedang dia lakukan. Ia mundur ke belakang dengan muka merahnya. Ia memandang kolam karena dia tidak tahu apa yang harus ia lihat.
Sizhui juga memandang ke arah kolam yang berlawanan dengan Jinling. Mukanya pun memerah.
Jinling segera membalikkan badannya. Membuka kamar tidurnya.
"Kau. Beristirahatlah dulu. Aku akan segera kembali."
Sebelum Sizhui bisa menjawab. Jinling pergi melewatinya. Tanpa memandangnya sedikitpun.
Malu.
Tentu saja. Jinling malu. Dia barusan memiliki pikiran buruk untuk mencium Sizhui. Dan dia harus menjernihkan pikirannya ini atau dia akan benar-benar melakukannya.
Sudah malam di Lotus Cove bukan berarti tempat ini tidak sibuk. Bagian jalan paviliun memang terlihat sepi tapi orang-orang masih mempersiapkan beberapa hal untuk persiapan besok pagi. Apalagi dengan adanya tamu dari perguruan lain yang hadir di sini. Mereka harus menjamu tamu-tamu ini dengan baik.
Terutama di bagian dapur. Yang tetap sibuk untuk mempersiapkan makanan untuk besok pagi. Besok subuh, Tuan Muda mereka dan para tamu akan menuju ke danau untuk memetik biji teratai. Malam ini mereka harus lembur.
Dan di saat sibuk seperti ini.
"Tuan Muda Jin."
Beberapa pelayan berseru memberikan salam mereka. Jinling berjalan melewati beberapa pelayan yang sedari tadi sibuk dan harus menghentikan langkah untuk memberi salam. Jinling membalas salam mereka dengan menundukkan kepalanya kecil.
Wibawanya sebagai Tuan Muda sudah dapat dirasakan oleh para pelayan. Ia berjalan menuju ke paman yang menjadi kepala koki di Lotus Cove.
"Selamat malam, paman."
Jinling memberikan hormat.
"Tuan Muda Jin."
Paman koki membalas salam hormatnya.
"Ada apakah yang membuat Tuan Muda Jin menghampiri dapur kami yang sederhana ini?"
Paman koki tersenyum dan menyambut Tuan Muda Jin. Tapi mengingat keadaan yang sibuk dan penuh jadwal yang harus diselesaikan. Paman koki tentu saja sedikit khawatir.
Jinling dapat melihat betapa sibuknya dapur ini. Ia melihat ke paman koki. Sebuah permintaan yang sedikit egois.
"Paman, apakah ada makanan berkuah hangat yang bisa dimakan sekarang?"
Jinling bertanya. Paman koki melihat ke beberapa kompor di belakangnya.
"Saya ada kuah baikut dengan akar teratai. Seharusnya saya bisa menyajikannya untuk Tuan Muda Jin."
Paman koki menjawab sambil tersenyum.
"Bisakah paman menghidangkannya dan menyuruh pelayan untuk mengantarnya ke kamarku? Ada seseorang yang membutuhkan kuah hangat untuk mengobati rasa mualnya."
Jinling menunduk. Meminta pengertian dari paman koki atas permintaan egoisnya ini.
"Baik, Tuan Muda Jin. Akan segera saya hidangkan untuk tamu di kamar Tuan Muda."
Paman koki menunduk dan segera menyuruh seorang pelayan untuk menyajikan mangkuk dan keranjang untuk diantarkan ke kamar Tuan Muda Jin.
Jinling segera pergi dari dapur. Tempat ini benar-benar sibuk dan Jinling lebih baik tidak berada di situ. Ruangan untuk satu orang sudah diambil dan Jinling tidak meminta lebih dari itu.
Ia berjalan kembali melewati beberapa paviliun. Suasana tenang dan sendirian ini. Untung saja dia segera menjauh dari Sizhui. Ia memiliki waktu untuk menenangkan dirinya. Mengumpulkan kembali semua kewarasannya. Perasaannya telah mengendalikan seluruh kemampuan berpikirnya.
Betapa bodoh. Jinling berpikir. Sekarang ia kembali ke kamarnya. Sizhui berada di dalam dan ia tidak tahu harus bagaimana melihatnya.
Lebih baik Jinling mandi terlebih dahulu untuk menjernihkan kepalanya yang penuh dengan pikiran ini. Sebelum kembali ke kamarnya dan menemui Sizhui.
Jinling berjalan ke bagian belakang paviliun kamarnya. Pelayan sudah mempersiapkan bak berisi air panas.
Ia segera melepaskan sepatunya di samping rak sepatu di dekat pintu masuk. Kamar mandi ini selurunya terbuat dari kayu. Terbagi menjadi dua bagian. Area sebelum bak mandi adalah area kering. Rak-rak di samping berisi keranjang. Jinling melihat baju tidur berwarna putih sudah terlipat rapi di keranjang baju bersih. Pelayan telah mempersiapkan baju tidurnya.
Jinling melepaskan ikatan rambutnya. Menanggalkan setiap jubah yang membalut tubuhnya. Menaruhnya di dalam salah satu keranjang di rak-rak itu.
Setelah mandi, semoga saja Jinling bisa menjadi lebih tenang dan bisa melihat wajah manis dia. Seraya ia berpikir, Jinling membuka pintu kayu menuju bak mandi. Ya. Dia. Lan Sizhui.
"Tu-Tuan Muda Jin."
Dia memanggil namanya tergagap.
Mata Jinling terbelalak. Melihat pemandangan di hadapannya. Lan Sizhui. Dengan rambutnya yang terurai panjang dan basah. Kedua tangannya yang berusaha menutupi tubuhnya yang mungil dan berwarna putih itu. Bersih bagai porselen. Rembulan pun semakin membuatnya semakin bercahaya dengan memantulkan sinarnya di bagian tubuhnya yang basah.
Dengan malu-malu, Sizhui menundukkan kepalanya dan berlari keluar. Pundaknya menyenggol tubuh Jinling.
Jinling tersadar dari lamunannya. Kekagumannya akan tubuh Sizhui. Ia segera menutup pintu di belakangnya.
Sekarang Jinling benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika bersua dengan Sizhui. Ia menyenderkan punggungnya pada pintu yang menjadi pembatas ini. Pria di balik pintu ini membuatnya benar-benar gila. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
Jika begini terus, sungguh Jinling bisa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
BERSAMBUNG...

LadyMonotone on Chapter 1 Wed 07 Aug 2019 03:22PM UTC
Comment Actions
S_huang on Chapter 1 Thu 08 Aug 2019 12:41PM UTC
Comment Actions
LadyMonotone on Chapter 1 Thu 08 Aug 2019 02:05PM UTC
Comment Actions
Star_Bening on Chapter 1 Wed 07 Aug 2019 04:08PM UTC
Comment Actions
Kamit21 on Chapter 1 Thu 08 Aug 2019 02:49PM UTC
Comment Actions