Actions

Work Header

Once in a Lifetime

Summary:

Bagaimana rasanya bertemu dengan orang yang pernah disukai di dalam situasi anak mengalami tantrum.

Karena ini kali pertama menjadi: dewasa, bijaksana dan orang tua.

Notes:

Happy birthday to uri GOT7 eomma, Jinyoungie!

p.s.: i’m sorry i make so much unfinished stories. also, thank you for stopping by to read such this thing hehe hope you enjoy<3

p.p.s.: no beta, i try my best while reviewing, but the typos there always showing up after posted *smile thru the pain*, no emphasis but a ton broken english

🤗

Chapter 1: Pertama

Chapter Text

Tatapan menghakimi dari semua pengunjung swalayan tertancap sempurna pada seorang anak laki-laki yang kini merengek di depan rak makanan ringan.

“Yah, Youngjae-ya!”

Seorang pria sepantaran Jinyoung berusaha menarik sang bocah agar bangun dan menghentikan tangisannya.

“I’ll leave you here if you keep your behave like this!” ancamnya, meskipun Jinyoung dapat menilai itu hanyalah ancaman kosong.

Ia mendekat ke arah dua orang yang tengah tak akur itu, sang balita—perkiraan Jinyoung sementara masih menangis meraung-raung.

“Jackson?”

Pria berambut setengah blonde menoleh ke arahnya dan bersyukurlah Jinyoung, ternyata ia tak salah mengenali kawan lamanya.

“Oh… Jinyoung? Hey, Man!” Jackson mengulurkan tangannya untuk berjabat dan segera disambut oleh Jinyoung erat, “Long time no see… Ugh, I couldn’t believe we meet in this kind of situation.” Jackson sedikit mengerling pada balita tantrum di bawah mereka.

“Nah, it’s fine… Toddler always like that. Is he your son?”

“No, no no,” balas Jackson cepat, “My friend’s son, He had a hard time so I willingly to help him, but it turns out …” Jackson mengedikkan bahu, “I’m not that good being a babysitter then.”

Jinyoung terkekeh pelan, “That’s not your fault. Who is his name?”

“Lim Youngjae,” jawab Jackson dengan wajah berhias senyum minta dimaklumi.

Jinyoung menepuk pundaknya dan berjongkok mendekati si anak kecil yang tampaknya tak tertarik dengan apapun yang akan Jinyoung katakan.

Jackson sudah mendesah pasrah dan mengeluarkan ponsel dari sakunya, mungkin menghubungi seseorang yang bisa mengeluarkannya dari kondisi ini.

“Namamu Youngjae?”

Anak itu masih menangis dan menatap Jinyoung tak senang, tapi tetap mengangguk sebagai tanggapan.

“Aku Jinyoung, kamu sedang ingin membeli apa?”

Sedikit isak keluar lebih dulu sebelum anak itu mencuri pandang ke arah Jackson yang fokus pada handphonenya, lalu menatap Jinyoung, “Aku ingin coklat, dan es krim, dan potato chips dan sod—”

“Nooo, you can’t having that, what did your dad say? Remember?!” Jackson memotongnya sebab mendengar jawabannya, Youngjae menangis lagi, Jinyoung bersusah payah menahan tatapan tajam ke arah Jackson dan memilih menarik perhatian sang balita

“Oh, you like them?” tanya Jinyoung masih mempertahankan suara netralnya, Youngjae mengangguk sesengukkan. “A lot?” Youngjae mengangguk dengan mata lebih berbinar.

“I like them a lot too,” Jinyoung meniru mimik Youngjae, “Tapi, dokterku bilang aku tidak boleh sering-sering makan camilan dan minum yang manis. Katanya lebih bagus makan buah, seperti pisang, apel, alpukat, kamu suka buah?”

Jinyoung tidak tahu bahwa Jackson mengamatinya sangat kagum, selagi Youngjae memproses apa yang Jinyoung katakan.

“Aku juga suka buah, tapi aku tidak bisa makan buah timun dan semangka, dan melon,” Youngjae cemberut, Jinyoung dengan cepat mencari kesimpulan, “Dokter Kim bilang, aku boleh makan buah kecuali itu, aku bisa sakit dan aku tidak suka. Aku tidak suka buah.”

“Oh…” Jinyoung menyayangkan dan memasang mimik sedih, “Kau harus coba buah yang lain, yang tidak dokter larang.”

“Tapi aku bosan makan buah! Ayah sering menyuruhku makan buah! Buah dari ayah tidak enak!”

“Oh ya? Berarti ayahmu tidak tahu ada buah yang enak, aku tahu buah yang enak!”

Jackson melihat interaksi itu hanya mampu ternganga, tidak paham mengapa Youngjae mau-mau saja dibawa oleh orang asing mengelilingi swalayan menuju rak sayuran dan buah.

Jinyoung terus berbicara pada Youngjae tentang buah-buahan itu, tentang khasiatnya yang entah kenapa sangat cocok untuk dijelaskan pada anak usia lima tahun. Ia hanya mengekor di belakang mereka, memperhatikan Youngjae dengan matanya yang bulat mengikuti dan mendengarkan Jinyoung.

“Aku tahu aku tahu!” Youngjae berjingkrak di tempatnya saat satu tanya Jinyoung terlempar padanya, “Wortel akan membuat mataku kuat! Ayah bilang begitu, seperti Superman!”

“Benar!” Jinyoung bertepuk tangan sambil meletakkan kembali wortel ke rak di depannya, “Kamu pintar sekali, Youngjae! Ayahmu pasti sering memberimu sayur-sayuran juga, kan?”

Youngjae memainkan kakinya sambil tersenyum malu-malu dipuji demikian.

“Dia selalu marah kalau disuruh makan sayur,” Jackson setengah bergumam tapi masih terdengar oleh keduanya.

“Tapi aku makan, kok!” Youngjae membela diri, tak mau Jinyoung menarik cap anak pintarnya.

Youngjae sudah tidak tantrum lagi, Jackson memberikannya es krim setelah di awal ia menolak mentah-mentah permintaan anak itu sebab merecoki jadwal dan urutan belanjanya. Namun, ia sama tak teganya melihat Youngjae menangis.

Mereka sedang duduk di bangku taman tak jauh dari kawasan swalayan, Jinyoung bergabung dengannya setelah mereka menyelesaikan belanja keperluan mingguan bersama-sama.

“Kurasa aku belum siap menjadi orang tua. Saat Youngjae masih kecil dia sangat menggemaskan makanya aku senang menjaganya, saat ia bertambah besar, kurasa aku tak mampu menjaganya lagi,” kata Jackson menghela napas panjang, Youngjae berlarian mengejar kupu-kupu di rumpun semak berbunga tak jauh di depannya, “Bagaimana denganmu, kamu kayaknya sudah ahli menangani anak kecil?”

“Jadi kamu tebak aku sudah menikah?”

Jackson tertawa, “Siapa yang tidak berpikir demikian, Jinyoung-ah. It’s been years, seven? Ten?”

“I’m single, Sseun-ah,” Jackson melotot tak percaya dan sedikit merona mendapat nama kecilnya disebut.

“You’re kidding, right?”

Tapi Jinyoung tak menampilkan tanda-tanda ia berdusta. Jackson menutup mulutnya tak percaya.

“Aku guru di taman kanak-kanak, menghadapi mereka sudah menjadi makananku sehari-hari.”

“Wait, bukannya kamu mengambil jurusan hukum?”

Jackson tentu sangat ingat, segalanya tentang Jinyoung semasa mereka kuliah dulu.

“Ya, dan semuanya berubah, Jackson. Aku lebih suka berhadapan dengan anak-anak daripada orang dewasa yang membahas perceraian.” Jinyoung menerawang jauh, “Kurasa itu juga sebabnya, orang dewasa yang ingin bercerai dan meributkan hak asuh menggerakkan hatiku untuk peduli pada anak-anak. Aku memilih mundur dan melanjutkan kuliah psikologi anak sambil magang menjadi guru TK dan yah, lulus kuliah aku bertahan di sana.”

“Wow! Dude…” Jackson tak bisa menyembunyikan rasa takjub, “I didn’t know, so that’s it… Kenapa aku tidak pernah melihatmu di reuni alumni. Kamu kuliah lagi dan disibukkan dengan ini?”

Jinyoung mengangguk, “Ya, bisa dibilang begitu. Sangat sibuk sampai aku lupa kapan aku benar-benar libur saat itu.”

“Kenapa guru TK? Maksudku apa yang terjadi sampai kamu pilih itu?”

“Saat menyelesaikan kasus perceraian, kita berfokus pada orang tua. Bahkan saat mereka memperebutkan hak asuh, terkadang membuat kita lupa pada anak-anak, mereka seperti benda yang didorong ke sana dan ke sini, diminta memilih meskipun kita tahu bahwa mereka juga bisa menilai orang tua mana yang bisa mereka percaya. Dari sana, aku tergerak ingin tahu bagaimana mereka bertahan dan menjalani hidup setelah orang tua memutuskan berpisah. Aku dari keluarga yang bisa dibilang hampir sempurna, ayah ibu dan saudariku menyayangiku, tapi bagaimana dengan anak-anal yang tidak tahu tentang kesempurnaan keluarga itu? Tentang kasih sayang yang terlihat sama tapi tak berasa seimbang.” Jinyoung menggeleng, merasa terlalu banyak berbicara, “Intinya, aku ingin memahami anak-anak lebih dalam.”

“Itu sangat cocok denganmu,” Jackson merangkulnya, “I couldn’t more happy seeing you find your own way, when your mind and heart work to lead you in the same path. That’s great, Jinyoung. Amazingly!”

“Thank you, Sseun-ah,” Jinyoung tersenyum dengan kekehan kecil dan gerakan tangan menutupi sebagain wajah sebagai kebiasaan lama, “How about you? How’s your life.”

Jackson sedikit mengerang di sebelahnya dan menyandarkan punggungnya, “You wouldn’t believe me.”

“Uh-huh, then tell me.”

Jackson mengerling mengamati Youngjae yang sudah selesai lari mengejar kupu-kupu dan memilih menyusun kerikil di tanah, Jackson tidak ambil pusing, ia bisa mencuci tangannya nanti dan Youngjae sudah cukup besar untuk mengerti tidak memakan kerikil-kerikil itu.

“Aku sudah bertunangan,” Jackson menunggu reaksi Jinyoung dan Jinyoung menunggu kelanjutannya, “Dengan salah satu senior kita, you know him well back then.”

Jinyoung menyunggingkan senyumannya, dan menjabat Jackson mengucapkan selamat. Jackson berjanji akan mengirimkannya undangan pernikahan asal Jinyoung tidak menghilang lagi ditelan bumi.

Youngjae terus melambaikan tangannya saat mereka berpisah, anak itu sangat manis saat tidak tantrum dan tawanya membawa beban Jinyoung terangkat dari dada.

***

“Semuanya sudah beres?”

Jackson meninggalkan Youngjae di ruang keluarga, menghampiri Jaebeom di kamar putra bungsunya.

“Seandainya hidup ini bisa dibereskan.”

“C’mon, Beom. Don’t you think Gyeomie would listen to your words…”

“He’s sleeping now,” Jaebeom mendorong Jackson keluar dari sana.

“But, still. Psychology said—”

“I know I know, now shut up,” Jaebeom membawa Jackson menuju dapur, tempat mereka berdiskusi sebab Youngjae akan menguasai semua ruangan di dalam rumah, kecuali tempat ini, “How’s him today?”

“Your son was safe, an angel help me when he had his tantrum,” Jackson mendudukkan dirinya di meja konter sedang Jaebeom mengeluarkan dua kaleng bir dari kulkas, “It’s getting hard, eh?”

“He always like that, since—” desis bir terbuka bersamaan dengan desahan panjang Jaebeom, “I don’t know whats wrong, but his doctor said it’s fine, this is how the kids growing up.”

“Learn about emotions,” lanjut Jackson.

“Yeah, mereka bilang begitu, proses mengenali emosi adalah salah satunya hal itu. Why are you suddenly expert with this theory?”

“I told you, an angel help me out today,” Jackson mengedipkan matanya sambil meminum birnya.

Youngjae menyerbu masuk ke dapur dengan mobil-mobilannya, menabrak kursi yang Jackson duduki sambil terkikik-kikik, membuat Jackson kesal karena Youngjae sengaja melakukannya.

Ia berlari ke arah ayahnya dan bersembunyi, Jaebeom mengangkat Youngjae naik ke pangkuannya membiarkan anaknya menjulurkan lidah ke arah Jackson, seakan menantang bahwa Jackson tak bisa berbuat apa-apa sebab ia sudah dilindungi ayahnya.

“Dasar anak nakal!”

“Sseun-ah…” Jaebeom memperingati, Youngjae langsung melihat ke ayahnya dengan mata membola.

“Ayah, kenapa Paman Jack dipanggil ‘Sseun’?”

Jaebeom berkedip, heran bercampur bingung, Jackson memanyunkan bibirnya dan berkata, “Cuz, I’m cute than you!”

“Nooo, I’m adorable than you!”

Jaebeom tertawa mendengar mereka ribut lagi.

“Iya kan, Ayah! Aku lebih imut daripada Paman Jack!”

“Yess, you are baby.”

Youngjae menggeliat turun dari pangkuan ayahnya, kembali naik ke mobil-mobilannya dan keluar dari dapur meninggal dua pria dewasa di sana.

“Bagaimana prosesnya?”

“Dia ingin mengambil Youngjae, dia ingin mencapai kesepakatan itu.”

“That bitch—”

“Language, Jackson.”

“Aku masih tidak menyangka kalian menghabiskan dua tahun pacaran dan sisanya beranak hanya untuk berpisah,” Jackson menggelengkan kepala, “Sekarang dia mau mengambil salah satunya setelah meninggalkanmu demi pria lebih kaya raya. Fuck.”

“Dia tetap ibu dari anak-anakku.”

“I Know,” Jackson memelankan suara, meskipun Jaebeom tahu tiap penekanan kata itu bermakna tajam, “She is, but where is she when the baby need her? All of this shit became your responsibility, I know it’s nothing to compare when she beared them, but that witch just want a peacefull life.”

“She forget she’s a mother.” pungkas Jackson dan menghabiskan sisa bir di kalengnya, melampiaskan rasa kesalnya.

“I don’t know, I wish I was know her better.”

“You were, Beom-ah. But she made you her toy.”

“I lost everything.” Jaebeom memejamkan matanya tertunduk.

“Not yet, I will help you to get your children,” Jackson bangkit dari duduknya mengusap kepala Jaebeom, “I’ll gone for now, text me later or whenever you need anything, I’ll coming as fast as Speed.” Jaebeom tersenyum dengan itu dan mengantar Jackson keluar dari rumahnya.

Youngjae sudah tak terlihat di mana pun, Jabeeom memeriksa kamarnya dan menadapati anak sulungnya tengah berbaring di atas karpet memainkan mobil mainan seukuran telapak tangan kecilnya.

“Times for bed, Sunshine,” Youngjae mengangkat kepalanya dan mengikuti intruksi Jaebeom.

Mereka tidak banyak bicara sampai Youngjae nyaman di dalam selimutnya. Matanya masih terbuka saat Jaebeom selesai membaca salah satu dongeng singkat tentang Tukang Kayu dan Kursi Ajaib.

“Kamu belum mengantuk?” tanya Jaebeom, Youngjae menggeleng, “Mau Ayah bacakan dongeng yang lain?”

“Ayah, kenapa Ayah sering memanggilku Sunshine?” tanya Youngjae tiba-tiba.

“Karena kehadiran Youngjae menghangatkan Ayah,” jawab Jaebeom tanpa ragu dan lebih merapatkan tubuhnya pada sang anak, mengusap kepalanya berharap itu membuat Youngjae nyaman.

“Kalau Paman Jackson jadi Sseun artinya apa?”

Jaebeom tertawa kecil, rupanya pertanyaan itu belum hilang dari kepala Youngjae, “Itu nama Paman Jackson, Son, Sseun, sama, kan?”

“Paman Mark panggil Paman Jackson Gaga, dan Ayah dan Jinyoung panggil Sseun.”

Jaebeom sepersekian detik merasa tersambar aliran listrik.

“Aku juga mau punya banyak nama seperti Paman Jackson, Ayah!” Jaebeom ingin mengoreksi, bukan banyak nama tapi banyak panggilan, tapi rasanya itu sama saja dalam pengertian anak kecil. Pun, Jaebeom tidak bisa mengeluarkan kata-katanya.

Youngjae tidak menyadari perubahan ekspresi di wajah ayahnya, ia memeluk ayahnya sambil bercerita bahwa hari ini ia bertemu orang bernama Jinyoung yang juga memanggil Jackson dengan sebutan Seun, ia tertarik karena Jinyoung juga memujinya anak yang pintar dan membelikannya es krim rasa mangga.

“Paman Jackson bilang, Jinyoung dulu teman sekolahnya! Katanya aku boleh sekolah di tempat Jinyoung mengajar nanti!” Youngjae makin heboh dan saat adrenalinnya mereda ia lelah dan jatuh tertidur dengan perasaan bahagia.

Jaebeom memeriksa Yugyeom setelah berhasil menidurkan Youngjae, bayinya yang berusia sebelas bulan itu masih nyenyak, tidak ada tanda-tanda diapernya basah yang bisa kapan saja mengganggu tidurnya.

Jaebeom duduk di ruang tengah setelah mengatur kembali semua mainan Youngjae di tempatnya, ia mengambil ponselnya dan tak lama suara Jackson tersambung di sana.

“Woah, you miss me already?” kata Jackson menggodanya.

“To the point, no, I’m not miss you, I wanna make sure a thing.”

“Wait a moment, I just parked my car,” Jaebeom bisa mendengar deru mesin mobil bergerak pelan dan suara pintu tertutup disusul denting elevator, “Okay, what’s that?”

Jaebeom menghela napas panjang, “Who do you mean your angel?”

“Why’d you ask?” Jackson terkekeh kecil, “Itu bisa saja kiasan untuk orang yang menolongku hari ini.”

“Be honest, it’s Jinyoung who I know?”

Jackson diam hanya terdengar tarikan napas, Jaebeom bisa mendengarkan pintu elevator terbuka disusul langkah dan pintu rumah terbuka.

“Well…”

“It’s him then, huh? I forgot that you call him your angel back in uni, like he was fall from heaven infrony of you.”

“Don’t be jealous,” Jackson tertawa sekarang, Jaebeom bisa tahu Jackson mengaktifkan loudspeaker sebab suaranya terdengar jauh. Sementara itu Jackson memang tengah membersihkan dirinya.

“I’m not, I— just,” Jaebeom melihat sekelilingnya, rasanya lebih lapang karena anak-anaknya tak berkeliran, Jackson tertawa lagi menarik Jaebeom ke kenyataan.

“How do you know it’s him?”

“Youngjae gave me his name and yeah, I just connected the dots.”

“No way, you’re so obvious, Beom-ah. It’s so many people with that name out there. But, still, the only Jinyoung engraved in your frontal lobe just him.” Jackson sungguh-sungguh tertawa besar.

“Don’t make me!” Jaebeom menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dan mengamati langit-langit rumahnya, “You are the one who have a crush on him. And reminds you again, you have someone now.”

“Don’t worry, Beom-ah. He just my past now, I’ll invite him too and he said okay with that, he was even congratulate me, y’kno.”

Jaebeom merasa lega untuk satu dua hal, dan satu tanya mendesak ingin curah.

“How is he?”

“You should meet him and see him by your own eyes, he’s doing good.”

“Shall I?”

“As soon as possible.”

Jaebeom memutus teleponnya saat suara tangis Yugyeoom memecah heningnya malam; dan Jaebeom sudah terbiasa setelah memaksa dirinya untuk menerima bahwa ia adalah orang tua tunggal bersama dua anak lelaki yang masih dalam tahap pertumbuhan. Keadaan bisa memburuk kapan saja, tapi dia akan terbiasa.

Seperti luka yang tentu memakan waktu untuk pulih.

***

Chapter 2: Kedua

Notes:

Ayo ^^ thanks for reading, enjoy the next chapt!

Chapter Text

Anak berusia lima tahun tengah memunggungi ayahnya, bersedekap dada meski tak sepenuhnya bisa memeluk dirinya sebab baju mantelnya yang tebal membungkusnya sempurna.

Hari masih terlalu pagi dan udara sudah terasa dingin di penghujung musim panas. Youngjae tak ingin menuruti keinginan ayahnya dan memaku dirinya di depan mobil sang ayah untuk aksi protesnya.

“Youngjae-ya,” panggil Jaebeom setelah selesai mengurus Yugyeom di kursi penumpang belakang, “Kamu mau ayah tinggal di sini?”

“Aku tidak mau ke sana!” Youngjae menghentakkan kakinya kuat ke aspal parkiran.

“Tidak lama, ayah akan menjemputmu makan siang nanti.” Jaebeom membujuknya, berjongkok di depan sang anak sulung agar ia luluh. “Ayah janji, setelah ini Youngjae sudah boleh masuk sekolah.”

Mendengar kata sekolah membuat hati Youngjae berlomba; ia sangat senang berada di penitipan anak, di sana ia bisa bermain dan bersosialisasi dengan baik. Sampai pengasuh menyarankan Jaebeom agar memasukkan Youngjae ke yayasan mereka.

Namun, terkendala jarak yang jauh dari rumahnya dan ia yang sudah pindah tempat kerja, Jaebeom tidak jadi memasukkan Youngjae di sana. Mungkin berat bagi anaknya itu berpisah dengan teman sepermainannya, di mana mereka sudah berencana masuk taman kanak-kanak bersama.

Beberapa hal memang mengganggu, dan menjadi penyebabnya. Ia berhasil membujuk Youngjae pindah dengannya dari rumahnya yang lama untuk mengubah suasana. Tapi ia juga tahu, beradaptasi dengan hal baru memerlukan lebih banyak waktu.

“Aku mau sekolah di tempat Jinyoung, Paman Jack bilang aku boleh di sana.” Youngjae berbicara seakan dia sudah merencanakannya. “Paman Jack bilang dia bisa mengantar jemputku, dia bilang dia suka bertemu Jinyoung.”

Jaebeom menarik napas panjang, Jackson memang sering menjanjikan sesuatu pada anaknya, dan bukan hal buruk jika ia menepatinya, sebab di luar dugaan ingatan Youngjae tajam dan bisa terus menagih janji-janji itu.

“Kayaknya kamu sudah akrab ya sama Jinyoung?” Jaebeom bertanya menyelidiki, Youngjae tersenyum memamerkan giginya lupa bahwa ia sedang merajuk ke ayahnya.

“Aku suka Jinyoung, Ayah,” jawaban Youngjae membuat wajah Jaebeom panas, “Jinyoung bilang aku pintar dan anak ganteng seperti selalu Ayah bilang, kalau Paman Jack selalu bilang aku nakal, Jinyoung belikan aku es krim, Paman Jack cuma suka marah-marah! Jadi aku suka Jinyoung daripada Paman Jackson.”

Yugyeom menangis di dalam mobil, merasa terlalu lama ditinggal sendirian oleh ayah dan saudaranya.

“Nah, Gyeomi sudah menangis, sebaiknya kita berangkat sekarang,” Youngjae masih enggan, pun akhirnya menurut juga dan membiarkan Jaebeom membantunya menaiki mobil dan memasang seatbelt di samping Yugyeom yang terisak.

“Yugyeom, berhenti menangis,” Youngjae mengulurkan tangannya dan menepuk-nepuk kaki kecil adiknya, “Kita mau ke rumah Nenek sekarang!”

Bayi itu mulai tertawa melihat Youngjae yang menghiburnya, Jaebeom bisa menyetir dengan tenang selagi dua anaknya bermain di kursi belakang.

Jaebeom hanya berharap hari ini berjalan lancar; sayangnya itu hanya harapan, hampir jam sebelas siang ia masih terjebak di dalam ruangan persegi ini dengan beberapa orang dari pihak organizer yang harus bekerja sama menyewa jasanya.

Ia punya alasan kenapa memiliki tim sendiri untuk fotografi, agar biaya penyewaan bisa terbagi dengan baik. Dan hari ini, kalau bukan Jackson, mungkin ia sudah lari. Pihak organizer selalu ribet, begitulah pikirnya, hal yang semestinya sederhana bisa dibuat bercabang oleh mereka.

“Sering kok ada komplain dari client, katanya make up-nya tidak bagus padahal itu kesalahan tukang foto yang tidak paham pencahayaan. Jadi, kami cuma mau memastikan yang seperti itu tidak kejadian,” tutur salah satu pihak WO, sedetik melirik Jaebeom yang memasang tampang netralnya, “Jadi, ini sudah fix, kan? Apa enggak mau pakai fotografer kami saja?”

Jaebeom sedikit menegakkan punggungnya bersiap menjawab, bahwa semua kecemasan itu bisa dihindari dan ia juga timnya adalah orang-orang profesional. Namun, sebelum ia membuka mulutnya orang lain yang tak lain dan tak bukan pemilik acara mendahuluinya.

“Fixed, there is nothing to worry about. I trust my friend and I want him be the one who take my beautiful moments. All good?”

Pertemuan itu berakhir dan Jaebeom bisa sedikit mengendurkan ototnya, ia menatap kawannya mengantar rombongan organizer sebelum kembali bergabung dengannya.

“Jackson tiba-tiba minta undangan baru, kubilang semua undangan sudah disebar dan pakai undangan online saja, tapi ia malah memilih mencetak satu undangan itu,” Mark bersandar di jendela menatap ramainya lalu lintas di bawah kantornya, “Orang penting mana lagi yang ia ingin undang?”

“Kamu tidak tanya?”

“Dia bilang rahasia,” Mark angkat bahu lalu merapikan sedikit ujung setelannya, “It’s okay tho, I’ll know it later.”

“He invited your ex,” Jaebeom memasang jacketnya sambil menyunggingkan senyum, Mark menoleh dengan alis terangkat.

“Which one?” suara Mark agak nyaring terangkat, “I don’t have many actually…”

“Jinyoung,” balas Jaebeom dengan senyuman yang tak mencapai matanya, “I’m sorry, but I think I can’t keep it as secret, you deserve to know, it’s your wedding—”

“Jinyoung?” sela Mark, “Park Jinyoung? The handsome first love everyone? The person who I gave Call Me by Your Name novel?”

“I don’t know you gave him that book, that’s so gay of you, but yes, him.” Jaebeom menahan suara ringkik tawanya, melihat Mark tidak menyembunyikan keterkejutannya.

“Jackson Wang, how dare him!” Mark tertawa dengan suara khasnya, “What his plans? Make a reunion of our love triangle?”

Jaebeom tertawa. “Or, Love square eh, Beom?” lanjut Mark membuat Jaebeom tersedak tawanya.

“I should go now, to pick up Youngjae and Yugyeom,” Jaebeom mengalihkan, “See you later?”

Mark tertawa makin menjadi melihat Jaebeom yang membalik situasi, “Okay, thank you for today, and thank you for your information,” Jaeboem hanya melambai sebelum menghilang di balik pintu.

Mark mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke Jackson, bahwa ia akan menunggunya untuk makan siang di tempat kencan pertama mereka. Restoran Toppoki yang tak jauh dari kawasan kampus lama mereka.

***

“Ayah terlambat!”

Sergahan Youngjae di depan pintu membuat Jaebeom menghentikan gerakan membuka sepatu.

“Maaf, Ayah masih rapat tadi—” Youngjae melengos meninggalkan ayahnya yang belum menyelesaikan ucapannya.

Ia masuk ke dalam rumah dan mencari ibunya, Youngjae asyik menyusun lego di ruang tengah dan tak menghiraukan panggilannya.

Ibunya keluar dari kamar sambil menenteng pakaian di dalam keranjang.

“Makanlah dulu,” kata Ibunya, “Yugyeom juga masih tidur.”

Jaebeom mengangguk saja dan mengekor ke dapur, sisa makan siang Ibunya dan Youngjae masih di sana. Ia merasa bersalah menitipkan dua anaknya pada sang ibu, tak tega jika ia sampai kecapaian.

Ibu Jaebeom bergabung di meja makan dan melayaninya sangat baik.

“Eomma, tidak usah repot, biar aku saja.”

“Tidak apa-apa,” kata Ibunya menunggu ia menyelesaikan makanannya, “Bagaimana sidangmu?”

“Aku menolak mediasi yang mereka sarankan, karena kami masih memperebutkan hak asuh,” Jaebeom menjawab lemah dan pelan.

“Eomma tidak apa-apa kalau kamu menitipkan mereka di sini sementara, Eomma hanya tidak ingin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.”

“Aku masih bisa mengatur waktuku, Eomma,” Jaebeom menatap kosong piringnya, “Aku juga sudah terlalu banyak menyusahkanmu.”

Tangan ibunya terjulur mengusap punggung tangannya.

“Jangan merasa begitu, Eomma baik-baik saja, dan eomma senang kalau mereka di sini.”

“Youngjae akan bersekolah, kurasa itu akan lebih baik ke depannya.”

Ibunya hanya mendesah panjang, ia mengeluarkan selembar kertas dari kantong bajunya. Sebuah kartu nama sebuah firma hukum. Nama yang tertera di sana sedikit membawa nostalgia.

“Apa ini?”

“Ini pemberian seorang pengacara muda sekitar lima tahun lalu, eomma tidak tahu apakah dia masih di firma itu atau tidak,” Ibu Jaebeom memberikan kartu itu padanya, “Tapi dulu itu dia membantu menyelesaikan perceraian keluarga Kwon, kamu pasti ingat sengitnya mereka memperebutkan hak asuh sampai berhasil memanipulasi orang lain dan eomma jadi saksi kan pas itu, Pengacara itu membantu mengembalikan hak asuh ke ayah sang anak atas banyak sekali pertimbangan.”

“Kasusnya mirip denganku, ya?” Jaebeom tertawa getir, “Kurasa akan lebih mudah…”

“Kamu butuh orang profesional, Beom-ah. Kalau kamu yakin bisa mengurus anak-anakmu lebih becus dibanding … dia, harusnya kamu bisa menyudahi ini dengan kemenangan, tapi kamu tahu lawanmu punya kuasa di atasmu.”

Jaebeom terus merasa bersalah atas nasib malang yang menimpanya dan ia tahu, bagaimana pun ia berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri, ia tak mampu, tangannya hanya dua itu pun sudah untuk menggandeng ke dua anaknya. Jika ia lepaskan, untuk membela diri dan melindungi mereka, maka ia kalah.

Ibunya sangat bijak tak menyebut nama wanita itu di depannya atau embel-embel lainnya yang disandangnya sebagai ibu yang sah dari anak-anaknya.

“Datanglah ke Cafe Kyungja, Eomma sudah mengatur pertemuan kalian dan ia bersedia membantu.”

Jaebeom belum mengiyakan tawaran ibunya, tapi wanita itu sudah bergerak lebih dulu. Jaebeom berpikir pasti ia sudah menebak langkah yang akan Jaebeom ambil.

Kini, ia berakhir di depan sebuah cafe minimalis. Pengunjung tak terlalu ramai di sore hari yang mendung ini dan ia bersyukur tidak Youngjae atau pun Yugyeom mengalami tantrum.

Youngjae bergerak aktif dan melompat kecil di sampingnya saat mereka masuk dan menanyakan meja yang sudah reservasi atas namanya. Pramusaji mengarahkannya ke ujung ruangan dan tubuhnya membeku.

Anak sulungnya sudah berlari ke arah orang yang mereka tuju untuk sebuah temu.

“Jinyoung!” suara teriakan Youngjae agak menggema membuat Jaebeom sadar anaknya hampir membuat keributan, ia membungkuk kecil meminta maaf pada semua pengunjung di sana, Jaebeom segera menyusulnya.

Youngjae langsung berdiri di sisi Jinyoung dengan wajah merona dan senyuman terbaik yang selalu ia berikan pada orang lain saat ia ada maunya—Jaebeom hapal bahkan ekspresi tersamar sekalipun.

“Hai,” sapa mereka berdua bersamaan, membuat tawa kecil sedikit menangkis kecanggungan.

“Sudah lama menunggu?” tanya Jaebeom.

“Tidak, aku baru saja tiba,” jawab Jinyoung.

“Ayah kenapa tidak bilang kita mau ketemu Jinyoung?” Youngjae mendelik, Jinyoung menarik kursi untuknya agar ia duduk manis di sana selagi Jaebeom mengeluarkan Yugyeom dari gendongannya.

“Kejutan,” Jaebeom berusaha bereaksi bahwa ia tahu yang ia temui adalah Jinyoung—yang ia tidak tahu bahwa ada banyak Jinyoung di dunia ini dan dari sekian banyak itu, satu-satunya yang paling ia tidak sangka kini duduk di depannya.

Jinyoung tampaknya mengikuti rekayasa Jaebeom sebaik mungkin, Youngjae langsung tertawa geli saat Jinyoung mengiyakan.

“Kurasa kita tidak bisa membahan hal serius?” kaya Jinyoung ragu.

“Ah, masalah itu,” Jaebeom meraih tas selempangnya dan mengeluarkan map coklat dari sana, “Kamu bisa baca dulu, aku perlu bantuan pengacara yang ahli dalam kasus ini.”

“Ini bukan kasus berat,” kata Jinyoung membuka berkas-berkas itu, Youngjae mengintip penasaran walau ia belum tahu membaca, “Tapi memang, cukup sulit jika lawan punya sesuatu sebagai taruhan.”

“Dia akan mengambil mereka bagaimana pun caranya, kan?”

Jaebeom menyadari suaranya sangat pasrah dan putus asa, Jinyoung tidak menatap tepat ke arahnya, setidaknya ia tahu seberapa parah orang yang kini duduk di depannya.

“Aku tidak bisa menjanjikan hal-hal, tapi orang-orang di firma masih mempercayaiku, dan mereka juga orang yang ahli dengan ini. Aku akan membantu sebisa mungkin.” ujarnya tenang.

Kudapan pesanan mereka datang, Youngjae menikmati tiramisu cake-nya dengan gembira, beberapa kali ia mencoba menyuapi Jinyoung dan Yugyeom—tak mempedulikan larangannya ayahnya kalau adiknya itu tak boleh makan terlalu banyak kue.

Berkas-berkas Jaebeom sudah berpindah ke dalam tas Jinyoung dan mungkin, jika tak ada anak-anal di antara mereka, suasana akan lebih canggung lagi.

“Kudengar kamu guru TK?”

Youngjae yang mendengar itu langsung memandangi Jinyoung dengan sorot lebih ingin tahu.

“Pasti dari Jackson,” Jinyoung menjawab sedikit terkekeh yang diangguki Jaebeom dengan sikap yang sama, “Iya, tidak jauh dari sini, tapi kalau ada yang membutuhkanku sebagai konsulan hukum, aku tidak akan menolak.”

“Kamu pandai mengatur waktu,” kata Jaebeom bermaksud memuji, “Awalnya aku tidak menyangka itu kamu.”

Jinyoung sedikit tertunduk lalu memilih meminum tehnya, Youngjae berbicara padanya tentang keinginannya untuk segera sekolah TK dan Jinyoung menanggapinya dengan tak kalah semangat. Jaebeom melihat hal itu sangat terkesan, ia senang Youngjae bisa segera akrab dengannya. Ia tahu anak itu sedikit bebal dengan orang baru.

“Aku tidak mempunyai kesibukan setelah jam makan siang hingga malam, ini cuma pekerjaan guru TK yang tak bekerja seperti di penitipan anak. Ini menyenangkan, aku merasa seperti tidak bekerja.” Jinyoung menceritakan secuil hidupnya, “Makanya aku memilih mengambil sambilan profesi lamaku, karena aku merasa perlu mengisi waktuku yang kosong ini.”

Jaebeom ingin mengeluarkan kalimatnya, betapa ia kagum melihat Jinyoung yang sekarang. Seorang pria berdikari dan pekerja keras.

“Itu tandanya kamu mencintai pekerjaanmu,” lirih Jaebeom yang masih cukup cepat ditangkap oleh Youngjae.

“Seperti Ayah! Paman Jack bilang ayah juga terlalu mencintai kerjaan ayah, makanya ayah workout,” ucapan Youngjae sontak membuat Jinyoung dan Jaebeom tertawa.

“Workholic, sweetheart.” Jaebeom mengoreksi.

“Apa bedanya?” Youngjae tidak terima, Jaebeom tidak mengerti kenapa anaknya itu bersikap defensif dan sok dewasa.

“Work out itu olahraga, kalau Workholic, itu umm terlalu semangat bekerja.” Jaebeom menjelaskan dan Jinyoung menyimak dua orang ayah dan anak itu bercengkrama.

Waktu bergulir hingga matahari hampir terbenam, Jinyoung sempat mengisi ulang tehnya, pun Jaebeom. Yugyeom bahkan tertidur di tangannya dan Youngjae mulai bosan mendengarkan dua orang dewasa bercerita.

Jaebeom khawatir anaknya itu akan tantrum sebentar lagi, tapi semua emosi itu tak juga keluar. Hingga mereka sampai di ujung pertemuan.

“It’s really nice to see you again, it’s been a long while,” Jaebeom tak mengalihkan tatapannya dari Jinyoung yang membantunya menggendong Yugyeom ke parkiran mobil, “So, I guess we will meet really soon? You will come to Jackson and Mark’s right?”

“Yeah, I got their invitiation, next saturday, isn’t it?”

Jaebeom memasang sabuk pengaman pada Youngjae dan Jinyoung membantu menurunkan Yugyeom di kursinya. Bayi itu tertidur, lagi.

“Sebaiknya jangan terlalu sering membawanya bepergian, how old is he?”

“11 months,” jawab Jaebeom lalu menyuruh Youngjae mengucap perpisahan dengan Jinyoung.

Mereka berdiam berhadapan barangkali satu menit sebelum Jinyoung membuka suara untuk berpamitan.

“See you when I see you?” Jaebeom mengangguk, “Kuusahakan segera menyesuaikan jadwal sidangmu dan konsultasi kita, boleh semakin cepat?”

“Lebih cepat lebih baik,” untuk jadwal temu konseling atau kedua arti yang mengisyaratkan, mari bertemu lagi secepat mungkin.

Youngjae mulai menggerutu di dalam mobil, dan Jaebeom tak ingin anaknya itu mulai bertingkah di dalam sana mengganggu tidur adiknya.

Entah nasib yang mana yang akan mendahului untuk mencapai bahagia, Jaebeom hanya mengikuti arusnya.

***

Chapter 3: Ketiga

Notes:

👀
sorry for all typos, semoga tidak terlalu rusak karena kata-katanya jadi salah (menangis melihat chaps sebelumnya yg banyak salah kata dari kurang sampai kelebihan huruf 😩)

Enjoyyy~

p.s.: aku nulis ini santai aja, dan kayaknya bakal luuuaaaaamaaaaa, jadi terima kasih sudah menunggu 💚🫂

Chapter Text

Jinyoung memainkan bolpoin di jarinya, menotasi beberapa poin di berkas perceraian Jaebeom. Harta gono-gini bukanlah yang mendapat highlitght paling terang, tapi hak asuh anak, itulah alasan beberapa hari lalu seorang wanita meneleponnya sebelum jam makan siang.

Dia tentu langsung mengenali sebuah nama yang disebutkan, dan bukan tanpa praduga, ia memang selalu membantu siapa saja yang membutuhkan pembinaan dalam urusan gugat-menggugat dalam persidangan.

Bersyukur masih menjadi bagian dari firma hukum swasta yang juga berada di bawah naungan yayasan tempatnya mengajar sebagai guru TK, Jinyoung dipertemukan kembali pada seorang yang sudah lama tak ia tahu rimbanya dan kini, sedikit keprihatinan memicu adrenalinnya untuk sekali lagi membantunya, mengerahkan apa saja yang bisa ia lakukan.

Pertemuan bak reuni yang tak disangkanya membuat Jinyoung merasa dirinya kembali pada sebuah orbit lama yang telah jauh ditinggalnya, setelah tempo hari bertemu Jackson yang ia sangka sudah memiliki anak, tapi ternyata anak yang ia bawa bukan anaknya. Lalu hari-hari setelahnya ia menulang temu dengan Jaebeom dan tak ia sangka bersama anak yang Jackson bawa, di mana ternyata seorang teman yang Jackson beritakan tengah dalam masa sulit adalah orang yang ia kenal, Youngjae ialah anak sulung Jaebeom.

Jinyoung terheran dalam hati, entah semesta sedang bermain judi apa hingga dunianya kembali menyempit seketika. Atau memang, begitulah cara mereka bekerja, mengitari dan memutari roda kehidupan, untuk kembali ke titik yang pernah dilewati, sebagai pengingat yang membuat Jinyoung selalu sadar.

Sebuah jumpa yang tak ia duga dan tak ia harapkan terulang dalam hidupnya, tanpa persiapan akan siapa, apa dan bagaimana mereka memulainya. Namun nyatanya, pertemuannya dengan Jaebeom terasa menghangatkan hatinya, yang ia sangkakan menuang asam di dalam dirinya, membuat mereka menghindar dan bertolak belakang, ternyata hanya kecemasan tanpa dasar.

Mereka sudah jauh menjadi dewasa, dan masalah bukan lagi tentang diri sendiri. Tanggung jawab sudah termasuk tenggang rasa pada orang lain, dan Jinyoung bersyukur, masa telah mengikis batu penghalang yang tak perlu lagi mereka pasang. Tembok itu mungkin masih berdiri, menghadang masing-masing diri untuk melihat lebih jauh, tapi di atas itu Jinyoung memahami, cukup yang tampak di depannya yang perlu ia tahu, selebihnya bukan lagi urusannya.

Jaebeom memiliki dunianya, pun Jinyoung, meskipun dulu dunia mereka berada di satu wadah, tapi kini, mereka mampu hidup di wadah yang berbeda dan semuanya terbukti dengan hasilnya kini.

“For God’s sake!” Jinyoung menengadah, Wonpil menghampiri, wajahnya setengah terkejut, “Kamu yakin itu orang yang kamu cari?”

“Hu’um? Why? Did you find her?”

Jinyoung sibuk mendalami dokumen Jaebeom dan meminta tolong Wonpil untuk mengecek latar belakang istri Jaebeom, kini Wonpil menjulang di depannya dengan wajah setengah pucat.

“Oh My God, it is a big news!”

“It’s just a woman, Piri.” Jinyoung menahan tak memutar matanya, “So?”

Wonpil menarik kursi di depan Jinyoung, lalu mengeluarkan gawainya, ia juga memberikan cetakan profil seorang wanita, Jinyoung mulai membuka-buka lembaran itu. Melihat wajah wanita cantik masih sangat muda terpajang di sana.

“Lim Inhyung,” Wonpil mengarahkan gawainya pada Jinyoung, sebuah saluran youtube dengan profil yang sama dengan orang yang berkasnya ia pegang terpampang, “Seorang beauty vlogger dan influencer, namanya melejit tiga tahun lalu, tapi ia sudah cukup dikenal kurang lebih sejak enam atau tujuh tahun lalu. Ia konten kreator yang cukup konsisten sampai akhirnya ia dipinang oleh agensi Go.ent, kabarnya sedang menjalin hubungan dengan pemegang saham tertinggi agensi itu sejak tahun lalu, tapi beberapa info dari situs gosip, mereka sudah berhubungan lebih lama dari itu. Track recordnya bersih, Inhyung dan lingkaran selebritanya tak menunjukkan penyimpangan apa pun.”

“Wait,” Jinyoung mengangkat tangan menahan Wonpil untuk melanjutkan, “Bagaimana mungkin track recordnya bersih, kalau kamu masih mendapat info ini?”

Wonpil tersenyum dan menepuk dadanya sendiri, “Kamu tahu, Nyoungwi, aku hampir bergabung dengan Badan Intelijen Negara karena kemampuanku ini.”

“If you say so, next.”

“Sooo, seperti katamu, Jaebeom kesulitan dalam perceraiannya karena wanita ini kembali datang dan ingin mengambil hak asuh anaknya. Nyatanya ia tidak kompeten, hanya karena sekarang ia butuh image makanya ia ingin anak-anak itu.”

“Sebenarnya, dia mau satu saja,” Jinyoung menarik berkas Jaebeom di tumpukan paling bawah, “Dia mau anaknya dibagi, tapi Jaebeom tidak memberikan jadi ya, mereka terus meributkannya.”

“Aku tidak terpikirkan hal lain selain membocorkan rahasianya ke publik, itu akan membuatnya terpojok,” Wonpil mendengkus, “Sungguh disayangkan, kita firma yang baik.”

“Menurutmu kita bisa memenangkan pertarungan Jaebeom ini?”

Wonpil berputar-putar di kursi yang ia duduki, “Mungkin.” Wonpil tersenyum, “Kapan jadwal kita bertemu dengannya, aku perlu lihat dia orang seperti apa.”

Wonpil mengerling, dan Jinyoung tahu apa arti senyum mencurigakan di wajahnya itu.

“Kurasa dia pria mapan yang sangat dewasa, ayah anak dua, ditambah istri yang problematik.”

“Jangan sampai telat, besok jam tiga,” pungkas Jinyoung tak meladeni hal lain yang hendak Wonpil ungkit.

***

Jaebeom memarkirkan mobilnya, Youngjae sudah berlonjak girang di kursi penumpang, tak sabar menyongsong hari baru di hidupnya. Hari pertamanya masuk TK.

Ada kekhawatiran yang menguap di dalam dada Jaebeom, putra pertamanya sudah bertambah besar dan siap menghadapi dunia luar. Anak yang hiperaktif dan cepat belajar, ia berharap dengan amat, Youngjae terus bersinar dan mampu hidup dalam dunia sosial.

“Ayah! Ayo cepat! Nanti aku terlambat!”

Youngjae sudah menarik-nariknya, selagi Jaebeom kesulitan memperbaiki gendongan Yugyeom yang ikut merasakan euforia yang kakaknya sebarkan.

“Kita belum terlambat, malah kita datang terlalu cepat.” Jaebeom beralasan yang sebenarnya.

Youngjae mengeratkan genggamannya saat mereka melewati halaman yang luas, menuju gedung Taman Kanak-kanak Ahgase. Youngjae menunjuk-nunjuk logo TK barunya, katanya lucu karena seekor burung terpahat di atas gedung. Mata kecilnya membola, menatap seluruh penjuru arah, dari tempat bermain sampai lorong-lorong kelas.

Jaebeom tak melihat ketakutan yang biasanya orang-orang tua sering bilang saat anak mereka baru masuk sekolah.

“Are you ready, Sunshine?”

Youngjae mendongak menatap sang Ayah dengan mata penuh binar bahagia, ia mengangguk antusias, Yugyeom dengan tawa bayinya terhibur melihat sang Kakak.

Jaebeom membawanya masuk ke ruangan penerimaan tamu, ia sudah datang sehari sebelumnya untuk mendaftarkan Youngjae sekaligus memeriksa apa saja kebutuhan anak itu nantinya. Mereka segera disambut oleh seorang wanita, Jaebeom ingat namanya Kim Jisoo salah satu tenaga pendidik di Yayasan ini.

“Selamat datang dan selamat pagi, Lim Jaebeom-ssi,” sambutnya mempersilakan mereka duduk, “Ini pasti Youngjae, benar?”

Youngjae mengangguk menjawab iya, senyumannya terhias tanpa ada tanda surut dari wajah.

“Nah, Youngjae-ya, ini Bu Guru Jisoo. Kamu harus mendengar apa yang Bu Guru sampaikan dan hormat padanya…”

“Iya, Ayah! Aku ingat semua yang ayah bilang!” kata Youngjae, “Jadi, Bu Guru, aku sudah boleh masuk kelas, kan?”

Kedua orang dewasa di dalam ruangan jadi tertawa mendengarnya, semangat Youngjae untuk menjadi murid baru sangat diapresiasi oleh Jisoo.

Setelah bercakap-cakap sebentar, mereka mengantar Youngjae ke kelas yang mulai berdatangan muridnya. Ia langsung berbaur bersama mereka, memperkenalkan diri sangat ahli, yang sedikit membuat Jaebeom iri sebab ia lupa kapan terakhir kali ia sangat ekstrovert seperti itu.

“Kami juga punya tempat penitipan anak, ada di gedung sebelah, satu gedung dengan Panti Asuhan,” Jisoo mengantar Jaebeom ke beranda gedung, tatapannya lebih sering jatuh pada Yugyeom yang tenang di gendongannya, “Hanya menyarankan jika tidak keberatan.”

“Terima kasih tawarannya, mungkin akan nanti akan kupikirkan.”

Jisoo mengangguk, sedikit membungkuk melepas kepergian pria dua anak itu.

Jaebeom masih memilih Ibunya untuk direpotkan menjaga Yugyeom, baginya di umur yang belum satu tahun ada baiknya Yugyeom masih diasuh oleh keluarga dekatnya.

Anak bungsunya terlalu tenang, Jaebeom sering merasa terharu sebab bayinya seakan sangat memahami dirinya. Ia tak bisa memikirkan cinta yang lain, saat kini cintanya hanya dimiliki oleh kedua buah hatinya.

“Yugyeom hari ini di rumah Nenek, ya? Ayah masih ada kerjaan, nanti Ayah jemput Yugyeom lagi, okay?”

Ia tahu bayi itu belum bisa membalas ucapannya, tapi reaksinya cukup membuat hati Jaebeom lega, Yugyeom menanggapinya dengan tawa, senang diajak berbicara oleh ayahnya.

Ibu Jaebeom sudah menunggu cucunya tiba, karena memang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah yayasan. Ia pula yang menambak untuk meyakinkan Jaebeom menyekolahkan Youngjae di sana. Tawaran Jinyoung mendapat dukungan dua suara, Jackson dan Ibunya, hingga bagi Jaebeom itu sudah cukup mengukuhkan niatnya.

“Aku ada keperluan sampai sore, maaf merepotkanmu terus-terusan,” Jaebeom selau merasa tak enak pada Ibunya membuat wanita itu mencemaskan anaknya.

“Sudah eomma bilang, jika mereka di sini bersama eomma itu lebih menenangkan untuk kita berdua, jadi jangan merasa bersalah, Beom-ah.”

Jaebeom bersyukur, memiliki Ibu yang kasih sayangnya tak luntur, yang selalu membantunya bangkit, menjadi penopang di hidupnya yang pelik.

“Selesaikan urusanmu, eomma selalu berharap yang terbaik untukmu.”

Ibunya mengangkat tangan kecil Yugyeom untuk melambai ke arahnya, Jaebeom membalas melempar kiss bye ke arah orang-orang teristimewanya. Para penyemangat yang menjadi karunia terbaiknya.

Mobilnya menjauh menuju tujuan lain, tempatnya mencari nafkah untuk keluarga kecilnya.

Studionya sudah ramai oleh para pegawai saat ia tiba, beberapa ruangan terpakai untuk foto produk iklan bahkan modeling. Jaebeom menyapa para karyawannya yang lebih ia anggap keluarga kedua, kolega-kolega yang membantunya terus mengembangkan bisnis fotografinya.

“Tadi ada Jackson,” Minhyuk memberikannya segelas kopi yang baru diseduh, uapnya yang wangi menari merayu indra penciuman Jaebeom.

“Dia bilang apa? Tumben tidak meneleponku saja,” tanya Jaebeom heran sambil menyesap kopinya, ia menonton pemotretan salah satu model majalah yang baru merintis. Bagi orang-orang, studio Jaebeom adalah penyelamat bagi mereka yang baru memulai bisnis.

“Tidak ada, dia hanya mampir saja, kamu tahu sendiri dia seperti apa.”

Jaebeom terkekeh, “Dasar cari perhatian, pasti dia hanya ingin tebar pesona.”

“Dan,” Minhyuk menambahkan, “Menebar berita bahwa akhir pekan nanti akhirnya ia menikah.”

“Typical of him…” ponsel Jaebeom berdering, menampilkan nama Jinyoung di sana yang baru mengiriminya pesan.

Sesuatu bersinar di wajahnya, merasa dunianya akan baik-baik saja.

“Sudah lama aku tidak melihatmu tersenyum ke arah ponselmu, apa yang lucu? Video kucing?” Minhyuk mencoba mengintip, Jaebeom buru-buru menjauhkan ponselnya, “Kamu tidak rujuk dengan istrimu, kan?” tanyanya curiga.

“Amit-amit!” Minhyuk tertawa melihat responsnya, “Sebentar lagi hidupku terbebas sepenuhnya dari dia, jadi jangan sebut-sebut dia lagi.”

Jaebeom mengayunkan ponselnya, “Have a good day, thanks for the coffee,” Jabeeom keluar dari sana, memilih duduk-duduk di lobi sambil membaca pesan dari Jinyoung.

From: Jr.

Aku sudah bertemu Youngjae, dia sangat senang di hari pertamanya sekolah.

Ingat janji temu hari ini, kan?
📍Loc : Yogurbara Cafe
See you there.

Jaebeom tak menyadari, lebih dari sepuluh kali ia membaca pesan itu. Sebelum mengirim balasan.

To: Jr.

Noted, see you soon.
p.s.: I hope he’s not bothering you so much XD

Jaebeom tak keluar dari ruang obrolan, dan balasan Jinyoung datang lebih cepat dari yang ia duga.

From: Jr.

That’s my job, I can handle ten of Youngjae in the same time;p

Jaebeom mengulum senyumnya, membuat otot pipinya sedikit kedutan.

Sesuatu sedikit mengusik penglihatannya, nama yang tertera di kontaknya mengingatkan pada perjumpaannya dengan Jinyoung beberapa waktu lalu. Jaebeom menyadari bahwa Jinyoung tidak mengganti nomornya dan nama yang tertera di kontaknya adalah panggilan kecilnya dulu.

Jaebeom menggantinya, sangat mudah, sangat ringan, tapi tak ia lakukan sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu.

To: Jinyoung

Woah, what are you? Superman? Ultraman? Spider-man?

 

From: Jinyoung

I am Groot.

Dan, Jaebeom tak lagi menahan tawanya membuat beberapa kepala menoleh ke arahnya. Terkejut dan bingung melihat sang ketua yang tampak bahagia tidak suram sepeti biasanya.

***

Chapter 4: Keempat

Notes:

Karena ini kali pertama ganti judul “Once in a Lifetime”

Happy reading^^

Chapter Text

“Kim Wonpil, dari sini saya yang akan menjadi pengacara anda,” Wonpil menoleh sebentar ke arah Jinyoung, “bukan begitu, Jinyoung-ssi?”

Kafe Yogurbara tidak terlalu ramai saat Jaebeom tiba, hampir bersamaan dengan kedatangan Jinyoung dan rekannya. Setelah memesan menu yang lebih banyak dari olahan susu dan buah, Jaebeom sangat berterima kasih di dalam hati karena Jinyoung memilih tempat ini.

Yoghurt stroberi yang dipesannya sungguh terasa pas di lidah, dan perkenalannya dengan rekan pengacara Jinyoung tidak terlalu masam, benar-benar semuanya cocok di lidahnya.

“Salam kenal, Pengacara Kim,” Jaebeom sedikit membungkuk di kursinya, “Senang bisa bekerja sama dengan Anda.”

Wonpil mengibaskan tangannya, dengan senyum menunjukkan deretan giginya ia tampak salah tingkah, masih segan, “Jangan sungkan-sungkan, ini bagian dari pelayanan kami.”

“Aku meminta maaf secara pribadi karena tidak membantumu secara langsung—”

Jaebeom baru ingin menyelanya, ia didahului oleh Wonpil, “Kamu ini bicara apa, kamu yang selalu membantu firma kecil ini untuk terus berkembang. Bayangkan sebanyak apa klien yang kamu gaet sehingga memercayakan masalah mereka kepada kita.”

“Jinyoung-ssi,” Jaebeom ikut menambahkan secara formal, “bantuan ini sudah lebih dari cukup, terima kasih banyak.”

“Kami akan melakukan yang terbaik dan berusaha tidak mengecewakan Anda.”

Wonpil tersenyum memandangi Jinyoung yang merona di tempatnya, entah kapan terakhir kali melihat Jinyoung agak kikuk di depan orang lain. Sesuatu yang selalu bisa Jinyoung sembunyikan dengan aktingnya.

Wonpil mulai membuka catatannya, agaknya sudah ia siapkan garis besarnya dan ingin mengonfirmasi ulang pada Jaebeom.

Mereka mengobrol sangat lama, mencari seandainya ada cara di mana Jaebeom bisa memenangkan kasusnya murni tanpa campur tangan uang di dalamnya.

Jaebeom takjub dengan kemampuan Wonpil menyederhanakan dan mencari jalan tengah, di mana ia tetap menghargai anak-anak Jaebeom tetaplah anak-anak istrinya juga. Biasanya sulit bagi pria untuk tidak merendahkan wanita, dan Jaebeom melihat Wonpil melakukannya sangat mudah. Seakan bukanlah itu masalah intinya, dia tidak membawa stereotipe di pembicaraan ini dan benar-benar mengusahakan tetap objektif menilainya.

“Kurasa kamu harus menyebutkan poin terburuknya sekarang, Piri-ya,” kata Jinyoung setelah cukup lama obrolan ini hanya dua arah antara Jaebeom dan Wonpil, “kami memprediksikan ini, tapi kami ingin tahu bagaimana tanggapan Anda jika ini kejadian,” ujarnya pada Jaebeom.

Jaebeom mengangguk, memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang tak ingin ia hadapi, “Katakan saja, saya mendengarkan.”

“Dia akan mendapat kedua hak asuh, sebab sangat sulit membagi anak yang masih di bawah umur,” kata Wonpil tenang, “atau dia akan mendapat hak asuh Yugyeom.”

“Saya sudah memikirkan itu, sebab itu kemungkinan paling besar,” balas Jaebeom, Wonpil melirik Jinyoung sebentar.

“Kami menyarankan Anda menerima usulan mediasi, setelah itu Anda bisa meminta masa uji coba untuk membuktikan apakah mantan istri Anda bisa bertanggung jawab.”

Jaebeom bungkam, ia melihat Jinyoung mengulum bibirnya dan tak menatapnya, pasti itu saran darinya sebab mereka sudah membicarakan hal itu di pertemuan pertama mereka.

“Kami tidak bisa menyerang tanpa mengatur strategi, Jaebeom-ssi. Kita harus bersama-sama melihat dan memberikan bukti kepada pengadilan atas tuntutan hak asuh yang Anda minta.”

“Apa kamu masih butuh waktu untuk memikirkannya?”

Jinyoung kini menatapnya sungguh-sungguh, Jaebeom hanya tak ingin anaknya diasuh oleh tangan penyihir itu lagi. Sejak kapan pula ia mengasuh anak-anak itu, sejauh yang Jaebeom ingat, ia hanya mengandung dan melahirkan, bahkan memberikan ASI lengkap pun tidak.

Youngjae dulu sakit-sakitan, berdampak sekarang ia mempunyai banyak sekali alergi. Jika Jaebeom bisa dipenjara, ia akan memilih jalan itu saja, ketidakbecusannya menjaga anak-anaknya membuatnya menyadari sebuah kesalahan percaya atas nama cinta dan perubahan. Nyatanya Yugyeom lahir pun keadaan tak berubah dan semuanya bertambah parah.

Ia bersyukur si Bungsu tumbuh dengan baik, mungkin karena pengalamannya dan pelajaran yang ia dapat sebelumnya, membuatnya lebih mawas untuk kali kedua.

Apa yang salah, mengapa harus dirinya yang bersalah, hanya karena ia percaya sebuah kesempatan dan permintaan maaf mampu mengubah kembali suasana menjadi sesuatu yang pernah menjadi mimpinya.

“Jaebeom-ssi,” Wonpil menegurnya, membuat Jaebeom menapak realita.

“Saya mengikuti saran Anda, saya akan terima mediasi itu dengan beberapa syarat.”

Wonpil mencatat apa-apa saja yang Jaebeom ingin ungkapkan di persidangan. Suka tidak suka, Jaebeom harus mengulur waktunya, merancang rencananya dan siap menyerang pada waktunya, sebab lawannya pernah menjadi salah satu kepercayaan dirinya.

“Kita ketemu lagi hari senin, tenang saja, kami sudah memasukkan laporan awal tentang ini. Persiapkan diri Anda, Jaebeom-ssi.”

Jaebeom sangat siap, lebih siap dari siapa pun, dia sudah di medan perang ini seorang diri sejak hari ia jatuhkannya gugatan cerai. Semuanya berjalan mulus sampai wanita itu tiba-tiba kembali datang ingin merebut anak yang ia telantarkan.

Wonpil keluar lebih dulu, buru-buru ke tempat lain, ia masih punya klien yang masalah perceraiannya hampir selesai, jadi ia mengonfirmasi tak perlu merisaukannya.

Jinyoung masih setia duduk di depannya, mereka tak berbicara dan menyibukkan diri memandangi pesanan yang sudah habis di atas meja.

“Semuanya tidak mudah, but trust me, we will win for this one.”

Jaebeom mengangkat wajahnya, Jinyoung tersenyum penuh makna, menenangkan Jaebeom dan menambah spirit di dalam benaknya.

“I trust you, always, Jinyoungie.”

Jaebeom menggigit lidahnya, ia benci ketika refleks mengambil alih kinerja organnya, ia berkata tanpa berpikir. Takut membuat Jinyoung tak senang mendengar bahasanya yang kelewat santai. Namun, yang ia takutkan tidak kejadian, Jinyoung tersenyum lebar kepadanya hingga guratan di sudut matanya tercipta.

Pemandangan yang langka, pikir Jaebeom—atau hanya dirinya yang merindukan pemandangan yang telah sepuluh tahun berlalu dalam hidupnya. Membuat Jinyoung bahagia.

“Kamu bisa mengandalkanku, tenang saja.”

Obrolan itu kembali hening, Jaebeom enggan mengangkat tubuhnya untuk keluar dari sana, meskipun bayangan Youngjae mengomel di rumah sang Nenek sudah terbayang. Ia pulang terlalu lama.

“Oh, Ya…”

“Jinyoung—”

Mereka tertawa saat bersamaan ingin mengatakan sesuatu, Jaebeom mempersilakan Jinyoung mengutarakannya lebih dahulu.

“... Aku cuma ingin bertanya, kenapa memasukkan Youngjae sekolah di hari kamis? Kukira kamu masih ingin menimbang-nimbangnya?”

“Aku makin sibuk belakangan, beberapa jadwal sangat padat, belum lagi hal ini membuatku bolak-balik pengadilan,” Jaebeom hampir mendesah lelah, hanya karena menjaga etika ia menahan napasnya dan mengembuskannya perlahan, “Aku harus memutuskan itu segera dan setelah bertemu denganmu aku merasa sudah sampai dijawabannya, mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, Hari Kamis sudah seperti hari keberuntungan.”

“Baiklah,” Jinyoung mengangguk-angguk paham, Jaebeom tak tahu mengapa ia harus menjelaskan sebertele-tele itu, membuatnya merasa terlalu banyak bicara dan Jinyoung merasa lucu dengan jawaban itu. “Giliranmu, tadi kamu mau bilang apa?”

“Kamu jadi ke acara pernikahan Mark dan Jackson?”

“Besok lusa, kan?” Jinyoung masih antusias tentu saja, “Tentu jadi, rencananya aku ingin mencari hadiah pernikahan setelah pulang dari sini.”

“Bagaimana kalau bersama-sama?” tanya Jaebeom membuat Jinyoung mengangkat alisnya.

“Bersama-sama pergi ke tempat acara atau bersama-sama mencari hadiah?” tanya Jinyoung balik dengan ragu-ragu.

Jaebeom baru menyadari keanehan atau kekurang lengkapan pertanyaannya. Ini memalukan, tapi ia tak ingin pikir panjang. Ia ingin hari ini belum selesai. Ada hasrat yang kuat dan membandel memaksa Jaebeom terus dekat pada Jinyoung. Dia menolak mengatakan itu rindu, menolak segala rasa yang dulu terkubur lama kini bangun dari tidur panjangnya, Jaebeom menolak apapun namanya. Satu yang ia tahu, dia tidak akan membiarkan dirinya kalah lagi dalam hari-hari panjangnya.

“Keduanya, kita bisa pergi sekarang mencari hadiah dan besok lusa kamu bisa memberitahu di mana aku bisa menjemputmu, bagaimana?”

“Aku tidak mau merepotkanmu,” ucap Jinyoung tampak tak enak menerima tawaran Jaebeom.

“Kamu tidak merepotkanku, kita bisa melakukannya bersama untuk menyingkat waktu.”

Jinyoung pun setuju; petang itu mereka usaikan dengan berkeliling mencari hadiah pernikahan untuk Mark dan Jackson.

Dua manusia yang pernah bertemu dan bersama di suatu masa lantas dipidana oleh semesta untuk putus dalam waktu yang lama. Jaebeom merasa terhukum dan mencoba kembali hidup dari puing sisa kehidupan masa lalunya, ia tak tahu bagaimana dengan Jinyoung, mungkinkah ia juga merasa seperti Jaebeom atau ia hanya bersikap ramah.

Jaebeom ingin tahu tetapi takut juga untuk tahu, Jinyoung adalah entitas yang serupa cermin di kehidupan lampau Jaebeom. Jinyoung dalam versinya sekarang bukanlah cermin dari Jaebeom lagi, ia adalah sosok yang bagaikan bintang iklan di tv, akrab Jaebeom lihat tetapi tak ia kenal dekat.

*

“Bagaimana sekolahmu hari ini, Sunshine?”

Mata Youngjae sudah terpejam saat Jaebeom menggendongnya ke dalam kamar, ia terlalu seru bermain hingga tak mendengar sang nenek yang sibuk menidurkan Yugyeom menyruhnya agar pindah ke kamar.

“Aku sangat senang, aku punya banyak teman baru,” katanya senang meski sudah hampir tak terdengar, “Jinyoung hyung mengajari kami bernyanyi dan membaca, aku belajar cepat, jadi aku dapat lima bintang.”

Ada peningkatan dalam cara Youngjae memanggil Jinyoung, yang awalnya menganggap pria itu sebaya dengannya, kini terdengar lebih menghormatinya sebagai yang lebih tua.

“Kamu belajar cepat?”

“Iya, Ayah!” seru Youngjae, matanya terbuka, Jaebeom tak mau kalau kantuknya pergi, tapi ini sudah menjadi kebiasaannya menanyakan tentang keseharian anaknya, “Lagu-lagu Jinyoung hyung lagu yang sama yang Ayah dengarkan padaku! Terus kami belajar alfabet sambil bernyanyi, aku sudah tahu semuanya, Paman Jack pernah mengajariku, Jinyoung hyung bilang itu bagus dan aku harus selalu rajin belajar agar bintangku di kelas banyak.”

Jaebeom mengusap kepala anaknya, Youngjae kembali memejamkan matanya, ia memeluk tangan Ayahnya.

“Ayah, besok aku mau ketemu Jinyoung hyung lagi, besok kami belajar menghitung, aku sudah rindu Jinyoung hyung.”

“Secepat itu? Kamu tidak rindu sama Ayah?”

“Aku mau bermain dengan Jinyoung hyung, Ayah kan sibuk tidak bisa bermain lama denganku,” gumam anaknya lirik.

“Kamu suka Jinyoung ya?” Youngjae menjawab dengan berdehem.

Suasana menjadi tenang, Jaebeom hampir ikut terlelap selama meninabobokan anaknya. Memikirkan sebuah rasa bahagia dan aman mengingat Youngjae menyukai Jinyoung sejak perjumpaan pertama mereka. Jaebeom merasa secuil hatinya ikut tumbuh bersama sang Anak, tapi itu ide konyol, perasaannya pada Jinyoung bukanlah sebuah gen yang bisa diwariskan ke keturunannya.

“Ayah juga suka Jinyoung hyung, kan? Kayak Paman Jackson, kalian sama-sama suka berbicara lama dengan Jinyoung hyung, jadi aku juga mau berteman dengan Jinyoung hyung, nanti kita bisa bermain sama-sama, dengan Paman Jack, Paman Mark, Yugyeom, nenek juga, iya kan, Ayah?”

Youngjae meracau diselingi kikik-kikik tawa, tubuhnya memeluk lengan sang Ayah sebelum menjemput alam bawah sadarnya dengan perasaan senang.

Jantung Jaebeom berdegup teratur, tapi entah mengapa itu terdengar membentur tulang rusuknya. Ia membayangkan ucapan Youngjae, membuat gambaran indah di dalam kepalanya, mencoba berharap hal itu setidaknya menjadi buah tidurnya. Sebab saat ini ia kembali terpukul mundur, ia tak ingin bermimpi untuk sesuatu yang nyata di masa depannya.

Tidak untuk dirinya, tidak tentang Jinyoung.

*

Jinyoung enggan memejamkan matanya, otaknya terus memutar ulang ingatan beberapa jam lalu, ingatan yang dipenuhi wajah Jaebeom, suara dan tawanya.

Sekuat tenaga ia menepis, mencoba abai pada kenyataan yang tengah melakukan siaran langsung, tetapi hal lain mendorongnya untuk tak henti mengingatnya. Fokusnya bercabang, relung-relung kosong di dalam tubuhnya terisi entah oleh apa. Namun apapun itu, Jinyoung berterima kasih. Selama ini ia mencari apa alasannya menjalani hari, ia menemukan rasa menyenangkan itu selama bersama anak-anak, aura yang mereka pancarkan memberi Jinyoung semangat.

Hal lain menambahnya, kemunculan kembali Jaebeom di hidupnya.

Ia tak pernah menjauhkan diri dari Jaebeom, dari teman-teman sekolah dan kuliahnya. Jinyoung hanya mengikuti kinerja semesta, sebab dirinya bagian dari itu semua. Semua orang datang dan pergi, entah dia atau orang lain di hidupnya, segalanya memiliki masanya.

Jarak yang mebuat mereka terpisah tanpa kabar, jarak juga yang menarik mereka untuk sebuah perkenalan dan pertemuan. Toh, nyatanya kontak Jaebeom masih sama di ponselnya, hanya memang masa di mana orang-orang berhenti berbicara satu sama lain itu benar adanya.

Terkadang kita yang awalnya dekat, menjadi asing dan hanya pengamat. “Oh, dia sudah bahagia.” atau “Aah, dia sudah punya teman baru.” Lalu perasaan di mana diri tidak lagi dibutuhkan itu timbul, menarik untuk mundur dan mencari jalan di mana akhirnya persimpangan memisahkan.

Jinyoung mengecilkan harapan, mungkin di jalan entah mana, dia nantinya berpapasan dengan kawan-kawan lamanya. Jika saat itu tiba, mereka pasti sudah banyak berubah, ada yang kenal, ada yang pura-pura tidak kenal, ada yang bahkan lupa. Jinyoung mengalami semuanya, karena memang begitulah cara kerjanya hidup ini.

Kembali ke Jaebeom dan ribuan atau malahan berjuta kenangan di perjalanan hidup Jinyoung.

Sesuatu yang tak membuatnya lupa, sebab Jaebeom salah satu alasan Jinyoung terus melanjutkan hidupnya.

“Aku senang melihatmu bahagia,” ucap Jaebeom sebelum menurunkan Jinyoung di depan komplek apartemennya, “bahagia cocok untukmu, Jinyoung.”

“Bahagia itu fase,” kata Jinyoung, “seperti musim, tapi aku berharap musim bahagia juga bisa berlangsung selamanya.”

“Kamu benar, aku juga pernah di musim bahagia dan berharap itu selamanya,” balas Jaebeom menghela napasnya, “sekarang, entahlah…”

“Nikmati saja setiap musimnya, dan percaya musim akan berganti.”

Jinyoung menepuk-nepuk pundak Jaebeom, rasanya familiar sekaligus asing di saat bersamaan. Mereka pernah lebih dari sekedar menyemangati seperti ini.

Jinyoung berhenti mengingat, ia terlelap. Dalam sisa sadar Ia berharap musim bahagia Jaebeom segera tiba dan jika boleh diizinkan, dirinya pun ingin di sana, menyambut itu bersama-sama dengannya.

***

Chapter 5: Kelima

Notes:

i hope the typos not that bad 😩🙏

Chapter Text

“I got five stars!” Youngjae melompat sebelum masuk ke dalam mobil, Jaebeom memasangkan sabuk pengaman sementara balitanya itu meracau tentang kegiatannya di sekolah.

“That’s perfect, Jae-ya,” kata Jaebeom memasang sabuk pengamannya sendiri dan mulai mengeluarkan mobil dari parkiran, “Did you say thank you to Jinyoung hyung?”

“I did! And I kissed him!”

Jaebeom hampir mengerem mendadak mobilnya, ia tersedak oleh suaranya sendiri. Youngjae masih sumringah di sebelahnya, dengan wajah berbinar-binar ia tak tahu jika ayahnya terkejut.

“You kissed him, cuz he gave you five stars?”

“No, because Jinyoung hyung gave me two more stars, so I got seven stars!”

“So you kissed him?”

“Soooo I kissed him, and I said thank you Jinyoungie hyung I love you so much!”

Jaebeom mengulum bibirnya, ia mencoba tak tersenyum terlalu lebar, melihat pantulan Youngjae di spion yang tampaknya belum usai dengan euforianya.

“Apa semua temanmu juga menciumnya?”

“Hmm… Yeah, ada juga yang dipeluk.”

Jaebeom tahu, itu hanyalah bentuk ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tua terlebih Jinyoung adalah gurunya. Dan Youngjae memanglah anak yang selalu mengeluarkan emosinya secara nyata, jika ia tak suka maka ia katakan tak menyukainya dan jika ia menyukai sesuatu ia akan menunjukkannya dan melakukan apa pun agar itu tampak.

Jaebeom tentu lebih suka dengan sifat seperti itu, karena dia tidak akan pusing menebak-nebak keinginan Youngjae saat dirinya tantrum.

“Ayah! Kenapa ayah tidak masukkan Yugyeom di sana juga, nanti dia punya teman sepertiku, di rumah nenek dia hanya bermain dengan Nora.”

“Yugyeom masih kecil, dia baru satu tahun, berjalan saja dia belum lancar.”

Youngjae diam, ia berpikir dengan wajah serius.

“Jadi kalau Yugyeomie sudah bisa berjalan, dia boleh masuk ke sana juga, kan?” tanya sang anak.

“Kita harus tunggu sampai usianya tiga atau empat tahun,” jawab Jaebeom sabar, berharap anaknya itu mengerti, Youngjae mengira-ngira dengan jari, Jaebeom tertawa melihat sang sulung berpikir keras seakan ia sudah tahu menghitung jarak, “Memangnya di sana ada yang sama seperi Yugyeom, semuanya kan besarnya sama sepertimu.”

Jaebeom melirik di spion, sang anak di kursi penumpang mengeryit dalam.

“Bukan teman-temanku, tapi di kelas lain,” Youngjae menarik napas dalam, tanda ia akan mulai bercerita panjang lagi, “Waktu istirahat aku mengikuti Jinyoung hyung, aku mau makan bekalku dengannya, tapi ada yang memanggilnya ke ‘gedung sebelah’, Bayi B menangis dan tak mau diam. Jadi, Jinyoung hyung langsung berlari ke sana setelah kelas selesai, aku mengikutinya dan di sana banyaaaak teman Yugyeom. Tidak semuanya menangis kok, karena Jinyoung hyung datanh dan menenangkan bayi-bayi. Wah! Ayah harus lihat Jinyoung hyung jadi ayah.”

Jinyoung jadi ayah. Jaebeom menggigit bibir bawahnya, tiga kata itu terdengar … sempurna. Layak.

“Jisoo noona bahkan bilang Bayi B tidak mau diam kalau bukan Jinyoung hyung, aku kasih tahu Jisoo noona kalau Yugyeom juga pernah tidur pas digendong Jinyoung hyung,” Youngjae bersandar dengan senyuman yang tak surut, “Ayah, Jinyoung hyung bisa jadi ayah juga, kan?”

Untuk beberapa saat Jaebeom tercenung. Bahkan Youngjae bisa melihat hal seperti itu di dalam diri Jinyoung.

“Ya, dia bisa. Semua orang bisa menjadi ayah.”

“No, not everyone, uncle Jackson hanya bisa jadi paman. Dia tidak seperti ayah.”

Jaebeom melirik spion, untuk kesekian kalinya dalam perjalanan pulang ini ia tidak memahami banyak hal dari yang Youngjae katakan.

“Jinyoung hyung sama seperti ayah, dia bisa menjaga bayi-bayi. Ayah menjagaku dan Yugyeom, Jinyoung hyung juga bisa, jadi Jinyoung hyung bisa menjadi Ayah, Yah.”

Jaebeom terbatuk mendengar anaknya itu menjelaskan lagi, kenapa dia sangat cerewet terhadap hal-hal yang orang dewasa sendiri tak sempat pikirkan.

Ia masih tak paham maksud dari ucapan Youngjae, jika maksudnya adalah kesetaraan antara Jaebeom dan Jinyoung yang pantas menyandang status Ayah atau orang tua, Jaebeom pikir itu hal yang bisa ditangkap olehnya. Namun, ada sisi lain di mana Jaebeom merasa bukan itu maksud dari cerita panjang Youngjae hari ini.

*

“Kamu gugup, Oppa.”

Jinyoung membalikkan tubuhnya pada Jisoo yang tengah merapikan rak-rak perlengkapan bayi, Jinyoung menghela napas panjang.

“Sangat jelas, ya?”

“Dia hanya ingin memanggilmu Ayah, dan kamu panik.”

Jinyoung mendengkus dengan gelengan kepala, tangannya sibuk merapikan boks bayi yang kosong. Para anak itu tengah makan siang dibantu pengasuh yang lain, Jinyoung suka ke tempat ini setelah jam mengajarnya, sedikit membantu pekerjaan saat ia datang. Belum lagi seorang bayi yang berusia hampir satu setengah tahun terlalu lengket padanya, membuat Jinyoung tak bisa berlama-lama jauh darinya.

“Tentu saja aku panik, dia sudah punya ayah, kenapa harus memanggilku Ayah juga. Awalnya dia bahkan hanya memanggil namaku seakan-akan aku ini temannya.”

“Jadi, kamu hanya ingin jadi temannya? Aku tahu kamu gurunya, Nyoungie, dan tak apa mengakrabkan diri seperti itu, tapi kamu lihat sendiri, dia pasti sangat kagum sampai ingin memanggilmu ayah.”

“Mustahil,” Jinyoung merampungkan kegiatannya, lalu berjalan ke luar, “Sampai ketemu hari senin, Soo-ya.”

“Enjoy your weekend, Oppa. Don’t think too much and let it flow.”

Seandainya Jisoo tahu, bukan itu masalahnya. Bukan karena Youngjae yang tiba-tiba muncul dengan matanya yang membulat sempurna, melihatnya menggendong Bambam dan menenangkan bayi itu. Tetapi seuatu yang lain, di mana darah Jinyoung berdesir.

“Jinyoung hyung seperti ayah, Jinyoung hyung mau bisa jadi ayahku juga?”

Entah mengapa pernyataan ragu-ragu bernada tanya itu mengusik dirinya lebih dari yang ia bayangkan. Jinyoung terbiasa dipanggil ‘hyung’ oleh semua balita-balita di panti, terkecuali Bambam yang ia biasakan memanggilnya ‘Papa’ sebab ia berencana mengadopsi anak itu secepatnya. Menunggu dirinya stabil dan bisa membiasakan diri, Jinyoung hanya membiarkan Bayi B memanggilnya dengan sebutan itu.

Lalu, tiba-tiba, di suatu hari yang tidak ia perkirakan tiba. Seorang anak dari teman masa lalunya mengatakan hal yang tidak ia sangka; mungkin nanti saat mereka bertemu lagi, Jinyoung harus menjelaskan pelan-pelan mengapa Youngjae tak bisa mengajak orang-orang untuk menjadi ayahnya hanya karena terlihat mirip dengan sang Ayah.

Jinyoung menghela napas panjang, akan lebih lumrah jika Youngjae mencari sosok ibu, yang mana tak ia miliki sedari kecil. Namun, menambah sosok figur ayah dalam daftarnya menjadi tanda tanya besar bagi Jinyoung, atas dasar apa dana alasan apa anak itu ingin memanggilnya ayah.

Youngjae sudah memiliki Jaebeom. Bahkan jika dibuatkan daftar kandidat, Jackson dan Mark yang merupakan pamannya lebih cocok untuk sebutan itu.

*

Jackson menelepon untuk tinjauan terakhir tempat acaranya, besok adalah hari yang besar baginya dan Jaebeom bisa merasakan kecemasan berlebih kawannya itu. Ia ingat, saat menikah lima tahun lalu juga mengalami hal yang sama, mendadak segala hal ada kurangnya padahal itu hanyalah buah dari kekhawatirannya.

Meskipun Mark dan Jackson sudah bersama cukup lama, terkadang Jaebeom masih melihat mereka seperti orang yang hanya memiliki hubungan persaudaraan. Sampai di jenjang ini, cukup memberikan Jaebeom pencerahan bahwa kedua temannya itu serius dengan hubungan mereka. Walaupun beberapa minggu lalu, Jinyoung tiba-tiba muncul kembali ke kehidupan mereka, mungkin kemunculannya sudah direncanakan oleh semesta, mungkin itu hendak dijadikan ujian, tetapi nyatanya Jinyoung tidak lagi mengambil spot di hati kedua calon pengantin itu.

Jika Jaebeom kembali mengingat, Mark yang sempat menjalin hubungan cukup lama dengan Jinyoung, ditambah Jackson yang sangat jatuh cinta padanya. Terkadang tak masuk di akan Jaebeom bagaimana kedua pria yang menyimpan rasa pada Jinyoung itu kini memutuskan berlabuh dalam bahtera yang sama. Memikirkannya membuat Jaebeom tak bisa menghilangkan Jinyoung dari ingatannya.

“Ayah, aku mau pakai dasi polkadot!”

Youngjae masuk ke dalam kamarnya membawa kotak berisi dasi kupu-kupu koleksinya.

“Tidak bisa, Sunshine. Paman Jack dan Mark sudah memberikan dress code formal, Youngjae harus pakai yang hitam, seperti punya Ayah.”

Jaebeom menyimpan kembali dasi polkadot ke tempatnya, sembari menyuruh Youngjae menyimpannya.

“Kenapa tidak boleh? Kan bagus warna-warni, Yah?”

“Ini acara resmi, Sweetheart.”

Youngjae memberengut dengan wajah tertunduk dia keluar kamar, membawa kembali koleksi dasi-dasi lucunya.

Jaebeom tahu suasana hati Youngjae akan terus buruk sampai besok, dia hanya mencoba menahannya.

Jackson tak hentinya mengiriminya pesan, entah meracau tentang apa, segala hal dikomentarinya. Jaebeom ikut-ikutan susah tidur karenanya, sebab jika ia tak membalas pesan Jackson, pria itu langsung menelpon.

Penderitaan itu akhirnya selesai saat Mark yang menghubunginya, mengatakan Jackson sudah ia paksa untuk tidur.

*

Benarlah dugaan Jaebeom, suasana hati Youngjae masih masam karena tak ia bolehkan memakai dasi polkadot. Mau bagaimanapun mereka harus berpakaian tuksedo lengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna hitam.

“Look, you’re so handsome!” Jaebeom menyisir rambut Youngjae hingga rapih, setelah memasangkan sepatunya ia beralih pada Yugyeom yang masih sibuk meminum susunya.

Youngjae tak berselera, ia tak suka pakaian formalnya dan ia mulai meragukan pesta pernikahan Paman Jackson dan Mark-nya.

“Paman Minhyuk sudah di sana, kita berangkat sekarang, okay?”

Youngjae melenggut malas, ia hanya mengikuti Ayahnya, bahkan ketika Yugyeom mencoba menarik perhatian kakaknya, Youngjae tak memberikan reaksi apa-apa. Ia sibuk melihat ke luar jendela dan mengembuskan napas kasar.

Mereka tiba di tempat acara hampir tepat waktu, rekan karyawan Jaebeom sudah memasang semua kamera untuk merekam. Minhyuk menghampirinya dan meberikan kamera pada Jaeebom.

“Kamu yakin?” kata Minhyuk melihat Youngjae yang tak bergairah dan Yugyeom di dalam gendongannya.

“Aku sudah janji pada mempelai,” Jaebeom melepas penutup lensa dan mulai mengatur fokus kamera, Minhyuk yang melihat aktivitas itu meringis, ia tahu Jaebeom profesional tapi dengan Yugyeom di dalam gendongannya membuat Jaebeom terlihat kewalahan.

“Bagaimana kalau Yugyeom—”

“Maaf,” potong seorang yang datang tiba-tiba, “Apa aku terlambat?”

Jaebeom menoleh dan tersenyum lebar, mulut Minhyuk bertahan terbuka melihat siapa yang datang.

“Sudah kubilang biar kujemput tapi kamu menolak,” kata Jaebeom menyeringai, “Kenalkan, ini Minhyuk, dia asistenku. Minhyuk ini Jinyoung.”

Mereka bersalaman, membuat Minhyuk kembali sadar dan memperkenalkan dirinya.

Youngjae sudah heboh menempel di dekat Jinyoung, mengatakan banyak hal tentang, “Jinyoung hyung sangat tampan!” dan “Pakaian kita sama!”

“Kamu akan memutar jauh, dan itu akan lebih lama lagi,” Jinyoung berjongkok merapikan dasi Youngjae yang miring lalu berdiri mengambil Yugyeom di gendongan Jaebeom.

Minhyuk yang melihat itu hampir tak berkedip, selama ia menjadi rekanan fotografer Jaebeom ia tak bisa bergerak selincah Jinyoung mengambil alih Yugyeom. Bahkan saat Yugyeom lebih kecil dari itu, Minhyuk tidak tahu menggendong bayi.

Jinyoung dengan mudahnya memindahkan gendongan Yugyeom dari Jaebeom ke dirinya, dan bayi terlihat sudah mengenal Jinyoung.

“Terima kasih,” ujar Jaebeom, “Aku tidak tahu bagaimana membalasmu, Jinyoung—”

“Tidak usah dipikirkan, aku yang menawarkan diri,” kata Jinyoung, “Kami akan menunggu di sini, kamu bisa mulai bekerja dengan tenang, mereka aman denganku.”

Jaebeom mencubit pipi gembil Yugyeom dan mewanti-wanti Youngjae agar tak berulah, sebelum akhirnya berlalu dari sana menuju titik di mana nantinya ia mengambil gambar kedua pengantin.

Youngjae terus-terusan menempel pada Jinyoung, berceloteh tentang ini itu yang Jinyoung sulit cerna sebab ia mencampur aduk semua cerita, sementara Yugyeom tenang dalam gendongannya dan sesekali tertawa melihat kakaknya heboh di sisinya.

“Siapa dia?” tanya Minhyuk saat dirinya dan Jaebeom sudah berada dari jauh dari jangkauan pendengaran Jinyoung, “Aku tidak pernah melihatnya.”

“Teman lama,” jawab Jaebeom santai, “Memang kamu tidak kenal, tapi kurasa sepuluh tahun lalu kamu mungkin pernah melihatnya di sekitar kampus.”

Minhyuk menatapnya curiga, “Tapi kenapa baru sekarang aku melihatnya, maksudku…” Minhyuk menarik alisnya terangkat.

“Tidak usah berpikir kejauhan, dia temanku dan guru Youngjae, kalau itu yang membuatmu berpikir kenapa dia dekat dengan anak-anakku.”

“Aaah, begitu rupanya,” tetapi Minhyuk masih belum puas, “Tapi, tetap saja Jaebeom, kenapa aku baru melihatnua sekarang?”

Jaebeom mengedikkan bahunya, “Mungkin takdirmu bertemu dengannya baru hari ini.”

*

Beberapa hari lalu saat mereka mencari hadiah pernikahan untuk Mark dan Jackson, Jinyoung bertanya, siapa yang akan menjaga anak-anak Jaebeom saat ia bekerja di acara pernikahan.

Jaebeom bilang, biasanya dia tidak terganggu dengan anak-anaknya, Youngjae cukup ia percaya menjaga adiknya jika diletakkan di dalam kereta dorong bayi.

Jinyoung berdecak, sedikit mencela tindakan Jaebeom. Meninggalkan anak balita bersama bayi satu tahun di tengah kerumunan manusia bukanlah tindakan yang bijak.

Jaebeom tersentil, tak bisa memberi pembelaan, tapi mau bagaimana lagi, keadaan memaksa mereka begitu, yang ada Youngjae dan Yugyeom akan mengekorinya selama ia mengambil gambar. Jaebeom sudah membayangkan kemungkinan itu, lagipula Mark dan Jackson pun paham akan keadaannya.

“Biarkan aku menjaga mereka, kamu harus fokus mengambil gambar terbaik di momen sakral Mark hyung dan Seuni.”

Jaebeom mencoba menolak saat kalimat itu meluncur dengan mudahnya dari mulut Jinyoung, tetapi lidah Jaebeom kelu lebih dulu. Ia tak punya pilihan menolaknya.

“Youngjae akan sangat senang,” ucap Jaebeom akhirnya.

“Aku hanya mencoba membantumu tenang,” timpal Jinyoung yang sungguh berarti bagi Jaebeom.

“Aku sangat tenang dan senang, Jinyoungie,” pungkas Jaebeom lirih, tapi cukup menambah rona merah di pipi.

***

Series this work belongs to: