Chapter 1: Kali Pertama: Awal Mula
Chapter Text
Anaxagoras masih ingat betul awal mula Phainon menjadi terobsesi untuk mempunyai seorang adik. Masih segar dalam ingatannya betapa ini semua adalah salah Aglaea. Mungkin tidak sepenuhnya, sih, tapi tetap saja ada hubungannya dengan sang istri.
Itu adalah hari Sabtu terakhir di bulan Januari ketika Aglaea menerima tamu. Seorang pria dan dua anaknya yang kebetulan adalah kerabat jauh Aglaea, yakni Gopher Wood sang politikus dari negara sebelah, Sunday si balita, dan si bayi baru lahir bernama Robin. Datang menyambangi rumah mereka karena kebetulan ada pekerjaan di Okhema. Pria yang ramah dan berbudaya pun disertai putra yang penuh sopan santun, serta seorang putri mungil yang begitu manis nan menawan.
Dengan sorot penasaran, Phainon memandangi bayi dalam stroller.
“Adikku lucu, ya?” tanya Sunday sambil tersenyum ceria. “Namanya Robin seperti burung berkecet yang suaranya merdu.”
Phainon ber-“Wow!” ria.
Jarang mendapatkan tamu dengan umur sepantaran, Phainon bersuka cita dan mulai mengajak Sunday untuk melihat koleksi mainannya. Berusaha membangun pertemanan, walau hanya dalam waktu sekejap. Mungkin berharap bisa terus bermain bersama-sama. Bisa jadi dengan polosnya berpikir kalau Sunday dan keluarga akan tinggal dekat dengan keluarga Phainon.
Oh, betapa terkejutnya Phainon ketika Gopher Wood memanggil nama Sunday di tengah-tengah resital mini mereka.
“Ayo, Sunday, ucapkan salam dan terima kasih ke Bapak Anaxagoras dan Bu Aglaea,” kata Gopher Wood yang diikuti Sunday dengan sopan walau terlihat malu-malu, “Terima kasih sudah menjamu kedatangan kami, Bapak Anaxagoras dan Bu Aglaea. Terima kasih juga untuk Phainon yang mau menemani Sunday main.”
“Oh? Sudah mau pulang?” Aglaea menampilkan senyum ramah. “Menginap di sini semalam tidak apa-apa, lho. Ya kan, Sayang?”
Anaxagoras menggangguk sedikit. Agak jijik dengan cara sang istri memanggilnya di depan tamu. Tahu, sih, itu cuma cara agar orang lain tidak tahu seperti apa hubungan rumah tangga mereka yang sebenarnya, tapi kan tetap saja tidak bangetlah.
“Tidak apa-apa, Aglaea. Aku sudah memesan hotel di dekat bandara agar besok tidak terlambat.”
“Baiklah. Semoga perjalanan kalian bertiga besok lancar, ya.”
Anaxagoras tahu betul kalau senyuman Aglaea tidak asli dan hanya sebatas formalitas, tetapi ia tak mengomentari apapun karena tidak ingin berbasa-basi lebih lanjut. Pun masih mau menjaga martabat istrinya. Walau tak berminat, ia tetap perlu memerankan tokoh suami ideal di sisi Aglaea sang nyonya bangsawan Okhema.
‘Semakin mereka cepat pulang, hariku akan menjadi lebih tenang,’ pikir Anaxagoras, ‘Ini sudah lebih dari lima jam buat kami berpura-pura romantis. Melelahkan.’
Namun siapa sangka kepulangan Gopher Wood dan keluarga justru menjadi bumerang bagi Anaxagoras dan Aglaea karena mereka harus menghadapi Phainon yang tantrum parah.
“Kenapa Sunday diperbolehkan pulaaaaang?” Phainon menangis sambil berguling-guling di atas karpet ruang tamu. “Aku kan masih mau maiiiin!”
Anaxagoras menghela napas, sedangkan Aglaea berusaha menenangkan sang buah hati yang tidak mau berhenti menangis tersedu-sedu.
“Aku.. Aku mau teman main!” isak Phainon yang kini dalam gendongan sang mama. “Atau.. Atau Phainon mau adik juga biar bisa main bareng!”
Kedua orang tua langsung membatu. Tak pernah berpikir bahwa akan tiba hari di mana sang putra semata wayang meminta hal tertidak masuk akal yang tak seharusnya pernah ada. Begitu konyol, begitu gila.
Anaxagoras menggelengkan kepalanya. Tanda tidak menyetujui permintaan tersebut.
Apakah Phainon menerima hasilnya? Tentu saja tidak.
Tangis sang anak kecil menjadi lebih keras dari sebelumnya. Air mata mengalir lebih deras dari semua sungai yang ada di Okhema. Tangan dan kakinya bergerak frustasi dalam gendongan Aglaea. Nampaknya serentetan tantrum baru saja akan dimulai.
Chapter Text
“Phainon, main yuuuuk!”
Masih separuh dibedaki, Phainon melompat dari pangkuan Aglaea. Ekspresinya semangat karena sudah dipanggil temannya untuk main bersama.
“Phainon, main yuuuuk!” seru anak kembar dari luar pagar. “Phainooooon!”
“Mama, Phainon boleh main, ya? Ya? Ya?” pinta Phainon penuh harap. Bibirnya manyun sedikit. “Aku kan nggak punya adik, jadi nggak mungkin bisa main sendirian di rumah.”
Sejujurnya, Aglaea ingin sekali menghentikan putranya yang meminta izin bermain dengan anak kembar dari RT sebelah, namun ia tak tega saat melihat mata besar Phainon yang bersinar dengan manisnya. Ia punya alasan tersendiri untuk tidak menyukai Caelus dan Stelle. Tentu saja berkaitan dengan tidak berminatnya ia untuk menangani kekacauan yang akan terjadi saat anaknya ini pulang main.
Aglaea menghela napas panjang.
Terkadang Aglaea merasa putranya ini punya bakat untuk jadi orang yang manipulatif, tapi memangnya apa, sih, yang diharapkan dari hasil percampuran sifat Anaxagoras dan Aglaea?
Pada Ruang Kerja Aglaea, beberapa manekin berdiri terbalut gaun dengan desain yang beragam. Lembut dan mewahnya kain sutra murni dari peternakan ulat sutra yang dimiliki keluarganya secara turun-temurun. Sulaman benang emas asli yang membuat setiap detailnya mengkilap di bawah cahaya. Setiap gaunnya memperlihatkan keeleganan yang tidak lekang oleh waktu.
Ya, desain buatan jemarinya yang terampil memang diperuntukkan untuk mereka yang tidak hanya sebatas memiliki uang yang tak terbatas, melainkan para bangsawan layaknya dirinya sendiri.
Sebuah manekin diputar sembari ditutupi kain yang baru saja dikeluarkan dari gulungan. Sang wanita mengitari manekin tersebut dengan wajah tertekuk sedikit. Kelihatannya berpikir keras agar bisa mendapatkan ide pada desain kedelapannya yang akan dipajang pada peragaan busana pada musim depan.
“Aksen bunga atau..?” Aglaea mengelus lembutnya kain sutra. “Musim semi, ya? Pohon? Apa perlu kutanya Anaxagoras?”
Sang wanita menggelengkan kepalanya saat menyadari betapa bodoh ide yang barusan terlintas di otaknya. Meminta saran dari suaminya adalah kesahan fatal. Ia tidak mau pria itu jadi jumawa ketika mengetahui kalau pikirannya sedang buntu.
Gunting kain tidak sengaja terlepas dari genggaman Aglaea. Sang penata busana dengan hati-hati menaruh beberapa jarum di atas meja, lalu menekuk kakinya untuk meraih gunting tersebut.
BRAAAAAK
DUK DUK DUK
BRAAAAAK
DUK DUK DUK
Dua kali pintu dibanting terbuka yang diiringi derap langkah kecil nan semangat dari..
“Mama! Mama, Phainon pulaaaang!” seru Phainon yang sudah berdiri beberapa langkah di depan Aglaea. Tiga potong bunga galanthus digengamnya. “Bawain bunga buat Mama juga! Hehehe.”
.. dari Phainonlah! Siapa lagi?
Namun bukannya bahagia dengan pemberian sang anak kesayangan, wajah Aglaea justru berubah pucat pasi, lalu merah padam akibat bercampur amarah.
Di dalam Ruang Kerja Aglaea yang higienis, tubuh Phainon terlapisi cairan hitam yang bau dan lengket dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jejak kakinya kelihatan mengerikan di sepanjang lantai marmer yang belum sampai dua jam yang lalu dipel Aglaea. Satu stel pakaian baru yang Aglaea jahitkan khusus untuknya pun berlumuran sesuatu yang tak ingin sang mama tanyakan.
Duh.. Kemana perginya bocah manis nan wangi yang izin main beberapa jam yang lalu?
Aglaea memindahkan gunting kain jauh dari jangkauan.
Pasti karena bermain dengan dua anaknya Bu Kafka. Sudah jelas ini adalah pengaruh buruk Caelus dan Stelle. Tidak boleh dibiarkan.
Masih dengan wajah polos nan tak bersalah, Phainon tertawa bahagia sambil berceloteh riang, “Tadi aku kan ngajakin main masak-masakan, jadi aku sama Stelle sama Caelus nyari ikan dulu.”
Sebuah dengusan kesal terdengar dari Aglaea.
Bukan sekedar mencari ikan. Phainon pasti diajak nyemplung ke dalam got untuk mengambil beberapa ikan cere. Entah got mana di komplek perumahan ini yang sudah meleleh saljunya, tentunya Aglaea tidak tahu karena ia tidak pernah seumur hidup menginjakkan kaki di dalamnya.
Ugh! Tak hanya bermain di tempat sampah, si kembar anaknya Bu Kafka ternyata juga hobi main di got.
“Terus, terus..” Phainon menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suaranya bahagia dan ceria. “.. kami juga ngumpulin batu dan daun mangkok.”
Aglaea berusaha menarik napas dalam-dalam sembari memijat dahinya. Berusaha keras untuk menenangkan emosinya.
“Mama, lagi sakit?” Khawatir dengan gerak-gerik sang mama, Phainon maju selangkah namun langsung ditahan kedua tangan Aglaea. “Mama?”
“Jangan dekat-dekat, Phainon. Kamu..” Aglaea berpikir keras untuk mencari kata yang sesuai dan kira-kira tidak menyakiti hati putranya yang sensitif. “.. tidak boleh masuk ke Ruang Kerja Mama kalau kotor begini. Desain-desain buatan Mama nanti tercemar.”
DEG
Bibir sang anak bergetar menahan tangis. Kalimat pertama yang diucap sang mama terus terputar dalam pikirannya. Otaknya mengabaikan dua kalimat lanjutannya. Segera menganggap kalau mamanya sudah tak lagi menyayanginya.
“Phai—”
Belum sempat Aglaea mengucapkan lengkap nama Phainon, bocah lima tahun itu sudah terlanjur berlari keluar ruangan sambil menangis terisak. Bunga yang dipetiknya jatuh di antara bekas tapak kaki yang menjijikan. Betapa pemandangan yang sulit untuk diterima.
Pena merah terus bergerak di atas berlembar-lembar kertas. Suara coretan belum berhenti terdengar semenjak tadi. Berbagai kalimat dicoret berkali-kali, kemudian mendapatkan catatan di sisinya.
Tiga album musik rock sudah terputar habis, sementara masih ada setumpuk skripsi dan tesis para mahasiswa yang belum selesai diceknya. Setiap semester ada sekumpulan mahasiswa yang memilih Anaxagoras sebagai dosen pembimbing tanpa disuruh.
Apakah mereka tidak menyadari kalau sang dosen tidak berminat untuk membantu mereka?!
Mengajar memanglah pekerjaannya, tapi mengurus masa depan para mahasiswa bukanlah hal yang ingin dikhawatirkannya. Apalagi setiap baris kalimat perlu dicek olehnya terlebih dahulu mengingat ia tak bisa 100% mempercayai kemampuan berpikir para anak didiknya sendiri. Bisa saja, sih, ia masa bodoh dengan karya tulis mereka layaknya para dosen pembimbing lain, namun sayangnya Anaxagoras bukanlah tipe dosen yang seperti itu.
Tangannya menggeser ke kiri dokumen yang telah selesai dibacanya, lalu meraih dokumen lainnya dari tumpukan.
Pria itu berdecak kesal ketika menyadari lagi-lagi ada mahasiswa menulis namanya di kolom ‘Dosen Pembimbing’ dengan tidak lengkap. Ia tak pernah peduli dengan rentetan gelar yang disandangnya, namun melihat ‘Anaxa’ bukannya ‘Anaxagoras’ sungguh menyebalkan. Ingin rasanya ia menyuruh mahasiswa ini untuk kemari untuk diomeli, tetapi mungkin cuma buang-buang waktu dan tenaga.
Anaxagoras memijat pelipisnya.
“Papaaaa!”
Anaxagoras belum sempat mengangkat kepalanya saat Phainon berlari masuk Ruang Kerjanya dan langsung melompat naik ke atas pangkuannya.
“Papa, Mama udah nggak sayang Phainon lagi,” adu Phainon sambil memeluk sang papa, “Katanya aku.. aku nggak boleh deket-deket Mama lagi.”
Suara putranya ini begitu nyaring sampai menggema layaknya suara yang terpantul dalam goa. Langsung membuatnya semakin pening.
“Papaaaaaa!” panggil Phainon sembari mendusel kepalanya pada sang papa. Air mata tak berhenti mengalir. “Aku.. Aku.. Papa nggak akan suruh aku pergi juga kaaan?”
“Tch. Kamu ngomong apa, sih, Phainon?” balas Anaxagoras yang menepuk asal punggung Phainon. Matanya kembali bergerak membaca dan menganalisa tulisan mahasiswanya yang acakadut. “Jangan ngerusuhin Papa dulu. Lagi sibuk.”
“Papa sama aja kayak Mama,” Phainon menangis lebih kencang sambil menarik-narik lengan baju yang lebih tua, “Papa sama Mama kenapa, sih, sore ini nyuruh Phainon jauh-jauh?!”
Helaan napas keluar dari bibir Anaxagoras yang menunduk ke arah bocah lelaki di pangkuannya. Kali pertama ia menoleh pada putra tunggalnya semenjak anak itu berlari masuk ruangan ini. Matanya membulat sempurna karena syok.
Jujur, ia memang merasa kalau Phainon agak basah, namun tak pernah terpikirkan betapa kacau penampilan anak ini. Basah, lengket, dan bau yang menjijikkan. Tak mungkin Aglaea membiarkan Phainon keluar rumah seperti ini.
Tunggu dulu! Apakah Phainon baru saja pulang main dan tidak langsung mandi!?
“Kamu abis main dari mana, hah!?” seru Anaxagoras yang langsung bangkit dari kursinya sambil menenteng bocah kecil itu bagai karung beras, “Kenapa baumu kayak begini!?”
Yang ditanya tersenyum malu-malu kucing.
“Phainon, jawab Papa!”
“Cyrene kan diajak pulang kampung sama Tante Ely,” Phainon tersenyum dengan wajah imutnya yang biasanya mampu mengurangi amarah kedua orang tuanya. “.. jadi Phainon main sama Caelus dan Stelle.”
Anaxagoras menepuk jidatnya.
“Makanya Papa sama Mama cepetan kasih Phainon adik, jadi aku bisa main di rumah,” ujar Phainon memaksa. Bibirnya manyun dan mulai ngambek. “Aku kan nggak suka main sendirian.”
Ah.. Jadi ini salah satu akal-akalan Phainon? Dikiranya ancaman semacam ini bakal mempan!?
“Main tanpa masuk got kan bisa,” balas Anaxagoras datar. Kakinya melangkah makin cepat menuju kamar mandi. “Mengurus satu anak saja repot, apalagi ada dua yang sepertimu.”
“Hmph!”
“Ngambek pun percuma.”
“Phainon nggak mau mandi klo belum dikasih adik! Nggak mau! Pokoknya nggak mau!”
“Jangan mengada-ada, Bocah.”
Phainon meronta-ronta di dalam pegangan sang papa. Berusaha menjauhkan dirinya dari pancuran air bagai kucing. Air mata mulai menetes dalam drama tangisan bombaynya.
Jika dikiranya sang kepala keluarga bisa dimanipulasi dengan mudah lewat tangisan, rengekan, dan kelakuan aneh yang patut dipertanyakan, oh, Phainon salah besar. Ancamannya terlalu konyol. Pikirannya masih terlalu pendek. Pikiran bocah yang masih tak bisa dinalar secara rasional.
Tak peduli cara apapun yang Phainon lakukan, Anaxagoras takkan sudi mempunyai anak lagi dengan Aglaea.
Chapter Text
Gara-gara kelakuannya sendiri, Phainon dilarang main keluar rumah. Tiga hari sudah berlalu dan ia hanya bisa mendengar panggilan teman-temannya dari luar pagar. Cuma bisa memandang galau dari jendela yang sengaja orang tuanya buka.
Mengapa ia dihukum cuma karena main bareng Caelus dan Stelle waktu itu? Ia kan tidak sengaja mengotori pakaian yang dijahit Mama ataupun sepatu yang baru dibelikan Papa. Memang, sih, ia terjun ke dalam got untuk mencari ikan, tapi kan betapa kotornya air got tersebut bukanlah kesalahannya. Hukuman ini tidak adil!
Phainon berdiri di dekat jendela sambil menendang-nendang angin.
“Kamu minta teman kan?” tanya Anaxagoras yang pada detik yang sama langsung dijawabnya sendiri dengan solusi, “Makanya sekolah!”
“Bukan sekolah! Phainon maunya adik bayi kecil yang lucu kayak adiknya Sunday!”
“Kamu aja masih kayak bayi.”
“Phainon bukan bayi, Pa!” seru Phainon sambil menggembungkan pipi ketika suara tawa sang papa terdengar di telinganya. “Jangan ngetawain Phainon!”
Sambil tertawa lepas, Anaxagoras menaruh setumpuk buku pengetahuan umum di atas meja. Ia membolak-balik halaman untuk memastikan isinya sesuai dengan usia sang putra. Dipilihnya materi yang mungkin akan menarik minat si bocah yang..
“Itu buku apa, Pa?” tanya Phainon yang saking penasarannya berjalan menjauh dari jendela. Ia berjinjit dan berusaha naik ke atas meja agar bisa melihat dengan lebih jelas. “Buku baru buat Phainon?”
.. yang sejujurnya, sih, fokusnya mudah dialihkan.
Bagai melupakan keinginannya untuk main keluar rumah, sepasang tangan kecilnya asyik membuka setiap halaman buku-buku bersampul keras. Ada berbagai tema yang bisa dipelajari, namun ia cuma tertarik dengan ilustrasi yang penuh warna pun juga fitur tiga dimensi yang begitu menakjubkan. Buku tentang aneka dinosaurus, sebagai contohnya, membuat sang bocah terpana.
“Keren kan?” tanya Anaxagoras pelan seakan tak ingin membuyarkan fokus si kecil. “Ini buku kesukaan Papa pas kecil.”
“Wow!”
Anaxagoras menahan tawa yang menggelitik. Kelihatannya takkan ada lagi permohonan konyol untuknya dan Aglea. Berhasil dengan mudah, eh?
Sore itu, sesaat Aglaea melangkah masuk ke dalam Ruang Tamu, ia dikejutkan dengan setumpuk mainan dinosaurus. Di tengah-tengah ruangan, Anaxagoras duduk bersila di lantai dengan beberapa buku ensiklopedia dinosaurus yang terbuka. Suaminya yang aneh itu bahkan mengenakan piyama bermotif Brachiosaurus yang kelihatan sangat tidak nyambung dengan interior mewah rumah mereka yang ditata sedemikian rupa sesuai estetika Aglaea.
“Anaxagoras,” ujar Aglaea berusaha kalem meski aslinya kesal karena keeleganan rumahnya ternodai harta karun suaminya, “Maksudmu apa menaruh semua ini di Ruang Tamu? Nanti kalau ada tamu gimana? Berantakan dan—”
“Mama! Mama, udah selesai kerja?”
Aglaea menahan nada tinggi di balik bibirnya yang kini tersenyum kaku pada Phainon. Ia mengelus rambut putih tersebut, lalu membawa putranya masuk ke dalam pelukan.
“Mama sudah selesai di butik?” tanya Phainon sambil membalas pelukan sang mama. Ia memperlihatkan boneka dinosaurus berleher panjang yang digenggamnya erat-erat. “Aku sama Papa dari pagi main dinosaurus-dinosauruan! Seru banget!”
“Oh?” Tatapan tajam Aglaea dilemparkan pada sang suami hanya beberapa langkah darinya. “Dinosaurus?”
Bagai tidak menyadari perubahan nada suara Aglaea dibanding biasanya, Phainon dengan polosnya mengangguk-angguk.
Ujung bibir Anaxagoras terangkat layaknya mengejek. Merasa menang dari sang istri.
Sebuah hembusan napas lelah keluar di antara bibir Aglaea.
Seminggu sudah Ruang Tamunya dipenuhi berbagai pernak-pernik dinosaurus yang dikoleksi Anaxagoras. Ia tahu besarnya minat sang suami terhadap hal itu, tapi biasanya ia mampu memaksa segala benda ini tetap disimpan di Ruang Kerja Anaxagoras. Masalahnya, nih, ia jadi tidak bisa berbuat apa-apa karena Phainon juga kelihatan asyik dan senang saat memainkannya. Saat siang hari dan selesai tidur siang, si kecil bahkan mengajak Cyrene, Caelus, dan Stelle untuk main bersama di rumah.
Seharusnya Aglaea bisa bernapas lega karena putranya takkan main yang kotor-kotor di luar sana.
“Anaxagoras, kamu rapikan atau gimanalah,” kata Aglaea sambil memijat kepalanya, “Duh.. Berantakan banget bikin aku sakit kepala.”
Di tengah-tengah tumpukan boneka dinosaurus, Phainon terlelap karena kecapekan main. Senyum terpatri di wajah manisnya. Jemarinya memeluk gantungan kunci Brachiosaurus yang baru dibelikan sang bapak tadi sore.
Dengan hati-hati, Anaxagoras mengangkat putranya dari lantai. Sangat perlahan karena tidak ingin membangunkannya. Dalam gendongannya, dengan mata tertutup, sang anak bergerak sedikit untuk mencari posisi yang nyaman.
“Anaxagoras, kamu balik sini lagi, lho, selesai mindahin Phainon ke kamar.” Aglaea menyeret wadah mainan berukuran besar, lalu memasukkan semua mainan yang tergeletak di atas meja, kursi, dan lantai pun yang tersembunyi di kolong. “Ini kan bukan barangku, ya, jadi kalau tidak sengaja terbuang jangan menyalahkan.”
Tentu saja aslinya tak mungkin ada satu barang milik Anaxagoras yang dibuang Aglaea. Sekesal-kesalnya ia, sih, paling parah cuma dipindahkan ke Ruang Kerja Anaxagoras. Mereka berdua memang tak saling cinta, namun tetap menjaga batas-batas tertentu supaya bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang hambar tanpa masalah berlebih.
Tapi suasana hatinya sedang kacau malam ini, sehingga rasanya Aglaea ingin sungguhan membuang semuanya.
“Anaxagoras, kamu dengar atau tidak, sih?”
Ketika wanita itu memutar kepalanya, pria yang sejak tadi diajak bicara sudah tak di sana.
“Duh!” gerutu Aglaea sewot sambil meneruskan kegiatan bersih-bersihnya, “Bales omonganku atau apalah kalau mau pergi! Ngeselin banget punya suami tapi kayak ngomong sama tembok!”
“Apa? Ngomongnya yang jelas, Kanjeng Ratu Aglaea,” balas Anaxagoras sambil menepuk punggung istrinya yang terperanjat karena kemunculannya yang tiba-tiba. Entah sejak kapan ia kembali dan mendengarkan omongan sang istri. “Padahal aku mindahin Phainon cuma bentar, eh, ternyata udah dikangenin aja sama si Kanjeng Ratu.”
Aglaea langsung buang muka. Ekspresinya masih kesal, namun pipinya sedikit merona selain amarah. Suaranya pelan ketika menimpali dengan, “Kepedean!”
Anaxagoras tak kuasa menahan tawa renyah.
Tanpa banyak bicara lagi, keduanya mulai merapikan semua mainan dan buku tentang dinosaurus. Sudah seminggu terakhir mereka menutup hari dengan membersihkan ruang tamu hanya untuk diberantakin lagi oleh sang anak esok hari. Siklus membosankan nan melelahkan.
Tapi apa mau dikata? Lebih baik merapikan mainan satu anak daripada dua, ya kan?
Chapter Text
Dengan polosnya, siang ini Phainon bertanya tentang dari mana bayi berasal. Kedua orang tuanya selalu berkilah setiap kali pertanyaan itu terlontar. Ia tak yakin bocah-bocah ingusan seperti mereka bisa menjawab keingintahuannya, tapi bisa saja kan ada pengetahuan yang bisa dibagi untuknya.
“Kata Mama Cyrene, sih, bayi dibuat dari cinta manusia yang romantis.”
Dan benarlah Cyrene yang tahu banyak hal punya jawaban.
“Hmm.. Mamanya Stelle bilang kalau kami dibuat dalam tabung,” sambar Stelle sambil berpikir keras. “Mungkin kayak ilmuwan yang di tv-tv?”
“Ya! Tetesin air warna-warni ke dalam gelas kaca terus BOOOOOM!” Caelus mendadak melompat dari posisi jongkok. “Jadi asap dan kembang api!”
Wah! Stelle dan Caelus mungkin tahu juga jawabannya, lalu mengapa hanya Phainon yang tidak mengetahui apa-apa?
Stelle dan Caelus masih asyik melompat ke sana-sini sambil meneriakkan, “BOOOOOM!” pun juga berpose sok keren. Rambut abu-abu panjang si bocah perempuan dikibaskan, sementara yang satunya mulai koprol sampai menggelinding terpentok dinding. Nampak seru dalam dunia imajinasi mereka sendiri. Menyenangkannya punya saudara kembar seperti ini.
Duh.. Kan Phainon jadi pengen punya saudara yang bisa diajak seru-seruan seperti Stelle dan Caelus.
Di samping pintu, Cyrene asyik mewarnai halaman di buku bergambar brachiosaurus yang diberikan si empunya rumah. Bocah perempuan yang hanya setahun lebih tua itu terkikik geli dengan tingkah laku ajaib si kembar. Tak menyalahkan pun tak mempertanyakan jawaban yang diberi Stelle dan Caelus.
Oh.. Justru Phainon-lah yang memerlukan jawaban.
“Cyrene, Cyrene,” tanya Phainon bingung, “Cinta dan romantis itu apa?”
Yang ditanya menoleh.
“Phainon nggak ngerti maksudnya apa.”
Cyrene menaruh krayon merah muda di tempatnya lagi, lalu menepuk-nepuk dagunya saat mengucap bagai tahu segalanya, “Cinta ’tuh urusan orang dewasa. Sepasang manusia harus saling jatuh cinta klo kata Mamaku.”
“Berarti Papa-Mama Phainon harus saling cinta?”
“Emangnya Om Anaxa dan Tante Aglaea nggak cinta-cintaan?”
Stelle dan Caelus tetiba berhenti melompat-lompat untuk mendengarkan obrolan serius Cyrene dan Phainon. Mereka dengan kaget langsung mendekat ke arah bocah lelaki itu hingga dua wajah mereka hanya beberapa puluh sentimeter darinya. Ekspresi wajah mereka memperlihatkan keheranan.
Ada yang salahkah dari ucapan si bocah berambut putih kebiruan?
“Phainon nggak tau juga, sih,” sembari berpikir keras, dijawabnya dengan suara penuh keraguan, “Nanti Phainon tanya, deh.”
Si kembar menoleh pada satu sama lain.
“Cinta-cintaan emangnya apaan, sih?” tanya Caelus yang kebingungan dengan obrolan yang terlalu di luar pengetahuannya, “Kenapa harus cinta-cintaan biar punya adik bayi?”
Merasa tiga pasang mata menatap serius padanya, yang paling tua mengeryitkan dahinya. Ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya, sih, karena sang mama hanya menjelaskan sebatas itu. Tidak yakin harus menjelaskan seperti apa, Cyrene memutuskan untuk berimprovisasi.
Tanpa banyak basa-basi, Cyrene memeluk erat ketiga teman mainnya satu per satu. Phainon hanya mampu mengedipkan mata dengan polosnya, sementara si kembar dengan heboh segera memeluk balik.
“Kayak peluk gitu, trus cium..” ujar Cyrene separuh bertanya entah pada siapa, “.. mungkin?”
“Wadidaw! Cyrene ngerti banget!” seru Stelle dengan mata berbintang, lalu menoleh pada adik kembarnya. “Mama kita juga kan sama—”
“Hayoo! Lagi ngomongin apa, nih, bocil-bocil?”
Mendengar suara yang familiar, Phainon sontak menoleh dengan penuh semangat dan mata berkilauan sembari berseru, “Tante Cipher!”
“Mamamu ada?” tanya Cipher sambil menguyel-uyel pipi tembem Phainon. “Tante mau minta tolong, nih.”
Belum sempat dijawab oleh yang ditanya, Stelle menyahut, “Tante Aglaea lagi arisan di rumahku.”
Wanita itu cuma mengangguk-angguk dengan ekspresi aneh pun seringai bagai kucing di kartun-kartun.
“Tantenya Phainon kenapa, sih?” bisik Caelus pada saudarinya, “Rada aneh kayak Om Sampo yang jualan pulsa.”
Stelle mengangguk curiga.
Di dapur, Cipher asyik memasukkan segala bahan makanan yang bisa dimuatnya ke dalam tas gendong pun beberapa tas jinjing yang telah disiapkannya. Ia memang sengaja datang kemari untuk menjarah— oh, bukan, tapi meminjam (tanpa ada niat untuk mengembalikan) isi kulkas kakak perempuannya. Sebagai mahasiswi tingkat akhir, tentu saja ia perlu melakukan perbaikan gizi yang cara termudahnya adalah meminta makan di sini.
Yah.. Bukan salahnya, sih, mengambil tanpa izin karena sang empunya rumah sedang tidak ada.
Eits! Dia sudah tanya ke ponakan, kok! Bahkan memberi hadiah tutup mulut— eh, traktiran ke ponakan juga, lho!
Phainon dan tiga temannya duduk di meja makan sambil melahap cemilan. Kemungkinan besar bukan jajanan yang diperbolehkan Aglaea dan Anaxagoras untuk dikonsumsi si kecil jam segini, tapi Cipher ’tuh tante yang baik dan pemurah. Tak peduli apa kata dua orang tua yang penuh aturan itu, wanita muda ini hanya menjalankan perannya untuk mengisengi— ups, menemani sang keponakan unyu.
“Gimana jajanannya? Enak / nggak?” tanya Cipher tanpa menoleh. Ia tengah sibuk memilih buah-buahan tersegar yang bisa dibawa pulang ke kosan. “Pasti enaklah, ya, nggak mungkin enggak.”
Phainon mengangguk semangat dengan pipi yang belepotan cokelat.
Si kembar buru-buru mengumpulkan bungkus cokelat koin setelah isinya habis dimakan. Kelihatannya berniat untuk membawa sampah ini pulang, entah untuk apa. Sementara itu, Cyrene memilih untuk membawa pulang porsi cokelatnya.
“Nanti jangan lupa cuci muka sama sikat gigi klo abis makan,” ujar sang tante yang kini memasukkan berbagai lauk dari freezer ke dalam tas jinjing. “Soalnya klo ketahuan bisa dimarahi Mama dan Papa.”
Si kecil berambut putih kembali mengangguk dan buru-buru berlari ke kamar mandi.
Berhenti sesaat dari kegiatannya, Cipher terkekeh melihat tingkah laku ponakannya yang amat sangat penurut.
Isi kulkas dan rak di dapur sudah ludes tak bersisa. Semua berakhir dikemas sedemikian rupa agar muat di dalam tas-tasnya Cipher. Bagaimana caranya pulang dengan harta berharga ini? Ah.. Itu soal mudahlah.
Ada hal penting yang perlu didiskusikan, lho.
“Ngomong-ngomong..” Cipher ikut duduk di meja makan bareng seorang balita. Ketiga teman Phainon baru saja pulang karena langit sudah semakin menjingga. “.. tadi kalian lagi asyik ngomongin apa sebelum Tante dateng?”
Hanya mau memastikan bahwa telinganya tak salah dengar, sih.
Dengan ekspresi galau yang berlebihan, Phainon memainkan ujung helai rambutnya. Si kecil membuka mulut hanya untuk menutupnya kembali bagai ikan koi. Kelihatan sedikit tak yakin mau memberitahu sang tante.
“Phainon?”
Dengan bibir yang makin manyun dan mata berlinang, Phainon menjawab, “Phainon.. Phainon pengen punya adik, tapi Papa-Mama nggak mau ngasih.”
Duh.. Kasihan.
Ya kali keinginan kecil si bocah manis ini tidak bisa dikabulkan Aglaea dan Anaxa? Memangnya tidak luluh dengan ekspresi culun— maksudnya, ekspresi menyedihkan ini anak? Apa segitu susahnya buat pasangan tersebut bikin anak lagi?
Eh..?
Eh! Sebentar! Jangan-jangan memang sebenarnya karena mereka ’tuh tidak pernah berniat memiliki anak!? Jangan-jangan keseharian Aglaea dan Anaxa itu beneran sekaku kanebo kering!? Menikah tujuh tahuan, tapi cuma sebatas memenuhi tuntutan sosial sebagai pelengkap usia!?
Duh, aduh! Skandal besar, dong, kalau sampai terdengar keluar!
Cipher mengerutkan keningnya sambil berpikir keras. Ia harus membantu Phainon mewujudkan keinginannya demi keharmonisan rumah tangga kakak tersayangnya. Dukungan ini amat sangat penting.
“Tenang, Phainon,” ujar Cipher sembari menepuk-nepuk bahu keponakannya. “Tante Cipher akan membantumu.”
Ya, iyalah, bantuan baik nan tulus dari hati terdalam.
Oh, bukan.. Bukan karena Cipher ada niat mengisengi Aglaea dan Anaxa. Bukan karena Cipher ingin melihat dua orang itu frustasi. Bukan karena Cipher ingin menonton drama epik rumah tangga mereka yang perlu dibumbui.
Jadi di sinilah Cipher, duduk menggosip seru sambil memutar otak.
Anaxagoras tidak percaya karma atau hal-hal spiritual, tapi melihat seisi dapurnya kinclong tanpa menyisakan satu bahan makanan pun membuatnya teringat sikap sok menang yang ia tunjukkan pada Aglaea beberapa waktu lalu. Tanpa perlu menginterogasi sang putra semata wayang, pria ini jelas tahu betul siapa dalang di balik kegilaan ini. Hanya ada satu entitas yang selalu datang tak dijemput dan pulang tak diantar dengan hobi nyeleneh berupa suka mencuri barang milik orang lain.
Ya, itulah Cifera alias Cipher si adik ipar.
“Papa, Papa, Phainon gambar ini buat Papa,” ujar Phainon yang menyodorkan secarik kertas HVS dengan semangat 45. Senyumannya begitu lebar untuk menampilkan gigi-gigi susu. “Tadi kubikin sebelum Papa pulang.”
Apalagi lihat ’tuh gerak-gerik anehnya Phainon yang bagai abis dicekoki ide dan akting ala kadarnya.
Tak usahlah menoleh pada gambar buatan sang anak karena ia sudah mampu menebak kalau anaknya ini pasti dipandu seseorang untuk menumpahkan permintaan dalam bentuk ilustrasi. Gambar acak-kadut yang masih cukup bisa dimengerti.
“Papaaa, lihat dulu gambar buatan Phainon!” pinta Phainon yang menyodorkan paksa kertas di tangannya. “Lihat siniii! Lihat!”
Anaxagoras memutar bola matanya. Tidak berminat sama sekali. Tak usahlah ia melihat hasil karya putranya.
“Paaaa!”
“Phainon, Papa kan sudah bilang kalau Papa nggak mau ngasih kamu adik,” balas Anaxagoras sambil menggerutu di depan kulkasnya yang kosong melompong, “Dasar Cifera.. Ngisi kulkas dan rak itu butuh duit. Emang dikiranya makanan bisa muncul dari ruang hampa?!”
Phainon cuma bisa manyun sambil menendang-nendang udara. Tangannya masih menggenggam erat kertas di mana ia menggambar keluarga kecilnya dengan tambahan suatu corat-coretan lingkaran kecil yang dimaksudkannya sebagai bayi.
“Mamamu mana?” tanya Anaxagoras yang kini menyalakan ponsel pintar untuk memesan makan malam secara daring. “Sudah jam segini, kok, belum balik?”
“Kayaknya masih arisan di rumahnya Stelle dan Caelus,” jawab Phainon sambil ikut melihat beragam menu makanan di layar ponsel sang bapak. Kertas berisi gambarannya jatuh terlupakan dari tangan. Wajahnya polos nan menggemaskan saat menginfokan, “Oh! Mama tadi sudah bikin lauk sebelum berangkat; pai apel juga.”
Gara-gara kelakuan si adik ipar, bagaimana cara Anaxagoras menjelaskan ke putranya kalau tidak ada sesuap makanan malam yang tersisa? Bocah ini pasti bakal makin tantrum saat tahu makanan penutup kesukaannya sudah tak ada lagi.
Anaxagoras menghela napas panjang.
Yah.. Sudahlah. Mungkin tantrum soal pai apel lebih mendingan ketimbang minta adik bayi?

Jahe_bakar_hot on Chapter 1 Wed 28 May 2025 08:58AM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 1 Sat 31 May 2025 06:15PM UTC
Comment Actions
tofutofu on Chapter 1 Wed 28 May 2025 04:29PM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 1 Sat 31 May 2025 06:15PM UTC
Comment Actions
Hazakura_no_Haka on Chapter 2 Mon 02 Jun 2025 03:29AM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 2 Mon 02 Jun 2025 10:53PM UTC
Comment Actions
phantasmaXw on Chapter 3 Tue 03 Jun 2025 11:33AM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 3 Fri 01 Aug 2025 10:51AM UTC
Comment Actions
LiveLaughAglanaxa (Guest) on Chapter 3 Thu 05 Jun 2025 04:08PM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 3 Fri 01 Aug 2025 10:55AM UTC
Comment Actions
bintangbesar (Guest) on Chapter 3 Thu 05 Jun 2025 05:45PM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 3 Fri 01 Aug 2025 10:54AM UTC
Comment Actions
Lawxnanamin on Chapter 3 Mon 30 Jun 2025 08:53PM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 3 Fri 01 Aug 2025 10:56AM UTC
Comment Actions
phantasmaXw on Chapter 4 Tue 29 Jul 2025 04:47AM UTC
Comment Actions
JusDe5 on Chapter 4 Fri 01 Aug 2025 11:02AM UTC
Comment Actions
Leleora on Chapter 4 Tue 29 Jul 2025 11:18AM UTC
Comment Actions
LiveLaughAglanaxa (Guest) on Chapter 4 Fri 08 Aug 2025 12:02PM UTC
Comment Actions
Akariiiimou on Chapter 4 Tue 02 Sep 2025 04:00AM UTC
Comment Actions
satsuyurami on Chapter 4 Thu 11 Sep 2025 12:29AM UTC
Comment Actions