Actions

Work Header

mungkin kita akan mati esok hari

Summary:

“Menurutmu, ke mana perginya orang-orang yang sudah mati?”

Jari telunjuk Yoo Joonghyuk berjengit. Kematian bukanlah topik yang menyenangkan, tetapi Kim Dokja selalu punya seribu satu cara untuk membahasnya. 

Notes:

haiiii! sudah lama tidak menulis joongdok, huhu. saya ga yakin apakah ada yang baca, tapi saya nikmatin waktu nulis ini (padahal ngebut, abis nulisnya tanpa plot, dan di tempat saya udah jam satu pagi), niat ingin drabble 500 kata jadi nembus 1k. selamat membaca!
.
Omniscient Reader’s Viewpoint (c) Sing-Shong.
tidak ada keuntungan komersil macam apa pun atas pembuatan fanfiksi ini.

Work Text:

“Kau habis mimpi buruk, ya?”

Yoo Joonghyuk baru saja muncul di pintu dapur dengan gaya selaik budak korporat dikejar deadline dan itu adalah ucapan selamat pagi yang lolos dari bibir Kim Dokja. Manis sekali; seperti balok-balok gula di dalam toples dekat cangkir kopi Kim Dokja. Kalau Yoo Joonghyuk tidak berusaha menahan keki di hati, atau pening yang menjalar dari tengkuk hingga kepala sampai bibirnya gagal meluncurkan protes. Mungkin dia salah posisi tidur, atau ucapan Kim Dokja barangkali ada benarnya. 

Kursi di hadapan Kim Dokja kosong, yang lekas Yoo Joonghyuk tarik agak kasar, gerit gesekan antara kaki kursi dan lantai sedikit membuat kuping Kim Dokja berdenging. Jangan rusak properti rumah, tolong, tetapi tidak jadi Kim Dokja lontarkan begitu wajah pria di hadapannya kini terlihat lebih jelas. Rambut bangun tidurnya berantakan, ada kantung mata di sepasang kantung matanya, garis bibir datar (meski toh bibir Yoo Joonghyuk selalu seperti itu dan kalau pun berubah, hanya terdapat dua pilihan; menekuk ke bawah, atau garis lurus), dan separuh nyawanya yang belum terkumpul. Ketika Kim Dokja menatap balik sepasang iris mata Yoo Joonghyuk, mau tak mau ia jadi cemas.  

Ia meraih teko dan cangkir di sudut meja makan, kemudian menuangkan air mineral ke dalam cangkir, dan cangkir itu digesernya ke hadapan Yoo Joonghyuk. 

“Mimpi apa?” tanya Kim Dokja, lebih spesifik. Topik tentang mimpi belum ia lepas. “Tidak biasanya kau bangun benar-benar badmood begini. Meskipun yah, badmood kadang bisa jadi nama tengah―”

“Kau.”

“Ya?”

“Aku bermimpi tentang kau.” 

Oh.” Baiklah, ini menarik. Terus terang saja, Kim Dokja tidak bisa menahan cengir di bibir, antara geli dan terkejut. “Apa nih? Sudah menggombal di pagi hari, tumben. Apa yang kau mimpikan?”

“Kau mati.”

“Oh.” 

Rupanya berharap terlalu banyak itu tidak baik. Apalagi kalau akhirnya hanya akan dihempaskan kembali ke dasar tanah. Alih-alih merasa romantis hingga perut tergelitik karena sayap kupu-kupu, tawa Kim Dokja spontan membahana; BAHAHAHA! Disusul oleh sesak dan bunyi ngik ngik seperti lengking babi. Satu tangan Kim Dokja memukul permukaan meja dengan keras, terlalu keras sampai-sampai Yoo Joonghyuk beringsut untuk meraih pergelangan tangannya. Tidak keras, tapi cukup agar telapak tangan Kim Dokja tidak berubah menjadi merah dengan rasa sakit terbakar. 

Cekalan Yoo Joonghyuk tidak Kim Dokja tepis, ia masih terkikik (kali ini bunyinya seperti ringkik kuda) dan tangan kiri sengaja dipakai untuk membekap mulut supaya tawanya tidak lolos lagi. Pipinya sempat mengembung, kekeh ringan mengudara, sebelum akhirnya berhenti karena kehabisan napas.  

Ketika Kim Dokja mendapati reaksi Yoo Joonhyuk berupa kerut di kening dan binar mata kosong, ia berhenti sepenuhnya, lalu tertegun. Perlahan, jemari Yoo Joonghyuk yang melingkar di pergelangan tangan Kim Dokja mulai terlepas, terkulai di atas meja. Ujung jari kelingking mereka nyaris bersentuhan. 

“Sori,” bisik Kim Dokja parau, “aku cuma tidak menyangka kau akan bilang begitu.” Seharusnya ia tahu, kematian dan canda bukanlah perpaduan yang pantas. Terlebih di hadapan Yoo Joonghyuk. “Bagaimana aku mati?” 

Sudut mata Yoo Joonghyuk mengerling Kim Dokja, kali ini ada luka melintas di matanya. Kim Dokja paham akan ke mana arahnya pembicaraan pagi ini. 

“Masih di tempat yang sama. Aku berdiri di lorong rumah sakit, kau dan mesin-mesin di tubuhmu. Kau yang hampir tidak bernapas,” jeda sejenak, lalu, “kau yang akhirnya tidak bernapas.” 

Seakan diingatkan oleh fragmen memori dua tahun silam, bahu kanan Kim Dokja berdenyut nyeri. Walau perasaan sakitnya tidak segila kala itu, tidak saat ia terbangun dari tidur panjang yang terasa bertahun-tahun lamanya. Yoo Joonghyuk menyebutnya koma, Kim Dokja menganggapnya sebagai perjalanan melintasi antariksa. Atau astronot yang melayang tak tentu arah di antara benda-benda celestial, sebab ingatan terakhir Kim Dokja sebelum semestanya hilang adalah kepingan kaca berhamburan acak. Mungkin waktu itu ia sedang menjadi bintang sebelum akhirnya siuman, tiga minggu kemudian. 

Sebagai bayaran pengganti nyawanya yang kembali, bahu Kim Dokja tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kim Dokja akan kewalahan jika mengangkat benda berat sampai melewati kepalanya, sakitnya seperti aliran listrik dari kuku kaki hingga ujung ubun-ubun. Jelas kecelakaan beruntun bukanlah pengalaman yang menarik.  

Kim Dokja menitik-nitik punggung tangan Yoo Joonghyuk, berharap gerakan kecilnya melemaskan kaku di buku-buku jari pria itu yang mulai memutih. 

“Menurutmu, ke mana perginya orang-orang yang sudah mati?”  

Jari telunjuk Yoo Joonghyuk berjengit. Kematian bukanlah topik yang menyenangkan, tetapi Kim Dokja selalu punya seribu satu cara untuk membahasnya. 

“Arwahmu mungkin akan menyangkut di tepian kawah-kawah kering di bulan, atau ikut tersapu badai Jupiter.”

Pfft―cih! Jupiter terlalu jauh, limitku cuma sampai gurun Mars.” Balok tawa Kim Dokja mengalun renyah, renyah sekali. “Kenapa tidak pilih yang lebih romantis, sih? Jadi bintang, misalnya? Penyair kan selalu bilang begitu, mereka yang mati akan selalu ada dalam bentuk kerlip bintang di malam hari. Mengawasimu dari atas. Bagaimana?” 

Dua alis Kim Dokja naik turun dengan jenaka, Yoo Joonghyuk menyentil keningnya tanpa tedeng aling-aling, Kim Dokja mengaduh sakit.

“Daripada jadi bintang,” sahut Yoo Joonghyuk, “kau tetap di sini saja.” 

“Begitu?”      

“Bintang terlalu jauh.” 

Kim Dokja menopang dagu dengan satu tangan, senyumnya terulas simpul. “Apa yang akan kau lakukan kalau aku mati?” 

Peningnya semakin menjalar, bintang itu berubah menjadi kunang-kunang di mata Yoo Joonghyuk. “Hentikan. Aku tidak mau membahasnya.” 

“Hei, hei, ayolah, sesekali kita perlu bicara topik seperti ini.” 

“Seperti tidak ada topik lain saja.”

“Banyak, kok. Tapi kan kebetulan saja bahasannya jadi ke sana kemari,”

Balasan Yoo Joonghyuk tidak kunjung datang, dia meraih cangkir yang sempat terlupakan dan menegak isinya hingga habis tak bersisa. Di waktu-waktu tertentu, misal seperti sekarang ini, pembicaraan mereka akan menggantung tanpa arah yang jelas. Terkadang ditinggalkan begitu saja, terkadang akan muncul lagi pada momentum yang tak terduga. Han Sooyoung menamai mereka pasangan bau tanah―dibandingkan cinta bersemi menggebu-gebu bagai remaja dimabuk kasmaran, Kim Dokja dan Yoo Joonghyuk terlihat selayak pasangan tua yang sedang menikmati sisa-sisa berjalannya waktu. Hanya saja, kulit keduanya belum dihiasi keriput. Ah, lagi-lagi berhubungan dengan kematian. 

“Aku tidak akan bertahan.” 

Kim Dokja mendongak, luka di mata hitam Yoo Joonghyuk belum lenyap. Nada suaranya berbilur konfesi permohonan. 

Tahu kalimat bentuk hiburan palsu tidak akan mempan, Kim Dokja membalas. “Kau harus bertahan.” 

Untuk kali pertama di pagi hari itu, tawa Yoo Joonghyuk mengalun pelan. “Kalau kau sih, pasti bisa bertahan. Melanjutkan hidup seperti biasanya.”

“Kau berkata seolah-olah aku tidak akan berduka.” 

“Kau tahu bukan itu maksudku. Kau akan berduka, kau perlu waktu untuk menerimanya, tapi kau bisa bertahan.” 

“Kalau aku bisa bertahan, kenapa kau tidak bisa?” 

Lagi-lagi jawaban Yoo Joonghyuk menggantung, tetapi Kim Dokja tidak memaksa. Sebab pria itu bukanlah seseorang yang akan berkata karena separuh hidupku ada padamu, atau mungkin karena aku mencintaimu sebegini besarnya, atau juga bersamamu tidak jauh berbeda seperti bernapas―secara gamblang. 

Hal yang paling menyakitkan dari kematian adalah menerima bahwa hidup akan terus berlanjut di saat mereka yang biasa bersamamu tidak akan kembali lagi. Selaik potret foto reuni, perlahan-lahan jumlah wajah-wajah itu berkurang seiring berjalannya waktu, bertahan dalam memori.       

Merasa bahwa topik obrolan pagi itu akan berlanjut di kemudian hari, pun sadar kalau detik berganti menjadi menit yang dihabisi oleh hening, Kim Dokja bangkit berdiri. Ia bermaksud untuk menyiapkan sarapan ketika perutnya dirasa mulai merengek, tetapi lekas terhenti ketika ia melewati Yoo Joonghyuk dan lengan dicekal erat. Ia biarkan bagaimana Yoo Joonghyuk menarik tubuhnya mendekat hingga wajah berkantung mata tebal itu terbenam di perut Kim Dokja. Telapak tangan Yoo Joonghyuk berpindah di belakang punggung Kim Dokja, tidak ditepis, tidak juga berusaha melepaskan diri. 

“Bicara, Kim Dokja. Bicara apa saja.” 

Tak berapa lama, pelukan Yoo Joonghyuk dikembalikan. Satu tangan Kim Dokja yang lain menepuk puncak kepalanya, sesekali menarik sejumput rambut (sengaja agak keras, kulit kepala akan terasa sakit) sebagai tanda bahwa mereka jauh dari alam mimpi, meski Yoo Joonghyuk tetap tidak berkutik. 

“Mau dengar buku yang baru aku baca semalam? Kau harus tahu tokoh utamanya benar-benar sinting―” 

Mungkin kita akan mati esok hari, diam-diam Kim Dokja berkontemplasi, dan sengaja ia simpan topiknya untuk dijadikan obrolan lain di hari-hari yang akan datang nanti. 

Series this work belongs to: