Work Text:
“Fènghuáng,” Líng seakan-akan bisa mendengar ucapan pertapa jalanan itu lagi, “ Fènghuáng,” kata-kata itu bergema lagi, Líng bisa merasakan jari kasar pertapa tersebut menyusuri bagian dalam lengan bawahnya, tempat tanda kebiruan kecil menghiasi kulitnya sejak ia baru lahir. Mata pertapa itu berbeda salah satunya, Líng masih ingat persis, meski kenangan itu sudah berusia sepuluh tahun. “Salah satu leluhurmu adalah mereka yang tinggal di Kunlun. Kau adalah bagian dari kehidupan mereka, dan kelak kau akan menemukan Lóng-mu sendiri. Kemudian melihat takdir yang tak sama.”
Saat itu, Líng bertanya apa yang harus ia lakukan dengan tanda itu. Pertapa itu hanya menyeringai, memperlihatkan gigi-geliginya yang kehitaman dan penuh dengan aroma rempah yang tidak Líng kenali. Apa pentingnya tanda ini? Apakah aku akan berbuat hal besar?
Lagi-lagi, perempuan tua itu hanya tertawa. Ia tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Menggantung pertanyaan Líng di udara, dan yang berikutnya, kenangan tersebut mengabur menjadi ledakan warna yang seperti api, warnanya begitu cerah dan membuat Líng ingin melarikan diri dari mimpi.
Dan yang aneh, ia menyadari ia sedang berada di dalam mimpi. Ia masih belum bisa melihat, mencari berbagai cara untuk melarikan diri dari ledakan cahaya tersebut.
Tiba-tiba saja, ia berada di sebuah padang rumput yang sangat luas, tidak ada apapun kecuali rumput dan tanah yang membentang sampai ke horizon. Langit mendung, gelap dan berkilat. Ledakan cahaya dari kilat menjelma menjadi dua sosok yang saling berkelit di atas langit, seolah menari tetapi barangkali bukan hanya itu. Mereka beradu, sepasang makhluk surgawi yang hanya ada di buku-buku sejarah: naga dan foniks. Dua makhluk yang dianggap sebagai pasangan sejak masa purbakala. Kilatan cahaya kuning dan biru gelap meledak lagi di angkasa, sekarang membutakannya.
Ling terbangun.
Kelas Profesor Farwell dimulai lebih cepat karena seluruh siswa telah berkumpul lima menit sebelum jam masuk. Sebuah kebiasaan dari pria paruh baya berdarah Gaelic itu, yang terkadang membuat Líng lelah. Ia terpaksa mengikuti alur pengajaran sang profesor yang terlalu cepat, seperti irama hidupnya yang juga harus selalu maju dalam waktu singkat. Dia selalu bicara terlalu cepat dengan dialek yang berubah-ubah setiap minggunya. Begitulah yang terjadi ketika seseorang menguasai enam bahasa dengan fasih, dan tiga bahasa cadangan yang sesekali muncul sebagai fenomena code mixing yang membuat siswa bingung.
Bunyi gedebuk buku tebal Profesor Farwell yang berjumlah tiga buah membuat siswa-siswanya menegakkan punggung. Tegang, was-was. Pelajaran apalagi yang akan disampaikannya hari ini? Profesor Farwell tidak pernah berjanji. Dia selalu membuat kelasnya sebagai kejutan. Dia tidak kejam, dia jarang menghukum, tapi caranya mendidik membuat semua orang was-was hanya dengan caranya menekan semua orang untuk mengikuti arus pikirannya.
Kali ini, matanya tertuju pada Ling. “Nona Fèng.” Dia mengedikkan dagunya. “Tuan Lung.” Dia juga mengarahkan pandangannya pada siswa lain di sayap kanan kelas, duduk pada titik yang simetris dari Ling. Lung Wēi, satu-satunya orang Asia selain Líng di tingkat yang sama. Berasal dari Kanto, meski dia bilang sebelum berangkat ke Babel dia sempat tinggal di beberapa kota di mainland dan pulau tempat asal Ling. Orangtuanya sering berpindah-pindah tempat berdagang, katanya.
Lirikan siswa lain terarah bergantian pada mereka berdua. Líng merasa seperti mendapat vonis antara hidup dan mati.
“Kalian berdua pasti akan menyukai tema diskusi kali ini.” Dengan penyebutan diskusi, hampir pasti semua akan berujung pada perdebatan. Selalu begitu. Profesor Farwell mengajar kelas etimologi, tetapi dia lebih senang mengadu pikiran siswa-siswanya. “Karena khusus untuk minggu ini, kita akan beralih ke sinologi. Etimologi dari kata asli bahasa Tiongkok yang tidak punya padanan pada bahasa lain, yang barangkali suatu saat akan berguna untuk perak-perak tertentu.”
Líng terbagi: antusias sekaligus takut. Mandarin adalah salah satu bahasa fasih dari lidah Profesor Farwell. Bagaimana jika ia gagal memberikan argumen yang baik? Ia akan dipermalukan sebagai warga asli di depan pria kulit putih yang bahkan menguasai bahasa tersebut sebagai bahasa keenam atau ketujuhnya. Ia hanya punya sedikit sisa kepercayaan diri.
“Ada sebuah istilah yang menjadi bagian dari definisi universal tentang cinta yang berasal dari bahasa Tiongkok.” Profesor Farwell berjalan mengitari kelas, sesaat kemudian kembali ke depan papan tulis, menuliskan dengan keras dua karakter di sana menggunakan kapur yang sudah pendek, 缘分. “Yuánfèn,” gumamnya, “dan aku menyerahkan pada kalian untuk mendiskusikan asal kata dari dua karakter tersebut. Kuberi waktu lima belas menit. Bagi menjadi dua kelompok, Nona Fèng dan Tuan Lung menjadi ketua masing-masing kelompok.”
Mati aku. Líng menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Teman-temannya mulai bergabung ke arahnya; Elena, Daniel, dua orang siswa dari Eropa Tengah yang tak pernah terpisah entah bak kembar atau mungkin sepasang belahan jiwa yang punya takdir aneh. Selain itu, Tino, pemuda yang riang tetapi kikuk dari semenanjung Skandinavia, juga memutuskan untuk bergabung bersamanya. Di seberang, Nikolai dan Vlad segera berlindung di belakang Wēi, beserta si perantau Jett yang konon berasal dari benua paling jauh ikut ke kelompok tersebut.
Líng mempersiapkan diri. Menjadi seorang ketua kelompok bukan sesuatu yang baru untuknya, dan ia pun mencoba untuk terlihat mampu di depan teman-temannya. Ia pun membuka bukunya, menuliskan sepasang karakter secara terpisah dalam ukuran besar di tengah-tengah lembar yang baru. “ Yuán,” gumamnya. “Profesor Farwell menuliskan versi simplifikasi. Karakter tradisional aslinya adalah seperti ini,” ia menuliskan pembanding di bagian bawahnya, 緣. “Yuán. Alasan. Takdir.”
“Dan Fèn?” Elena menopangkan dagu, merapat pada Ling.
“Divide. Memisahkan. Namun dalam semantik anglofon seperti kita, kata ini bisa bermakna sebagai satuan kecil waktu.”
“Jadi ketika dikombinasikan?” Elena punya kebiasaan untuk menatap langsung ke mata lawan bicaranya, sesuatu yang membuat Líng terkadang risi.
Líng mengangkat bahu, respons naluriah untuk sebuah akhir yang tidak ia ketahui. Ia tersesat di dalam labirin pikirannya sendiri yang belum bisa bangun sepenuhnya. Terlalu pagi untuk pelajaran Profesor Farwell yang harus melaju cepat. “Ada sebuah istilah yang memang berkaitan dengan takdir dalam ujaran kami, bahasa Tiongkok. Aku lupa karakternya, tapi mungkin inilah yang ingin dibicarakan Profesor Farwell. Yuánfèn, sebuah konsep mengenai keterkaitan dua orang satu sama lain sebagai bagian dari takdir, sebuah daya pengikat antara dua orang.”
“Lalu apa yang harus kita simpulkan?” Daniel bertanya dengan kepolosannya yang malah membuat Elena menoyor kepalanya, hanya dihentikan oleh Tino.
“Seandainya aku tahu,” bisik Líng sambil menunduk, “permintaan Profesor hanya mendiskusikan asal kata dari masing-masing karakter han-nya, kan? Aku hanya bisa memikirkannya sampai di sana.”
Tino mengamati lekat-lekat karakter yang ditulis oleh Ling. Keningnya sedikit berkerut, rambut pirang keperakannya menjuntai menutupi alisnya. Dia menelengkan kepalanya beberapa kali, seolah-olah dengan melihatnya dari perspektif yang berbeda akan membuat arti dari han-nya juga berubah.
“Kalau Profesor Farwell ingin mendiskusikan asal kata dan hurufnya, maka mungkin kita harus mencari sampai karakter dari masa oracle atau masa perunggunya. Sebentar. Aku tidak bisa menghafal sejarahnya sampai sejauh itu.” Líng membuka tasnya dan membuka buku tua yang selalu dibawanya di pelajaran etimologi, menunggu peruntungan kapan benda itu akan berguna. Sebuah buku tua, salah satu bekalnya merantau. Ia membukanya dan mencari karakter-karakter yang dikelompokkan di dalam kotak-kotak di setiap halamannya.
Elena menengok ke buku Ling. “Apa itu?”
“Daftar karakter kuno yang menjadi asal-muasal dari karakter han. Mulai dari masa oracle hingga karakter yang dipakai pada masa perunggu, karakter segel, hingga karakter liushutong, yang dipakai pada masa Yuan.”
“Oh. Tentu saja.” Tino mengerjapkan matanya cepat. “Abjad mandarin juga termasuk perkembangan dari piktogram, kan?”
Líng mengangguk. “Sama seperti semua abjad lainnya.”
Teman-temannya memperhatikan dalam diam ketika Líng membolak-balikkan buku tersebut berulang kali, tidak menemukan satu pun karakter tersebut di dalam kamusnya. Líng melirik ke kelompok di sisi lain ruangan, mereka mengelilingi Wēi dan berdiskusi rapat-rapat. Apa yang telah mereka temukan? Líng mulai gelisah. Jiwa kompetitifnya mulai menyala-nyala, tidak ingin Wēi, yang baru dikenalnya setahun belakangan sebagai pemuda yang seringkali usil dan blak-blakan dalam bicara, menang dalam diskusi ini. Ini bukan sesuatu yang seharusnya diperlombakan, tetapi Líng dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki ceruk pengetahuan yang sama dengannya, jika ia tertinggal dalam hal ini maka dirinyalah yang benar-benar payah.
Líng menggeleng-geleng, berusaha terlihat meyakinkan di depan teman-temannya. “Sepertinya karakter itu baru ada pada masa belakangan.”
“Kalau begitu, kita mungkin bisa menambahkan alasan.” Elena menunjuk ruang kosong di buku Ling. “Karakter ini dikembangkan di masa yang lebih baru, sehingga konsep tentang keterikatan takdir ini baru berkembang pada masa belakangan.”
“Setelah era Yuan,” Líng menambahkan. “Abad tiga belas sampai empat belas.”
“Itu saja?” Daniel menoleh pada Elena.
“Memangnya apalagi yang bisa kita pikirkan?” Elena menjawab, sedikit galak, tetapi Daniel bergeming. Líng terkadang heran bagaimana pemuda itu bisa terlihat begitu tenang menghadapi temperamen Elena yang seringkali mengejutkan. “Kita serahkan semua pada Líng saja. Dia yang ahli dalam hal ini.”
Ahli, pikir Ling. Ia merasa menciut karena pernyataan itu, sebab baginya hal itu terasa tidak tepat. Sebagai perantauan yang juga harus mempelajari bahasa yang berbeda, ia kerap menemukan dirinya berada di dalam limbo, kebingungan akan identitas aslinya. Yang lainnya tidak merantau terlalu jauh, setidaknya mereka semua pernah terpapar pada bahasa yang tidak terlalu jauh dari asal mereka. Tino mungkin berada pada rumpun yang berbeda dari sekelilingnya, tetapi setidaknya orang-orang di sekitarnya adalah komunitas diglosia. Lebih mudah untuknya.
Líng pun menghela napas. “Ya sudah. Mungkin kesimpulannya begini saja, yuánfèn, berasal dari yuán, yang berarti alasan, atau takdir. Kemudian fèn, terpisah. Jadi dua kata itu ketika digabungkan menjadi satu ….” Líng menjadi ragu. Ia telah menemukan cela yang sedikit mengganggu.
“Tapi mereka memiliki dua makna yang berbeda. Ketika digabung, artinya menjadi … apa barusan, Elena?” Daniel dengan mudah melupakannya.
Elena menggeram, tetapi tetap menjawabnya, “Keterkaitan dua orang satu sama lain sebagai bagian dari takdir, sebuah daya pengikat antara dua orang.”
Líng mengetuk-ngetukkan pensil ke bibirnya. Tino melihat kebingungannya, lantas menghiburnya, “Mungkin dia termasuk portmanteau. Kata yang digabung.” Mendengarnya, Líng mengangguk, memaklumi dan memikirkan mungkin itu adalah jawaban terbaik. Namun ia masih merasa ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang mungkin tertinggal di ingatannya. Ia memejamkan mata dengan keras, menggali ingatan, dan ketika ia mengingatnya, Profesor Farwell menepuk meja beberapa kali. Lima belas menit telah berlalu. Líng menyerah. Terlebih ketika tatapan sang profesor tertuju padanya.
Líng berdiri, sesuai kebiasaan yang diajarkan oleh Profesor Farwell setiap kali mereka selesai berdiskusi. “Saya akan menyampaikan hasil diskusi. Kesimpulan dari kami adalah bahwa dua kata ini berasal dari masa yang lebih baru daripada era Dinasti Yuan. Sebuah konsep yang berasal dari kata yuán yang berarti alasan, takdir. Kemudian fèn, yang bisa berarti terpisah atau sebuah satuan waktu, jika menilik dari arti semantis dari sudut pandang anglofon. Kedua kata ini kemudian berkembang menjadi sebuah konsep yang berkembang di budaya Tiongkok sebagai bagian dari evolusi semantik yang kompleks.”
Profesor Farwell menunggu, tetapi Líng membeku. Ia tidak lagi punya argumen, dan hanya bisa membatasinya sampai di sana. Ia mengangguk untuk meyakinkan profesornya, dan profesor pun memaklumi. “Penelusuran yang bagus,” komentarnya, “meskipun aku mengharapkan ada lebih banyak hal yang bisa digali dari akar kata yang kemudian berkembang menjadi konsep tertentu yang dipercaya oleh kalian.”
Líng kurang suka cara sang profesor menyebut kalian. Itu terdengar seperti membedakan. Aku dan kau. Kita, kalian. Sebuah penyebutan yang mengalamatkan perbedaan langkah dalam peradaban, meski hanya secara subjektif. Orang kulit putih dan pandangannya. Líng hanya bisa menyimpannya di dalam hati. Begitulah caranya menjadi realistis, seseorang pernah mengajarkannya. Líng pun duduk, merasa telah menyelesaikan tugasnya dan ini adalah momen yang ia takutkan sejak tadi, berlalu begitu saja.
Wēi pun berdiri. Líng meliriknya dengan cemas. “Apakah Profesor keberatan jika saya ingin menuliskannya di papan tulis agar bisa menjelaskannya dengan lebih baik?”
“Silakan, Tuan Lung. Saya tidak keberatan.” Profesor Farwell bergeser dari tepi papan tulis, memberikan ruang untuk Wēi yang telah melangkah maju. Dia pun menyingsingkan lengan kemeja putihnya sebelum menuliskan karakter 緣 di papan tulis dengan cekatan. Kening Líng berkerut-kerut mengikuti gesturnya dalam menulis guratan demi guratan.
“Yuán, yang arti awalnya adalah bagian ujung dari sebuah pakaian. Yang dalam pemaknaan dari perspektif anglofon juga bisa berarti tepian, pembatas. Bahkan bisa pula berarti takdir. Kemudian fèn, terpisah.” Dia membuat goresan-goresan menjadi sebuah huruf yang sama besarnya. “Kami sepakat untuk memaknai kedua gabungan kata ini sebagai generalisasi, di mana arti yang awalnya hanya sebatas ujung pakaian menjadi pembatas, yang kemudian bergabung dengan fèn yang berarti terpisah, menciptakan makna baru yang berarti hubungan yang diikat oleh takdir. Kami memaknai ini sebagai perubahan yang berbanding terbalik. Yang awalnya mengatakan tentang batasan dan terpisah, berubah menjadi sebuah ikatan yang saling menyatukan.”
Líng mengangguk mengerti. Elaborasi yang dilakukan Wēi lebih terperinci darinya. Profesor Farwell masih bersedekap, menyaksikan Wēi yang mengambil peran sementara menjadi guru dengan menggarisbawahi kedua karakter dengan yakin.
Mata Líng tiba-tiba membelalak ketika ia menyadari ada tanda di bagian lengan Wēi yang tersingkap karena ia menggulung lengan kemejanya untuk menulis. Penjelasan tambahan dari Wēi tidak lagi didengarnya, ia sibuk mengamati tanda yang terletak sama persis dengan miliknya. Hanya berbeda di bentuk; miliknya seperti seekor burung yang terbang meliuk, sementara milik Wēi …
… seperti seekor naga.
Wēi berbalik menghadap teman-temannya untuk menjelaskan, dan seperti sebuah naluri, matanya berserobok dengan mata Ling, yang masih memperhatikan tanda tersebut, dan Wēi menyadarinya. Wēi melirik sebentar ke tanda di tangannya, kemudian mengabaikannya begitu saja. Líng was-was karena tertangkap basah, tetapi ia tidak bisa menahan dirinya: kemiripan itu sangat ganjil.
“Aku melihatmu melihatnya.”
Líng hampir melompat dari tempat duduknya, tangannya nyaris menjungkirbalikkan mangkuk sup yang masih hangat, yang masih ia seruput dengan rasa sayang yang keterlaluan. Tidak setiap hari mereka menyajikan sup yang hangat di musim gugur. Líng pun menoleh ke kiri dan kanan, tidak ada orang lain di ruang makan karena ia datang terlambat di jam makan yang hampir habis. Wēi duduk begitu saja di sampingnya, mengedikkan dagu ke arah tangan kanan Líng yang terbungkus kemeja berlengan panjang di balik jubah asrama.
Líng merapatkan tangannya ke mangkuk, insting protektif.
“Kau bisa melihatnya?” Wēi bertanya sesuatu yang seharusnya sudah sangat jelas.
“Tentu saja. Bukankah tanda itu jelas?”
“Orang-orang di sekitarku tidak bisa melihatnya. Bahkan orangtuaku sendiri.” Wēi mengedikkan bahu. “Aku mengira itu tanda lahir, sampai Ibu menuduhku mengada-ada.” Wēi kemudian menyingkap lengan kemejanya. “Naga,” Wēi bercerita dengan ringannya. “Kupikir aku berkhayal, tapi aku hidup bertahun-tahun dengan tanda ini. Tanda ini memang nyata.”
Melihat Wēi begitu mudah membuka rahasianya, Líng akhirnya menyerah. Ia meletakkan sendok supnya, kemudian perlahan-lahan menggulung lengan kemeja seragamnya. Memperlihatkan tanda yang sama, hanya saja dengan bentuk yang sedikit berbeda.
“Jangan-jangan kita kembar yang terpisah?!” tembak Wēi dengan nada setengah bercanda, membuat Líng ingin mendengus kesal saja. Namun ia memilih untuk mengabaikannya, mempertimbangkan untuk segera menyeruput sup sebelum terlalu dingin.
Wēi pun berdiri, tampak tak tersinggung dengan cueknya Ling. “Yah, apapun itu, yang jelas aku tidak sendirian.” Dia menabik dengan gestur yang jenaka, kemudian melompat dari bangku panjang ruang makan, meninggalkan Ling.
Líng berpikir sampai supnya habis; benar juga. Siapa lagi yang pernah melihat tanda di lengannya, kecuali pertapa jalanan yang aneh sepuluh tahun yang lalu? Ia tidak pernah menyinggungnya di depan orangtuanya, dan mereka juga tampaknya tak peduli. Tanda itu terlalu kecil untuk menjadi masalah besar, tetapi terlalu besar untuk diabaikan karena bentuknya yang terlalu gamblang.
Kali ketiga kelas ditiadakan dalam bulan ini karena alasan yang tidak jelas. Sebagian mengatakan bahwa para profesor sedang menyiapkan perubahan kurikulum karena serangkaian protes dari para siswa tingkat akhir, tetapi telah menjadi sebuah rahasia umum: terjadi sesuatu pada Babel.
“Pihak Profesor Guillaume masih menginginkan lebih banyak pasokan perak untuk lantai atas,” Elena selalu menjadi sumber berita teranyar karena punya banyak akses dengan para siswa tingkat atas. “Dia yang mengetuai kelompok yang setuju untuk mendanai lebih banyak eksploitasi di Dunia Baru.”
“Di daerah pesisir timur benua Amerika, maksudmu?” Tino mendekat agar pembicaraan mereka tersebut lebih eksklusif, tersembunyi di pojok ruangan dengan tingkat kerahasiaan yang ingin mereka jaga rapat-rapat, walaupun sebenarnya di luar sana sangat sunyi dan tak mungkin ada seorang profesor pun yang lewat dan menghukum mereka karena berita yang mereka bawa. “Dunia Baru terdengar sangat arkaik. Memangnya kita hidup di zaman Elizabeth Pertama?” dia tersenyum tipis.
“Mungkin.” Elena mengangkat bahu. “Profesor Guillaume bahkan katanya sudah membeli lahan yang luas untuk ditambang, dan telah memesan banyak budak untuk dikirimkan ke sana. Kabarnya di salah satu pegunungan dekat pesisir memiliki simpanan perak yang luar biasa.”
Para siswa saling berpandangan. Yang tidak terlalu peduli, seperti Vlad dan Nikolai mundur perlahan sambil saling berkontak mata.
“Menurut kalian, apakah kita bisa berlama-lama di sini?” pertanyaan pelan dari Tino membuat Líng memikirkan lagi tujuannya mengikuti salah satu senior yang menganyam ilmu jembatan bahasa di Babel. “Karena tampaknya para profesor sendiri terpecah-belah. Sebagian menganggap bahwa penambangan seperti itu adalah ilegal dan sebagian lainnya beranggapan bahwa hal itu sah-sah saja karena Britania-lah yang mengembangkan teknologi yang melibatkan perak.”
“Secara esensial, mereka tetap mencuri,” terang Ling.
“Walaupun tidak seorang pun pernah mengklaim tempat itu?” Wēi terdengar seperti mengujinya. “Mencuri adalah suatu tindakan mengambil dari hak orang lain. Sedangkan Profesor Guillaume membelinya.”
Ling terombang-ambing dalam kompas moralnya sendiri. Apa yang benar, apa yang salah? Namun ia buru-buru menyambar Wēi, “Itu penjajahan. Bukankah itu termasuk teritori negara yang punya kekuatan hukum?”
“Tapi bagaimana kalau itu adalah properti pribadi?”
“Kerajaan Britania telah mengambil banyak sumber daya dari negara lain dan kita sudah melihat sejarah betapa banyak yang dirugikan karena itu.”
Wēi melirik ke arah pintu, tiba-tiba khawatir dengan inti pembicaraan Ling. “Kita tidak tahu, kita bukan orang yang membeli lahan itu untuk tambang.”
Líng menunduk, sedikit berbisik, “Ini monopoli. Karena cuma Britania yang bisa melakukan eksplorasi dan eksploitasi perak.”
“Dan kita sendiri bersekolah di tempat yang dapat memperalat perak itu. Hati-hati dengan bicaramu, Fèng Líng.”
Líng menatap mata Wēi dan mulai menyadari, di balik pembicaraan mereka yang biasa dan ujaran usil dari Wēi, mereka tampaknya punya cara berpikir yang sangat berbeda. “Tapi aku tidak ingin terlibat dengan urusan perak itu selain aku ingin meraih kepercayaan mereka dan membawanya untuk kampung halamanku.”
“Itu sama saja, hei, apa bedanya kau dengan orang-orang yang ingin menggunakan perak itu untuk kepentingan pribadi mereka?”
“Aku akan menggunakannya demi kepentingan orang-orang di pulauku,” kening Líng berkerut karena mulai kesal, “orang pertama dari Formosa, atau bahkan satu-satunya, yang dikirim ke Babel, punya misi yang jelas berbeda dengan mereka yang sudah punya terlalu banyak properti untuk diperalat.”
“Kau akan melihatnya suatu saat nanti, Fèng Líng, lama-lama kau juga akan memikirkan sudut pandang mereka dan memahaminya, bahkan mengambilnya. Jangan hipokrit.”
“Kau peramal, Lung Wēi, hingga kau berani memastikan seperti apa masa depanku?”
“Hei, sudahlah,” Elena sedikit meninggikan suaranya. “Malah kalian yang berdebat. Simpan untuk nanti saja. Sekarang kita yang harus memikirkan nasib kita. Kabarnya mereka sedang melakukan rapat darurat kali ini. Kalau mereka memutuskan sesuatu dan terpecah menjadi dua faksi, apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan Babel lakukan?”
Semuanya terdiam, saling pandang. Namun Líng belum bisa menyingkirkan rasa penasarannya akan ujung dari pikiran Wēi dari debat yang belum selesai barusan. Jika Wēi berusaha untuk mendukung cara progresif Britania dalam mengeksploitasi sumber daya, maka dia tak menunjukkannya terang-terangan, dia masih berusaha untuk berhati-hati. Namun bagaimana mungkin dia berpikiran seperti itu, dia adalah orang yang datang jauh dari seberang benua pula, sama seperti dirinya.
Saat Líng mengingat dari mana asal Wēi, barulah dia menyadari bahwa kacamata yang mereka pakai tidaklah sama: Wēi berasal dari pesisir Kanto, kota perdagangan yang menjadi pangkalan Britania selama beratus-ratus tahun. Dia mungkin telah memilih sisi untuk berdiri perlahan-lahan dari apa yang dia saksikan selama beberapa generasi.
“Ingat bahwa Profesor Sam sudah tidak pernah mengadakan kelas lagi sejak bulan lalu? Dia adalah orang yang paling tidak setuju dengan keterlibatan Profesor Guillaume,” tambah Elena. “Kita akan menyaksikan sesuatu yang memburuk beberapa saat lagi.”
Tiba-tiba, ia kembali ke padang luas tersebut, memandangi tarian naga dan foniks seolah-olah hal tersebut bukanlah sesuatu yang luar biasa. Líng menyaksikannya tanpa berkedip, tapi tak pula kagum, tak pula ketakutan. Seakan hanya memandangi awan seperti biasanya. Naga tersebut meliuk menjauh, foniks berkaok, geraman naga menyahut seiring dia terbang mendekat pada si foniks. Mereka mendekat dan menjauh, seolah ditarik oleh kekuatan ilahiah hanya untuk memisahkan diri lagi, seperti tarik-ulur yang tak ada habisnya.
“Yuánfèn,” seseorang berbisik di sampingnya. Líng tidak terkejut, meski ia hanya pernah melihat orang itu satu kali seumur hidupnya, di sebuah jalan dan tiba-tiba saja menyapanya seakan bisa membaca masa depannya. Líng tidak punya kendali atas dirinya sendiri, ia tidak punya rasa takut. Tumpul, pengamat yang hanya bisa melihat dan bukan merasa.
Pertapa itu mendongak, menatap tarian yang sama dengannya. Bibirnya yang keriput tersenyum. “Yuánfèn. Mereka.” Dia mengedikkan dagu ke atas, kedua tangannya bertumpu di tongkat bengkoknya. “Kau juga akan melihat itu. Melihat perbedaan.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
“Kau akan tahu.”
Líng menonton lagi. Lama, bergeming. Kemudian, semuanya memudar.
Aktivitas Babel berhenti di awal minggu berikutnya.
Ruang kantor utama guru disegel, Tulisan rasis menutupi pintu ruang khusus milik Profesor Sam, yang menurut kabar yang didengar Elena, dia telah kembali pulang ke Ethiopia. Líng berdiri begitu lama di depan ruangan Profesor Sam, mengamati kata-kata dalam tinta merah itu. Memikirkan bagaimana hanya sumber daya bisa membuat seseorang menghakimi yang lain dan menganggapnya bukan manusia seutuhnya.
“Firasatku buruk.”
Líng menoleh, mendapati salah satu seniornya, siswi tingkat akhir, satu-satunya perempuan di angkatannya, Isabelle, berdiri di sampingnya sambil menggeleng-geleng. Ia menatap kosong pada spanduk tersebut. Líng menyapanya dengan pelan, “Senior Isabelle.”
“Kurasa mereka terlalu jauh. Katanya Profesor Sam telah menyebarkan selebaran di seluruh Oxford untuk memperingatkan bahaya eksploitasi berlebihan yang mulai tidak populer itu, tetapi aksinya dibungkam sebelum sempat dilakukan. Kau lihat ada api besar di halaman belakang kemarin? Mereka membakar sisa-sisa barang milik Profesor Sam.”
Líng menggeleng. “Aku tidak tahu.”
“Sepertinya kita tidak akan memiliki kelas sampai entah kapan. Para profesor yang tersisa sedang sibuk melobi Parlemen di kota untuk melanjutkan pekerjaan tersebut, karena Profesor Sam sempat punya koneksi di Parlemen yang mempertimbangkan keberatannya.”
“Politik,” gumam Líng. “Dan bagaimana mereka memperalatnya untuk memuluskan jalan menuju sumber daya demi kepentingan mereka sendiri.” Ia menahan napasnya. “Senior Isabelle,” Líng mengebuti benang-benang di ujung lengan jubahnya. Ia teringat tentang Yuán, tepian dari pakaian, dan bagaimana benda tersebut membatasi kita dengan dunia luar. Sebuah konsep abstrak yang terlalu jauh. “Bagaimana pendapat Senior tentang tambang baru itu?”
“Itu hanya permukaan danau masalah, Líng. Menyelamlah ke bawah dan kau akan menemukan lebih banyak keburukan lainnya. Babel tidak hanya tentang perselisihan tambang.”
“Apa saja itu?” Líng merasa waktunya di Babel terlalu singkat untuk melihat akar masalah. Ia baru tingkat satu, menjelang tingkat dua, masih belum mengerti banyak hal selain hal mengganggu tentang para penerjemah seperti dirinya: mereka adalah alat. Alat penyebar gold, gospel, glory. Tanpa pengalih bahasa, bagaimana komoditi bisa berpindah? Alat dan senjata yang sangat kuat dalam rupa hidup. Dan mereka yang bekerja atas rasa sukarela, telah dengan sadar mengambil peran dan menenggelamkan tangan mereka di lumpur.
“Ada banyak gerakan pemberontak klandestin yang telah ditebas. Sebagian besar dari mereka adalah penyelundup perak untuk menyamaratakan penyebaran sumber daya yang sangat timpang ini. Dan tentu saja,” Isabelle menoleh untuk mengamati apakah ada penguping, “menyebarkan sihir perak sesuai kepentingan mereka sendiri.”
“Aksi impas,” gumam Líng. “Mereka juga menggunakannya untuk kepentingan golongan.”
“Dan kita melakukan hal serupa.” Isabelle menyatakan dengan kita denga maksud inklusif, membuat Líng berpikir ulang tentang posisi berdirinya. Di mana dia harus berada? Isabelle kemudian meletakkan tangan di bahunya. “Jika kau bermaksud untuk berpihak, Líng, ambillah posisi yang benar-benar sesuai dengan hatimu.”
Líng tahu harus memihak ke mana sesuai dengan yang dikatakan oleh hatinya, tetapi sekarang masalahnya adalah: siapa temannya? Semua teman-teman kulit putihnya, ia tidak berpikir ia bisa mempercayai mereka. Mereka semua berdarah Eropa, dan kalaupun ada yang berpikiran seperti Isabelle, mereka pasti tidak berani buka mulut terlalu lantang. Sulit jika menjadi musuh di negeri sendiri, ketika tidak ada tempat berlari. Dirinya, jika ia terjepit, maka ia masih punya tanah untuk pulang.
Satu-satunya orang yang mungkin hanyalah seseorang yang berbagi tanda yang sama dengannya. Líng menatap tandanya dengan gelisah ketika ia menunggu kedatangan Wēi. Ia menyelipkan selembar surat di bawah pintu asramanya untuk mengajak pemuda itu bicara, dan jika memang pemuda itu serius, seharusnya dia telah datang saat ini.
Líng menunggu di sudut ruang kelas bahasa arkaik yang selalu kosong sejak awal minggu. Mulai memikirkan jalan keluar seandainya Babel tak lagi bisa menjadi rumah untuknya dalam beberapa minggu ke depan. Elena membawa kabar-kabar lain, tentang gerakan turun ke jalan oleh para senior yang berharap eksploitasi perak berlebihan di wilayah-wilayah lain seharusnya mulai ditekan, dan mereka mengancam mereka tidak lagi ingin menggunakan kemampuan lidah mereka untuk mengubah perak menjadi sumber daya penggerak ekonomi Britania. Ini semua seperti bom waktu, kutukan Babel masa kini yang mengulang sejarah biblikal. Ke mana Wēi akan berpihak? Satu-satunya orang yang bisa ia harapkan hanya teman sewarnanya.
Dan setanda.
“Menurutmu, kau harus pulang?”
Líng benci mendapati Wēi yang selalu beraksi seperti hantu. Datang secara mendadak, bicara begitu saja seolah-olah mereka telah berdialog selama satu jam sebelumnya. Líng menggeleng, antara kesal dan bingung. “Aku baru ingin menanyakan hal yang sama padamu.”
“Aku ingin tetap ada di sini.”
Líng mengusap kemejanya, di baliknya ada tanda yang sungguh membingungkan. Ia tahu Wēi mengawasi gerak-geriknya. “Bagiku, yang mereka lakukan tetap salah. Dan jika keadaan memaksa, aku akan melarikan diri.”
“Kenapa tidak menghadapinya saja?”
“Menghadapi bagaimana maksudmu?”
“Ada sebagian dari mereka—para senior—yang turun menyebarkan selebaran, bahkan membuat aksi di sekitar parlemen. Kau tidak ikut?”
“Kau sendiri?”
Wēi mengangkat bahu. “Buat apa? Dan kau, tidakkah kau ingin mengatakan apa yang kau percayai?”
Líng ingin sekali menyatakan keberpihakan, tapi apa ia seberani itu? “Kau, bagaimana?”
“Kau selalu bertanya tentangku. Cari posisimu dulu.”
“Itu pasti karena kau sudah setuju dengan eksploitasi itu.” Líng menahan napasnya. “Kau, anak Kanto, keluargamu mendapat uang dengan bekerja sama dengan Britania. Jelas kau memihak ke mana.”
Wēi diam saja. Dia menatap Líng langsung ke arah matanya, tetapi bagi Líng itu tidak cukup. Ia merasakan gelenyar yang aneh pada tanda di tangannya, dan seakan-akan kenangan akan tarian naga dan foniks di langit bisa ia lihat dengan jelas di balik kelopak matanya saat ia mengerjap pelan. Seharusnya ia tahu, seharusnya ia mengerti bahwa tidak ada yang benar-benar teman di sini. Bahkan Wēi sekalipun.
Tarikan takdir itu nyata. Mereka bertemu di satu tempat yang jauh, bagaimanapun Líng berusaha lari dari tanah kelahirannya untuk menyambung pengetahuan, ia tetap dipertemukan dengan sang pemilik tanda di tempat ini. Namun, apa artinya kebersamaan tanpa kesepahaman?
Líng menggeleng. “Kau tidak memihak yang benar.”
“Itu hanya bagimu. Bagiku, tidak sesederhana itu.”
“Apa yang tidak sederhana dari sebuah ketamakan?”
“Itu properti pribadi, kau tahu. Mereka membelinya. Mereka memakai uang. Mereka tidak mencurinya begitu saja.”
“Katakan itu pada ribuan tambang lain yang bermasalah sebelum ini!”
“Itu adalah hal lain yang tidak kuketahui, Fèng Líng. Kita bicara soal masalah yang menghancurkan Babel saat ini. Aku tidak bisa menggeneralisir.”
“Kau seharusnya menarik garis batasmu, Lung Wēi. Ini tidak ubahnya apa yang terjadi sejak berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus tahun yang lalu.”
“Boleh saja jika itu pandanganmu.” Wēi seperti melihat pangkuannya, tetapi jika diamati lebih jauh, dia sedang menatap lengannya, titik di mana tandanya tersembunyi di balik kemejanya. “Aku hanya peduli tentang Babel.”
Líng berdiri, menggeleng. “Bukan ini yang kuharapkan dari orang yang berbagi takdir denganku.”
Di mimpinya, naga bertarung tarian dengan foniks di langit. Di dunia masa kini, tarik-ulur pemikiran berujung pada pintu keluar yang berbeda.
Líng mengetuk pintu kamar asrama seorang senior, menyelipkan surat di bawah pintunya, berkata bahwa ia ingin ikut menyebarkan selebaran di sisi selatan Oxford akhir minggu ini. Senior itu, seorang simpatisan yang menggagas gerakan penolakan, dan Líng pun telah menemukan keberanian.
Mereka, bagian dari gerakan klandestin, menempelkan poster di dinding gedung-gedung jantung kota juga tepiannya, beraksi pada pagi buta dengan formasi dua orang. Líng ikut bersama seorang senior, Abbas, yang berasal dari Kairo, yang tahu lebih banyak jalan kecil di Oxford seperti dia menghafal gang-gang kecil di dekat pasar di pemukiman padat penduduk, tempatnya pernah tumbuh besar.
Líng bisa mempercayainya dalam melewati jalan demi jalan, menghindari kemungkinan mereka tertangkap, Líng mengekor seperti anak anjing yang hilang. Ia seringkali lega karena Abbas bisa meloloskan mereka dari intaian para polisi yang berpatroli atau para petugas pemadam lampu jalanan yang juga punya mata setajam elang. Ia membayangkan kasur asrama yang hangat dan kebanggaan bahwa ia telah membela yang benar—
—dan lamunan itu buyar ketika sorot lentera dari polisi menyinari mereka berdua di jalanan terbuka.
Polisi menggiring mereka menuju Babel di tengah jalan. Semakin mendekat mereka ke sana, semakin banyak orang yang menyaksikan. Penonton berbisik, mencibir, memandangi heran, semuanya mengabur di mata Líng seolah menjadi satu. Baginya, ini adalah ledakan dari tarian foniks yang gagal. Sebuah bencana akibat api dari ekor yang tersulut amarah, menyambar dari langit, mengenainya.
Dan di satu titik, mendekati Babel, ia melihat seseorang, berdiri di antara para penonton, hanya melihatnya. Bergeming. Meski Líng memanggil minta tolong, orang itu tetap berdiam diri.
Lung Wēi, naga takdirnya, tidak bertindak apa-apa.
Itulah tariannya. Kebungkaman dalam paham keras kepala yang dipegangnya.
Líng tidak menyadari, di ujung horison ada laut yang membentang. Biru gelap, segelap awan mendung.
Di bawah langit yang menyala-nyala karena kilatan api ekor foniks, ia melihat binar pada wajah sang pertapa tua. Untuk sesaat, Líng bisa melihat masa mudanya muncul sesaat sebagai kilasan efemeral, wajah cantik seorang wanita dengan kulit sehalus porselen, mata sebijak dewi, dan tulang pipi yang tinggi. Sesaat kemudian, semua tergantikan oleh keriput yang menggores dalam daging pipinya yang telah turun.
Ia menoleh pada Líng, berisyarat pada tarian yang telah mereda karena begitu banyak kilatan api tersebut. “Mereka akan pulang. Lihatlah. Fènghuáng akan pulang dan Lóng akan kembali. Langit tinggi dan laut dalam.”
“Tapi bukankah … takdir mereka terikat?”
Sang pertapa kembali mendongak ke angkasa, mengamati foniks yang terbang meninggi dan naga yang menukik tajam ke horison. “Takdir tak selalu seindah pikiranmu. Terikat belum tentu bersatu.”
“Akankah mereka bertemu lagi?”
“Selalu, Fèng Líng. Selalu. Fènghuáng selalu dapat melihat laut dan Lóng selalu bisa melihat langit.”
Líng mengingat siapa dirinya, tapi tak sepenuhnya. Ada bagian yang tertinggal di dunia nyata, sebagian terbawa ke dunia mimpi. Namun ia ingat persis, nama marganya adalah Fèng dan seseorang di sana Lóng , yang hanya saja sedikit berbeda karena ejaan Kanto.
Ia tenggelam dalam mimpinya karena kilatan menyilaukan dan gelombang kegelapan yang beruntun.
Karena baru melakukan satu kali, hukuman untuk Líng terbatas hanya pada pencabutan haknya sebagai siswa. Sementara para penggagas, Líng tidak tahu bagaimana nasib mereka di penjara bawah tanah.
Líng tidak ingin memikirkan masa depan di Babel. Bagaimanapun, semua telah rusak dan langkahnya terhenti di sini.
Líng pulang.
Tanpa pernah mengetahui keberadaan Wēi lagi hingga akhir.
Mimpinya menjadi nyata. Foniks kembali ke gunung dan biarlah naga menyelam kembali ke gua bawah lautnya.
Líng kembali ke kesehariannya, berbekal ilmu dari sekolah yang tak selesai, ia mengerjakan apa saja. Menjadi penerjemah untuk pedagang di pelabuhan, sesekali mengajar, dan sesekali membantu toko orangtuanya. Pesisir Formosa masih ramai kedatangan pedagang, dan mungkin Babel masih membawa manfaat baginya untuk sedikit gold demi keuntungannya sendiri. Ia teringat Wēi dan tuduhan hipokrit, mengalah pada ego bahwa mungkin ia juga perlu sumber daya yang dimodali oleh Babel, tetapi pembenarannya adalah: ia tidak mengeksploitasi siapapun, apapun. Ia tidak menggunakan perak untuk menyambung hawa nafsu, ia hanya menggunakan lidahnya untuk menyambung hidup. Noda perak Babel sedikit mewarnai lidah dan pikirannya, tapi mungkin tak mengapa. Ia butuh hidup.
Ia tidak pernah mendengar tentang Babel lagi. Ia tidak sempat minta alamat rumah siapapun di asrama, dan ia tidak ingin mencari gara-gara dengan mengalamatkan surat ke Babel. Segala tentang Babel mulai memudar dari bulan ke bulan, kemudian tahun yang berganti.
Sampai datang pedagang baru yang membuka toko di seberang toko orangtuanya, membeli satu unit yang sudah lama dijual dan mengisinya dengan barang dagangan yang berkaitan dengan penangkapan ikan.
Seseorang berdiri di sana, di seberang jalan, baru membuka tokonya dan terdiam mendapati Líng yang baru saja keluar dari toko miliknya untuk meletakkan barang-barang pajangan di tepi jalanan. Seorang sosok yang mengingatkannya pada hari mengerikan di jalanan Oxford, di mana tak seorang pun menolongnya dari rasa malu: termasuk naganya.
Líng selalu melihatnya. Tak mendekat. Wēi juga selalu memperhatikannya. Tak menyapa. Seolah-olah mereka tidak pernah bertemu, tidak pernah bertukar pikiran, tidak pernah berada di satu kelas yang sama. Namun, pemuda itu berada di sini lagi, di depan tokonya, meski tak pernah ada kesengajaan rencana. Tarik-ulur. Yuánfèn. Takdir yang terikat tapi tak selalu indah. Tarian Fènghuáng dan Lóng yang tak pernah habis, hanya selalu mengembalikan mereka ke relung masing-masing.
Tak ada bicara, tak ada sapa.
Ta, Líng memutuskan. Inilah tarian mereka. Sepasang tanda mengikat mereka hanya untuk saling berkelindan. Jika ia melibatkan diri makin jauh dengan Wēi seperti yang ia lakukan saat masih di Babel, maka yang terjadi tak mungkin jauh-jauh dari ledakan api dan pekatnya mendung.
Biarlah, biarlah. Biar hanya mata yang bicara. Biar saja tak ada apapun di sini, karena ia tahu, seberapa jauh pun ia berlari setelah ini untuk menguji takdir, akan ada cara untuk Wēi kembali ke hadapannya lagi. Yuánfèn tak selalu tentang menyatukan dua diri. Mereka terikat, tetapi Líng ingin membuatnya selonggar mungkin.
Ia hanya tidak ingin patah hati. Foniks biar menjadi ratu di gunung dan Naga menjadi raja di lautan. Jika dulu kala dunia menjadi pemisah mereka, sekarang pikiran yang menjadi penghalang mereka.
Biarlah, biarlah.