Actions

Work Header

未練 - Miren

Summary:

Tersandung, ia pun terlambat. Refleksi bulan pada air yang tenang itu tak lagi dapat dimilikinya. Karma kira, ia tak perlu mengulurkan tangan, bahwa menyaksikan saja sudah cukup, dan itu membuatnya lengah. Berusaha berpaling-ia pun tak bisa melarikan diri. Entah sejak kapan, riak jernih itu menjadi begitu pekat dan gambaran candranya pun buram.

未練 /みれん/ Miren = lingering affection; attachment; regret

13 Maret 2025--Tamat. (6+1 Chapter)

Notes:

Warning: Okuda Manami punya pacar tanpa nama, tapi kisah ini tetap berfokus pada hubungan Karma dan Manami.

Chapter 1: Tersandung.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Di antara deretan nama yang mengisi daftar murid kelas 3-E SMP Kunugigaoka, ada satu yang seharusnya berlalu begitu saja di ingatan Akabane Karma—namun justru menetap, bagaikan catatan kecil yang enggan luntur meski waktu terus bergulir.

Okuda Manami.

Bukan karena ia mencolok. Justru sebaliknya. Keberadaannya senyap seperti embun pagi, tenang dan tak mengusik. Gadis itu tak memiliki sorot mata yang menyala-nyala atau suara yang menggema memenuhi ruangan. Ia berbicara dengan nada lembut, kadang terpatah-patah, seperti seseorang yang meniti jembatan gantung dengan hati-hati, takut jika langkahnya akan menimbulkan gema yang terlalu nyaring.

Ia bukan petarung ulung, bukan pula ahli strategi yang bisa mengendalikan situasi. Keahlian bertarungnya dengan belati lebih menyerupai seorang pemula yang baru belajar menggenggam pisau dapur, dan tembakannya sekadar memadai. Namun, jika ada sesuatu yang dapat ia lakukan dengan sempurna, itu adalah ketulusannya dalam berkata jujur—dan kecintaannya pada ilmu kimia, yang begitu murni seperti air sungai yang belum tersentuh polusi.

Sepasang tangan mungilnya tampak tak berdosa, serupa kepakan sayap kupu-kupu di pagi yang basah. Namun di dalamnya tersimpan kecakapan meracik senyawa yang bisa merenggut nyawa. Racun buatannya pernah ia sodorkan langsung pada Koro-sensei, dengan ekspresi seolah hanya menawarkan secangkir teh sore.

Seperti bunga liar yang tumbuh di sela rerumputan—tampak jinak dalam keindahan sederhananya, namun diam-diam menyimpan bisa yang mematikan.

Dan sesederhana itulah cara Manami mencuri perhatian seorang Akabane Karma.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Karma menyadari bahwa Manami adalah seseorang yang nyaman untuk ditemani. Bukan dengan cara yang menciptakan dentuman dalam dada atau memicu percik-percik ketegangan, tetapi dengan kehadiran yang menyusup perlahan—seperti angin sepoi-sepoi yang tak terasa hingga kau menyadari betapa segarnya udara di sekelilingmu.

Hingga tanpa disadari, menemani keberadaannya di ruang sains setelah pulang sekolah menjadi kebiasaan.

Sesuai namanya, si setan merah dikenal sebagai biang onar, seorang pengacau yang menyebarkan kejahilan ke seluruh penjuru sekolah. Senyum jahilnya adalah pertanda bencana, suaranya adalah aba-aba untuk sebuah kekacauan yang akan segera terjadi. Menghajar si bodoh Terasaka tanpa belas kasih, mengolok-olok Nagisa dengan candaan yang menjengkelkan—semua itu adalah hiburan baginya.

Namun, dengan Manami—ia menahan diri.

Bukan karena kasihan. Karma hanya tahu batasan. Ia bukan pecundang yang memukul perempuan, dan bukan pula psikopat yang menikmati menyiksa makhluk yang lebih lemah darinya. Mudah saja baginya dicap sebagai perundung jika ia salah memilih lawan yang pantas.

Dan Manami—daripada lawan—lebih seperti partner baginya.

Ia berhutang pada gadis itu, yang dengan tangan mungilnya menyuplai racikan kimia untuk keisengannya.

Hubungan mereka mengalir begitu saja, tanpa definisi, tanpa kewajiban. Seperti air sungai yang malas mengalir di sudut ruang sains gedung 3-E—tenang, jernih, namun sulit ditebak kedalamannya.

Suatu hari, dalam perjalanan pulang dengan langit yang mulai menggelap, di antara percakapan yang entah bagaimana bermula, Manami menatapnya dengan mata ungu sejernih seseorang yang melemparkan batu ke danau tanpa benar-benar tahu seberapa dalam airnya dan berkata tanpa banyak menimbang alasan:

"Aku tahu Karma-kun sangat baik dan pekerja keras."

Karma terdiam.

Ia bukan orang baik. Tidak pula ia merasa pantas ataupun ingin disebut sebagai orang baik. Baginya, ‘kebaikan’ tidak lebih dari cermin yang hanya memantulkan apa yang diinginkan orang lain untuk dilihat. 

Dan entah sejak kapan, lagaknya yang selalu terlihat santai dan keren itu dianggap sebagai bentuk kerja keras? Hampir semua orang menerima kenyataan bahwa ia selalu mendapat nilai bagus tanpa bertanya bagaimana.

Namun, di mata gadis itu—ia bukan hanya seorang anak ajaib yang terlahir cerdas. Ia adalah seseorang yang memilih untuk berusaha, meski tak ada yang melihat.

“Disitulah seharusnya kau berpura-pura tidak tahu, Okuda-san.” Gumamnya, hampir tak terdengar.

Baginya membaca orang lain terasa menyenangkan, tapi ia tak mau dibaca. Baginya tidak keren terlihat berjuang, memalukan untuk menunjukkan ada lapisan di balik sikap santainya. Ia sengaja menyembunyikannya, jadi tidak seharusnya diucapkan. 

Meski begitu, Manami selalu berbicara dengan kejujuran tanpa setitik maksud tersembunyi ataupun dusta. Anehnya tak tampak seperti malaikat yang diciptakan tanpa dosa, lebih layak disebut anak kecil yang belum sepenuhnya paham apa yang keluar dari mulutnya. Seolah ia sendiri tidak tahu apakah kata-kata yang disuarakannya itu selaras dengan yang ada di hati.

Dan hal itu mengusik sesuatu dalam dirinya.

Mungkin sejak saat itulah, Manami tidak lagi sekadar gadis yang ‘menarik’ baginya.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Jam berputar, setahun berlalu cepat, dibubuhi air mata perpisahan yang takkan luput dari kenangan.

Jalan menuju sekolah bagi Karma dan Manami tidak lagi sama. Semula, ia berpikir segalanya akan berakhir seperti kebanyakan hubungan yang perlahan memudar seiring berkurangnya waktu bersama. Namun, entah bagaimana, benang tipis di antara mereka tetap terjalin.

Meski kini mereka berada di SMA yang berbeda, selalu ada alasan untuk bertemu. Atau mungkin, lebih tepatnya, Karma selalu menemukan dalih—entah itu meminta Manami meracik sesuatu untuk kejahilannya, atau sekadar muncul tanpa alasan yang benar-benar jelas.

Tak butuh waktu lama, bagi Karma, untuk menyadari bahwa Manami lebih dari sekadar teman dalam dirinya.

Dan dalam kesadaran itu, ia lebih dari tahu: Manami tak akan pernah menyadarinya.

Maka ia memilih membiarkan perasaan itu tetap terkunci dalam diam.

Manami masih belajar memperluas dunianya—mengenal orang lain, membangun lingkaran sosial yang lebih luas. Karma tak ingin menjadi penghalang dalam proses itu. Maka, ia meredam semua yang bergemuruh di dadanya, membiarkannya mengendap, setenang air danau di musim semi.

Tak ada posesifme. Tak ada kecemburuan buruk rupa. Tak ada keinginan untuk merenggut atau menodai.

Di sisi Manami, semua perasaan itu menjadi angin yang berhembus lembut—tak menghancurkan, tak menuntut.

Karena itulah, bisa berada di sisinya, bagi Karma, sudah cukup.

Atau setidaknya, begitulah yang ia kira.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Waktu terus melaju tanpa menoleh ke belakang. Tahun demi tahun berlalu. Mantan murid-murid kelas 3-E menapaki usia dewasa, berpencar ke berbagai arah kehidupan.

Akabane Karma, seperti yang telah diduga banyak orang, melangkah ke universitas ternama demi menggapai ambisinya menjadi birokrat. Kesibukan bertambah, tetapi tetap saja—entah bagaimana—ia masih menemukan alasan untuk menemui Manami sekali-kali.

Ia menyaksikan gadis itu bertumbuh. Wajah mungilnya perlahan bertransisi menjadi lebih dewasa, kepangan rambut kembarnya berubah menjadi satu, tertata rapi di sisi lehernya. Namun, ada hal-hal yang tetap tak berubah darinya—kacamatanya, antusiasmenya terhadap ilmu kimia, kejujurannya yang polos.

Sejenak, Karma merasa dirinya terlalu lengah.

Maka, pada suatu pertemuan setelah sekian lama, ketika Manami dengan santainya mengabarkan bahwa ia memiliki kekasih, Karma berani bersumpah bahwa ia mendengar suara petir menggelegar di siang bolong.

"Sejak kapan?"

Ia menatapnya, ekspresinya tetap datar—salah satu keuntungan terlahir dengan wajah yang tidak terlalu ekspresif.

Di saat seperti ini, mungkin hanya Nagisa—dengan bakatnya dalam membaca gelombang emosi manusia—yang bisa melihat kekacauan di balik ketenangan Karma.

"Sekitar bulan lalu."

Tak ada keraguan dalam suara itu. Manami masih sama seperti dulu—lembut, tenang, sederhana.

"Oh. Selamat."

Nada suaranya terdengar ringan. Namun, Karma bukan tipe yang suka membodohi dirinya sendiri.

Ia terlambat.

Sungguh disesalkan.

Ia kalah selangkah.

Mungkinkah karena terlalu nyaman dengan jarak yang ada? Atau mungkin ia terlalu percaya bahwa segalanya akan tetap sama, selamanya? Yang jelas, ini adalah kekalahan.

"Seperti apa orangnya?"

"'Dia' penulis terkenal dari jurusan psikologi," jawab Manami setelah jeda yang hampir tidak kentara. Senyumnya muncul dengan ketenangan yang sempurna—terlalu sempurna, seperti jawaban yang sudah ia susun dengan rapi sebelumnya. 

"'Dia' baik hati, lembut, dan sabar. Bahkan, 'dia' dengan perhatian menjelaskan banyak hal kepada orang sepertiku yang tidak pandai berbahasa."

Ia mengatakannya dengan datar, seolah hanya mengulang biografi yang diketahui semua orang.

Sial.

Jika pacarnya adalah seseorang yang kurang ajar, mungkin Karma dengan sisi brengseknya cukup berani untuk merebut Manami begitu saja. Tapi melihat senyum itu—senyum yang tak dibuat-buat—ia tahu bahwa sosok kekasih yang bahkan tak diketahui wajahnya itu setidaknya layak.

Dan itu berarti ia tak bisa melangkah maju lagi.

Tidak, jika itu berarti senyum itu akan luntur karenanya.

Namun, entah mengapa, ada sesuatu yang terdengar agak janggal dalam cara Manami menggambarkan kekasihnya itu.

"Apa aku perlu berhenti menemuimu, Okuda-san?" tanya Karma.

Ia tidak mau menjadi alasan bagi pertengkaran pasangan yang baru terbentuk, apalagi jika itu adalah teman dekatnya sendiri.

Manami terdiam sejenak.

"Tidak apa-apa, Karma-kun. 'Dia' berkata padaku untuk tetap seperti apa adanya selama kami menjalin hubungan."

Ada sesuatu dalam caranya mengatakan itu—bukan kebohongan, bukan juga kebenaran penuh. Lebih seperti mengutip kalimat serta-merta.

"Baguslah," Karma hanya mengangkat bahu, seakan berhenti mencari jawaban dari banyak pertanyaan. “Pacar yang pengertian seperti itu cukup jarang."

Mendengar sedikitnya informasi tentang kekasih Manami itu seakan mencicipi makanan yang sempurna, tetapi tanpa rasa. Bukan pahit atau pun pedas, dan ia tak bisa menikmatinya. Dan hanya pada sesederhana kata cemburu ia akan menyalahkannya selagi mendapati Manami tersenyum lagi.

Dulu, di kelas 3-E, Koro-sensei pernah berkata bahwa senyum seseorang bisa menjadi topeng paling sempurna.

Saat itu, Karma tak menganggapnya serius. Baginya, kalimat itu terlalu klise—terlalu mudah ditebak. Namun sekarang, di hadapan Manami, kata-kata itu menggema kembali di benaknya.

Okuda Manami tak pernah pandai berbohong. Itu tak berubah.

Tapi seiring waktu, ia semakin mahir dalam menyembunyikan sesuatu di balik senyumnya.

Karma pun memutuskan untuk berpura-pura tidak sadar.

Karena mungkin, seiring bertambahnya usia, kita semua belajar menyimpan sesuatu—bahkan dari orang yang paling kita percayai.

Mereka bukan lagi sepasang teman SMP yang bisa berbicara segala hal dengan santainya.

Aliran waktu telah membawa mereka berkembang.

Ironisnya, di antara semua perubahan itu, yang paling ia rindukan adalah masa-masa keterbukaan yang dulu mereka miliki.

Tanpa mencoba mengintip lebih jauh ke dalam kesedihan samar yang bersembunyi di balik iris lavender itu, Karma menghela napas pelan.

Cinta pertama, pada akhirnya, selalu menjadi masa lalu.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Chapter 1: Tersandung-end.

Notes:

Halo, setelah banyak pertimbangan aku pun memutuskan untuk mempublish kisah ini. Iya, gak salah baca kok, ada tag psikologisnya. Awalnya aku kurang yakin untuk menulis ini, apalagi dengan bahasa Indonesia yang aku yakin tidak banyak yang mau baca, tapi aku merasa hanya bisa mengekspresikan pemikiran ini dengan bahasa ibu bukan bahasa internasional awamku. Aku akan sangat senang jika ada di antara kalian yang mau meninggalkan komentar agar aku termotivasi untuk lanjut! Love KaruMana even in 2025.

Chapter 2: Teman.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Waktu takkan pernah melangkah mundur, mengalir lebih deras dari sungai ataupun air terjun tanpa dasar. Membawa pergi bulir demi bulir ke masa depan, meninggalkan pemandangan yang terlintas. Bahkan isu-isu tak berdasar dunia seperti ramalan kiamat yang tak kunjung tiba, meteor fiktif yang konon siap menghantam bumi, atau teori konspirasi tentang selebriti yang ternyata alien pun akan menjadi masa lalu dibawa aliran kejam ini.

Semua kebohongan - kebohongan yang terdengar lebih keras dari sepatutnya itu, bila dibandingkan, skala dari fenomena patah hati Karma tak lebih dari titik di akhir sebuah novel picisan. Tak banyak dikenal. Tergeletak di pojok rak berdebu. Hanya bagi penulis dan segelintir pembaca yang tahu eksistensinya.

Sejalan dengan aliran waktu, kaki panjangnya juga tak berhenti melangkah.

Tanpa terasa, ia berada di tahun terakhir kuliahnya. Kelas-kelas makin jarang karena fokusnya kini pada tugas akhir, tapi persiapan tes pegawai negeri yang akan ia ambil untuk menjadi birokrat cukup menyita tenaga. Masih jadi kebiasaannya, ia tak pernah menunjukkan kerja kerasnya pada siapa pun. Meski kini, ia tak lagi malu kalau orang menyadari usahanya itu.

Dan salah satu usaha terberatnya saat ini adalah untuk menyerah.

Menurut kamus, menyerah hampir sama dengan menerima kekalahan. Mungkin karena itulah terasa susah baginya yang suka akan kemenangan. Sebab itulah ia berusaha-diam meski tenggelam, mengharapkan kedamaian di dasar danau. Meski sejatinya sadar ia takkan menguap menjadi buih, refleksi bulan pun akan tetap ada di atasnya bila menengadah.

Buram, tapi tak pernah benar-benar lenyap.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

"Eh, lagi?!"

Yukimura Akari, sosok asli dari aktris yang kini naik daun dengan nama Haruna Mase, tersentak. Karma pun terbangun dari lamunan singkat. Suaranya cukup keras, tapi tidak cukup untuk menarik perhatian yang tak diinginkan. Kalau tidak, kacamata hitam dan topinya tentu sia-sia.

Di sampingnya, kekasihnya yang berambut biru, Nagisa, hanya menghela nafas. "Karma, sudah berapa pacar kau putuskan?"

"Angkanya tidak menarik jadi aku tidak ingat." Karma terkekeh santai, mengangkat gelasnya tanpa beban. Menghitung wajah-wajah yang akhirnya kecewa dengan sifat aslinya itu tak ada artinya. "Oh, tapi aku ingat rekor tercepat adalah tiga hari."

"Terakhir kali, kau bilang seminggu," Nagisa mengernyit, agak tidak percaya.

"Wow," Ujar Akari agak sarkas. "Bukankah dari awal aneh ada yang mau pacaran dengan orang sepertimu, Karma-kun?"

"Kayano-chan, bukankah tidak sopan bilang begitu langsung di hadapanku?" Karma tetap memanggilnya dengan nama lamanya. Nada suaranya ringan, seakan sama sekali tak terganggu, lalu menyesap minuman di tangannya.

Nagisa menatapnya dalam diam. Gelombang emosinya selalu stabil—terlalu stabil, seolah sengaja ia jaga tetap datar. Seakan dia bukan lelaki yang sedang patah hati.

Ya, patah hati.

Seolah minta dihibur, itulah alasan yang dipakai Karma untuk mengajak mereka makan malam hari ini. Biasanya kalau ada masalah, ia akan datang mendadak ke pintu apartemen Nagisa, membawa beberapa kaleng sake dari minimarket terdekat, memaksa temannya itu menenggak minuman sambil mendengar keluh kesahnya. Besoknya, Nagisa takkan ingat apapun karena toleransi alkoholnya buruk. Semudah itu seorang Akabane menutupi kelemahannya yang sedang ingin diutarakannya.

Apa yang berbeda kali ini? Pikir Nagisa.

Siapa yang membuat sahabatnya ini patah hati? Pacarnya yang baru putus? Atau seseorang lain... yang menjadi alasan Karma bergonta-ganti kekasih setahun terakhir?

Menerka jalan pikirnya tak akan pernah mudah, Nagisa pun membiarkannya tanpa jawaban.

"Oh ya, apa kau sudah dengar tentang Sugino-kun?"

"Tentu saja! Aku melihatnya di turnamen baseball minggu lalu di TV!"

Dan semudah itu, topik berganti. Percakapan mengalir, seperti anak sungai yang bercabang-cabang, membelok ke arah yang tak terduga. Mereka mulai membicarakan teman-teman lama mereka di 3-E.

Bagaimana kedai ramen Muramatsu kini ramai pengunjung, Hazami mendapat kritik unik atas sastra yang ditulisnya, Itona semakin lihai merakit perangkat elektronik, Nakamura yang berkeliling dunia, Kanzaki yang diam-diam memenangkan kejuaraan game, Maehara dan Okano yang mulai menjalin hubungan, atau bahkan guru olahraga dan bahasa inggris mereka, yaitu Karasuma dan Irina yang akhirnya dikabarkan akan menikah.

Satu per satu, nama yang ada mekar dalam pembicaraan secara alami. Sampai suara Akari terdengar lebih girang dan bangga menyebutkan nama berikutnya-

"Oh ya! Manami-chan!" Ia menyatukan tangannya dengan riang. "Dia akhirnya mendapat gelar peneliti! Padahal belum lulus, hebat sekali 'kan?!"

Ah.

Nama yang tak luput kerinduan.

Selalu terpigura rapi, bersih dari debu, jauh dari terik matahari di dalam relung hatinya. Permukaannya yang berona ungu dengan ragam lapisan, tak memiliki goresan barang sedikit pun. Keberadaan yang besar itu seakan alamiah di sana, bukan hal yang perlu dipertanyakan alasan.

"Oh." Senyum Karma tak bergeming. "Kalau tidak salah, penelitian tentang darah artifisial, bukan?"

Aktris itu dengan semangat melanjutkan. "Benar! Aku dengar Takebayashi juga membantunya! Katanya, penelitian ini didasarkan pada peninggalan Koro-sensei yang ada di buku nasihat kelulusan dulu dan—"

Di antara lantunan percakapan itu, Nagisa berkedip agak kaget. Untuk sesaat, gelombang emosi Karma terguncang. Riak itu cukup tajam, meski langsung mereda dalam sesaat.

"Nagisa?" Suara Karma terdengar tanpa beban, tapi tatapannya seakan tahu apa yang disadari oleh pria pendek itu. "Ada apa?"

Jangan bertanya.

Jangan menggali.

Bagaikan isyarat tanpa kata, iris emasnya memiliki pandangan sedikit memohon. Dari sekian banyaknya masalah ia tumpahkan padanya saat mabuk, tetap ada hal yang ia sembunyikan rapat dari Nagisa.

Menyadari hal ini, Nagisa menggaruk belakang lehernya. "...maaf, aku melamun. Sampai mana tadi?"

"Duh, Nagisa! Jangan bengong dong!" Akari mengeluh, tapi segera kembali berbicara dengan riang seakan sudah terbiasa dengan sikap kekasihnya yang kadang pikirannya hilang entah kemana itu. "Jadi, di lokasi syutingku kemarin—"

Makan malam dengan teman lama. Suasana yang hangat, penuh nostalgia. Seperti tentakel Koro-sensei yang dulu memeluk penjuru kelas dengan ajarannya.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Bagi Karma dan teman-teman sekelasnya, 3-E adalah tempat yang lebih dari istimewa. Tidak ada yang bisa menyaingi setiap pengalaman yang ada di dalamnya. Bergurau, bercanda tawa, melakukan reuni, berbagi kabar. Dibanding orang-orang yang dijumpainya setelah lulus dari gedung tua tersebut, bersama penghuni kelas pembunuh ini semua terasa lebih natural.

Seperti itulah teman, sebagaimana mestinya.

Lantas...

Setelah lebih dari setahun ini, apakah wajar baginya menghubungi Manami lagi sebagai teman?

Okuda Manami masih ada di sudut memorinya. Bertempat di sana seakan tak ada tempat yang lebih sesuai untuknya. Khalayak pecahan puzzle yang benar-benar pas mengisi lubang. Ia masih mengingatnya—hanya tak lagi mengejarnya.

Kalau boleh jujur, apabila cinta pertamanya adalah orang lain, mungkin ia akan mati-matian berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi sayang, Manami yang entah kenapa berbakat dalam menjinakkan sisi liarnya itulah justru berada di dasar hatinya.

Kadang ia bertanya—kenapa harus dia? 

Karma lebih dari mampu mencari wanita lain.

Tapi pada akhirnya, hanya Manami yang bisa menganggapnya sebagai ‘orang baik.’ Dan mungkin juga, hanya padanya ia secara tak sadar berbaik hati.

Tak apalah. Teman juga terasa lebih baik. Teman juga lebih dari cukup-daripada tidak sama sekali.

Menghela napas panjang, Karma melangkah pulang. Udara dingin menusuk, angin mengusap wajahnya. Di genangan air sisa hujan, rembulan memantulkan sinarnya. Terlihat damai, tapi setiap kali angin berembus, permukaannya beriak. Bulan yang tak terbentuk, semakin hancur kala kakinya menyentuh permukaan.

Ia tahu takkan pernah bisa memiliki ketenangan yang ada pada refleksi bulan di air itu-kasih yang membekas tanpa suara di dadanya.

Setidaknya... sekedar hasrat untuk menyaksikan bukanlah dosa 'kan?

Sebagai teman. Sama seperti yang sudah-sudah.

Ia merenggoh saku jaketnya. Jemarinya dengan lihai menelusuri kontak di HP-nya. Nama teman yang dicarinya muncul. Teman. Mengetik dengan gerakan ringan dan cepat, layar yang bercahaya itu terasa mengejeknya. Memakinya yang tak mau menerima kekalahan yang memalukan. Meski begitu, ia menyelesaikan kalimatnya.

"Okuda-san, apa kabar?"

Wujud keberanian Karma tampak lebih sederhana dari yang dikiranya. Menarik udara dingin ke dalam paru-paru, jempolnya menekan tombol kirim. 

Tanpa gemetar. 

Tanpa jeda keraguan.

Tanpa senyuman pula.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Chapter 2: Teman-end.

Notes:

Chapter 3 mungkin lebih butuh banyak waktu karena mulai menggambarkan kemunculan konflik. Aku harap kalian menikmati cerita ini walau masih terkesan membosankan. Terima kasih banyak!

Chapter 3: Asumsi.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Selama jiwa masih terpaut raga, manusia tak pernah benar-benar kehilangan kesadarannya. Bahkan dalam lelap panjang, setiap hembusan angin, suara samar, dan getaran dunia tetap terpatri dalam sekujur indera. Namun, hanya segelintir yang benar-benar akan disadari.

Kesadaran manusia bukanlah lautan tanpa batas, melainkan cawan yang hanya bisa menampung sedikit dari dunia di sekelilingnya. Ada yang tersaring, ada yang tenggelam di dasar, dan ada yang sengaja diabaikan—agar keseimbangan tetap terjaga.

Tujuh puluh dua jam.

Lebih dari empat ribu menit.

Seperempat juta kian detik.

Tiga hari.

Karma ingin menekan kebiasaan di kepalanya yang terus menghitung angka. Terutama untuk hal yang seharusnya tidak penting.

Menjelang tengah malam, ditemani buku referensi dan cahaya layar laptop yang melelahkan mata. Kesadarannya mulai memudar di antara baris-baris teks. Ia menghela napas, menyerah pada dorongan untuk beristirahat. Merebahkan tubuh yang letih di kasur—namun, alih-alih memejamkan mata, ia justru meraih ponselnya lagi.

Jemarinya dengan cekatan menelusuri kontak, berhenti pada ikon gambar tabung reaksi dan alat kimia yang tak pernah berubah. Ia menatap pesan terakhir dalam sunyi.

Tiga hari.

Hanya angka. Hanya waktu. Tidak singkat, tapi belum terhitung lama.

Kenapa dirinya cukup terganggu?

Riwayat percakapan mereka tak pernah berubah. Balasan Manami selalu sederhana, sopan, dan tulus, seolah-olah setiap kata yang ia tulis membawa suaranya sendiri. Ia selalu membalas agar tak membuat siapa pun khawatir. Sehari adalah waktu paling lama yang pernah diberikannya pada Karma, sebelum panik meminta maaf karena kesibukannya.

Sampai dia tiba di titik ini.

Hanya sebuah pesan sederhana—menanyakan kabar, seperti biasa. Kali ini, bahkan tidak dibaca.

Ia mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bukan hal besar. Mungkin Manami hanya sibuk. Mungkin ia kelelahan. Mungkin ponselnya mati. Tapi di antara semua alasan yang ia buat, kumpulan informasi dalam cawan pikirannya tetap membentuk asumsi ‘ada yang salah’. 

Mungkinkah dia merasa canggung?

Bagaimanapun juga memang sudah setahun lebih sejak terakhir kali mereka saling berbicara.

Tapi, ayolah? Okuda-san yang tidak peka itu?

Kalau itu yang memang terjadi, maka ini salahnya. Ia yang memutuskan untuk menjauh, bahkan setelah Manami menegaskan bahwa mereka tetap boleh menghabiskan waktu bersama seperti biasanya. Ia yang selalu mengambil inisiatif di antara hubungan mereka itu, seharusnya tahu bahwa ikatan mereka takkan sama begitu ia memutuskan untuk melangkah mundur.

Dulu, ia berpikir menjaga jarak bisa mempertahankan sesuatu tanpa harus memilikinya. Betapa bodohnya.

Meski begitu, mereka masih teman.

Mereka masih berbagi kenangan 3-E, masih memegang ajaran Koro-sensei. Harusnya itu lebih dari cukup untuk tetap memanggil satu sama lain sebagai teman, bukan?

Entah di mana letak salahnya.

Asumsi ‘ada yang salah’ ini pun berakhir tanpa jawaban.

Berakhir dengan pilihan untuk diabaikan. Karma mulai mengalihkan ombak untuk mengingat jadwal kelas yang harus dihadiri di keesokan hari.

Saat itu, cawan miliknya belum cukup terisi untuk mengintip lebih jauh pada kebenaran. Bukan salahnya jika ia lalai—sebab ia sudah lama tak bertatap muka dengan danau tenang berbayang bulan itu. Ia lama terbuai, hanya ingin meyakini kejernihan yang diketahuinya.

Bagi orang seperti Akabane Karma, seharusnya tidak sulit membayangkan.

Serapuh apa air ternoda. Selancar apa kotoran menjalar. Seringan apa kejernihan sirna. Tanpa meninggalkan suara, kebeningan menjelma jadi kekeruhan. Rembulan pun tak lagi refleksi, lenyap begitu saja selagi berpaling sejenak.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Langit bergelayut dengan awan tipis, membiaskan cahaya matahari hingga meredupkan ketajaman siang. Angin musim semi berhembus ringan, membawa jejak samar wangi bunga sakura yang melayang di udara. Meski suhu mulai menghangat, sisa dingin dari musim yang berlalu masih menyusup di sela-sela angin.

Karma menyandarkan tubuh pada kursi dengan malas, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja kafeteria. Lintasan obrolan, dentingan alat makan, langkah-langkah orang berlalu-lalang, semua tak lebih dari keramaian latar yang samar. Sekotak Strawberry Au Lait di tangan kembali diteguknya. Brand yang sama. Rasa manis yang sama. Entah sejak kapan, minuman ini menjadi sesuatu yang terus ia beli bagai kesetiaan tanpa makna.

Meski terlihat santai, kepalanya tak pernah benar-benar kosong. Ia membiarkan pikirannya mengalir dari satu hal ke hal lain tanpa henti. Cuaca hari ini yang cukup baik, kelas yang baru saja selesai, percakapannya dengan dosen tentang tugas akhir, mahasiswa lain yang tadi menyapanya dengan topik ujian pegawai negeri... siapa namanya, ya? Berbagai hal-hal remeh lainnya berlalu seperti riak kecil di permukaan air.

Sampai rantai pikirannya terputus oleh suara yang menyebut marganya dengan cukup keras di antara hiruk-pikuk kafeteria.

“Akabane-senpai, ada yang mencarimu!”

Karma menoleh, alisnya sedikit terangkat. Ia mengenal wajah itu, ingat namanya—adik kelas dari jurusannya sendiri. Ia mengerjap sebentar sebelum bertanya, “Siapa?”

“Katanya teman lama dari SMP.”

Sekilas, pikirannya menelusuri ingatan. Teman SMP? Ah… mungkin seseorang dari 3-E.

Hanya kelas itu yang cukup berani menyebut diri mereka ‘teman’ dari si setan merah yang terkenal di masanya. Tapi siapa yang bahkan repot-repot datang ke sini hanya untuk menemuinya? Bisa jadi Nagisa? Atau Isogai yang ingin membicarakan reuni berikutnya?

Penasaran, ia melangkah keluar kafeteria.

Yang menunggunya di sana adalah sosok pria dengan wajah yang familiar, meskipun bukan seseorang yang pernah benar-benar dekat dengannya. Tubuh jangkung dengan postur agak kaku, kaca mata bulat yang masih tetap sama, dan rambut hitam yang tertata rapi.

Takebayashi Koutarou.

“Lama tak berjumpa, Karma.”

Karma bahkan sengaja tidak menyembunyikan keheranan dari ekspresinya. Sejak lulus dari 3-E, mereka hanya bertemu dalam reuni tahunan dan itupun tak lebih dari basa-basi ringan. Sebelum ia sempat membuka mulut untuk sekadar membalas sapaan atau lanjut bertanya, ponselnya tiba-tiba bergetar panjang di saku.

Begitu ia mengangkat ponsel yang bahkan tidak ada panggilan masuk itu, suara tidak asing lainnya menyapa.

“Karma-kun! Apa kabar!”

Masih terdengar sama cerianya, seakan waktu tidak pernah berlalu bagi pemiliknya. Wujud virtual seorang gadis berambut merah muda muncul di layar ponselnya, melambaikan tangan dengan antusias.

Ritsu.

Sudah terlalu lama sejak terakhir kali ia melihat AI itu muncul di perangkatnya. 

Entah kenapa ada firasat buruk menggeliat pelan dalam diri Karma. Hubungan teman sebatas satu kelas 3-E dengan Takebayashi yang tak pernah mau jadi target kejahilannya dulu. Kemunculan Ritsu yang mungkin membawa informasi penting dari kemampuannya sebagai mesin kecerdasaan buatan. Keduanya memang sering bersama, tapi apa yang membuat mereka harus menemuinya secara langsung?

Sebuah nama terlintas di kepalanya.

Karma teringat percakapannya dengan Akari—tentang Takebayashi, tentang penelitian darah artifisial. Potongan informasi yang berserakan kini menyatu dengan cepat di kepalanya.

“Hei, sesuatu terjadi pada Okuda-san?” 

Takebayashi tidak terkejut. Seakan memang sudah menduga bahwa Karma akan sampai pada kesimpulan itu secepat ia membuka mulut. Hanya sedikit menghela nafas tanpa mengelak sedikit pun, ujung jarinya menaikkan bingkai kacamatanya dengan nada tenang.

“Ayo berpindah ke tempat yang lebih tenang dulu.”

Meski dengan paras yang tak berubah, Karma meremas kotak minuman kosong yang ada di tangannya. Melemparkannya dalam keadaan terkoyak tanpa bentuk menuju tempat sampah.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Chapter 3: Asumsi-end.

Notes:

Mohon maaf, karena rasanya akan jadi kepanjangan aku sengaja memecah chapter 3 jadi dua bagian. Ini bagian pertama dan bagian inti akan di unggah jadi chapter 4. Jumlah chapter yang semula direncanakan hanya 5 berubah jadi 6 (+1 bonus epilogue kalau jadi). Alhasil chapter ini mungkin kependekan tapi aku akan berusaha membuat chapter selanjutnya lebih baik. Terima kasih bagi siapapun yang masih membaca kisah ini.

Chapter 4: Hujan.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Langit yang semula cerah mulai meredup, lapisan awan tipis menggumpal, menutup sinar yang seharusnya jatuh lebih terang di siang hari. Angin barat bertiup, membawa aroma tanah basah dan kelembapan yang pekat—pertanda hujan yang datang lebih awal, mendahului musimnya.

Karma melangkah lebih dulu, menuntun kedua teman lamanya menuju ruangan kosong yang tampak sudah lama tak tersentuh. Perabotan di dalam tak terlalu tua, tetapi debu tipis menyelimuti permukaannya cukup samar-samar menggelitik hidung. Ia memutar kunci di jari, sebelum kelewat santai melontarkannya ke atas meja lagaknya pemilik ruangan.

Takebayashi menatap agak ragu. "Kau yakin ruangan ini boleh diakses mahasiswa?"

"Kau pikir aku siapa?" Karma menyeringai dengan khas, membuka jendela agar udara masuk. "Hanya perlu satu-dua kata manis pada staf yang suka bolos, dan sekarang tempat ini bebas kupakai semaunya."

Takebayashi mendesah pelan, seolah tak terkejut bahwa beberapa hal memang tak pernah berubah. Tanpa banyak bicara, ia menarik tablet dari tasnya, menyentuh layar dengan cekatan. Dalam sekejap, senyum cerah Ritsu berpindah dari ponsel Karma ke layar yang lebih besar.

Karma melirik langit yang tampak kelam di kejauhan sebelum menarik kursi. Ia duduk dengan satu lengan terhampar santai di sandaran, seakan sudah siap untuk mendengar apa pun yang akan dikatakan lawan bicaranya.

"Seperti dugaanmu, ini tentang Okuda-san.” Takebayashi menghela nafas pelan. “Sudah lebih dari seminggu ia mengurung diri di ruang laboratorium yang dipinjam dari profesornya."

Karma mengulang kata, memastikan tidak salah dengar. "Mengurung diri?"

Di 3-E dulu, Manami memang sering terhanyut dalam eksperimen hingga waktu menjadi larut. Koro-sensei atau teman sekelas lainnya sering mengingatkan atau bahkan mengantarnya pulang. Terkadang Karma pun iseng menyembunyikan beberapa alat agar dia akhirnya berpaling padanya. Tapi semua itu sebatas lupa waktu—tidak pernah sampai menutup diri sepenuhnya dari dunia.

"Ya," lanjut Takebayashi. "Aku sudah menanyakan beberapa kenalan dekatnya. Ia tidak membaca pesan siapa pun, termasuk yang penting sekaligus."

Karma mengetukkan jarinya di meja, matanya menyipit tipis. Asumsinya benar—bukan sekadar firasat buruk belaka. Ia bukan satu-satunya yang mencoba menghubungi Manami. Dan bukan hanya tiga hari. Kejanggalan ini sudah berlangsung lebih dari seminggu.

Manami memang sering tenggelam dalam eksperimennya, itu bukan hal baru. Tapi jika ia sampai memilih mengisolasi diri... berarti ada sesuatu yang jauh lebih buruk dari sekadar lupa waktu.

Seakan membaca alur pikiran lawan bicaranya, Takebayashi menambahkan. "Berdasarkan sifatnya, mungkin dia sudah tenggelam terlalu dalam dengan penelitian. Tanpa tidur atau makan yang layak."

Karma tidak suka bahwa ia bisa membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Meski begitu, hal seperti ini harusnya dipicu bukan tanpa alasan. 

"Karena situasinya mendesak, aku terpaksa mencari lokasi GPS Okuda-san," Ritsu akhirnya berbicara. "Aku tahu ini melanggar privasi, tapi—"

"Tak masalah," potong Karma cepat. "Lanjutkan."

Ritsu tetap melanjutkan laporannya, suaranya sedikit murung. "Ia bahkan tak sadar ketika aku sampai di ponselnya. Notifikasinya menumpuk karena ditinggalkan lebih dari seminggu."

Takebayashi menambahkan, "Aku meminta Ritsu juga memeriksa laptop kerjanya. Sesuai dugaanku dayanya masih terus menyala. Data yang berkaitan dengan penelitian ‘transfusi darah tipe RH null null’ juga terus diperbarui, meski dalam kapasitas terbatas karena dilakukan seorang diri."

Karma tetap duduk tenang, menyusun setiap potongan puzzle di kepala. Laboratorium pribadi. Penelitian yang belum boleh diketahui khalayak umum. Isolasi total selama lebih seminggu. Ada yang kurang. Semua ini menjawab bagaimana—tapi belum menjawab kenapa. 

Pasti ada sesuatu yang cukup kuat hingga Okuda Manami memilih menjadikan penelitiannya sebagai satu-satunya pegangan dan menutup pintu dari dunia.

Tapi Karma jauh lebih penasaran kenapa justru dirinya yang mereka tuju. “Jadi, kalian datang ke sini… karena ingin aku menghentikannya?”

Sekilas, ada kesunyian merayap di antara udara berdebu dalam ruangan. Hanya gema angin yang bertabrakan di jendela, sementara mendung menyanyikan suara guntur. Aroma hujan semakin pekat, cuaca pun berubah secepat hati penghuninya.

Takebayashi melepas kacamatanya, memijat batang hidung seakan mencoba mengusir penat. "Asal kau tahu saja, aku bahkan harus merelakan tiket anime movie yang tayang terbatas minggu ini.”

“Hah,” Karma sedikit terkekeh, sisi otaku dari teman lamanya itu masih tetap sama. “Pengorbanan muliamu takkan dilupakan.”

Ritsu tertawa kecil menanggapi gurauan yang masih bisa terselip di antara keduanya. Dan seakan bergerak tanpa diminta, ia melanjutkan topik utama mereka dan menampilkan suatu data bangunan pada layar.

“Gedung laboratorium yang digunakan Okuda-san berada di pinggir kota. Meski jauh dari pusat keramaian, fasilitasnya tidak bisa diremehkan. Keamanan cukup ketat dan hanya mereka yang memiliki akses yang bisa masuk. Takebayashi-san sudah mencoba berkali-kali. Ia menekan bel, meninggalkan pesan suara, tetapi tidak ada respons. Padahal sistem laboratorium seharusnya langsung menyalurkan pesan ke mesin di dalam.”

“Tunggu.” Karma, seakan mendapat ide jalan pintas, menyeringai. “Bukankah tidak perlu sulit-sulit? Tinggal-”

“Tidak,” potong Takebayashi cepat. Ia memasang kembali kacamatanya, sorot matanya tajam. “Aku tidak ingin gegabah. Kalau bisa, menerobos atau meretas harus jadi pilihan terakhir.”

“Tch.” Karma mendecak lidah kesal.

“Kadang aku ragu, apa benar kau mahasiswa hukum?” Pria berkacamata itu menggeleng.  “Kita bukan lagi anak kecil tanpa tanggung jawab. Laboratorium itu terhubung ke jaringan penelitian profesor yang meminjamkannya. Kalau kita gegabah dan ketahuan, bukan hanya akses yang dicabut—reputasi penelitian ini taruhannya.”

Si setan merah mengangkat tangan setengah malas, memberi gestur menyerah. “Baiklah, baiklah. Lalu apa rencanamu?”

“Aku sudah mencoba berbagai cara. Bahkan kemarin, aku datang bersama Kanzaki-san.” Sejenak ia menghela napas, seolah mengingat betapa nihilnya usaha itu. “Saat aku menghubungi Kayano-san, ia bilang sedang sibuk karena jadwal syuting. Lalu dia menyarankan namamu.”

Ah.

Jadi ini gara-gara Kayano-chan?

Karma menekankan punggungnya ke sandaran kursi, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam pikirannya. Setidaknya, mereka tidak datang begitu saja tanpa usaha. Tapi tetap saja, mengapa harus dirinya?

Teman seharusnya saling membantu. Itu hal yang wajar. Tapi bagi Karma, Manami bukan sekadar ‘teman’. Ia menanyakan kabarnya setelah sekian lama—demi mempertahankan batas. Tidak lebih. Karena jika melangkah melewati batas itu, ia akan menginginkan lebih dari seharusnya.

Kanzaki Yukiko, Takebayashi Koutarou, Ritsu. Nama-nama yang sudah lebih dulu mencoba dan gagal. Mungkin ada orang lain yang turut berusaha, tetapi Karma tak memiliki waktu untuk memikirkannya.

Tak ingin menjadi sekadar pilihan berikutnya, ia menyebut seseorang yang seharusnya lebih berhak berada di sisi Manami.

"Bagaimana dengan pacar Okuda-san?"

Seperti hentakan jari yang tiba-tiba membungkam musik, ruangan mendadak diliputi keheningan.

Takebayashi dan Ritsu sama sekali tak menjawab.

Sunyi.

Terlalu sunyi.

Seolah udara di sekitar mereka mengerut, menyisakan ruang hampa yang dingin dan menekan. Di luar, gemuruh petir makin nyaring, bak alarm peringatan akan datangnya pergantian cuaca.

Karma merasakan perubahan atmosfer yang aneh, nalurinya mulai terusik. "Ada apa?"

Takebayashi membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar. Ibarat ada yang tercekat pada tenggorokan dan lidah juga sedikit kelu. Pada akhirnya, ia hanya menghela napas panjang, terdengar berat dan enggan.

"Aku rasa wajar bagimu tidak tahu. Aku bahkan terkejut Okuda-san sempat memberitahumu tentang… 'dia'."

"Kenapa?" Karma mengernyit. "Mereka putus?"

Di luar sana, angin mulai berhembus lebih kencang, menggoyangkan pepohonan. Udara yang tadinya hanya terasa berat kini mulai bergerak, menebarkan hawa yang semakin menusuk kulit.

Ritsu menatapnya, ekspresi digitalnya yang biasanya ceria tampak lebih bimbang dari sebelumnya. Ia menimbang-nimbang, seolah sedang mencari cara paling lembut untuk menyampaikan sesuatu.

"Karma-kun..."

Tes.

Satu tetes jatuh pada kaca jendela.

Tes. Tes. Tes.

Gerimis mengguyur dengan cepat, berubah menjadi hujan deras yang menggema di atap.

“…pacar Okuda-san...

sudah meninggal dunia sebulan yang lalu.”

Kilatan petir membelah langit. Dalam sepersekian detik, ruangan mereka tersiram cahaya putih yang menyakitkan, hanya untuk kembali tenggelam dalam bayangan.

Di luar, hujan turun semakin deras—seolah meratapi kegersangan bumi.

Karma membeku.

Dari semua kemungkinan yang sempat melintas di benaknya, ini bukan salah satunya.

Meninggal? Yang benar saja.

Matanya tetap terpaku pada meja, tetapi pikirannya melayang jauh, terseret ke dalam pusaran kata-kata Ritsu yang terus berulang di kepalanya. Seolah otaknya enggan memproses kenyataan yang baru saja diungkapkan.

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Kecelakaan, penyakit, atau bahkan sekadar kebetulan buruk—hal-hal semacam itu terjadi setiap saat. Tetapi mengapa… ada sesuatu yang terasa berat di dadanya?

""Dia' baik hati, lembut, dan sabar. Bahkan, 'dia' dengan perhatian menjelaskan banyak hal kepada orang sepertiku yang tidak pandai berbahasa."

Suaranya masih terdengar jelas, seperti gema yang bertahan di sudut pikirannya. Senyum Manami yang berkata demikian setahun lalu masih terasa seolah baru kemarin.

Dan kini, orang itu sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Manami kehilangan seseorang.

Ia tidak pernah tahu. Tidak ada di sana.

Setahun lebih ia menjauh, dan dalam kurun waktu itu, Manami telah menanggung kehilangan sebesar ini—sendirian.

Pesan yang ia kirim beberapa hari lalu seolah mengejek dirinya sendiri. Apa kabar? Pesan singkatnya tak lebih memperburuk suasana. Teman? Ia merasa sudah tidak layak.

Di luar, hujan semakin deras, menciptakan simfoni samar yang menyusup ke dalam ruangan yang mendadak terasa terlalu hening. Hujan musim semi yang bahkan tak disiarkan oleh berita cuaca pagi ini. Beberapa kelopak bunga sakura ikut terbawa jatuh ke tanah.

"Bagaimana bisa...?"

Ritsu, yang sedari tadi mengamati ekspresi Karma, tampak semakin murung. Tanpa berkata apa-apa, ia menampilkan sebuah dokumen di layar.

"Ini adalah informasi tentang ‘dia’ dari hasil laporan terbaru Takebayashi-san."

.

.

.

[DATA PASIEN – RAHASIA]

Dokumen ini bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan penelitian.

Informasi Pasien

- Nama: ▇▇▇▇▇▇▇▇

- Usia: ▇▇ tahun

- Diagnosis: Leukemia Stadium Lanjut

- Status: Deceased (Meninggal)

Partisipasi dalam Penelitian

- Kategori: Pasien Sukarelawan Uji Klinis

- Protokol: Transfusi Darah Artifisial Tipe RH Null Null (Eksperimental)

Ringkasan Uji Klinis

- Penelitian bertujuan menguji kompatibilitas dan efektivitas darah artifisial pada pasien dengan kondisi hematologi kritis.

- Pasien menerima transfusi darah sintetis dalam dosis terkendali dengan pemantauan berkala.

- Meskipun tidak memberikan efek terapeutik jangka panjang, terapi ini memungkinkan pasien bertahan lebih lama dari estimasi usia pada diagnosis sebelumnya.

Tanggal Kematian: ▇▇/▇▇/▇▇▇▇

- Penyebab Kematian: Progresi penyakit utama (Leukemia Stadium Akhir), tidak terkait langsung dengan prosedur penelitian. 

- Implikasi: Data yang diperoleh menjadi referensi awal untuk pengembangan lebih lanjut terapi transfusi alternatif.

.

.

.

Pecahan terakhir yang dicarinya jatuh pada tempatnya, menyempurnakan gambaran teka-teki yang sejujurnya enggan ia lihat utuh.

Laboratorium pribadi. Penelitian yang belum boleh diketahui publik. Isolasi total selama lebih dari seminggu. Pasien uji coba. Kekasih. Meninggal dunia. Rasa bersalah. Duka-Okuda Manami.

Karma merasakan sesuatu tertahan pada tenggorokannya.

"Berita ini tidak tersebar luas," tambah Takebayashi. "Hanya orang-orang dalam lingkaran penelitian yang mengetahuinya. Bahkan sebagian besar dari mereka tidak tahu hubungan ‘dia’ dengan Okuda-san."

Karma mengangkat tangan, menyeka wajahnya dengan punggung telapak, mencoba meredam ekspresi yang tak lagi setenang biasanya. "Takebayashi… ini mustahil. Aku tidak akan bisa meyakinkannya."

"Karena Okuda-san sedang berkabung?" Suara Takebayashi terdengar datar, terlalu tenang.

"...bukankah itu wajar?"

Seharusnya, ya.

Namun, tatapan pria berkacamata itu berubah. Suaranya menurun, lebih dingin, lebih tajam—hampir seperti bisikan.

"Andai memang sesederhana itu."

Meski suaranya merendah, jelas sekali itu bukan sekadar gumaman. Ada sesuatu dalam nada Takebayashi. Sebuah tekanan halus yang disengaja, memastikan setiap kata tidak sekadar lewat di telinga.

Ia melangkah ke jendela, menutupnya perlahan. Udara dingin dan aroma hujan kini tertahan di luar, tetapi suasana dalam ruangan tetap terasa berat. Sesaat, ia melirik ke arah tablet di meja, memastikan tidak ada cipratan air yang bisa mengganggu Ritsu. Meski jaraknya cukup aman, sedikit kehati-hatian tak ada salahnya. Sementara itu, ujung kerah kemejanya masih basah, jejak dari angin yang sempat masuk sebelum kaca jendela kembali tertutup rapat.

Keheningan menggantung di udara tak bosan-bosannya. Sepuluh detik berlalu, tetapi terasa jauh lebih lama.

Di seberang meja, tangan Karma telah turun dari wajahnya, kini membentuk genggaman yang sedikit lebih erat dari seharusnya. Urat samar tampak di punggung tangannya, sementara tatapannya menajam, menekan, seolah menuntut jawaban tanpa perlu bertanya.

Takebayashi menghela napas, membiarkan jeda sejenak sebelum akhirnya berbicara.

“‘Dia’ adalah salah satu kenalanku sejak lama. Mahasiswa di kampus yang sama dengan Okuda-san,” Ia menggulung lengan kemejanya sedikit ke atas, memperhatikan jarinya yang masih lembab. “Tapi 'dia' lebih sering berurusan denganku di rumah sakit. Karena aku yang menangani pasien uji coba penelitian termasuk dirinya.”

Karma mendengarkan, tapi matanya tak bertemu lawan bicaranya. "Dan mereka bertemu di sana?"

"Ya." Takebayashi menjawab dengan nada tenang, ia mengambil sapu tangan, mengelap telapak tangannya yang dingin. “Saat Okuda-san meminta untuk ikut melihat pasien uji coba, aku juga tidak menyangka bahwa pada pertemuan pertama mereka itu, ‘dia’ langsung mengajaknya berpacaran.”

Seketika, garis wajah Karma berubah.

“Apa?” Suaranya sedikit meninggi, bukan hanya karena keterkejutan, tetapi karena kejanggalan yang ada dari ucapannya.

Cinta pada pandangan pertama?

Tidak. Tidak mungkin seklise itu. Jelas sekali.

Karma bukan tipe yang percaya begitu saja pada romansa instan, apalagi jika menyangkut seseorang seperti Okuda Manami. Itu bukan hubungan yang terbangun dari kebersamaan, bukan pula dari asmara yang bertumbuh seiring waktu. Ada sesuatu yang tidak masuk akal. Belum lagi… ia mengingat jelas kata-kata dalam dokumen tadi menunjukkan usia ‘lelaki itu’ yang dinyatakan akan berakhir singkat.

"Dan Okuda-san menerimanya begitu saja?"

"Aku juga berpikir aneh waktu itu. Terlalu mendadak, tak cukup alasan untuk menerima ajakan spontan itu." jawab Takebayashi, tangannya kembali pada kebiasaan lama—menyesuaikan bingkai kacamatanya.“Tapi Okuda-san selalu menghindar setiap kali kutanya… dan sebelum sempat menyelidiki lebih jauh, aku harus menangani urusan administrasi rumah sakit.”

Karma menghela napas, membiarkan kata-kata itu tenggelam dalam pikirannya.

Sebuah hubungan tanpa masa depan atau harapan.

Dulu, saat Manami menyebutkan pacarnya dalam percakapan singkat mereka, ia juga merasakan ada sesuatu yang janggal. Nada bicaranya… pilihan katanya… tapi saat itu, ia terlalu sibuk mengendalikan perasaannya sendiri untuk bertanya lebih lanjut.

"Dan kau diam saja?"

“Aku sudah mencoba bertanya di setiap kesempatan berikutnya,” balas Takebayashi, kali ini nada suaranya sedikit berubah kesal. “Entah cara apa yang ‘dia’ pakai untuk meyakinkan Okuda-san… yang biasanya jujur, malah enggan membicarakan hubungan mereka.”

Ada jeda sejenak sebelum Karma menyadarinya. “…kau tampak tidak menyukainya.”

Takebayashi tidak langsung menjawab. Tatapannya sedikit menjauh, seakan menimbang apakah ia perlu terus terang atau tidak. Pada akhirnya, ia menghela napas dan menyandarkan bahunya ke dinding.

"Aku tahu ini bukan sikap profesional, mengingat ‘dia’ adalah pasien,” katanya pelan, seakan berbicara lebih pada dirinya sendiri. “Tapi penyakitnya tidak serta-merta membuatku simpatik padanya. Aku pun tidak nyaman dengan sifatnya."

Karma sempat ingin bertanya lebih lanjut—apa yang sebenarnya dimaksud Takebayashi? Sifat seperti apa yang membuatnya begitu enggan? Tapi ia mengurungkan niatnya.

Masalah mereka bukan ‘dia’. Masalah mereka adalah Okuda Manami.

'Lelaki itu' sudah tidak ada di dunia ini. Tidak perlu menggali kuburannya hanya untuk mengorek sisa-sisa jawaban yang mungkin tidak lagi berguna.

"Bagaimana kondisi Okuda-san setelah acara pemakaman?" tanyanya akhirnya.

Takebayashi tidak langsung menjawab. Ia menyesuaikan posisi berdirinya, mengambil napas sebelum berbicara dengan nada lebih tenang.

"Hanya segelintir orang yang tahu hubungan mereka," ujarnya. "Tapi tentu saja, ada waktu untuk sedikit berduka setelah pemakaman. Setelah itu, dia kembali menjalani hari-harinya seperti biasa—kuliah, meneliti di laboratorium, menulis laporan dengan penuh semangat. Aku kira dia sudah baik-baik saja..."

"...sampai kau kehilangan kontak dan menemukan dirinya mengisolasi diri?" Karma menyelesaikan kalimatnya.

Takebayashi mengangguk pelan. Ada sesuatu dalam ekspresinya. Bukan sekadar keprihatinan, tetapi kegelisahan yang lebih dalam. Seolah ada kejanggalan yang tak bisa ia jelaskan, detail-detail kecil yang sulit dibuktikan tetapi tetap mengganjal dalam pikirannya.

Sementara itu, Karma mengetukkan jarinya ke meja. Pikirannya memilah setiap potongan informasi yang baru saja ia serap. Secara logis semua sudah cukup lengkap. Jika sudah seperti ini, jawabannya sudah jelas.

Namun, ada satu pertanyaan yang tak bisa ia abaikan—sesuatu yang sejak tadi berputar di benak emosinya, nyaris tak terucap.

"Aku tahu Kayano-chan yang menyarankan namaku," katanya, menatap langsung ke mata lawan bicaranya di balik kacamata. "Tapi kau pasti punya alasan kuat untuk menemuiku secara langsung, bukan?"

Netra emas itu sedikit mengharap, menatap penuh kesungguhan.

"Apa yang membuatmu berpikir aku bisa berhasil?"

Takebayashi terdiam sejenak. Kemudian, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum tipis—bukan ejekan, bukan pula angan berlebih. Lebih seperti seseorang yang tersentuh oleh hembusan lembut nostalgia, mengingat sesuatu yang jauh tapi masih tertinggal di sudut ingatan.

Masa ketika ia mendengar tawa dua anak di ruang sains gedung tua sepulang sekolah. Seorang gadis yang tenggelam dalam dunia eksperimennya, seorang anak laki-laki dengan sejuta keisengan di kepalanya. Dua orang yang tampak bertolak belakang, tetapi menemukan ritme yang anehnya selaras saat bersama.

Kalau dunia Manami adalah laboratorium, maka Karma sudah termasuk di dalamnya sejak dulu.

"Bukankah dulu kau sering memintanya meracik zat kimia yang tidak masuk akal untuk keisenganmu?"

Nada Takebayashi ringan, tetapi dalam senyumnya ada sesuatu yang lain—bukan sekadar kenangan, tetapi pemahaman. Sekilas, ada kilatan yang mengingatkan pada tatapan Nagisa tempo hari.

"Aku ingin percaya bahwa ada sesuatu dalam diri Okuda-san yang tidak berubah. Bahwa baik dulu maupun sekarang, dia akan tetap mendengarkan permintaanmu."

Ah.

Jadi… kau juga melihatnya.

Sesuatu yang selama ini hanya ingin kusimpan sendiri.

Ruangan kembali menyulam kesunyian. Namun, hujan di luar tak lagi sekencang tadi. Hantaman air yang tadinya berisik di jendela kini mereda menjadi gerimis tipis. Seolah ada jari tak kasatmata yang memutar cuaca dengan ketukan lembut.

Jawabannya sudah jelas.

Karena mereka adalah 'teman'.

Tidak peduli seberapa dalam perasaan yang ia sembunyikan. Tidak peduli bahwa itu mungkin tidak akan pernah berbalas.

Ikatan dalam kelas 3-E tetaplah teman.

Namun, saat mendengar kata-kata itu, Karma menelan ludah. Ada sesuatu yang menghangat di dadanya—kelegaan kecil yang hampir tidak ingin ia akui. Mungkin selama ini, ia hanya membutuhkan dorongan kecil seperti ini untuk bergerak maju. Sebuah afirmasi, yang mungkin tanpa sadar diharapkannya.

“Hahaha!” Untuk pertama kalinya hari ini, ia tertawa lepas. Wajahnya sedikit lebih cerah. “Kau tetap saja menyebalkan!”

"Aku anggap itu pujian," gumam Takebayashi, mengangkat kepalan tangannya.

Karma menatapnya sejenak, lalu, dengan cengiran yang menunjukkan gigi taringnya, ia pun membalas gestur tersebut.

Ritsu, yang sejak tadi diam dan hanya mengamati, akhirnya tersenyum. Ada kebahagiaan murni dalam ekspresi digitalnya—senang melihat percakapan ini berujung pada keputusan. Tanpa menunggu aba-aba, ia langsung mengirimkan lokasi Manami ke ponsel Karma, lengkap dengan rute terbaik untuk menerobos tanpa harus mengutak-atik sistem keamanan.

Takebayashi melirik sekilas, tetapi tak mengatakan apa-apa. Ia tahu betul, akses itu bukan untuknya. Sebagai seseorang yang terlibat langsung dalam penelitian, risiko terlalu besar jika ia sampai tertangkap.

Saat mereka melangkah keluar dari gedung kampus, hujan telah berhenti. Semerbak bunga sakura bercampur embun menyambut. Langit masih muram dengan sisa mendung tipis, tetapi beberapa sudut jalanan telah kembali kering, seolah menghapus jejak deras yang sempat mengguyur beberapa saat lalu. Hari telah bergeser menuju sore, meski lembayung senja belum menampakkan diri di cakrawala.

Namun, di suatu tempat, hujan mungkin masih turun.

Deras. Panjang. Berat. Dingin.

Mungkin ia takkan bisa menghentikan bulir-bulir yang telah jatuh terlalu banyak itu.

Setidaknya,

Kali ini,

Karma akan memayungi di sisinya.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Chapter 4: Hujan-end.

 

Notes:

Karena aku tidak biasa menulis satu adegan yang terus berkelanjutan dan panjang, chapter ini mungkin terasa agak beda dari chapter lainnya yang seakan renungan singkat dengan beberapa adegan di dalamnya. Udah dipecah sama chapter tiga tetap panjang, bahkan sampai hampir stuck ToT. Semoga kalian menikmati konflik yang akhirnya muncul ini! Terima kasih banyak sudah membaca ^^

Chapter 5: Seandainya.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Hutan kecil itu mengelilingi gedung laboratorium dalam rangkulan yang lembut, seolah membisikkan rahasia yang terperangkap dalam batang dan daunnya. Jejak hujan masih tersisa di udara—campuran aroma tanah basah, dedaunan yang berat oleh embun, dan sisa angin yang masih terlalu dingin untuk musim semi. Langit di atas mulai teroleskan semburat kuas jingga, pertanda senja akan membangunkan sang malam.

Di depan pagar yang cukup tinggi, Akabane Karma berdiri dengan tangan terbenam dalam saku. Pilihan untuk menerobos mungkin bukan keputusan ideal, tetapi satu-satunya yang tersisa. Ritsu telah menyediakan rute terbaik, jalur yang bisa ditempuh tanpa harus meninggalkan jejak yang mencolok. Maka setelah Takebayashi menurunkannya di lokasi, sisa perjalanan ini harus ia lakukan sendirian. 

Tapi tentu saja, mereka berdua akan menunggu di mobil tak jauh dari sana, mempersiapkan kemungkinan terburuk ataupun terbaik yang akan dibawakan oleh Karma.

Dari dua pilihan masuk yang disediakan, ia memilih opsi ruang istirahat yang terhubung langsung ke dalam laboratorium. Sekalipun zaman sudah dipenuhi dengan teknologi canggih, masih ada satu kelalaian yang bertahan: manusia lebih mempercayai tembok dan pagar daripada celah kecil yang ada di samping mereka. Ventilasi tetap perlu dibuka, jendela tetap perlu dibiarkan tidak terlalu terkunci, dan Karma cukup tahu bagaimana memanfaatkan kelengahan sederhana seperti itu.

Jendela ruang istirahat terbuka dengan sedikit usaha. Dengan kawat kecil yang dibawanya, kunci sederhana itu tunduk tanpa perlawanan berarti. Begitu ia melangkah masuk, udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya. Seakan penghuninya tak menyadari hujan yang barusan singgah, kelupaan untuk menaikkan suhu agar ruangan lebih hangat.

Ruangan itu tidak berantakan, tetapi ada kelelahan yang tertinggal di sebagian sisinya. Pada meja kecil di depan sofa panjang itu, berserakan bungkus-bungkus kosong nutrition bar, setengah cangkir kopi yang sudah kehilangan kehangatannya, dan tumpukan kertas penuh coretan tangan. 

Karma melihat sekilas beberapa kertas yang berisi laporan penelitian harian itu. Semakin baru tanggalnya, tulisan yang ada semakin tergesa-gesa. Ia menghela nafas pelan, membayangkan pola hidup tidak sehat seperti apa yang telah berlangsung di sini.

Aroma khas laboratorium mulai tercium ketika ia beralih ke pintu lain di ruangan itu. Setengah terbuka, tetapi dengan cara yang tidak wajar—seakan ditinggalkan begitu saja tanpa niat untuk kembali menutupnya.

Dengan langkah ringan, Karma melangkah masuk.

Laboratorium itu bahkan jauh lebih dingin dari yang ia kira.

Cahaya putih dari lampu LED menyoroti jejeran peralatan yang berbaris dalam keteraturan mekanis. Mikroskop berkilat dingin di sudut meja, tabung-tabung reaksi tertata dalam rak kaca, pipet, buret, dan erlenmeyer masih berdiri di tempatnya masing-masing. Ada centrifuge di meja sebelah kiri, dikelilingi beberapa vial kecil yang isinya sudah mengendap. Sejumlah lembar laporan tersebar di meja kerja, beberapa lembar terlihat lebih lusuh dari yang lain, seperti terlalu sering disentuh namun tidak kunjung selesai dibaca.

Di tengah ruangan itu, di depan layar laptop yang kini hitam pekat, seorang gadis duduk membungkuk tanpa gerakan.

Okuda Manami.

Karma pun mendekat, sengaja tak menyembunyikan gema langkahnya. Namun tubuh mungil itu tak bergeming sedikit pun. Ia semakin dekat, hingga jarak yang tersisa hanyalah kurang lebih setengah lengan. Tetap tak ada pergerakan dari Manami.

Matanya yang biasanya berpendar lembut kini meredup, seakan kehilangan cahaya. Kantung mata tergambar jelas di bawahnya, bibirnya pecah-pecah tanpa warna, dan tubuhnya tampak lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya. Rambutnya masih terkepang satu seperti biasanya, tetapi helaian kecil berantakan di sekitar jalinannya, membingkai sosok yang tampak di ambang batas kelelahan.

Jemarinya terhenti di atas keyboard.

Ia tidak sedang membaca. Tidak sedang mengetik. Tidak sedang berpikir.

Ia sekadar diam.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ada sedikit pergerakan. Pelan, Manami mengangkat tangannya, hendak meraih sesuatu di sampingnya. Mata letihnya memandang ke layar laptop yang gelap, seakan baru menyadari bahwa perangkat itu telah kehabisan daya. Tangan kurusnya meraba meja, mencari kabel charger yang belum disentuhnya sejak entah kapan.

Saat itulah, Karma menangkap pergelangan tangannya. Jemari yang lebih besar membungkusnya dengan mudah, merasakan suhu tubuh yang begitu rendah.

Manami tidak langsung bereaksi. Sejenak ia hanya diam, seakan otaknya butuh waktu lebih lama untuk memproses kenyataan. Pelan-pelan, matanya menengadah. Yang pertama kali ia lihat adalah kilatan merah—rambut yang terlalu khas untuk tidak dikenali. Kemudian, mata emas yang selalu tampak percaya diri, kini mengamatinya dengan pandangan yang selalu sulit ditebak.

Lalu suara yang terdengar ringan, nyaris main-main, tetapi tidak bisa menyembunyikan kelembutan samar di baliknya.

"Lama tak berjumpa, Nona Racun Kacamata."

Panggilan lama yang awalnya hanyalah julukan sembrono dari Terasaka itu, kembali diucapkan seolah waktu tak pernah berlalu.

Manami berkedip sekali. Dua kali.

Cahaya di matanya masih redup, tetapi setitik kesadaran kembali mengisi kekosongan di dalamnya. Bibirnya terbuka sedikit, suara yang keluar serak, pecah seperti daun yang terlalu lama diterpa musim kering.

"Apa… Karma-kun juga akan menghentikanku?"

Kata-kata itu menggantung di udara yang terlalu bersih.

Karma tidak kaget. Wanita itu sadar.

Sadar bahwa sudah seminggu lebih Takebayashi dan yang lainnya mencoba menghubunginya. Sadar bahwa ada pesan-pesan yang masuk, suara-suara yang berbicara padanya. Dan sadar bahwa ia telah mengabaikan semuanya dengan sengaja.

Bagaikan menabur jejak lolongan minta tolong yang kehilangan suaranya. Hanya menunggu saat ada seseorang yang akhirnya cukup nekat untuk melangkahi dinding perlindungan yang dibuatnya ini.

Karma menatapnya lebih dekat. Pergelangan tangan dalam genggamannya terasa ringan—terlalu ringan. Nadi di bawah kulitnya berdenyut pelan, seakan mengeluh dalam keheningan.

"Masih ingin lanjut?" tanyanya pelan, jempolnya menekan sedikit lebih dalam di atas kulit dingin itu. “Silahkan saja, itu pun kalau bisa kau lepaskan sendiri.”

Tak ada jawaban.

Manami sekadar menunduk, giginya menggigit bibir bawahnya yang kering. Lengannya sedikit bergetar, tetapi tidak cukup kuat untuk menarik diri. Tidak cukup kuat untuk menepis genggamannya yang bahkan tak mengeluarkan banyak tenaga. Bahkan tenaga itu terasa jauh lebih lembut daripada bagaimana Karma biasa menyentuhnya.

Ia tersenyum tipis, meski matanya memberi ketajaman yang lebih serius dari biasanya.

"Tak masalah jika Okuda-san memang tak ingin berhenti," ucapnya akhirnya.

Karma tak pernah memiliki niat untuk merenggut hal yang berharga dari wanita itu. Sejak awal, ia tahu—keindahan Manami bukanlah sekadar paras teduh atau sorot mata setenang rembulan di danau malam, melainkan ketulusannya yang amat murni. Ia adalah sosok yang begitu menyatu dengan impiannya, menyulam harapan dengan benang kesungguhan, hingga membuatnya tampak begitu menyilaukan di mata Karma.

Namun, kali ini saja, ia berharap agar belati yang hendak ia tikamkan ke hati rapuh itu dapat dimaafkan. Sebab, luka yang tertutup rapat hanya akan mengendap menjadi nanah. Dan luka, seberapapun dalamnya, harus dibuka agar bisa sembuh dengan wajar.

"Itupun kalau kau memang ingin menelantarkan penelitianmu ini setengah jalan."

Kata-kata itu bagai hantaman yang sedikit menerpa rasa lelah. Manami membeku di tempatnya. Sorot matanya yang sewarna kelopak lavender melebar, seolah setitik percikan yang dikiranya telah padam kembali menghangat.

"Mimpimu, usahamu, aspirasimu."

Suara Karma menggema lirih, tapi tajam—seakan setiap katanya terukir di udara, enggan pudar begitu saja. Kemahirannya dalam mencela, dalam menyisipkan sindiran bagai pisau yang menikam tepat sasaran, kali ini terasa sedikit pahit di lidahnya sendiri.

"Apa tidak apa-apa membuang semua itu begitu saja?"

Mimpi.

Kata itu mengalir dalam benaknya, seperti riak di permukaan air yang tiba-tiba terguncang oleh batu yang jatuh tanpa peringatan. Getarannya menyebar, semakin luas, semakin tak terjangkau.

“Okuda-san, apa impianmu?”

Dulu, di kelas 3-E yang begitu berharga, Manami pernah menuliskan impiannya dengan penuh semangat. Dengan tangan kecilnya yang dulu bergetar bukan karena ragu, tetapi karena keyakinan yang begitu kuat.

“Aku ingin menemukan formula kimia yang dapat membahagiakan teman-temanku!”

Karma masih mengingatnya. Manami, dengan suara jernih yang menggema tanpa keraguan. Gadis itu bagai seorang calon peneliti muda yang tak pernah meragukan jalannya sendiri. Dengan kilaunya yang kecil dan tak pernah redup, ia menarik perhatian Karma bagaikan kutub magnet yang tak bisa dielakkan.

Namun, ia pun tahu lebih dari siapapun, impian sebesar itu pada akhirnya akan terasa terlalu berat di ukuran telapak mungilnya. Beban yang mungkin akan menghancurkannya perlahan.

Tak merasakan perlawanan, Karma akhirnya melepaskan genggaman pada pergelangan wanita itu. Tangan Manami jatuh begitu saja ke atas dadanya, masih mengepal dan lemah.

"Tidak bisa!"

Mendadak, suaranya yang lembut itu pecah, seperti gelas kristal yang jatuh dari genggaman.

Kepalan mungilnya terhentak di dada Karma, bukan dengan kekuatan, melainkan dengan getir. Getarannya lebih banyak berasal dari hatinya yang tak lagi mampu menahan semua yang telah menumpuk begitu lama.

"Aku tidak bisa membuang semuanya!"

Di mata yang kembali bercahaya itu, tersimpan begitu banyak kesedihan. Air mata merembes keluar, membasahi pipi yang selama ini tertutupi senyuman. Isakan menyelip di antara napasnya yang tak beraturan.

"Aku... sudah berusaha keras! Agar tidak ada lagi yang harus menderita... agar tidak ada lagi yang mati sia-sia...!"

Pukulan-pukulan kecil itu terus mendarat di tubuh Karma. Kepalan yang bahkan tak terasa geli, tetapi meninggalkan sensasi berat yang pada setiap sentuhan.

"Aku selalu percaya... jika saja aku lebih cepat... meneliti lebih baik... perpisahan tidak akan datang terlalu cepat..."

Masih bergetar, tinju kecilnya berhenti.

Suara Manami meredup, serupa keluhan sunyi yang larut dalam udara.

"Koro-sensei pun juga... bisa lebih lama ada..."

Sejenak, waktu seakan berhenti.

Tubuh Manami akhirnya menyerah. Bahunya jatuh, dan tanpa kata-kata, dahinya menyentuh dada Karma. Nafasnya masih tersendat, tetapi seakan akhirnya ia mengizinkan dirinya untuk bersandar.

Karma seharusnya terganggu karena bajunya kini basah oleh air mata. Seharusnya marah karena telah menerima pukulan-pukulan itu. Seharusnya kecewa lantaran air danau yang disayanginya itu penuh lumpur bekas badai.

Namun, yang ia lakukan hanya satu.

Ia merengkuh Manami dalam pelukannya—perlahan, hati-hati, seakan takut gadis itu akan retak lebih parah dari yang sudah ada.

"Okuda-san, aku tak pernah meragukanmu. Aku tahu kau pasti akan berhasil menemukan penelitian yang membuat bahkan seluruh dunia lebih bahagia."

Bisikannya begitu lembut, sehalus desir angin yang melintasi dedaunan di musim gugur.

"Tapi..."

Karma menarik napas pelan, lalu melanjutkan,

"Kalau begitu... siapa yang akan mengisi kebahagiaanmu yang telah habis diberikan ke dunia?"

Ia merasakan gemetar dalam lingkaran lengannya berkurang, meski air yang membasahi bajunya masih mengalir. Ini mungkin adalah kedua kalinya ia melihat Manami menangis. Yang pertama adalah saat kepergian guru mereka, ketika ia mendengar suara jeritannya yang penuh kesedihan—pelampiasan yang tertumpah di balik ketenangan.

"Bukankah Gurita itu juga sudah mengajari kita dengan baik?"

Jari-jarinya bergerak begitu saja, menyentuh rambut Manami seperti kebiasaan lama yang pernah ada. Ringan, tanpa tujuan, tetapi juga tanpa penolakan.

"Bahwa pada akhirnya, semua ini tidak akan berarti jika kita sendiri tidak termasuk di antara kebahagiaan yang kita ciptakan untuk orang lain."

Takebayashi, Ritsu, Kanzaki, Karma—bahkan mendiang Koro-sensei pun juga.

Mereka semua, tanpa kecuali, memikirkan hal yang sama.

Tatapanmu yang selalu menatap lurus ke depan, sering kali lupa untuk menunduk dan menyadari keberadaan diri sendiri.

Seindah itulah cinta Okuda Manami pada mimpinya—pada ilmu kimia.

Karma sadar, ia takkan pernah bisa menyaingi hal itu. Namun, jika setidaknya ia bisa menjadi alasan bagi Manami untuk berhenti sejenak, berpaling dari mimpinya itu dan beristirahat walau tidak lama, maka itu sudah cukup.

Dalam dekapan itu, isakan Manami perlahan mereda. Kesunyian singgah tanpa rasa canggung di antara keduanya. Sorotan senja yang memanjang pun mengintip malu dari celah pintu laboratorium, hari mulai larut. Bibir wanita itu terbuka pelan, suara berikutnya keluar nyaris seperti angin yang berbisik lelah,

"Kenapa... manusia itu begitu egois?"

Karma tersenyum getir. Lebih dari siapapun, ia memahami pertanyaan itu.

"Kenapa ya..."

Seakan tidak tahu jawabannya, ia pun menyeret kalimatnya.

Membiarkan Manami tenggelam dalam kelelahan, dalam dekapan yang, untuk kali ini, semoga cukup untuk mengurangi beban yang ia pikul sendirian.

Aroma laboratorium pun mulai terasa akrab di hidungnya—wangi khas yang mengingatkannya pada hari-hari lama di gedung tua kelas 3-E.

Karena manusia begitu egois, mereka ingin meninggalkan sesuatu yang berarti sebelum mereka pergi.

Koro-sensei, dengan ajaran-ajaran berharganya.

Dan juga ‘dia’.

Keegoisan yang tertinggal begitu dalam, hingga pada akhirnya, Karma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dan membiarkan rasa itu tetap menjadi sesuatu yang tak perlu dikatakan. Sampai saat ini.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Manami akhirnya tertidur.

Deru nafasnya perlahan mereda, tubuhnya yang semula tegang kini larut dalam kelelahan yang telah ia paksakan terlalu lama. Seakan dunia yang selama ini ia genggam erat akhirnya terlepas dari jemarinya, membiarkannya jatuh dalam ketenangan yang telah lama ia abaikan.

Karma tetap diam untuk beberapa saat, mendengarkan ritme nafasnya yang lirih, nyaris tak berjejak.

Perlahan, ia mengangkat tubuh kecil itu, menyesuaikan pegangan sebelum menggendongnya ke ruang istirahat. Manami begitu ringan—terlalu ringan. Seakan beban yang dipikul selama ini telah menelan dirinya sendiri, menyisakan hanya sesosok gelas kaca di ambang kehancuran karena penyesalan.

Dengan hati-hati, ia menidurkannya di sofa panjang, memastikan kepala kecil itu bersandar nyaman di bantal yang ada di sudutnya. Jemarinya bergerak tanpa perintah, membelai poni yang jatuh ke dahinya, menyeka sisa air mata yang mengering di sudut matanya.

Ia menatap wajah itu lama. Karma menghela napas.

“Maaf… kalau tahu akan begini, aku seharusnya tidak menjauh darimu.”

Kalimat itu jatuh dalam sunyi, seperti dedaunan yang akhirnya berserah diri pada musim gugur. Tapi meskipun diucapkan, ia tahu, kata-kata itu tak akan mengubah apa pun.

Maka, setelah memastikan Manami terlelap dalam tidurnya, ia merogoh saku, berniat menghubungi Ritsu dan Takebayashi untuk memberi tahu kondisi Manami. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, sesuatu di atas meja menarik perhatiannya.

Di antara tumpukan laporan penelitian yang penuh coretan dan angka-angka kompleks, ada sebuah buku bersampul kulit abu-abu. Dia tak melihat benda itu di sana tadi, mungkin tidak sempat menyadarinya.

Buku catatan? Tampak seperti jurnal harian.

Di tengah dunia yang dipenuhi oleh penelitian dan rumus-rumus tak berujung, ia tampak seperti jejak yang seharusnya tidak ada. Setitik tinta yang agak pudar di antara lautan kemurnian yang terlalu steril. Menunggu untuk ditemukan.

Karma melirik Manami, kembali memastikan bahwa ia masih tertidur, sebelum tangannya terulur untuk mengambil buku itu. Jemarinya menyentuh permukaannya yang sedikit kasar, terasa hangat di tengah semua kedinginan.

Ketika ia membuka sampulnya, halaman pertama langsung menyambutnya. Tulisan tangan yang rapi mengisi beberapa baris awal. Belum sempat membalik halaman, jarinya menemukan sebuah foto terselip di belakang sampul dalam kondisi terbalik.

Sesaat ada perasaan tidak nyaman mengetuk hatinya, bagaikan pengingat memori kecil yang mungkin tak diinginkannya.

Namun, seakan ada bisikan yang mengundang, ia mengambil foto itu dan membaliknya.

Gambar itu memperlihatkan Manami—masih dengan kacamatanya, masih dengan senyum kecil yang tak banyak berubah. Karma membeku sesaat menyadari sosok di sebelahnya. 

Seorang lelaki yang tak ia kenali, duduk di ranjang rumah sakit dengan sorot mata meregang jiwa.

Karma menatap foto itu dalam diam.

Tak pernah ia mengenal suaranya, tapi sekilas ada salam sapa berhembus pada benaknya.

Ah. Akhirnya kita bertemu.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Ruangan rumah sakit ini adalah dunia milik ‘dia’.

Tempat yang pertama kali dijejakinya, tetapi terasa seperti telah lama Manami kenal. Terlalu bersih, terlalu rapi—seakan tak ada kesengsaraan yang semestinya melekat pada bau obat-obatan yang memenuhi udara. Tidak ada suara monitor medis berbunyi, tidak ada erangan kesakitan, hanya keheningan yang terlalu sempurna.

Di tengah ruangan itu, ‘dia’ duduk di ranjang, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dipahami.

‘Dia’ membalas sapaan Manami dengan wajar. Nada bicaranya ringan, seolah mereka hanyalah dua kenalan yang bertemu dalam kebetulan yang telah ditakdirkan. Menjawab pertanyaan seperlunya, sedikit berbasa-basi. Hingga akhirnya, ia bertanya,

"Nona peneliti, aku ingin bertanya... Sudah berapa kelinci percobaan yang mati dalam penelitian ini?"

Manami terdiam sejenak sebelum menjawab dengan jujur. Menjelaskan bahwa penelitiannya masih berada di tahap awal. Uji coba belum berkembang sejauh itu. Dan ‘dia’ juga pasien lainnya adalah gelombang yang pertama.

'Dia' tersenyum tipis, nada suaranya ringan, tapi entah kenapa terasa lebih berat daripada yang seharusnya.

"Oh, berarti aku yang akan berada di daftar pertama. Semoga kau bisa menggunakanku dengan baik untuk masa depan yang lebih cerah."

Kata-kata itu menghantam sesuatu di dalam dirinya.

Manami sedikit menunduk. Ada sesuatu yang mencengkeram perasaannya, sesuatu yang belum bisa ia namai. Ia tak bisa membantah bahwa pasien ini telah memilih jalannya sendiri, tetapi entah kenapa, dalam dirinya muncul perasaan bersalah yang aneh.

Dan semakin ia menatap wajahnya, semakin samar sebuah bayangan berwarna kuning mengusik pikirannya. Seakan ia pernah dekat dengan sorot yang mengenal kematian lebih dari siapapun itu entah dimana.

Ia menghela napas, mencoba mengabaikan gemuruh di dadanya. Ia pun bertanya, mengapa?

Mengapa ‘dia’ memilih menjadi pasien sukarelawan uji coba penelitian ini, meski tahu kondisinya tak terselamatkan?

"Kenapa? Memangnya kalau aku memberitahumu, apa keajaiban akan terjadi?"

Tawa kecilnya terdengar menggelitik juga perih. Manami menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Namun, ia tetap mencoba.

Mungkin… mungkin jika ia memahami alasannya, ia bisa lebih berusaha dalam meneliti.

"...Kau orang yang tulus, ya? Jarang ada spesies sepertimu."

Ada jeda sejenak. ‘Dia’ menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak.

"Mungkin hidupku tak banyak berarti, tapi dikenang dalam catatan penelitian yang mungkin akan mengubah dunia tidaklah buruk, bukan?"

Seakan 'dia' tidak pernah berharap untuk diingat sebagai seorang manusia. Seakan nama yang tertulis di jurnal penelitian lebih berharga daripada kisah hidupnya sendiri.

Kata-kata itu seharusnya terdengar pasrah, tetapi justru terasa seakan terukir sangat dalam di batu nisan. Manami diam, tapi pikirannya bergejolak. Ia harusnya sudah siap dengan kemungkinan akan adanya pengorbanan ketika memilih menekuni penelitian ini.

Sejenak, tanpa sadar, ia bertanya,

Adakah yang bisa ia lakukan untuknya meski sedikit?

‘Dia’ tersenyum, ada senada penantian singkat di suaranya.

"Kau mau membantuku?"

Tangannya terangkat pelan, menunjuk buku catatan di pangkuannya.

"Sampai akhir hayatku, aku ingin tetap menjadi penulis. Aku sedang menulis buku terakhirku. Tapi aku butuh inspirasi… juga seseorang untuk mewarisinya."

Manami mengerjap. Ia tidak mengenalnya sebelum hari itu. Ia tidak tahu hidupnya, tidak tahu kisah apa yang pernah dilaluinya.

Maka, ia lanjut bertanya, apakah ‘dia’ punya seseorang?

Teman? Keluarga? Kekasih?

‘Dia’ menatapnya, tertawa lebih lepas dari sebelumnya. Seakan menganggap wanita itu lucu.

"Tidakkah kau membaca data informasiku?"

Suara itu terdengar sedikit lebih rendah. Bagai diukur penuh presisi setiap nadanya. Menarik benang halus bernama simpati.

"Aku yatim piatu. Tidak punya kerabat. Teman? Mungkin editorku dan beberapa pembaca yang menyukai karyaku terasa dekat dengan kata itu."

‘Dia’ terdiam sejenak seakan berpikir, lalu bibirnya membentuk senyum kecil yang sekejap terlihat gelap.

"Kekasih… ah, ya. Itu ide bagus."

Matanya kembali menatap Manami, dan kali ini, sorotnya tampak lebih dalam.

"Maukah kau menjadi pacar terakhirku?"

Manami membeku.

Pertanyaan itu terlalu mendadak, dan tak bisa meresap dengan baik. Deretan logika yang dimiliki Manami tak bisa menemukan alasan apa yang membuat ‘dia’ mengajaknya menjalin hubungan tersebut. Belum lama ini mereka tak lebih dari orang asing yang mungkin bahkan tidak akan berpapasan. Pacar? Meski tak punya pengalaman di sana, ia tak yakin... bisa mencintai orang ini.

"Tidak ada ruginya, kan?"

Nada suaranya masih ringan, tampak senang mendapati reaksi kebingungan di hadapannya. Manami bisa merasakan segelintir tanda yang tersembunyi di baliknya.

"Aku juga dari awal sudah menandatangani kontrak penelitian ini. Data pasien leukemia sangat berharga, bukan?"

Kontrak itu tetap menyertakan hak pasien untuk berhenti di tengah penelitian jika dampaknya terlalu besar. Jika menginginkannya, ‘dia’ bisa meninggalkan semuanya tanpa menoleh ke belakang. Sebuah peringatan yang tersirat halus.

Alih-alih merasa terpojok, Manami justru merasa harus berterima kasih padanya. Sejak awal, jika tidak ada pasien penelitian ini tak akan bisa melaju. Selain berterima kasih apa lagi yang bisa dilakukannya ketika ia diberi dukungan seberharga ini untuk terus melangkah maju?

Terlintas sejenak dalam kepalanya, dalam Advice Book yang ditinggalkan Koro-sensei, ada satu saran yang selalu mengusiknya:

‘Ketika kegagalan dalam penelitian terus menghantuimu, maka istirahatlah. Jika dampaknya cukup parah, berhentilah.’

Ia tak pernah bisa menuruti pesan itu. Meyakinkan diri kalau mungkin belum bisa. Karena ia tidak ingin gagal. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan yang ada. Tidak ingin mengecewakan dukungan yang ada.

Maka, Manami menarik nafas pelan sebelum akhirnya menyetujui tawaran itu.

Tanpa ada keterkejutan, senyumnya segera melebar, lebih lembut, lebih puas. 'Dia' mengulurkan tangannya, seakan menawarkan sebuah kesepakatan yang telah lama dipersiapkan.

"Aku dalam bimbinganmu, Okuda Manami-san."

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Lembayung sore telah ditelan kegelapan. Langit kini hanya hamparan pekat tanpa cahaya, tertutup awan yang menggulung dalam diam. Tak ada bulan yang memantulkan sinarnya, tak ada bintang yang berkelip di kejauhan. Yang ada hanya bayang-bayang, menyelubungi malam dalam kesunyian yang terasa lebih berat dari biasanya. Di suatu tempat, suara samar gagak melintas—entah di mana, entah apa yang mereka bawa disela bulu sayapnya.

Karma masih terpaku dalam diam. Buku itu masih berada di genggamannya, seolah menahannya dalam hipnosis yang enggan melepaskan.

Halaman-halamannya berisi banyak hal—bukan sekadar jurnal harian, tetapi kumpulan pemikiran yang telah diukir dengan hati-hati. Beberapa halaman hanya berisi renungan singkat, beberapa tersusun menjadi puisi, ada pula kisah fiksi bak dongeng yang mengalir pendek.

Namun, semua kata-kata tersusun dengan terlalu rapi. Terlalu bersih. Tak ada cela emosi yang kuat, sehingga susah menebak kepribadian pembuatnya. Seolah ditulis oleh seseorang yang telah membuang semua jejak dirinya agar tidak ada yang benar-benar bisa mengenalnya. Benar-benar penulis profesional.

Takebayashi pernah berkata bahwa ada sesuatu yang tidak nyaman tentang 'dia'.

Namun bahkan dengan kemampuan membaca dan analisanya, Karma tak bisa membuktikannya. Setiap rangkaian kata yang cantik di depannya terasa seperti tirai malam abadi. Tidak benar-benar rapat, tapi manusia takkan pernah bisa membukanya.

Meski begitu, Karma masih terus membaca.

Lembar demi lembar hingga matanya terhenti pada halaman terakhir.

Sudutnya ternoda bercak darah yang telah mengering, menyisakan warna gelap yang nyaris menyatu dengan kertasnya. Laksana tanda pergulatan antara hidup dan mati.

Lalu, di sana, ada tiga kalimat yang tersusun rapi.

Tidak ada perumpamaan indah. Tidak ada metafora yang berusaha melunakkan makna. Hanya kata-kata yang memang sengaja diasah lebih tajam dari senjata.

'Jika aku mati, akankah ada seseorang yang memikul bayangan kepergianku?'

Jantung Karma berdegup lebih keras.

Setiap hurufnya ibarat diukir dengan benda lancip. Menggores pikirannya dengan pertanyaan yang tak memiliki jawaban sederhana. Menorehkan luka tanpa secercah suara.

Tulisan ini...

Untuk siapa? Untuk apa? Kenapa?

'Manusia bisa membunuh satu sama lain dengan kepergian, dengan kenangan yang tidak selesai, dengan perasaan yang tidak pernah diungkapkan.'

Jari-jari Karma menegang, cengkeramannya pada buku itu semakin erat. Seketika, kata-kata itu tidak lagi terasa seperti sekadar tulisan. Bukan juga refleksi.

Itu adalah warisan-sabit raksasa milik sang pencabut nyawa.

"Karma-kun?"

Suara itu pelan. Samar.

Manami baru saja terbangun dari mimpi pendeknya, menggosok matanya yang masih terasa berat karena kelelahan.

Namun Karma tidak menjawab. Ia tak mampu berpaling.

Bukan karena ia tidak berdaya, tetapi karena nafasnya terasa kosong. Seperti menguap menjadi gelembung. Meletup. Hilang. Jauh dari permukaan.

Seakan ada tangan tak terlihat yang sengaja mencekiknya.

Jadi ini yang kau rasakan?

'Seseorang tidak perlu menodongkan senjata untuk membunuh orang lain. Cukup meninggalkan mereka dengan sebuah ‘seandainya’.'

Kata itu bergema terlalu keras.

Seandainya dia tidak datang atau terlambat?

Seandainya Manami terus bekerja?

Seandainya nadi yang tadi ia rasakan berhenti berdenyut?

Seandainya napas lembutnya tadi terhenti?

Seandainya Manami benar-benar mati?

Seandainya.

Istilah bermakna sama yang tadi digunakan Manami. Harapan agar bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa. Ungkapan penyesalan yang terus tumpah. Jaring laba-laba yang diam-diam menjerat kupu-kupu, meronta tak mampu bergerak.

Ah… betapa mengerikannya semua perumpamaan itu.

Ia memikirkan kemungkinan bahwa ‘dia’ bukan orang baik. Memikirkan kemungkinan bahwa ‘dia’ sedikit egois karena umurnya yang pendek. Memikirkan kemungkinan ‘dia’ ini cukup pintar dalam mempengaruhi Manami. Tapi tidak sejauh ini. Tidak sekejam ini...

Jangan bercanda!

Tanpa pikir panjang, Karma menarik lengan Manami dengan kasar, lebih kuat dari biasanya. Tulang dan daging yang kurus itu terasa sempit diantara jari-jarinya yang menegang.

“K-Karma-kun, apa yang—”

Cengkeramannya itu cukup kuat hingga Manami sedikit meringis. Mungkin bahkan akan meninggalkan bekas yang tidak enak dilihat nantinya. Namun kali ini, Karma tidak peduli.

“Pikirkan apa yang terjadi kalau aku tidak datang, bodoh!”

Pecah begitu saja, suara itu bukan sekadar bentakan. Itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar amarah. Lebih dari sekadar frustasi. Lebih dari apapun, ada ketakutan terpancar di sana.

Manami agak tersentak.

Ia tidak ingat kapan terakhir kali Karma membentaknya seperti ini. Mungkin tidak pernah. Karena Karma selalu baik padanya.

Tapi kali ini… wajahnya merah, ekspresinya penuh amarah, dan di tangannya—buku itu tergenggam erat. Kilatan emas di matanya memandang lurus netra ungu wanita itu dengan panas nyala api yang tak dapat dijabarkannya.

Kenapa dari semua orang... 'dia' memilih wanita ini?

Dan kenapa kau pun memilih 'dia'...?

Karma tak habis pikir.

Ia menunduk, bahunya bergetar. Tenaga yang ada pada jemarinya mulai melemah. Rambut merahnya jatuh, sedikit mengenai dahi Manami.

“Apa kau…”

Tangan yang mencengkeram Manami kini gemetar, kehilangan kekuatan yang semula menahannya.

"...akan meninggalkanku penuh ‘seandainya’ juga?”

Karma tidak ingin kehilangan lagi. Baginya, Koro-sensei sudah cukup. Satu kehilangan saja sudah cukup untuk menelan seseorang seumur hidup. Tolong biarkan satu kotak pusaka yang ditinggalkan gurunya itu menghabiskan hidup mereka dengan benar. Setidaknya untuk satu wanita ini saja, jika suatu hari ajal menjemput habis usia, ia ingin dapat mengantarnya dengan senyuman.

Pupil Manami mengecil, matanya terbelalak. Seakan akhirnya terbangun dari bisikan yang selama ini mengajaknya jatuh—dari tepi yang nyaris tak terlihat. Ia akhirnya menatap kenyataan, meninggalkan seserpih kenaifannya dan kepolosan yang menutup matanya.

Benar. Jika Karma tidak datang… bisa jadi aku akan benar-benar mati.

Kenapa ia baru sadar? Kemana saja semua ilmu yang dipelajarinya? Kelelahan yang berlebih, beban fisik dan mental, sel-sel yang meneriakkan peringatan, serangan jantung bisa jadi bukan omong kosong lagi. Terlalu banyak bekerja adalah alasan yang terlampau umum di negeri ini.

Manami tak mampu merangkai kata-kata. Nafasnya tercekat, rahangnya bergetar. Suara lirih Karma yang pecah itu membuat sekujur tubuhnya sedikit menggigil. Tapi tidak, ia tidak boleh menangis.

Jari-jarinya bergerak tanpa sadar, naik ke wajah Karma, menyentuh lembut pipinya. 

Mata emas itu basah.

Setetes air mata mengalir jatuh tanpa suara.

Karma sendiri bahkan hampir saja tidak sadar. Dan semakin jari mungil itu mencoba menyekanya, semakin pula air itu menggenang, seakan enggan jatuh. Tangisan yang belum sempat jatuh, berusaha disapu berkali-kali oleh tangan itu.

“Maafkan aku.”

Suara Manami bergetar. Entah kenapa hanya kata itu yang bisa keluar dari tenggorokan keringnya. Ia terus mengulanginya. Lagi dan lagi. Matanya ikut lembap. Tapi kali ini, ia berusaha menahannya.

“Maafkan aku, Karma-kun.”

Karma bahkan tidak menyuruhnya berhenti menyalahkan diri. Mereka tahu bahwa siapapun tak luput dari kesalahannya. Tanpa banyak kata, ia justru membenamkan kepalanya di bahu Manami, seakan peran mereka kini berbalik. Ia bukan penyelamat, tapi juga korban keegoisan manusia. Bukan penopang. Melainkan seseorang yang kehilangan pegangan, mencari sesuatu untuk tetap bertahan.

Dua tangan yang berbeda ukuran itu, penuh dengan luka, dan akhirnya saling menggenggam.

“Dasar bodoh…”

Gumaman itu hampir tak terdengar. Bahu Manami tidak basah, air matanya sudah berhenti. Meski begitu, ia butuh waktu sesaat sebelum bangkit. Payung yang dibawakannya terhampar petir dan tak lagi berarti, membiarkan keduanya terguyur hujan bersama.

“Maafkan aku.”

Manami mengulanginya lagi. Hingga nanti Karma pun cukup muak dengan semua permintaan maaf itu.

Di luar sana, bulan tetap tersembunyi di balik awan.

Dan di dalam, Karma ikut tenggelam dalam badai yang selama ini hanya ia amati dari kejauhan.

Ombak itu akhirnya menyeretnya masuk.

Ikut tercemar dalam penderitaan sang danau, yang tak lagi bisa memantulkan cahayanya sendiri.

Pada akhirnya…

Ia pun membiarkan bayangan buramnya yang tak lagi tersenyum, tenggelam dalam air yang tak lagi bening.

- - - - - ꒰ ☾ ꒱ - - - - -

Chapter 5: Seandainya-end.

Notes:

Chapter ini adalah yang paling penting dari keseluruhan cerita. Meski panjang, tidak bisa kupotong. Maaf ya :') aku harap kalian tidak keberatan. Update selanjutnya akan yang terakhir. Langsung chapter terakhir + bonus epilog. Ada rencana menerjemahkan ke bahasa inggris kalau sudah tamat, tapi semua itu masih rencana. Terima kasih sudah menyempatkan membaca sampai sejauh ini.

Chapter 6: Lotus.

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

.

.

.

Kumpulan warna merah muda yang begitu manis sehingga memanjakan mata itu pun gugur begitu saja.

Bunga-bunga yang hidupnya begitu fana, menghilang secepat mereka bermekaran. Kecantikan sakura yang bersemi pun, abadi sepanjang musim di hasil karya tangan manusia. Terpatri dalam lukisan, bingkai, juga kata. Seakan setiap kelopak yang tertelan bumi pun hanya ilusi belaka.

Dalam siklus serba-serbi warna alam, rona pucat itu menjadi hijau segar di bawah terik matahari musim panas. Kadang kala memayungi setiap insan yang mencoba berteduh di bawahnya. Transisi yang begitu alami, bersilih dari satu musim ke musim lainnya. Dan seberlalu itu pula, kehangatan yang dibawa oleh sang angin mendingin kembali.

Daun demi daun perlahan menyambut corak baru—ragam kuning dan merah kecoklatan.

Dari balik jendela, dedaunan yang jatuh dari tangkainya terlihat samar. Entah sudah keberapa kalinya lembaran kering itu menyentuh tanah, membuat petugas kebersihan sedikit mengeluh sebelum menyapunya ke sudut. Sepasang mata ungu memperhatikan satu helai daun yang masih memiliki jejak kehijauan—menolak menyerah terlalu cepat.

“Okuda-san?”

Suara yang memanggilnya membawa Manami kembali ke ruangan sekitar. Ia berkedip sejenak sebelum menoleh balik pada wanita di hadapannya.

“M-maaf, sesi konsultasi kali ini sudah selesai ya?”

Dokter itu tersenyum lembut, seakan memahami ke arah mana pikirannya tadi melayang. “Tak perlu meminta maaf. Musim gugur kali ini cukup indah, kan? Karena udara juga semakin dingin, jangan lupa untuk menjaga kesehatan tubuh juga.”

Menerima kata-kata penuh perhatian itu, Manami sedikit tersenyum canggung. “Ahaha… terima kasih banyak, Dokter.”

“Sama-sama. Sampai jumpa lagi di pertemuan berikutnya.” 

Suara itu tetap hangat hingga akhir, memberikan rasa nyaman yang tak terlalu asing lagi bagi Manami. Membalas salam perpisahan itu dengan sopan, ia pun membungkuk sedikit lebih dalam dari biasanya.

Melangkah keluar dari ruang konsultasi, lorong rumah sakit terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Hanya terdengar gema kecil derap langkah pasien dan perawat yang sibuk dengan tugas mereka. Udara cukup dingin, tetapi ia belum juga mengenakan mantel yang tergantung di lengannya.

Sembari menyelesaikan beberapa berkas sebelum pulang, ia sempat menerima sapaan ramah dari beberapa perawat yang sudah mengenalnya. Seorang pasien lansia bahkan tersenyum dan menyelipkan sebungkus permen stroberi ke tangannya—hadiah kecil karena telah menemaninya berbincang tadi.

Saat Manami akhirnya berhenti di lobi untuk mengenakan mantelnya, suara familiar memanggil namanya.

“Manami-chan!”

Manami menoleh pada seorang wanita berambut hitam bergelombang melambai dengan penuh semangat. Wajahnya tersembunyi kacamata hitam dan topi. Diikuti pria berambut biru di belakangnya.

“Akari-chan? Nagisa-kun?”

“Akari, jangan berlari di rumah sakit.” Nagisa, yang berdiri di sebelahnya dengan ekspresi tenang, memberi peringatan untuk melambat sebelum kekasihnya itu akan melesat.

“Kejutan~!” seru Akari dengan riang.

“Kenapa kalian ada di sini?” Manami mengerjap heran. “Bukankah kita janjian bertemu di tempatku?”

Nagisa hanya bisa tersenyum dengan nada segan. “Maaf ya, Okuda-san. Karena kebetulan di dekat sini, Akari bilang ingin sekalian menjemputmu.”

“Kalau boleh jujur, kita sebenarnya sedikit khawatir.” Akari menggaruk pipinya pelan. “Walau sudah beberapa bulan berlalu sejak kamu mendadak dirawat inap, tidak ada salahnya memastikan keadaanmu secara langsung, kan?”

Manami terdiam sesaat, sebelum tersenyum tipis. “Maaf ya, sudah membuat kalian khawatir.”

Akari mengulurkan lengan, memeluk pelan wanita berkacamata bundar itu. “Kenapa sungkan begitu? Kita kan teman!”

“Akari benar. Karena kita teman, setidaknya biarkan kami mengkhawatirkanmu.” Nagisa mengangguk pelan, mengangkat jam tangan di pergelangannya. “Mari kita sambung percakapan ini setelah kita sampai di tempatmu. Aku punya sedikit firasat bahwa Akari akan mendapat panggilan mendadak nanti.”

“Nagisa…” Akari melepaskan Manami dan menatap lelaki itu sedikit kesal. “Jangan prediksi kesialan, dong! Ini kan hari liburku!”

Manami tertawa kecil. “Fufu… Aku dengar kau mendapat peran utama lagi ya, Akari-chan?”

Percakapan mereka mengalir tanpa hambatan, selagi mereka melangkah keluar rumah sakit dan berjalan di bawah langit musim gugur. Dedaunan merah dan oranye jatuh di sepanjang trotoar, terbawa oleh hembusan angin yang lembut. 

Manami menghela nafas beruap putih, merasakan hangatnya mantel yang melindunginya. Entah mengapa, dunia yang terpantul di lensa kacamatanya terasa sedikit lebih cerah dari sebelumnya. Dan meski musim ini tak lagi sehangat beberapa bulan lalu, ada sedikit ruang untuk lebih bernafas.

Ketenangan Nagisa dan keceriaan Akari mengalun halus di telinganya. Sesekali mereka menoleh ke belakang, menunggu Manami merespon. Topik keseharian terselip dalam dialog ketiganya. Bahkan percakapan ringan yang terbawa oleh udara musim gugur ini pun, mengalir lebih berharga dari yang ia kira.

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Apartemen yang dihuni seorang Okuda Manami selalu memiliki suasana yang tenang dan tertata. Ruangannya sederhana, tanpa dekorasi berlebihan. Beberapa jurnal penelitian bertumpuk rapi di meja dalam kamar, banyak sticky notes dan catatan pada beberapa halamannya. Saksi dalam diam bahwa ia mulai sering begadang lagi demi penelitian juga tugas akhir.

Lokasi tempat itu cukup strategis, hanya satu stasiun dari kampus dan tidak jauh dengan rumah sakit. Tak memiliki ruang tamu yang luas, hanya ruangan-ruangan fungsional yang terhubung tanpa sekat yang berlebihan. Kamar tidur, dapur kecil, meja makan, serta kamar mandi yang terpisah dari toilet.

Cukup nyaman untuk hidup sendirian, meski Manami pernah berpikir bahwa ia mungkin harus pindah ke tempat yang lebih leluasa setelah mendapat pemasukan lebih tetap. Setidaknya, agar tidak lagi mendengar komentar seseorang berambut merah yang pernah berkata betapa mungilnya tempat ini sampai menyamakannya dengan rumah kurcaci.

Dengan gerakan ringan, Manami meletakkan nampan di meja makan. Tiga cangkir teh mengepulkan uap tipis, menyebarkan wangi rempah yang lembut.

“Silakan tehnya.”

Akari langsung menyambut dengan antusias. “Inilah yang kutunggu setiap datang ke sini!”

Nagisa menatap cangkirnya, raut wajahnya agak terkesan. “Aku sering dengar dari Akari, tapi… ini benar diracik sendiri?”

Manami mengangguk kecil. “Semacam hobi kecil. Akhir-akhir ini aku suka menambahkan herbal khusus ke dalamnya. Efektif dalam meningkatkan aroma dan sensasi yang menenangkan.”

Akari menyesap sedikit, lalu mengangguk puas. “Bagaimana? Enak, kan?” katanya bangga, seakan ia sendiri yang membuat teh itu.

Nagisa mengangkat alis sebelum mencicipi. Matanya sedikit melebar sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Wah… ini jauh lebih enak dari yang kukira. Kau benar-benar terampil, Okuda-san.”

“Benarkah?” Manami tersenyum hangat, senang karena sudah dipuji. “Terima kasih! Aku tersanjung, karena sudah lama aku tidak menyeduh teh ini untuk tamu. Lagipula Karma-kun lebih suka kopi.”

Sekilas, Akari dan Nagisa bertukar pandang. Nama yang tidak asing bagi mereka bertiga yang merupakan mantan teman sekelas saat SMP. Hanya saja, wanita berkacamata itu menyebutkan namanya dengan intonasi senada membicarakan cuaca.

Nagisa akhirnya berdeham. “Aku tahu betapa seringnya ia bilang sedang ada di sini, tapi… apa Karma benar datang setiap hari?”

Manami tampak sedikit ragu dan menimbang kata-kata sebelum menjawab. “Sebenarnya, akhir-akhir ini tidak sesering saat aku baru keluar dari rumah sakit. Jadi bisa dibilang… hampir?”

“Hampir?” Akari menatapnya tajam sebelum mendengus. “Tak perlu diperhalus begitu, Manami-chan. Aku tahu dia lebih sering datang ke sini daripada tukang pos, bertanya kabarmu lebih sering dari tetangga, bahkan makan di sini lebih rajin dari kucing liar. Kalau begini terus, kau harus mulai membayar sewa untuk Karma-kun, tahu?”

Mendengar perumpamaan yang dibuat sang aktris, Manami agak tersentak. Semburat samar muncul di pipinya. “A-Akari-chan…!”

Nagisa hanya menghela napas ringan, sedikit terkejut juga setengah menduga kelakuan sahabatnya itu. “Haha… ini lebih ekstrem dari yang kuduga.”

Manami langsung menoleh, panik. “B-bukan begitu, Nagisa-kun! Karma-kun cukup sibuk dengan ujian pegawai negeri dan tugas akhirnya! Karena baik hati, ia hanya khawatir padaku dan—”

Klek!

Tiba-tiba, suara kunci apartemen yang terbuka membuat Manami terhenti. Ada kehadiran lain yang memasuki rumah ini, langkah ringan yang sudah terlalu dikenalnya. Sebelum sempat merasa waspada, suara khas itu menggema.

“Okuda-san~ aku datang~”

Suara santai itu diiringi derap langkah yang tidak tergesa-gesa, seakan apartemen ini adalah tempat yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Dari ambang pintu, sesosok pria bertubuh jangkung dengan rambut merah yang terlalu mencolok memasuki ruangan—kantong belanjaan tergantung santai di salah satu tangannya.

“Oh?” Matanya langsung menyadari kedua temannya itu. “Nagisa dan Kayano-chan juga sudah di sini?”

Berselang beberapa detik, ada interval kecil yang dibutuhkan untuk memproses kedatangan Karma di sana. Waktunya terlalu pas. Ia seakan datang masuk ke markasnya sendiri.

Akari memandangnya dengan ekspresi nyaris horor. “Astaga, Karma-kun! Kau bahkan tidak membunyikan bel atau mengetuk pintu lagi?!”

Nagisa melirik Manami dengan mata sedikit menyipit. “Kau memberinya kunci cadangan?”

Manami membuka mulutnya, tetapi tidak ada kata yang terbentuk. “Ehh… itu… erm…”

Ia juga tidak tahu entah sejak kapan Karma menduplikat kunci apartemennya. Tanpa sepengetahuannya dan tanpa minta izin. Sejak bulan lalu ia selalu datang dalam keadaan sedemikian rupa. Langsung masuk seakan sudah jadi bagian dari tempat ini. 

Karma tersenyum usil. “Kau pikir sebuah pintu bisa menghalangiku?”

“Ini pelanggaran properti!” Akari menunjuknya dengan ekspresi dramatis bagaikan menatap setan pelaku kejahatan. “Manami-chan, ini belum terlambat! Laporkan stalker ini ke polisi sekarang juga!”

Dan setan merah itu pun menghela nafas panjang. “Kayano-chan, kamu sebenarnya punya dendam apa sih sama aku?”

Manami bimbang harus merespon apa. Terlepas dari begitu banyaknya alasan, ia juga tidak bisa marah padanya. Karena Karma selalu mengirim pesan sebelum datang walau punya kunci, dan ia juga tak pernah menginap. Di sudut hatinya, ia lebih dari tahu bahwa pria ini sebenarnya hanya khawatir padanya.

Nagisa yang sejak tadi diam akhirnya mengarahkan pandangannya ke kantong belanjaan di tangan Karma. “Itu apa?”

“Oh, ini?” Karma mengangkat sedikit kantong yang dibawanya, kemudian mendekati Manami. “Adik kelasku sedang latihan membuat beberapa karumeyaki untuk membantu kakeknya berjualan di festival Asakusa nanti. Okuda-san suka, kan? Kau bilang ingin memakannya seminggu lalu sewaktu ulang tahunmu.”

Manami berkedip, ekspresinya berubah dari gelisah menjadi sedikit tersipu. “…Ah. Terima kasih.”

“Aku juga sempat ke minimarket, jadi sekalian beli kopi, susu bubuk, tisu, dan beberapa camilan.”

“Karma-kun, sudah kubilang tidak perlu repot-repot…”

“Mending aku yang repot, daripada aku terus menghabiskan isi kulkas dan persediaanmu.”

Karma membantu wanita itu menata belanjaannya tanpa pikir panjang, seakan itu sudah menjadi kebiasaan. Akari dan Nagisa saling bertukar pandang untuk kedua kalinya. Tatapan yang seakan berbicara tanpa suara—ada tanda tanya raksasa yang muncul di benak mereka berdua.

Wajar, terlalu wajar.

Sejak kapan?

Akari akhirnya mengangkat jari, menunjuk lurus ke arah dua manusia yang jelas belum berstatus kekasih itu, tetapi memiliki pola interaksi yang sealamiah pasutri. Ia menatap Nagisa dengan tatapan bertanya, seakan menunggu persetujuan. Lelaki bersurai biru tersebut hanya menghela napas kecil dan menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa ia mengerti perasaan pacarnya itu, tetapi lebih baik tidak banyak berkomentar.

Karma menyadari keheningan itu. Mata miliknya menyipit curiga. “Kenapa kalian menatapku begitu?”

Tak ada jawaban. Dan Akari tiba-tiba hanya menepuk bahunya beberapa kali. Dengan tatapan selaras menghibur sosok yang perlu dikasihani.

“Aku tidak tahu ada apa ini, tapi bisa berhenti sebelum aku marah?” Karma mengancam agak kesal, sedikit bisa membayangkan untuk apa tepukan itu.

Nagisa tertawa canggung bersuara minta maaf atas kelakuan pasangannya. Akari mulai menggoda lagi berkata bahwa ia bersikap seperti anjing penjaga. Karma tersenyum bilang akan menggigitnya karena menyebalkan. Manami yang kembali dari menata belanjaan di kulkas, mendadak bingung dengan situasi yang ada. Canda tawa juga riuh obrolan mereka berlanjut sampai senja menyambut.

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Langit sore meredup dalam pendar jingga yang menyatu dengan pepohonan yang mulai meranggas. Lembaran tipis merah serta oranye berjatuhan perlahan, mengikuti arah angin yang bertiup lebih kencang. Cahaya senja dari cakrawala dengan malas menggeliat, menggambar siluet bayangan yang memanjang.

Di depan pintu, Akari memasang kembali sepatunya dengan gerakan kasar. Wajahnya berkerut kesal, bibirnya sedikit mengerucut.

“Bisa-bisanya mereka menyuruhku mengambil hasil revisi naskah sekarang? Kenapa perubahan jadwal script-reading selalu mendadak seperti ini?” Ia menggerutu.

Nagisa, yang sudah terbiasa dengan keluhan itu, hanya terkekeh kecil. “Haha, mau bagaimana lagi? Aku rasa diriku pun makin ahli memprediksi pola perubahan dalam pekerjaanmu.”

Akari mendengus, meraih jaket dari tangan pacarnya itu. “Aku tidak butuh prediksi yang membuatku tak bisa menikmati hari libur berhargaku!”

“Maaf, maaf.” Nagisa menepuk puncak kepalanya dengan gerakan lembut, seakan mencoba meredakan amarah dalam tubuh kecil yang dimilikinya. “Nanti kita beli puding sebelum pulang, ya.”

Curang , batin Akari. Tangan yang tak terlalu besar itu selalu berhasil menenangkan dirinya. Ia jadi tidak bisa lanjut merajuk.

Di sudut ruangan, Karma melirik mereka dengan ekspresi malas. “Ooi, pasangan di sana. Jangan bermesraan di depan pintu rumah orang lain. Kalian pikir yang melihat tidak malu?”

“Lihat siapa yang bicara? Aku tidak mau dibilang begitu olehmu!” Akari mendongak dengan tatapan tajam, seakan tidak percaya dari semua orang justru lelaki itu yang protes. Dengan pipi menggembung, ia menghentakkan hak sepatunya keluar pintu apartemen.

Karma mengangkat bahu, tak berusaha melanjutkan perdebatan. “...kenapa dia malah marah?”

Nagisa tertawa pelan, menyesuaikan tali sepatunya. “Jangan terlalu menggodanya.”

Pria itu baru saja hendak beranjak untuk menyusul aktris muda tersebut. Namun, sebelum benar-benar melangkah keluar, sol sepatunya tiba-tiba terhenti. Seakan melupakan sesuatu, Nagisa menoleh kembali ke dalam apartemen.

“Karma.”

Nada suaranya tetap tenang, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam panggilan itu.

“Hm?”

Karma menatapnya, masih dengan ekspresi santai. Namun, saat kilatan mata biru itu bertemu langsung dengan iris keemasannya, ada sensasi jeratan yang terlalu familiar.

Hawa yang muncul bukan ancaman, tetapi cukup tajam untuk membuat udara di sekitar terasa menegang baginya. Masih ada kehangatan dalam tatapan Nagisa, tetapi juga sesuatu yang lebih berat dari sekedar pandangan. Meski terhempas banyak tahun berlalu, insting pembunuh itu tak pernah benar-benar luntur darinya.

“Kau sudah membuat keputusan, kan?” ujar Nagisa pelan. “Jangan sampai lengah lagi.”

Pupil Karma mengecil.

Kalimat terakhir itu terasa menggenang begitu dalam di kepalanya.

Ia tidak menduga kalimat itu diperingatkan oleh Nagisa dari semua orang. Tak seperti Takebayashi dan Ritsu, ia tak langsung terlibat dan mengetahui kejadian yang menimpa Manami secara langsung. Tapi cara bicaranya itu laksana mengetahui bahwa Karma tidak spontan jadi terlalu perhatian tanpa alasan. Sewajar menyadari damainya jalan yang dibangun tak bebas dari penderitaan.

Tawa renyah yang ringan terlepas dari celah bibir Karma.

Menyebalkan. Bahkan sekarang pun, aku masih tak bisa menandinginya.

“Kau pikir aku ini siapa?” Ia menyeringai, setengah mengejek. “Dasar tukang ikut campur.”

Namanya Akabane Karma. Bukan seorang yang akan lengah untuk kedua kalinya.

Nagisa tidak berkata apa-apa lagi, seakan puas dengan jawaban yang diberikan sahabatnya. Senyumnya kembali muncul, lebih lembut dari sebelumnya. Ia pun akhirnya berbalik dan melangkah keluar, menyusul Akari yang sudah memanggil namanya dari kejauhan.

Karma memandang pintu yang tertutup itu sedikit lebih lama. Menutup kelopak mata perlahan sampai suara langkah termakan jarak yang menjauh. Tak menyisakan apapun selain senyum lembut yang jarang diulaskan.

Memutar kaki, ia kembali masuk ke dalam. Suara air yang mengalir dari dapur sudah mereda. Manami baru saja selesai mencuci cangkir teh dan mengelap tangannya yang basah. Ia tak tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh Karma dan Nagisa, tapi tidak sulit menyadari bahwa paras lelaki bersurai merah itu tampak lebih tentram dari biasanya. Ia mungkin bahkan tak sadar sedikit bersenandung. 

Manami hanya bisa menahan tawanya dengan geli selagi mendengarkannya.

“Sesuatu yang baik terjadi?” tanya Karma, tak pernah melewatkan perubahan ekspresi wanita itu.

Alih-alih berhenti, Manami justru melepas tawanya pelan, “Bisa dibilang begitu.”

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Keakraban telah menjelma menjadi kebiasaan yang tak perlu ditanyakan asal-usulnya. Seperti cahaya senja yang datang tanpa perlu diundang, begitu pula kehadiran mereka berdua di meja makan ini—begitu wajar, begitu alami.

Karma mengangkat cangkir di depannya, mengamati cairan pekat yang mengepul tipis di dalamnya. Secangkir kopi dengan takaran yang nyaris sempurna, ditambah susu dan dua gula batu. Sedikit lebih manis dari biasanya, tapi sesuai dengan suasana hatinya inginkan.

Ia mengangkat alis, tatapannya beralih pada Manami yang duduk di seberangnya. "Sejak kapan kau hafal seleraku?"

Manami berkedip, kemudian menjawab dengan nada menggoda yang pilihan katanya terlalu polos untuk bisa dibilang sarkasme, "Bukankah Karma-kun sendiri yang sering datang ya?"

Karma terkekeh kecil. "Haha, sepertinya gaya bicaraku mulai menular padamu."

Manami ikut tertawa pelan. Namun, di sela candaan ringan itu, ia menurunkan sedikit nada suaranya. "Tapi sungguh… apa tidak apa terus datang seperti ini? Ujian semakin dekat bukan?"

“Khawatir aku tidak lulus?”

“Tentu tidak. Karma-kun pasti lulus.”

Tak ada sedikitpun keraguan dalam jawaban itu. Mata ungu itu menatapnya dengan ketulusan yang sama seperti bertahun-tahun lalu, di sebuah langit oranye yang jauh di masa lalu, ketika mereka masih murid SMP.

“Karena aku tahu betapa kau sudah bekerja keras.”

Karma tersenyum. Ia tidak lagi mengelak, tidak lagi menutupi dirinya dengan alasan-alasan kosong. Mungkin ini bukti bahwa mereka telah tumbuh. Bahwa mereka telah melewati masa ketika harga diri keren adalah segalanya.

“Kalau kau percaya padaku sampai segitunya,” ia menyandarkan dagu di tangannya, senyum jahil muncul kembali, “Aku akan menuntut hadiah, lho.”

Manami tampak berpikir sejenak. “Hadiah?”

“Ya, hadiah. Apa boleh?”

Berpikir singkat, Manami pun mengangguk kecil, “Baiklah! Kalau Karma-kun lulus nanti, aku akan memberimu hadiah. Tapi… hadiah seperti apa yang kau inginkan dariku?”

Karma terdiam sesaat. Wanita ini mungkin tidak sadar. Betapa banyak hal yang ingin ia miliki dan minta darinya. Kalau keserakahan boleh jujur; dari ujung kuku hingga ujung rambut, dari sorotan sendu hingga setiap pelosok kalbu. Semuanya. Namun, ia meyakinkan diri untuk tak perlu tergesa-gesa. Ia tahu bahwa kesempatan ini sendiri sudah lebih dari cukup. 

Wanita ini sudah pernah menyaksikan betapa buruk rupanya hasrat lelaki lain, dan Karma tak ingin mengulangi hal yang sama.

“Rahasia. Tidak seru jika aku bilang sekarang, kan?”

Manami mengerutkan kening, ekspresinya kebingungan. “Apa ini semacam kejutan? Tunggu, tapi aku yang memberi, kan?”

Karma tertawa, geli melihat betapa ketidakpekaannya tetap tidak berubah. “Haha, lihat saja nanti.”

Secangkir kopi kembali diteguk. Dari salah satu jendela apartemen, sorotan jingga perlahan jadi muram. Gemilau bintang satu per satu mulai hadir pada langit petang.

“Bagaimana konsultasi tadi siang?” Karma sedikit memastikan.

Manami mengambil sebungkus permen stroberi dari tasnya sebelum menjawab, “Aku rasa ada banyak kemajuan. Dokter sudah mulai mengambil langkah mengurangi dosis pada resepku.”

Ia meminta Karma membuka telapak tangan, kemudian memberikan permen yang didapatkan tadi itu padanya.

“Hee… rekomendasi yang diberikan Takebayashi berarti bukan omong kosong belaka ya?”

“Aku rasa masukan Takebayashi-san selalu bagus, kok.”

“Tapi selera animenya agak payah.”

Tawa mereka sesaat membentuk harmoni sebelum sunyi menemani.

Jam dinding berdetak pelan, mengisi keheningan tak terbesit rasa canggung. Waktu mengalir begitu saja di antara mereka. Bergerak lamban, tak berbeban, tak memaksa. Namun, keduanya bukanlah sosok orang yang akan berhenti dihempas waktu. Langkah harus diambil agar tak ada lagi penyesalan tertinggal.

Manami menarik nafas pelan dan berusaha menegakkan punggungnya sebelum bertanya.

“Karma-kun… menurutmu buku itu harus aku apakan?”

Karma menatapnya. Ia tidak terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi tetap memilih diam sejenak.

Manami tidak pernah membicarakan isi buku itu dengan siapa pun. Tidak kepada Takebayashi, tidak kepada Ritsu, tidak kepada Nagisa atau Akari. Bahkan tidak juga dokternya. Mungkin, ada bagian dari dirinya yang menolak menjadi objek belas kasihan, yang juga menolak menjadikan buku itu sekadar bukti betapa ia pernah dilukai.

“Kenapa tanya aku?”

“‘Dia’ bilang aku boleh melakukan apa saja pada buku itu setelah pemakaman selesai,” Manami menunduk sedikit, jemarinya sedikit bermain satu sama lain dengan ringan. “Entah itu dibakar, dibuang, dijual, dibagi, atau diberikan ke editornya untuk dipublikasikan… semua terserah padaku.”

Suaranya merendah, nyaris berbisik. “Dan aku sudah membagikannya denganmu.”

Karma terdiam, matanya sedikit berpendar. 

Ah… betapa luasnya kebaikanmu itu sampai terasa sangat disayangkan.

Padahal ia tahu, Karma membaca buku itu tanpa izin, telah meresapi isinya tanpa persetujuan. Padahal ia tahu, ‘dia’ hanya memanfaatkannya demi memuaskan ego bernama warisan. Padahal ia tahu, tak seharusnya ia memberikan ketulusan sebanyak itu seolah sudah sewajarnya.

Buku itu bukan sekedar sosok yang tidak nyaman baginya. 

Tetapi, bagaimana mungkin Karma menolak jika Manami memilih berbagi beban itu dengannya?

“Warisan itu untukmu, Okuda-san.” Tatapan emasnya bersungguh-sungguh, mengukuhkan kata-katanya sebagaimana mestinya. “Yang bisa memutuskan takdirnya bukanlah aku. Tapi dirimu.”

Mata sewarna lavender itu menatapnya lama. Hangat. Begitu hangat. Beban yang selama ini mengikat tubuh Manami terasa agak lebih ringan, seolah kata-kata itu telah menyejukkan sedikit dari luka yang belum sepenuhnya sembuh. Keputusasaan pun melambai pergi dari nuraninya.

Ia tersenyum. Tak lagi dengan senyuman bersembunyikan rasa pedih, tetapi senyum yang sungguh-sungguh mengungkapkan perasaan bahagia.

“Terima kasih banyak. Aku akan menyimpannya.”

Karma membalas senyum itu, menatapnya sejenak sebelum menambahkan kebebasan dalam opsi yang ada. “Yakin? Kalau ingin dibakar pun aku siap bantu kapan saja, kau tahu?”

Manami menutup matanya, meresapi kebaikan terukir dalam kata-kata yang ia dapatkan. “Ya… aku sudah tidak apa-apa. Aku rasa ‘dia’ pun pasti tahu bahwa aku akan menyimpannya.”

Dan seolah itu adalah jawaban yang sudah ia duga, Karma menghela napas sebelum mengangkat tangannya. Jemari panjangnya jatuh di atas kepala Manami, membelai dengan lembut. Tak ada kata-kata dorongan atau ekspetasi besar di sana. Hanya sentuhan kecil, ringan, tetapi cukup untuk menyampaikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan jelas.

Serupa penghargaan atas usahanya.

Serupa penghormatan atas pilihannya.

Karena pada akhirnya, luka yang tertinggal mungkin takkan pernah sepenuhnya hilang. Tetapi, selama Manami bisa memilih untuk lanjut menghadapi hidupnya, itu sudah cukup.

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Karma merapikan gelas terakhir yang ia cuci sebelum meraih jaketnya. Udara malam mulai menusuk, tetapi ia tidak buru-buru beranjak dari apartemen ini. Matanya menatap Manami yang masih duduk di meja makan, diam dalam pikirannya sendiri.

Ia tahu wanita itu masih butuh memproses banyak hal.

Namun, ponselnya bergetar sebelum ia sempat membuka mulut untuk berpamitan. Sebuah notifikasi masuk dari grup berjudul konyol "Obat Praktis" . Nama yang dibuat Takebayashi dengan alasan karena mereka semua memanfaatkan kepraktisan masing-masing untuk memastikan Manami baik-baik saja selama pemulihan.

Ritsu: Okuda-san membaca artikel jurnal jam 2 pagi tadi.

Takebayashi: Pantas saja. Tim peneliti sudah mulai mengurangi jadwalnya, tapi dia kelihatan sering melamun dan kurang tidur.

Karma menghela napas, lalu menoleh kembali. Manami, yang duduk di meja makan, menguap pelan. Bukti nyata bahwa kebiasaan buruknya dalam menjadi terlalu rajin mulai kembali. Menggenggam barang terlarang di saku jaketnya, ia mulai sedikit gemas.

Kalau begini terus, entah kapan ia seharusnya mengembalikan kunci apartemen ini.

Ia berjalan mendekat. “Okuda-san?”

Suara itu terdengar begitu dekat hingga Manami tersentak. “Ya?”

“Aku hanya ingin memastikan sebelum pulang…” Karma menatap matanya lekat-lekat sebelum menyipitkan pandangan dengan nada jahil. “Sejak kapan matamu secantik panda lagi?”

Manami terdiam. Sebelah tangannya menyentuh pelan bawah matanya, seolah baru menyadari sesuatu. Ia menegakkan punggungnya sedikit, berusaha tidak terlihat panik. “I-itu… hanya sedikit kok.”

Tidak ada usaha menyangkal.

Karma menyeringai. “Jadwal kerjamu sudah berkurang berkat Takebayashi yang berkoordinasi dengan tim, Ritsu juga sudah membantumu mengatur agenda harian. Jadi kau pikir bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk tetap begadang di rumah?”

Manami tidak bisa berkata-kata. Semua dugaan itu menembak tepat pada sasaran. Terlalu tajam mengubit alam sadar rasa bersalahnya.

“Tidak ada pembelaan diri?”

Wanita itu menarik nafas, berupaya walau tahu nihil hasilnya, “…T-tugas akhir! Karma-kun juga pasti tahu kalau—kyaa!?”

Belum sempat selesai bicara, pandangannya berputar. Begitu sadar, tubuhnya sudah terangkat di udara dengan ditopang oleh tangan besar. Lelaki itu menggendongnya tanpa sedikit pun peringatan.

“Hup lah.” Karma menyeringai, merasakan berat yang sudah lebih wajar di antara kedua tangannya. “Aha, setidaknya sekarang kau sudah bukan hanya bongkahan tulang.”

Seketika, wajah Manami memerah. “M-maksudmu aku bertambah gemuk?”

Tawa Karma meledak tanpa banyak penjelasan. “Ahahaha!”

“Turunkan aku, Karma-kun!”

Manami sedikit meronta, tetapi ia juga tahu bahwa protesnya tidak akan didengar. Dengan langkah santai seolah tidak terbebani apapun, Karma membawanya ke kamar tidur. Membaringkannya pelan di atas kasur.

“Aku tidak mengantuk,” Manami masih mencoba membela diri, wajahnya merungut.

“Kau harus lihat betapa besarnya mulutmu menguap tadi.”

“Jangan menggodaku.”

“Jangan khawatir, aku akan mengunci pintu sebelum pulang.” Karma menarik selimut, membiarkan tubuh mungil itu terbalut kehangatan. Perlahan tangannya menepuk-nepuk di atasnya, tepat dimana lengan atasnya beristirahat.

Tepukan yang pelan, tapi cukup terasa getarannya. Ritmenya bak dentuman pemanggil kantuk. Sebuah keahlian baru yang tercipta akhir-akhir ini.

“Bagaimana dengan keretamu?”

“Hm. Masih ada yang terakhir tengah malam nanti.”

“Karma-kun sendiri juga sering begadang, kan?”

“Hm.”

“Aku rasa tidak adil… hanya aku yang tidak boleh.”

“Hm.”

“Tugas akhir… penelitian… sedikit lagi…”

“Hm.”

Manami tidak menyadari bahwa suaranya semakin melemah. Matanya mulai tertutup setengah, berusaha melawan irama yang merangkul inderanya.

“Se… dikit… la… gi…”

Tepukan pelan di atas selimut tetap berlanjut meski sunyi sejenak singgah setelah kata-kata itu terputus begitu saja. Nafasnya berangsur stabil. Terlelap dalam kenyamanan yang begitu mendalam.

Ada rasa senang dipercaya sebesar ini. Ada pula gejolak kesal harus menahan diri. Karma menatapnya beberapa saat sebelum mendengus kecil.

“Kau terlalu mempercayaiku, Okuda-san.”

Matanya mengamati lekuk wajah Manami lebih lama. Kantung matanya memang ada, tetapi tidak separah sebelumnya. Bibirnya tidak kering. Berat badannya sedikit naik, dan rambutnya masih terkepang seperti biasa. Jemarinya sempat ragu, hampir menyentuh helai rambut itu hendak mengurai, tetapi ia memilih untuk tidak membangunkan wanita itu dari bunga tidurnya.

Dan di saat itulah, pikirannya kembali mengingat percakapan tadi.

Buku warisan.

Ketamakan manusia dalam susunan huruf dan bahasa. Terutama pada kata seandainya. Mungkin kata itu terdengar sederhana, tapi akan tetap menjejaki penyesalan dalam diri Manami. Tali rantai panjang yang terus dicari ujungnya, berisi kemungkinan muluk yang tak mungkin terwujud.

Tetapi bagaimana jika… ia memakainya sebagai perlawanan?

Seandainya besok ia datang lagi, apakah Manami akan menerimanya seperti biasa?

Seandainya ia lulus ujian nanti, hadiah apa yang harus dimintanya?

Seandainya ia sedikit egois dan meminta lebih, apakah Manami akan kaget?

Seandainya mereka berhasil meraih impian masing-masing, apakah Koro-sensei akan senang?

Seandainya penelitian Manami sukses, penghargaan berkelas apa yang akan didapatnya?

Seandainya kebersamaan ini terus ada mulai sekarang dan seterusnya…

…akankah mereka berdua bahagia?

Setiap ritme nafas Manami yang pelan, membisikkan seandainya yang baru pada benaknya.

Bukan untuk masa lalu, tetapi untuk masa depan.

Melawan api dengan api mungkin terdengar sembrono, tapi ini bukanlah bentuk serangan balasan terburuk. Karena Karma sudah memutuskan. Untuk tidak lagi lengah, tidak lagi kalah.

Maka ia akan menimpa seandainya yang tertinggal dengan seandainya yang lebih penuh harapan.

Seketika ia merasakan pergerakan, Manami menggeliat kecil dalam tidurnya.

Karma sedikit menegang. Untuk sesaat, bayang-bayang akhir musim semi kembali pada kepalanya. Cukup gelisah bahwa wanita itu akan kembali bermimpi buruk. Menangiskan isakan pedih lagi. Tenggelam dalam sakitnya luka yang belum sepenuhnya pudar.

Tapi Manami justru tersenyum dalam tidurnya. Senyum yang begitu manis, lebih lembut dari gemilau kunang-kunang di hutan malam. Dan sebelum Karma sempat berpikir lebih jauh, ia mendengar sebuah nama di luar prasangkanya mengalun, dalam suara yang nyaris berbisik.

“…Karma-kun…”

Jantungnya berdegup keras. Sangat keras hingga terdengar di telinganya sendiri. Bergemuruh tak terkendali.

Sial.

Setitik rona muncul di sudut pipinya. Wajahnya kesal dan kewalahan. Mulai menyadari betapa berbahayanya keadaan ini.

Paras itu terlampau cantik.
Suara itu terlampau merdu.

Padahal ia sudah berusaha keras ingin menghargainya.
Padahal ia sudah berusaha keras agar tidak terburu-buru.

Tapi siapa yang bisa tetap tenang di situasi seperti ini?

Sepersekian detik, sanubari Karma lupa cara berdusta.

Ia pun menyentuh poni Manami, menyibaknya selembut belaian angin dini hari. Dengan kehati-hatian yang menyakitkan, gestur perlahan yang menggeramkan, ia mendekatkan tubuhnya. Menghapuskan jarak yang memang tak banyak.

Hanya sebuah gerakan tanpa suara.
Hanya sebuah deklarasi tanpa kata.

Bibirnya menyelami satu kecupan lembut di dahinya.

Lentera cinta ini telah disiapkan,
Meski belum mampu tersalurkan.

Terpinggir pelan di sudut daratan.

Danau yang luar biasa luasnya, tak bisa dibersihkan kembali ke sedia kala. Bulan pun tak pernah kembali kepada angkasa planet itu, membuat malam semakin gulita. Menyisakan titik-titik kecil cahaya astrologi pada kegelapan. Penantian semakin panjang sebelum mentari terbangun.

Biarpun begitu, Karma sudah terbiasa memandang permukaan air itu dengan kasih sayang.

Ia pun membenamkan sebagian tubuhnya ke dalam. Menjadi satu dengan danau yang tak lagi jernih itu. Menanam puluhan, mungkin ratusan bunga lotus di sana.

Merawatnya perlahan.

Hingga mekar sempurna.

Menggantikan lenyapnya rembulan.

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Chapter 6: Lotus-end.

Notes:

Setelah 24 hari berlalu dari rilisnya kisah ini, hubungan Karma dan Manami sampai di penghujung cerita. Mungkin bukan mahakarya yang berarti, tapi aku akan selalu mengingat cerita ini sebagai multi-chapter pertama yang pernah aku tamatkan. Mengorbankan banyak kewajiban dan waktu, aku bersyukur tidak menyerah sampai akhir. Semoga kalian menikmati baik chapter ini dan bonus epilog setelahnya. Teruntuk setiap pembaca, terima kasih banyak sudah menemani perjalanan penuh emosional ini.

Tertanda, Hazakura_no_Haka / X @HazakuraNoHaka

Chapter 7: Epilog.

Notes:

Sumber inspirasi dan rekomendasi lagu pengiring:
ユアネス (Yourness) - 「私の最後の日」 (My Last Day)

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

.

.

.

Matahari pagi merangkak pelan, menyibak tirai kabut yang menggantung di bingkai jendela. Cahayanya menyapu lantai keramik rumah sakit, menciptakan jejak buram dedaunan yang menari-nari pada permukaan dinding. Dari kejauhan kicauan burung terdengar lirih, membisikkan riwayat rahasia kepada telurnya. Langit biru terbentang tanpa cela, seakan dicat dengan kuas raksasa yang lalai dan tergesa-gesa.

Dunia ini bagai sketsa yang takkan pernah diselesaikan. Sudut garis-garis objek mengambang tanpa bentuk, warna-warni memucat begitu saja. Entah apa yang terjadi pada penciptanya.

Di antara bola konsep yang belum matang itu, ‘Dia’ masih terduduk di atas ranjang. Sudut kepala yang masih memandang keluar jendela itu tak berubah. Siluet tubuhnya menyatu dengan latar pemandangan yang kabur.

Perlahan suara langkah kaki menggetarkan alam. Irama yang selalu teratur. Sedikit keragu-raguan terselip di hentakannya. Tak perlu menoleh, ‘dia’ tahu siapa yang datang.

Pintu kamar rumah sakit terbuka.

“Hai.” Senyumnya merekah, samar-samar seperti tinta yang luntur di kertas basah. Wajahnya tak lagi bisa dikenali, hanya kontur cahaya yang bergetar. “Sudah sangat lama ya.”

Manami terpaku di ambang pintu. Pita suaranya diam, tenggorokannya tercekat, vokalnya dirampas udara. Dirinya mencoba mengeluarkan rangkaian kata, tapi hanya sepoi-sepoi angin dari jendela yang terbuka lebar mengisi ruangan.

“Mengejutkan, bukan?” ‘Dia’ tertawa pendek, gema yang hampir terlupakan olehnya. “Biasanya di sini, hanya dirimu yang bisa menyuarakan isi hati. Tapi kini, untuk pertama kalinya… akulah yang diizinkan berbicara.”

Jari-jari Manami meraba lehernya sendiri. Tak ada rasa sakit, tak ada belenggu. Hanya kehampaan yang mengalir pelan di pembuluh darahnya. Penghuni yang sama. Pemandangan yang sama. Namun, ada corak pola yang memecah aturannya. Peran penutur yang terbalik, mungkinkah ini sebuah pertanda?

“Mungkin ini akan jadi yang terakhir.”

‘Dia’ berucap pelan. Seakan sudah terbiasa sampai pada titik akhir saat Manami masih menulis koma di tengah kalimat. Bahkan di lingkungan seperti ini pun, sebagian dari dirinya seabadi masa lalu.

“Karena ini yang terakhir,” laju bicara ‘dia’ melambat, lebih berhati-hati dari seharusnya. “Masih maukah engkau mendengarkanku?”

Apa ini… egoisme lainnya?

Manami berpikir sejenak, sebelum menghela nafas sunyi. Menjadi waspada pun tiada artinya. Bentuk mereka sudah tak lagi sama, tertelan oleh putaran tangan sang waktu.

Mengangguk pelan, dirinya berjalan masuk. Kursi pengunjung berjarak satu langkah dari ranjang sudah menanti di sana. Dirinya duduk dengan postur tegap, merasakan dingin besi pipih di bawah roknya.

“Kau pasti masih ingat pengacara yang keluar dari kamarku beberapa kali saat berkunjung.”

Manami memutar balik kilasan baju rapi orang itu. Setelan jas hitam dan kemeja putih yang klasik. Ironis, seserpih ingatan itu jauh lebih jelas dari pada muka di hadapannya.

“...bagaimana dirimu saat menerimanya?”

Buku warisan.

Celah lehernya masih tak berubah, enggan berkata. Manami tidak begitu yakin apa yang sebenarnya ingin ‘dia’ pastikan. Kumpulan huruf di atas kertas bersampul abu-abu itu tak lagi terasa seperti duri di kerongkongan. Dirinya menutup mata, membiarkan ingatan tentang tinta kering dan halaman bernoda darah larut dalam cahaya pagi.

“Kau boleh marah padaku.” ‘Dia’ memberi jawaban terlalu jelas pada pertanyaan yang dilontarkan sendiri. “Aku tahu buku itu telah melukai-ah, tidak. Kau pasti bahkan hancur karenanya.”

Manami membuka mata. Netra lavender itu memandang lurus ke bayangan yang dulu menguasainya. Tak ada warna amarah, tak ada warna sedih. Hanya secercah pemahaman terhadap emosi dibalik tindakan tersebut.

‘Dia’ tertawa lagi, sedikit terdengar pahit. “Sepanjang hidupku, aku hanyalah penulis yang mendengarkan hasrat manusia lain. Tapi di akhir hayatku… aku ingin menjadi penulis egois untuk diriku sendiri.”

Angin pagi mengusik tirai jendela, menyapu wangi bau asing matahari yang menggelitik hidung. Manami memegang lengannya sendiri, menyadari kemana hembusan ini membawa mereka. Pegangan tanpa tenaga atau sentimen tak perlu.

“Sejak awal kita bertemu, aku langsung tahu kamu adalah orang yang tepat.” 

‘Dia’ mengulurkan tangan, jemarinya membentuk postur menulis. Biar tiada pena dan kertas di ujungnya, partikel oksigen akan mencatat kebiasaannya.

“Mungkin sekarang kau sudah sadar… bahwa selama ini aku sengaja menyeretmu dalam keegoisan ini.”

Manami tak bergeming. Hembusan yang tak lebih dari kabar angin kadaluarsa. Tapi dirinya tak keberatan untuk membalik lagi lembar kenangan ini.

Di luar jendela, burung-burung menyanyi lebih riang. Mengepakkan sayapnya, mereka terbang. Menghempas debu yang menyelimuti sudut kaca.

“Kaulah inspirasi untuk bukuku. Dan akulah kelinci percobaan penelitianmu.” Tersenyum lagi, ‘dia’ pun menyadari ritme kedipan yang berubah seketika itu. “Entah apa kata orang lain… kita menyepakati simbiosis ini bersama.”

Simbiosis.

Kata itu menggantung di udara, berputar-putar seperti dedaunan yang enggan jatuh. Manami sedikit menunduk, meresap kembali sejarah yang tak lagi mampu berubah. Dirinya tak terhanyut, menerima fakta itu seberapa irasional apa pun.

“Sama seperti dirimu yang akan terus meneliti… entah berhasil atau tidak.”

‘Dia’ memandang langit biru di luar. Mendapati putih semakin menjalar meski perlahan. Satu per satu warna lambat laun terus menyusut.

“Aku juga menulis… tanpa peduli bagaimana dampaknya.”

Keheningan merayap di antara keduanya. Dalam bumi yang terus mengecil ini, komunikasi satu arah berlangsung tanpa meninggalkan banyak jejak berarti. Meski begitu ia terus merangkai topik pembicaraan tanpa peduli akhir yang akan datang.

“Mungkin aku tak peduli hasil apa yang akan dibawa tulisanku pada takdir. Tapi aku tahu… kau tidak sepertiku.”

Senapasnya sedikit menurun. Akhirnya sekilas emosi membasahi permukaannya. ‘Dia’ kemudian menyulam kata dengan sedikit rasa iri.

“Kau memiliki lebih dari sekadar kepedulian tertanam di sekitarmu.”

Manami mengangkat wajah.

Di dalam banyaknya memori, dirinya memang sering diajak untuk memulai bercerita. Tentang teman-teman sekelasnya dulu. Tentang guru tersayangnya. Tentang ilmu kimia. Tentang impiannya. Walaupun tanpa nama juga identitas yang rinci, dirinya pasti tak mampu menyembunyikan antusiasme yang ada.

Benar, dirinya bangga bahwa tak pernah sendirian.

“Ada banyak peluang yang memungkinkanmu selamat dari kehancuran.” ‘Dia’ tak mengukir senyuman sepintas, mendadak mengeluarkan suara serak. “Atau… mungkin kau justru lebih ingin menyusulku?”  

Manami mengerutkan kening. Sengaja menunjukkan rasa tidak suka. Parasnya sedikit menajam.

“Tak perlu menatapku begitu. Aku hanya bercanda.” ‘Dia’ tertawa lagi, seakan masih menikmati caranya memasang perangkap. “Kau tahu? Aku tak percaya bahwa orang yang tiada akan bersama di akhirat.”

Gambaran semesta di balik jendela mulai memudar.

“Kita semua mungkin masuk ke dunia ini terhubung dengan ibu yang melahirkan… tapi begitu keluar hanya ada kesendirian sejati.”  

Entah sejak kapan, tinggal ruangan itu yang tersisa.

Hilang sudah dedaunan.

Lenyap sudah angkasa.

Luntur sudah kicauan.

Pupus sudah mentari.

Walaupun demikian, mendadak tiupan angin kencang masuk dari jendela. Menghempaskan tirai dengan liar. Menggetarkan beberapa barang ringan. Membutakan kedua mata Manami. Dirinya spontan melindungi diri dengan kedua lengan.

“Meski begitu… aku puas.”

Tak ada gerakan refleks. Tak ada perubahan intonasi. Bayangan ‘dia’ direngkuh oleh kain tirai. Laksana tanda. Laksana undangan.

“Sangat puas. Hidupku tak memiliki penyesalan apapun.”  

Kala desiran angin mereda, ranjang itu kosong.

“Terima kasih.”  

Kalimat terakhirnya pun terseret udara.

Ruangan itu masih di sana. Mulai termakan pelan-pelan oleh ruang hampa. Menyisakan Manami yang masih terdiam di tempat duduknya.

Perlahan tangannya menyentuh permukaan halus kasur itu. Tempat dimana seorang pasien sempat ada di sana. Tak ada aroma obat. Tak ada lengkungan kusut. Tak ada kehangatan apapun.

Tes.

Setitik noda air mata jatuh di sana.

Manami tidak suka betapa cengeng dirinya.

Dirinya selalu menangis bila singgah di dunia ini. Mau sekuat apapun dirinya menjadi. Mau selama apapun kesempatan datang mulai renggang.

Terlahir kembali sekalipun, Manami yakin bahwa mereka takkan pernah saling memahami.

Karena itulah, air mata ini bukan lagi rasa bersalah. Bukan lagi penyesalan. Bukan lagi rantai tak berujung.

Hanya segelintir rasa sepi,
Lantaran tak bisa kembali.

Hanya semelimpah rasa lapang,
Lantaran perpisahan telah tiba.

Terselip di antara selimut, sebuah sobekan kertas kecil dengan tinta pudar. Seakan angin sengaja sedikit terlambat. Tulisan tangan yang rapi terpatri di sana.

‘Jangan menangis lagi.’

Pada akhirnya orang itu tetaplah egois.

Tak menghibur, tak membantu. Menyuruhnya menghentikan tangisan itu seorang sendiri. Benar-benar lelaki yang tak berperasaan.

Meski begitu, Manami mengulaskan senyum.

Dirinya sudah memiliki tangan lain yang akan setia menyeka seluruh air matanya.

Melepaskan kertas itu ke udara. Membiarkannya menguap menjadi butiran-butiran kosong bersama dengan kamar rumah sakit di ambang luluh lantak. Menghilang bersama air mata yang sirna dengan cepat. Mengantar kepergian tanpa sisa.

Seputih semua menjelma.

Semurni semua saksama.

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Langit-langit ruangan memeluk cahaya temaram. Lampu berpendar lembut bak kunang-kunang yang enggan terbang. Penerangan yang memang baru diganti demi waktu istirahat yang lebih nyaman.

Di atas sofa berlengan lebar, Manami membuka kelopak matanya perlahan. Bayangan tidur masih melekat di sudut pandangnya, membentuk siluet kabur antara mimpi dan realita. Jemari mungilnya mengusap ujung mata, lebih kering dari perkiraan yang ada.

Memandang pelan jarinya yang terlihat lebih kosong dari biasanya itu.

Aneh…

Manami tak mampu mengingat bisikan bunga tidurnya.

Meski begitu, ada kehangatan yang memeluk sekujur raga. Ada rasa ringan terpendam di setiap muatan tubuhnya yang bertambah. Tetap saja, tak ada jejak ingatan yang tertinggal. Seperti kelopak kecil sakura yang tergelincir dari telapak tangan, hanya meninggalkan setitik aroma yang melewati hidung.

Aroma perlahan berganti. Selimut katun tebal dengan wangi khas kayu sandalwood entah sejak kapan tertata di pangkuannya. Di saat yang sama gemelitik bau teh tak berkafein mendominasi, tersambut rapi di atas meja ruang tamu dengan kepulan uap yang masih segar. 

Indra penciuman yang akhir-akhir ini terasa lebih tajam, mengenali setiap kecilnya wewangian familiar ini. Bagai sidik jari yang terlalu jelas ditinggalkan sang pelaku kasus misteri.

“Oh, halo putri tidur.”

Suara itu datang dari balik kabut lamunannya. Karma keluar dari kamar tidur. Langkahnya mendekat, ringan tapi pasti, seperti angin yang tahu persis di mana hendak berlabuh.

“Bagaimana perasaanmu?”

Manami bersandar ke bantal, senyum kecil mengembang. “Tidak biasanya dirimu pulang lebih awal, Karma-kun.”

Ia duduk di sampingnya, bahu mereka nyaris bersentuhan. “Rapat terakhir dibatalkan. Pemateri utamanya masuk rumah sakit mendadak.”

Semerbak deterjen dari baju yang baru diganti itu ikut menari. “Oh, apa orang itu tidak apa-apa?”

“Hanya sakit pinggang biasa.” Karma mengangkat bahu, matanya berbinar dengan kenakalan yang tak pernah banyak berubah. “Kantor juga terlalu berlebihan. Mungkin saja dia sengaja ingin bolos karena sebentar lagi pensiun.”

Manami memiringkan kepala, helai rambutnya yang terkepang terjuntai ke bahu. “Sindiran itu nanti akan menyerang balik saat usiamu juga mencapai angka yang sama, lho.”

“Apa ini?” Karma sedikit menggoda, jari-jarinya dengan lihai menyelipkan sehelai selimut tambahan di pinggang Manami. “Kenapa kau malah di pihak pak tua itu?”

“Aku selalu di pihakmu, kau tahu?” Ujarnya pelan, telapak tangan kanan menyentuh pipi. “Bahkan saat kamu sudah jadi kakek-kakek juga nantinya.”

Pilihan kata Manami dalam meladeni si setan merah semakin lihai. Mungkin perlu ada penghargaan untuk kemahiran yang terus berkembang ini. Karma terkekeh pelan, suaranya bergetar seperti senar biola yang dipetik halus.

“Kau mulai pintar, huh.” Pujinya dengan jujur, meraih dua cangkir teh di meja. “Bagaimana? Apa kata dokter?”

“Tidak ada kejanggalan. Semua relatif stabil.” Manami menunjuk bibir bawahnya, gestur khas saat ia berusaha mengingat. “Ah, tapi dokter cukup kaget ketika aku bilang suka membaca buku langka daripada makanan akhir-akhir ini.”

“Tentu saja.” Karma menyipitkan mata, menyerahkan salah satu gelas di tangannya. “Aku yakin dia akan lebih kaget kalau tahu isi daftar keinginanmu penuh jurnal-jurnal hampir punah.”

Manami menerima teh tersebut dengan sedikit pembelaan diri, “A-aku tahu mustahil untuk mendapatkan semuanya!”

“Aku tidak bilang akan membelikannya.” Lelaki itu menyesap minuman tersebut sebelum mengembalikan posisinya pada meja, tak banyak beralasan.

“Tapi aku tahu kau akan berusaha.” Manami menatapnya, sedikit merajuk membayangkan adanya pengeluaran yang tak terlalu penting. “Jangan membuang tenaga sia-sia. Aku butuh banyak bantuan darimu mulai sekarang.”

Karma menghela napas dramatis, telapak tangan terangkat bak pahlawan di panggung sandiwara. Persis dengan gestur ksatria yang dimainkannya dahulu kala. “Perintahmu adalah keinginanku, wahai penyihirku.”

Tawa mereka bersatu, menggema pelan hingga sudut ruangan. Suasana perlahan hangat, semanis madu yang larut pelan ke dalam pahitnya teh. Suatu kenangan jika dibagi, lebih memercikkan kilauan kembang api makna dari biasanya.

“Jadi?” Karma menunjuk buku di meja, tak pernah sedikitpun melupakan sampul kelabunya. “Kali ini buku itukah target dari rasa haus membacamu?”

Sebuah warisan. Sebuah catatan. Sebuah jurnal. Sebuah harian. Label yang melekat pada satu buku tipis itu terlalu banyak, tak pernah mereka pilih pasti panggilan yang sesuai untuknya.

Manami memiringkan kepala. “Cemburu?”

“Sedikit.” Tangan besar Karma meraih buku itu, kertas di dalamnya sedikit menguning. “Tapi aku tahu seleramu. Kualitas buku yang kau pilih tak pernah salah.”

“Aku membacanya bukan karena dorongan kondisi,” bisiknya, tak banyak mempertimbangkan apa lagi yang harus dipikul pada lembaran itu. “Justru karena ingin referensi. Sastra bukan keahlianku, tapi ada banyak susunan kata cantik di sini yang lebih mudah aku pahami. Tidak boleh?”

Karma terdiam sejenak pada senada yang seakan meminta izin tersebut, tersenyum lembut kemudian. “Ayolah, kapan aku pernah melarangmu?”

Ia memang tak pernah banyak memberi batasan.

Ia memang tak pernah mendorong terlalu keras.

Menyegani segenap pilihan juga keputusan.

“Terima kasih.”

Kata itu menghangatkan udara, lebih dari tanda-tanda musim panas yang hendak datang tak lama lagi. Senyap singgah sejenak dengan tentram, diisi oleh detak jam dinding yang selalu presisi. Wanita itu menyesap teh, sedangkan Karma membuka halaman pertama. Tanpa ada niat melanjutkan, ia meletakkan bacaan itu kembali di atas meja. Membiarkannya setengah terbuka.

“Oh ya, apa kau ada rencana mengunjungi makam tahun ini?”

Manami mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali sejak kapan ia lupa berkunjung. “Mungkin? Sudah lama sejak terakhir kali. Musim semi juga akan segera berakhir.”

Hari liburnya masih tersisa beberapa hari. Bukan ide yang buruk untuk mengunjungi pemakaman umum dalam waktu dekat. Terutama, untuk penghuni batu nisan yang tak memiliki satupun kerabat. Terbesit harapan untuk melanjutkan upaya berdamai, agar sang mendiang pun bersukacita.

“Kalau begitu, bagaimana akhir pekan ini?” Lengan Karma melintasi tengkuk lawan bicaranya, menggantungkan tangan pada bahu. “Aku akan menemanimu.”

“Eh? Biasanya Karma-kun tak pernah mau ikut.” Manami meletakkan cangkir yang masih tersisa setengah itu. “Ada apa?”

“Karena kamu tentunya.” Suaranya terdengar serius, tak merasa ada alasan yang lebih jelas lainnya. “Tidak mungkin aku membiarkanmu pergi sendiri kan sekarang?”

Manami menahan tawa. “Kecemasanmu agak berlebihan.”

“Katakan lagi ketika dirimu sudah mengurangi lamunan itu lebih dari biasanya.” Karma menyentuh hidungnya, ekspresinya pura-pura sedikit kesal. “Hampir saja kopiku kemarin terasa asin.”

“Aku sudah minta maaf, kan.” Pipinya memerah. “Aku juga langsung sadar dan menggantinya dengan gula.”

“Kalau tidak sadar? Apa aku harus tetap meminumnya?”

“Ini terdengar seperti kamu benar-benar akan meneguknya. Perlukah sejauh itu demi diriku?”

“Jelas saja.”

Karma mencondongkan badan, memangkas jarak dua sosok manusia. Jemarinya terselip pada rongga tangan milik sang peneliti, mengangkatnya dalam genggam yang terjalin erat. Tanpa banyak kata, punggung tangan kecil itu berjumpa dengan permukaan bibirnya.

“Manami, kau pikir aku siapa?”

Kilatan netra emas itu membebaskan tawa Manami.

Dua pasang lingkaran pada jari manis mereka mengilap, menangkap cahaya redup ruang tertutup.

Senyum bertemu.
Napas lirih beradu.
Bulu mata terkatup.
Ruang pun menutup.

Bersaksi dalam sepi, sebuah buku. Rona sampulnya tepat di tengah hitam dan putih. Tersingkap halamannya yang paling awal, masih terselip foto di balik sampul, kini menghadap dengan benar.

Di sana tak ada judul.

Di sana tak ada nama pengarang.

Hanya dua huruf bergaris rapi terpahat di sana,
Sisa tinta pena hitam yang nyaris pudar:

未練
(Miren)

- - - - - ꒰ 𑁍 ꒱ - - - - -

Epilog-end.

Notes:

Ada kejutan terselubung dalam kondisi fisik Manami.
Bagi yang sadar, selamat!
Kalau belum, coba perhatikan detail barang dan dialog lagi setelah mimpi berakhir.

Terima kasih banyak dan semoga kalian menikmati semuanya!